Anda di halaman 1dari 269

The Other Side

Penulis: Alya Ranti


Ilustrasi sampul: Nabila Nariswari
Penyunting naskah: Nurul Amanah dan Prisca Primasari
Penyunting ilustrasi, desain isi & desain sampul: Asyilasa
Ilustrasi isi: Rizki Besleita Daneswara
Proofreader: Febti Sribagusdadi Rahayu
Layout sampul dan setting isi: Maneki Neko dan Deni Sopian
Digitalisasi: Nanash
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Rajab 1441 H/Maret 2020
Diterbitkan oleh Pastel Books Anggota Ikapi

PT Mizan Pustaka Jln. Cinambo No. 135, Kel. Cisaranten Wetan, Kec. Cinambo, Bandung 40294
Telp. (022) 7834310--Faks. (022) 7834311
Alya Ranti The other side/Alya Ranti, penyunting, Nurul Amanah dan Prisca Primasari.

ISBN 978-602-6716-61-3

E-book ini didistribusikan oleh


Mizan Digital Publishing
Jln. Jagakarsa Raya No. 40, Jakarta Selatan 12620
Telp. +6221-78864547 (Hunting); Faks. +62-21-788-64272
website: www.mizan.com
e-mail: mizandigitalpublishing@mizan.com
twitter: @mizandotcom
facebook: mizan digital publishing
Ucapan Terima Kasih
Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan kepada AllahSwt. yang telah
memberikan kelancaran selama menulisbuku ini dan memberikan jalan,
hingga akhirnya buku inibisa diterbitkan.
Terima kasih untuk Mama, Ayah, dan Bagas—adik saya,yang selalu
percaya dengan mimpi saya serta men-support saya untuk terus menulis.
Terima kasih untuk Ester, Aleen, Afni, Inyong, dan semua teman-teman atas
bantuan ide, saran, dukungan, dan dorongan ketika saya menulis buku ini.
Terima kasih untuk Pastel Books yang telah menerbitkan The Other Side.
Terima kasih untuk Kak Nurul Amanah dan semua tim redaksi atas kerja
samanyayang luar biasa, sehingga dapat membuat karya ini jauh lebih baik.
Terima kasih juga untuk semua pembaca di Wattpad atas dukungan yang
luar biasa hebat. Kalian sangat baik. Tanpa kalian, buku ini tidak akan jatuh
ke pelukan kalian.
Isi Buku
Prolog
Fall
Revo Adriano
Happy Birthday
Confused
About the Secret
Bitter Sweet
Unavoidably
Deeper
Tak Disangka
Want to Go
Terungkap dan Kembali
Guess
The Choice
Broken Pieces
Aware?
Jealous?
Far
A Fact of Life
Bicara
Hurt
Putri Cantik?
Down
Putus
Isi Hati Alea
Regret
Last Time
New Ending
Epilog
Extra Chapter
Prolog
Kadang ada yang menyerah bukan karena sudah tak ingin, tetapi karena
sudah tak mungkin. Tak mungkin karena lelah berjuang sendirian. Tak
mungkin karena terlalu sering disia-siakan. Dan yang paling
menyakitkan, tak mungkin karena sudah tak diinginkan.

Alea membuka lembar demi lembar album foto miliknya. Foto-foto di


dalam album itu menunjukkan Alea dan seseorang yang tengah tersenyum
bahagia, bukan menangis tersedu seperti sekarang.
Di foto itu Alea tampak sedekat nadi dengan sosok tersebut, bukan sejauh
matahari seperti sekarang.
Di sana, Alea masih memikirkan tentang ribuan hari yang akan mereka
lalui bersama, bukannya memikirkan bagaimana caranya menghapus
seseorang yang sudahmenorehkan luka terlalu dalam pada perasaannya.
Bukan memikirkan bagaimana caranya dia menghindari seseorang yang
masih sangat dia cintai.
Namun, cukup. Sekarang, Alea sadar diri dan akanberhenti.
Berhenti untuk bersikap bodoh dengan terus bertahan ketika sudah
ditinggalkan.
“Alea!” panggil Cecill, mama Alea.
“Iya, Ma?” sahut Alea.
“Ayo, Sayang, lima menit lagi kita berangkat.”
Alea menghela napas sejenak, lalu menutup album fotoitu seraya
menghapus air matanya yang terjatuh.
Alea harus meninggalkan Kota Bandung, kota sejuta kenangan antara
dirinya dengan sosok yang mengajarkannya tentang arti luka yang
sebenarnya. Dia akan pindah ke Jakarta.
Mungkin, di sana akan ada kisah baru untuk Aleayang akan
menghapuskan luka dari dia yang terlalu dalam menggoreskan luka.
Fall
Cinta tahu bagaimana cara memaafkan, tetapi tidak untuk melupakan sakit
ketika dikecewakan.

Sudah seminggu Alea meninggalkan Kota Bandung, kota yang mampu


membuatnya tersenyum dan tersedu pada satu waktu di kala dia
mengingatnya. Baginya, Bandung kota yang telah menciptakan cerita indah
untuknya, sekaligus yang mengajarkannya arti luka yang sebenarnya.
Sudah satu minggu juga Alea memasuki sekolah barunya di Jakarta.
Sekolah itu bernama SMA Gempita. Sekarang, Alea sudah duduk di bangku
kelas XI. Di sana, Alea memilih untuk mendaftar menjadi pengurus OSIS dan
ini hari pertamanya untuk memasuki organisasi itu.
Langkah Alea terdengar sangat jelas karena dia tengah berjalan cepat
untuk menuju ruang OSIS. Bahkan karena terlalu cepat, dia tak
memperhatikan lingkungan di sekitarnya, sampai-sampai dia tak sengaja
menabrak seseorang yang tengah memegang gitar.
Gitar itu terlepas dari tangan pemiliknya dan terlemparmengenai kepala
Alea. Alea memegangi kepalanya yang sakit seraya menatap gitar yang jatuh
di dekatnya. Itu bukangitar murahan. Alea mengetahui harganya.
“Eh, sori.” Lelaki itu meminta maaf. Alea hanyamengangguk, lalu
mengalihkan pandang ke arahnya.
Saat menatap wajah lelaki itu, entah mengapa darahnya terasa berdesir
lebih cepat, perasaannya juga menjadi tak karuan.
Alea tidak mengerti mengapa wajah lelaki itu bisasangat mirip dengan
seseorang yang pernah dia kenal.
“Kepala lo sakit?” tanya lelaki itu sambil menatap Alealekat. Alea
membalas tatapan itu. Kini, dia seperti menatap mata yang sama, tapi milik
orang yang berbeda.
Tatapan lelaki itu sangat tajam. Dia tak henti-hentinyamemandangi wajah
Alea. Entah karena dia merasa bersalahatau karena Alea sedari tadi hanya
diam saja.
“Lo enggak pa-pa?” tanyanya lagi yang membuat Alea tersadar dari
lamunannya.
“Hah? Enggak pa-pa, kok, gue juga salah.”
“Ya, udah, kalo lo enggak kenapa-kenapa, gue duluan, ya. Gue lagi buru-
buru soalnya.” Lelaki itu mengambilgitarnya yang terjatuh, lalu pergi
meninggalkan koridor.
Alea melanjutkan langkahnya dan segera memasuki ruangan OSIS.
Sesampainya di sana, seisi ruangan menyorotdirinya dengan tatapan tajam.
Terutama, sosok lelaki yang kini tengah berjalan menghampirinya.
“Maaf, Kak. Saya telat—” ujar Alea terpotong.
“Anak baru udah berani telat, ya?” tanya lelaki berparastampan—Ketua
OSIS SMA Gempita. Namanya Aria.
“Yang daftar OSIS, tuh, banyak, kali. Enggak kamudoang!” sentak Aria.
“Kamu baru masuk aja udah seenaknya kayak gini. Gimana ke depannya?
Enggak usahlahmasuk ke sini.”
“Saya minta maaf, Kak. Tapi, saya—” lagi-lagi ucapannya terpotong.
“Saya enggak butuh kata maaf kamu. Ini. Kamu baca semua peraturan di
sini, terus kamu tentuin bidang apayang mau kamu urus. Oh, iya, kalo kamu
mau di sini, kamuharus dapat tanda tangan wakil saya sama ketua koordinasi
bidang yang kamu pilih. Lusa, surat itu harus udah ada di saya atau kamu
enggak usah ada di sini.” Aria menyerahkansurat-surat tersebut kepada Alea.
Alea menerimanya. “Oke, Kak, makasih.”
“Ya, udah, sekarang kamu duduk sana,” suruh Aria. Alea mengangguk,
lalu duduk di kursi kosong di sebelah gadis yang berparas cantik.
“Yang sabar, ya,” ujar gadis itu. “Kak Aria emang otoriter banget.
Apalagi, kalo ada orang baru, dia enggak mau kalo misalnya ada yang masuk
cuma main-main doang. Tapi, kalo lo udah resmi masuk, dia bakal baik,
kok,” ujar gadis itu. Alea mengangguk mengerti.
“Kenalin, nama gue Bella.” Gadis itu mengulurkan tangannya.
Alea menjabat tangan gadis itu. “Gue Alea.”
“Gue pasti bakal bantu lo, kok, buat penuhin syarat dari Kak Aria.
Semangat!” ujar Bella menyemangati.
“Siapa yang suruh kamu buat nolongin dia?” sentakAria seraya menatap
Bella tajam. Bella hanya terdiam.
“Pokoknya, kamu harus penuhin semuanya sendiri.Emang susah, ya,
syarat kayak gitu doang?” bentak Aria.
“Iya, nanti saya cari wakil Kakak sendiri, kok,” jawab Alea. Aria
menatapnya sinis, lalu kembali ke depan. Alea menghela napas sejenak.
“Pokoknya, wakil ketua OSIS kita itu namanya—” ujar Bella terpotong.
Belum selesai Bella berbicara, Alea sudah memotongnya. “Gue bisa cari
dia sendiri, kok.”
“Aduh, Alea, dari mana lo bisa tahu? Daripada, nanti Kak Aria marah-
marah sama lo kalo lusa belom bisa dapat tanda tangan dari wakilnya,” dumel
Bella. “Waketos kita itu kadang masuk kadang enggak. Bukan berarti dia
demen bolos, tapi dia sibuk dispen acara ini-itu. Pokoknya, lo bakalsusah,
deh, kalo mau nemuin dia. Kalo mood-nya lagi ancur apalagi, minta
ditonjok.”
“Oh, ya?” Alea tertawa pelan. “Lo baik banget,makasih, ya. Tapi, gue
pasti bisa sendiri, kok.”

Cinta tahu bagaimana cara memaafkan, tetapi tidak untuk melupakan


sakit ketika dikecewakan.
“Alea siapa, sih? Kata siapa dia mantan gue? Gue ajaenggak pernah
kenal sama dia. Ngaku-ngaku aja kali dia.”Kata-kata itu masih teringat jelas
di memori Alea. Hatinyaselalu terasa panas ketika dia mengingatnya.
Dia ingat betul, bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tak
mungkin jadi miliknya.
Bagaimana rasanya mencintai seutuhnya, tapi dikecewakan seutuhnya
juga.
Bagaimana rasanya pernah sedekat nadi dan menjadisejauh matahari.
Bagaimana pernah merasa disayang, tapi kenyataannya dianggap ada
pun tidak.
Bagaimana dia selalu menunggu, tapi diabaikan.
Bagaimana dia mengorbankan banyak hal, tapi berujung sia-sia.
“Gue serius. Bukannya lo pernah pacaran sama dia, masa, sih, enggak
kenal?”
“Gue enggak kenal. Kenapa, sih, lo enggak percaya?”

Satu hari berlalu, tapi Alea tak kunjung menemukan Wakil Ketua OSIS SMA
Gempita dan Ketua Koordinasi Seksi Bidang yang dia pilih. Padahal, Alea
sudah mencari di semua tempat yang kirakira akan didatangi sosok itu. Alea
juga sudah stalk akun Instagram OSIS Gempita untuk mengecek formatur.
Namun percuma, sepertinya semuanya sudah dirancang dengan baik oleh
Aria dan rekan-rekannya.
Alea terpaksa keluar dari koridor sekolah dan menunggu angkutan umum
datang, tapi tidak ada yang lewat.Mungkin karena hari sudah terlalu sore.
Sebenarnya, Alea bisa saja menaiki ojek online, tetapihari ini Alea lupa
membawa ponselnya karena tadi pagi dia terburu-buru untuk ke sekolah.
Alea mencoba berjalan untuk kembali mencari angkutan umum. Namun,
tiba-tiba sebuah motor dengan kecepatan kencang tak sengaja menyerempet
kakinya sehingga dia terjatuh dan terhantam trotoar di sampingnya.
“Ah!” Alea memegangi kakinya yang berdarah. Sosokitu tampak melepas
helmnya, lalu beranjak turun dari motornya untuk menghampiri Alea.
“Hati-hati, dong, kalo bawa motor. Gimana, sih?”dumel Alea seraya
masih memegangi kakinya. Alea mendongak, lalu menatap orang itu lekat.
Dia lagi?
Alea tak mengerti mengapa semesta seakan kembali mempertemukannya
dengan sosok yang berwajah mirip dengan mantan kekasihnya itu.
“Lo?” Lelaki itu mengerutkan dahinya. “Maaf. Maaf banget sumpah, gue
bawa motornya ngantuk,” ujar lelaki itu. Alea masih menatap wajahnya.
Memang benar, wajah lelaki itu sudah tampak lesu dan mengantuk, tapi
nyatan yaitu malah menambah ketampanannya.
“Tapi, lo bisa enggak, sih, enggak usah minggir-minggirkalo bawa motor?
Kalo yang lo tabrak anak kecil gimana? kan, bahaya!” dumel Alea lagi.
Lelaki itu mengangguk.
“Iya, iya, gue minta maaf. Lo mau ke dokter?”
Alea menggeleng. “Enggak usah.”
Lelaki itu tampak mengamati kaki Alea yang tampak terluka karena
tertabrak motornya. “Tapi … kaki lo parah.”
“Enggak, gue enggak pa-pa,” tepis Alea.
“Coba gerakin,” pinta lelaki itu seraya sedikit mengangkat kaki Alea.
Alea meringis kesakitan karena itu. “Sakit. Gila lo, ya.”
“Lo yang gila. Kalo kaki lo enggak kenapa-kenapa, ya, enggak bakal
sakit, lah, kalo gue angkat. Kaki lo itu parah lukanya,” jelas lelaki itu seraya
menatap tajam Alea. “Kalo lo enggak mau ke dokter, gue harus anter lo
pulang. Biar gue obatin kaki lo,” ujar lelaki itu. Namun, Alea masihsaja
menatap lekat matanya. Lelaki itu benar-benar mirip dengan mantan
kekasihnya, meskipun dapat dibedakan.
Sesungguhnya, lelaki itu lumayan baik, tapi dekatdekat dengannya selalu
mengingatkan Alea pada sakit yangseharusnya sudah dia lupakan.
“Gue bisa jalan sendiri, kok!” Alea beranjak berdiri. Meski begitu,
kakinya yang sedang terluka tak mampuuntuk menopang tubuhnya sehingga
dia hampir terjatuh. Untungnya, lelaki itu menahan tangannya.
“Lo enggak usah sok kuat, deh. Ayo, gue anterin balik. Gue enggak mau,
ya, lo bilang gue tabrak lari.” Lelaki itu terdengar sangat memaksa.
“Yaelah, lebay lo. Siapa, sih, yang bakalan bilang lo tabrak lari? Lo pikir,
gue bakalan lapor polisi gitu? Ya, enggak, lah. Lagian juga, kan, tadi gue
udah bilang—” ujar Alea terpotong. Tanpa persetujuan Alea, lelaki itu
langsung membopong tubuh Alea ke atas motornya.
“Eh, apa-apaan lo?”
“Berisik!” sentak lelaki itu.
Alea memejamkan matanya. “Gue takut duduk miring begini. Kalo gue
jatuh, gimana?”
Lelaki itu menarik napas gusar. “Lebay lo. Nenek-nenek duduk miring aja
enggak pernah jatuh.”
“Ya, tapi, kan, gue bukan nenek-nenek.”
“Berisik lo!” Bukannya menggubris Alea, lelaki itu malah mengegas
motornya kencang.
“Woi, lo gila? Pelan-pelan bisa kali!”
Lelaki itu tidak memelankan kecepatan laju motornya. Dia malah
mengegas motor itu semakin kencang.
Alea spontan mencengkeram kuat baju lelaki yang ada di depannya.
Lelaki itu menatap Alea dari kaca spionnya sehingga Alea melepaskan
tangannya. “Maaf.”
Namun, lelaki itu tak menggubrisnya. Di menit-menitberikutnya, yang
tercipta hanyalah keheningan.
Lelaki itu terus melaju, Alea baru tersadar ini bukan arah menuju
rumahnya. Dia menepuk pundak lelaki didepannya. “Eh. Eh. Ini bukan arah
ke rumah gue.”
“Iya, emang enggak ke rumah lo,” jawab lelaki itu.
“Lo mau bawa gue ke mana?” tanya Alea panik. Namun,lelaki itu tak
menjawab pertanyaan Alea.
“Heh, lo mau bawa gue ke mana? Jangan bilang, lo mau nyulik gue.”
Lelaki itu berdecak kesal. Tak lama, motornya berhentidi depan sebuah
kafe yang belum pernah Alea kunjungi sebelumnya.
“Ngapain lo malah bawa gue ke kafe?” Alea bingung. “Beneran, kan, lo
mau nyulik gue? Gue teriak, nih?”
Lelaki itu turun dari motornya, lalu menatap Alea tajam. “Ngapain juga
gue nyulik cewek kayak lo?”
“Ya, terus ngapain lo bawa gue ke sini?” tanya Ale.
“Mau ketemu nenek gue!” jawabnya asal.
Alea mengerutkan dahinya. “Serius? Ngapain coba lo mau ketemu nenek
ngajak-ngajak gue? Jangan-jangan, lo kerja sama, ya, bareng nenek lo buat
nyulik gue?”
“Ya, enggak, lah.”
“Terus, kita ngapain?” tanya Alea lagi.
Lelaki itu sudah terlebih dahulu berjalan meninggalkan Alea. “Ya, mau
makan, lah, ngapain gue ngajak lo ke sini kalo enggak buat makan? Ayo!”
“Ya, sebentar, enggak sabaran amat.” Alea mencoba turun dari motor dan
berjalan pelan, tetapi kakinya terasasakit sekali. “Ah!” ringis Alea
memegangi kakinya.
Lelaki itu kembali menghampiri Alea, lalu menuntun Alea ke dalam. Alea
melihat tangan yang menyentuh bahunya. Aneh sekali, jantungnya berdebar
lebih cepat. Padahal, Alea belum mengenal lelaki itu.
Hanya karena wajahnya mirip dengan mantan kekasihnya, masa, iya, Alea
merasakan debaran yang sama?
“Lo mau makan apa?”
“Enggak, ah!” tolak Alea. “Lo aja enggak kenal gue,kenapa lo mau
bayarin gue? Atau, jangan-jangan, lo mau ngeracunin gue, ya?” tanya Alea
curiga.
Lelaki itu berdecak kesal. “Emang muka gue sekriminalitu, apa? Anggap
aja, sih, ini tanda permohonan maaf gue karena gue udah nabrak lo.”
“Enggak usah lebay, deh!”
“Lo diem di situ,” suruh lelaki itu.
Alea berdecak, lalu bergumam. “Emang kriminal.”
Namun, sepertinya gumaman Alea terdengar oleh lelakiitu sehingga dia
menoleh sejenak ke arah Alea sebelum dia berjalan ke arah kasir.
“Permisi, Mbak. Nasi goreng spesialnya dua, sandwich dua, ice tea-nya
dua, sama air mineralnya dua. Oh, iya,Mbak, ada kotak P3K enggak?”
“Ada, sebentar, ya, Mas.” Setelah Revo membayarmakanan yang dia
pesan, kasir itu memberikan kotak berisi obat-obatan kepadanya. Lalu, lelaki
itu kembali menghampiri Alea.
Alea terkaget saat lelaki itu menarik kaki Alea untuk mengobati kakinya
yang terluka. “Eh. Enggak sopan banget,sih, lo megang-megang. Sakit!”
ringis Alea ketika lelakiitu meneteskan obat ke bagian lukanya. Si lelaki
memutar kedua bola matanya malas.
“Bisa diem enggak, sih, lo? Nih, ya, kalo enggak diobatin kaki lo, tuh,
bisa infeksi, nanti ujung-ujungnya gue juga yang disalahin.”
“Lo, tuh, lebay banget, sih, siapa juga yang bakalnyalahin lo?” dumel
Alea. “Diem!” Lelaki itu kembali meneteskan beberapa cairanpada kaki
Alea.Alea menatapnya. Kenapa muka lo harus mirip sama dia, sih? Batin
Alea. “Udah, tuh. Cepet, kan, kalo lo diem,” lelaki itu mendongak dan sadar
Alea memperhatikannya.
“Enggak usah lihat-lihat.”
“Siapa juga yang ngelihatin lo?”
“Lo, lah.”
Alea berdecak. “Enggak usah kegeeran, deh.”
Dia menatap Alea datar dan berdiri untuk mengembalikan kotak itu. Tak
lama, pesanan mereka datang. Alea menatapbingung meja di depannya, yang
seketika terisi oleh begitu banyak makanan. Dia menatap lelaki itu malas.
“Eh, gila. Kan, gue bilang enggak mau makan. Lo ngapain pesenbanyak
banget?”
Lelaki itu menatap Alea lekat. “Lo, kan, lagi sakit.Orang sakit itu harus
banyak makan.”
“Apa hubungannya? Yang sakit, kan, kaki gue.”
“Pokoknya, lo harus makan!” lelaki itu memaksa.
Alea menatap lelaki itu tajam. “Gue enggak mau!”
“Makan. Atau, lo gue tinggal sendirian di sini!” ancam lelaki itu sambil
menatap Alea tak kalah tajam.
“Ya, udah, tinggalin aja,” tolak Alea. “Emang lo pikir gue bakalan takut?”
“Makanan itu mubazir kalo enggak dimakan, mendingan lo makan, deh.”
Alea menghela napas kesal.
“Ya, udah, lo makan aja duluan,” sahut Alea malas.
“Lo, lah, yang harusnya makan duluan, kan, lo yang lagi sakit. Gimana,
sih?” sentaknya.
“Ya, tapi, kan, lo yang beli makanan sebanyak itu. Jadi,harusnya lo yang
makan duluan, lah. Lagian, sejak kapan ada peraturan kalo orang sakit harus
makan duluan?”
Seorang pelayan di kafe itu menatap bingung kedua remaja yang tak
berhenti berdebat hanya karena perkara siapa yang harus makan duluan.
“Maaf, Mas, Mbak,” celetuknya. “Kalo enggak ada yangmau makan,
makanannya boleh saya yang makan aja enggak, ya?” tanyanya seraya
menunjukkan deretan giginya tanpa rasa bersalah.
Akhirnya, Alea dan lelaki yang ada di hadapannya punperlahan memakan
makanan yang sudah tersedia di atas meja sedari tadi. Mereka sejenak saling
bertatapan.
Revo Adriano
Terkadang, kenyataan memang sangat sulit untuk dipercaya.

Pagi ini, Alea harus masuk sekolah dan menyerahkansurat itu kepada Aria.
Namun, bahkan sampai kini pundia tak kunjung menemukan sang wakil
ketua. Kakinyamasih terasa sakit, tapi dia tahu dirinya harus tetap pergike
sekolah. Selain karena dia harus mengaku kepada Aria bahwa dia belum
menemukan wakil ketuanya, dia jugaharus mengumpulkan tugas sekolah.
Alea menghampiri Aria yang sudah terlebih dahuluberada di depan ruang
OSIS. “Kak Aria, saya belum dapat tanda tangan dari wakil Kakak,” ujar
Alea gugup.
“Kamu enggak sanggup?” tanya Aria ketus.
“Saya bisa, kok, saya cuma minta perpanjangan waktu,”jawab Alea, lalu
menundukkan kepalanya.
“Kamu baru masuk aja udah ngelunjak. Ya, udah, saya kasih waktu ke
kamu dua hari lagi. Tapi, gantinya, kamu harus lari keliling lapangan dua
puluh putaran,” suruh Ariatanpa melihat kaki Alea yang tengah berbalut
perban.
“Dua puluh putaran, Kak?”
Aria mengangguk tegas. “Iya, kenapa? Kamu enggak sanggup juga?”
Alea berpikir sejenak, bagaimana dia bisa berlaridengan kondisi kakinya
yang seperti ini? Alea menatapAria sejenak, mencoba meminta penawaran.
“Kak, tapikaki saya lagi sakit.”
“Lembek banget, sih, kamu. Saya enggak peduli. Pokoknya kalo kamu
enggak lari, ya, enggak ada perpanjangan waktu.” Lelaki itu tampak marah
dengan mata yang membelalak ke arah Alea.
“Iya, deh, saya lari.”
Alea pun mulai berlari mengitari lapangan. Namun, baru tiga putaran saja,
dia sudah jatuh tersungkur hingga sulit untuk bangun. Dan, sialnya, Alea
tidak melihat Aria di sana. Ternyata, Aria tidak mengawasinya.
“Ah, gila, sakit banget.” Dia memegangi kakinya. Namun, tak lama,
seseorang datang menghampirinya.
“Lo bego banget, sih. Udah tahu kaki lo masih pincang,ngapain, sih, lari-
lari?” sentak lelaki itu. Iya, itu lelaki yangkemarin menabraknya.
“Gue, tuh, lagi dihukum, awas!” jawab Alea. Dia ingin beranjak bangun,
tapi nyatanya tak bisa, dia pun kembali terjatuh. Lelaki itu menarik napas
sejenak, lalu membantu Alea untuk bangun dan menyuruh gadis itu duduk di
bangkuyang terletak di tepi lapangan.
“Lo jalan aja masih pincang, ngotak dikit kenapa, sih. Makanya, jangan
bandel, dihukum guru, kan?” Lelaki itu memarahi Alea.
“Sok tahu banget, sih, lo. Bukan guru yang ngehukum, tapi senior yang
hukum gue. Udah, deh, gue, tuh, haruslari lagi. Nanti kalo dia lihat gue
enggak lari, bisa abis gue. Minggir enggak lo?”
“Senior lo enggak punya otak apa gimana, sih? Udah lo diem aja, nanti
gue yang urus senior lo. Gila emang. Lo salah apa, sih, sampe dia nyuruh lo
lari-lari? Dia enggak lihat kaki lo lagi sakit begitu? Udah, deh, enggak usah
takutsama senior,” ujar lelaki itu dengan begitu perhatian.
“Enggak tahu, ah, gue pusing. Dari kemaren, guenyari orang, tapi enggak
ketemu,” jawab Alea. Lelaki itumengerutkan dahinya.
“Lo nyari siapa emang? Siapa tahu gue kenal.”
“Enggak, senior gue bilang, gue harus cari sendiri,”tepis Alea.
“Yaelah, santai aja kali. Gue juga enggak bakal ngomong-ngomong ke
senior lo. Emang lo nyari siapa, sih?” tanyanya penasaran.
Alea berdecak kesal. “Lo enggak perlu tahu.”
“Enggak usah takut sama senior, dia juga manusia kali.Siapa, sih,
emangnya yang lo cari?”
Alea menatap lelaki itu sejenak, lalu menghela napas.
“Jadi, gue, tuh, baru seminggu di sini, terus gue mau masuk OSIS. Nah,
ketuanya bilang, gue harus minta persetujuan sama wakilnya dulu. Tapi, gue
enggak tahu wakilnya siapa, gue udah nyari di mana-mana, tapi gue enggak
—” ujar Alea terpotong. Dia kaget dan matanya membulatketika lelaki itu
merebut surat yang tengah Alea pegang. Lelaki itu membacanya, lalu
menandatanganinya.
“Eh lo gila, ya? Itu, kan, enggak boleh di coretcoret. Aduh.
Kenapa lo asal tanda tangan aja, sih? Nambahin masalah aja tahu enggak,
sih, lo,” dumel Alea.
“Nambahin masalah gimana, sih?”
“Ya, lo nambahin masalah, lah. Kalo ketos gue tahu, dia bisa tambah
marah sama gue. Kertas itu enggak bolehdicoret-coret. Kalo waketos gue
marah terus malah enggakmau tanda tangan gimana? Lo mau tanggung
jawab?”
Lelaki itu justru tertawa. “Yaelah, kocak banget, sih, lo.Nih, ya, ketos lo
enggak bakalan marah sama lo. Apalagi waketos lo.”
“Hah? Enggak bakalan marah gimana, sih? Ketos gue itu galak banget.
Gimana kalo misalnya wakilnya lebihgalak dari dia? Mereka pasti bakalan
marah, lah, gara-gara kertas itu dicoret-coret!”
“Katanya lo lagi nyari Wakil Ketua OSIS, kan?” tanyanya.
“Iya.”
“Ya, udah sana kasih ke Aria.”
Alea mengerutkan dahinya. “Apaan, sih? Ya, lo sama aja palsuin tanda
tangan, dong!” jawab Alea kesal. “Loemang pengin lihat gue dimarahin abis-
abisan lagi, ya?”
“Palsuin apaan, sih? Aneh lo. Udah kasih ke Aria sana. Bilang sama dia,
otak dipake jangan ditaro dengkul. Senioritas aja terus sampe mampus,” ujar
lelaki itu dengan beraninya. Alea menatapnya bingung. Sepertinya, lelaki itu
sadar gadis di sebelahnya tengah kebingungan.
“Gue wakil ketua OSIS,” ujarnya.
Alea menggeleng tak percaya. Dia mengamati lelaki itu dari atas hingga
bawah.
“Hah? Apa?”
“Gue wakil ketua OSIS,” ulangnya lagi.
“Boong. Masa, wakil ketua OSIS begajulan kayak lo?”
“Dih, terserah kalo enggak percaya.”
“Emang enggak percaya.” Alea melongo sekaligusberpikir.
“Di mana-mana anak OSIS itu keren, pinter, berwibawa.Mana ada wakil
ketua OSIS kayak lo?”
“Ya, udah, terserah lo, lah. Nih.” Lelaki itu mengembalikan surat itu
kepada Alea, lalu pergi meninggalkan Aleasendiri di lapangan.
Alea menatap sosok itu dari belakang. Masa, iya, lelakiseperti dia wakil
ketua OSIS sekaligus ketua koordinasi?
Setelah itu, dengan perlahan Alea berjalan untukmemasuki ruang
kelasnya. Alea menghela napas sejenak, kemudian duduk di bangku
kelasnya. Dia terus berpikir, apakah mungkin bahwa lelaki yang mirip
dengan mantannya itu seniornya? Wakil ketua OSIS pula.
“Gila, gila, gila!” seru seorang cewek di kelasnya. “Gueketemu sama Kak
Revo tadi. Ganteng banget, coy!”
“Ih, gue juga ketemu Kak Revo di parkiran. Kak Revo punya gue
pokoknya.”
“Enggak. Dia pangeran di hati gue.”
Alea bergidik geli mendengar percakapan teman-temansekelasnya yang
sedari tadi membicarakan seseorang bernama Revo. Sepertinya, sudah setiap
hari dia mendengar nama itu. Alea menoleh ke arah Acha, teman sekelasnya
yang tengah memainkan ponsel.
“Cha!” panggil Alea.
“Hm?” Acha menyahut, masih sibuk dengan ponselnya.
“Revo—siapa, sih? Kok, tiap hari gue denger Reva RevoReva Revo,”
dumel Alea.
Acha terkekeh kecil. “Orang ganteng, Le. Kayak enggaktahu aja nasib
orang ganteng di Gempita gimana. Samakayak cewek cantik macem gue ini,
jadi buah bibir setiap hari,” sahut Acha.
Alea bergedik geli. “Najong!”
“Lo anak OSIS, kan? Masa, enggak kenal Revo, sih?” tanya Acha
bingung.
Alea mengerutkan dahinya. “Emangnya, Revo siapa, sih?”
“Enggak usah gitu. Jelek. Revo, kan, Waketos Gempita.”Acha
menjelaskan. Alea hanya mengangguk seraya mencerna perkataan Acha.
Setelah mencerna ucapan Acha, Alea mengingat sesuatu. Berarti, Revo orang
yang dia cari-cari.
“Lo tahu enggak orangnya yang mana? Seriusan dia waketos?” tanya Alea
menggebu-gebu. Acha mengangguk.
“YANG MANA? ANTERIN GUE KE DIA BALIK SEKOLAH, YA?
PLEASE!” teriak Alea di telinga Acha. Acha mendorong kepala Alea pelan.
“Enggak usah pake teriak di kuping bisa enggak, ya, Ibu Alea? Lagian
ngapain, sih, lo nyariin waketos sendiri? Setahu gue, nih, ya, di OSIS ada
peraturan kalo sesama anggota OSIS itu dilarang pacaran. Masa, lo enggak
tahu, sih?”
“Cha, siapa yang mau ngajak dia pacaran coba? Ketos gue nyuruh gue
minta persetujuan dari waketosnya dulu, baru, deh, gue resmi jadi OSIS. Lo
mau, kan, nganterin gue?Dia kelas berapa?” tanya Alea.
“Iya, Alea. Iya. Dia XII IPA 2, nanti gue tunjukin, deh,orangnya yang
mana, yang paling ganteng pokoknya,”jawab Acha.
“Makasih, Cha. Lo baik, deh.” Alea memeluk tubuh mungil Acha.
“Lebay lo, ah!”

Sepulang sekolah, Acha menemani Alea ke depan kelas XII IPA 2. Matanya
mencari seseorang di antara ramainya siswadan siswi SMA Gempita yang
berlomba-lomba untuk segerapulang ke rumahnya masing-masing. Tak lama
kemudian, mata Acha membulat ke satu titik, lalu menepuk pundak Alea.
“Le, itu!”
“Itu Kak Revo!” Acha menunjuk seseorang yang hendakberjalan.
“Yang mana?” Alea menyipitkan matanya.
“Itu! Yang pake jaket biru dongker. Cepetan kejar, dia mau balik, tuh.”
Acha menunjuk orang itu.
“Ayo, temenin.”
“Kejar sendiri, ah, Le. Laper, nih, gue, mau makan,” cengir Acha. Alea
mengangguk pasrah, temannya itu memang suka sekali makan.
“Ya, udah, deh. Makasih, Cha.” Alea berjalan cepatmengejar Revo. Dia
berjalan sangat cepat. Namun, ternyataRevo berjalan jauh lebih cepat.
“Permisi, permisi.” Alea menyelak orang-orang yang tengah berjalan di
depannya.
“Kak!” Lelaki itu tidak menoleh ke arah Alea dan tetap berjalan.
Sepertinya, dia memang tidak mendengar.
“Kak!” Alea sedikit berlari walaupun sebenarnya kakinya masih sangat
sakit untuk dibawa berlari.
“Kak Revo!”
Lelaki itu berhenti berjalan dan menoleh ke arah Alea. Napas Alea masih
menggebu-gebu, bulir-bulir keringat punbercucuran dari wajahnya.
“Kak, saya boleh minta tanda tang—” ujar Alea terpotong. Lelaki itu
menoleh ke arahnya dengan tatapan datar. Ternyata, memang benar. Lelaki
itu benar-benar WakilKetua OSIS Gempita dan lelaki most-wanted yang
paling sering dibicarakan.
“Lo?” Alea berhenti berbicara.
Revo menarik napas gusar. “Baru percaya?” tanya Revo.
Alea mengangguk. Revo menatapnya tajam.
“Udah berapa kali, sih, gue bilang? Kaki lo itu lagi sakit,enggak usah
petakilan!” sentaknya. Alea masih melongo menatap wajah lelaki itu.
“Lo enggak percaya banget, sih? Udah sana kasih suratnya ke Aria,”
suruh Revo. Alea mengangguk.
“Jadi, lo senior gue?” tanya Alea tak penting.
“Iya, makanya lo enggak usah songong,” jawabnya.
Jadi, gue bakal ketemu mulu, dong, sama dia? Ya Tuhan, gimana gue
mau move on? batin Alea mengeluh.
“Sana, kasih ke Aria. Atau, gue batalin, nih, tanda tangannya?” ancam
Revo.
“Eh, jangan, dong, Kak.”
“Pake kakak-kakakannya kalo lagi di OSIS aja. Enggak cocok muka lo
jadi junior budiman,” tepis Revo.
“Panggil Revo aja.”
“Oh, oke. Gue Alea,” ujar Alea seraya mengulurkan tangannya.
“Udah tahu!”
“Tahu dari mana?”
Revo terkekeh kecil.
“Tahu, lah, apa coba yang enggak gue tahu?” tanya Revo dengan percaya
dirinya.
“Lo nguntit gue, ya?” Alea menajamkan tatapannya.
“Enggak usah kepo lo. Kayak Dora!” sahut lelaki itu.“Udah, kan? Gue
masih ada urusan.” Dia segera berjalan meninggalkan koridor.
“Eh, entar dulu!”
“Apa lagi?” tanya Revo.
“Lo belum nulis nama lengkap lo di sini,” jawab Alea seraya
menunjukkan kertas yang sudah Revo tanda tangan.
“Nama lengkap gue enggak tahu juga?” tanya Revo.
Alea menggeleng seraya tersenyum.
“Enggak usah senyum. Jelek lo. Sini kertasnya!” ujar Revo ketus, lalu
menuliskan nama Revo Adriano di sana.
“Makasih.” “Makasih doang? Junior laknat emang lo,” dumel Revo. Alea
berdecak kesal. “Lah, terus maunya apa?”
“Makasih, Waketos ganteng,” jawab Revo dengan PD.“Kenapa, sih, lo,
tuh, narsis banget?”
“Cepetan. Gue batalin, nih, tanda tangannya. Gue bakal bilang ke Aria
kalo lo maksa minta tanda tangangue,” ancam Revo.“Dih, ogah. Apa banget,
sih, lo?” dumel Alea tak terima.“Cepetan!”“Iya, iya. Makasih, Waketos gan
—teng,” ujar Alea penuh penekanan.“Udah, jauh-jauh sana lo dari gue!” usir
Revo.Alea menarik napas kesal. Walaupun, Revo memang sangat
menyebalkan, setidaknya Alea sudah melaksanakansyarat dari ketua OSIS-
nya.

Sepulang sekolah, Alea harus berkumpul dengan anggota-anggota OSIS yang


lain. Dia memasuki ruang OSIS dan menghampiri Aria yang sudah
menatapnya tajam dari jauh.
“Saya lihat, tadi kamu enggak lari sampe dua puluhputaran. Kamu mau
coba bohongin saya, ya?”
“Ini suratnya, Kak,” Alea mengalihkan pembicaraan dan menyerahkan
surat itu. Aria membukanya. Terlihatjelas di sana sudah ada dua tanda tangan
Revo. Tandatangan sebagai Wakil Ketua OSIS dan Ketua KoordinasiSeksi
Bidang Penyiaran dan Musik.
Aria terdiam. “Kamu udah dapat tanda tangan Revo?
Cepet banget? Kamu pake cara curang?” tanyanya.“Tanya aja sama Kak
Revo-nya,” jawab Alea santai.Aria mendengus kesal. “Ya, udah, kamu resmi
jadi pengurus OSIS sekarang,” ujarnya.Alea tersenyum bahagia. “Makasih,
Kak.”
Sedari tadi, Alea menunggu sosok itu datang. Di mana dia? Apa dia tidak
ikut pertemuan hari ini?
“Lo, kok, bisa dapetin tanda tangan Kak Revo?” tanya Bella. “Waktu gue,
sih, susah.”
“Oh, ya? Susah?” tanya Alea penasaran. Susah dari mananya? Malahan,
Revo sendiri yang sengaja menandatangani surat itu.
“Iya, dia malah ngerjain gue buat joget-joget di depankelasnya. Gila
emang, kan, waketos lo?” jawab Bella.
Alea tertawa mendengar cerita Bella.
“Sumpah, ya, ganteng-ganteng gendeng itu orang,”dumel Bella.
Alea masih tertawa. “Emang, dia orangnya kayak gimana?” tanya Alea
lagi.
“Dia itu sebenernya asyik sama temen-temennya, baik juga. Tapi, dia itu
moody tingkat akut. Untungnya, lo ketemu dia pas mood-nya lagi bagus.
Kalo enggak, minta ditendang kepalanya. Sumpah,” jawab Bella.
Kenapa gue malah penasaran sama dia? Amit-amit, iiih,batin Alea
menolak.
“Tapi, di sini ada aturan enggak boleh ada yang pacaran sesama anak
OSIS. Padahal, kalo boleh, kan—”
“Dia enggak mau sama lo. Maunya sama gue!” sahut Vei, yang juga
anggota OSIS. Alea menggeleng-geleng. Di mana-mana, Revo memang yang
paling diinginkan.
“Tapi, sayangnya Kak Revo jarang ngumpul gini. Palingdia itu ada pas
ngumpul wajib hari Rabu doang. Kayaknya dia sibuk, deh.”
Alea mengangguk mengerti.
Alea berjalan menelusuri koridor sekolah. Anak-anak OSIS sudah pulang
terlebih dahulu, tapi Alea lebih memilih untuk tinggal di sekolah lebih lama
karena hujan tengah turun. Hujan membuat suasana hatinya lebih melankolis.
Dia jugatidak mengerti mengapa perasaannya bisa berubah begitu saja hanya
gara-gara itu. Mungkin, luka itu memang belum benar-benar hilang dari
hatinya. Mungkin, memang benar bahwa hujan bisa membangkitkan jutaan
kenangan dan jutaan luka yang terpendam lama.
Teruntuk kamu, yang sudah menggenggam hatikudengan erat.Aku
memercayainya dengan memberikan untukmuseutuhnya, tapi mengapa
kamu hancurkan semuanya?
Apakah kamu tahu bagaimana rasanya jadi aku?Pernah sedekat itu
denganmu, tapi ternyata kamu tidak menganggapku lebih dari orang
asing?
Aku sudah menganggapmu bagian penting dari hidupku. Namun,
nyatanya aku hanya tempat berlabuh di saat kamu bosan.
Kamu jahat. Tapi, aku bodoh karena tetap mencintaimu.Aku ingin
sekali membencimu, tapi rasa benci ituselalu kalah dengan keinginan
untuk terus bersamamu.
Aku rindu kamu, meski tak ingin benar-benar memilikimu lagi. Namun,
sejenak menganggapku ada, apakah sulit?
Aku masih di sini. Biar kusimpan dan nikmati rasaini entah sampai
kapan.
Alea Annastasya.
Alea meremas kertas yang baru saja dia tulis. Tanpa dia sadari, air
matanya ikut terjatuh bersamaan dengan turunnya air hujan.
“Woi. Punya otak enggak, sih, lo? Ngapain lo ujanujanan?” pekik
seseorang dari kejauhan. Alea menataporang itu sejenak. Dia tak kuat untuk
menatapnya lebih lama lagi. Karena, setiap melihatnya, Alea selalu teringat
masa lalunya.
Revo terpaksa menerobos hujan dan menghampirigadis yang berada di
tengah lapangan itu. “Nanti lo sakit. Ngapain, sih, ujan-ujanan kayak anak
kecil?”
“Mau gue sakit, kek, mau gue jungkir balik di lapanganjuga bukan urusan
lo. Gue suka hujan.” Alea berputar-putardi tengah derasnya hujan.
“Enggak usah kayak anak kecil!”
“Tapi, ini seru, tahu.” Alea menarik Revo untuk berputar-putar
dengannya.
“Kaki lo masih sakit, enggak usah nambah-nambahin penyakit, deh.”
“Lo kenapa, sih, peduli amat sama kaki gue? Men-tang-mentang lo yang
nabrak gitu? Santai aja, gue enggak bakal nganggap lo tabrak lari,” ujar Alea.
“Lo kenapa, sih, susah banget dibilangin?” Revo terpaksa membopong
tubuh gadis itu.
“Woi, ngapain pake acara gendong-gendongan segala, sih?” teriak Alea.
Dia memukul bahu Revo karena lelaki itu tak mau menurunkannya.
“Turunin, enggak?”
Akhirnya, Revo menurunkan gadis itu di bangku koridor yang tak jauh
dari lapangan. Lelaki itu kemudianmembuka tasnya yang tadi dia tinggalkan
di bangku itu dan mengambil sebuah jaket kering.
“Mending lo pake ini. Baju lo basah banget,” suruh Revo.
Alea menggeleng kuat. “Enggak ah, enggak, mau.”
“Cepetan pake!”
“Enggak. Lo juga, kan, ujan-ujanan, mendingan lo yangpake. Lagian, itu,
kan, jaket lo,” tolak Alea.“Gue enggak kedinginan. Lihat bibir lo udah pucet,
terus gemeteran gitu.”Memang benar, sedari tadi bibir dan wajah Alea sudah
sangat pucat.
“Ganti, nanti lo sakit!”
“Lo pikir, lo manusia yang punya kekuatan supergitu? Superman? Iron
Man? Batman? Apa tokoh Avangers?Terus, kalo misalnya gue sakit karena
ujan-ujanan, lo enggak bisa sakit, gitu? Mending lo yang pake,” suruh Alea.
“Berisik banget, sih, lo. Tinggal pake juga.”
“Lo kenapa, sih, peduli banget sama gue?” tanya Alea bingung.
Revo menatap Alea sinis. “Ya, karena, lo—”
Alea membulatkan matanya ke arah Revo, menantijawaban selanjutnya.
“Ya, karena lo junior gue. Kalo sakit, kan, gue juga yangribet!” jawab
Revo ketus. “Udah cepetan pake!”
“Enggak mau. Lo aja!” tolak Alea.
“Ribet lo!”
“Apaan, sih, maksa-maksa? Lo aja!”
“Lo aja, muka lo udah kayak mayat hidup tahu, enggak?” suruh Revo
ketus.
Alea berdecak kesal. “Lo aja. Muka lo, tuh, udah keriput kayak kakek-
kakek.”
Mereka terus bertengkar, saling memberikan jaket itu kepada satu sama
lain. Hingga akhirnya, jaket itu terlempar ke dalam kubangan air yang cukup
dalam. Revo berdecak kesal, lalu mengambil jaketnya.
“Maaf,” ujar Alea.
“Ya, udah, deh, kita pulang aja,” suruh Revo.
“Kok, kita?” tanya Alea bingung.
“Iya, lo gue anterin pulang,” jawab Revo.
Alea menggeleng dengan cepat. “Enggak mau. Lo bawamotor enggak
bener,” tolaknya.
Revo menatapnya tajam. “Gue bawa mobil,” ujarnya.
“Tetep aja gue enggak mau, bawa motor aja enggak bener apala—”
ucapan Alea terpotong. Revo sudah menatapnya dengan lekat. Alea
menyadarinya, tatapanyang sama meski dari orang yang berbeda.
Kenapa lo sama banget kayak dia? batin Alea meringis.Melihat Revo,
sama saja seperti mengorek luka lama yang sudah kering.
“Apa lo lihat-lihat?” ketus Alea.
“Lo itu masih sakit, Alea, jadi selama lo masih sakit, ya, lo masih
tanggung jawab gue,” ujar Revo dingin.
Alea tersadar dari lamunannya. “Tanggung jawabapaan? Ketinggian
bahasa lo!” tepis Alea dengan cepat.
“Lo perlu gue gendong lagi?” tanya Revo.
“Enggak. Gue bisa, kok, pulang sendiri,” Alea segera melangkah
mengambil tasnya dan bergegas meninggalkan koridor sekolah.
Namun, sepertinya Revo tak mau tinggal diam. Dia berjalan mendekati
Alea yang masih sedikit pincang, lalu menggendongnya seperti tadi dan
kemarin.
“KAK REVO, ENGGAK LUCU. APAAN, SIH? GUE TERIAK, NIH.
KALO ADA YANG LIHAT GIMANA? TURUNIN ENGGAK?” Alea terus
memukul pundak lelaki yang tengah menggendongnya itu.
“Lo udah teriak,” sahut Revo, lalu membuka pintumobilnya dan
meletakkan tubuh Alea di sana.
“Lo bisa enggak, sih, sehari aja enggak usah bikin gue emosi?” tanya Alea
ketus.
“Lo aja yang emosian,” jawab Revo tak kalah ketus.
Alea menatap Revo sinis.
“Apa lo lihat-lihat?”
“Terserah lo.” Alea meluruskan pandangannya ke de-pan. Dia tak ingin
berdebat lagi.
Setelah itu, mereka saling diam sementara mobil melaju. Tak ada yang
bicara dan tak ada perdebatan lagi. Tak lama, mata Alea terasa sangat berat.
“Enggak usah nyender,” ketus Revo. Namun, tak ada respons dari gadis di
sebelahnya. “Woi, enggak usah nyen—” ujar Revo terpotong. Dia melihat
gadis di sampingnya telah tertidur lelap. Revo menghela napas sejenak,lalu
mengambil bantal di jok belakang dan memakaikannyadi kepala Alea. Dia
menyeka rambut berantakan gadis itu, lalu menggelengkan kepalanya. “Ada-
ada aja, nih, cewek.”

“Kalo banyak yang bilang gue berengsek, ngapain masih percaya sama gue?
Kapan gue minta lo buat percaya sama gue?”
“Gue percaya sama lo karena gue sayang sama lo.”
“Lo sadar diri aja, deh, lo itu jauh dari tipe cewek gue. Gue juga malu
ngakuin lo jadi pacar gue di depan temen-temen gue.”
“Kenapa lo jahat sama gue, Rey? Lo jahat. Jahat!”

Setelah lama di perjalanan, mereka akhirnya tiba di jalan menuju rumah Alea.
Namun, napas Alea menjadi pendek, gerakannya pun menjadi tak karuan.
Dia meremas kuat tangan Revo disampingnya tanpa sadar. Air matanya
mengalir. Napasnya benar-benar tak karuan.
“Heh. Woi. Bangun. Ngigo lu aneh tahu, enggak?” Revomenepuk pelan
pipi Alea agar gadis itu tersadar.
“Enggak. Lo jahat!”
“Nenek lo jahat? Bangun, woi!” Revo menggerakkan lengan Alea agar
gadis itu terbangun. Namun, tingkah Aleamasih sama.
“Ini anak kesurupan apa ketindihan, ya?” Akhirnya, perlahan Alea
membuka matanya dan memegang pipinya yang terasa panas.
“Kok, lo nampar gue?” tanya Alea linglung.
Revo semakin bingung. “Tadi, lo ngigo, gue kira loketindihan,” jawabnya.
Alea mengerutkan dahinya. Dia menarik napas sejenak,menenangkan
dirinya dari mimpi buruknya.
“Ya, sorry, abis lo ngigonya aneh.”
Alea menatap lekat mata Revo.
Gue enggak boleh samain dia kayak Reynand. Mereka orang yang beda.
Alea memegangi kepalanya yang terasa sakit.
“Lo sakit, kan? Gue bilang juga apa. Ngeyel banget, sih,” ujar Revo.
“Salah sendiri tadi lo enggak mau pake jaket.”
“Enggak, gue enggak pa-pa, kok,” tepis Alea. Dia menatap Revo sangat
lekat, tapi melihatnya justru membuat air matanya nyaris terjatuh lagi.
“Enggak pa-pa apanya, orang lo—” kalimat Revo terpotong.
“Gue cuma mimpi buruk, seriusan, deh,” tepis Alea seraya mengangkat
kedua jarinya. Namun, air matanya sudah tertahan di kantung matanya.
“Lo—nangis?”
Alea menggeleng, dia memalingkan wajahnya dariRevo. “Enggak. Gue
enggak nangis.”
“Beneran?”
Alea hanya mengangguk tanpa menoleh.
“Gue serius, Alea.” Revo menarik lengan Alea agar diamenoleh ke
arahnya.
“Gue juga serius, gue enggak pa-pa.” Alea meyakinkan.
Revo mencondongkan tubuh dan meniup sekilas mataAlea sehingga mata
Alea berkedip dan air matanya ikut mengalir.
“Perih, dodol!” Alea mengusap matanya sendiri.
“Ya, makanya lo jangan nangis, dong. Gue, kan,jadi bingung,” ujar Revo.
“Gue, kan, udah bilang, gue mimpi buruk. Gue enggak nangisin lo, kok.
Jijik juga,” sambung Alea.
“Makanya, lo kalo mau tidur baca doa dulu,jangan asal tidur,” kata Revo
lagi. “Udah gitu, kalo mau tidur enggak usah kebanyakan mikirin gue.”

Alea mendengus geli. “Dih, najong, amit-amit tujuh turunan tujuh


tanjakan.”Tak lama, mereka sampai di depan rumah Alea. Alea melepas
sabuk pengamannya, lalu membuka pintu mobil.“Makasih,” ujar Revo.Alea
menoleh sejenak.“Sama-sama,” balas Alea. “Eh, kok?” Alea menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. “Dasar aneh.”
Happy Birthday
Mata perantara pertama yang mungkin bisa membuatmu jatuh cinta.

Setelah dua minggu, Alea, yang kakinya sudah membaik, jadi jarang
bertemu manusia menyebalkan itu.
Revo sering melakukan dispensasi untuk mengikutiolimpiade atau
kegiatan lomba lainnya. Jarak kelas merekajuga cukup jauh, sehingga mereka
sangat jarang bertemu. Dan, malam ini, Alea jadi bingung. Kenapa dia malah
memikirkan Revo?
Hari ini, 22 Mei. Usia Alea genap 16 tahun, tapi Alea bahkan hampir
melupakan ulang tahunnya sendiri.
Alea mencoba mengambil ponselnya yang terletak di meja samping
tempat tidurnya. Matanya membulat ketika dia melihat notifikasi dari aplikasi
LINE miliknya.

revoadriano: Happy birthday ...

“Hah?” Alea bingung. “Dari mana dia tahu gue ulangtahun?” Dia
membuka notifikasinya lebih jelas karena tulisan Revo yang muncul di
notifikasi hanya sepotong. Tapi, mengapa Alea sangat penasaran ingin
membukanya, ya?
OSIS GEMPITA 67

revoadriano: Happy birthday, Kak Farrel.


farrelradena: Lah, Rev?
rasyaaf: Heh, Cumi. Berisik banget, sih, lo pagi-pagi.
sissyangelina: Emang, berisik banget lo bulepotan!

Alea menganggukkan kepalanya. “Oh, Kak Farrel ulangtahun juga?”


Dia membuka notifikasi Instagram-nya. Sudah banyaksekali temannya
yang mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.

Direct 29+ Message


Happy birthday, Alea!
Begitulah isi pesan yang dikirimkan oleh teman-temannya.

♥Disukai oleh 299 lainnya.


tasyalea_ Here's to more incredible years ahead! Selamat hari
burung!

CLING! Notifikasi dari Direct Message-nya muncul kembali.

farrelradena Happy birthday dedek gemes. Jangan kurus entar


enggak gemesin ♥

Alea menggeleng. Sebenarnya, Farrel hampir samadengan Revo.


Bedanya, dia tidak moody dan jauh lebih gila dari Revo.
tasyalea_
Wah, bisa aja, nih, Kak Farrel, by the way, Happy Birthday
juga!♥

farrelradena
Bisa, dong, jangan sampe enggak bisa buat Alea mah, tapi ulang
tahun saya September, Le.

Alea mengerutkan dahinya. Jika Farrel tidak berulang tahun hari ini,
mengapa Revo mengucapkan ulang tahun kepada Farrel di grup OSIS?
Membingungkan.
“Serius Kak Farrel enggak ulang tahun?” Alea menggaruk belakang
kepalanya yang tidak terasa gatal samasekali.
Apa mungkin sebenarnya ucapan ulang tahun itubukan untuk Farrel,
melainkan untuk Alea? Jika memang untuk Alea, mengapa Revo tak
mengucapkannya secaralangsung saja?
Hari ini, Alea cukup dikagetkan oleh teman-temannyayang ternyata
mempersiapkan banyak kejutan untuknya. Padahal, dia baru sebulan
bersekolah di sini.
Karena terlalu banyaknya kejutan, Alea hampir lupa bahwa hari ini dia
masih ada kegiatan OSIS. Jam sudahmenunjukkan pukul 3.00 sore. Harusnya
dia ikut berkumpulpukul 1.00 siang tadi. Alea menepuk kepalanya sendiri.
“Duh, mampus gue!” ujar Alea.
“Jangan mampus dulu, lo belum bongkaran, nih,”sahut Acha.
“Cha, gue harusnya ngumpul OSIS setengah dua tadi,”kata Alea.
Acha menggelengkan kepalanya. “Tuh, kebiasaan, kan,lo mah. Ya, udah,
sana!” suruh Acha.
“Serius gue harus tetep ke sana?” tanya Alea lagi.
Acha memutar kedua bola matanya. “Iya, serius. Kalo lokabur hari ini
terus ketahuan ketos lo, malah makin parah. Tahu sendiri ketos lo gimana?”
Alea mengangguk mengerti, lalu mengambil tasnya.Membayangkan
karakter Aria yang memang keras kepala dan otoriter, Alea tahu bahwa
perkataan Acha benar.
“Gue duluan, ya, Cha. Makasih banyak,” ujar Alea, lalu bergegas pergi
meninggalkan kelasnya.
Dia melangkah memasuki ruang OSIS dan terlihat Ariasudah menatapnya
sinis dari jauh.
“Kamu serius di OSIS enggak, sih? Jam segini kamu baru dateng?” tanya
Aria ketus. “Ayo, ikut saya!” Lelaki itumenarik pergelangan tangan Alea
dengan kasar.
“HAPPY BIRTHDAY, ALEA!” Seketika, wajah Aleadipenuhi oleh
shaving cream. Dia terkejut ketika Aria menariknya ke koridor sekolah yang
tak jauh dari ruang OSIS. Ternyata sudah banyak sekali anggota OSIS yang
mempersiapkan kejutan untuk ulang tahun Alea.
“Make a wish,” suruh Bella. Alea terkekeh kecil. Dia mengharapkan
sesuatu di dalam hatinya.
“Gue harap tahun ini jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. Gue mau
jadi pribadi yang lebih baik. Gue harap bisa lupain Reynand. Gue harap ada
sosok yang lebih baik.”
Alea meniup lilin itu dan semua tampak bertepuktangan gembira.
“Saya enggak nyangka bakalan ada surprise kayak gini.Makasih banyak,
Semuanya,” ujar Alea. Dia tak sadar dirinya hampir menangis.
Namun, tunggu, sedari tadi dia tidak melihat sosokyang biasanya
tertangkap oleh matanya. Di mana Revo?
“Bebeb gue mana, sih? Kangen, nih,” tanya Vei.
Bella berdecak kesal. “Enggak usah ngakuin pacarorang!” sahut Bella.
Alea menggeleng. Masih sempat-sempatnya sajateman-temannya ini
berdebat.
Panjang umur, tak lama kemudian lelaki itu datang dengan wajah
datarnya. Revo duduk di salah satu kursi di koridor itu. Meski begitu, dia
hanya terdiam, sementara Alea masih sibuk tertawa dengan teman-temannya
dan beberapa kakak kelasnya yang ikut serta memberikan kejutanini
untuknya. Namun, tawanya seakan terhenti saat dia melihat mata yang diam-
diam memperhatikannya sedari tadi.
Tatapan itu masih sama, sama lekatnya dan samatajamnya seperti
sebelumnya. Alea mencoba membalastatapan lekat itu.
Dia kenapa, sih, ngelihatin gue kayak gitu? batin Alea.
Lelaki itu hanya terdiam, tak ikut merayakan seperti teman-temannya
yang bersorak heboh. Sebenarnya, apayang terjadi padanya? Dari raut
wajahnya, Revo seperti tengah menutupi sesuatu. Dan, mengapa matanya
selalu menatap Alea dengan begitu lekat?
Alea memotong kue ulang tahunnya dan membagikannya kepada rekan-
rekannya. Dia juga berencana untukmemberikannya kepada Revo yang
sedang sibuk dengan ponselnya di ujung sana. Alea pun melangkah
untukmendekati lelaki itu.
“Kak Revo mau kue, enggak?” tanya Alea.
Revo menatap layar ponselnya, lalu mematikannya.Dia mengalihkan
pandangannya pada gadis di depannya.
“Enggak, gue kenyang,” tolak Revo.
“Ih, serius.”
“Beneran, gue kenyang.” Revo kembali menolak sembari memainkan
ponselnya. Alea berdecak kesal dan dudukdi bangku di samping Revo.
“Ngapain, sih, lo di sini?” tanya Revo, sambil menatap Alea dengan
tatapan tajamnya.
“Ngasih kue,” jawab Alea memaksa.
Revo memutar kedua bola matanya. Akhirnya, diamengambil kue di
tangan Alea.
“Lo belum makan kuenya, kan?” tanya lelaki itu, yang tengah memotong
kue menjadi potongan kecil.
Alea menggeleng.
“Lo makan dulu, baru gue makan,” suruh Revo.
Alea mengerutkan dahinya.
“Ribet, deh. Makan tinggal makan.”
“Udah berani, ya, nyuruh-nyuruh senior?” tanya Revo.
Alea berdecak kesal.
“Ya, udah, deh, gue makan di sana. Jangan lupa dimakan, ya, Bapak
Waketos yang Terhormat,” ujar Aleayang hendak berjalan. Namun, Revo
menahan tangannya.
“Bukan gitu maksud gue.”
“Terus?” tanya Alea.
Revo tersenyum, yang membuat Alea semakin bingung.Seketika, wajah
Alea dipenuhi kue cokelat. Revo menumpahkan kue itu di wajah Alea dan
memutar-mutarkannya agar cokelatnya merata di wajah Alea.
Sialan, batin Alea menggerutu.
“Lihat kamera, dong.” Revo sudah memotret wajahAlea yang penuh
cokelat ketika gadis itu menoleh.
“REVO!”
“Kak Revo,” ujar Revo, menekankan bahwa kini mereka berada di
lingkup ruang OSIS, walaupun jarak merekalumayan jauh dengan beberapa
anak OSIS lainnya.
“Bodo amat. Lo kenapa, sih, ngeselin banget jadi manusia?” tanya Alea
kesal. Revo justru kembali asyik denganponselnya. Hal itu tentu membuat
Alea sangat emosi. “Eh, loitu bisa denger enggak, sih, di sini ada orang lagi
ngomong!”sentak Alea. Revo malah mengarahkan kamera itu lagi ke wajah
Alea. CEKREK. Lelaki itu mendapatkan foto wajah Alea yang penuh
cokelat, ditambah lagi dia sedang marah.
“Sialan!”
“Kasar!”
“Bodo amat. Hapus enggak fotonya?” paksa Alea. Namun, Revo tetap
tidak menggubrisnya.
“Hapus. Hapus fotonya!” paksa Alea, lalu mencobamengambil ponsel
Revo untuk menghapus foto-foto menyebalkan itu.
“Apaan, sih, lo megang-megang HP gue?” Revo menepistangan Alea
dengan cepat.
“Hapus, enggak?” suruh Alea lagi.
“Daripada lo nyuruh-nyuruh gue, mendingan lo makandulu itu kue di
muka lo!” ledek Revo. “Muka lo jelek, tahu enggak?”
Alea tak peduli dan tetap mencoba merebut ponsel Revo. Saat itu, kakinya
tergelincir karena lantai yang sedang dia pijak itu sangat licin. Spontan, Revo
menahan Alea agar dia tidak terjatuh.
Keduanya merasa kaget. Namun, Revo tetap bisa memasang wajah
datarnya walaupun sebenarnya dia jugaterkejut. Revo tahu apa yang Alea
rasakan sekarang. Gadis itu tak sepandai dirinya dalam mengatasi
kecanggungan dan hal seperti ini. Wajahnya terlihat menegang, panik,
memerah.
“Gu—gue mau bersihin muka.” Dengan wajah merahnya, Alea segera
berlari meninggalkan Revo. Dia menuju ke kamar mandi dan membilas
wajahnya dengan air. Dia menatap dirinya di cermin, lalu menepuk pipinya.
“Tenang, Alea, tenang.” Alea membasuh wajahnyakembali dengan air
untuk menenangkan dirinya. Hingga dia sadar ada tangan yang menepuk
pundaknya.
“Enggak!” teriak Alea kaget.
“Apaan, sih, lo? Lo ke mana aja? Gue cariin dari tadi lo enggak ada. Yang
ulang tahun siapa, yang ilang siapa, anak-anak OSIS udah pada pulang,” ujar
Bella.“Oh, ya? Maaf, Bell. Gue duluan, ya,” Alea tergesa-gesa.Bella
menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
“Itu anak kenapa? Mabok? Nambah umur bukannya makinbener. Mana
masih muda, untung tambah tua.”
Confused
Bukankah pergi meninggalkan memang lebih baik, dibandingkan terus
bertahan ketika kamu sudah disia-siakan?

Keesokan harinya, mereka harus menghadiri rapat per-divisi tentang


Penyiaran dan Musik. Meski sudah setengah enam sore, rapat itu tetap
diadakan.
“Jadi, kalian semua mau nyiarin top chart musik aja?”tanya Revo.
Farrel melihat Alea yang sedari tadi diam dan hanya mendengarkan.
“Cantik, jangan diem aja, dong. Menurut kamu gimana?” tanya Farrel
seraya mengedipkan matanya.
“Enggak usah genit. Muka lo enggak banget,” sahutRasya. Farrel
berdecak kesal dan menatap Rasya sebal.
“Sebenernya, saya lebih suka fact about this world atau fakta-fakta unik
yang enggak bisa dipercaya gitu,” jawab Alea.
“Lima dari enam orang maunya new top chart semua, lho. Lo yakin?”
tanya Revo seraya menatap Alea lekat.
Alea hanya mengangguk.
“Oh, mungkin emang lo beda, ya, dari yang lain,” ujar Revo.
Alea berpikir sejenak. Entah, pikirannya yang tengah tak karuan atau
bagaimana, kata-kata Revo tersebut membuatnya berpikir. Beda dari yang
lain? Maksud dia apa coba?
Revo mendekati papan tulis dan membulatkan alternatif yang dipilih oleh
Alea, meski pendapat Alea kalah telak dengan yang lain.
“Kenapa harus pendapat gue? Kan, yang lain maunya new top chart?”
tanya Alea.
Revo mengalihkan pandangannya ke arah Alea. “Suka-suka gue.”
“Saya setuju aja, kok,” sahut Bella.
“Iya, kami berdua juga setuju aja,” Rasya menimpali. “Tapi, mungkin
gini. Farrel, gue, sama Bella akan nyari barang-barang di majalah yang
mungkin bisa dijadiin buktiatau fakta menarik. Nah, lo berdua tunggu di sini,
tentuin musik yang asyik,” ujar Rasya menjelaskan.
“Gue setuju,” Revo menyahut.
“Ya, udah kita bertiga cari referensi dulu, kalianjangan anehaneh, lho, ya,
di sini,” ujar Rasya, lalu beranjak berdiri.
“Tahu lo, Rev. Jangan rebut dedek gemes gue.” Farrel mengancam.
“Hm.” Revo hanya berdeham saja tanpa menjawab.
Tak lama, hujan lebat yang disertai petir mengalirderas. Alea melihat
sejenak keadaan di luar. Dia kemudianmenatap lelaki di depannya.
Muka lo emang sama banget kayak Reynand, batin Alea saat menatap
mata Revo yang tengah membulat ke arahnya.
Mendadak, aliran listrik SMA Gempita mati total. Mungkin karena
sambaran petir yang begitu besar.
Perasaan Alea semakin tak karuan. Dia mencoba memejamkan matanya.

Sore itu, Alea tak langsung pulang dari sekolahnya—SMA Garuda Merdeka
di Bandung. Dia harus mengikuti pelajaran tambahan musik yang diadakan
oleh Pak Didi. Saat itu, ponsel Alea bergetar bertanda ada notifikasi yang
masuk. Alea segera membuka notifikasi itu.
reynando: Alea, aku enggak bisa jemput kamu. Aku masih sakit.
tasyalea: Iya, enggak pa-pa, Rey. By the way, kamu di mana
sekarang?
reynando: Kamu lanjut belajar aja, aku enggak pa-pa.

Perasaan Alea menjadi tidak tenang. Pasalnya Reynand baru saja


sembuh kemarin. Akhirnya, Alea harus berbohong dan izin pulang kepada
Pak Didi.
Alea mencoba keluar dari koridor sekolah, tapi nyatanya waktu itu hujan
lebat disertai petir.
Dia memilih untuk berteduh di kafe dekat sekolahnya.Namun, matanya
membulat ke suatu arah.
“Gladys, aku sayang sama kamu,” ucap lelaki yang sungguh tak asing di
mata Alea.
“Aku bukan perusak hubungan orang, Rey,” tolak Gladys.“Alea sahabat
aku.”
“Kamu tega lihat aku terus-terusan enggak bahagia pacaran sama cewek
kayak Alea?” tanya Reynand seraya menahan lengan Gladys.
“Alea cewek baik, Rey.” Gladys menepis.
“Kamu tahu Alea gimana, Glad. Kamu sahabat baik dia dari dulu. Dia
itu egois, cuma mentingin dirinya sendiri. Dia pacaran sama aku cuma
karena uang aku doang, Glad.
“Aku tahu pasti ini berat buat kamu. Tapi, apa karena kamu sahabat Alea
terus kita enggak boleh bahagia? Siapa Alea? Cuma cewek enggak bener!”
sentak Reynand.
Hati Alea terasa seperti tercabik-cabik oleh ribuan pisau. Tidak, dia tidak
pernah memiliki niat seperti itu. Lagi pula, cewek seperti apa yang Reynand
maksud? Alea tidak pernah berpacaran, kecuali dengan dirinya, itu pun tidak
pernah kelewat batas.
“Kamu pantes bahagia, Glad. Jangan korbanin kebahagiaan kamu
sendiri.”
“Aku sayang kamu, Reynand.” Gladys menggenggamtangan lelaki di
depannya. Kemudian, Gladys mengalihkanpandangannya ke arah gadis yang
sedari tadi tengah memperhatikan mereka.
“Alea?”
Mata Alea sudah berkaca-kaca, tubuhnya yang basahkuyup oleh hujan
sudah tidak dia pedulikan lagi.
“Maaf, gue ganggu. Semoga kalian bahagia, ya.” Aleatersenyum, lalu
bergegas pergi meninggalkan mereka.
Bukankah pergi meninggalkan memang lebih baik, dibandingkan terus
bertahan ketika kamu sudah disia-siakan?
“Alea!” pekik Gladys, tapi Alea terus berlari.
“Udahlah, Glad, dia enggak penting.”
Walaupun samar, Alea masih mendengar perkataanReynand. Hebat,
perselingkuhan yang hebat. Gladys yangselama ini dia percaya untuk
menjadi sahabatnya, justrumengkhianatinya? Alea benci pengkhianatan.
Suara petir yang sangat gaduh memenuhi telinga Alea. Namun, Alea tidak
memedulikannya. Dia menutup telinganya dengan kedua tangan dan terus
berlari entah ke mana.
“Apa gue seburuk itu?” sesal Alea.“ Apa, sih, salah gue?”

Suara petir yang sangat gaduh mengingatkannya lagi akan hal itu. Alea
menutup kedua telinga dengan tangannya, sama seperti waktu itu.
Napas Alea masih tak karuan. Dia menatap Revo. Entahmengapa,
menatap wajah Revo seperti mengulik luka lamayang sebenarnya ingin dia
kubur dalam-dalam.
Kenapa kamu enggak bisa benar-benar pergi dari pikiranku?
Aku lelah, dengan bayang-bayangmu yang selalu membuatku terus
menginginkanmu.
Aku tahu, itu tidak akan terjadi lagi. Namun, mengapa akuselalu
menyayangimu walaupun kamu tidak bisa menjadi milikku?
Tolong, saat aku benar-benar menjauh. Mengapa kamu seolah berada di
pikiranku dalam bentuk orang lain?
Tuhan, apakah Engkau tidak mengizinkanku untukmelupakannya?
Mengapa selalu ada hal-hal yang membuatku teringat kepada dirinya?
Aku ingin melupakanmu, tapi sulit. Tapi, jika aku terus mencintaimu, aku
tahu diri. Hal-hal yang aku harapkan mustahil untuk terjadi.
Aku cukup peduli dengan hatiku yang sudah remuk. Akutidak ingin
hancur lebih dari ini.
Tuhan, tolong aku. Jika aku memang tidak bisa bersamanya lagi, tolong
jaga hatiku. Jangan biarkan aku jatuh cintakepada orang yang salah lagi,
izinkanku untuk bahagia. Aku sudah terlalu lelah dengan sakit yang selalu
kupendam sendiri.
Revo yang tengah asyik dengan gitarnya, menghentikanaktivitasnya
karena napas gusar gadis itu.
“Berisik banget, sih, lo!” ujar Revo dengan nada kesal. Namun, napas itu
semakin terdengar. “Berisik, Le!”
Napas Alea malah semakin terdengar jelas. Dia hampirmenangis, matanya
sudah berkaca-kaca. Revo meletakkan gitar dan mendekatinya. Suasananya
sangat gelap, hingga Revo harus menggunakan sinar ponselnya untuk melihat
wajah Alea.
“Lo kenapa?” tanya Revo dengan nada khawatir. Masalahnya, gadis itu
tak henti-hentinya melenguh.
“Alea.” Revo menyentuh punggung tangan Alea agar gadis itu membuka
matanya.
Alea membuka matanya sejenak, lalu memejamkannyakembali karena
sangat gelap.
“Lo—takut gelap, ya?” tanya Revo lembut, seolah mengerti sekali bahwa
perasaan gadis itu sedang tak karuan.
Alea menggeleng.
“Enggak, gue enggak takut. Gue cuma pusing kalogelap,” sambung Alea.
Revo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa yangharus dia lakukan?
“Rev, gue boleh enggak—” ujar Alea terpotong.
Revo membulatkan matanya ke arah gadis di depannya,menunggu
perkataan selanjutnya.
“Boleh apaan?” tanya Revo.
“Gue boleh, enggak—”
“Kalo ngomong yang jelas,” sentak Revo. Padahal, dia penasaran dengan
apa yang gadis itu inginkan.
“Gue boleh enggak minjem HP lo? Kepala gue pusingbanget kalo enggak
lihat cahaya sama sekali.” Alea memijitpelipisnya. “Boleh, ya? HP gue mati.”
Alea memohon. Aleamengalihkan pikiran serta mengendalikan rasa
takutnyadengan bermain game. Namun, ponselnya sekarang mati.
Revo bernapas lega. Dia kira, Alea ingin meminta apa. “Bilang dulu.”
“Bilang apaan?” tanya Alea.
“Kak Revo ganteng, boleh minjem HP, enggak?” jawab Revo usil.
Alea menghela napas kesal. “Kok, lo lagi kayak gini masih aja, sih,
sempet-sempetnya narsis?”
“Ya, udah, gue pulang.” Revo bergegas melangkah, tapiAlea menahan
tangannya.
“Apaan?” tanya Revo.
“Kak Revo ganteng, boleh minjem HP-nya, enggak?” tanya Alea
terpaksa.
Revo tertawa renyah, lalu mengacak rambut Aleadengan gemas. “Kocak
banget, sih, lo.”
Entah mengapa, tangan Revo yang mengacak rambutnya seakan kembali
menghadirkan desiran hangat yang takdapat dia mengerti.
Revo memberikan ponsel yang tengah dia genggamkepada Alea. “Nih.”
“Boleh?” tanya Alea senang.
Revo hanya mengangguk.
Alea dengan semangat memainkan game. Revo hanya menatap heran
gadis yang berada di depannya. Entahmengapa, matanya seakan tidak bisa
berhenti menatapgadis itu. Alea sangat unik, bahkan gadis itu bisa tertawa
riang hanya karena hal yang sangat sederhana.
“Yes! Dikit lagi! Yah, enggak kena!”
“Berisik lo!” sentak Revo.
“Gue menang, Rev. Gue menang!” ujar Alea senangdengan
menggoyangkan bahu Revo.
“Lo bisa diem, enggak?” Revo menurunkan tanganAlea secara perlahan.
Dia menatap gadis itu dengan tatapan tajamnya yang selalu berhasil
mengintimidasi lawanbicaranya. “Berisik tahu enggak, sih, lo!” lanjut Revo
lagi, membuat gadis itu kembali ke bangkunya.
Tak lama kemudian, aliran listrik di SMA Gempita sudah kembali normal.
Hujan pun tampaknya sudah mereda.
“Makasih, ya.” Alea mengembalikan ponsel itu.
“Hm.” Revo hanya berdeham.
“Kira-kira yang lain bakal ke sini lagi, enggak?” tanya Alea.
“Enggak kayaknya, udah malem,” jawab Revo seraya melihat jam
tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 malam. Alea mengangguk,
lalu mengambil tas miliknya dibelakang.
“Lo mau ke mana?”
“Mau pulang.”
“Dijemput?” tanya Revo penasaran.
Alea menggeleng.
Revo segera mengemas barang-barangnya dan memasukkan semuanya ke
tasnya. “Lo bareng gue aja. Bahaya kalo lo sendirian naik taksi malem-
malem gini.”
“Ah, otak lo kayak bapak-bapak. Sekarang, tuh, masihsore kali. Udah,
deh, gue duluan, ya.” Alea ingin beranjak jalan, tapi Revo sudah menahan
tangannya.
“Gue enggak mau debat. Pokoknya, lo bareng gue,” ujarRevo dengan
nada dingin, tapi penuh penekanan.
Alea menuruti kemauan Revo. Sebenarnya, yang Revo katakan benar.
Alea sendiri sedikit takut jika harus pulang sendirian, apalagi sudah gelap dan
masih hujan meskipun tak terlalu lebat.
Revo menatap gadis di sebelahnya yang masih sajaterdiam. Dia tak
berhenti menatap Alea sampai Alea menyadarinya.
Mereka selalu begitu, entah karena apa.
About the Secret
Ada beberapa hal yang tak bisa dilihat dan dinilai hanya dengan mata.

Saat Alea terbangun keesokan paginya, dia meregangkan otot-ototnya yang


terasa kaku. Dia mengambil ponselnya dari meja.
“Hah?” Matanya membulat penuh ketika dia sadarsudah pukul tujuh lewat
lima belas menit. Dengan sangat cepat, Alea bersiap dan bergegas ke sekolah,
meski dia tahu sudah terlambat.
Alea mengendap-endap memasuki gerbang sekolahagar Pak Satpam yang
tengah tertidur tidak terbangun. Dia sedang berjalan perlahan ketika tiba-tiba
menabrak tubuhseseorang. “Aduh.”
Dia menatap sosok di hadapannya. Benar sekali, dia menabrak Revo.
Walaupun sebelumnya mereka terlihat akrab, tetap saja Revo Wakil Ketua
OSIS SMA Gempita. Mungkin saja, Revo akan menghukumnya karena Alea
terlambat.
“Maaf—” ujar Alea terpotong.
“Bukan gue yang lagi jaga,” tepis Revo dengan cepat dan melirik ke arah
lain. Terlihat Aria yang tengah berjalan mendekati mereka.
“Jadi, lo telat juga?” tanya Alea. Lelaki itu hanya terdiam seraya
mengangkat satu alisnya.
Alea sudah pasrah ketika Aria menghampiri mereka.
“Rev, lo?” tanya Aria santai seraya menatap sohibnya yang tampak
berbeda. Revo menggeleng.
“Biasa.”
“Ya, udah sana,” suruh Aria, tapi Revo masih sajaberdiri di tempatnya.
Aria mengalihkan pandangannya ke arah Alea. “Kamu kenapa telat lagi?
Udah enggak serius di OSIS, enggak niat sekolah juga? Atribut kamu mana?”
tanya Aria. “Push up 50 kali sekarang juga!” bentak lelaki itu.
Alea mengangguk pasrah, tapi dia merasa ada tangan yang menahan
lengannya agar tidak melakukannya.
“Kalau dia dihukum, gue juga,” ujar Revo dingin.
“Lo gila, ya?” sahut Aria. “Pak Dibyo bentar lagi dateng.Abis kalo sampe
dia tahu lo telat.” Pak Dibyo pembina OSIS. Bagaimana jadinya jika dia
melihat wakil ketua di organisasinya terlambat datang ke sekolah?
“Telat, ya, tetep telat, lah,” ujar Revo lagi.
Aria menghela napas kesal.
“Kenapa kalian ribut?” tanya Bu Feli, salah satu guru galak di sekolah ini.
“Cewek itu telat, Bu,” jawab Aria. Bu Feli menatap Aleayang kini tengah
menundukkan kepalanya.
“Saya juga telat, Bu,” sahut Revo.
“Ah, sama aja. Kalian berdua, berdiri di bawah tiang bendera sampai jam
pelajaran pertama selesai. Sehabis itu, kalian baru boleh masuk. Jangan coba-
coba kabur,” ujar BuFeli. “Kamu juga, Aria. Kayak gini aja enggak becus.”
Bu Feli menatap Aria sebal, lalu pergi meninggalkan mereka.
Revo sudah berjalan menuju tiang bendera terlebihdahulu, baru Alea
menyusulnya.
“Kenapa lo malah minta dihukum, sih? Padahal, kan—”
Revo menatap Alea.
“Nemenin lo,” ujarnya.
Alea menatap Revo bingung. Dia tak mengerti maksud ucapan lelaki itu.
“Nemenin gue? Sama-sama telat, kan, maksud lo?” tanya Alea tak mengerti.
Revo menghela napas gusar. “Hm.”
Hanya itu jawabannya, hingga membuat suasana canggung dan Alea pun
jadi malas berbicara.
Sepuluh menit berlalu. Wajah Alea sudah terlihat seperti kepiting rebus.
Revo melangkah sedikit untuk menutupi gadis itu dari sinar matahari, entah
sengaja atau tidak.
Walaupun masih pagi, entah mengapa sinar matahari sangat panas. Kepala
Revo terasa sangat berat, kepalanya seolah berputar. Seketika, hanya warna
hitam yang ada di penglihatan Revo—dan tak lama, tubuh Revo terjatuh
sehingga menyenggol tubuh gadis di sampingnya. Alea punikut terjatuh.
“Rev, jangan bercanda, deh. Bangun!” Alea menepuk pipi Revo dengan
kuat. Namun, tidak membuat lelaki itu terbangun juga. “Eh, lo pingsan
beneran, ya?”
Alea mencoba bangkit dan mengangkat tubuh Revo. Namun, tubuh Revo
yang terlihat tidak begitu besar itu ternyata sangat berat.
“Aduh.” Alea berusaha keras menuntun Revo ke UKS dengan meletakkan
tangan Revo di bahunya. Dia mencoba jalan perlahan, meskipun sering kali
hampir terjatuh. “Beratbanget, sih, lo. Makan tronton lo, ya?”
Alea akhirnya bisa juga tiba di UKS, kemudianmenurunkan Revo di
tempat tidur. Petugas PMR lelaki pun membantu Alea untuk merebahkan
tubuh Revo.
“Itu Kak Revo, ya?”
“Ih, gila ganteng banget!”
“Kok, bisa, sih, dia pingsan begitu?”
“Pasti gara-gara cewek itu!”
Begitulah yang Alea dengar. Dia geram dengan beberapa petugas PMR
cewek di sana. Bukannya menolong Revo, malah menggosip.
“Kalian anggota PMR atau anggota akun gosip, sih?” tanyanya kepada
anak kelas X itu.
“Maaf, Kak.”
Alea kemudian keluar dari UKS untuk membeli beberapa makanan dan
air hangat untuk Revo, sambil bertanyatanya mengapa Revo tiba-tiba bisa
jatuh pingsan. Setelah itu, Alea kembali dan duduk di bangku dekat tempat
tidur UKS.
Lima belas menit kemudian, sepertinya Revo sudahtersadar. Dia
mengusap kedua matanya dan tampak memastikan di mana dia sekarang. Dia
memijit pelipisnya sendiri, lalu mencoba untuk berdiri, tapi kepalanya masih
sakit.
“Jangan gerak-gerak.”
Revo menoleh ke sumber suara itu. Dia menyipitkanmatanya. Setelah
memastikan siapa yang ada di sana, Revohanya terdiam dan menatap gadis
itu tajam. Lalu, mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Lo belum sarapan, ya, makanya lo pingsan?”
“Berisik.” Revo memijit pelipisnya lagi.
“Maaf, abisnya lo—” ujar Alea terpotong.
“Lo berisik, Alea. Mending lo pergi!”
“Kenapa?” tanya Alea bingung.
“Gue mau sendiri.”
“Kenapa?” tanya Alea lagi.
“GUE BILANG PERGI, YA, PERGI!” bentak Revo.
Alea menundukkan kepalanya. Mengapa Revo terlihat sangat
menyeramkan? Alea menggigit bibir bawahnya,menahan air mata yang
tertahan di kelopak matanya. Dia juga bingung mengapa dia harus menangis.
Aria juga seringmembentaknya, tetapi itu tak pernah membuat Alea
inginmenangis seperti sekarang.
“Iya, gue pergi. Jangan lupa makan.” Alea bangkit danberanjak keluar
dari ruang UKS.
Revo menatap intens gadis itu hingga bayangannyatidak terlihat lagi.
Mengapa sikap Revo berbeda dari biasanya? Apakah Alea memiliki salah
pada lelaki itu? Atau, justru ada sesuatuyang Revo sembunyikan?

Sorenya, Alea harus pulang terlambat lagi karena ulangan susulan pelajaran
Fisika dengan Bu Lidya yang harusnya dilakukan tadi pagi ketika dia datang
terlambat.
“Akhirnya, bebas juga gue,” dia meregangkan otot-ototnya yang terasa
kaku, kemudian mengambil tasnya dan bergegas untuk pulang.
“Alea, Ibu buru-buru, mau ada acara mendadak. Kamu tolong kasih kunci
ini ke Mang Udin, ya?” pinta Bu Lidya.
Alea menghela napas kesal. Padahal, dia ingin langsungpulang.
“Mang Udin di mana, Bu?”
“Enggak tahu, kamu cari aja. Anak cantik.” Bu Lidya mencolek dagu
Alea. Alea pun dengan terpaksa mencari Mang Udin di seluruh koridor
sekolah. Sudah seperti tidak ada kehidupan, sangat sepi.
“Mang Udin!” teriak Alea dan segera menghampirilelaki paruh baya itu
dengan napas tersengal-sengal.
“Eh, Neng Cantik, ada apa, Neng?” tanya Mang Udin.
“Saya disuruh Bu Lidya ngasih kunci ini ke Mamang.” Alea memberikan
kunci itu kepada Mang Udin.
“Oh, iya, makasih, Neng. Saya duluan, ya, Neng.” MangUdin bergegas
pergi, entah ke mana.
Niat Alea untuk pulang terhenti ketika dia melihat koridor sempit di
belakang sekolah yang tidak pernah dia kunjungi. Rasa penasaran pun mulai
memenuhi isi kepalanya.
“Itu apa, ya?” tanya Alea. Dia berjalan mendekati koridor itu. “Eh,
jangan, deh, balik aja.”
Tapi, gue penasaran. Alea mendekati koridor sempityang tersembunyi di
dekat kamar mandi pria itu. Itu pun tertutup tripleks sehingga tak semua
orang menyadarinya.
Pelan-pelan, Alea menyusuri koridor itu. Ternyata itu jalan menuju
rooftop sekolah. Begitu sampai di rooftop, Alea baru tahu, ternyata sekolah
itu punya rooftop yangmemungkinkannya untuk menatap langsung langit
senja yang indah.
Alea menyipitkan mata. Sepertinya, dia tahu siapasosok lelaki di ujung
rooftop dengan rokok yang sedang dipegangnya. Dia menggelengkan kepala,
berpikir bahwa itu tak mungkin.
Alea mendekati sosok itu dengan ragu. Apa yang ada di hadapannya
sekarang benar-benar tak bisa dia percaya.
Itu bukan Revo dengan pakaian, rambut, dan wajahyang rapi seperti
biasanya. Rambutnya tampak acak-acakan,bajunya sudah berantakan dan
dikeluarkan, dasinya jugasudah tidak jelas alurnya. Dari raut wajahnya, Revo
tampak memiliki banyak masalah. Tatapan matanya juga terlihat kosong.
“Lo ngerokok?” tanya Alea ragu. Suaranya membuat lelaki itu menoleh
dan menatapnya lekat. Lalu, Revo kembali menoleh ke arah depan.
“Maaf kalo gue ganggu, gue balik.” Alea bergegas kembali dari tempat
itu. Namun, dia merasa ada tangan yang menahannya untuk tetap di situ.
“Duduk.”
“Enggak usah, gue mau balik.”
“Duduk, Alea,” paksanya dengan suara dinginnya.
Akhirnya, Alea duduk di tempat itu, lalu menatap Revodengan sedikit
rasa takut.“Lo tahu tempat ini dari siapa?” tanya Revo.“Gue tadi nyari Mang
Udin, terus gue enggak sengaja lihat koridor sempit. Gue penasaran, gue
enggak tahu kalo ini jalan ke rooftop.” Alea menjelaskan.
Revo hanya mengangguk.
“Lo jangan kasih tahu ke siapa-siapa tentang tempat ini.” “Bukannya ini
tempat umum?”“Pokoknya, jangan,” ujar Revo dengan nada yang
cukuptegas, membuat gadis itu hanya mengangguk.
Alea bingung, harus bagaimana dia bisa pulang. Namun, dia tak mau
Revo terus-menerus seperti ini.Kenapa, sih, gue harus peduli? batin Alea
bertanya-tanya.
“Uhuk ... huk.” Suara itu terdengar dari lelaki di sampingnya. “Huk.”
Lelaki itu kembali terbatuk.
Alea menatap Revo lekat.
“Lo enggak biasa ngerokok, ya?” tanyanya.
Memang benar, Revo bukan perokok akut. Dia hanya merokok di kala
terkena masalah yang tak bisa dia hindari lagi. Itu pun selalu membuatnya
terbatuk.
Alea segera merampas dan melempar rokok yang hendak Revo isap,
sekalian dengan bungkus rokoknya.
Mata lelaki itu menatap Alea tajam.
“Apaan, sih, lo? Hah?” bentak Revo.
“Lo, tuh, kalo punya otak dipake dikit, kek. Kalo udah tahu lo enggak
bisa ngerokok, ya, enggak usah ngerokok.Lo tadi udah batuk-batuk, terus
ngapain lo ngerokok? Lo mau mati?” balas Alea seraya berdiri. Dia tak
peduli Revo seniornya—yang dia ucapkan memang benar.
“Apa masalahnya, sih, buat lo?” tanya Revo kesal, lalu ikut berdiri dan
mendekati gadis itu.
“Rokok enggak baik buat kesehatan lo. Setiap masalahpasti ada jalan
keluarnya, tapi menurut gue rokok enggak bakal bisa nyelesaiin masalah lo!”
sentak Alea.
“Terus, apa yang baik buat gue?” bentak Revo dan terusmendekati gadis
itu. “Apa yang bisa nyelesaiin masalah gue? Hah? APA?” bentak Revo lagi
dengan suara yang jauhlebih kencang dari tadi. Suaranya benar-benar
menunjukkan bahwa dia sedang frustrasi.
Alea menatap bingung Revo yang seketika terdiam.Lelaki itu juga tampak
memegangi dadanya.
“Rev? Lo kenapa?”
Tak lama setelahnya, Revo tak lagi terlihat berdiritegak, tubuhnya terjatuh
secara perlahan.
“REVO!”
Alea mendekati lelaki yang sudah tak sadarkan diri itu.
Dia memegang punggung tangan lelaki itu.
“Rev, lo kenapa?” tanya Alea panik. Wajah Revo semakin pucat, keringat
dingin pun bercucuran dari tubuhnya, membuat Alea semakin panik. “Lo
kenapa, Rev?”
Entah apa yang terjadi—Alea juga tak tahu apa masalahyang tengah
dihadapi Revo sehingga lelaki itu bisa pingsandua kali hari ini.
“Rev! Jangan pingsan dulu, kek, gue enggak tahu harus gimana. Sekolah
udah sepi. Aduh.” Alea menggaruk kepalanya dan menatap wajah pucat
Revo. Dia kemudian melihat kunci mobil Revo di samping korek milik lelaki
itu.
“Enggak sopan, sih, tapi mau gimana lagi?” Alea mengambil kunci mobil
itu dan menuntun lelaki itu dengantersengal-sengal.
Dia sudah berteriak minta tolong dan meneriaki nama siapa pun, tapi tak
ada sahutan yang dia dengar. Mungkin karena sekolahnya sudah sangat sepi.
Akhirnya, Alea bisa membawa Revo ke rumah sakit.
Alea menatap lelaki itu dengan sedikit kecemasan di dalam hatinya.
Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Revo?Alea mengusap kedua matanya,
merasa sangat mengantuk,padahal baru pukul 6.30 malam.
Alea melihat lelaki itu mulai bergerak, menunjukkan bahwa dia sudah
sadar. Revo sepertinya teringat sesuatudan mencoba melepas infus di
tangannya.
“Heh, lo mau ngapain?” pekik Alea kaget ketika melihatinfusan itu sudah
lepas dari tangan Revo.
“Gue buru-buru.” Revo segera turun dari ranjang rumahsakit, lalu
mengambil kunci mobilnya dan berjalan cepat untuk keluar.
“Dia udah gila?” Alea menggaruk kepalanya sendirisebelum berlari
mengejar Revo yang bayangannya mulai menghilang.
Untunglah, Alea masih sempat menghampiri Revo yangsudah berada di
parkiran dan hendak memasuki mobilnya.
“Lo gila, ya?” Napas Alea masih terengah-engah karenalelah mengejar
Revo. “Lo enggak punya otak apa gimana, sih? Lo itu masih sakit. Gue aja
yang bawa mobilnya,”paksa Alea. Revo tak menggubris, dia sudah
memasukimobil dan menyalakannya. Sementara, Alea masih berada di depan
mobil Revo. Cahaya lampu mobil itu membuat Alea menyipitkan matanya.
“Lo mau mati?” sentak Revo.
Alea akhirnya memasuki mobil Revo, menatap aneh lelaki di sebelahnya.
Tak lama, Revo segera mengegas mobil itu dengankecepatan penuh.
“Eh lo—gila!” pekik Alea.
Selama perjalanan, kepala Alea terasa pusing karena Revo terus mengegas
mobilnya kencang-kencang. Revoterdengar mengklakson siapa saja yang ada
di depannya.
“Woi. Lo bawa mobil yang bener, dong.”
“Berisik.”
Tiba-tiba, Revo menabrak batu besar sehingga mobilnya menjadi melaju
tak terkendali. Untungnya dia segera sigap menghentikan mobilnya.
Alea menutup matanya dengan kedua tangan.
“Lo punya nyawa berapa, sih? Sembilan? Sepuluh?” tanya Alea kesal
dengan napas terengah-engah. “Lo hampirbikin gue mati tahu, enggak.”
“Gue enggak maksa lo ikut gue,” ujar Revo, sambil menepis ucapan Alea,
lalu membuka pintu mobilnya.
Alea baru sadar, kini mereka tengah berada di sebuah rumah sakit lain.
Tunggu, Revo kabur dari rumah sakit untuk ke rumah sakit? Untuk apa? Alea
ikut turun dari mobil Revo dan mengikuti langkah lelaki itu dengan bingung.
Revo memasuki salah satu ruang rawat inap di rumah sakit itu. Dia
menghampiri seorang wanita paruh baya yangtengah terbaring lemah di
ranjang rumah sakit.
“Mama?” Revo mencium punggung tangan wanita itu, lalu merapikan
rambut ibunya.
Alea menatap kejadian itu dengan haru. Ternyata, Revohampir melupakan
nyawanya karena ingin menjengukibunya. Mata lelaki itu tampak berkaca-
kaca.
Desiran tajam dan rasa sesak yang mungkin Revo rasakan, dapat dia
rasakan juga.
“Revo sayang Mama.”
“Kamu siapa?” mama Revo malah bertanya padanya.
Revo menatap mamanya dengan sendu.
“Ma, ini aku Revo,” ujar Revo selembut mungkin.
“Revo?” Catherine, mama Revo, tampak mengerutkandahinya seraya
memandangi wajah Revo dengan lekat.
“Iya, aku Revo.”
Catherine memegangi kepalanya, seperti terasa sakit karena ada memori
yang terlintas di benaknya, tapi dia tak dapat mengingatnya dengan benar apa
yang kini tengah bergemuruh kuat di dalam kepalanya.
Napas Catherine mulai terdengar tak karuan. Dia menatap Revo penuh
tanda tanya. “Kamu siapa? Kenapa kamupanggil saya Mama?”
“Revo anak Mama,” lirih Revo.
Catherine menggelengkan kepalanya, lalu mendorong kuat tubuh Revo
hingga tubuhnya sedikit terdorong kebelakang.
“Enggak, putra saya masih kecil. Pergi kamu!” bentak Catherine.
Revo kembali memandang ibunya dengan terluka. Saatini, Catherine
tengah mengalami Amnesia Disosiatif. Itu penyakit di mana penderitanya
akan kehilangan memorinya.Lebih dari itu, penderita Amnesia Disosiatif
dapat kehilanganmemori tentang lingkungannya ataupun identitasnya sendiri,
mengakibatkan timbulnya gangguan kesadaran sertaperubahan persepsi pada
diri seseorang. Amnesia Disosiatif ini biasanya disebabkan peristiwa
traumatik ataupun trauma psikologis yang berat.
Penyakit itu juga bisa disebabkan karena stres yang berkepanjangan.
Penderitanya biasanya terlihat sangatcemas dan depresi. Penderitanya juga
bisa mengalami perubahan kesadaran yang terlihat seperti mengamuk
ataupunmarah besar, walaupun terkadang mereka masih terlihat seperti orang
normal pada umumnya dan bisa melakukan aktivitas layaknya orang normal
juga.
Dalam beberapa kasus, penderitanya dapat kehilanganinformasi tentang
teman-temannya, keluarganya, atau bahkan siapa dirinya.
Itulah sebabnya, hingga saat ini Catherine menganggap anaknya masih
kecil. Yang ada di memorinya, Revo kecilnya, sedangkan Revo yang ada di
hadapannya sekarang dia anggap orang asing karena ketidakmampuan saraf
otaknya untuk menciptakan memori baru. Catherine tak bisa menerima
bahwa Revo sudah bertumbuh besar. Amnesia Disosiatif ini sebenarnya bisa
disembuhkan denganbeberapa terapi. Namun, Catherine tak pernah mau
untuk menjalani terapi itu.
Catherine memegangi kepalanya. Amnesia Disosiatif ini memang
melibatkan resepsi dalam skala besar sehingga mengakibatkan terpisahnya
impuls yang tidak dapat diterima dan ingatan yang menyakitkan dari
ingatanseseorang. Dalam amnesia ini, ego yang ada di dalamdirinya
melindungi dirinya sendiri dari kecemasan yang mengeluarkan ingatan
mengganggu. Kedatangan Revo yang mengaku-ngaku sebagai putranya
sering kali membuatCatherine tertekan, karena ada memori yang ingin masuk
ke ingatannya, tapi tak berhasil.
“Pergi kamu!” teriak Catherine lagi.
Catherine kini tampak benar-benar tak karuan. Alea yang tadinya berdiri
di dekat Revo, segera menghampiri Catherine dan mengelus punggung
tangan wanita paruh baya itu.
“Tante, Tante akan baik-baik aja,” ujar Alea menenangkan.“Pergi dari
hadapan saya!” sentak Catherine pada Revo.
Alea menatap Revo sejenak, mengisyaratkan kepada lelaki itu untuk pergi
meninggalkan ruangan ini agarCatherine dapat kembali menenangkan
dirinya. Revo hanya mengangguk pelan, lalu bergegas pergi meninggalkan
Catherine untuk berdua saja dengan Alea.
Kini, Catherine menangis. Alea tersenyum ke arahCatherine. “Maaf,
Tante. Kalo saya boleh tahu, kenapaTante nangis?”
“Saya enggak tahu sekarang putra saya di mana. Dia pergi sebelum saya
bisa bahagiain dia. Mungkin, dia marahsama saya. Saya bisa mengerti jika
dia marah dan malu punya ibu yang enggak berguna seperti saya.”
Alea menggeleng. Dia mengelus lembut pundakCatherine seraya
tersenyum. “Enggak, anak Tante pastisayang banget sama Tante. Anak Tante
juga pasti bangga karena punya ibu yang cantik dan kuat kayak Tante.”
Catherine tertawa miris. “Kalau memang dia sayangsama saya, kenapa dia
enggak pernah kembali? Dan kalo dia bangga sama saya, kenapa dia pergi?”
Diam-diam, Revo memperhatikan Alea dan mamanya dari balik pintu
ruangan. Dia tersenyum miris.
Revo enggak pernah pergi, Ma. Revo sayang Mama, batin Revo dengan
perasaan yang sulit dijelaskan.
“Tante, anak Tante selalu ada buat Tante. Bahkan, dia enggak pernah
pergi ninggalin Tante sendirian.” Alea melanjutkan.
Catherine menggeleng. “Maksud kamu apa?”
“Anak Tante itu dia yang tadi meluk Tante. Dia Revo, putra Tante. Dia
sekarang udah tumbuh dewasa.”
Catherine menggeleng lagi. “Enggak mungkin. Diamasih kecil. Kamu
enggak usah berbohong untuk menenangkan saya. Kamu enggak usah
berbohong!”
Kepala Catherine terasa semakin sakit. Hal-hal terse-but mengakibatkan
emosi Catherine semakin bergejolak. Membuatnya merasakan hal yang
sangat menyakitkandan kembali memaksanya untuk mengingat pada konflik
di masa lalu, tekanan, atau trauma yang menyebabkandirinya seperti ini.
“Saya cuma mau ketemu putra kecil saya,” lirih Catherine.
“Saya minta maaf kalau yang saya katakan bikin Tantejadi sedih.”
Alea kembali tersenyum hangat. “Tapi, saya yakin,kalau suatu saat nanti,
Tante bakalan ketemu sama anak Tante. Tante bakal lihat kalo dia sayang
banget sama Tante.Saya yakin, Tuhan pasti bakalan kasih akhir cerita yang
terbaik buat Tante.”
Catherine membalas senyuman hangat yang diberikan oleh Alea.
“Terima kasih, ya, kamu baik sekali. Nama kamusiapa?”
“Alea, Tante,” jawab Alea seraya tersenyum.
“Boleh saya panggil kamu Putri Cantik?” tanyaCatherine dengan matanya
yang berbinar ke arah Alea.
Alea mengerutkan dahinya. “Putri Cantik? Kenapaharus Putri Cantik?”
tanya Alea.
Catherine tertawa. “Karena, bukan hanya wajah kamu yang cantik, tapi
hati kamu juga cantik. Enggak seperti sayayang enggak berguna.”
Alea menggelengkan kepalanya. “Tante, enggak ada manusia yang
enggak berguna di dunia ini. Tante enggak boleh sedih, ya?” ujarnya
menenangkan.
“Ibu Catherine, saatnya istirahat.” Seorang perawatmemasuki ruangan
Catherine sambil tersenyum.
“Tante, Tante harus istirahat yang cukup, ya. Aleapulang, Tante.” Alea
mencium punggung tangan Catherine.Catherine tersenyum seraya mengelus
lembut rambut Alea.
“Hati-hati, Putri Cantik.”
Alea mengangguk dan tersenyum, lalu bergegasmeninggalkan ruangan.
Dia menarik napas sejenak, lalu menghampiri Revoyang sedari tadi
memperhatikannya. Mereka kemudianberjalan menuju koridor parkir dan
berniat untuk segera pulang. Sesampainya di koridor parkir rumah sakit, mata
Alea berkaca-kaca. Meski, semuanya terasa melelahkan, itujuga sangat
mengharukan.
“Rev, nyokap lo kenapa?” tanya Alea hati-hati.
Revo menjawab parau. “Nyokap kena Amnesia Disosiatif karena trauma.
Makanya, dia enggak bisa nerima kalo gue ini Revo. Karena yang ada di
memori dia, Revo itu masih kecil.
“Maaf kalau Mama juga kelihatan agak emosional. Soalnya penyakit ini
juga bisa membuat penderitanya merasa depresi dan cemas.”
Mata Alea semakin berkaca-kaca. Dia tak kuasa menahan tangisnya yang
sedari tadi dia bendung.
Revo menatap gadis itu lekat. “Ck. Cengeng lo!”
Dia terdiam sejenak sebelum berbicara kembali.
“Menurut lo, orang bodoh seperti apa yang nangis saat dia jadi alasan
orang lain buat ketawa?” Revo merangkul bahu Alea.
Tubuh Alea merinding, jantungnya berdebar sangatkencang.
“Makasih udah bikin Mama senyum. Makasih udahbikin Mama ketawa
lagi. Maaf juga, tadi gue udah bentak-bentak lo.”
Entah apa yang Alea rasakan sekarang. Yang jelas,jantungnya berdebar
sangat kencang.
“Rev, ini tempat umum.”
“Lo deg-degan?” tanya Revo.
Mata Alea membulat sempurna, pipinya memerah. Diamalu sejadi-jadinya
karena Revo menyadari itu.
“Ayo, balik.” Alea memasuki mobil Revo terlebih dahulu dengan pipinya
yang merah padam. Revo terkekeh kecil, lalu ikut memasuki mobilnya.
“Balik ke rumah lo aja, biar dari sana gue balik sendiri.Lo, kan, masih
sakit,” ujar Alea tanpa menatap Revo.
“Lo belum jawab pertanyaan gue.”
“Pertanyaan apa?”
“Lo deg-degan?” tanya Revo lagi, sehingga membuat pipi Alea semakin
panas dan memerah.
“Udah, ayo, jalan.”
Revo tertawa seraya menggeleng.
Rasanya sudah setengah perjalanan, tapi Alea sadar inijalan menuju
rumahnya.
“Rumah lo searah sama rumah gue, ya?”
“Enggak.”
“Kan, gue bilang, enggak usah nganterin gue. Lo masihsakit.”
“Suka-suka gue, lah.” Revo menatap lurus ke depan.
“Lo kenapa, sih, aneh banget? Lo enggak sadar lo masih sakit? Kalo
misalnya lo balik terus lo kenapa-kenapa, gimana?”
“Gue mati, tinggal dikubur. Tapi, lo jangan nangis,ya,” ledek Revo.
Alea berdecak kesal. “Gue serius.”
“Ya, gue juga serius. Eh, jangan, nanti sayang.”
Alea menatap Revo sejenak, lalu memutar kedua bola matanya malas.
Tetapi, sesungguhnya, dia masih tak mengerti mengapa kini pipinya sungguh
memanas.
Tak lama, mereka sampai di depan rumah Alea. Sekarang sudah pukul
11.00 malam, tak terasa.
Saat Alea turun dari mobil, terlihat jelas bahwa Leon,kakak laki-laki Alea,
sudah menunggunya di depan rumah dengan tatapan tajam. Padahal, tadi
Alea sudah meminta izin mamanya. Dulu, Alea dan Leon tinggal bersama
saat diBandung. Saat Alea dan keluarga pindah ke Jakarta, Leon harus tetap
tinggal di Bandung karena harus melanjutkan pendidikannya. Namun, kini
dia sedang berada di Jakarta.
“Bang.” Alea hendak mencium tangan abangnya, tapi Leon malah
menghampiri pintu mobil Revo.
“Keluar lo!” Suara Leon terdengar penuh emosi.
Revo membuka pintu mobilnya.
Leon menghajar Revo dengan sangat kuat.
Alea meringis seraya menutup matanya.
“Maksud lo apa bawa dia sampe semalem ini?” tanyaLeon.
Revo menatap Leon tajam. “Lo yang apa-apaan?” Dia mendorong kuat
tubuh Leon sampai Leon terhuyung.
“Lo apain dia? Hah?” bentak Leon.
Mata Alea membulat ke arah abangnya. “Apaan, sih!” sentak Alea.
Namun, tidak ada yang peduli.
Leon mendorong tubuh Revo ke mobil dan menghantamnya lagi. Revo
pun membalasnya. “Berengsek! Lo bawadia ke mana sampe semalem ini?
Jawab!”
Revo menatap Leon tajam. “Cuma orang yang enggak tahu tata krama
yang ngehajar orang tanpa alasan!” Dia menghajar dan mendorong tubuh
Leon hingga menabrak pagar rumahnya. Kepala Alea sudah sangat pusing
mendengar pertengkaran itu. Sementara itu, sepertinya mamanya sudah
tertidur sehingga sama sekali tidak mendengar apa pun.
“Mendingan, lo tanya sendiri sama cewek lo!” bentak Revo seraya
menarik kerah baju Leon dengan kuat.
Alea tersadar. Sepertinya, Revo dan Leon salah paham.
Leon tertawa sinis, tapi lama-lama tawanya menjadi terbahak-bahak.
Revo masih menarik kerah baju Leon dan bingung dengan yang terjadi.
“Apa lo bilang? Alea cewek gue?” Leon terus tertawa.
“Enggak usah ketawa!” Revo kembali menghajar Leon.Leon sepertinya
mulai terpancing lagi. “Lo harusnya ngaca.Lo harusnya cari tahu dulu siapa
gue!” Dia mengepalkan tangannya.
“Abang. Revo. Udah enggak usah berantem!” pekikAlea.
Tanpa disangka, tonjokan Leon yang sangat kuat itu mendarat di wajah
Alea. Kepala Alea terasa sangat pusingdan akhirnya dia jatuh pingsan.
“Abang?” tanya Revo bingung.
“IYA. DIA ADIK GUE. ADIK KANDUNG GUE!”
Revo hanya terdiam. Dia mematung ketika melihatAlea sudah terkapar
dan abangnya hendak menggendong gadis itu ke dalam.
“Sori, gue enggak tahu.”
“Lo jelasin sejelas-jelasnya sama nyokap gue!” sentak Leon.
Cecill, ibu Alea, muncul sejurus kemudian. Mata Cecill membulat ke arah
Alea yang tengah terkapar dan ke arah Leon yang menggendongnya.
“Ya, ampun, Alea. Anak Mama, kamu kenapa, Sayang?” Cecill
menyingkirkan satu bulatan timun yang masih melekat di matanya dan
melepas earphone dari telinganya, lalu mengejar mereka ke kamar Alea.
“Nak Revo? Kamu yang waktu itu anterin Alea pashujan, kan?” tanya
Cecill.
“Iya, Tante.”
“Ini kenapa bisa begini? Aduh, mukanya kenapa me-mar?” tanya Cecill.
“Enggak sengaja Leon tonjok, Ma,” ujar Leon, membuatwajah mamanya
yang masih dibalut masker putih itu menegang dan matanya membelalak ke
arahnya.
“Kenapa kamu tonjok, Leon?”
“Aku kira, nih, orang ngapa-ngapain Alea, aku mau nonjok dia. Eh, malah
kena Alea.”
“Kamu, tuh, ya, Alea udah izin sama Mama mau bawa temennya ke
rumah sakit. Kamu, sih, main hajar-hajar aja.”
“Mama aku tanya kenapa enggak jawab?” Leon kesal.
“Kan, Mama pake headset. Kamu, sih, Mama lagi perawatan nanya-nanya
terus. Udah, Mama mau ambilin air anget buat Alea. Kalian berdua bersihin
itu luka-lukanya,” suruh Cecill, lalu pergi keluar dari kamar Alea.
“Heh, inget, dia bukan cewek gue!” tegas Leon.
“Iya, Bang.” Revo hanya mengangguk.
“Nak Revo, Tante bukannya ngusir, tapi udah malem banget. Kamu
pulang aja, ya? Kasihan Alea-nya,” suruh Cecill.
Revo mengangguk mengerti. “Iya, Tante, saya pamit dulu.” Dia mencium
punggung tangan Cecill. “Bang.” Dia juga menganggukkan kepalanya ke
arah Leon, lalu keluar dari kamar Alea.
“Ada-ada aja.” Cecill menggaruk kepalanya.
Revo memasuki mobilnya, meletakkan tangan di atas setir mobilnya. Dia
mengingat wajah Alea yang memar, merasa itu semua gara-gara dirinya.
Padahal, Alea pulang semalam ini juga gara-gara Revo. Namun, dia
kemudian teringat Tante Cecill dan Bang Leon, yang tampak sangat
menyayangi Alea. Revo tersenyum.
“Lo beruntung, ya, punya keluarga yang sayang bangetsama lo,” ujar
Revo, lalu menghela napasnya.
Dua puluh menit kemudian, Revo memasuki apartemennya. Dia tinggal
sendiri di apartemen yang masih satu kawasan dengan SMA-nya itu. Dia
merebahkan tubuhnya dikasur. Pikirannya masih dipenuhi sosok gadis yang
mungkinsaja masih pingsan itu.
Alea udah sadar belum, ya? Batin Revo bertanya. Diapun mengambil
ponselnya dan menelepon gadis itu.
“Halo?” Suara imut di seberang sana terdengar parau, tapi menenangkan
hati Revo yang mendengarnya.
“Lo udah siuman?”
“Ada apaan?” Suara Alea memang terdengar sepertiorang mengantuk.
“Lo udah tidur, ya?”
“Kenapa lo nanya-nanya? Khawatir, ya?”
“Dih, kepedean lo. Ya, udah kalo lo udah tidur, gue matiin lagi.”
“Terus, lo nelepon gue cuma mau bangunin gue doang? Apa gunanya
coba?” tanya Alea terdengar seperti kesal,membuat Revo terdiam.
“Kok, diem? Berarti bener, kan, lo khawatir sama gue?” Alea meledek.
“Ya, abang lo, kan, harusnya nonjok gue, bukan nonjoklo. Gue enggak
mau, ya, lo nyalah-nyalahin gue.”
“Siapa yang nyalahin lo? Lagian juga, lo aneh banget.Kenapa lo ngira
Bang Leon pacar gue?”
“Iya, ya, harusnya gue mikir, mana mau cowok kayak abang lo pacaran
sama cewek model kayak lo? Mustahil,” ledek Revo.
“Lo bisa enggak, sih, malem-malem enggak usah bikinkesel?”
“Ya, lo bisa enggak malem-malem enggak usah kesel sama orang?”
“Orang lo yang bikin kesel, kenapa jadi nanya gue?”
“Mendingan, lo tidur lagi,” suruh Revo.
“Enggak jelas lo nyuruh-nyuruh!”
“Tidur lagi, Alea, udah malem.” Revo melembut.
“Enggak usah sok lembut, deh.”
“Tidur sekarang atau gue cium?”
“Jijik tahu enggak? Amit-amit tujuh turunan tujuh tanjakan.”
“Gue bercanda, kok. Good night.” Revo memutuskan teleponnya.

Di kamarnya, Alea berdecak kesal.“Enggak jelas, dia yang nelepon dia yang
matiin.”Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar
Alea. “Le. Ini Abang.”“Masuk aja, Bang. Pintunya enggak gue kunci.”Leon
memasuki kamar adiknya, lalu duduk di tepi kasur. “Maafin gue, ya, Le.
Tadi, gue enggak sengaja.”“Enggak, enggak gue maafin. Sakit tahu!” Alea
memegangi pipinya yang terkena tonjokan itu.“Iya, maaf, Alea adik gue yang
paling cantik.” Leon merangkul Alea dan mengacak rambut adiknya
gemas.Alea mendengus kesal seraya merapikan rambutnya.
“Ya, iyalah, orang adek lo cuma satu.”
“Lagi juga, cowok lo enggak jelas, sih.” ujar Leon.
“Bang Leon sembarangan aja, deh, kalo ngomong. Revo,tuh, bukan
cowok gue.”
Leon tersenyum. “Ya, bagus.”
Alea mengerutkan dahinya. “Kenapa bagus?”
“Revo bakalan sama aja kayak mantan lo, Le. Percaya, deh, sama gue. Dia
pasti bakalan nyakitin lo nanti.”
Alea tertawa. “Sok tahu banget, sih, lo, Bang. Emangnyalo cenayang yang
bisa tahu semuanya gitu?”
“Lo kayak enggak tahu abang lo ini siapa, sih, Le? Cowok-cowok kayak
Revo itu udah bisa ketebak jalan pikirannya.” Alea terdiam sejenak,
abangnya ini memang playboy.Namun, apakah semudah itu Leon memahami
isi kepala Revo? Sementara untuk Alea, Revo itu sangat sulit ditebak.
“Sekarang gue tanya, deh, hubungan lo sama Revoapa?”
“Dia kakak kelas gue, Bang.”
“Lo berdua lebih dari itu, Le. Tapi, lihat aja, sampe sekarang dia enggak
ngasih kejelasan, kan, sama lo?”
“Hah? Lebih dari itu gimana, sih, maksud lo?”
Alea menghela napas berat. “Gini, ya, Bang Leon yang kucinta, lagi juga
siapa, sih, yang mau pacaran sama Revo?Gue sama Revo itu cuma sebatas
senior-junior. Enggak lebihdari itu. Ngerti?” jelas Alea.
“Oh, ya? Terus, kenapa lo segitu khawatirnya waktugue nonjokin dia?”
tanya Leon seraya menatap Alea lekat.
“Ya, dia masih sakit, Bang. Tadi aja gue abis nemenin dia ke rumah
sakit.”
“Itu tandanya lo peduli sama dia, Lea.”
Alea mendengus kesal. “Peduli apanya, sih, Bang? Lo bayangin kalo
misalnya lo jadi gue. Ada orang sakit terus pingsan dan enggak ada satu pun
orang yang bisa nolongin dia, kecuali lo. Lo pasti bakalan nolongin dia,
kan?” Lojangan suka nilai orang dari luar. Revo emang ngeselinbanget, tapi
gue tahu sebenernya dia baik, kok, Bang.”
“Terserah lo, Le. Gue cuma ngasih tahu aja. Tapi,awas, ya, kalo lo sampe
beneran suka sama Revo.” Leon menegaskan. Nada bicaranya juga terdengar
sangat serius.
“Iya, apaan, sih, lo?”
“Pokoknya, kalo lo sampe pacaran sama Revo gueenggak setuju. Gue
enggak suka sama Revo!” tegas Leon,lalu beranjak turun dari kasur Alea.
“Ya, iyalah, orang lo sama Revo sama-sama cowok,” dumel Alea pelan,
tetapi masih bisa terdengar oleh Leon.
“Alea, Abang serius.”
Alea menatap abangnya malas. “Iya, iya.”
Leon melanjutkan langkahnya untuk keluar dari kamar adiknya. Alea
menarik kembali selimut miliknya dan mematikan lampu tidur.
Bitter Sweet
Haruskah hati yang terlalu sering disakiti kembali memaafkan?

Keesokan harinya, pikiran Revo menjadi tak karuan.Meski, dia sedang


mengikuti pelajaran Fisika, pelajarankesukaannya, tetap saja pikirannya
tertuju pada Alea.
Sepulang sekolah, ada agenda pertemuan antardivisi. Revomelihat seluruh
anggotanya, tetapi Alea tidak ada. Apakah diatidak masuk sekolah karena
kejadian kemarin?
Revo berjalan menuju kelas Alea, ingin tahu apakah diamasih di sana.
Matanya membulat ke arah seorang gadis yang tengah berjalan cepat keluar
dari kelas Alea.
“Lo temennya Alea, kan?” tanya Revo.
Acha mengangguk. “Kak Revo, ya?”
“Iya, Alea di mana?” tanya Revo lagi.
“Alea di dalem, kok. Gue duluan, ya.” Acha terlihat sangat buru-buru.
Revo kemudian memasuki kelas Alea. Di sana, terlihat gadis itu, yang tengah
duduk di tengah ruangan sambil mengerjakan soal matematika.
“Tinggal satu nomor lagi,” gumam Alea, terdengarfrustrasi. “Kenapa, sih,
susah banget? Apa yang salah coba?”
“Serius banget?” Revo duduk di depan kursi Alea.
“Diem lo. Ini, tuh, susah!” Alea mengutak-atik rumus.
“Cara lo, tuh, salah—” ujar Revo terpotong.
“Diem. Kepala gue pusing!”
“Kalo caranya salah, gimana bisa ketemu hasilnya?” tanya Revo. Wajah
Alea tetap muram.
“Ini harusnya dikali 2, bukan √2. Gimana bisa ketemu?Gini, nih.” Revo
mengambil pulpen dan kertas milik Alea dan mengajarinya. Alea hanya
menatap kertas itu, masih tanpa melihat siapa yang tengah mengerjakannya.
“Hasilnya 8√2. Ada enggak jawabannya?”
Alea mengangguk dan menyilang jawaban itu. Diabernapas lega.
“Akhirnya, penderitaan gue selesai. Nan, bilangin Bella, ya, kalo ketemu.
Gue mau cabut aja, badan gue remuk semua.”
Nan? batin Revo bingung
“Mau cabut ke mana emang?” tanyanya.
Alea bergeming. Sepertinya, dia tidak asing dengansuara itu, Alea
mendongakkan kepalanya dan matanyamembulat penuh ke arah Revo.
“Sejak kapan lo di sini?” Alea mengalihkan pembicaraan.
“Enggak usah alibi,” sentak Revo.
“Ya, lo ngapain di sini? Gue, kan, udah bilang sama Bella kalo gue bakal
dateng telat,” tepis Alea.
“Koor-nya, kan, gue, bukan Bella.” tegas Revo.
Alea menghela napas kesal.
“Lo telat lebih dari tiga puluh menit.”
“Iya, maaf, Kak Revo ganteng. Enggak usah ngomelsehari bisa, enggak?”
Alea memutar kedua bola matanya.
“Masih mending gue enggak nyuruh lo lari-lari kelilinglapangan,” dumel
Revo.
Alea membulatkan matanya ke arah Revo.
“Lo emang lelet!” sentak Revo.
“Iya, maaf.” Alea menundukkan kepalanya.
“Tapi, lo, udah enggak kenapa-kenapa, kan?” Revomenyentuh pipi Alea
yang masih terlihat lebam.
Sebenarnya, Alea masih merasakan sakitnya, apalagi saat Revo
menyentuhnya. Namun, mengapa jantungnya berdebar lebih kencang dari
biasanya ketika Revo menyentuh pipinya? Alea menatap balik mata yang
sudah menatapnya terlebih dahulu itu.
Dia melihat Revo mengerutkan dahinya.
“Woi! Lo enggak pa-pa, kan?”
“Hah?”
“Lo enggak pa-pa, kan? Budek, lo, ya?”
“Ya, enggak pa-pa gimana? Sakit, lah, gimana, sih, lo!”Alea menepis
tangan Revo.
“Makanya, enggak usah sok-sokan belain gue. Kena, kan. Lo khawatir,
ya, sama gue?” Revo percaya diri.
Alea mengerutkan dahinya. “Kenapa, sih, di dunia ini ada makhluk yang
sering banget kepedean kayak lo? Lo kali yang khawatir sama gue.”
Revo tertawa renyah. “Heh, kalo khawatir, ya, khawatiraja. Iya, kan, lo
khawatir sama gue?”
“Ya, gue kasihan aja, lah, lihatnya. Gue yang sekaliditonjok aja mau copot
muka gue, apalagi lo yang tadinya bakal dihajar abis-abisan. Untung enggak
mati,” jawab Aleadengan nada kesal.
“Lebay lo!” Revo mendorong tubuh Alea pelan.
“Ya, gue serius. Lo, kan, kemaren abis bengek, terus ditonjokin. Kalo lo
mati beneran gimana?”
“Ya, paling lo yang kangen gue, iya, kan?” ledek Revo.
“Geer! Sekarang, kita ngapain di sini?” tanya Alea.
“Nemenin lo cabut.”
“Gue telat, bukan cabut.” Alea menekankan.
“Kalo cabut beneran gimana?” ajak Revo sambil mengangkat satu alisnya.
“Hah? enggak, enggak. Nanti, lo yang ngajak gue cabut,lo juga yang
ngomel-ngomelin gue,” tolak Alea.
“Enggak, kapan, sih, gue ngomel-ngomel?” tepis Revo.
“Kapan, sih, gue ngomel-ngomel?” Alea meniru.
“Temenin nyari speaker, ya?” pinta Revo dengan puppy eyes-nya, yang
membuat Alea terpaksa menurutinya.
Pada akhirnya, mereka pergi ke salah satu mal yang takjauh dari sekolah.
Namun, mereka tak langsung memasuki toko elektronik karena Revo
memaksa Alea untuk masuk ke kafe terlebih dahulu.
Revo memesankan beberapa makanan tanpa bertanya kepada Alea, karena
jika tidak dipaksa, gadis itu pasti tidak mau makan. Tak lama, pesanan
mereka pun datang. Dua porsi chicken steak komplet, dua porsi french fries
dan burger, dua gelas milkshake cokelat, serta dua slice black forest.
Alea membulatkan matanya.
“Lo makan sebanyak itu, Rev?” tanya Alea bingung.
“Ya, lo makan juga, lah,” jawab Revo.
“Kan, gue bilang, gue enggak mau. Gue enggak laper. Lo ngapain pesen
sebanyak itu?”
“Kenyang makan rumus?” tanya Revo.
“Beneran, gue masih kenyang,” jawab Alea kesal. “Kenapa, sih, lo suka
banget maksa-maksa gue makan?”
Revo malah menyendok makanan dan mendekatkan ke mulut Alea.
“Harus banget disuapin?”
“Ah, enggak mau—lo—” akhirnya dengan terpaksa makanan itu masuk
ke mulut Alea. Revo tertawa puas melihat mulut Alea yang kini penuh
dengan makanan.
“Lo pikir, gue anak kecil apa?” Alea geram.
“Kunyah dulu.”
Alea mengunyah makanan itu hingga tidak ada sisadi mulutnya.
“Rev, lo—” Revo kembali menempelkan sesendokmakanan ke mulut
Alea.
“Rev!”
“Kunyah dulu baru ngomong, entar berantakan.”
“Mas, makan, kok, bawa adek?” ledek beberapa gadis seusia mereka yang
tiba-tiba datang. Dia menatap mulut Alea yang penuh makanan karena ulah
Revo. Mereka tertawa, lalu bergegas pergi.
Alea memutar kedua bola matanya dengan malas menatap gadis-gadis itu.
“Gue bisa makan sendiri.” Alea mengambil seporsi chicken steak itu dari
meja Revo dan memakannya dengancepat. Revo terkekeh kecil menatap
gadis di sampingnya yang tengah kesal, tapi tetap memakan makanan itu.
“Kenapa lo lihatin gue?” tanya Alea malas karena Revoyang tak berhenti
menatapnya.
“Lo cantik,” ujar Revo yang membuat seketika Alea berhenti makan.
Pipinya memerah dan memanas. Dia menoleh ke arah Revo dan menatapnya
lekat.
“Tapi, berantakan kalo makan. Kayak anak kecillo, dodol!” Revo
mengelap sisa makanan di mulut Aleadengan tissue.
Kenapa gue malah deg-degan? Ngapain gue deg-degangara-gara
manusia setengah alien kayak dia coba? batin Alea menggerutu. Namun,
matanya masih menatap Revo.
“Apa lo lihat-lihat?” tanya Revo.
“Siapa yang ngelihatin?”
“Lo, lah.” Tegas Revo. Alea mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Namun, seketika matanya membulat.
Ngapain dia di sini? Alea mengusap kedua matanya untuk memastikan.
“Gue ke toilet bentar, ya,” pamit Revo.
Alea tersadar dari lamunannya.
“Hah? Ikut.” Dia membulatkan matanya ke arah Revo.
Revo mengerutkan dahinya. “Apaan, sih, lo?”
Alea tidak menjawab, malah kembali menatap seseorang yang sangat tak
asing baginya. Sosok itu berjalan untuk memasuki kafe ini. Ketika Alea
menoleh ke arah Revo, lelaki itu sudah pergi menuju toilet. Mata Alea
kembali membulat ke arah sosok yang tengah memasuki kafe. Alea
memalingkan wajahnya, tapi percuma. Dia sudahtertangkap basah oleh mata
lelaki itu.
Lelaki itu menghampiri Alea. “Alea?” tanyanya kaget.
Alea terdiam.
“Aku kangen banget sama kamu, Le,” tiba-tiba lelakiitu berkata.
Jantung Alea seperti berhenti berdetak seketika.
“Sori, gue buru-buru.” Alea tak ingin memperpanjang.Dia beranjak dari
tempatnya, lalu bergegas melangkah, tapitangan kokoh lelaki itu menahan
tangan Alea.
Iya, dia Reynand, mantan Alea. Entah untuk apa lagi dia datang, setelah
membuang Alea seperti sampah.
“Le, aku nyari kamu ke manamana dari kemarin kemarin. Aku kangen
sama kamu. Bisa enggak kita ngobrolberdua?” tanya Reynand.
Alea mencoba melepaskan genggaman itu. “Lo enggak denger kalo gue
lagi buru-buru?” Alea menolak. Namun,tindakan Reynand membuat
perasaannya tak karuan.
Dia menarik Alea, lalu menggenggam tangannya erat.
“Maafin aku, Sayang.”
Alea memejamkan matanya. Rasanya, dia ingin menangis sekarang juga.
Mau apa lagi, sih, lelaki ini? Ingin sekali dia melawan, tapi tubuhnya seakan
terbujur kaku.
“Maafin aku,” ulang Reynand.
Alea masih ingat bagaimana lelaki itu berpacaran dengan sahabatnya
sendiri dan dia masih ingat betul bagaimana Reynand menyingkirkan dirinya
begitu saja.
Mungkin, hatinya bisa memaafkan, tapi tidak akanbisa melupakan.
“Rey, lo apaan, sih?” Alea mencoba melepas tangannya.Namun, lelaki itu
malah mempererat genggamannya.
“Lepasin, enggak?”
“Aku masih kangen kamu. Kalo misalnya aku bisa ngulang waktu, aku
enggak bakal mau nyakitin kamu waktuitu, Le.” Air mata Reynand terus
mengalir. Alea semakintidak tega.
“Lo gila, ya? Ini tempat umum.” Alea menekankan.
“Aku ngerti, kok, kalo kamu mungkin sekarang belumbisa maafin aku.
Aku tahu dulu aku salah. Tapi, aku harap, kamu mau nerima aku buat balik
lagi. Aku sayang kamu, Alea.” Reynand mengelus puncak kepala Alea, yang
membuat tubuh Alea menegang.
Reynand tersenyum, lalu pergi meninggalkan Alea.
Alea menatap Reynand dari belakang, hingga sosok itutak terlihat lagi.
Tak lama kemudian, air mata yang sedari tadi dia bendung pun keluar juga.
Maksud lo apa, Rey? Kenapa lo dateng lagi?
Alea kembali duduk di bangkunya, masih mematung.
Mengapa dia masih saja kasihan melihat Reynandmenangis?
“Woi.” Suara itu membuat Alea menghapus air matanyayang mengalir.
“Apaan?” Revo duduk di depan Alea. Dia menatap bingung ke
arahnya.“Lo abis nangis?” tanya lelaki itu seraya menatapnya. Alea hanya
terdiam.Revo menatap lekat wajah Alea, tampak tak mengerti mengapa mata
gadis itu sembap.“Le, lo enggak pa-pa?” tanya Revo hati-hati.“Enggak papa,
kok. Ayo, cari speaker, nanti keburu
malem,” ajak Alea. Dia pun bergegas meninggalkan kafe.
“Eh, bentar, deh.” Revo menghentikan langkahnya. “Udah gue bayar.”
Alea kembali berjalan. “Kalo enggak seneng muntahin aja.” Revo memijit
pelipisnya sendiri. Alea memang benar-benar terlihat beda. Bukannya
biasanya orang akan senang jika ditraktir?

Di toko elektronik ternama di tempat itu, Revo dan Alea mencari speaker
yang kira-kira cocok untuk kegiatan penyiaran radio di sekolah. Setelah
hampir 1 jam, akhirnya mereka mendapatkan speaker yang sesuai.
Revo masih menatap Alea bingung. Wajah gadis itu masih tampak
cemberut dan tak bersemangat. Revo menggarukbelakang kepalanya yang
tidak gatal, lalu melihat sebuah arena permainan yang tidak terlalu ramai.
“Mau ke sana, enggak?” tanya Revo.
Alea menatap Revo dengan datar. “Enggak, ah, males.”
“Ayo, cemen lo!”
“Enggak mau,” tolak Alea lagi.
“Yang menang, ditraktir es krim, deh.”
Mendengar kata es krim, wajah Alea tampak kembaliceria. “Es krim?
Serius?”
Revo mengangguk. “Iya.”
“Awas lo kalo boong.” Alea masih menatap Revodengan tatapan tak
percaya.
“Iya, sekali lagi lo ngomong—gue getok lo, ya.”
Alea tertawa, lalu berjalan menuju arena permainan itu. “Ayo!”
Revo mengikuti langkah Alea sambil tertawa meledek. “Tapi, emangnya
lo berani ngelawan gue?”
“Siapa takut?”
“Masa? Kalo kalah jangan nangis, ya?” ledek Revo.
Alea menatap wajah Revo menantang. “Apa pun bakal gue lakuin demi es
krim tercinta.” Setelah itu, Alea bergegasmemasuki tempat tersebut. Revo
pun mengikuti langkah Alea dan akhirnya mereka bermain permainan balap
mobil. Alea bermain dengan sangat serius sehingga membuat wajahnya
terlihat sangat lucu.
“Ayo, dong, balap!”
“Ah, nabrak!”
“Woi, awas mana klakson!”
Revo menatap kagum Alea, sepertinya gadis ini memang memiliki
masalah, tetapi dia masih bisa terlihatsebahagia ini. Revo tak fokus, sehingga
dia tertinggal jauh.
“Rev, cemen banget, sih, lo!” ledek Alea. “Sok-sokan nantangin gue!”
“Dih, curang lo!” ujar Revo seraya mendorong pelantubuh Alea sehingga
gadis itu tidak berkonsentrasi.
“Lo yang curang. Geseran, di situ masih lega!”
“Ah, curang!” Alea mendorong tubuh Revo denganlengan kanannya
sehingga lelaki itu terdorong dan Alea akhirnya memenangkan pertandingan.
“Yeay, es krim!” pekik Alea senang seraya melompat.
Sementara Revo, lelaki itu mengembangkan senyumantipis seraya
menggelengkan kepalanya. Senyuman itu sangattipis, mungkin tak akan ada
yang menyadarinya.
Alea menatap Revo. “Lo kenapa malah ngelihatin gue gitu, sih? Ayo,
traktir es krim.”
“Jangan seneng dulu. Tanding basket gimana?” tanyaRevo. “Ayo!” Revo
tersenyum licik. Dirinya yang lebih tinggidari Alea pasti akan lebih mudah
untuk mengalahkannya.
Alea terlebih dahulu berlari ke sana. Namun, mata Revo terbelalak
melihat tingkah Alea. Dia menaiki bangku yang biasanya digunakan anak-
anak untuk bermain basket.Sehingga, dia lebih banyak memasukkan bola ke
ring.
“Yes, masuk!”
“Ah, cemen lo pendek, sih.” ledek Alea. Revo pasrah ketika waktu
bermain sudah berakhir dan skor Alea jauh lebih banyak darinya.
“Dua-kosong.” Alea menjulurkan lidahnya.
“Curang!”
“Lo duluan yang curang. Es krim, ya, tetep es krim.” Alea menarik tangan
Revo menuju kedai es krim. Sebenarnya Revo memang sengaja ingin kalah,
dia tahu gadis ini akan sangat bahagia jika bertemu es krim.
“Mas, es krim yang two in one satu, ya,” pesan Alea.
“Mau rasa apa, Kak?”
“Rasanya complete,” jawab Alea dengan semangat. Tak lama, Alea
menerima es krim itu dengan wajah semringah.
Revo membulatkan matanya ke arah gadis itu.
“Namanya sama aja lo meres orang.”
“Gue enggak maksa. Lo yang nantangin gue duluan,” ujar Alea seraya
memakan es krimnya dengan bahagia.
Sesederhana itu dia bahagia? batin Revo.
“Mau?” Ledek Alea.
“Mau.” Revo mendekatkan wajahnya ke es krim Alea.
“Enggak boleh, ini es krim gue. Siapa suruh kalah? Wlek.” Alea
memeletkan lidahnya.
Revo ingin mengelap mulut Alea dengan tissue, tetapi Alea segera
merebut tissue itu. Ketika Alea tengah mengelapmulutnya, Revo mengambil
es krim itu.
“Revo, es krim gue!”
“Es krim gue!” Revo tetap meledek Alea dan tak mau memberikan es
krim itu kembali. “Revo, balikin enggak?”Revo tertawa. “Enggak mau, orang
punya gue.”“Itu punya gue. Siapa suruh lo kalah?” Alea tetap takmau kalah.
Revo mengacak-acak rambut gadis itu, lalu memberikan es krim itu. Alea
kembali memakan es krim kesukaannya. Dalam diam, Revo mengembangkan
senyum tipisnya.
Alea menatap Revo yang ternyata sudah menatapnya terlebih dahulu.
“Jangan lama-lama ngelihatinnya, entar lo naksir lagi sama gue.”
Revo tertawa. “Ngapain gue suka sama cewek kayak lo? Paling nanti lo
yang suka sama gue.”“Kak Revo yang terhormat, bisa enggak jangan
kepedean sehari aja?”Revo lagi-lagi tertawa. “Lihat aja nanti, pokoknya kalo
lo sampe suka sama gue, lo harus traktir es krim, ya?”
Alea masih tetap memakan es krimnya. “Siapa takut?”
Di seberang sana, ada sepasang mata yang tak senang melihat gadis itu
tertawa bahagia.
“Sial, lo harusnya lagi nangis-nangis sekarang. Enggak ada yang boleh
milikin lo selain gue. Lihat aja tanggalmainnya, Alea Annastasya. Lo bakal
balik lagi ke gue.”
Unavoidably

Keesokan harinya, Alea merasa terganggu karena sekolahnya sangat ramai,


entah apa alasannya. Dia sendiri merasa sangat mengantuk. Dia memutuskan
untuk pergi ke perpustakaan sekolahnya, yang merupakan tempat ternyaman
untuk tidur.
“Hoam.” Gadis pipi chubby itu pun tertidur pulas di sana sekitar 15 menit.
Namun kemudian, dia mendengar suara bising dan entakan kaki seseorang.
Ganggu orang tiduraja, batinnya, lalu dia mencoba memejamkan matanya
lagi. Dia tak berhasil, karena kini dia mendengar suara napas seseorang di
sampingnya, yang sangat mengesalkan.
“Enggak usah berisik bisa enggak, sih? Enggak tahu orang ngantuk apa?”
dumel Alea.
“Hai, Le.”
Suara itu tak asing bagi Alea, sehingga dia langsung membulatkan
matanya dan lelaki itu pun menatap Alea dengan lekat.
“Kayaknya, gue lupa baca doa tidur, deh.” Alea mengusap kembali
matanya.
“Hai,” sapa lelaki itu lagi.
“Astagfirullah,” pekiknya kaget.
“Makanya, jangan suka tidur di sekolah,” Reynand tertawa.
Alea menghela napas sejenak.
“Kamu, tuh, emang enggak pernah berubah, ya? Masihaja suka tidur di
sekolah, kebiasaan.”
“Ngapain, sih, lo di sini?” tanya Alea kesal.
Reynand hanya tersenyum. “Bisa enggak ngomongnya aku-kamu aja?”
tanyanya.
“Enggak.” Alea langsung memalingkan wajahnya.
Tuhan, tolong. Di saat gue hampir ngelupain dia, kenapa dia harus
dateng lagi? batinnya. Dia menghela napas lagi.
“Gue tanya, ngapain lo di sini?” tanya Alea ketus.
“Aku, kan, sekolah di sini, Le,” jawab Reynand antusias.“Aku ngumpet di
sini, soalnya tadi pas aku dateng banyak banget orang yang ngejar aku.
Katanya, aku mirip banget sama most wanted di sini, tapi katanya susah kalo
mau dapetin dia. Makanya, mereka ngejar aku. Lama-lama, cape juga,” jelas
Reynand.
Alea hanya terdiam.
“Banyak, lho, Lea, yang naksir sama aku.”
Alea hanya menyunggingkan senyum di bibir kirinya. “Oh.”
“Kamu enggak takut gitu, aku jadian sama cewek lain?”tanya Reynand.
“Enggak. Bukannya udah pernah?”Alea membalikkan.
Sialan ini cewek, gue enggak akan biarin lo move on dari gue, batin
Reynand.
“Aku minta maaf, Lea. Ya?”
“Gue udah maafin lo. Lagian, ngapain, sih, lo tiba-tiba pindah ke sini?”
tanya Alea ketus, lalu bangkit dari posisi duduknya untuk segera
meninggalkan Reynand.
“Lea.” Reynand menahan tangan Alea. “Kan, aku udah bilang, aku cari
kamu ke mana-mana buat minta maaf samakamu. Aku nyesel karena udah
selingkuh sama Gladys waktu itu. Sekarang, aku udah putus sama Gladys,
Le.
“Gladys lebih milih cowok lain dibanding aku. Dan, sekarang, aku
ngerasa kalo kamulah yang sebenernya aku sayang. Makanya, aku pindah ke
sekolah ini buat bikinsemuanya lebih baik lagi. Aku mau kita kayak dulu
lagi, Le.”
Alea menghela napas sejenak, lalu menatap Reynand dengan tatapan
tajamnya. “Kan, gue udah bilang, gue udahmaafin lo. Enggak usah
berlebihan kayak gitu juga.”
“Minggir, dong!” Alea ingin pergi, tapi Reynand menghalanginya.
“Gue bilang minggir!” ulang Alea lagi.
“Aku bener-bener minta maaf, Lea,” ujar Reynandlembut, tapi penuh
penekanan.
“Minggir!” Akhirnya, Alea menabrak tubuh Reynand yang
menghalanginya agar lelaki itu membiarkannya pergi.Alea bergegas berjalan
meninggalkan perpustakaan.
Namun dari jauh, Reynand terdengar berkata, “Nanti,kita pulang bareng,
ya. Aku jemput ke kelas kamu.”
Alea membulatkan matanya ke arah Reynand. “Enggakusah, makasih,”
tolaknya, Alea lalu melanjutkan langkahnya untuk segera pergi.
“Aku enggak nerima penolakan!” teriak Reynand.“Sampai ketemu pulang
sekolah, Cantik.”

Sepulang sekolah, Revo segera keluar dari kelasnya.


“Abang Revo mau ke mana?” teriak Farrel ketika melihat teman
sebangkunya langsung bergegas pulang.
“Gue duluan!” teriak Revo dari jauh.
Dia bergegas menuju kelas Alea. Tadi pagi, dia memangsudah mengajak
Alea pulang bersama.
Setiba di depan kelas Alea, Revo melihat para siswa dan siswi sudah
menghambur keluar. Dia menghampirisalah satu siswa.
“Alea di kelas enggak, cuy?” tanya Revo.
Siswa itu mengerutkan dahinya.
“Kenapa lo nanyain bebeb gue?” tanya Aldi balik.
“Gue serius. Alea di kelas enggak?” ulang Revo.
“Enggak, udah pulang kayaknya. Kelas gu—” jawab Aldi terpotong.
“Oke.” Revo berlari meninggalkan koridor kelas Alea.
Dia menghubungi gadis itu, tapi tidak diangkat, dan tidak ada balasan
sama sekali. Dia mengecek seluruh koridor sekolah, dari perkumpulan semua
divisi OSIS, kantin, ruang guru, TU, lapangan, lorong sekolah, rooftop,
bahkan toilet perempuan. Namun, gadis itu tidak ada di mana pun.
Napas Revo terengah-engah. Rasanya lelah juga mengelilingi satu
sekolah. Di tengah jalan, dia berpapasan denganFarrel, yang ternyata belum
pulang.
“Lo kenapa, sih, ngos-ngosan gitu? Katanya, tadi lo maubalik duluan?”
tanya Farrel bingung.
“Lo lihat Alea, enggak?”
“Alea? Dedek gemes gue?” tanya Farrel.
“Hm.”
“Adek cantik gue?”
“Iya, lo lihat enggak?” tanya Revo panik. Farrel mengetuk dagunya
sendiri.
“Lo mau ngajakin adek gue pulang bareng, ya? Lo sukasama dia, ya?”
tanya Farrel menebak-nebak.
“Rel, serius ini penting,” ujar Revo dengan menatap Farrel tajam.
“Santai kali, ngegas amat.”
Di sisi lain, Reynand bergegas keluar dari kelasnyamenuju kelas Alea.
Kelasnya selesai sekitar 30 menit lebih lama, karena pelajaran terakhirnya
pelajaran Bu Lidya.
Reynand menyipitkan matanya. Kelas Alea sudah sepi.Namun, masih ada
seorang siswa di sana. Reynand menghampiri lelaki yang tak pernah dia
kenal itu.
“Alea udah pulang?” tanya Reynand.
Siswa itu menatap Reynand malas.
“Kan, tadi udah gue bilang, gue mau ngomong lo udah pergi duluan,”
umpatnya kesal. Tapi, tak lama, dia membulatkan matanya, menegaskan
siapa yang benar-benar ada di hadapannya sekarang.
Wajah mereka memang sangat mirip, tapi tetap masih bisa dibedakan.
Penampilan Reynand jauh lebih urakan dibanding Revo.
“Eh, beda orang, ya?” Siswa itu menggaruk belakangkepalanya sendiri.
“Alea udah pulang belum?” tanya Reynand serayamenarik kerah bajunya.
“Santai, Mas. Alea udah balik dari satu jam yang lalu,” jawab siswa itu,
lalu bergegas pergi.
Reynand berdecak kesal.
“Argh. Lo enggak bakal bisa ngejauhin gue, Alea. Enggak akan!”
Reynand mengepalkan tangannya.
Gue enggak akan biarin lo jadi milik orang lain. Lo cumapunya gue,
Alea. Lo ngajak gue main-main hari ini, let’s see your game!
Alea menyusuri jalan dengan air mata yang menetes diwajahnya. Dia masih
saja bertanya-tanya mengapa Reynand kembali begitu saja ke dalam
kehidupannya setelah benar-benar membuangnya?
“Kalo misalnya aku bisa ngulang waktu, aku enggak bakal mau nyakitin
kamu waktu itu, Le. Kalo aku tahu aku bakal kehilangan kamu, aku bakal
jauh dari kamu kayak gini.”
Alea tidak tega melihat air mata Reynand, tapi dirinya tak sebodoh itu
juga untuk menerima Reynand lagi.
“Cantik, jangan nangis, dong, Sayang. Mendingan,kamu sama kita. Iya,
enggak?” Tiba-tiba, empat orang priamenghampiri Alea. Alea menatap
mereka sinis.
“Permisi.” Dia mencoba berjalan, tapi salah seorang lelaki itu
mengadangnya sehingga Alea menabraknya.
“Aku anter, ya?”
Alea menghela napas kesal.
“Mau lo apa? Jangan macem-macem!” bentak Alea.
Lelaki itu terkekeh kecil. “Maunya? Kamu.”
“Permisi, gue mau pulang!” Alea mendorong tubuhlelaki itu, tapi orang di
depannya malah tersenyum nakal.
“Iya, Sayang, aku anterin, ya. Gemes, deh.” Diamenyentuh pipi Alea.
Membuat Alea sangat risi. Dia menepis tangan lelaki itu.
“Enggak usah kurang ajar, berengsek!” bentak Alea.
Lelaki itu semakin tertawa.
“Lo mau ngapain? Hah?” tanya Alea sok berani, padahal sebenarnya dia
merasa sangat takut.
“Kita mau seneng-seneng.”
“Berengsek!”
Mendadak, terdengar bentakan seseorang yang tidak terlalu jauh dari sana.
Alea menoleh, melihat tiga lelaki lain yang terlihat penuh amarah. Salah
satunya Revo, yang langsung menghampiri sosok yang menggoda Alea tadi.
“Rev, sabar!” tahan Aria. Namun, emosi Revo sudah tak dapat dia
kendalikan lagi.
Farrel pun dengan hebat dan kuatnya ikut menghantam salah satu dari
mereka, sampai sosok itu terkapar lemah.
“Ampun, Bang.”
Farrel tersenyum bangga. “Masih mau lo macem-macem sama dedeknya
Babang Revo?”
“Enggak, ampun, Bang.”
“Keren juga gue.” Farrel mengibaskan rambutnya.
Di sisi lain, Revo menghantam tubuh lelaki di depannya tanpa ampun.
“Kalo sampe lo nyentuh dia, hidup lo yang bakal gue obrak-abrik!” Lagi-
lagi, Revo menghantam lelaki itu.
“Lo siapa? Lo enggak berhak buat ganggu gue, bang-sat!” Lelaki itu
menghajar balik Revo dengan kuat hinggapelipis Revo berdarah. Namun,
Revo melawan sampailawannya itu pun terkapar.
“Dia cewek gue. Enggak usah ganggu dia.” Revo menarik kerah baju
lelaki itu.
“Iya, maaf, Bang.”
Mata Alea membola ke arah Revo.
Cewek gue? batin Alea bingung.
Revo menghantam lelaki itu untuk yang terakhir.“Pergi lo!”
Farrel kemudian menghampiri Alea yang tengahmenangis ketakutan.
“Kamu enggak pa-pa?” tanya Farrel lembut.
Alea menghapus air matanya dan tersenyum. “Enggakpa-pa. Makasih, ya,
Kak,” ujar Alea kepada tiga lelaki yang sudah menolongnya itu. Termasuk
Revo, yang kini menatap Alea dengan tatapan tajamnya.
“Kamu mau ikut pulang bareng kami?” tanya Aria,padahal dia
berboncengan dengan Farrel. Farrel menatap Aria bingung.
“Lah, kita mau bonceng tiga? Lo mau besok nama gue dipasang di
mading jadi cabe-cabean? Ngerusak reputasi gue aja lo, ah,” ujar Farrel. Aria
menyenggol tubuh Farrel dengan sengaja dan menatap Revo penuh arti.
“Diem lo curut,” bisik Aria. Farrel hanya menunjukkanderetan giginya.
“Alea biar sama gue,” ujar Revo tegas.
“Abang Revo peka, ya,” Farrel tertawa senang.
“Lo duluan aja,” suruh Revo.
“Oke, kami duluan, ya.” Aria dan Farrel akhirnya pergimeninggalkan
mereka terlebih dahulu.
Dari kejauhan, lagi-lagi ada yang menatap Alea danRevo tidak senang
dari belakang.
“Bodoh, tugas segampang itu aja enggak bisa. Harusnya, gue yang
nolongin Alea!” rahang Reynand mengeras.
“Lo terlalu gegabah, Reynand,” seseorang menepukpundak Reynand.
“Gimana kalo kita kerja sama? Gue juga enggak suka lihat mereka bareng
terus. Gue pastiin, merekabakal hancur.”
“Siapa lo?”
“Enggak penting. Yang jelas, mulai sekarang kita partner.” Gadis itu
tersenyum jahat.
Deeper
“Lihat, deh, ke atas, hidup lo sama kayak gitu. Banyak orang yang sayang
sama lo.

Revo menatap Alea tajam, tatapan penuh arti, tapimenyeramkan, membuat


Alea menunduk.
“Kenapa lo balik duluan?” tanya Revo dingin, lalumengangkat dagu Alea
agar dia menatapnya. Alea menatapmata itu dengan ragu dan tak sanggup
berkata apa pun.
Revo menghela napas kesal, lalu menaiki motornya. “Naik!”
Alea tak punya pilihan selain menaiki motor itu.
“Awas jatuh.” Revo menatapnya dari spion motor. Setelah Alea
menaikinya, Revo mengegas motornya.
“Kenapa, sih, lo balik duluan? Kalo misalnya tadi lo diapa-apain
gimana?” tanya Revo tegas.
Alea mengakui dirinya memang bersalah, tapi tadi dia hanya ingin
menghindari Reynand. Meski begitu, kepada Revo dia hanya bisa
mengatakan, “Maaf.”
Revo kembali menatap Alea dari spionnya.
“Maaf doang gampang. Nyokap lo tahunya lo sama gue.Kalo lo kenapa-
kenapa gimana?” bentak Revo.
Alea menghela napas. Seharusnya, Alea menangis sekarang, tapi Revo
malah membentak-bentaknya.
“Tadi, ada orang aneh ngajakin gue balik bareng, Rev,”jawab Alea.
Revo bingung. “Kan, lo bisa nolak.”
“Gue takut.”
“Enggak ada yang harus lo takutin selama lo sama gue,Alea,” ujar Revo
menenangkan.
Benarkah? Lalu, bagaimana dengan Reynand? Apakah Revo bisa
membuat Reynand tidak menyakitinya?
“Apa yang lo lakuin tadi malah makin bikin lo bahaya. Punya otak dipake
dikit kenapa, sih,” lanjut Revo lagi.“Enggak tahu orang khawatir apa?” dia
memelankan suaranya.
Alea menaikkan satu alisnya, memperjelas apa yang dia dengar barusan.
“Kenapa?” tanyanya.
Revo menatap Alea tajam dari spion. “Enggak pa-pa,” jawabnya ketus,
lalu menambah kecepatan motornya sehingga Alea terkaget dan spontan
memegang Revo.
“Ih, lo bego banget, sih!” Alea memukul tubuh Revo dari belakang, “Rev,
lo nyari mati, ya? Lo punya nyawa berapa, sih?”
Revo tak peduli dan terus mengegas motornya dengankencang. Alea
semakin menguatkan pegangannya.
“Pelan-pelan bisa kali, Rev!”
“Berisik lo!”
Revo bisa merasakan Alea mencengkeram bajunyadengan sangat kuat dan
memukulnya.
“Kita mau ke mana, sih? Lo punya nyawa sejuta, ya? Dikira lo Batman,
Superman, Iron Man, AntMan, Frogman,Crocodileman, Mouseman yang
kalo jatuh bisa langsung nemplok di gedung apa?” bentak Alea ketakutan.
Namun, Revo malah mengklakson siapa pun yang ada di depannya.
“Hati-hati, dong, Mas!”
“Woi. Lo kenapa, sih?” tanya Alea kesal.
“Lebay lo!”
Tak lama, mereka sudah berada di tempat yang tak asing bagi mereka.
Namun, saking takutnya, Alea masih tidak sadar mereka sudah sampai.
Revo diam-diam tersenyum melihat ekspresi wajahAlea yang sangat lucu
karena ketakutan.
“Masih betah pegangannya?” Revo menoleh.
“Eh?” Alea melepas tangannya, lalu melihat ke sekitar.Alea baru sadar
jika kini mereka sudah berada di rumah sakit tempat mama Revo dirawat.
“Suster bilang, kondisi nyokap lagi enggak stabil, Le. Makanya dari tadi
gue nyari lo,” lanjut Revo.
“Kenapa lo harus nyari gue? Bukannya penderitaAmnesia Disosiatif
mungkin agak susah juga buat mengingatmemori barunya?” tanya Alea
bingung.
Revo mengangguk. “Walaupun, dia enggak bisa inget sama lo,
seenggaknya lo orang yang bisa nenangin dia danbuat dia ngerasa nyaman
pas ngobrol sama lo. ”
Alea terdiam.
“Lo mau, kan, bantuin gue?” tanya Revo sambil menatap Alea lekat.
Alea menatap Revo balik, lalu mengangguk serayatersenyum. “Mau,
kok.”
“Ayo.” Revo menarik tangan Alea untuk masuk ke rumah sakit. Tatapan
lelaki itu selalu menjadi sendu ketika dia berada di tempat ini.
Langkah mereka terhenti ketika mendengar suarayang menggelegar dari
kamar mama Revo. Begitu mereka buru-buru masuk ke sana, wajah Revo
berubah menjadi sangat geram.
“Pergi kamu. Saya enggak mau bicara sama kamu!” teriak Catherine.
“Saya cuma mau bicarakan tentang Revo sama kamu. Ada yang harus
saya bicarakan tentang dia, Catherine!” ujar Gerald, papa Revo.
Catherine memegang kepalanya kuat-kuat. Wajahnya tampak sangat
bingung dan cemas. Pada penderita Amnesia Disosiatif, kenangan memang
akan sangat sulit untuk mereka ingat kembali. Namun, sebenarnya kenangan
itu masih terkubur dalam pikirannya dan bisa saja bagian-bagiandari
kenangan tersebut perlahan muncul ketika lingkungansekitarnya menekan
emosinya terlalu kuat walaupun sulit.
“Ada yang harus saya bicarakan tentang putra kita.”
Catherine menggelengkan kepalanya kuat. “Enggak,putra saya sudah
pergi. Dia tidak akan kembali lagi. Atau mungkin, kamu yang membuatnya
pergi dan tak kembali lagi? Apa karena kamu?” tanya Catherine seraya
menatap Gerald dengan matanya yang berkaca-kaca.
Revo di sini, Ma. Selalu di sini buat Mama. Revo sayang Mama, batin
Revo lirih. Ingin rasanya dia memeluk ibunya sekarang. Namun, yang ibunya
tahu, putra kesayangannya sekarang masih kecil. Dia tetap tidak akan
mengingat Revoyang sekarang.
“Catherine, bicara apa kamu? Kondisi kamu yangmenyebabkan semuanya
seperti ini. Putramu sekarangsudah tumbuh dewasa dan sekarang dia
membenci saya.”
Catherine menggeleng kuat.
“Maksud kamu apa? Ini semua karena kamu, kan?Benar kan?” Catherine
mendorong tubuh Gerald dengan keras, dan pria itu tak bisa menerimanya.
“Catherine!” bentak Gerald, lalu mengangkat tangannya. Namun, dengan
sigap Revo menahan tangan kokoh itu.
“Maaf, Pak, bisa saya minta waktu Bapak untuk berbicara sebentar?”
tanya Revo tegas.
Gerald akhirnya mengikuti langkah putranya yangsudah berjalan terlebih
dahulu.
“Lo jaga nyokap gue, ya, tolong,” pinta Revo pada Alea.Alea hanya
mengangguk.
“Kamu siapa? Apa kita pernah bertemu?” tanyaCatherine bingung.
“Saya Alea, Tante. Tante pernah panggil saya PutriCantik. Tante ingat?”
Catherine memandang wajah Alea. Sepertinya, adasedikit memori yang
dapat dia ingat. “Putri Cantik?”
Alea mengangguk. “Iya. Kalau saya boleh tahu, lelaki yang tadi siapa,
Tante?”
Catherine menggeleng. “Saya seperti pernah mengenaldia, tetapi saya
tidak benar-benar tahu siapa dia. Dia bilang,kalau sayalah yang menyebabkan
putra saya pergi. Apa mungkin putra saya tak akan kembali lagi? Apa
mungkin orang asing itu yang mengambil putra saya?”
“Enggak ada yang bisa merebut anak dari ibunya,Tante. Sekalipun bisa,
anak itu pasti akan kembali sama ibunya. Dia tetep jadi milik Tante.”
“Kapan, ya, saya bisa ketemu sama putra saya? Saya sadar saya enggak
bisa bahagiain dia. Tapi, saya enggak ingin dia benci saya. Saya hanya ingin
bilang kalo saya sangat sayang sama dia.”
Ucapan Catherine sangat menohok hati Alea. Kini, Aleatahu, betapa
beruntungnya dia memiliki kedua orangtua yang sangat menyayanginya.
Alea tersenyum ke arah Catherine. “Saya yakin dan sayabisa jamin kalo
putra Tante sayang banget sama Tante.”
Di luar sana, terjadi perbincangan serius.
“Rev,” ujar Gerald seraya menyentuh bahu putranya,tapi Revo
menepisnya.
“Maaf, Pak, untuk apa lagi, ya, Bapak datang ke sini? Bapak belum puas
melihat ibu saya menderita?” bentak Revo dengan mata yang membulat
penuh.
“Saya ini tetap papa kamu, Revo. Tolong bicara yang sopan sama Papa,”
ujar Gerald.
Revo tertawa sinis. “Memangnya, ucapan saya kurang sopan atau
bagaimana?” tanyanya.
“Kenapa kerjaan kamu ngelawan Papa terus?”
“Kenapa kerjaan Anda nyakitin ibu saya terus?” Revo membalik dengan
kalimat yang sama.
“Apa mama kamu enggak becus didik kamu? Sampai kamu berani
melawan Papa!”
“Jangan sekali-kali Anda berani berbicara yang tidak sopan tentang ibu
saya. Justru Anda yang telah menjadi lelaki yang gagal.”
“Anak kurang ajar. Kamu enggak tahu apa-apa!” bentaknya.
“Yang saya tahu, Anda memang seorang laki-lakipengecut yang tidak
bertanggung jawab. Kurang berengsekapa lagi, ya?” ujar Revo penuh
penekanan.
“Revo, saya ini papa kamu. Tolong hormati saya!”
Revo menyunggingkan senyum di bibir kirinya. “Maaf,Pak, saya enggak
sudi punya bapak kayak Anda.”
Gerald menghantam wajah Revo dengan kuat. Revo hanya tertawa sinis
seraya menghapus darah di bibirnya.
“Sudah, jangan ribut di sini!” tegur seorang perawat yang lewat. Mata
Gerald dan Revo menatapnya tajam.
“Diam!” ujar mereka berbarengan.
Perawat itu hanya terdiam, lalu pergi karena merasa takut pada muka
garang bapak dan anak itu.
“Jaga omongan kamu!”
“Yang mana, sih?” tanya Revo lagi.
Gerald lagi-lagi menghantam putranya. Revo sebenarnya masih mengakui
Gerald sebagai papanya sehingga dia tidak mau membalas Gerald.
“Tonjok lagi, dong, Papa sayang.”
“Kamu pulang ke rumah atau saya obrak-abrik hidup kamu, Revo
Adriano!” ujar Gerald sebelum meninggalkanRevo.
“Maaf, Pak. Saya tidak akan pernah sudi kembali ke rumah Bapak!” teriak
Revo.
Ya Allah, dosa enggak, ya, ngelawan orangtua? Semoga Allah ngerti
yang gue lawan itu orangtua kayak Papa, batin Revo yang sebenarnya
sedikit merasa bersalah, tapi rasa bersalah itu tertutupi oleh rasa kecewanya.
Revo melangkah menuju ruangan ibunya. Di sana,ibunya terlihat tengah
tersenyum.
Alea menoleh ke arah Revo, dia mengisyaratkan Revo untuk masuk. Revo
mengerutkan dahinya.
“Gue, ke sana?” tanyanya pelan sambil menunjuk dirinya. Alea
mengangguk, tapi Revo menggeleng menolak.Catherine pasti akan tetap
beranggapan dia bukan Revo.
“Masuk aja.” Begitulah isyarat Alea jika diartikan.
Revo menghela napas sejenak, lalu memasuki ruangan.
Catherine menatap Revo. “Siapa kamu?” tanyanya.
Alea tersenyum. “Dia teman saya, Tante.”
Catherine mengangguk mengerti. “Oh, dia temanmu?”
“Iya, Tante,” ujar Alea seraya mengangguk.
“Sini,” kata Catherine seraya mempersilakan Revountuk menghampirinya
dan Alea.
“Kamu temannya?” tanya Catherine pada Revo.
Revo tersenyum sendu, lalu mengangguk pelan. “Iya, saya temannya
Alea, Tante.”
“Kenapa mukamu berdarah-darah?” tanya Catherine. “Pasti kamu habis
berantem, ya? Anak remaja laki-laki itu memang sukanya berantem, padahal
enggak selamanyaberantem itu baik.”
“Lukamu juga kenapa enggak diobatin? Itu, kan, bisabikin infeksi,” lanjut
Catherine dengan begitu perhatian.
Revo tersenyum haru. Alea benar-benar ajaib. Bahkan,Alea bisa membuat
Revo mendapatkan perhatian ibunya yang selama ini dia rindukan.
“Semoga kalau putra saya sudah besar, dia enggak sukaberantem kayak
kamu.”
“Boleh saya obatin luka kamu?”
Revo mengangguk pelan. “Boleh, Tante.”
Catherine mengambil kotak P3K di dekat sana. Revo menatap Alea, yang
hanya tersenyum.
“Tahan, ya, ini pasti akan sedikit sakit.” Catherinemengobati luka Revo
dengan lembut. Bagi Revo, sakitnya luka itu tidak bisa dibandingkan dengan
rasa bahagianya.
“Bilang sama temanmu ini, jangan berantem lagi,” ujarCatherine pada
Alea.
Alea mengangguk. “Iya, Tante.”
Revo tersenyum hangat ke arah Catherine. “Makasih banyak, Tante.”
“Ibu Catherine, saatnya istirahat.” Seorang perawatmemasuki ruangan ini
seraya tersenyum penuh kehangatan.
“Tante, kami pulang dulu, ya?” pamit Alea.
“Jangan,” tolak Catherine tegas. “Nanti, mereka memaksa saya buat ikut
terapi yang enggak ada gunanya lagi.”
Alea tersenyum. “Terapi itu ada gunanya, kok, Tante. Tante harus mau
terapi, ya. Tante terapi bukan karena Tantesakit, melainkan karena Tante
sayang sama anak Tante. Tante mau, kan, ketemu anak Tante?”
Catherine tertawa penuh arti. “Kamu ini ada-ada aja, bagaimana bisa
terapi membuat saya bisa bertemu dengan putra saya lagi?”
“Tante aja belum coba, gimana Tante bisa tahu kalo Tante bisa ketemu
dengan anak Tante atau tidak? Seenggaknya, Tante tunjukin rasa sayang
Tante ke anak Tante dengan cara terapi ini. Kalau dia tahu, dia pasti akan
senang, Tante.”
Catherine tersenyum senang. “Kalo memang begitu, saya akan coba
terapi.”
Alea tersenyum. “Iya, Tante. Kami pulang dulu, ya.”
“Kalian ini memang anak baik, ya?” ujarnya. “Saya boleh peluk kamu?
Semoga, nanti anak saya setampankamu, ya, kalau sudah besar.” Catherine
tertawa pada Revo.
Revo mengangguk senang. “Boleh, Tante.”
Catherine memeluk tubuh Revo dengan erat. Revo berpikir bahwa rasanya
Alea sudah mengembalikan seluruh bagian hidupnya yang sempat hilang,
meski belum seutuhnya.
Revo sayang Mama. Mama baik-baik, ya, bahagia selalu,
batin Revo.
“Kalian sering-sering main ke sini, ya. Karena kalian, saya jadi enggak
terlalu merasa sepi.” Catherine kembali tersenyum ke arah Alea dan Revo
sebelum mereka pergi. “Apalagi kamu, kamu memang pantas kalo disebut
Putri Cantik,” ujar Catherine seraya mengelus Alea.
“Oh, iya, kalian cocok. Cepat-cepat pacaran, ya,” ledekCatherine. Mata
Alea dan Revo saling bertaut untuk beberapa saat, lalu kembali menatap ke
arah Catherine.
“Tante bisa aja. Kami pulang dulu, ya, Tante?”
“Hati-hati, ya,” ujar Catherine, lalu Alea dan Revomencium punggung
tangan Catherine untuk pamit pulang.
Di luar rumah sakit, Revo duduk terlebih dahulu di sebuah bangku. Alea
pun mengikutinya, melihat Revomenundukkan kepalanya.
“Makasih banyak.” Mata Revo terlihat memerah.Alea tahu jika lelaki itu
pasti ingin menangis. Alea hanya tersenyum padanya.
“Enggak usah gitu juga senyumnya, jelek lo kayakkuda!” ledek Revo.
Alea berdecak kesal. “Enggak usah sok bahagia, deh,”ujarnya. Revo
hanya terkekeh kecil.
“Kenapa malah ketawa?”
“Lucu, lo ajaib.”
“Lebay lo, ah. Tante Catherine itu cuma trauma, Rev. Gue yakin, dia
masih bisa sembuh, dia cuma trauma kalo inget tentang lo dan masa lalunya.
Dia enggak mau lo kenapa-kenapa, dia sayang banget sama lo. Makanya, asal
lo jangan ngaku anaknya, pasti dia baik-baik aja.”
“Iya, Putri Cantik.” Revo terkekeh kecil seraya mencolek hidung Alea.
Alea tertawa hangat. “Tapi, kenapa nyokap lo manggil gue Putri Cantik,
ya, Rev?”
“Mungkin, lo berkesan buat dia.”
Alea mengerutkan dahinya. “Berkesan?”
“Iya, mungkin lo berkesan buat Mama,” jawab Revo seraya tersenyum
dan mengacak gemas rambut Alea.
“Buat gue juga,” lanjut Revo, pelan.
Alea mengerutkan dahinya karena tak dapat mendengar ucapan Revo
dengan jelas. “Apa?”
Tak lama, ponsel Revo berbunyi.
From: 0812xxxx9
Nak Revo, ini Tante Cecill. Alea lagi sama Nak Revo enggak, ya?
Soalnya dia belum pulang. Takut nyasar, takut hilang kalo dia
sendirian.

Revo terkekeh kecil.


To: 0812xxxx9
Iya, Tante, Alea aman, kok, sama Revo. Sebentar lagi kami pulang,
maaf terlambat, Tante. Selamat malam.

“Siapa?” tanya Alea penasaran. Revo memberikan ponselnya kepada


Alea. Alea pun mengambil dan membacanya.“Anak mama udah dicariin,
disuruh pulang,” ledekRevo. “Pulang, yuk?” ajak Revo. Alea
menggeleng.“Kenapa mau cepet-cepet pulang?”“Anak mama udah dicariin,
udah malem.” “Mama tenang kalo gue sama lo, gue enggak mau, ya,lo cepet-
cepet nganterin gue karena lo mau cepetcepet ngeclub atau berbuat hal lain
yang menurut lo bisa hilangin beban lo. Isn’t a good ways, Rev. Tampang lo
emang cocok ada di sana, tapi enggak sebenernya.”
Kenapa dia tahu? Apa karena waktu di rooftop itu, ya? Batin Revo.
Sebenarnya, dia memang bukan badboy.
Tapi, jika sudah urusan keluarganya, dia terkadang suka melakukan hal
bodoh. Tapi, masih dibatas wajar, Revopernah ke club, tapi cuma sekali. Itu
pun hanya sebentar karena dia tidak nyaman dengan suasana di sana. Namun,
memang niatnya hari ini dia akan ke sana.
“Pasti lo lagi mikir kenapa gue bisa tahu, ya?” tanya Alea. Revo
menaikkan satu alisnya.Kok, dia tahu? Batin Revo.
“Pasti lo mikir lagi kenapa gue bisa tahu lagi?” tanya Alea lagi. Revo
menggelengkan kepalanya.
“Lo cenayang, ya?” ledek Revo.
Dia menatap langit malam yang penuh bintang. Alea pun jadi ikut
menatap langit.
“Lihat, deh, ke atas, hidup lo sama kayak gitu. Banyak orang yang sayang
sama lo. Gimana rasanya disayang samaorang yang lo sayang?” tanya Revo.
Alea tertegun. Alea tahu maksud Revo.
“Kadang, gue iri sama lo.”
“Enggak boleh iri, nyokap lo sayang banget, kok, sama lo.” Alea
tersenyum, Revo ikut tersenyum.
“Gue juga sayang, kok, sama lo.” Alea tersenyum manisseraya menatap
Revo lekat. Jantung Revo jadi berdebar lebih kencang dari biasanya karena
ucapan Alea.
“Bodo amat.” Revo memalingkan wajahnya. Alea tertawa pelan.
“Pengurus OSIS emang boleh pacaran sesama anggota?Enggak bisa baca
peraturan?” lanjut Revo dengan tegas.Revo tetaplah Revo, sikapnya bisa
berubah begitu saja.
“Gue cuma bercanda kali, serius banget, sih, lo?” kata Alea. Namun, raut
wajah Revo menjadi berubah.
“Jangan-jangan, lo, ya, yang sayang sama gue?” tan-ya Alea seraya
tertawa. “Lagian, gue bilang, kan, sayang, emang kalo sayang harus
pacaran?”
“Terserah lo.”
“Enggak bisa sayang sama anak OSIS, dong?” tanya Alea lagi.
“Bisa.”
“Katanya enggak boleh, gimana, sih, lo?”
“Kan, enggak boleh, bukan enggak bisa.”
“Kira-kira bakal dimarahin enggak?”
“Ya, kalo ketahuan Aria dimarahin, lah,” jawab Revo.
“Kalo ketahuan sama wakilnya Aria bakal dimarahin enggak?”
“Enggak. Berisik lo nanya mulu,” ujar Revo. Alea terkekeh kecil.
Walaupun terlihat kasar dan menyebalkan,tapi nyatanya Revo menyenangkan
dan tulus.
“Kenapa enggak dimarahin?”
“Kan, nanti lo pacarannya sama gue,” jawab Revo dengan mengangkat
satu alisnya.
“Berarti, lo kalah!”
“Kalah apaan?” tanya Revo bingung.
“Kan, lo pernah bilang, lo enggak bakalan suka sama cewek kayak gue.
Pake nantangin traktir es krim lagi kalo ada yang suka duluan.”
“Masa?” Revo mencoba mengingat ucapannya.
“Iya, berarti lo kalah sama tantangan lo sendiri. Cemen.” Alea
memeletkan lidahnya.
“Berarti, lo beliin gue es krim, kan?”
“Kan, gue cuma macarin, lo yang sayang sama gue.”
“Tapi, kan, gue cinta sama lo, lo enggak tahu, ya?” lanjut Revo yang
membuat pipi Alea memerah sempurna. Napasnya seperti sudah habis. Dia
menatap Revo serius, jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.
“Lagi deg-degan, ya?” Revo meraup wajah Alea.
“Gue—gue enggak deg-degan.”
“Gitu, ya?” Revo menaikkan satu alisnya dengan tatapan
mengintimidasinya.
“Satu sama. Ayo, balik!” Revo mengacak-acak rambut Alea dengan
lembut, Revo sudah menaiki motornya terlebih dahulu, tapi Alea masih
mematung.
“Ayo, naik. Nanti aja mikirin guenya,” ujar Revo narsis.Alea menghela
napas kesal.
“Enggak usah kepedean. Gue enggak pernah mikirin lo!” tegas Alea
seraya menaiki motor Revo.
“Emang kenyataannya gitu, kan?” goda Revo lagi.
“Gue enggak pernah mikirin lo. Gue enggak akan pernah suka apalagi
sayang sama cowok aneh kayak lo. Enggak usah kegeeran, deh!” tegas Alea.
Revo terkekeh.
“Tapi, lo cinta, kan, sama gue?” Revo tertawa. “Kalo emang enggak
bener, kenapa ngotot? Berarti sering, ya?”
“Enggak.”
“Mikirinnya pas mau tidur atau udah tidur?”
“ENGGAK!” sentak Alea. Revo hanya tertawa saja.
“Dua-satu. I love you, Alea.” Kata-kata Revo benar-benar membuat
jantungnya berdebar sangat kencang. Revo menatap wajah Alea dari kaca
spion. Dia hanya tertawa saja.
“Tiga-satu. Udah tahu otak lo rusak, pake nerima segalatantangan gue.
Ya, kalah, lah.”
“Ih, gue bilangin Mama, nih, ya? Sembarangan aja lo ngomong.”
“Iya, Putri Cantik anak kesayangan Mama,” ledek Revo.
“Sialan.” Alea memukul Revo dengan cukup kuat.
“Jangan mukul, kalo gue pukul balik nanti lo nangis.”
“By the way, yang tadi enggak serius, kan?
”Revo mengerut bingung. “Yang mana?”
“Ya, itu ... yang tadi,” jawab Alea kikuk.
“Yang mana? Yang jelas kenapa kalo ngomong,” ujar Revo. Alea
berdecak kesal.
“Yang, I love you.”
“Jangan sayang-sayangan dulu, pake ngomong I love you. Ganjen banget,
sih, lo, gue tahu gue ganteng.”
“Terserah, ngeselin banget, sih, lo jadi manusia?” Sela Alea. Revo hanya
tertawa.
Detik-detik berikutnya, mereka saling diam. Namun, bukan kecanggungan
yang tercipta, tapi rasa nyaman yang perlahan hadir ke dalam perasaan
mereka masing-masing.
“Kenapa lo diem? Masih penasaran, ya, tentang yang tadi?”
Alea menaikkan satu alisnya yang menandakan jika sebenarnya dia masih
penasaran. Namun, wajah Revoseakan masih bertanya.
“Hm,” jawab Alea singkat.
“Maunya serius apa enggak?” tanya Revo seraya menatap Alea lekat dari
kaca spion. Alea hanya terdiam tanpa berkata apa-apa, tetapi wajahnya
terlihat sangat lucu dan menggemaskan sehingga Revo tertawa.
“Gitu banget, sih, muka lo? Gue bercanda, lah, ngapaingue suka sama
cewek jadi-jadian kayak lo? Padahal, KendalJenner aja mau sama gue.”
“Lo, tuh, bisa enggak, sih, enggak usah kepedean sehariaja?” Alea
memukul tubuh Revo lagi dari belakang. Namun,malah membuat lelaki itu
tertawa.
Mungkin, jawaban Revo mengecewakan. Tapi, Aleacukup lega, karena
sejujurnya dia belum mengerti apayang dia rasakan untuk Revo. Dia juga
masih belum mau berpacaran dengan Revo, dia masih nyaman dengan
posisinya saat ini.
Malam itu, hanya diisi oleh obrolan garing dan pertengkaran mereka saja.
Tapi, Alea bahagia, bisa membuat Revo melupakan masalahnya. Bukan
karena apa, tapi Alea yang entah mengapa dia tak mau Revo terus bersedih
dan melampiaskannya ke hal negatif.
Kini, mereka sudah sampai di rumah Alea, lalu Alea turun dari motor.
“Gue langsung balik, ya. Langsung tidur aja kalo ngantuk, enggak usah
mikirin gue,” ujar Revo meledek.
“Sori, ya, enggak ada waktu.” Alea hendak memasuki rumahnya. Revo
hanya terkekeh kecil.
“Jangan ke tempat yang aneh-aneh, awas aja!”
“Iya, Putri Cantik,” ledek Revo lagi sehingga Alea menatapnya malas
sebelum dia masuk ke rumahnya.
“Cewek aneh, tapi ajaib.” Revo hanya menggelengkan kepalanya.
Alea melangkah untuk memasuki kamarnya. Dia berpapasan dengan
Cecill yang wajahnya dilumuri masker.
“Revo mana?”
“Langsung pulang.”
“Kenapa enggak diajak masuk?”
“Enggak mau katanya, mau langsung pulang aja.”
“Ya, udah, tidur sana. Mama mau maskeran, jangan ganggu,” suruh
Cecill.
Alea menurut, bergegas untuk memasuki kamarnya. Namun, langkahnya
terhenti ketika melihat sang kakakyang berdiri di hadapannya. “Malem
banget lo pulang,balik sama siapa?”
“Sama Revo, Bang,” ujar Alea ragu. Wajah Leon sudah menunjukkan
ekspresi tak sukanya.
“Makin deket aja lo sama Revo.”
Alea menghela napas. “Bang, lo itu kenapa, sih? Gue sama Revo itu
enggak pacaran.”
Leon menajamkan tatapannya. “Tapi, lo suka samaRevo, Le. Gue, kan,
udah pernah bilang, Revo itu bakalan nyakitin lo. Gue cuma enggak mau lo
sakit hati nantinya. Revo, tuh, berengsek, Le!”
Alea menggeleng. “Bang, Revo mungkin emang bukancowok yang
sepenuhnya baik. Tapi, gue yakin, kok, diaenggak seberengsek itu.”
“Lo bisa ngomong kayak gitu karena lo udah jatuhcinta, Alea. Mending lo
jaga jarak sama Revo. Terserah kalolo enggak mau dengerin omongan gue,
tapi lo bilang sama hati lo. Siap-siap kecewa!” tegas Leon, lalu pergi.
Alea kembali menggeleng. “Dasar Bang Leon aneh,sendirinya aja suka
ganti-ganti cewek.”Dia memasuki kamarnya dan mengganti pakaiannya,lalu
merebahkan tubuhnya di kasur.
Dia menatap langit-langit rumahnya, terbayang wajah Revo yang sedang
tersenyum hangat ataupun tertawa lepas.Menurutnya, Revo lebih baik seperti
itu dibanding memasang wajah jutek yang sangat menyebalkan.
Alea mengambil ponselnya, lalu membuka Instagram, dan melihat
Instagram Stories milik Revo.
Kali ini, kenapa gue setuju sama orang-orang kalo Revo ganteng?
Kecuali kalo nyebelin, gantengnya ilang, batin Alea.
“Gue kenapa, sih? Kenapa malah mikirin makhluk aneh jadi-jadian?
Ngaco, nih, gue.” Alea mengetuk kepalanyasendiri. Omongan Revo—bahwa
Alea akan memikirkannya—bisa-bisanya menjadi kenyataan.
Kling. Ponsel Alea berbunyi.

revoadriano: Tidur udah, jangan mikirin gue.

tasyalea: Berisik.

Mengapa juga dia harus memikirkan sosok Revo? Dia mematikan


ponselnya dan menuju kamar mandi. Dia mencuci wajahnya, menatap
wajahnya dengan jelas di kaca. Diamenggeleng kuat-kuat.
“Gue enggak suka Revo. Ngapain gue suka sama cowokaneh kayak
Revo? Revo, kan, aneh. Gila. Ngeselin. Jadi-jadian lagi. Enggak. Gue enggak
baper.” Alea memegangikepalanya sendiri, menepis seluruh bayangan
tentang Revo.
Dia tak tahu apakah dia sudah jatuh cinta atau belum, intinya dia tidak
mau. Tidak mau jatuh cinta lagi secepat ini, dia tidak siap.
“Enggak ada yang harus lo takutin selama lo sama gue, Alea.”
“I love you, Alea.” Alea menggelengkan kepalanya.
Ada satu yang Alea takuti. Dia takut jatuh cinta lagi.
“Enggak boleh, enggak.” Alea menenangkan diri.
“Alea, tidur. Jangan berisik!” teriak mamanya.
Kenapa jadi gue yang berisik? Perasaan, Mama yang teriak, batin Alea.
Dia menggelengkan kepalanya. Mamanya memang unik, seperti dirinya.
Semenjak dia mengenal Revo,dia semakin bersyukur karena memiliki ibu
yang sangat menyayanginya dan selalu ada untuknya.
Tak Disangka
Mungkin benar, jangan terlalu percaya jika kamu tak ingin dikecewakan.

Hari ini, Alea bahagia karena dia tidak terlambat. Tapi, dia juga tidak
bersemangat, karena harus mengikuti pelajaran Olahraga yang tidak dia
sukai. Apalagi, Olahraga diletakkan pada jam terakhir pelajaran.
Begitu pelajaran itu selesai, masih saja ada yang mengganjal hati Alea.
Kelasnya dan Revo selalu bersamaan saatpelajaran Olahraga, tapi di mana
Revo? Alea tidak melihat Revo sama sekali hari ini.
Seseorang menepuk pundak Alea, membuat Alea terkejut. “Revo?”
Sosok itu malah tertawa. Ternyata, Vei, teman Alea di OSIS. “Cie, Kak
Revo mulu.”
“Vei, ngagetin aja, sih, lo.”
Vei lagi-lagi tertawa. “Ketahuan, deh, lo lagi mikirin Kak Revo. Jangan-
jangan, dari tadi lo nyariin Kak Revo?”
“Ih, apaan, sih, Vei. Lagi juga, kenapa tiba-tiba lo ada di sini?” tanya Alea
bingung.
“Tadinya, sih, gue lagi nyari temen gue, terus guengelihat lo lagi
celingak-celinguk. Lo pasti lagi nyariin KakRevo, ya?” tebak Vei sok tahu.
“Apaan, sih, enggak!”
“Masa? Kayaknya, lo lagi deket gitu sama Kak Revo. Tapi, kok, Kak
Revo enggak nembak-nembak lo, sih, Le? Kalo nanti Kak Revo cuma
ngegantungin lo gimana? Kak Revo, kan, ganteng, cewek mana, sih, yang
enggak mau sama dia? Kalo dia enggak macarin lo karena dia punya cewek
lain gimana, Le? Atau, jangan-jangan dia enggak serius sama lo?” tanya Vei
bertubi-tubi.
“Vei, nanya mulu lo kayak pembantu baru.”
“Ya, udah, semoga lo sama Kak Revo cepet jadian, deh.Walaupun sesama
OSIS dilarang jadian, tapi, kan, Kak Revobentar lagi lulus.”
Mata Alea membulat ke arah Vei. “Vei, lo bisa diem enggak?”
“Udah, ya, Le. Gue mau nyari temen gue lagi. Dadah, Alea. Hati-hati
cinta lo bertepuk sebelah tangan!” teriak Vei, lalu pergi meninggalkan Alea.
Alea kembali menoleh ke gerombolan kelas Revo, XII IPA 2, yang baru
saja selesai berolahraga. Namun, dia masihtidak melihat lelaki itu.
Apaan, sih, gue? Ngapain juga jadi nyariin Revo? Enggakpenting,
batinnya.“Eh, cuy!” Alea melihat Acha yang berlari ke arahnya dengan napas
terengah-engah. “I—ini,” ujar Acha tersengal.
“Pelan-pelan, Cha.”
Acha memberikan botol minuman kepada Alea.
“Lho? Buat gue?” tanya Alea bingung.
“Iya.”
“Baik banget, sih, lo, Cha. Makasih, Acha cantik, deh.”Alea mencolek
dagu Acha.
“Bukan dari gue, Le.”
“Terus, dari siapa?”
Acha tampak berpikir dan mengingat. “Siapa, ya?”
“Dari Kak Revo, deh, kayaknya,” lanjut Acha. Aleabingung, dia
mengerutkan dahinya. Dia melirik ke seluruh penjuru, tapi tidak ada Revo di
sini.
“Serius dari dia?”
Acha mengangguk. “Gue duluan, ya, Le. Bokap gue udah di depan.”
“Oh, iya.” Alea membiarkan Acha pergi. Dia menatap botol itu ragu. Dia
sebenarnya tak ingin meminumnya.Namun, dia sangat haus. Toh, itu dari
Revo. Pemikirannya seperti itu.
Alea meminum minuman itu hingga setengah botol.Namun, tiba-tiba saja
kepalanya terasa sangat berat. Tak lama kemudian, tubuh Alea terkapar di
saat lapangan sudah sangat sepi. Anak-anak dari kelas Revo pun sudah
pulang.
Ketika membuka matanya, Alea mendapati dirinya berada di tempat yang
sama sekali tidak dia kenali. Di depannya, ada beberapa lelaki. Alea
menyipitkan matanya. Rupanya, mereka empat lelaki yang mengganggunya
di jalan waktu itu.
“Hai, udah bangun, ya, Cantik? Gimana tidurnya?”tanya lelaki itu seraya
mengacak rambut Alea. Alea ingin menepisnya, tapi tangan dan kakinya
diikat.
Dia terkejut saat mendapati bahwa ternyata mereka satu sekolah
dengannya. Seragam mereka sama denganyang Alea kenakan.
“Hai, Cantik,” lelaki itu menggerakkan tangannya di depan wajah Alea.
“Siapa lo? Mau lo apa, sih?!” Alea setengah berteriak.
“Kamu, anak baru, ya? Belum tahu siapa aku? Kenalin,aku Vando. Dia
Ivan, Alex. Kalo dia namanya Raka.” Vandomenunjukkan satu per satu
teman-temannya. Alea ingat cerita Bella dan Vei tentang mereka. Sepertinya,
mereka geng motor dan pentolan di SMA Gempita yang dimaksud itu.
Mereka anak nakal, sangat nakal.
“Aku mau kamu, Sayang. Aku rela kemarin babak belurdemi kamu.”
Vando mengelus pipi Alea dengan lembut.Alea membuang wajahnya.
“Kemarin, aku gagal dapetin kamu, tapi aku tetep maukamu.”
“Maksud lo apa? Hah?” Alea hampir berteriak. Vando mencengkeram
dagu Alea dengan kuat sehingga membuat Alea meringis.
“Lo berani sama gue? Berani?” bentak Vando.
Mata Alea sedikit memerah, dia sangat takut sekarang.Namun, lelaki-
lelaki itu justru tertawa nakal.
“Diem lo semua!” bentak Alea. Meski begitu, kali ini airmatanya
mengalir saat ketiga lelaki itu juga mendekatinya.Dia sangat takut.
“Abis bentak-bentak kita, dia nangis, Do,” kata Raka.
“Jangan nangis, dong, Dedek Gemes.”
Mama, Bang Leon, Papa, Revo. Kalian di mana? Guebutuh kalian. Gue
takut. Entah mengapa, nama Revo ikut dia sebut di dalam hatinya.
Vando mencondongkan badannya dan mengubah posisinya menjadi
berjongkok. Dia menyeka air mata Alea yang jatuh menetes.
“Jangan nangis. Ada aku di sini,” kata Vando.
“Tolong jelasin sama gue, maksud kalian apa? Apasalah gue sama
kalian?”
“Kita cuma mau seneng-seneng, kok,” ujar Vando.
“Gue serius,” tegas Alea dengan suara parau. Air matanya sudah mengalir
deras. “Apa ada yang nyuruh kalian buat ngelakuin ini?” Meski sekarang dia
sangat takut, dia tetap saja penasaran.
“Nyuruh apa, sih, Sayang? Emang aku yang mau kamu,Alea,” ujar
Vando. “Kamu terlalu sombong jadi adik kelas.Makanya, kita ajak main,”
lanjut Vando.
“Apa salah gue sama kalian? Siapa yang nyuruh kalian?” tanya Alea
sambil berteriak.Vando menatap Alea tak tega. Dia menghela napas sejenak.
“Lo cantik. Tapi, bego,” ujarnya.
Alea menyipitkan matanya.
“Maksud lo apa?”
“Apa, ya?” Vando mendekatkan wajahnya pada Alea.
“Jawab, berengsek!” tegas Alea.
Vando tertawa sinis.
“Mending berengsek ngaku berengsek. Daripada pura-pura baik, tapi
tahunya berengsek, sampah!” tegas Vando balik, membuat Alea tak mengerti.
“Munafik.”
“Pencitraan.”
“Katanya, sih, most wanted, suka menang olimpiade,kebanggaan
sekolah.”
Begitulah suara-suara dari mereka, keempat lelaki itu. Alea semakin tak
mengerti.
“Oh, iya, aku inget. Yang anak organisasi itu, ya?Organisasi apa, ya?”
Vando berpikir seolah tak tahu. Padahal, Alea tahu sebenarnya mereka orang
suruhan.
“Oh, yang nyuruh kita seneng-seneng sama Alea? Siapayang mau nolak,
orang cantik begini,” lanjut Ivan.
“Kamu bener-bener bodoh, Alea. Makanya, aku kasih tahu. Tapi,
organisasi apa, ya? Lupa,” ledek Vando.
“Oh, organisasi?”
“Siswa Intra Sekolah?” Mereka semua tertawa. Kecuali, Alea. Ucapan itu
benar-benar membuat jantung Alea seolahberhenti berdetak. Dia terkejut
bukan main.
“Bohong. Apa buktinya?”
“Ada, lah, buktinya. Tapi, nanti kita enggak dibayar. Laper, kan, belum
makan,” ujar Raka.
Secara tidak langsung, mereka mengatakan jika ada seseorang yang
menyuruh mereka untuk melakukan semuaini kepada Alea.
“Kalo kalian cuma mau uang, gue bayar lebih dari yangdia bayar,” ujar
Alea, membuat mata mereka berbinar.
“Masa, kamu masih enggak ngerti juga, sih, Sayang?” tanya Vando.
Alea sepertinya mengerti siapa yang dimaksud Van-do, tapi dia masih
berpikir bahwa itu tak mungkin. Meski begitu, dari kejadian awal yang dia
ingat, memang semuabukti mengarah kepada dia.
“Siapa yang kalian maksud?” bentak Alea.
“Perlu disebut namanya? Kasihan, nanti malu.”
“Siapa yang lo maksud, Vando? Siapa?!”
“Takut, dia sama temen-temennya jago berantem.”
Kata-katanya membuat hati Alea semakin teriris. Enggak. Enggak
mungkin! Batin Alea berteriak.
“Siapa orangnya?!” Alea benar-benar berteriak mencarikepastian. Air
matanya terus mengalir.
“Kamu kenal orang ini, kan?” tanya Vando sambilmenunjukkan layar
ponselnya. Alea mencoba menatap layarponsel itu, tapi posisi tangannya
masih terikat.
“Oh, bentar.” Raka membukakan ikatan pada tubuh Alea, membuat
merasa cukup lega. Dengan sikap sepertiini, kemungkinan besar mereka tidak
akan berbuat apapun pada Alea.
Alea mengambil ponsel Vando. Di layar, terputarsebuah video dengan
seorang lelaki di dalamnya. Dari belakang, Alea sangat mengenali siapa
orang itu.
“Pokoknya, lo seneng-seneng aja sama cewek itu. Lo mau dia, kan?
Kemarin, gue cuma pura-pura nolongin dia, biar dia enggak curiga. Hari ini,
gue bakal menghilang, biar dia enggak nyangka. Gue benci dia, gue benci
Alea.”
Tes. Air mata Alea perlahan kembali menetes membasahi pipinya. Bukan,
itu bukan Reynand. Sang pelaku memang sangat mirip dengan Reynand, tapi
Reynand tidak mungkin berpenampilan seperti Revo. Tidak
mungkin.Reynand tidak pernah memakai ikat pinggang, apalagi dasi.Baju
saja jarang dimasukkan.
“Itu Revo yang kemarin nolongin kamu, kan?” tanya Vando.
Alea sekarang benar-benar menangis. Apa kesalahannya kepada Revo?
Apa yang membuat Revo membencinya sampai begini? Rasanya benar-benar
sakit.
Berarti, benar kata orang. Jika ada orang yang terlalu baik kepadamu,
jangan langsung percaya. Itulah yang menjadi pemikiran Alea. Dia, toh,
masih 16 tahun, masih terombang-ambing pikiran dan perasaannya.
“Gue balik, deh. Besok, uangnya gue transfer. Makasih banyak.” Alea
beranjak meninggalkan tempat itu.
“Mau aku anterin?” tanya Vando.
Alea hanya tersenyum lemah.
“Enggak usah, makasih,” jawabnya sebelum benar-benar pergi dengan air
mata yang terus mengalir.
Dia tak tahu di mana dia sekarang. Yang dia tahu, dia sangat kecewa
kepada Revo. Apakah dia salah memberikan penilaian terhadap Revo?
Apa salah gue, Rev? Apa? Kenapa lo benci gue? Pekik Alea dalam
batinnya. Dia masih tak menyangka.
Tadinya, Alea berpikir bahwa Revo seniornya yang sebenarnya memiliki
hati yang baik. Yang membuat Alea melupakan masalahnya, yang
membuatnya kesal, lalu tertawa, yang selalu membuatnya bahagia, bahkan di
kala dia harusnya menangis. Alea kecewa saja jika Revo memiliki masalah
dengannya, mengapa caranya harus begini?
Alea sangat terpukul. Padahal, rasanya baru kemarin Revo bilang,
“Enggak ada yang harus lo takutin selama lo sama gue, Alea.”
Baru semalam, mereka bergurau tentang tantanganyang tak jelas. Baru
semalam, dia mengucap I love you, walaupun hanya bercanda. Lalu, ini apa?
Air matanya kembali menetes.
Daerah ini sangat sepi, tapi Alea tak peduli. Seka
rang, dia hanya benar-benar kecewa kepada Revo.
Kata-kata yang dia dengar di video tadi sangat melekatdi memorinya.
“Gue benci dia, gue benci Alea.”
Terlihat sebuah motor yang tak asing di matanya.
“Ar, itu Alea?” Revo terkejut bukan main melihat Alea yang tengah
menangis dan sendirian di tempat sesepi ini. Wilayah ini sangat jauh dari
kawasan SMA Gempita.
“Hah? Alea mulu. Kangen, ya? Baru enggak ketemu sehari,” ledek Aria.
Revo menghela napas kesal. “Gue serius.”
Aria membulatkan matanya ke arah gadis itu. Benar yang dikatakan Revo,
itu Alea.
“I—iya, itu Alea.” Dia mengegas motor milik Revo untuk menghampiri
Alea.
Alea sendiri kembali berpikir keras. Dugaannya dan bukti yang
ditunjukkan Vando sepertinya benar. Daerah ini sangat jauh dari sekolah, lalu
untuk apa Revo ke sini? Di dekat tempat dia disekap? Untuk apa?
Revo menatap Alea bingung, sementara Alea menatapRevo tajam, penuh
pertanyaan. Revo turun dari motornya.
“Kenapa lo di sini?” tanyanya. Alea menatap Revotajam.
“Kenapa lo enggak pulang? Di sini sepi. Kalo lo kenapa-kenapa gimana?”
tanya Revo lagi.
Alea tertawa sinis.
“Maksud lo apa?” pekiknya.
Revo bingung dan tak mengerti.
“Maksud lo apa, sih?” Alea kembali bertanya dengan setengah berteriak.
“Maksud lo apa, Rev? Jawab!” Alea kinibenar-benar berteriak, lebih kencang
dari yang tadi. Revo melihat air mata Alea benar-benar mengalir deras.
“Jangan nangis.” Dia mencoba menyeka air mata gadisitu, tapi tangannya
ditepis dengan kuat.
Alea kemudian menampar Revo dengan cukup kuat, melampiaskan
emosinya. Revo memegang pipinya yangcukup sakit. Namun, rasa sakit
karena ditampar oleh Alea tidak sebanding dengan rasa penasarannya.
Aria yang melihat itu pun tidak mengerti apa yangterjadi.
“Lo kenapa, sih?” desak Revo.
Alea masih menangis, tapi menatap Revo dengan tatapan yang sangat
tajam.
“Gue kecewa sama lo, Rev.” Suaranya mulai melemah.
Dia ingin segera pergi, tapi Revo menahan tubuh Alea, meskipun Alea
terus memukulnya dan memberinya perlawanan. Aria memberi kode kepada
Revo untuk melepaskannya saja. Akhirnya, Revo menurut, gadis itu
menatapnya tajam, lalu segera pergi.
“Dia masih emosi,” ujar Aria.
“Tapi, dia kenapa?” Revo menunjukkan raut wajahbingung. “Ini udah
malem banget, Ar. Kasihan dia baliksendiri, emang dia tahu daerah sini?”
tanyanya khawatir.
Tapi kemudian, dia melihat Alea yang mencegat taksi dan naik ke taksi
tersebut.
Revo menaiki motornya. “Ikutin aja, Ar.”
“Hah?”
“Ikutin!” suruh Revo. “Tapi, jangan sampe ketahuan.”
Aria pasrah. Dia mengikuti taksi Alea dengan perlahan agar suara
motornya tidak terdengar jelas.
Sekarang sudah pukul 11.00 malam, wajar saja jikaRevo khawatir.
Mereka mengikuti Alea sampai ke depan rumahnya, setelah aman baru Revo
dan Aria sembunyi.
Alea masuk ke rumahnya dengan lemas.
“Kenapa baru pulang?” tanya Cecill tegas.
Alea tak tahan untuk kembali menangis.
“Kamu kenapa?” Nada bicara Cecill seketika berubah. Dia menghapus air
mata putrinya yang mengalir.
“Ma, Bang Leon udah tidur?” tanya Alea.
Cecill menggeleng. “Tadi, dia balik ke Bandung. Tadinya mau nunggu
kamu pulang, tapi kamunya kemaleman, makanya dia duluan. Salam
katanya,” jawab Cecill. “Kamu kenapa?”
“Hampir diculik, tadi sempat disandera.”
“Mama serius, kamu kenapa?”
“Emang muka Alea kayak orang bercanda, ya?” tanya Alea serius, dengan
matanya yang sembap.
“Emang tadi enggak pulang bareng Revo?” tanya Cecill.
Mata Alea berkaca-kaca lagi. Dia menggeleng.
“Besok-besok, Mama suruh Revo anter-jemput kamu, ya? Mama tenang
kalo kamu sama dia. Kamu pasti enggakakan kenapa-kenapa begini.”
Alea menggeleng seraya tersenyum miris. “Enggakusah, Ma. Alea bisa
sendiri. Alea ke kamar dulu, ya.” Alea memasuki kamarnya.
Mama enggak tahu siapa Revo sebenarnya. Alea lalu menelungkupkan
wajahnya di bantal kesayangannya.
Dia sudah merasa sangat mengantuk sekarang, tapiperasannya kini tengah
tak bersahabat. Dia beranjak dari kasurnya, lalu membuka jendela kamarnya
dan menatap bintang yang tengah berkelip indah di atas sana.
Terkadang aku berpikir, apakah boleh aku iri pada langit?
Langit memiliki mentari yang selalu bersinar terang untuknya.
Langit juga memiliki bulan yang menghangatkannya,dengan sinar redup
miliknya.
Langit juga memiliki bintang yang menghiasi gelapnya.Bintang juga tak
pernah meninggalkan langit sekalipun tak adayang bisa melihatnya di pagi
hari.
Bukan seperti dia, yang datang seakan menghangatkan, tetapi berujung
menyesakkan.
“Bang Leon, kenapa lo harus pulang ke Bandung sekarang, sih? Gue
nyesel enggak dengerin omongan lo, Bang. Gue kecewa sama Revo.”
Mungkin benar, jangan terlalu percaya jika kamu tak ingindikecewakan.
Want to Go

Semenjak kejadian itu, Alea malas masuk sekolah. Sudah tiga hari.
Mungkin, karena dia terlalu memikirkan hal itu, dia jadi jatuh sakit. Beberapa
kali Revo mencoba menemuinya, tapi Alea selalu menolak.
Kini, Alea tengah berada di kamar seraya menataplangit-langit kamarnya.
Dia meraih ponselnya dan mulai membuka aplikasi Instagram miliknya.
Meski sedang sangat kecewa, dia tetap melihat Insta Story yang dibuat oleh
Revo,yang bertuliskan; I am sorry, I hate me too.
Alea menarik napas sejenak untuk menenangkan pikirannya. Dia masih
terlalu kecewa.
Setelah tiga hari, akhirnya Alea masuk sekolah. Dia memasuki ruang
OSIS, menatap seluruh anggota yangsudah berkumpul. Dia menghampiri
Aria yang berdiri di depan pintu.
“Kak, saya mau ngomong,” ujar Alea tegas.
Aria mengerutkan dahinya. “Kita enggak bisa cumaberdua ngomongnya,
formatur saya perlu tahu. Termasuk Revo,” ujar lelaki itu.
Alea hanya mengangguk.
Aria keluar kelas dan berteriak, “Den, panggilin formatur. Bilang aja
disuruh Aria.”
Tak lama, mereka datang dengan wajah bingung.Apalagi, Revo. Dia
menatap Alea yang sudah berada di sana.
“Kenapa, Ar?” tanya Revo sambil menatap Alea sekilas.Aria pun menatap
Alea dengan tegas.
“Saya mau keluar dari OSIS, Kak.”
Kening Revo berkerut, matanya membulat ke arah Alea.
“Kenapa?” tanyanya tegas.
Alea hanya terdiam.
“Kalo cuma karena masalah pribadi kamu sama salah satu anggota saya,
kamu enggak bisa keluar seenaknya,” tegas Aria.
Alea menghela napas.
“Tapi, saya udah pikirin tentang ini, Kak.”
Aria berpikir sejenak. Sebenarnya, dia mengerti masalah mereka. Alea
hanya salah paham. Namun, dia tak bisa menyudutkan Alea begitu saja. Itu
malah akan makin membuat gadis itu mengira yang tidak-tidak.
“Oke, gini aja, deh. Saya enggak mengizinkan kamu keluar, tapi saya
kasih waktu kamu buat vakum satu bulan.Tapi, kalo sebelum itu kamu mau
aktif lagi, ya, enggak pa-pa,” tegas Aria.
Alea mengangguk.
“Saya mau kamu sama Revo ngomong berdua di sini,” Aria kembali
berkata, kemudian mengajak yang lain untuk keluar.
Setelah semua anggota keluar, ruangan menjadi hening.Revo menatap
lekat wajah Alea.
“Kenapa?” tanya lelaki itu. “Kenapa keluar? Kenapa bawa-bawa OSIS?”
Alea tidak menjawab.
“Gue enggak ngerti mau lo gimana. Lo aja enggakngomong ke gue
masalahnya apa, lo cuma dateng terus nampar gue. Gue enggak marah, tapi
kenapa lo harus bawa-bawa OSIS juga, sih? Masalah lo sama gue, bukan
sama OSIS,” tegas Revo.
Alea hanya tertawa sinis. “Lo enggak usah munafik.Enggak usah seolah
gue yang salah di sini.”
“Gue enggak nyalahin lo. Lo anggap gue salah, kan? Tapi, seenggaknya
lo jelasin ke gue apa kesalahan gue.”
Alea masih tidak menjawab.
Revo menggerakkan wajah Alea agar gadis itu menatapnya.
“Jawab,” ucap Revo tegas. Alea tetap tidak menjawab. “Jawab!” bentak
Revo.
“Lo menghilang di hari itu. Gue habis olahraga dan yang gue ingat, temen
gue ngasih minuman yang katanya dari lo. Karena itu dari lo, gue percaya
dan gue minum aja.Setelah gue minum itu, gue pingsan. Terus, gue udah ada
disuatu gudang dengan posisi tubuh gue diikat. Di sana ada Vando dan
kawan-kawannya, mereka berniat melakukan hal yang tidak senonoh. Dan,
itu semua gara-gara lo!” Alea menunjuk wajah Revo dengan penuh emosi.
Revo sontak bingung.
“Gue punya video waktu lo nyuruh mereka. Di video itu lo bilang kalo lo
benci gue dan nyuruh mereka buat ngelakuin itu. Setelah gue bisa keluar dari
gudang itu, gue ketemu sama lo. Lo masih mau ngelak? Maksud lo apa?”
tanya Alea gemetar.
Revo menggelengkan kepalanya.
“Lo salah paham!” tegasnya.
Alea tertawa sinis. “Salah apa?”
“Gue sama sekali enggak pernah benci sama lo, Alea. Dan, waktu itu gue
ada rapat forum OSIS.”
Alea tertawa sinis.
“Terus, ini apa?” tanya Alea sambil menunjukkan video itu.
Revo mengerutkan dahinya. Sosok di video itu memang benar-benar
seperti dirinya.
Apa mungkin itu dia? Batin Revo bingung.
“Itu bukan gue, Alea. Gue enggak pernah benci samalo. Kenapa juga gue
harus benci sama lo?” tanya Revo.Alea mendengus. “Lo munafik,
Rev.”“Kenapa gue harus celakain orang yang udah bikin hidup gue jadi lebih
baik? You’re like my sister from another mother. Gue sayang sama lo, Alea.”
Alea menatap Revo intens, tertegun sejenak dengankata-kata yang
diucapkan Revo.
Namun, tetap saja, di dalam hati, Alea masih tak percaya dan kecewa.
“Pembohong.” Dia menatap Revo tajam.
“Itu bukan gue.”
“Kalo bukan lo, terus siapa, Rev?” Alea menajamkan tatapannya, lalu
beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Revo sendiri di sana.
Revo pasrah setelah melihat gadis itu keluar dari ruangan. Dia terus
berpikir, siapa dalang di balik semua ini? Lalu, untuk apa dia melakukannya?

Alea melangkah keluar dari ruangan itu, kemudian duduk di bangku taman
sekolah.
“Kenapa gue harus celakain orang yang udah bikin hid-up gue jadi lebih
baik? You’re like my sister from another mother. Gue sayang sama lo,
Alea.”
Alea menghela napas berat, memejamkan matanya.Bayangan tentang
Revo terus menghantuinya. Alea tak maumembencinya, dia tak ingin jauh
dari lelaki itu. Namun, kalau memang betul Revo pelakunya, masih
pantaskah dia mengharapkan Revo? Air matanya mengalir deras.
Tak lama, muncul sosok lucu yang memakai kostum beruang dan
menghampiri Alea. Sosok itu membawabuket bunga mawar putih dan
beberapa cokelat.
Alea bingung.“Kakak jangan nangis,” ujarnya seraya menggerak-
gerakkan tangannya. Alea sontak tertawa.“Kakak kenapa?” tanya sosok itu
lagi.Alea hanya tersenyum.“Kakak jangan senyum, nanti aku suka. Aku, kan,
masihkecil,” lanjutnya, membuat Alea tertawa lagi.“Kamu siapa? Lucu
banget, sih.” Alea memegang pipi kostum beruang tersebut.
Beruang tersebut bergerak-gerak.“Kakak ketawanya juga lucu.”“Kamu
lebih lucu.” “Aku seneng, deh, lihat Kakak ketawa, enggak sedih lagi,” ujar
si beruang seraya melambaikan tangannya.“Iya, enggak kayak dia.” Alea
menundukkan kepalanyalagi dan mendengus.
Matanya kembali berkaca-kaca.“Kakak jangan sedih lagi.” Beruang itu
mengelus punggung Alea.Alea pun tertawa.
“Kamu siapa?” tanya Alea lembut. Beruang itu hanya menggeleng.“Aku
boleh buka?” tanya Alea lagi.Beruang itu mengangguk.
“Tapi, Kakak terima dulu bunga sama cokelatnya,”jawab beruang
itu.“Makasih, ya,” ujar Alea sambil menerima bunga dan cokelat itu.
“Nanti dimakan, ya, Kak, biar tambah gendut.”Alea mengerutkan dahinya
sejenak, lalu tergelak.
“Heh!” dia memukul lengan beruang itu. “Aku buka, ya?
Satu ... dua ... tiga.” Dia pun membuka kepala beruang tersebut.
Setelah terbuka, raut wajah Alea langsung berubah. Seakan tak senang
dan ada yang janggal.
“Rey—nand?” ujar Alea bingung.
“Maaf, ya, aku enggak berniat apa-apa, kok. Aku cumangelihat, kayaknya
akhir-akhir ini kamu sedih terus,” ujar Reynand, lalu duduk di samping Alea.
Alea mengangguk pelan. “Enggak pa-pa.”
“Tapi, kamu lagi kenapa-kenapa, Alea.” Reynand menatap Alea tajam.
Alea hanya tertawa terpaksa.
“Aku enggak suka lihat kamu sedih.” Reynand menggenggam tangan
Alea.
“Aku tahu, aku sering bikin kamu sedih, aku tahu aku salah.
Aku enggak minta kita balik lagi, aku tahu aku udah enggak pantes buat
kamu.
Tapi, aku minta, cari orang yang bisa bikin kamu ketawa terus, ya.
Jangan bikin kamu sedih gini,” ujar Reynand.
“Aku rela kamu sama orang lain, tapi dengan syarat kamu harus bahagia.”
Reynand menatap Alea serius.
Jantung Alea tak lagi berdebar saat menatap lelaki itu.
“Ini urusan gue, Rey.”
“Lea, aku sayang kamu dan aku harus pastiin kamu bahagia.” Reynand
menggenggam tangan Alea semakin erat.
“Gue enggak pa-pa.”
“Jangan sedih atau aku abisin orang yang buat kamu sedih.”
“Rey, jangan macem-macem.” Alea mulai malasmenanggapi Reynand.
“Aku enggak macem-macem, aku cuma mau lihat kamubahagia aja.
Salah?” tanya Reynand.
Alea menghela napas.
“Aku selalu sayang kamu, Lea.” Reynand kembalimenarik lengan Alea.
Alea jadi bingung. Dulu, ketika dia sedang sedih karena Reynand, tiba-
tiba Revo datang. Dan, sekarang malah berbalik? Semuanya malah terasa
janggal bagi Alea.
“I’ll never let you down, Lea.” Reynand mengelus lembut rambut gadis
itu.
Di seberang sana, ada sosok yang memperhatikanmereka. Revo.
“Kenapa dia di sini? Kenapa gue enggak tahu dia disini? Salah gue apa,
sih, Rey?” suara Revo melemah. Dia merasa sangat emosi, tapi mencoba
untuk meredamnya. Dia akan menemui Reynand, tapi nanti setelah Alea
pulang.
Setelah Alea pergi, Revo berjalan mengadang Reynand.“Kenapa lo di sini?”
tanya Revo.Reynand tertawa sinis.
“Apa urusannya sama lo, hah?” Dia menarik kerah baju
Revo. Namun, Revo menepis tangan Reynand.“Gue enggak ngajak lo
berantem. Gue cuma tanya,kenapa lo di sini?” tanya Revo lagi.Reynand
tertawa sinis. “Kenapa? Enggak suka?”“Terserah lo mau ngapain, tapi jangan
bawa-bawa Alea buat jadi mainan lo!” sentak Revo.
“Apaan, sih? Kok, jadi Alea?” sangkal Reynand. “Lo udah rebut
segalanya dari gue, Rev. Enggak usah bawa-bawa Lea!” Dia menghantam
tubuh Revo dengan kuat.
“Kenapa lo buat Alea benci gue?”
“Lo ngomong apaan, sih? Lo yang bikin dia kayak gitu,kan? Kenapa jadi
nyalahin gue? Gue enggak ngapa-ngapain.Ngapain gue bikin dia benci sama
lo? Apa gunanya?”
Revo menghindar, dia tak mau menghantam tubuhReynand karena
sesuatu hal.
“Gue ngerti gimana lo, Rey. Tolong, lo boleh lakuin apa pun yang lo mau.
Lo ambil semua yang lo mau. Tapi, jangan Alea!” bentak Revo. “Lo
keterlaluan, Rey!”
“Tapi, gue enggak ngapa-ngapain!”
“Kalo bukan lo, terus siapa?” tanya Revo.
Reynand tertawa sinis. “Kenapa, sih, lo peduli banget? Lo suka sama
dia?” tanya Reynand. “Ambil bekas gue. Kalobisa. Dia aja benci sama lo,
kan?”
Rahang Revo mengeras. “Jadi, Alea mantan lo?”
Reynand tertawa puas. “Iya, kenapa?” Reynandmendekati tubuh Revo dan
kembali menghajar tubuh Revodengan kuat, tapi Revo sama sekali tidak
melawan.
“Kenapa lo diem aja? Hah?” bentak Reynand.
Revo memegangi perutnya yang terasa sakit. “Lo apaan,sih?”
“Kenapa, sih, lo selalu nuduh gue? Apa karena gueenggak baik? Oke, di
mata orang gue enggak pernah baik, Rev. Apalagi, di mata lo!” bentak
Reynand lagi.
Revo mendengkus. “Gue enggak bahas soal itu, Rey. Gue cuma mau
nanya, kenapa lo bawa-bawa Alea di sini?”
Mata Reynand membulat ke arah Revo.
“Apaan, sih? Gue sama sekali enggak tahu urusan lo sama Lea!”
Tonjokan itu menghatam lagi Revo.“Kenapa lo enggak ngelawan? Takut?”
bentak Reynand.“Lo kalo emang enggak bisa dapetin Alea enggak usah
kayak gini.”
Reynand menghantam tubuh Revo hingga Revo tersungkur. Wajah Revo
memar, bibirnya dipenuhi darah.
“Semua orang anggap lo baik. Semua orang anggap lo punya segalanya,
Rev. Tapi, lo enggak pantes dapetin Alea. Gue—lebih tahu tentang Lea jauh
sebelum lo kenal sama dia. Gue lebih ngerti tentang Lea, Rev. Jadi, enggak
usah bertindak seolah lo korbannya.” Reynand kembalimenghantam Revo,
lalu meninggalkan Revo tersungkur.
“Kak Revo?” terdengar sebuah suara yang dekat denganposisi Revo. Revo
menoleh.
“Kak Revo enggak pa-pa?” tanya gadis itu seraya membungkukkan
badannya.
Revo mencoba bangun dari posisinya, tapi masih sakit sekali. Dia
meringis.
“Kak, itu Kakak udah parah banget. Aku anter Kakakke rumah sakit, ya?”
tanya gadis itu.
Revo menggeleng. “Enggak usah, lo pulang aja.”
“Tapi, Kakak gimana?”
“Gampang.” Revo mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi
Aria. Namun, panggilan itu tak dijawab.
Gadis itu menatap Revo lekat. “Gimana, Kak?”
“Oke.”
Setelah beberapa lama, akhirnya mereka sampaidi apartemen Revo.
“Makasih, ya.” Revo tersenyum tipis. Gadis itu hanya mengangguk.
“Lo sering sama Alea, kan?” tanya Revo.
“Iya.” Gadis itu tersenyum.
“Nama lo siapa?” tanya Revo.
“Acha,” jawab gadis itu.
Di kelas, Alea sangat dekat dengan Acha. Tapi, Alea jarang sekali curhat
tentang hal yang spesifik dengan Acha.
Revo hanya mengangguk. “Gue boleh nanya?”
“Itu Kakak udah nanya.” Acha tertawa.
Revo hanya tertawa terpaksa. “Alea pernah cerita ten-tang gue enggak
akhir-akhir ini?” tanyanya.
Acha menggeleng.
“Gue serius.”
“Alea enggak bilang apa-apa, tapi akhir-akhir ini emangdia beda. Enggak
kayak biasanya, lebih diem aja,” jawab Acha.
Revo memijit pelipisnya. “Tapi, dia pernah cerita kalodia marah sama
gue?” tanyanya serius.
“Dia enggak pernah bilang kalo dia marah sama Kakak.Terus, kayaknya
dia enggak pernah marah serius gitu, deh, sama Kakak. Tapi, kalo kesel gitu
dia sering cerita.” Gadis itu masih tertawa.
Revo mengangguk. Itu tandanya gadis itu memendam semuanya
sendirian. Alea tak ingin melibatkan siapa pun, bahkan teman dekatnya.
“Kesel gimana maksudnya?” tanya Revo penasaran.
“Iya, katanya dia kesel kalo muka Kakak lagi garang kayak singa. Terus,
katanya Kakak itu ngeselin banget. Dia enggak jelas banget, sih, waktu itu,
tapi lucu.”
“Oh, ya?” raut wajah Revo berubah lagi.
“Iya, katanya Kakak itu aneh. Entar, tiba-tiba emosi sendiri, terus baik
sendiri lagi. Katanya, mata Kakak tajem,nusuk.” Acha menggeleng.
Revo tertawa renyah. Gadis itu memang menggemaskan dan sekarang
Revo merindukannya.
Apa bener gue kangen sama lo? Batin Revo tak percaya.
“Kakak lagi ada masalah sama Alea, ya? Cerita aja, siapa tahu aku bisa
bantu.”
Revo menggeleng.
“Enggak pa-pa,” tepis Revo seraya tersenyum.
“Maafin Alea, ya, Kak. Kadang, dia suka kelewat cuek, enggak peka,
childish, aneh,” ujar Acha.
Revo tersenyum. “Katanya, lo temen deketnya?”
Acha mengangguk.
“Kenapa jelek-jelekin temen lo? Gue enggak suka lo jelek-jelekin Alea.
Apalagi, di depan gue,” tegas Revo.
Acha menunduk.
“Alea enggak childish, kok. Kelihatannya aja begitu,” bela Revo lagi.
Acha kembali mengangguk. “Maaf, Kak. Aku enggak bermaksud jelek-
jelekin Alea.”
“Ya, udah, udah malem juga. Lo enggak pulang?”tanya Revo.
“Kakak sendiri enggak pa-pa?”
“Santai aja.” Revo hanya tersenyum.
Acha lalu beranjak pergi. “Ya, udah saya pulang, ya, Kak,” pamitnya.
Revo mengangguk. “Makasih banyak, ya.”
Acha hanya tersenyum, lalu keluar dari apartemen Revo. Jika itu Alea,
Revo pasti akan memaksanyauntuk pulang bersamanya.
Terungkap dan Kembali

“Woi, Abang Revo, bukain!”


“Farrel? Masuk aja,” suruh Revo yang masih berada di tempat tidurnya.
Itu hari Minggu dan Revo hanya ingin bermalas-malasan. Terlebih, dia masih
kesakitan gara-gara ulah Reynand kemarin.
“Lo kenapa, cuy?” Begitu masuk, Farrel tampak bingungmelihat wajah
Revo yang lebam dan luka. “Lo abis berantem?” tanya Farrel lagi.
Revo hanya mengangguk.
“Sama Alea?”
Revo berdecak kesal. “Ya, kali Alea bikin gue babak belur gini.”
“Tapi, ada kaitannya sama Alea, kan? Lo lagi enggak baik-baik aja, kan?”
“Berisik. Nanya mulu lo!” sentak Revo.
Farrel berdecak kesal. “Kenapa, sih?”
“Panjang ceritanya, males gue.”
“Kenapa? Gue enggak rela lihat Abang Revo sama adekberantem,” tegas
Farrel.
Revo mendengus. “Kayak cewek tahu enggak, sih, lo?”
“Lo yang kayak cewek. Kenapa lo enggak ngelawan, sih, waktu ada yang
nonjokin lo? Siapa, sih?”
“Reynand.”
“Anak kelas XI?” tanya Farrel tertegun.
Revo mengangguk.
“Anak baru yang mirip sama lo?”
Revo mengangguk lagi.
“Kenapa, sih, lo enggak ngelawan?”
“Enggak bisa, Rel.”
“Kenapa? Gue tahu lo bisa nanganin skill berantem sekelas bocah begitu.
Enggak mungkin dia bikin lo sampe babak belur gini.”
“Berisik lo,” Revo kembali menarik selimutnya.
“Kenapa, sih?” Farrel penasaran.
Revo berdecak. “Dia adek gue, Rel.”
Mata Farrel membulat. “Hah?”
Revo mengangguk. “Dia adik kandung gue.”
“Dia kembaran lo?” tanya Farrel bingung.
Revo menggeleng. “Enggak, gue sama Reynand enggakkembar. Gue beda
satu tahun sama dia. Reynand satu tahun lebih muda daripada gue. Tapi,
banyak banget orang yang bilang kalo gue semirip itu sama Reynand.
Walaupun sebenernya bisa dibedain kalo lo perhatiin banget.”
“Kok, bisa?” tanya Farrel yang semakin bingung.
“Ya, gitu, deh.” Revo kembali bersandar pada bantal.
“Maaf, Rev, tapi boleh enggak lo ceritain dari awal?”
Revo terdiam sejenak, sebelum akhirnya memutuskanuntuk bercerita. Dia
rasa Farrel teman yang paling dekat dengannya. Walaupun otak Farrel sedikit
gesrek, Revo tahu bagaimana Farrel. Dia sangat bisa dipercaya.

Sembilan tahun yang lalu, semua barang terbanting. Revo yang masih
berumur 8 tahun menutup mata dan telinganyakuat-kuat. Dia tak tahan
melihat Gerald yang terus berlaku kasar kepada Catherine, ibunya. Gerald
seperti itu karena Catherine baru kembali ke rumah pukul 3.00 pagi. Hal itu
Catherine lakukan karena dia harus mengurus bisnis yang tidak bisa ditunda
lagi dan karena hal itu Gerald malahmenganggap jika Catherine
menelantarkan anak-anaknya. Mendengar pertengkaran yang hebat itu, Revo
yang beradadi kamarnya terus memeluk Reynand, adiknya yang hanya
berselisih setahun darinya. Wajah mereka memang mirip, tapi tidak identik.
Wajah mereka masih bisa dibedakan. Adiknya itu sangat ketakutan karena
pertengkaran hebat yang terjadi di luar kamar mereka. Revo terus memeluk
Reynand untuk menenangkan adiknya itu, tapi suara gaduh itu sangat
kencang sehingga membuat mereka tetap mendengarnya. Pertengkaran
mereka semakin hebat dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk
bercerai.
Catherine masuk ke kamar anak-anaknya dan mengajakkedua anaknya itu
untuk ikut bersamanya. Namun, Gerald menolak hal itu, dia bilang Catherine
tak bisa membawa kedua anaknya. Meski begitu, pada akhirnya
Catherinemengajak Revo untuk pergi, sementara Reynand tetapbersama
Gerald di Bandung.
Revo sebenarnya tak mau meninggalkan adiknya sendirian. Dia tahu jika
papanya terlalu kasar dan temperamental. Reynand pun sebenarnya tak mau
berpisah dengan Revo, tapi Catherine terus menarik paksa Revo untuk
pergidari rumah itu. Semenjak itu, hubungan Reynand dan Revotak lagi baik.
Sebelumnya, Revo selalu membela Reynand jika adiknya itu berbuat
kesalahan, tapi Reynand benci karena Revo pergi meninggalkannya bersama
papanya, padahal Reynand sangat takut dengan papanya.
Revo menghela napas sejenak. Air matanya terbendung.
“Itu hari terakhir gue di Bandung. Nyokap langsung bawa gue ke Jakarta.
Reynand itu emosional banget, Rel, dan dia enggak bisa ditekan. Dulu, dia
nakal, Mama kadang enggak sabaran ngadepinnya. Apalagi, Papa kalo
Reynand nakal pasti langsung main tangan. Emang saat itu, mungkin dia
butuh sosok yang bisa ngertiin dia. Tapi, gue malah ninggalin dia.”
Farrel mengangguk, dia tak menyangka hidup sahabatnya sedrama itu.
“Drama banget, ya. Maaf, Rev, tapi kenapa nyokap lo bisa—” tanya
Farrel dengan hati-hati.
“Sebulan setelah perceraian mereka, ada gosip Papa bakal nikah lagi.
Entah, tapi setahu gue sampe sekarang Papa enggak nikah lagi. Meski gitu,
gue tahu gimana sifat jeleknya Papa,” Revo berkata geram.
Farrel menepuk pundak sahabatnya. “Dia orangtua lo, coy!”
“Tapi, gue tahu gimana pergaulannya. Bokap gue juga sering balik pagi.
Gue sering nangis nyariin bokap gue, terusgue enggak tidur sampe pagi.
Terus, dia mukulin gue dan pasti berantem sama Mama,” lanjut Revo.
“Berarti, Reynand emosional kayak bokap lo?” tanya Farrel.
Revo menaikkan kedua bahunya. “Bisa jadi, tapi enggaksebegitunya juga
kayaknya.
“Empat tahun tanpa Papa, kondisi nyokap semakin terpuruk. Puncaknya
waktu perusahaan nyokap gue bangkrut,katanya nyokap sedih karena enggak
bisa treat gue kayakanak-anak seumur gue. Padahal, gue oke aja. Enggak
lama,nyokap didiagnosis kena Amnesia Disosiatif. Dokter bilang,bakal butuh
waktu yang lama buat ngembaliin ingatannyokap. Karena, penyakit ini
berkaitan erat sama emosi.Kehilangan memorinya, terutama memori jangka
panjangnya. Amnesia ini juga bikin dia enggak bisa inget tentang orang-
orang di sekitarnya. Nyokap terlalu lelah buat nerima kenyataan yang
sebenarnya, makanya egonya ngelindungindia buat enggak nerima kenyataan
yang menyakitkan buat dia itu.”
“Tapi, semenjak ada Alea, nyokap jadi sering ketawa. Akhir-akhir ini,
nyokap juga jadi mau terapi. Nyokap jadi punya semangat hidup lagi.
Bahkan, dia mau meluk gue, ya, karena Alea,” ujar Revo, sembari
menenangkan dirinya.
“Kenapa lo bisa hidup sendiri? Kenapa lo enggak balik sama bokap lo?”
“Gue udah nyaman begini, Rel. Bokap gue tetep subsidibuat gue tiap
bulan, uangnya juga enggak pernah gue pake sampe habis. Kalo menang
olimpiade, hasilnya juga enggakpernah gue pake.”
Farrel mengangguk.
“Gimana bisa lo tetep jadi anak yang baik? Setahu gue,ya, biasanya, tuh,
mereka bakal milih hal negatif buat jadi pelampiasan.” Dia penasaran.
“Gue sayang Mama, Rel. Gue enggak mau dia kecewa lagi. Gue yakin,
suatu saat dia bakal sembuh, terus bahagia dan bangga lihat gue nanti. Lagi
juga, gue enggak bisa, ngerokok aja batuk. Ke bar, gue pusing cium bau
alkohol.” Revo menggeleng seraya tertawa.
“Terus, Alea?” tanya Farrel.
“Kenapa Alea?” tanya Revo balik.
“Kenapa bisa ada masalah sama dia?”
Revo menceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Farrel pun
mengangguk mengerti.
“Siapa pun pelakunya, enggak bakal gue maafinseumur hidup. Apa-apaan
bikin Abang Revo sama adek gueberantem? Kampret semut rang-rang!”
“Lebay lo!”
“Lihat aja, ya, enggak lama lagi pasti si adek bakal ke sini.” Farrel
bergegas pergi dari apartemen Revo. “Tapi, losembuh dulu, muka lo serem.”
“Terserah lo, deh, Rel.” Revo menggeleng pasrah.
Esok harinya, ketika waktu menunjukkan pukul 4.30 sore—waktu pulang
sekolah SMA Gempita—Farrel berdiri di koridor untuk menunggu seseorang.
Tak lama, sosok yang diatunggu datang. Gadis yang tak begitu tinggi dan tak
begitu pendek, berpipi chubby, berkulit hampir putih, panjangrambutnya
lebih sedikit dari bahu, dan tidak terlalu kurus.
“Alea,” panggil Farrel.
Alea menoleh ke arah suara itu. “Cha, lo duluan aja, deh,” suruh Alea,
yang disambut anggukan Acha.“Gue mau ngomong sama lo, serius.”Farrel
sepertinya tidak bercanda. Alea pun mengangguk. Dia berjalan mengikuti
Farrel. Ternyata, Farrel mengantarnya memasuki area rooftop sekolah, yang
keberadaannya hanya diketahui mamang sekolah, Revo, Farrel, dan Alea
sendiri.
“Kenapa, Kak?” tanya Alea serius.
“Lo ada masalah sama Revo?” Farrel to the point.
“Kalo cuma bahas dia, gue mau pulang.” Alea beranjakberdiri, tapi Farrel
menahan kuat tangan gadis itu.
“Kenapa?”
“Kakak pasti tahu kenapa.”
“Gini, deh, sekarang lo mikir. Kalo emang Revopelakunya, buat apa dia
khawatir sama keadaan lo? Buat apa dia minta maaf berhari-hari ke rumah
lo?”
“Biar enggak disalahin, lah. Mana ada maling maungaku.”
“Nah, itu lo tahu. Kasarnya gini, kalo Revo emang pelakunya, buat apa
dia suruh orang buat videoin dia? Pasti kalo dia pelakunya, bukti bakal
diamanin seberes mungkin,lah. Enggak mungkin malah ditunjukin gitu aja
sama anak buahnya,” jelas Farrel.
Alea menghela napas dan berpikir sejenak.“Lo emang temennya,” ujar
Alea kemudian, “pasti lo bakal belain dia, lah.” “Seinget gue, gue punya
buktinya, deh, kalo waktuitu mereka memang ada di forum OSIS.” Farrel
merogoh kantong celananya dan meraih ponselnya. Dia mencaririwayat
multichat-nya dengan formatur OSIS dan memperlihatkannya pada Alea.
Di foto itu, memang terlihat jelas bahwa Revo tengahberada di forum
OSIS se-DKI Jakarta.

revoadriano: Rasya, lo masih di sekolah, kan? Alea olahraga nggak?


Kalo dia sakit terus kenapa-kenapa bilang gue, ya. Kalo bisa lo
lihat dia, jangan sampe pulang malem. Makasih, Sya.

farrelradena: Ehem.

ariast: Peraturan tetep peraturan!

farrelradena: Lebay lo, Ar. Sirik aja.

Rasya: Dasar budak cintah.

Salsa: Kirim ke grup Gempita 67 ah. Sisain satu, dong, yang kayak
gini, Alea harus baca, ah.

farrelradena: Berisik lo, Sa. Revoadriano sent a photo.

Dia mengirimkan banyak foto tentang kegiatan di sana.Termasuk selfie-


selfie dengan Aria.
farrelradena: Alay.

Alea mengerutkan dahinya. Rasanya tak mungkin jika chat itu rekayasa.
Dia memijit pelipis.
“Itu semua cuma setting-an, kan?” tanya Alea ketus. Kalo emang itu
beneran, kenapa Revo enggak jelasin dariawal?”
“Lo aja enggak mau ketemu dia, gimana bisa diajelasin?”
Alea terdiam.
“Logikanya gini, buat apa Revo ngelakuin ini?”
“Dia benci sama gue katanya, di video itu.”
“Logikanya kalo dia benci sama lo, emangnya hari-harisebelumnya lo
pernah berantem? Lo punya salah apa sama Revo?” tanya Farrel.
I love you, Alea.
Kata-kata itu yang paling Alea ingat sehari sebelumnya.Yang dia ingat,
mereka ke rumah sakit untuk menjenguk Tante Catherine.
“Baik-baik aja, sih,” gumam Alea. “Makanya, guebingung.”
“Nah, lo sadar enggak lo berdua lagi diadu domba?” tanya Farrel serius.
Alea menahan napas, mencoba menenangkan dirinya.
“Gue enggak tahu, sih, perasaan Revo ke lo gimana, tapi gue yakin lo
berdua bisa ngerasain sendiri. Revo sayangsama lo, Alea. Enggak tahu
sayang dalam artian apa, yang jelas dia sayang sama lo. Lo ngerti enggak
maksud gue?”
Alea mengangguk pelan.
“Sekarang, Revo mana?” tanyanya.
“Revo sakit.”
“Sakit apa?” tanya Alea terkejut.
“Lihat aja sendiri. Kalo lo mau tahu, lo ke apart Revo aja. Gue balik.”
“Kak Farrel, emangnya Kak Revo kenapa, sih?” Alea mendesak dengan
semakin khawatir.
“Dia babak belur gara-gara lo. Dia enggak mau ada orang yang celakain
lo beneran. Gue balik, ya.”
“Kak Farrel.” Alea menahan tangan Farrel untuk tidak pulang. “Anterin
gue ke apart Kak Revo, ya?”
Farrel pun mengangguk dan mengantar gadis itu hinggake depan pintu
apartemen Revo, lalu segera pergi meninggalkannya agar mereka punya
waktu berdua.

Jam sudah menunjukkan pukul 6.00 sore. Dengan ragu,jemari Alea menekan
bel apartemen Revo.
“Masuk aja, sih, Rel!” ujar Revo dari balik selimutnya.
Alea menghela napas dan kembali menekan bel itu.
“Rel, berisik lo.”
Alea menyiapkan mentalnya untuk berbicara dengan Revo. Dia sangat
canggung sekarang.“Rev, ini Alea.” Suara gadis itu membuat Revo membuka
matanya dan melepas selimutnya. Dia memperjelas pendengarannya.
Dia mencoba berdiri meskipun sangat sakit. Lalu membuka pintu
apartemennya.
Revo menatap gadis yang masih berseragam sekolah. Dia terkejut.
“A—Alea?” Revo sangat gugup. Dia menggaruk kepalanya, mengusap
hidungnya, memainkan alisnya.
Alea juga hanya menatap Revo. Ketampanan lelakiitu tidak berkurang
meski hanya memakai kaus oblongberwarna hitam dan celana selutut
berwarna putih. Deru napas Alea jadi tak karuan.
“Masuk.” Revo mempersilakan seraya tersenyum. Aleamenatap luka dan
lebam di wajah lelaki itu.
“Gue enggak akan ngapa-ngapain.”
Alea mengangguk ragu sebelum masuk.
“Lo ke sini sama—” ujar Revo terpotong karena Alealangsung merangkul
lengan Revo yang ada di hadapannya.
“Hei, lo kenapa?” Revo mengelus lembut rambut Alea. Dia bisa
mendengar gadis itu menangis. “Jangan nangis.”
“Maafin gue, gue udah nuduh lo yang enggak-enggak.”
Revo hanya tersenyum. “Enggak pa-pa, gue ngerti, kok,posisi lo gimana.
Jangan nangis, ya, gue enggak pa-pa.”
“Le?” ulang Revo lagi. “Btw, gue belum mandi, sumpah,” ujar Revo.
Alea terkekeh kecil, lalu melepas cengkeramannya.
“Maafin gue, ya.”
“Harusnya, gue yang minta maaf. Lo mau, kan, maafin gue?” tanya Revo.
Alea menggeleng.
“Kok, geleng?”
“Gue yang minta maaf,” ulang Alea.
“Gue yang salah,” ujar Revo.
Alea menggeleng lagi. “Gue!”
“Oke, gue maafin lo. Lo mau, kan, maafin gue?” tanyaRevo seraya
tersenyum.
Alea mengangguk.
“Gue enggak marah sama lo, Le,” ujar Revo.
“Tapi, kenapa ada orang yang mau bikin kita berantem?Buat apa coba dia
bikin gue marah sama lo?”
“Kalo lo marah, kocak soalnya,” jawab Revo.
Alea mendengus. “Kenapa, sih, lo tetep aja ngeselin?”
Revo terkekeh melihat bibir gadis itu yang cemberut. “Tapi, ngangenin,
kan?” godanya.
Alea menggeleng. “Enggak, lo kali yang kangen sama
gue,” ujarnya.Revo menaikkan satu alis. “Iya. Gue kangen sama lo.” Dia
hanya menjawab singkat, tapi membuat jantung
Alea berdebar lebih kencang. Pipinya memerah.
“Lo habis berantem, ya?” Alea mengalihkan pembicaraan. Dia memang
penasaran dengan luka di wajah Revo, dan cemas melihat Revo yang sampai
sulit untuk berjalan.
“Hm.” “Gara-gara gue?” Revo menatap Alea meledek. “Geer.” “Kata
Kak Farrel, lo bonyok gara-gara gue?” tanya Alea. Revo hanya terkekeh.
“Enggak pa-pa, kok, gue,” ja
wabnya ketika melihat wajah Alea yang sudah panik.
“Pasti lo belum obatin yang bener, deh. Itu luka lo nanti infeksi. Padahal,
ada kotak P3K lengkap juga.” Alea mengambil kotak P3K di dekat sofa milik
Revo.
“Berisik, lebay lo.” “Sini.” Alea mendekati Revo, lalu mengobati luka-
luka
Revo dengan perlahan.“Sakit,” ringis Revo.“Sebentar, daripada infeksi.
Nanti, muka lo tambah
jelek.”“Berarti, sekarang ganteng?” goda Revo.Alea memukul tubuh Revo
pelan.“Aduh, duh, sakit!” Revo melebih-lebihkan gayanya.“Lebay, lo enggak
jago akting, ah,” dumel Alea. Revo terkekeh kecil seraya menatap wajah
gadis itu.“Kalo enggak diobatin bisa infeksi tahu, kenapa, sih,
enggak dari kemaren diobatinnya?” tanya Alea kesal.“Iya, maaf, Bu
Dokter.”
“Lagian, lo berantem sama siapa, sih?” Alea bertanya serius sambil
menatap lekat ke arah Revo. Namun, Revomalah keluar dari kamarnya
menuju balkon luar. Aleamengikutinya.
Revo menatap langit malam Kota Jakarta yang bertaburbintang, sementara
Alea masih menatap wajah Revo denganlekat. Entah mengapa, menatap
wajah lelaki itu sepertimenciptakan kenyamanan tersendiri baginya.
Tatapan Revo beralih kepadanya. Tatapannya sangat tajam dan selalu
mampu mengintimidasi lawannya, sehingga Alea mengalihkan pandangannya
ke bawah. Di bawah sana terdapat lampu-lampu, gedung-gedung tinggi,
dankendaraan yang sangat indah untuk dipandang.
“Kenapa lo lihatin gue kayak gitu?”
“Lo duluan yang lihatin gue.” Revo membela dirinya. “Enggak usah
salting. Muka lo jelek.”
“Rev, gue serius, deh, lo berantem sama siapa? Terus, kenapa lo
berantem?”
Revo mengetuk dagunya sendiri, meledek Alea yang tengah serius.
“Sama Reynand, ya?” tebak Alea.
Kenapa Alea bisa tahu? Apa mungkin beneran Reynand pelakunya? Batin
Revo penasaran.
“Mantan lo, ya?”
Mata Alea membulat penuh ke arah Revo. Kenapa diabisa tahu?
“Kok, lo tahu?”
Revo terkekeh kecil. “Muka lo biasa aja kali, jelek.” Revo meraup wajah
Alea.
“Jadi, bener lo berantem sama Reynand?” Alea menepistangan Revo dan
menatapnya serius.
“Jadi, bener dia mantan lo?” tanya Revo balik, membuat Alea tak bisa
menjawab.
“Iya.”
“Oh.” Revo mengalihkan pandangannya lagi ke atas.
“Dia mantan gue waktu di Bandung.”
Revo hanya mengangguk.
“Tapi, sekarang udah enggak ada hubungan apa-apalagi.” Alea mulai
bingung melihat Revo yang tiba-tibabersikap dingin. “Lo marah?”
“Enggak, lah. Kenapa harus marah? Lebay lo.”
“Lagian lo tiba-tiba diem.”
“Gue lagi mikir keras.” Revo mengetuk dagunya.
“Mikir apa?”
“Kenapa Reynand mau sama lo, ya? Katanya, pas dia pertama masuk aja
udah dikejar-kejar cewek. Masa, mau sama cewek yang modelnya kayak lo
gini?” Revo menatap Alea dari atas sampai bawah.
Alea berdecak kesal. “Enggak tahu.”
Revo terkekeh. “Enggak usah ngambek.” Dia menggelitiki leher Alea
sehingga gadis itu menjerit histeris. Dia memang tak kuat soal ini.
“Ah, enggak lucu. Enggak mau main kelitikan.”
“Udahan, ah, ampun.”
Revo tertawa renyah mendengarnya. Meski seringtertawa, rasanya dia tak
pernah tertawa selepas ini. Alea sangat menyukai tawa renyah Revo, yang
menandakanbahwa lelaki itu memang tengah berbahagia.
“Ah, dasar lemah!”
“Geli!”
Revo masih saja tertawa.
“Gue serius, deh, lo berantem sama Reynand? Berarti, Reynand yang
pengin gue marah ke lo?”
“Iya, gue berantem sama dia. Tapi, belum tentu juga dia pelakunya,
enggak usah nebak-nebak dulu,” tegas Revo.
“Tapi, siapa lagi, Rev? Cuma dia yang akhir-akhir ini tiba-tiba dateng,
kelakuannya juga aneh. Masa, iya, tiba-tibadia jadi boneka beruang pas gue
lagi kesel sama lo?”
“Ya, mungkin aja dia mau temenan sama lo. Lo, kan,
gendut kayak gajah.”Alea berdecak kesal. “Gue serius!” “Gue juga serius,
terus pacarannya kapan?” goda Revo.“Rev, serius. Kenapa lo seakan bodo
amat, sih? Dia
itu udah bawa-bawa lo di sini. Kalo berita ini nyebar, kan, jadinya
pencemaran nama baik. Lagi juga, dia pinter bangetbikin bukti palsu.
Sumpah, ya, siapa lagi orang yang mirip sama lo selain Reynand?” tanya
Alea kesal.
Revo berdiri, begitu pula Alea. Dia memegang pundak
Alea. “Siapa pun pelakunya, itu enggak penting, Alea.”“Kenapa enggak
penting?” Alea menatap Revo.“Yang penting, lo percaya kalo itu bukan
gue.”“Kalo dia ngelakuin hal yang lebih bahaya gimana?”“Ya, mau dia
ngejalanin rencana apa juga kalo lo percaya sama gue, dia enggak akan
berhasil. Lo percaya, kan, sama gue, Le?” tanya Revo seraya menatap lekat
Alea. Aleatak mengerti mengapa jantungnya sering berdegup kencangketika
Revo menatapnya selekat ini.
“Iya. Tapi, gue tetep mau tahu siapa pelakunya.” Revo mengangguk.
“Oke, kalo gitu gue juga mau tahu.” “Katanya enggak penting?” “Kalo
penting buat lo, itu berarti penting buat gue.” Alea tertegun dengan kata-kata
Revo
“Sebenarnya, memang udah cukup kalo lo percaya itu bukan gue. Tapi,
gue enggak mau lo ngerasa terancam.”
Revo mengacak gemas rambut gadis itu. Tubuh Alea mematung,
jantungnya berdegup kencang.
“Kalo lo mau pulang, gue anterin lo pulang.”
Tak lama, Revo kembali ke kamarnya, walaupun masihterlihat menahan
sakit. Tubuh Alea masih mematung. Dia hanya menatap Revo dari belakang
hingga lelaki itu hilang dari pandangannya.
Kenapa gue malah deg-degan?
Alea masuk dan menatap Revo. “Ya, udah, gue balik.”
“Gue anterin.” Revo beranjak berdiri lalu, mengambil kunci mobilnya.
Alea menggeleng kuat. “Rev, lo berdiri aja susah.Apalagi, bawa mobil
coba? Gue bisa pulang sendiri, kok. Dikira gue anak kecil apa?”
“Emang, iya, lo anak kecil,” jawab Revo meledek.
“Enak aja lo ngatain gue anak kecil!”
“Dih, emang, iya, kan? Buktinya aja lo masih belepotankalo lagi makan es
krim.” Revo tetap tak mau kalah.
“Gue balik. Cepet sembuh.” Alea melambaikan tangannya, lalu bergegas
keluar dari apartemen Revo.
“Hati-hati,” ujar Revo.
Alea mengangguk. Ada rasa lega tersendiri setelahdia tahu bukan Revo
pelakunya. Namun, yang selalu dia tanyakan dalam benaknya, siapa sosok
yang membuatmereka seperti ini?
“Awas nginjek semut,” ledek Revo seraya tersenyum. Alea hanya
menoleh, lalu tertawa sejenak.
Guess

Hari ini, Alea bersekolah seperti biasa. Selepas siang, dia disuruh oleh Bu
Lidya untuk mengambil buku di perpustakaan bersama Acha.
“Pak, buku fisika yang biasa dipake Bu Lidya yangmana, ya?” tanya Alea
setiba dia di perpustakaan.
Pak Tejo menunjukkan sebuah buku. Alea menganggukdan
mengambilnya.
“Makasih, Pak, pinjem, ya,” ujar Alea.
“Ah, si Eneng cantik banget, sih.” Pak Tejo mengibaskan rambutnya.
Dahi Alea berkerut sejenak, lalu tertawa.
“Ehem.” Acha menyenggol lengan Alea.
“Siapa yang cantik?” tanya seseorang dengan nadaserius. Iya, itu
Reynand. Alea menoleh ke sumber suara itu.
Pak Tejo bergegas pergi.
Alea menatap Reynand tajam, lalu membuang muka. Dia malas menatap
Reynand. Dia masih saja bertanya-tanya, mungkinkah Reynand dalang di
balik semuanya? Jika bukan, siapa lagi? Hanya dia lelaki paling nekat yang
Alea kenal.
“Kenapa?” tanya Reynand bingung.
“Gue mau ngomong,” jawab Alea serius, lalu menatap ke arah Acha.
Acha mengerti. Dia pun pergi.
“Mungkin, kita bisa sambil makan atau—” ucapanReynand terpotong saat
Alea menatapnya tajam.
“Gue mau ngomong sama lo di sini, sekarang.” Aleamemutuskan ketika
melihat sekitarnya sepi.
“Hei, tenang dulu, ya?” Reynand mencoba memegang lengan Alea, tapi
Alea menepisnya. Alea kemudian duduk di kursi perpustakaan.
“Maksud lo apa lagi, sih, Rey? Apa lo enggak bisa bikinhidup gue tenang-
tenang aja gitu?” tanyanya kesal.
Reynand bingung. “Maksud kamu?”
“Gue enggak pernah ganggu hidup lo, apalagi hubungan lo sama Gladys,
kan? Padahal, jelas-jelas lo yang selingkuhin gue. Apa gue permasalahin
waktu lo buang guegitu aja? Apa gue pernah bales semuanya ke lo?”
Reynand menghela napas sejenak.
“Oke, aku ngerti apa yang aku lakuin ke kamu dulu itu salah. Tapi, aku
emang beneran mau minta maaf ke kamu sekarang, Lea. Kenapa kamu bahas
lagi?” dia mencoba menenangkan.
“Gue enggak bakal bahas lagi kalo lo enggak mancing gue, Rey. Gue
udah cukup sabar. Tapi, tolong, enggak usah bawa orang lain di sini!” tegas
Alea.
“Maksud kamu apa, sih, Lea? Aku enggak ngerti.”
“Lo sengaja mau bikin gue celaka? Lo, kan, yang nyuruh Vando sama
gengnya buat nyulik gue waktu itu? Terus, lo puter balikin fakta seolah Revo
yang ngelakuin semuanya. Iya, kan?” Alea bertanya dengan marah.
Reynand menggeleng. “Kenapa pikiran kamu sejelekitu ke aku, sih, Lea?
Apa aku seburuk itu menurut kamu?”
“Lo yang bikin gue mikir kayak gini, Rey. Lo keterlaluan. Bahkan, Revo
sekarang sakit, babak belur. Gara-gara lo, kan?” Alea berdiri.
Reynand tampak mulai emosi. “Maksud lo apa, Lea? Gue tahu, gue bukan
cowok baik kayak Revo yang selalu dibangga-banggain banyak orang. Tapi,
gue enggak mung-kin celakain lo. Gue sayang sama lo.” Dia menatap lekat
mata Alea. Dia sepertinya sudah kelewat geram sehingga bahasanya pun
berubah menjadi “lo-gue”.
“Lo enggak celakain gue, tapi lo bikin gue benci sama Revo. Apa lo mau
jauhin gue sama Revo? Kenapa, sih? Gue sama Revo bahkan enggak ada
hubungan apa-apa.”
“Bukan gue, Lea. Bukan!” Reynand ikut berdiri.
Alea menggeleng. “Gue ngerti gimana lo, Rey.”
“Oke, gue emang enggak bisa bikin lo bahagia, cuma bisa bikin lo sakit
hati. Tapi, apa lo enggak inget gue juga pernah berjuang buat lo? Gue pernah
jadi orang yang selalu ada di hati lo? Lo pikir, gue sejahat itu?” ujar Reynand
tegas. “Gue kira masih ada ruang di hati lo buat maafin gue, Lea.” Mata
Reynand tampak kecewa. “Gue ke Jakarta cuma demi lo, cuma supaya lo bisa
maafin gue.
“Satu yang perlu lo tahu, gue masih sayang sama lo. Dan, gue enggak
mungkin ngelakuin hal itu!” Reynand menegaskan. Matanya menunjukkan
banyak hal—sedih,marah, kecewa. “Gue kira, lo beda dari yang lain, ternyata
sama aja.” Reynand bergegas pergi, tapi bahunya mengenaibahu Alea.
Alea menatap sendu ke arah Reynand. Entah mengapa,dia bisa merasakan
sakit yang Reynand rasakan. Namun, memang tingkah Reynand yang paling
mencurigakan.

Reynand memilih pergi karena dia tak mau emosi danmelukai Alea. Dia
bergegas ke taman.
“Kenapa harus Revo? Apa-apa Revo. Kayak enggak adaorang lain aja!”
pekik Reynand.
“ARGH!” Dia menonjok kuat pohon di depannya.
“Kenapa lo rebut semuanya dari gue?” rahang Reynand mengeras.
“Kenapa semua orang bisa bahagia? Sementara gue enggak?” Emosi
Reynand memuncak. Dia ingin menonjok lagi pohon di depannya. Namun,
sebuah tangan mungil menahan tangannya yang sudah berdarah.
“Gue bilang jangan gegabah, Reynand. Jangan terlalu kebawa emosi.
Bakalan ada orang yang lebih pintar di sini.”Gadis itu tersenyum jahat.
“Maksud lo?”
Gadis itu hanya terdiam.
“Maksud lo apa?” Reynand kembali bertanya.
“Orang itu lebih tahu tentang seluk-beluk mereka,”jawab gadis itu sinis.
“Siapa?”
Alea hanya mengaduk-aduk mi ayam di hadapannya,sementara Acha melihat
jam tangannya. Sepertinya, dia sedang terburu-buru.
“Le, gue duluan boleh? Ada urusan, penting.”
“Mau ke mana?” tanya Alea.
“Gue ada janji sama orang, Le. Lagian, dari tadi lo diemaja, sih. Gue
duluan, ya,” jawab Acha. Alea mengangguk dan membiarkan Acha pergi.
“Hei,” sapa seseorang. Alea mendongak.
“Boleh duduk?” tanya Revo.
Alea hanya mengangguk. “Kenapa lo sekolah?”
“Biar pinter,” jawab Revo meledek.
Alea mendengus. “Gue serius. Lo masih sakit gitu juga.”Dia menatap
wajah Revo yang masih lebam. “Masih sakit?”tanyanya seraya memegang
pipi Revo.
Revo menatap lekat wajah Alea. Entah mengapa, dia menjadi gugup.
Alea malah menepuk pipi Revo sehingga lelaki itu meringis.
“Ya, sakit, lah, dodol!” sahut Revo.
“Ya, lo stres, ditanyain malah bengong.” Alea melepaskan tangannya dari
pipi Revo.
“Kenapa, sih? Kok, tumben sendirian?
Acha mana?”tanya Revo.Alea mengernyit.
“Kok, lo kenal Acha?”
“Ya, tahulah, gue harus tahu siapa aja yang bareng sama lo setiap hari.”
Revo menatap Alea intens.Alea tertawa. “Lebay. Emangnya lo bapak
gue?”
“Bapak dari anak-anak lo aja, deh,” goda Revo.
Alea menimpuk wajah Revo dengan buku yang tadi dia bawa.
“Gue serius, deh, kenapa lo malah sekolah kalo lo masih sakit?”
“Ya, obatnya ada di sekolah.” Revo menaikkan satu alisnya seraya
tersenyum. Jantung Alea menjadi berdegup kencang. Dia kemudian hanya
mengangguk pasrah.
“Gue enggak mau ada orang yang nekat ngapa-ngapain
lo, Alea.” Revo menegaskan.“Btw, tadi gue udah ngomong sama
Reynand.
”Ekspresi wajah Revo berubah, dia menatap Alea serius.
“Ngomong apa?” tanyanya.Alea hanya terdiam.
“Dia bilang apa, sih?” tanya Revo lagi.Alea menarik napas panjang.
“Ya, gitu, deh.” Dia meletakkan kepalanya di atas tangannya yang
terlipat.
“Gitu gimana? Enggak jelas lo!” Revo menarik tangan
Alea. Alea menatap Revo malas.“Dia malah marah. Gue bingung,
deh.”“Kan, gue udah bilang, jangan asal nuduh.”
“Tapi, dia yang paling aneh, Rev. Sebelum dia pindah ke sini enggak ada
masalah apa-apa.”
“Enggak usah dibahas lagi aja, ya,” Revo mengelus punggung tangan
Alea seraya menatapnya. “Percaya sama gue, cepet atau lambat pasti
pelakunya bakal ketahuan.”
“Emang lo siapa? Thanos?” tanya Alea kesal.
“Kok, lo ngeselin, sih? Mau gue kelitikin lagi?”
Alea menepis tangan Revo yang mulai mendekatinya. “Ah, pergi lo jauh-
jauh!” pekiknya. Namun, Revo tetap mendekatinya. Alea memukul tubuh
Revo.
“Nanti, lo kangen kalo gue jauh. Lagian, lebay bangetlo. Gini doang geli?
Hah?”
Alea terus menghindari Revo, lalu berlari. Revo tertawapuas melihatnya,
tapi dia tidak bisa mengejar Alea karenakaki dan punggungnya masih terasa
ngilu.
Dari kejauhan, ada sepasang mata yang tak senangmelihat mereka. Dua
orang itu terlihat sangat bahagia,walaupun alasan mereka tertawa sangatlah
sederhana.
“Sial. Kenapa mereka masih aja bisa bareng? Kenapa Alea bisa percaya
sama Revo? Enggak becus,” ujar seseorangdengan penuh kebencian.
“Tapi tenang aja, selanjutnya lo berdua enggak akan bisa bareng kayak
gini lagi. Lo yang mulai, gue udah ikutin permainan lo. Sekarang, lo yang
bakalan terjebak di sini,” ujar lelaki tersebut seraya tersenyum miring.
Dia kemudian berjalan cepat menemui seseorang.Dengan sinis, ditatapnya
gadis yang sudah terlebih dahulu sampai di sana.
“Lama banget lo!” sentak gadis itu. Lelaki itu mendorong tubuh mungil
itu ke tembok dan menahannya.
“Enggak becus. Kenapa Alea sama Revo bisa baikan?
Buat apa gue kerja sama bareng orang enggak becus?
Hah?”bentak lelaki itu.
Gadis mungil itu menundukkan kepalanya. “Maaf.”
“Maaf, maaf. Kerja begitu doang enggak bisa!”
“Lo enggak bisa nyalahin gue gitu aja, dong. Lo aja ngumpet. Revo
enggak akan nyangka kalo lo pelakunya. Gue yang kerja di sini. Bahkan,
mereka sempet berantem karena kerjaan gue. Lo ngotak, dong!” lawan gadis
itu.
“Oke, gue yakin rencana selanjutnya bakalan berhasil kalo kerja lo
becus!” Dia menunjuk bahu gadis itu dengan telunjuknya.
“Rencana apa?” tanya gadis itu bingung.
“Rencana yang lo enggak bakal percaya, bahkan Revojuga enggak akan
percaya.”
Di sisi lain, Alea masih menjauhi Revo. Alea menolehke belakang, tapi
tetap berjalan cepat sehingga tanpa sadardia menabrak seseorang.
“Pak Dibyo?”
Mampus gue. Alea menggigit bibir bawahnya. Pak Dibyo pembina OSIS.
Jika ditanya galak atau tidak, ibaratnyabegini. Aria saja sudah galak. Namun,
kegalakannya masih seperdelapan kegalakan Pak Dibyo. Meski begitu, Pak
Dibyo bisa berubah menjadi orang yang asyik jika sedang bercanda.
“Kenapa kamu lari-lari? Buat gaduh saja. Ini sudahmasuk jam pelajaran.
Kenapa masih di kantin?” tanya Pak Dibyo tegas.
“Maaf, Pak.”
“Kamu juga, Revo. Kenapa masih di sini? Jadi wakilketua OSIS gimana,
sih? Kalian itu anak OSIS, harusnya bisa mencontohkan yang baik.
Bukan seperti ini. Memalukan!” Pak Dibyo kembali membentak.
Namun, Revo hanya menunduk seraya tersenyum tipis dan melirik Alea.
Dasar gila, batin Alea kesal seraya melirik Revo sekilas.
“Ya, sudah, kalian jangan ikut pelajaran sampai jamnyaselesai. Kalian
bersihkan seluruh koridor sekolah. Terutama kamar mandi. Cepat. Atau,
Bapak tambah hukuman kalian.”
“Iya, Pak.” Alea bergegas pergi dari koridor kantin danmenuju kamar
mandi. Revo pun mengikutinya.
“Gara-gara lo, tahu nggak,” sentak Alea seraya memanyunkan bibirnya.
Revo malah tertawa.
“Kok, ketawa?” Alea sangat kesal.“Seneng,” jawab Revo.Alea
mengerutkan dahinya.
“Kok, seneng, sih? Gila lo, ya.”“Seneng, kan, dihukumnya bareng sama
lo.” Revo tersenyum dan mengangkat satu alisnya.
Akhirnya, Alea dan Revo membersihkan hampir seluruharea sekolah,
termasuk koridor taman.
“Neng Alea? Ngapain ke sini bawa-bawa pel-pelan?”
Mang Urip heran.
“Lagi dihukum, Mang.”
Alea tertawa.“Ah, udah, Mamang aja yang ngepel.
Nanti, tangan kamu kasar, masa cantik-cantik gini disuruh ngepel.” Mang
Urip mengambil peralatan pembersih itu dari Alea.
“Enggak usah, Mang. Alea lagi dihukum, nanti malah diomelin Pak
Dibyo. Gara-gara dia, nih.” Alea melirik ke arah Revo. Revo hanya
tersenyum ke arah Mang Urip.
“Udah atuh Pak Dibyo mah gampang, nanti Mamang yang ngomong.
Udah, Neng Cantik mah istirahat aja.”“Ya, udah, makasih, Mang.” Alea
tersenyum.“Makasih, Mang.” Revo mengikuti. Lalu, mereka pergi
meninggalkan koridor taman. Sekarang sudah pukul 4.00 sore dan jam
pulang sekolah pukul 4.30 sore. Mereka tetap tidak boleh masuk kelas.
“Cabut aja, yuk,” ajak Revo. Mata Alea membulat.
“Lo gila, ya? Mau dihukum lagi?”
“Yaelah, Pak Dibyo mah galak-galak gitu dikasih soto ayam juga diem,”
jawab Revo santai. “Ayo, cabut, daripada lo ketemu Pak Dibyo, terus
ketahuan enggak ngerjainhukuman.” Revo menarik tangan Alea untuk keluar
dari koridor sekolah. Alea hanya menuruti lelaki itu.
Revo dan Alea memang terkadang aneh, sebenarnya mereka dapat
digolongkan sebagai anak pintar. Namun, kelakuan mereka terkadang suka
begitu. Apalagi, Revo,pemenang Olimpiade Matematika dan Exact berturut-
turut. Tapi, ya, terkadang suka begitu juga.
“Lo bawa motor yang waras, dong.” Alea memperingatkan.
“Siap, Bu Bos.” Revo mengendarai motornya dengan kecepatan normal.
Sekarang, mereka berada di suatu kawasan yang sangatasing bagi Alea.
Dia menatap bingung jalanan yang tengah mereka telusuri.
“Kita mau ke mana, sih, Rev?” tanya Alea bingung.
“Ada, deh. Bagus, kok, tempatnya.”
“Lama.” Alea meletakkan kepalanya di punggungRevo. Entah mengapa,
desiran hangat itu hadir ke dalam perasaan Revo, senyumannya pun seketika
mengembang. Dia menatap lekat gadis itu dari kaca spion.
“Bentar lagi, sabar, elah,” jawab Revo ketus.
Tak lama, mereka sampai di salah satu tempat di manaada danau yang
dikelilingi rumput hijau. Dan, di dekatnya ada semacam warung bakso, tetapi
tempat makannya di saung. Sehingga, pelanggan di sana bisa menatap
langsung ke arah danau. Alea menatap bingung pemandangan yang ada di
hadapannya, jadi di Ibu Kota masih ada tempatseindah dan sesunyi ini?
Revo berjalan terlebih dahulu, lalu menaiki saung. Aleahanya
mengikutinya.
“Pak, Baksonya dua, ya,” pesan Revo.
“Iya.”
Alea terdiam. Dia hanya menatap Revo yang ada di depannya. Revo
menatap balik gadis di hadapannya. Mereka terdiam dan mata mereka bertaut
untuk beberapa saat.
Mungkin kali ini Alea mengakui pendapat banyakorang bahwa Revo itu
memang tampan. Alea merasa begitutenang, nyaman, dan sangat
menyejukkan.
Kok, ganteng beneran? Batin Alea. Gila gue, ya? Masa,orang stres kayak
dia gue bilang ganteng? Alea menggelengkan kepalanya.
“Lo kenapa?” suara Revo menyadarkan Alea.
“Eh? Enggak—enggak, kok, enggak pa-pa.” Alea menundukkan
kepalanya.
“Lagi mikirin gue, ya?” tanya Revo narsis.
“Hah?”
“Lo mikirin gue, ya?” ulang Revo lagi. Alea menatap Revo aneh.
“Enggak, lah, gila. Amit-amit.”
“Kalo sampe lo mikirin gue, berat badan lo naik 10 kilo, ya?” Revo
menantang seraya menaikkan satu alisnya.
“Ya, itu lo curang namanya. Kenapa lo ngajakin gue makan terus?”
“Karena, lo kerjaannya emang makan terus.” Revo tertawa.
“Sok tahu.”
“Udah ketahuan dari bentuk badan, apalagi pipi.” Revomeledek.
“Dih, emangnya gue gendut apa?” tanya Alea kesal.
“Akhirnya ngaku, bukan gue yang ngomong.” Aleamenatap Revo malas.
Namun, lelaki itu hanya tertawa.
“Ini baksonya.” Tak lama, bapak penjual bakso itudatang. Bapak Doni
namanya, kata Revo. Karena, nama warung bakso ini “Warung Bakso Bapak
Doni” tapi ada benarnya juga.
“Makasih, Pak.”
“Tumben ngajak pacar, Mas? Biasanya, sama MasFarrel?” tanya Pak
Doni.
“Dia bukan pacar saya, Pak,” ujar Alea dan Revo berbarengan. Pak Doni
tertawa.
“Jangan gitu, kalian ini cocok banget, lho,” ujar Pak Doni.
“Ya, udah maaf ganggu, ya, Mas. Saya ke belakang, banyak pesenan.”
Pak Doni lalu pergi.
Revo menatap gemas Alea saat gadis itu memakanbakso.
“Pelan-pelan makannya, katanya enggak mau dibilanggendut?” ledek
Revo. Alea menjauhkan mangkok baksodari dirinya.
“Jangan ngambek, sini gue suapin.” Revo mengarahkansendok itu ke
mulut Alea. Namun, Alea tak ingin membuka mulutnya.
“Makan enggak?” paksa Revo. Akhirnya, Alea membuka mulutnya, tapi
Revo malah memakan bakso itu sendiri. Lelaki itu tertawa puas. Tak lama,
ponsel Revo berdering. Revo mengangkatnya.
“Kenapa?” tanya Alea setelah Revo selesai menelepon.
“Farrel telepon gue, katanya penting. Gue ke sanabentar. Lo tunggu gue di
sini, ya,” kata Revo.
Alea mengangguk.
“Lo enggak pa-pa?” tanya Revo lagi.
“Iya, santai aja, emang gue anak kecil apa?” jawabAlea kesal.
“Beneran?”
“Iya, udah cepetan sana,” suruh Alea.
“Baik, deh. Tungguin, ya.” Revo mengacak gemas ram-but Alea, lalu
bergegas menuju apartemennya.

Revo akhirnya sampai di apartemennya 20 menit kemudian. Dia bergegas


menuju kamar, lalu masuk. Tubuhnyaseakan mematung, apa yang dia lihat
seolah tak bisa dia percaya. Gadis itu—mengapa dia bisa berada di sini?
Gadis itu menatap Revo semringah.
“Revo!” Dia merangkul lengan Revo dengan erat. Namun, Revo masih
mematung. Dia masih bingung apa yang harus dia lakukan.
“Reva?” Revo menatap gadis itu lekat, tapi penuh kebingungan.
Gadis itu tersenyum senang ke arah Revo.
The Choice
Haruskah kamu kembali percaya setelah kamu tahu bagaimana rasanya
dikecewakan?

Reva Sherene nama panjangnya. Dia melepas cengkeramannya dari lengan


Revo.
“Kamu enggak pa-pa?” tanya Revo sambil mengernyit melihat Reva
menghapus air matanya. “Kenapa nangis?” Dia ikut menyeka air mata Reva
yang mengalir. “Jangan nangis.”
“Aku kangen kamu, Rev.” Gadis itu memegang erat
tangan Revo.“Duduk dulu.” Revo duduk dan Reva mengikuti.“Katanya,
kamu sakit, Rev? Kenapa kamu malah
keluyuran?” tanya Reva.Revo terkekeh kecil. “Kenapa malah ketawa,
sih?”“Kata siapa aku sakit? Aku enggak pa-pa,” jawab Revo
seraya mengacak gemas rambut Reva.Reva menghapus air matanya.
“Serius? Itu muka kamu
kenapa?” tanyanya ketika melihat wajah Revo yang memar.“Enggak pa-
pa.” Revo malah tertawa lagi.“Serius, ih.” Reva mencubit lengan Revo
kesal.“Enggak pa-pa, Va.” Revo tersenyum. “Tapi, kenapa kamu udah balik
ke Indonesia?” tanyanya.
Reva menghela napas sejenak. “Rev, kamu lupa kalo program studi aku di
sana emang cuma satu tahun? Setelahini, aku bakalan balik ke Gempita lagi.”
Revo mengangguk mengerti. “Rev, aku laper banget. Kamu masakin
masakan kesukaan aku, ya?” pinta Reva dengan puppy eyes-nya. Revo
terkekeh kecil.
“Jangan, nanti kamu gendut.” Dia mencubit hidung Reva.
Reva tertawa. “Ya, kamu, kan, ganteng,” bujuk Reva.
Revo akhirnya mengangguk seraya menuju ke dapur.
Dia memang bisa memasak. Kondisi yang mengharuskannya segala bisa.
Suara petir menggelegar memenuhi langit Jakarta.Seketika, pikiran Revo
tertuju kepada Alea yang masihmenunggunya di warung bakso sedari tadi.
“Kenapa, Rev?” tanya Reva. Revo menoleh ke arahsuara itu.
“Va, aku ada urusan. Aku keluar sebentar, ya,” kata Revo.
Reva menggeleng. “Kamu sakit, Rev. Kenapa, sih, masihaja keluyuran?”
larang Reva.
Revo terdiam. Dia kembali melanjutkan aktivitasnya, tapi pikirannya
selalu tertuju kepada Alea. Bagaimana jikagadis itu masih menunggunya?
Revo memotong bahan masakannya dengan tidak fokus, sehingga pisau
itu mengenai jarinya.
“Ah.” Dia menatap jarinya yang berdarah. Dia takmemedulikannya dan
segera menyelesaikan masakannya. Pikirannya sangat tak karuan.
“Wah, ayam goreng sudah siap,” ujar Farrel dengan semangat. Revo
hanya tertawa terpaksa, pikirannya masih tertuju kepada Alea.
“Rev, kamu kenapa, sih?” tanya Reva bingung.
“Kenapa?” tanya Revo balik.
“Kamu kenapa?”
“Enggak pa-pa.” Revo melihat ke luar jendela. Hujan masih sangat deras.
Sekarang, waktu menunjukkan pukul 6.30 malam, sudah masuk malam,
bukan?
Alea gimana? batin Revo tak tenang. Ponsel Revoterdengar berdering.
Dengan semringah, Revo hendak mengangkatnya.
“Rev, makan dulu.” Reva meraih ponsel Revo dan mematikan daya
ponsel milik Revo. Revo mendengus kesal. “Iya.”
Alea masih menunggu Revo di warung bakso. Sudah lebih dari satu setengah
jam, tapi Revo tidak kunjung mengabarinya.
“Kok, enggak aktif, sih?” tanyanya kesal. Di luar hujan deras, sementara
Alea berada di dalam saung.
“Lo di mana, sih, Rev? Apa jangan-jangan, lo kenapa-kenapa?” tanya
Alea tak tenang. Suhu udara semakin mendingin, tubuhnya mulai menggigil.
“Neng, Mas Revo di mana?” tanya Pak Doni.
“Lagi ada urusan sebentar, Pak.”
“Maaf, ya, Neng. Warungnya mau tutup, enggak baik juga di sini malem-
malem. Hujan juga, mendingan Neng pulang aja,” ujar Pak Doni.
Alea harus pergi ke mana? Padahal, dia tidak mengetahui daerah ini.
“Oh, ya, udah, Pak. Ini uangnya.” Alea berniat untuk membayar bakso
dan minuman yang dia santap.
“Udah dibayar sama Mas Revo, kok. Maaf, ya, bukannya ngusir Neng,”
ujar Pak Dino.
Alea mengangguk seraya tersenyum.
“Iya, enggak pa-pa, kok, Pak. Permisi.” Alea bergegas pergi
meninggalkan saung dan danau itu. Hujan membuat suasana semakin dingin.
Dia kembali mengambil ponselnya dan mencoba untuk menghubungi
Revo. Namun, tak ada jaringan.
“Ini di daerah mana, ya? Kenapa sepi banget? Mana enggak ada sinyal
lagi,” Alea menggosokkan kedua tangannya. Dingin sekali. Dia menatap
sekitarnya. Tak lama, ada cahaya motor yang datang menghampirinya. Dia
tersenyumtipis, dia kira itu Revo.
“Alea?” Lelaki itu menyipitkan matanya. Dia melepas helm miliknya.
Dari raut wajahnya terlihat bahwa dia sangat khawatir.
“Kenapa di sini, Lea? Ini hujan.” Lelaki itu menatapAlea khawatir.
Alea menggigit bibirnya sendiri.
“Enggak pa-pa, Rey.” Alea tak mengerti, mengapaReynand bisa berada di
sini.
“Lea, hujannya deres banget. Kenapa enggak neduh dulu?”
“Udah telanjur.”
“Aku anter kamu pulang, ya?” tanya Reynand.
Alea menggeleng, bibirnya sudah terlihat sangat pucat.Tangannya
mengerut. Dia melihat Reynand menatapnya tak tega.
“Lea, aku enggak ada niat apa-apa. Di sini sepi banget. Kamu sama
siapa?” tanya lelaki itu.
Alea menggeleng, tubuhnya mulai bergetar.
“Kamu sama Revo?” tanya Reynand lagi.
Alea terdiam, bibirnya semakin pucat.
Reynand melepas jaket kulit anti-air miliknya, lalu memakaikannya ke
tubuh Alea.
“Makasih, Rey.”
Reynand lalu menaiki motornya.
“Naik, Lea,” suruh Reynand.
Alea menggeleng. “Enggak usah, Rey.”
“Naik!” paksa Reynand setengah membentak.
Alea pun akhirnya terpaksa menaiki motor Reynand. Dia juga bingung
harus pulang bagaimana.
Setelah 20 menit, mereka sampai di sebuah kafe yang tidak terlalu jauh
dari kawasan sekolah mereka.
“Rey, kenapa ke sini?” tanya Alea lemas.
“Kamu minum dulu, kamu pasti kedinginan.”
Mereka memasuki kafe tersebut. Reynand menatapAlea seraya
tersenyum.
“Mas, hot chocolate sama roti bakar dua, ya. Cepet, ya, Mas,” pesan
Reynand.
“Iya, ditunggu.”
Reynand menatap Alea yang tengah menggosokkankedua tangannya.
“Masih dingin, ya, Le?” tanya Reynand.
Alea mengangguk.
Reynand menarik tangan Alea, lalu menggenggamnya dengan erat,
membuat Alea mendongak.
“Kenapa kamu sendirian di sana, Lea? Revo ke mana? Dia ninggalin
kamu?” tanya Reynand.
“Dia ada urusan mendadak, Rey. Mungkin penting.Lagian, kenapa lo tiba-
tiba bisa di sana?”
“Sebenernya, tadi waktu aku lihat kamu sama Revo pulang duluan, diem-
diem aku ngikutin kamu dari belakang. Waktu tadi kamu lagi makan sama
Revo, sebenernya aku ada di kios yang enggak jauh dari sana.”
Alea mencoba melepaskan tangannya, tapi Reynand tetap
menggenggamnya. “Kenapa lo harus ngikutin gue?”
“Lea. Aku cuma mau pastiin kamu baik-baik aja. Aku enggak mau ada
yang nyakitin kamu. Aku enggak maukamu jatuh cinta sama orang yang
salah. Lihat, kan? Sekarang Revo ninggalin kamu di daerah yang bahkan
enggak kamu tahu sama sekali. Dia ninggalin kamu lama banget.”
“Revo ada urusan penting.”
“Tapi, tetep aja dia ninggalin kamu sendirian. Apalagidi sana sepi, hujan.
Kalo kamu kenapa-kenapa gimana?”
“Gue enggak pa-pa, Rey.”
“Enggak usah berlebihan. Kamu sakit gini, Lea. Enggakpa-pa gimana,
sih?” sentak Reynand.
“Gue enggak pa-pa,” tegas Alea lagi.
“Le, gimana kalo dia bohongin kamu?”
“Dia bukan pembohong, Rey.” Alea menatap tajam.
Reynand mengangguk. “Oke, aku minta maaf, ya. Aku sayang kamu, Lea.
Aku enggak mau kamu kenapa-kenapa. Aku emang berengsek, tapi aku
enggak mau kalo ada orangyang perlakuin kamu seenaknya gitu.”
Di apartemennya, Revo masih bingung bagaimana caramenghubungi Alea.
Dia makan dengan cepat.
“Aku mau ke toilet dulu.” Dia berdiri, sementara Reva masih fokus
dengan makanannya. Revo mengambil ponselnya tanpa Reva sadari. Dia
memasuki kamar mandi.
revoadriano: Le.
revoadriano: Lo di mana?
revoadriano: Lo balik aja ya? Mendadak banget gue enggak bisa
jemput lo ke sana. Gue masih ada urusan. Di sana hujan? Jangan
ujan-ujanan. Maaf, ya, Le.
Sejurus kemudian, Alea membalas.

tasyalea: Iya, gue udah arah balik kok, santai aja. Tapi, lo di
sana enggak pa-pa, kan? Ada masalah?

Revo menarik napas sejenak ketika membaca pesan dari Alea, dia kira
gadis itu akan marah. Namun, Aleamalah mengkhawatirkan dirinya, padahal
di sini dia tidakkenapa-kenapa.

revoadriano: Lo marah?
tasyalea: Hahaha lebay banget lo! Ya, enggak, lah, santai aja.
Semoga cepet kelar urusan lo, biar enggak kebanyakan urusan kayak
engkong-engkong wkwkwk

Revo merasa bersalah karena gadis itu malah memikirkan tentang dirinya.
Padahal, mungkin di sana gadis itu tengah kedinginan.
“Maafin gue, Alea.”
Alea meletakkan ponselnya. Terlihat pelayan membawapesanan ke meja
mereka.
“Minum dulu, Lea. Kamu masih kedinginan, ya?”Reynand memegang
pipi Alea lembut seraya tersenyum. Entah mengapa, perlakuan Reynand
begitu lembut danmenghangatkan di saat Revo bahkan tidak ada di sisinya.
“Minum dulu, ya?” Reynand mengusap lembut rambutAlea. Alea
mengangguk, meminum hot chocolate kesukaannya. Ternyata, Reynand
masih ingat apa yang disukainya.
“Makasih, Rey. Lo masih inget?” tanya Alea.
“Yang terindah mana bisa dilupain,” ucap Reynand.
Alea menggeleng.
“Aku boleh nanya?” tanya Reynand.
“Tanya apa?”
“Sebenernya, kamu sama Revo gimana, sih? Kamupacarnya Revo? Atau,
gimana?”
Alea tersedak. Mengapa tiba-tiba Reynand menanyakan itu?
“Kalian pacaran?”
“Bukan urusan lo.” Alea menatap Reynand tajam.
Reynand hanya mengangguk. “Emang kita enggak bisa,ya, ngomong
‘aku-kamu’ lagi kayak dulu?”
“Enggak, lo juga enggak usah ngomong pake ‘akukamu’ lagi ke gue,”
tegas Alea.
“Maafin aku, ya, Lea. Selama ini, aku enggak bisa bikinkamu bahagia.
Aku selalu bikin kamu sedih selama kita bareng, aku nyesel pernah buang
kamu gitu aja. Apalagi, waktu aku selingkuh sama Gladys, rasanya waktu itu
aku cowok paling bodoh. Aku sadar aku berengsek, aku enggakpantes buat
kamu, Lea. Kamu berhak buat bahagia sama yang lebih baik dari aku, tapi
aku mohon kamu jangan salahpilih. Aku enggak mau kamu jatuh ke lubang
yang sama, aku enggak mau kamu sakit hati lagi, Lea. Aku minta maaf.Aku
janji mulai sekarang aku akan jaga jarak sama kamu.Aku sayang kamu, Alea
Annastasya.”
Ucapan Reynand terdengar sangat tulus. Matanyapun terlihat berkaca-
kaca. Apakah Reynand benar-benar menyesal? Atau, hanya playing victim?
Entahlah.
Dia menarik tangan Alea dan menggenggamnya.
“Maafin aku, ya?” Reynand terlihat menahan air matanya. Jika lelaki
menangis karena wanita, tandanya apa? Mungkin, dia benar-benar mencintai
wanita itu.
Namun, apakah Reynand begitu?
“Rey, enggak gitu.” Alea menatap Reynand intens.
“Aku enggak mau ada yang nyakitin kamu lagi, Lea. Cukup aku, dan aku
nyesel ngelakuin itu kalo tahu aku bakal kehilangan kamu.”
“Rey.”
“Kalo dia nyakitin kamu, bilang sama aku. Kamu bolehpergi dari aku, tapi
aku tetep di sini kalo dia pergi darikamu.” Reynand menatap Alea.
Alea tertegun dengan ucapan itu.
“Udah malem. Pulang, yuk,” ajak Alea mengakhiripembicaraan. Reynand
mengangguk seraya tersenyum.
“By the way, makasih jaketnya, Rey. Udah enggak dingin,kok.” Alea
mengembalikan jaket itu kepada Reynand.
Akhirnya, mereka kembali ke rumah Alea. Alea tak ingin meneruskan
perasaannya, sudah cukup sampai di sini.Jika memang Reynand tulus atau
tidak tulus sekalipun, itu urusannya. Yang jelas, Alea tidak membenci
Reynand di dalam hatinya.
Alea merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya. Dia
menghela napas sejenak.
“Kenapa Reynand segitunya, ya? Kenapa gue seolah nyakitin dia, sih?”
Pikirannya jadi tak karuan, terlebih saat bayangan Revo kembali menghantui
pikirannya. Di mana lelaki itu sekarang?
“Telepon enggak, ya?” Alea menekan kontak Revodengan ragu-ragu.
“Nanti, dia kegeeran.” Dia kembali meletakkan ponselnya, lalu
meletakkan kepalanya di atas bantal. Namun, entah mengapa pikirannya
masih tak tenang, bayang-bayang tentang Revo terus menghantuinya. Dia
pun mengambil ponselnya kembali dan menekan tombol call.
Suara panggilan masuk itu tidak menyadarkan Revo dari lamunannya. Reva
dan Farrel sudah pulang. Entah mengapa, kehadiran Reva justru membuatnya
bingung, bertanya-tanya, dan khawatir. Bukankah seharusnya dia senang?
KRING. Revo berdecak kesal, siapa, sih, yang meneleponnya malam-
malam begini?
tasyalea is calling ...

Raut wajah Revo berubah. Dia tersenyum tipis melihatnama itu.

“Hai.” Revo terlebih dahulu berbicara.


Alea tersenyum seraya menggulingkan tubuhnya dikasur. “Enggak usah
sok manis, jijik.”
“Ngapain, sih, lo nelepon gue malem-malem? Kangen?”tanya Revo
narsis.
“Dih, geer.”
“Terus, lo ngapain nelepon?”
“Heum, enggak pa-pa, sih. Tapi, tadi lo enggak pa-pa, kan? Urusan lo
udah kelar? Lo udah di rumah?” tanya Alea bertubi-tubi.
Revo malah tertawa.
“Kok, lo ketawa, sih? Dasar gila.”
“Berarti, lo khawatir sama gue?” tanya Revo.
“Cuma nanya.”
“Berarti, mau tahu, kan?”
Alea memutar bola mata. Revo memang punya seribu cara untuk
membuatnya skakmat.
“Lo udah di rumah, kan? Jangan keluyuran!” tegas Revo.
“Udah, lah.”
“By the way, gue minta maaf, ya, tadi udah ninggalin losendirian di
danau.”
“Gue enggak sendiri, kan, sama Pak Doni,” ujar Alea.
“Lo jadian sama Pak Doni, ya?”
“Dih, gue malah diusir.”
“Diusir?”
“Iya. Mau tutup soalnya.”
“Tadi hujan, lo kehujanan, dong?” suara Revo terdengar khawatir.
“Iya, tapi gue seneng bisa hujan-hujanan. Kalo enggak gini, kan, gue
enggak bisa main hujan,” jawab Alea.
“Kayak anak kecil tahu enggak, sih, lo.”
“Biarin aja, masalah banget emang?”
“Iya, malu-maluin reputasi keluarga aja.”
“Keluarga apa?” “Keluarga simpanse.” Revo tertawa. “Tapi, tadi lo
beneran enggak pa-pa?” tanya Alea lagi.
“Enggak pa-pa. Udah enggak khawatir, kan, sama gue? Tidur sana,”
suruh Revo.
“Bapak Revo yang terhormat. Gue enggak khawatirsama lo. Bisa enggak,
enggak usah kegeeran jadi manusia?”
Malam itu, mereka bersenda gurau hingga pukul 11.00malam. Entah apa
mantranya, yang membuat obrolanringan dan receh membuat mereka nyaman
dan menyenangkan.
Broken Pieces
“Mungkin, aku bisa ngerasain yang namanya keindahan, tapi jangan terlalu
dekat. Karena, akhirnya pasti akan menyakitkan.”

Hari ini, aktivitas Revo sedikit berbeda. Karena, Reva bersekolah kembali
di SMA Gempita, Revo menjemputnya untuk berangkat bersama ke sekolah.
Reva pun ditempatkan di XII IPA 2, kelas Revo sekarang. Mereka berada di
kelas yang sama lagi. Teman-teman Revo sudah tak asing dengan Reva.
Di akhir kelas X waktu itu, Reva mengikuti program pertukaran Youth for
Understanding di Jerman. Lamanya program pendidikan ini satu tahun
ajaran. Setelah itu, dia bisa kembali ke Indonesia dan kembali bersekolah di
SMA Gempita.
Saat istirahat, Reva memilih untuk berkumpul bersamaRevo dan teman-
teman lamanya—Aria, Farrel, dan Rasya.
Tiba-tiba, seorang lelaki dengan tatapan tajam menghampiri meja mereka.
“Berengsek!” umpat lelaki itu. Dia mendaratkan satu pukulan keras di
wajah Revo. Iya, itu Reynand. Revo menatap bingung Reynand yang tiba-
tiba menghantamnya.
“Eh, santai, dong.” Aria melerai Reynand agar tidak melakukan hal yang
lebih parah dari ini.
“Santai, Bray.” Farrel menambahkan.
“Diem lo semua!” Reynand mendorong Farrel dan Aria,lalu menghampiri
Revo. Aria menarik Reva agar menjauh.
“Di sini aja.”
“Tapi, Revo, Ar.” Reva terlihat khawatir.
“Enggak pa-pa, Va.”
“KENAPA LO TINGGALIN ALEA SENDIRIAN KEMAREN? HAH?”
Reynand kembali menghantam Revo.
Reynand menarik kerah baju Revo.
“Enggak pa-pa kalo emang lo mau rebut Alea dari gue. Tapi, satu yang
harus lo tahu, jangan pernah sakitin Alea.” Reynand melepaskan tangannya
dari kerah baju Revo, lalu membiarkan lelaki itu terjatuh. Reynand pergi dan
menataptajam semua teman Revo.
Mereka tahu, Reynand sangat temperamen. Karena itu, mereka
membiarkan saja.
Revo kembali duduk di bangku kantin.
“Alea siapa?” tanya Reva penasaran. Namun, tak ada yang bisa
menjawab. “Alea siapa, Rev? Kok, kamu tinggalindia sendirian? Maksudnya
gimana? Kasihan, dong, dia.” Reva berkata tak mengerti.
Rasya, Farrel, Aria, dan Revo hanya saling bertatapan. Farrel
menggerakkan kepalanya seolah menyuruh Revountuk menjawabnya. Reva
semakin bingung.
“Alea siapa, sih?” tanyanya lagi.
“Alea junior kita di OSIS. Tapi, ya, deket gitu sama Revokayaknya,”
celetuk Farrel. Aria menajamkan tatapannya ke arah Farrel.
“Oh, gitu, deket gimana?” tanya Reva. Namun, nadanyabukan seperti
orang cemburu.“Nanti, aku kenalin kamu, deh, sama dia. Dia baik, kok,
orangnya,” jawab Revo.
Reva terlihat antusias. “Hari ini, aku mau ketemu dia, ya, Rev. Bisa,
kan?” pinta Reva seraya menggoyangkan bahu Revo.
Revo mengangguk.
“Sekarang aja, Rev. Sekarang, kan, lagi istirahat,”sambung Reva.
“Iya, aku ke kelas dia dulu, ya. Kamu tunggu di sini.” Revo tersenyum
dan mencubit gemas pipi Reva, walaupun pipi Reva tirus dan tidak chubby
seperti Alea.
Farrel berjalan mengikuti Revo.
“Ke mana-mana aja berdua.” Aria menggeleng.
“Rev, lo yakin?” tanya Farrel.
Revo mengangguk. “Iya, emang kenapa?”
“Lo gila!” tukas Farrel.
Revo mengerutkan dahinya. “Gila kenapa? Apa salahnya emang kalo
mereka kenal?” tanya Revo.
Farrel mengacak-acak rambutnya sendiri. “Rev, lo tahusendiri, kan?”
“Berisik.” Revo terus berjalan, sementara Farrel terus mengikutinya.
“Enggak usah ikut!”
“Kan, mau ketemu adek.” Farrel menunjukkan deretangiginya. Revo
menatapnya tajam dan Farrel pun berhenti mengikuti Revo.
Revo berjalan memasuki kelas Alea yang sangat sepi. Gadis itu sedang
duduk di sana sendirian.
“Hai.”
Suara itu membuat Alea mendongak.
“Lho? Ngapain ke sini?” tanya Alea bingung. Dia kagetketika tangan
Revo menyentuh keningnya.
“Kok, badan lo panas?” tanya Revo khawatir.
“Enggak pa-pa.”
“Lagian, hujanhujanan, oon dipelihara,” Revo ketus.
Alea menatap Revo kesal. “Gue mau tidur.” Dia kembalimeletakkan
kepalanya di atas tangannya. Namun, Revomenarik tangannya.
“Ah, kenapa, sih?”
“Gue mau ngenalin lo sama orang,” ujar Revo.
Kening Alea berkerut. “Siapa? Enggak mau, ah.”
“Eh, serius. Dia mau kenal sama lo katanya.”
“Bilang aja gue lagi jadi Putri Tidur.”
“Ih, serius, dia mau kenal sama lo. Lo enggak mau tahu?Dia cantik, lho,”
bujuk Revo.
Alea mendongak.
“Tapi, cantikan gue. Ya, udah, ayo!” Alea berdiri.
“Cantikan dia, lah.”
“Ayo, cepetan gue mau tidur,” dumel Alea.
“Makasih.” Revo mengacakacak rambut Alea.
“Ah, elah!” Alea merapikan rambutnya. Revo tertawa gemas melihatnya.
Alea mengikuti Revo yang berjalan terlebih dahulu, arahnya ke kantin.
Setelah sampai, terlihat olehnya gadis cantik berambut pirang , berkulit putih,
dan memiliki tubuhsemampai bersama Aria, Farrel, dan Rasya.
Gadis itu tersenyum ke arah Alea. Alea pun membalas senyumnya.
Dia siapa? Batin Alea bingung.
“Dia Reva, pacar gue.”
Mata Alea langsung membulat ke arah Revo. Seakan takpercaya dengan
apa yang dikatakan lelaki itu. Seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya
dengan kuat. Mengaparasanya sesak? Memangnya, dia siapa?
“Hai.” Reva mengulurkan tangannya. Alea membalasnya.
Ucapan Revo seakan terngiang-ngiang di dalam benaknya. Jadi, selama
ini Revo sudah memiliki pacar?
Dia—punya pacar? Air muka Alea langsung berubah.
“Dia Alea, Va. Aku udah anggap dia kayak adik aku sendiri. Iya, kan?”
Revo menyenggol lengan Alea.
Alea terdiam, pikirannya jadi tak karuan.
“Budek,” umpat Revo.
Alea menoleh ke arah Revo.
“Kenapa?” tanyanya.
Revo berdecak kesal. “Ngomong sama kingkong.”
“Kata Revo, dia udah anggap lo adeknya sendiri katanya.” Reva tertawa.
Alea tersenyum. Pahit.
Gue kenapa, sih? Dia tak mengerti mengapa dadanya sesak.
“Oh, iya, maaf, ya, kemarin Revo ninggalin lo sendiri di danau,” ujar
Reva.
Alea mengerutkan dahinya.
“Dia sama gue di apartemen, di luar hujan. Makanya, gue enggak izinin
dia.” Reva tersenyum.
Jadi, maksudnya urusan penting itu Reva? Sampai-sampai Revo tidak bisa
menjemputnya? Alea merasa bagaikanbarang yang dijadikan cadangan saat
yang utama hilang.
Alea tersenyum miris. “Oh, iya.”
“Alea, masuk. Ada guru.” Alea menoleh, melihat Acha sedang
menghampirinya.
“Gue duluan, ya. Bye.” Dia pun berlari. “Cha, tungguin!” Untunglah,
Acha menjadi penyelamatnya.
“Alea lucu, ya?” tanya Reva.
Revo terkekeh kecil. “Amit-amit.”
“Amit-amit, tapi kamu ketawa.” Reva mencubit ping-gang Revo.
Revo meringis. “Hahaha, sakit tahu!”
Dari kejauhan, Alea melihat mereka tengah tertawa. Dia tak mengerti apa
yang dia rasakan sekarang. Hatinya terasa sangat hancur, tapi dia tak
mengerti apa alasannya.
Dia tidak tahu apakah dia menyukai Revo atau tidak, tapi mengapa saat
dia tahu Revo memiliki kekasih, hatinyaterasa sakit?
Alea memasuki kelasnya. Sepanjang hari, dia terdiam. Bahkan, pelajaran
yang guru jelaskan sama sekali tidak adayang masuk ke otaknya.
Saat pelajaran Olahraga, Alea sama sekali tidak bergerak dari posisinya.
“Le, lo kenapa, sih?” tanya Acha bingung.
Alea menggeleng. “Gue enggak pa-pa,” jawabnya sambil tersenyum
paksa.
“Ayo Olahraga.”
“Duluan aja, nanti gue nyusul,” jawab Alea lesu.
Acha duduk di samping Alea.
“Lo kenapa, sih, Le? Kenapa lo enggak pernah cerita apa pun ke gue?
Emangnya lo anggap gue apa, sih? Gue temen lo, Alea.” Acha menarik
tangan Alea.
Alea menghela napas. “Kan, gue udah bilang. Gueenggak pa-pa, Cha.”
“Yang tadi, siapanya Revo?” tanya Acha mendadak.
Alea mendongak ke arah Acha. “Pacarnya.”
Acha bingung. “Revo punya pacar, Le?”
Alea mengangguk.
“Kok, dia gitu?”
Alea mengerutkan dahinya. “Dia gitu kenapa?”
“Ya, gue kira lo sama dia, kan, udah deket banget. Gue kira, dia suka
sama lo.”
Alea tertawa. “Ya, enggak, lah, ngaco. Gila lo, ya. Enggak lihat gue sama
dia kayak Tom and Jerry tiap ketemu?”
“Ih, tapi kalian kalo lagi berantem itu sweet.”
“Najis. Enggak, lah. Amit-amit.”
“Amit-amit, tapi pas tahu dia punya pacar lo-nya galau.” Acha
menggelengkan kepalanya.
“Gue enggak suka sama Revo, Cha.”
“Lo suka dia, Alea.”
“Enggak.”
“Tapi, perasaan lo ke dia beda pasti, kan?”
Alea terdiam.
“Ganti baju sana, gue duluan.” Acha terlebih dahulu berjalan ke lapangan.
Jam pelajaran Olahraganya dan Revo bersamaan. Entah mengapa bisa
begitu. Dia berlari memasuki lapangan, menyusul teman-temannya.
“Alea, kenapa telat?” tanya Pak Bobi.
Alea tak menggubris, dia malah melihat Reva dan Revodi seberang sana,
yang tengah tertawa bersama.
“ALEA!” sentak Pak Bobi.
Alea tersadar dari lamunannya. “Iya, Pak?”
“Kamu ini telat terus kerjaannya. Kali ini, kamu Bapak hukum!”
Alea menghela napas.
“Kamu lari keliling lapangan sepuluh kali!”
“Tapi, Pak ....”
Pak Bobi menatap Alea geram.
“Alea, lari sekarang!”
“Iya.” Alea pun pasrah dan mulai berlari mengelilingi lapangan.
Di seberang sana, Revo yang tengah tertawa, perlahan mengalihkan
pandangannya ke arah Alea.
Kebiasaan, batin Revo seraya menatap gadis itu. Sementara itu, Reva
menatap Revo dengan aneh.
“Kenapa?” tanyanya, mengikuti arah pandang Revo.
Alea? Sebenernya, mereka ada apa, sih? Batin Reva.
“Rev,” tegur Reva lagi.
Revo tersadar dari lamunannya. “Hah? Kenapa?”
“Kamu ngelihatin siapa, sih?”
“Enggak—enggak pa-pa. Terus, terus tadi gimana?”tanya Revo
mengalihkan pembicaraan, tapi sesekali diamasih melihat Alea dari ujung
matanya.
Ketika Revo bermain bola basket, dia mulai tak fokus, menatap Alea
khawatir. Bagaimana jika gadis itu pingsan?Alea paling tak kuat lari.
“Abang Revo ngelihatin adek mulu, ah. Nanti, ada yangcemburu,” ledek
Farrel.
BUGH. Tanpa sengaja, Revo melempar bola basket kearah Farrel. Dia
kira melempar ke arah keranjang basket.
“Ya, elah, coy. Emang muka gue kayak keranjang basket? Gue tahu gue,
ganteng, enggak usah sirik. Gue enggak akan jelek cuma gara-gara kelempar
bola basket.” Farrel melempar balik bola itu ke arah Revo.
“Enggak sengaja, sih, elah,” ujar Revo kesal.
“Kebanyakan main perasaan, sih,” celetuk Farrel.
Revo terdiam, kembali melihat wajah Alea yang sudahmemerah seperti
kepiting rebus.
Sudah sembilan kali putaran. Kaki Alea sudah terasa sangat lemas. Dia
berhenti sejenak.
“ALEA. LARI!” sentak Pak Bobi. Napas Alea terengah-engah. Dia
mencoba berlari lagi, tapi tidak kuat.
BRUK. Dia terjatuh di lapangan, kepalanya sangat pusing, kakinya sudah
lemas. Dia tidak pingsan, tapi tetap saja kelelahan.
“Alea,” pekik Revo. Spontan, dia bergegas menghampirigadis itu. Namun,
Reva menahan tangan Revo.
“Kamu mau ke mana? Kita lagi pelajaran.”
“Va, tapi Alea,” ujar Revo tertahan. Dia menatapAlea yang masih
tersungkur di lapangan, tapi untungnya teman-temannya segera
menolongnya.
“Alea banyak yang nolongin.” Reva menarik tangan Revo untuk segera
kembali ke gerombolan kelas mereka.
Saat membuka matanya, yang Alea lihat hanya Revo dan Reva yang
sedang bergandengan.
Alea menghela napas sejenak, lalu tersenyum miris.
Entah mengapa, hal kecil seperti itu membuat hatinya terasa janggal.
Seharusnya, Alea tidak seperti ini.
“Alea, kamu enggak pa-pa, kan?” tanya Pak Bobi.
Alea tersadar. “Kenapa, Pak?”
“Kamu itu cantik-cantik, kok, bolot banget dari tadi? Kamu enggak pa-
pa?”
“Iya, saya enggak pa-pa.”
“Kamu ada-ada aja, sih. Udah kamu istirahat aja. Lagi juga, pelajaran saya
udah mau habis,” suruh Pak Bobi.
Setelah itu, Pak Bobi mengisyaratkan kepada semuasiswa untuk
beristirahat juga, karena Olahraga jam terakhir,maka teman-temannya pasti
langsung pulang.
“Lo mau pulang?” tanya Acha.
Alea menggeleng. “Duluan aja.”
“Oke, gue duluan, ya.” Acha mencubit gemas pipi sahabatnya. Alea
berjalan menuju taman sekolah.
Di sana ada beberapa tanaman dan bunga. Dalam sekejap, sekolah sudah
sangat sepi.
“Sebenernya, gue itu kenapa, sih? Kenapa gue ngerasa ada yang aneh
sama gue? Kenapa gue sedih? Kenapa rasanya sakit? Padahal, semuanya
enggak ada hubungannya sama gue. Harusnya gue seneng, dong, lihat Revo
punyapacar, biar dia enggak jadi jomlo karatan terus gila seumur hidup.”
Alea menatap kesal dirinya di cermin yang dia bawa. Dia memanyunkan
bibirnya. Ditatapnya bunga-bunga yangada di depannya.
“Hai, mawar, kamu indah. Tapi, kalo tangan aku kena, kamu pasti bakalan
luka, ya? Kamu indah, tapi enggak bisadigapai. Kalo aku paksa, aku yang
sakit. Apa aku seperti itu,ya? Mungkin, aku bisa merasakan yang namanya
keindahan, tapi jangan terlalu dekat. Karena, akhirnya pasti akan
menyakitkan.” Alea tersenyum menatap mawar itu.
“Kamu juga sama seperti mawar, kaktus. Mungkin,bedanya kamu sama
mawar, dari awal kamu enggak kelihatan indah. Berjalan apa adanya, tapi
kenapa kamu sama kayak mawar? Kalo aku deketin kamu, nanti aku
sakit.Apalagi kalo aku peluk kamu. Mungkin, kamu nerima aku, tapi duri-
duri kamu bakalan nyakitin aku. Sebenernya, akuyang salah, buat apa aku
meluk kaktus?
“Hai, anggrek, aku tahu kamu beda dari mereka berdua.Kamu indah, tapi
sulit didapetinnya. Terus, tiba-tiba kamu menghilang.” Alea termenung
sejenak.
I love you, Alea.
Entah mengapa, kata-kata Revo selalu terngiang dibenak Alea. Padahal,
Alea tahu, Revo mengucapkan ituhanya karena ingin menggodanya. Dia
menggeleng, airmatanya sudah terbendung di kelopak matanya. Tak lama, air
mata itu mengalir.
Buat apa gue nangis? Alea menghela napas.
“Adek jadi melankolis banget?” tanya seseorang.
“Kak Farrel?” Alea segera menghapus air matanya.
“Gue boleh duduk?” tanya Farrel balik, Alea punmengangguk.
“Kenapa Kakak senyum?”
“Gue bilang enggak usah kaku-kaku amat kalo ngomong sama gue, kayak
lo ngomong sama Revo aja.”
“Iya, kenapa tiba-tiba lo senyum?”
“Kenapa lo nangis?”
“Gue enggak nangis.”
“Gue ngerti, kok, perasaan lo gimana sekarang.”
Alea terkekeh kecil.
“Emangnya gue kenapa, Kak? Gue enggak pa-pa.”
“Pasti karena Revo sama Reva, kan?” tanya Farrel.“Kenapa? Lo
cemburu?”
Alea mengerutkan dahinya.
“Ya, enggak, lah. Ngapain cemburu sama anak model Revo? Gue malah
seneng dia punya pacar, jadinya enggak gila seumur hidup.”
“Enggak usah munafik, Le. Gue ngerti perasaan loberdua kayak gimana.”
“Kayak gimana emang?” Alea penasaran.
“Ya, gitu pokoknya. Adek masih kecil. Cuma Abang Farrel doang yang
ngerti.”
Alea terkekeh mendengar jawaban Farrel.
“Kak Farrel.”
“Hm?”
“Gue boleh nanya? Tapi, maaf kalo terlalu pribadi.”
“Kenapa?”
“Revo sama Reva baru jadian?” tanya Alea.
Farrel menggeleng. “Enggak, mereka pacaran udahhampir tiga tahun.
Tapi, kayaknya kenalnya sebelum itu, deh. Tapi, pas kelas X akhir, Reva itu
pertukaran pelajar ke Jerman selama setahun lebih dikit. Sekarang, program
dia di sana udah selesai, makanya dia balik lagi ke Indonesia.
“Terus, kemaren pas gue ke apartemen Revo, tiba-tiba gue lihat Reva
nangis di depan sana. Katanya, Revo sakit, entah dia dapat kabar dari mana.
Yang Revo sakit gara-gara berantem sama Reynand itu.
“Gue kira, pas Reva di Jerman mereka udah enggak pacaran, soalnya
Revo emang enggak pernah cerita apa-apa.Ternyata, masih sampe sekarang.”
Alea tersenyum. “Baguslah kalo gitu, berarti LDR mereka berhasil.”
“Kenapa lo nanyain soal mereka? Lo cemburu? Atau, lo beneran suka
sama Revo?” tanya Farrel menjebak. Dia menatap Alea lekat.
Alea terdiam. Dia juga tak mengerti, apakah diamenyukai Revo?
Aware?
Kebohongan yang paling menyakitkan ketika kamu berbohong pada dirimu
sendiri.

Setelah Alea mengetahui itu, sebenarnya hubungan Alea dan Revo berjalan
biasa saja. Namun, bedanya, mungkin Reva menjadi pembatas antara mereka.
Ini sudah berjalan dua minggu, Alea dan Revo masih saling menyapa.
Bahkan,saat ada Reva sekalipun. Alea juga tetap tertawa dan terlihat bahagia
di hadapan Revo.
Seolah yang biasanya selalu ada, telah menghilang.Seperti pernah
memiliki, padahal tidak. Ingin bilang kehilangan, tapi tidak pernah memiliki.
Besok, praktik menyanyi, tapi Alea belum mempersiapkan apa pun.
Mood-nya jadi mudah berubah-ubah sekarang. Sebenarnya, Pak Deka
membolehkan untuk berduet, trio, ataupun kuartet. Namun, Alea terlalu
malas untuk itu.
Dia enggan menyesuaikan vokal dan sebagainya.
Dia mengambil gitar di ujung kelasnya, milik Aldi.Sengaja ditinggal di
kelas oleh Aldi untuk besok.
Alea sebenarnya tak mahir bermain gitar, tapi diamengetahui kunci-
kuncinya, meski masih sering bingung juga jika berpindah kunci.
“G ... E minor ... terus C ... terus G.” Alea mencoba memetik senar
gitarnya lagi. Kalau dia belum mahir, besok bagaimana?
“When you hold me in the street.” Alea mulai melantunkan lagu itu.
Suaranya cukup merdu. Mungkin, tekniknya tidak terlalu dia kuasai.
“E minor, ya? And you kiss me on the dance floor. C? I wish that it could
—eh, gue salah kunci, ya?” Alea memetik bingung senar gitarnya. “Eh, ini
dia I wish that it could be like that, why can’t we be—eh, pindah kunci lagi,
ya?” Rasanya Alea memang tak pandai bermain gitar.
Reva berkata sepulang sekolah dia akan kumpul dengan teman lamanya, jadi
Revo tak harus mengantarkannya pulang. Revo berjalan menyusuri koridor
sekolah, ingin pulang karena sekolah juga sudah sangat sepi seperti tak ada
kehidupan. Langkahnya terhenti saat dia mendengar lantunan lagu yang
sangat indah. Namun, mengesalkan karena si penyanyi menyanyikannya
dengan terbata-bata. Padahal, suaranya sangat merdu.
“Suaranya bagus. Siapa yang nyanyi udah sepi gini?” Revo mengernyit.
Dia terus berjalan, mencoba untuk tak menghiraukan itu. Namun, rasanya
suara itu tak asing baginya dan menyentuh hatinya.
“I wish that it could be like that, why can we be like that, cause I’m yours.
Ke G terus E minor. Ya, elah, sakit lagi tangan gue. We keep behind—close—
doors.”
“Siapa yang nyanyi, sih, elah? Putus-putus jadi enggak enak.”
Revo semakin penasaran dengan suara itu. Dia pun mendekati kelas
tempat suara itu berasal. Kelas Alea. Revo baru menyadarinya.
“Everytime—I see you.”
Suara itu terhenti. Si pemilik suara menoleh ke arah seseorang yang sudah
berdiri di depan pintu dan menyapanya.
“Alea?” Revo mengerutkan dahinya.
“Eh, lo.” Alea menatap bingung lelaki itu. Rasanyasudah lama sekali
mereka tidak seperti ini.
“Gue boleh masuk?” tanya Revo.
Alea mengangguk. Revo pun masuk.
“Lo nyanyi putus-putus gitu ngeselin tahu enggak. Kaloada orang yang
lagi dengerin lo nyanyi enak-enak, gimana?”Revo menatap Alea kesal.
“Berarti, suara gue enak, dong?”
“Enggak usah kepedean.” Revo mendorong bahu Alea.
Alea terkekeh kecil. “Gue, kan, enggak maksa orang buat dengerin gue
nyanyi. Salah sendiri didengerin. Dodol, sih,” ujarnya meledek.
“Musik itu emang buat didengerin buat pendengarnya dan jadi media buat
yang memainkannya,” ujar Revo.
Alea malah bertepuk tangan. “Iya, deh, Bapak Revo yang terhormat.”
“Lo enggak balik?” tanya Revo.
“Ya, enggak, lah. Kalo gue balik, terus yang nyanyisiapa? Setan?
Dedemit?” jawab Alea kesal.
“Ya, maksud gue, ngapain lo nyanyi?”
“Suka-suka gue.”
“Dih.”
“Besok, gue ada praktik nyanyi, tapi gue belum prepare.”
“Susah main gitarnya, ya?” tanya Revo.
Alea mengangguk. “Gue enggak ngerti pindah kuncinyagimana, susah
kalo sambil nyanyi.”
“Gampang kali. Sini!” Revo mengambil gitar itu dari Alea. “Gue yang
main gitar, lo yang nyanyi, ya,” suruh Revo.
“Suara gue mahal.”
“Najong!” Dan, akhirnya mereka tertawa bersama.Entah bagaimana,
rendahnya selera humor mereka, tapi hal sepele itu saja membuat mereka
bahagia.
Revo menatap Alea lekat, begitu pun dengan Alea.Ada desiran hangat dan
nyaman di antara mereka berdua.
Yang tidak dapat disatukan. Yang mereka sendiri tidak memahami
perasaan itu.
“Kenapa malah lihatin gue?” tanya Alea kesal.
“Udah cepetan nyanyi.”
“Emang lo bisa main gitar?” Alea bertanya meledek.
“Cepetan nyanyi, Alea Annastasya paling gendut sejagat raya.”
“Heh!”
“Makanya nyanyi. Mainnya dari C aja, ya?” tanya Revo.Alea
mengangguk. Lantunan gitar itu sudah terdengar indah, tidak seperti petikan
gitar Alea tadi.

¯We keep behind closed doors


Every time I see you,
I die a little more Stolen moments that we steal as the curtain falls It’ll never
be enough •

Rasanya sangat menyayat hati Alea. Dia memejamkan matanya sejenak,


lalu menghela napas.

¯As you drive me to my houseI can’t stop these silent tears from rolling
down
You and I both have to hide
On the outside where I can’t be yours and you Can’t be mine •

Seketika, lirik itu membuat Revo menatap sendu gadis di depannya. Alea
membalas tatapan itu.
“Where I can’t be yours and you can’t be mine?” Seperti menohok hati
mereka berdua.

¯But we know this, we got a love that is homeless


Why can’t you hold me in the street?
Why can’t I kiss you on the dance floor?
I wish that it could be like that
Why can’t we be like that?
‘Cause I’m yours
Why can’t I say that I’m in love?
I wanna shout it from the rooftops
I wish that it could be like that
Why can’t we be like that?
‘Cause I’m yoursI don’t wanna live love this way
I don’t wanna hide us away
I wonder if it ever will change I’m living for that day
Someday •

Alea merenung sejenak. Apakah semuanya akan benar-benar berubah?


Perlahan, memang dia rasakan perubahan yang sangat janggal di dalam
hatinya.
Alea menyanyikan lagu itu penuh perasaan. Dia menghela napas sejenak,
lalu memejamkan matanya. Apakah liriklagu itu benar-benar mewakili
hubungannya dengan Revo?
Revo memainkan gitar itu sejenak dengan improvisasinya sendiri setelah
Alea selesai bernyanyi.
“Mau coba main gitar lagi?” tanya Revo.
Alea mengangguk dan mengambil gitar itu.
“Jangan ragu, jangan kaku mainnya. Santai aja. Gini megangnya.” Revo
meletakkan tangan Alea di posisi seharusnya.
Alea menatap tangan Revo yang menyentuh tangannya.Berkat arahan dari
Revo, dia jadi lumayan lancar bermain gitar, walaupun tidak sebagus Revo
tentunya.Alea mengembuskan napas.
Entah mengapa, matanya berkaca-kaca.
Mungkin, dia terlalu meresapi isi lagunya.“Lo nangis?” tanya Revo.
Alea terkekeh kecil dan mengusap matanya. “Enggak.”
“Lo lagi galau, ya?” Revo menatap Alea lekat.
Apakah dia bisa merasakan itu? Pikir Alea. “Dih? Enggak. Galau
kenapa?”
“Gue serius, lo galau?”
“Enggak. Suer, deh.” Alea mengangkat dua jari. Revo menatap jari Alea
yang sudah terluka karena bermain gitar.“Jari lo luka? Kelas lo punya P3K
enggak, sih?”“Ada, di loker.” Revo bergegas menuju loker kelas Aleadan
mengambil kotak itu, lalu kembali duduk di samping Alea. Dia mengambil
beberapa obat dan plester.
Dia kemudian menarik lembut tangan Alea. Lelaki itu tengah meniup jari-
jarinya yang lecet.“Kenapa ditiup, sih? Emang balon?” Alea menarik
tangannya.“Diem.” Revo kembali menarik tangan Alea dan memberikan
beberapa obat. Dia meniup tangan Alea lagi.“Nanti infeksi, diem.” Namun,
Alea masih tak bisa diam. “Diem, Alea,” tegas Revo. Dia memandangnya,
seakan matanya tak mau lepas darinya.
Alea menatap balik ke arah Revo. Jantungnya berdebar saat ini, menatap
lelaki yang mengobati tangannya itu dari dekat. Mungkin benar kata Revo,
Alea sudah seperti adiknya sendiri. Namun, apakah mereka sadar apa yang
sudah terjadi di antara mereka berdua?
“Besok pasti sembuh, kok, good luck.” Revo mencubit pipi Alea dengan
kedua tangannya.
“Sakit ih!”
Revo malah mengencangkan cubitannya.
“Sakit, dodol. Ih, pipi gue udah gede!”
Revo melepaskan cubitannya.
“Sakit, ah. Gue mau balik, thank you, ya, private gratisnya, Bapak Revo.”
“Gue anterin, enggak ada penolakan.”
“Kak Reva emang ke mana? Lo enggak nganterin dia?” tanya Alea.
“Tadi, dia bilang ada acara sama temen lamanya,makanya dia enggak mau
balik bareng gue. Udah santai aja sama Reva, mah.”
“Ah, males, lo bawa motor enggak pernah waras.”
“Cepet, ayo, ah, gue kangen, kan, sama Tante Cecill.”
Alea terkekeh kecil. “Kangennya sama nyokap gue, ya?Ya, udah, ayo.”
“Ayo.” Revo menarik tangan gadis itu.
Alea menaiki motor Revo, akhirnya setelah lama mereka bisa pulang
bersama lagi. Walaupun rasanya beda, saatAlea tahu yang ada di depannya
kekasih orang.
Mereka tertawa dengan lawakan receh ala mereka, tapitampaknya mereka
sangat bahagia.
Baru setengah jalan, mereka bertemu dengan Reva danteman-temannya.
Revo hanya tersenyum ke arah Reva,begitu pun Alea. Namun, Alea tahu,
tatapan Reva ke arah Revo tatapan cemburu. Dia juga sadar jika Reva
menatapnya tidak suka. Reva menatap tajam ke arah mereka berduahingga
motor Revo sudah tak dapat dia lihat.
Apa gue salah? Batin Alea.
Alea tahu betul bagaimana rasanya jadi Reva. Alea tahurasanya dikhianati
sangat tidak enak, sakit, menyebalkan. Namun, entah apa perasaan di dalam
hatinya, tapi Alea sama sekali tidak ingin merebut Revo dari Reva. Tapi, jika
mereka terus seperti ini, apakah salah? Apakah ini Secret Love Song yang
sesungguhnya? Atau, rasa yang tak disadari?
“Lo bilang, Kak Reva bakal ada acara sama temen-temennya? Kenapa
masih di deket sekolah?” tanya Alea.
“Emang salah? Santai aja,” jawab Revo santai.
“Rev, tapi, kan—” ujar Alea terpotong.
“Reva ngerti, Le.” Revo menegaskan.
“Ngerti apa?”
“Reva ngerti gue udah anggap lo kayak adik gue sendiri.Apa salahnya
seorang kakak anterin adeknya pulang?” tan-ya Revo. Perkataannya seakan
menohok hati Alea, rasanya seperti ada pisau yang menusuk relung hatinya.
Apa ucapanRevo salah? Mengapa rasanya sakit? Memang benar, kan?
Memang seharusnya Alea hanya menjadi adik Revo di OSIS.
“I—iya.”
“Reva percaya sama gue, gue enggak akan ninggalindia karena lo. Gue
sama lo cuma senior-junior, enggak lebihdari itu.” Revo makin mempertegas,
rasanya Revo seperti sedang mengklarifikasi.
“Lagi juga, buat apa gue ninggalin Reva? Gue sayang Reva, Le.”
“Iya, lah, kan, lo pacarnya.” Alea tertawa miris.
“Iya.”
Dadanya semakin sesak, matanya memanas. Entah, apayang terjadi pada
Alea? Alea juga tak mengerti.
“Lo tahu enggak? Gue kenal Reva dari kecil, dia baik banget. Lo tahu?
Setelah Reva balik rasanya hidup gue balik.Satu tahun pisah sama dia itu
rasanya aneh.”
Hatinya semakin tercabik-cabik.
Gue kenapa? Batin Alea. Matanya terasa sangat panas sekarang.
Alea mungkin tahu rasanya jadi Reva. Saat itu, Reynandmembuangnya
karena Gladys, sahabat dekatnya. Itu sangatsakit rasanya. Bahkan, ketika
Reynand sudah menganggap bahwa mereka tak saling kenal. Itu lebih sakit.
Alea tak mau seperti Gladys, tapi mengapa ada yang aneh dengan dirinya?
Ada apa dengan perasaannya?
Tak lama, hujan mulai membasahi Kota Jakarta secara mendadak. Hujan
deras langsung membasahi begitu saja tanpa memberi aba-aba. Revo
menghentikan motornya.
“Lo mau neduh dulu?” tanya Revo.
“Enggak usah, udah telanjur basah,” jawab Alea. Revo mengangguk, lalu
kembali mengegas motornya. Alea sedikitterkaget sehingga dia spontan
mencengkeram Revo.
“Maaf.” Alea melepaskan tangannya.
“Enggak pa-pa, daripada lo jatuh. Kayak sama siapa aja.” Revo menarik
tangan Alea.
Perlakuan Revo kepadanya membuatnya semakinbingung. Apakah dia
terlalu terbawa perasaan?
Hujan semakin membasahi, air mata Alea pun menetesbegitu saja.
Biarkan saja, Revo pun tak akan mendengar danmengetahui jika dia
menangis. Air matanya tersamarkan oleh air hujan. Itulah alasan Alea sangat
menyukai hujan.
Alea menyandarkan kepalanya di punggung Revo. Dia benar-benar
menumpahkan air matanya.
Sebenernya, gue kenapa? Kenapa gue harus nangis? Guesama sekali
enggak kehilangan Revo. Buat apa gue nangisin orang yang bahkan enggak
pergi dari hidup gue? Buat apa gue nangisin orang yang bukan milik gue?
Batin Alea.
Revo merasa ada yang aneh dari Alea, mengapa dia menggenggamnya
sangat erat? Seperti tak akan bertemu lagi. Satu tangan Revo menyentuh
punggung tangan Alea.
“Lo kenapa?” tanya Revo.
“Enggak pa-pa.”
“Serius? Lo enggak sakit? Neduh dulu aja, deh, ya?” tanya Revo. Alea
menggeleng, Revo melihatnya dari kaca spion.
“Tanggung, Rev.”
Akhirnya, Revo mengendarai motornya hingga sampaike rumah Alea.
Sudah sampai, tapi Alea masih diam.
“Hei, udah sampe.” Revo mengelus tangan Alea. Alea turun dari motor
Revo. Revo menatap wajah Alea yangpucat, bibirnya pucat, matanya juga
sembap.
“Lo kenapa?” tanya Revo lembut.
“Enggak pa-pa.”
“Lo pucet, bego. Enggak pa-pa gimana, sih?” tanyaRevo lagi. Alea
menghela napas.
“Dingin, Rev. Gue masuk, ya? Thanks, lho, udah ngajarin tadi.” Alea
tersenyum dan bergegas memasukirumahnya. Namun, Revo menahan tangan
Alea.
“Kenapa lagi, sih, Rev? Dingin tahu. Lo mau gue mati kedinginan di
sini?” tanya Alea kesal.
Revo menatap gadis itu lekat, seakan tidak akan melepaskan tatapan itu.
“Lo nyembunyiin apa dari gue?” tanya Revo tegas.
“Apa, sih?”
“Ada yang lo sembunyiin dari gue?” Revo mempererat genggamannya.
“Gue enggak pa-pa, Rev. Suer, deh!”
Revo hanya mengangguk seraya tersenyum.
“Good luck, ya, besok.” Revo mengelus pipi gadis itu yang sudah basah
oleh air hujan. Alea menepis tangan itu. Alea hanya tersenyum sekilas, lalu
memasuki rumahnya.
Revo menatap tingkah gadis itu yang aneh.
“Dia kenapa? Apa gue salah?” Revo bertanya-tanya. Apakah yang dia
ucapkan salah? Apakah dia membohongi perasaannya sendiri? Entahlah.
Jealous?
Buat apa gue nangisin orang yang bukan milik gue?

Keesokan harinya, praktik bernyanyi akan segera dimulai.Seluruh temannya


sibuk menyiapkan lagu dan koreografi. Namun, Alea hanya meletakkan
kepalanya di atas tangannya, berkutat dengan perasaannya.
Di sisi lain, Aldi menatap gadis itu dengan aneh.
“Sawan lo?” tanya Aldi.
Alea berdecak kesal. “Berisik.”
“Lo nyanyi sendiri?” tanya Aldi lagi.
Alea mendongak. “Iya, pinjem gitar, ya, Di,” pinta Alea,dan Aldi
mengiakannya.
Tak lama, Pak Deka memasuki ruang kelas. Satu per satu grup pun
bernyanyi. Alea sangat menikmati itu. Ada yang bagus, hingga ada yang
lucu. Ada grup yang vokal suaranya sangat bagus, koreografinya sangat
keren, bahkan ada grup bernuansa KPop yang sangat menghibur. Saat Alea
mendapat giliran, dia tak tahu apakah akan suksesdalam praktik ini atau
tidak.
“Good luck, ya, besok.” Alea malah teringat perkataanRevo kemarin. Dia
mencoba menenangkan dirinya.
¯We keep behind closed doors
Every time I see you, I die a little more
Stolen moments that we steal as the curtain falls
It’ll never be enough •

Alea menyanyikan lagu itu hingga akhir. Entah mengapa, dia sangat
menghayati dan meresapi lirik lagu itu.
Semua yang mendengarkan tercengang, tak dapat berkata-kata. Pak Deka pun
tak menyangka. Semua bertepuk tangan.
“Alea, tadi kamu lip sync?” tanya Pak Deka.
“Enggak, lah, Pak, suara ancur gitu ngapain lip sync.” Alea tertawa.
“Saya serius. Saya kasih nilai tertinggi kamu di praktikini kalau kamu
mau menyanyikan satu lagu lagi. Tapi, di panggung sekolah,” ujar Pak Deka.
Alea mengerutkan dahinya.
“Kamu isi daily music hari ini,” Pak Deka menambahkan. Memang,
setiap hari pasti ada saja yang menyanyi di panggung sekolah. Tapi, apakah
Alea bisa?
“Lagi! Lagi! Lagi!” sorakan teman-teman sekelasnyamembuatnya mau
tak mau menuruti kemauan Pak Deka.
“Ta—tapi saya enggak tahu, Pak, kunci gitarnya. Tadi aja masih amatir.”
Alea ragu.
“Enggak pa-pa, nanti ada yang saya suruh main piano.”
Akhirnya, mau tak mau dia menurut. Begitu dia beradadi panggung
sekolah, sialnya di depannya ada Reva dan Revo, yang tengah berbincang
dan bergurau bersama. Aleamalas jika Revo harus melihatnya. Dia menatap
Revo dari atas panggung. Revo pun langsung menoleh ke arah Alea.
“Itu Alea, Rev?” tanya Reva bingung.
Revo mengangguk. “Iya, Va.”
Revo menatap Alea serius, lekat, dan tajam. Aleamenyadari itu. Tatapan
yang sangat tajam dan selalu bisa mengintimidasinya.
“Oke, jadi Alea Annastasya dari XI IPA 1 yang akan mengisi daily music
hari ini. Enjoy it!”
Tatapan Revo masih tidak lepas dari gadis itu.
“Rev.” Reva menggoyangkan lengan Revo.
Revo menoleh. “Hm?”
“Alea lucu, ya?” tanya Reva lagi.
Revo tertawa. “Iya, lucu, kayak boneka beruang palinggede yang di kamar
kamu.”
“Ih, jahat. Alea cantik enggak?” tanya Reva.
“Cantik.” Revo kembali menatap Alea.
Reva menanggapi Revo kesal. “Oh, gitu.”
“Tapi, cantikan kamu, lah.” Revo mencolek hidungReva. Mereka tertawa
bersama, dengan jelas Alea bisamelihat itu dari atas panggung.
Alunan musik mulai berbunyi.

¯I’m jealous of the rainThat falls upon your skin


It’s closer than my hands have been
I’m jealous of the rain •
Mungkin, Alea tak perlu cemburu dengan hujan yang selalu
membasahinya di kala ia turun. Karena, untuk apa selalu ada dalam posisi
yang salah?
Alea menghela napas sejenak. Dia teringat saat berputar-putar di tengah
hujan bersama Revo di kala itu,lalu Revo menggendongnya agar dia tidak
terkena hujan. Mungkin, Revo cemburu pada hujan, jika hujan saja dapat
membuat Alea tertawa bahagia. Namun, sekarang? Yang dia lihat sekarang?
Rasanya hujan lebih bisa membuatnya bahagia.

¯I’m jealous of the wind


That ripples through your clothes
It’s closer than your shadow
Oh, I’m jealous of the wind •

Mungkin, Alea juga tak perlu iri pada angin. Dulu, Revo memang akan
marah pada angin jika angin mengoyaktubuh Alea. Namun, sekarang,
masihkah Revo akan marah pada angin?

¯‘Cause I wished you the best of


All this world could giveAnd I told you when you left me
There’s nothing to forgive
But I always thought you’d come back,tell me all you found was
Heartbreak and misery •

Alea berharap dunia memberikan yang terbaik untuk lelaki yang tengah
bergurau dengan kekasihnya di seberangsana. Mungkin, gadis itu yang
terbaik. Jika memang bukan Alea yang terbaik, Alea berharap Revo
mendapatkan yang lebih baik lagi. Tak perlu ada maaf-memaafkan, Alea juga
ingin Revo bahagia. Semoga, lelaki itu jauh dari kata kehancuran.

It’s hard for me to say,


I’m jealous of the way
You’re happy without me

Haruskah Alea cemburu? Haruskah Alea marah pada jalan yang tengah
Revo tempuh? Apakah kini Revo bahagia tanpa Alea?

I’m jealous of the nights


That I don’t spend with you
I’m wondering who you lay next to
Oh, I’m jealous of the nights
Banyak malam yang telah menjadi saksi, mungkinbintang waktu itu juga
menjadi saksinya.

“Lo cenayang, ya?” ledek Revo.


Dia menatap langit malam yang penuh bintang. Alea pun jadi ikut
menatap langit.
“Lihat, deh, ke atas, hidup lo sama kayak gitu. Banyak orang yang
sayang sama lo, gimana rasanya disayang sama orang yang lo sayang?”
tanya Revo. Alea tertegun. Alea tahu maksud Revo.
“Kadang, gue iri sama lo.”
“Enggak boleh iri, nyokap lo sayang banget, kok, sama lo.” Alea
tersenyum, Revo ikut tersenyum.
“Gue juga sayang, kok, sama lo.” Alea tersenyum manisseraya menatap
Revo lekat.

Bayangan tentang itu terlintas di benak Alea. Apakah rasa sayang itu
masih ada sekarang? Apakah Alea harus menyayangi orang yang telah
disayangi?

I’m jealous of the love


Love that was in here
Gone for someone else to share
Oh, I’m jealous of the love

Cemburu pada cinta? Bagaimana? Cinta seperti apa yang perlu kamu
cemburui? Cinta yang ada di sini, tapi hilang karena sudah untuk orang lain?
Atau, cinta yang dia berikan untukmu yang seharusnya untuk orang lain?

Cause I wished you the best of


All this world could give
And I told you when you left me
There’s nothing to forgive
But I always thought you’d come back,
tell me all you found was
Heartbreak and misery It’s hard for me to say,
I’m jealous of the way You’re happy without me
As I sink in the sand
Watch you slip through my hands
Oh, as I die here another day, yeah‘Cause all I do is cry behind this smile

Saat Alea mencapai nada tertingginya, semuanya bersorak. Termasuk


Reva dan Revo yang ikut bersorak.“Aduh, nangis bawang, deh, gue!” teriak
Revo meledek.Reva menyenggol lengan Revo.
Alea tersenyum ke arah mereka, apakah dia seperti itu?Apakah dia
lakukan menangis di balik senyum yang selalu dia kembangkan di bibirnya?
Apakah itu salah? Apakah pantas dia disebut munafik dengan perasaannya?

I wished you the best of


All this world could give And I told you when you left me
There’s nothing to forgive
But I always thought you’d come back,
tell me all you found was
Heartbreak and miseryIt’s hard for me to say, I’m
jealous of the way
You’re happy without me
I-I-It’s hard for me to say,
I’m jealous of the way
You’re happy without me

Entahlah, akan bagaimana akhirnya. Namun, Alea tetapingin lelaki itu


selalu bahagia, walaupun lelaki itu bahagia tanpa dirinya. Alea mungkin saja
mencintai Revo, tapi dia sama sekali tak ingin mengubah kebahagiaan dari
lelaki itu.
Semua bertepuk tangan setelah Alea selesai bernyanyi.
“Wagelaseh!”
“Terima kasih.” Alea bergegas turun, tapi panitia menahannya.
“Eh, tunggu, dong, jangan balik dulu. Coba jelasin, dong, Alea, maksud
lagu itu apa. Terus, kenapa kamu nyanyi lagu itu?”
“Kenapa, ya, Kak?” Alea malah tertawa.
“Abis bikin orang nangis, ini anak malah ketawa. Cape banget, cape!”
dumelnya. Alea kembali tertawa.
“Dasar gila.” Revo menggelengkan kepalanya. Revamenoleh ke arah
Revo yang begitu antusias dengan Alea.
“Jadi, lagu itu mengisahkan tentang seseorang yang sangat merasa sedih
dan cemburu karena orang yang dia cintai bisa bahagia tanpa dia.”
“Kalo kamu cinta apa, Alea?” ledek Kak Dio, salahseorang panitia Daily
Music.
“Aku cinta apa, ya? Mi Ayam Madam aja, deh.”
“Ya, udah, abis ini kita makan bareng, ya. Makasih, Alea.” Dio
mempersilakan Alea turun. Semua bersorak,Alea bergegas menuju kelasnya.
“Alea!” panggil Revo, yang membuat Reva bingung.
“Iya?” Alea berjalan mendekati dua sejoli itu.
“Lo keren banget, enggak boong. Baguslah enggak malu-maluin gue!”
ujar Revo seraya menepuk pundak Alea. Alea sadar bahwa Reva menatap
tangan Revo yang menyentuh pundaknya. Dia menepis tangan Revo.
“Kok, lagunya beda tapi?”
“Iya, yang kemaren udah nyanyi di kelas. Tapi, tadi Pak Deka nyuruh gue
nyanyi lagi.”
“Makan bareng, yuk?” tanya Revo kemudian, membuat Alea dan Reva
mengerutkan dahinya.
“Iya, makan bareng bertiga. Yuk?” ajak Revo. Alea menatap Reva
sejenak. Wajah Reva sepertinya menunjukkan bahwa dia tidak setuju.
“Enggak usah, abis istirahat gue pelajaran Bu Lidya.Gue ke kelas duluan,
ya,” ujar Alea.
“Yaelah, bentar doang, gue yang bayar, deh,” paksa Revo.
“Ya, udah, Alea, ayo.” Reva menarik pergelangantangan Alea dengan
cukup kuat agar gadis itu berjalan bersamanya saja, bukan dengan Revo.
Far
Untuk apa aku berharap pada dia yang sama sekali tak menginginkanku?

Hampir satu bulan berlalu. Semenjak itu, hubungan Alea dan Reno semakin
merenggang. Sebenarnya, tak ada masalah yang serius yang terjadi di antara
mereka. Namun, Alea lebih membatasi dirinya dengan Revo. Dia tak mau
kedekatan mereka berlanjut.
Revo sudah memiliki kekasih, belum lagi kekasihnya sekelas dengan
dirinya. Lalu, untuk apa lagi Alea memiliki kedekatan dengan Revo?
Di sisi lain, Revo pun seperti kehilangan sesuatu, padahal sesuatu yang
hilang dari hidupnya dahulu sudah kembali. Mengapa kembalinya Reva
malah membuatnya gelisah? Apa yang salah?
Suara gitar memenuhi ruangan musik. Alea ingin menyendiri sambil
memetik gitar tersebut. Dia bosan dengan keramaian dan ingin menenangkan
pikirannya sejenak.

¯Hidupku tanpa cintamu


Bagai malam tanpa bintang
Cintaku tanpa sambutmu
Bagai panas tanpa hujan
Jiwaku berbisik lirih
Kuharus memilikimu •

Alunan merdu, tapi sendu itu terlantun dari bibirmungilnya. Terkadang,


lagu memang dapat menjadi mediauntuk mengungkapkan apa yang dia
rasakan.
Apa Alea merasa kehilangan? Ingin memilikinya?Apakah Alea ingin
memiliki sesuatu yang sudah dimiliki orang lain?

¯Aku bisa membuatmu Jatuh cinta kepadaku


Meski kau tak cinta kepadaku
Beri sedikit waktu
Biar cinta datang karena telah terbiasa •

Apakah cinta yang hanya datang karena terbiasa itu tak akan
menyakitinya? Lalu jika sudah jauh, maka sudah tak cinta? Jatuh cinta, tapi
tak cinta? Apakah yang kamu maksud jatuh cinta sesaat?
Alea berhenti memetik senar gitarnya ketika seseorang berdiri di depan
ruang musik. Revo. Lelaki itu tersenyum dan duduk di samping Alea. Alea
mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Kenapa berhenti?” tanya Revo.
Alea menggeleng. “Enggak pa-pa.”
“Main lagi aja,” suruh Revo.
Alea menggeleng, lalu terdiam.
Revo menatap lekat gadis itu. “Enggak,” ujar Alea.
“Kenapa?”
“Lo ada perlu apa?” tanya Alea ketus.
Revo menghela napas. “Enggak usah sok jutek.”
“Ada perlu apa? Gue mau sendiri.”
“Pak Deka nyuruh gue ngambil gitar di ruang musik.Cuma kalo lo mau
main, ya, enggak pa-pa,” ujar Revo.
Alea melepaskan gitar itu dan memberikannya kepada Revo.
“Kan, lo lagi pake.”
“Bawa aja, gue mau sendiri.”
“Lo ada masalah?” tanya Revo lagi.
“Gue mau sendiri, Rev.” Suaranya meninggi.
Revo akhirnya mengangguk. “Okay. Jangan lupangumpul OSIS, ya, nanti
siang.” Dia tersenyum ke arahAlea, lalu mengambil gitar itu.
“Makasih gitarnya.”
Alea hanya mengangguk. Setelah Revo berbalik, Alea menatap lelaki itu
dari belakang, hingga lelaki itu tidak dapat dijangkau oleh matanya. Dia
memejamkan matanya.
Ternyata, kumpul OSIS hari ini lebih serius dibandingkan biasanya. Kali ini,
membahas tentang proker OSIS yang akan dijalankan bulan depan. Melihat
Alea yang terus terdiam, Revo menatap gadis itu bingung.
“Ikut gue.” Revo menatap Alea tajam dan mencengkeram pergelangan
tangannya dengan kuat, lalu menariknya. Alea hanya mengikuti.
Revo berjalan lumayan cepat.
“Rev, sakit.” Alea mencoba melepaskan tangannyadari genggaman Revo.
“Mau ke mana, sih?” tanyanya lagi.
“Ikut aja.” Revo menatap tajam Alea.
“Rev.”
Mereka memasuki lorong dan menaiki tangga. Ternyata, Revo
mengajaknya ke rooftop sekolah yang tak banyakdiketahui orang.
“Rev, sakit,” ringis Alea.
Revo menghela napas, lalu melepas genggamannya.
“Kenapa di sini?” tanya Alea. “Kenapa?” tanya Revo serius. Dia menatap
intens gadis itu, membuat jantung Alea berdebar sangat kencang.
“Kenapa apanya?” tanya Alea ragu.
Revo mendekati Alea lagi. “Kenapa jadi ngejauh?”
Alea terdiam.
Napas Alea tak karuan. “Gue enggak ngejauh.” Alea semakin mundur,
sampai tubuhnya menempel tembok.
“Lo jelas-jelas ngejauh dari gue. Kalo gue ada salah, kenapa enggak
ngomong aja? Gue enggak akan marah samalo. Kenapa harus ngejauh?”
tanya Revo lagi. Dia mendekatkan tubuhnya ke arah Alea.
“Kenapa lo jauhin gue?”
Alea memejamkan matanya. Entah mengapa, desiran hangat itu sangat
terasa di hatinya. Perasaannya campur aduk saat ini. Alea menggigit bibirnya.
“Gu—gue.” Dia menjadi gugup.
Revo menaikkan satu alisnya.
“Gue enggak jauhin lo, Rev!” Alea mendorong tubuh Revo. Namun, Revo
malah mengunci tubuh Alea dengan kedua tangannya.
“Kenapa?” tanya Revo lagi.
Alea menggigit bibir bawahnya.
“KENAPA LO JAUHIN GUE, ALEA?” bentak Revo.
Alea memejamkan matanya, rasanya sangat sesaksekali. Dia tak tahu
harus menjawab apa.
“Gu—e ….” Dia menahan air mata yang sudah tertahandi kantong
matanya. Matanya memanas. “Jauhin gue aja, Rev. Emang udah seharusnya
begitu.”
“Jauhin lo? Kenapa?” Revo mengerutkan dahinya. Dia tak mengerti
dengan Alea. Apa mau gadis itu? “KENAPA GUE HARUS JAUHIN LO?
JAWAB!” bentak Revo.
Alea memejamkan mata sehingga air matanya mengalir.
Dia takut menatap mata Revo dari jarak sedekat ini. Dia pun
menyandarkan keningnya di bahu lelaki itu.
Tubuh Revo mematung. Lalu, tangannya mengelus kepala Alea.
Entah mengapa, rasanya menjadi sangat nyaman,semua yang dia pendam
pun hilang sejenak. Tenang sekali.
“Jangan nangis, Le. Maafin gue,” Revo mengelus lembut rambut Alea.
“Maafin gue, ya.” Di hatinya, seperti ada desiran hangat yang memenuhi.
Dia tak tega dan merasa bersalah karena sudah membuat gadis ini
menangis. Namun, di satu sisi, mengapa gadisini menyuruhnya untuk
menjauhinya? “Hei,” ujarnya
Alea benar-benar bergeming.
“Jangan nangis lagi. Maafin gue, ya,” Revo lembut.
“Jauhin gue,” isak Alea dalam tangisnya.
“Kenapa? Kenapa gue harus ngejauh dari lo?”
Alea mundur dan menatap mata Revo dengan intens.
“Apa yang lagi lo sembunyiin dari gue?” tanya Revo lembut tapi tegas.
“Lo pikir aja sendiri.”
“Lo kenapa, sih, Le?” tanya Revo tak mengerti. Aneh bukan? Alea seakan
marah, tapi malah tiba-tiba bersandar padanya.
“Enggak pa-pa. Misi, gue mau balik.” Alea ingin kembali, tapi tertahan
oleh kedua tangan Revo.
“Ya, lo jawab dulu.”
“Gue—mau—balik,” ujar Alea penuh penekanan.
Revo menghela napas. Dia akhirnya mengangguk dan membiarkan gadis
itu pergi.
Reva meminum secangkir kopi di Kafe Samara. Dia menatap sekelilingnya.
Dia merasa diawasi. Sosok gadis di depann yaitu sangat mencurigakan.
Wajahnya ditutupi majalah. Dia pun memakai topi dan jaket lengkap. Dia
terlihat berbisik kepada pelayan restoran sesaat setelah Reva memesan
sandwich-nya.
Perasaannya tak karuan.
Revo bisa temenin gue enggak, ya? Batin Reva tak tenang. Dia
mengambil ponsel dari tas miliknya.

revasherene: Rev, kamu di mana? Bisa temenin aku ke Kafe Samara


enggak?

Tak lama kemudian, datang beberapa lelaki yangduduk di samping gadis


mencurigakan itu. Reva merasa semakin diawasi. Dia mengambil ponselnya
kembali. Tak ada balasan dari Revo.

revasherene: Rev, kamu bisa enggak?

Balasan Revo akhirnya datang.

revoadriano: Besok aja gimana?


revasherene: Sekarang kamu enggak bisa, ya? Aku enggak minta
jemput, aku udah di Kafe Samara, tapi sendirian. Dari tadi kayak
ada yang ngawasin aku. Aku takut, Rev.
revoadriano: Siapa? revasherene: Aku enggak tahu deh. Pokoknya kamu
sekarang ke sini aja. Ya?
revoadriano: Iya, aku ke sana. Hati-hati, Va.
Keempat lelaki itu tampak pindah duduk di sebelah meja Reva. Reva
menggenggam tangannya sendiri. Gadis bertopi itu masih berada pada
posisinya. Lalu, di mana pesanan sandwich-nya? Mengapa sangat lama?
Reva terdiam, berharap Revo cepat datang.
Salah satu lelaki tersebut bangkit dan hendak berjalan untuk duduk di
samping Reva. Sesaat lelaki itu ingin duduk,Revo datang.
“Siapa, ya, Mas?” tanya Revo ketus.
“Oh, enggak. Cuma mau ambil saus aja.”
Revo memberikan saus cabai di meja kepada lelaki itu.
Reva menghela napas lega. Dia tersenyum ke arahRevo. Sementara itu,
Revo menatap Reva bingung. Dia melihat kening Reva basah oleh keringat.
Sepertinya, gadisitu ketakutan hingga berkeringat dingin.
“Kamu keringetan gitu, sih, Va?” Revo memberikan beberapa tissue
kepada Reva.
“Kamu enggak pa-pa?” tanya Revo dengan suara memelan.
Reva mengangguk. “Tapi, aku takut, Rev.” Dia meraih tangan Revo, lalu
menggenggamnya dengan erat.
Revo tersenyum menenangkan. “Enggak usah takut, aku di sini.” Dia
mengelus punggung tangan Reva.
Tak lama kemudian, gadis bertopi dan keempat lelaki itu pergi
meninggalkan Kafe Samara. Siapa mereka? Apakahbenar mereka memiliki
niat jahat terhadap Reva? Tapi,untuk apa? Apa itu hanya prasangka Reva
karena gadis itu ketakutan sendiri? Atau, bagaimana?
A Fact Of Life

Keesokan harinya, Alea tengah berjalan keluar dari ruangOSIS. Dia baru
selesai menyicil persiapan kegiatan pensiyang akan diadakan bulan depan.
Untungnya, hari ini dia tak bertemu dengan Revo.
Namun, seketika dia berhenti saat seorang pria paruh baya yang tak asing
baginya menghampiri ruang OSIS.
“Benar ini ruang OSIS?” tanyanya.
Alea mengangguk. “Iya, benar, Pak.”
“Benar Revo pengurus OSIS di sekolah ini?”
Alea mengangguk lagi. “Iya, Pak.”
“Di mana dia sekarang?”
Alea menggelengkan kepalanya. “Hari ini, dia enggak datang rapat, Pak.
Jadi, saya kurang tahu di mana dia.”
Gerald mengangguk mengerti, lalu sejenak mengamatiwajah Alea. Seperti
tak asing dengan wajah gadis itu.
“Kamu yang waktu itu ke rumah sakit sama Revo, kan?”tanya Gerald.
Alea mengangguk canggung.
“Saya bisa bicara sama kamu?” tanya Gerald. Aleamengangguk. Pria itu
berjalan menuju tempat duduk yang tak jauh dari koridor ini.
“Serius kamu enggak tahu di mana Revo sekarang?”
“Saya enggak tahu, Om.”
“Kalo saya boleh tahu, Om siapa, ya? Maksud saya, Omsiapanya Revo?”
tanya Alea.
“Saya Gerald, saya papanya Revo dan mantan suaminyaCatherine,” jawab
Gerald. Alea mengangguk. Jadi, mereka sudah bercerai?
“Saya mencari Revo karena saya perlu bertemu dan bicara dengannya.
Namun, Revo sangat membenci sayasekarang, mungkin semuanya juga salah
saya.”
Alea mengangguk. Apakah mereka berpisah sepertikisah klasik di mana
Pak Gerald berselingkuh?
“Semuanya cuma salah paham, Nak. Tapi, saya menyesali semuanya.
Saya cerita sama kamu enggak pa-pa, kan? Saya rasa, kamu orang yang
tepat.”
“Iya, enggak pa-pa, Om.” Alea tersenyum.
“Kamu pacarnya Revo?”
“Oh, bukan, Om.” Alea terkekeh kecil.
“Saya rasa, kalian cukup dekat. Apa Revo pernah ceritasesuatu?”
Alea menggeleng.
“Jadi, saya masih sangat menyayangi Catherine, Nak. Tapi, sedari dulu
saya enggak bisa nunjukin rasa sayang saya ke Catherine dan anakanak saya.
Saya terlalu temperamen, cemburuan, dan mudah terbawa emosi.” Gerald
menundukkan kepalanya.
“Saya enggak bisa tunjukkan ke Catherine dan anakanak saya kalau saya
amat menyayangi mereka. Semua ini karena saya.”
“Kenapa Om enggak coba buat tunjukin? Kalo Omenggak tunjukin,
gimana mereka bisa tahu?”
“Revo keras kepala, Nak. Kamu tahu, kan? Sekali dia membenci
seseorang, akan susah untuk menebusnya. Apalagi saya, hidup dia hancur
karena saya.” Sesal Gerald.
“Saat itu, Catherine habis ada urusan dengan teman bisnis lelakinya, tapi
hingga larut malam. Lalu, saya marah sama dia, saya menampar dia, saya
kasar sama dia. Saat itu, Revo masih delapan tahun dan adiknya satu tahun di
bawahnya.”
“Saya sadar saya salah, padahal saya lebih sering pulang pagi. Terkadang,
saya ke club malam. Tapi, sayasama sekali tidak pernah bermain perempuan.
Saya hanya menyayangi Catherine.”
“Jadi, Revo punya adik?” tanya Alea penasaran.
“Iya, Revo punya adik, namanya Reynand. Saat itu, Catherine mengajak
mereka berdua untuk tinggal bersamanya, tapi saya melarang. Saya
mengambil adiknya Revo.Akhirnya, Revo ikut Catherine ke Jakarta,
sementara saya dan adiknya di Bandung.
“Tapi, ternyata saya enggak bisa tanpa Catherine. Saya enggak bisa didik
Reynand dengan benar. Akhirnya, anak itu sekarang enggak karuan. Karena
saya juga.”
Mata Alea terbelalak. Jadi, Reynand adik Revo? Pantas saja mereka
sangat mirip.
“Jadi, Reynand adiknya Revo?” tanya Alea.
“Iya, kamu kenal Reynand? Dia pindah ke Jakarta untuk menemui
seseorang.”
Alea mengangguk.
“Mereka berdua sangat dekat, Revo memang anak yang baik dan kakak
yang baik. Dia sangat menyayangi Reynand.Begitu juga dengan Reynand.
“Karena saya, mereka terpisah, Reynand selalu mencari ibunya. Saat dia
tahu Catherine menderita Amnesia Disosiatif, dia anggap bahwa Revo
penyebabnya. Lalu,sampai sekarang Reynand membenci Revo. Padahal,
bukanbegitu adanya.”
“Maaf, ya, Om, kalo perkataan saya ada yang salah atau menyinggung.
Kalo menurut saya, semuanya masih bisa diperbaiki. Mungkin, Om bisa
mengubah cara Om memperlakukan Tante Catherine. Semuanya bisa
dibicarakan baik-baik, Om.”
“Om jangan bahas masalah Om dengan Tante Catherine dulu, Om coba
aja dengan obrolan ringan. Pasti Tante Catherine bisa merespons dengan
baik, kok. SoalRevo, mungkin Om bisa mulai dengan Tante Catherine.Revo
bisa melupakan segalanya kalo udah tentang mamanya, Om. Bahkan,
nyawanya sekalipun dia enggak peduli. Kalo Om bisa tunjukin Om sayang
Tante Catherine. Perlahan, pasti Revo akan luluh.
“Enggak semua orang bisa tahu apa yang kita rasain,Om. Kalo kita
enggak ungkapin, gimana mereka bisa tahu? Saya yakin, semuanya bisa
membaik.”
“Apa selama ini Revo baik-baik aja?” tanya Gerald.
“Mungkin, kelihatannya begitu, tapi sebenarnya pasti Revo butuh kalian,
Om. Tapi, saya salut sama dia, dia masih bisa jadi orang yang baik setelah
semua yang dia lalui. Dia enggak neko-neko, kok, Om.” Alea tersenyum.
“Kamu gadis yang baik. Kenapa kamu enggak pacaran sama Revo?”
tanya Gerald. Alea tersenyum.
“Revo udah sama orang yang lebih baik dari saya,Om. Saya permisi, ya?
Saya yakin, semuanya bisa lebih baik.” Alea beranjak, lalu menuju ke arah
pangkalan ojek di dekat sana.
Gerald berpikir sejenak, rasanya benar yang dikatakan Alea. Catherine
tidak akan tahu kalau dia menyayanginya jika dia tidak menunjukkannya.
Bicara

“Mau mampir?” Reva bertanya pada Revo yang mengantarkannya pulang.


Revo menggeleng. “Aku langsung pulang, ya.”
“Kenapa, sih, kamu sekarang enggak pernah mau mampir?” Reva
menatap Revo kesal.
Revo terkekeh kecil. “Enggak usah ngambek gitu.Kamu jelek tahu,
enggak?” Revo menarik hidung Reva.“Aku banyak tugas. Proposal OSIS
juga belum aku urusin.”
“Tuh, kan, kamunya aja ngeselin. Kenapa malah ngatain aku jelek?”
“Enggak pa-pa, kalo cantik nanti direbut orang. Nanti aku sedih.” Revo
tertawa saat menatap Reva tersipu malu.
“Apaan, sih. Ya, udah, sana pulang.” Reva tersenyum, lalu memasuki
rumahnya. Revo memang selalu bisa membuatnya tak marah kepadanya.
“Dasar ngeselin.”
“Non Reva, ini ada kiriman. Katanya dari Den Revo,” ujar Bi Tari.
“Lah, dia baru aja anterin aku pulang. Dasar aneh.” Reva tertawa, yang
disambut tawa Bi Tari.
“Enggak tahu, Non. Den Revo, kan, emang suka begitu.”
Reva mengambil kotak itu. “Makasih, Bi.”
Reva masuk ke kamarnya, melempar tasnya ke atas kasur, dan penasaran
dengan kotak yang diberikan Revo.
“Aneh banget, sih, si Revo.” Reva tertawa. “Mau sok romantis, tapi
aneh.” Reva menggeleng.
“AAAAAA!” teriaknya, refleks melempar kotak itujauh-jauh darinya.
Isi kotak itu tubuh kodok yang sudah mati. Darahnya masih bercucuran.
Tubuh Reva melemas, keringat bercucuran dari tubuhnya.
“Enggak mungkin. Enggak mungkin Revo yang kirim.”
Revo yang baru saja merebahkan tubuhnya ke atas kasur, tersentak saat
mendengar ponselnya berdering.
Revo mengangkat panggilan tersebut.
“Halo, Va. Kenapa?”
“Kenapa, sih, kamu ngirimin kodok mati ke aku? Kalo mau bercanda,
enggak gini caranya, Rev. Enggak lucu, tahu enggak!” Suara Reva terdengar
marah.
Revo mengerutkan dahi bingung. “Kodok?”
“Iya. Aku enggak suka, Rev, kalo cara kamu begini. Bibi bilang, tadi ada
kiriman kotak dari kamu. Waktu aku buka isinya kodok mati. Masih ada
darahnya.”
Kodok? Untuk apa dia mengirim kodok buat Reva?Memangnya, dia mau
praktik biologi?
“Aku enggak ngirim kodok ke rumah kamu, Va. Ngirimkotaknya aja
enggak.”
“Terus, siapa yang ngirim aku kodok? Serem, tahu.”
“Ya, udah kamu buang aja kodoknya, ya. Atau, kamu suruh siapa buang
kodoknya. Kamu tenang, jangan panik. Jangan keluar rumah sendirian.
Oke?” suruh Revo.
“Iya, maaf, ya. Aku kira, kamu beneran.”
“Iya, enggak pa-pa.”
Reva pun memutus panggilan.
Revo mengernyit, merasa ada yang tidak beres.
“Kemaren, ada orang yang ngikutin Reva. Terus, sekarang ada yang
ngirim kodok ke rumahnya. Gue rasa, semuanya emang udah ada yang
ngerencanain. Tapi, buat apa?” Revo kembali merebahkan tubuhnya.
Revo berjalan menyusuri koridor sekolah. Pikirannya tertuju kepada Alea
yang semakin menjauh. Setiap berpapasan dengannya, gadis itu hanya
melewatinya begitu saja. Terkadang menatap sinis, terkadang tak ingin
melihat.
Sore ini, Alea duduk di taman sekolah. Entah apa yang gadis itu lakukan.
Dia memetik ilalang-ilalang yang tumbuhdan mengganggu bunga-bunga
yang indah.
“Kadang, kasihan ilalang. Buat apa harus dicabut?Buat apa harus
diilangin? Ia tumbuh gitu aja, tanpa ada yang mau. Mungkin, karena
dianggap pengganggu, jadinyaharus diilangin.”
Mata Alea membulat ke arah bunga yang tak pernah dia lihat sebelumnya
—bunga matahari.
“Hai. Katanya, filosofi dari kamu dalam, ya? Katanya, bunga matahari
selalu mengikuti matahari sejak terbithingga terbenam. Makanya, kamu
dibilang bunga kesetiaan dan ketulusan. Katanya, bunga matahari
nunjukinkehidupan yang ceria dan hangat, ya. Emang, iya?” Alea terkekeh
sendiri.
“Lalu kalo terbenam dan mentari hilang. Apa kamu bakal berpaling ke
bulan? Bulan yang diibaratkan sangat jauh dari matahari. Bulan yang
cahayanya tak seterang matahari. Yang tidak memberi makna sebesar
matahari. Tapi, bulan juga menemani kamu saat malam.
“Ya, tapi, intinya sama aja. Kamu bakalan kembali ke matahari karena
pada nyatanya kesetiaan dan ketulusan kamu cuma buat matahari.
“Maafin bulan, ya, kalo misalnya ia nemenin kamusaat ia enggak tahu
kamu punya matahari. Mungkin, sangbulan cukup tahu diri.”
Revo menatap Alea sendu. Apa maksud dari ucapannya? Seperti ada
sesuatu yang janggal dalam hatinya.
“Tapi ketahuilah, bulan rindu kamu.” Alea tersenyum. Revo menatap
Alea dari jauh.
Lo kangen siapa? Mungkin, bukan gue. Tapi, gue kangen lo, Le. Apa kita
bisa kayak dulu lagi? Batin Revo.
Alea bergegas pergi meninggalkan taman. Namun, Revomelihat tasnya
masih tertinggal di taman. Mungkin, gadis itu hanya pergi sejenak dan akan
kembali lagi.
Revo menghampiri bangku yang Alea duduki tadi. Dia melihat tas Alea
yang terbuka.
Dia melihat sebuah tempat pisau.
“Tempat pisau?” Dia membuka tempat pisau itu dan mendapati sebilah
pisau dengan bercak-bercak darah.
Jantung Revo berdebar lebih kencang. Pisau? Darah? Maksudnya apa?
Untuk apa?
Apa mungkin—hah? Batin Revo tak percaya.
Enggak, enggak mungkin Alea. Dia enggak mungkin segila ini.
Revo spontan mengikuti Alea. Mencari jejak gadis itu.
Di tengah jalan, Revo melihat Reva yang sedang berjalan ke arah koridor
kelasnya. Di depan Reva, ada Alea yang sedang melangkah ke arah
berlawanan. Revo melihat Alea—entah sengaja atau tidak—menabrak tubuh
Reva.
Mata Revo membulat ke arah Reva yang terjatuh.
“Maaf, gue enggak sengaja,” ujar Alea sambil ikutberjongkok dan
membantu Reva untuk berdiri.
Revo berjalan cepat mendekati mereka. Dia menepistubuh Alea yang
hendak menolong Reva. Dipegangnyalengan Reva untuk membantunya
bangun.
“Va, kamu enggak pa-pa?” tanya Revo khawatir.
“Aku enggak pa-pa. Alea juga—enggak sengaja, kok, nabraknya.” Reva
bangun. Revo menatap Alea tajam.
Apa mungkin dia orang yang ngikutin Reva di kafe dan ngirim kodok ke
rumah Reva? Logikanya, enggak mungkin dia sengaja nabrak Reva gitu aja,
batin Revo. Kejadiannya tepat setelah dia ngejauh dari gue.
“Alea, nanti gue mau ngomong serius sama lo.” Revo berkata serius. Dia
kemudian menuntun Reva ke parkiran. Hari ini, Reva dijemput oleh sopirnya.
Di sisi lain, Alea menghela napas. Revo seakan menuduhnya dan hatinya
terasa panas. Apakah sekarang dirinya seburuk itu di mata Revo?

Mereka bertemu di Kafe Samara. Alea ingat betul, ini tempat dirinya dan
Revo pernah bertemu.
“Ada apa?” tanya Alea cemas.
“Lo sempat ke kafe ini?
Tepatnya, sekitar tiga hari yang lalu?” tanya Revo.
Alea bingung, dia menggeleng. Seingatnya, terakhir kali dia ke sini saat
dia bersama Revo di kala itu.
“Enggak, gue enggak ke sini.”
“Jangan bohong. Lo ke sini, kan?” paksa Revo.
Alea menggeleng. “Gue sama sekali enggak ke sini,
Rev. Lo ngajak gue ke sini cuma buat nanya itu doang?”Revo tersenyum
miring. Dia membuka tasnya danmeraih pisau yang dia ambil dari tas Alea
tadi.“Ini punya lo, kan?”Mata Alea terbelalak. Bagaimana Revo bisa
mendapatkannya?
“Lo apa-apaan, sih? Lo buka-buka tas gue?” tanya Alea,hendak
mengambil pisau itu. Namun, Revo tak membiarkannya.
“Kenapa? Lo takut? Lo juga yang ngirim kodok mati kerumah Reva?
Terus, nabrak Reva gitu aja? Terus rencana lo selanjutnya apaan? Hah?”
sentak Revo.
Alea merasa lelaki itu seperti menusuk relung hatinya.
“Lo nuduh gue? Lo pikir, gue segila itu apa? Lo sama aja nuduh-nuduh
gue, tapi enggak ada buktinya. Gue bawa pisau itu, ya, emang karena ada
praktik biologi. Terus, gueemang enggak sengaja nabrak Reva. Maksud lo
apaan, sih?”tanya Alea tak terima.
Revo tertawa sinis. “Kenapa marah? Ngerasa? Gue enggak pernah pikir lo
segila itu, Le. Tapi, nyatanya lo emang segila itu!” ujarnya penuh penekanan.
Mata Alea terasa panas. Dia menggeleng. Dia tak boleh menangis di sini.
Dia harus membela dirinya.
“Gue—enggak pernah sama sekali punya niat jahatsama lo ataupun Kak
Reva. Enggak ada satu pun alasan yang bikin gue benci sama kalian.
Terserah lo mau nuduh gue apa pun, yang jelas bukan gue pelakunya!” tegas
Alea.
“Oke. Gue percaya sama lo. Tapi, kalo sekali lagi kejadian apa-apa sama
Reva, gue tahu siapa orang yang harus disalahin.”
Hurt
Gue enggak pernah nyesel kenal lo. Tapi, gue nyesel karenague enggak bisa
ngenalin diri lo yang sebenernya.

Semenjak hari itu, hubungan Alea dengan Revo dapat dikatakan lebih dari
renggang. Mereka sangat jauh, bahkan Revo pun tampak tidak menyukai
Alea. Alea mengerti bahwa Revo pasti mencintai kekasihnya, tapi haruskah
lelaki itu menuduhnya tanpa bukti yang kuat?
Sudah waktunya pulang sekolah, tapi Alea harus rapat OSIS untuk
membicarakan proker yang akan dijalankan minggu depan.
Alea meninggalkan kelasnya dan berjalan menujuruang OSIS. Belum
terlalu ramai.
Meski begitu, ada sepasang mata yang menatapnyatajam. Sangat tajam.
Benar, Revo mengamati Alea sekilas dengan sinis, lalu kembali fokus dengan
ponselnya. Alea yang menyadarinya, hanya membalas tatapan itu sekilas.
Tak lama, rapat OSIS dimulai. Vei menatap Aleabingung. Mungkin dia
sadar bahwa Alea tampak berbeda, lebih murung dan pendiam.
“Lo kenapa?”
“Kenapa apanya?” Alea terkekeh dan menggeleng, lalukembali
memperhatikan Aria yang tengah berbicara.
“Untuk masing-masing tugas, apa ada yang keberatan atau perlu
dibantu?”
Revo meletakkan ponsel dan mengacungkan tangan.
“Maaf, saya tidak bisa menjalankan tugas di bidang ini.Saya
mengundurkan diri dari tugas ini,” ujar Revo tegas. Dia menatap Alea tajam,
Alea menundukkan kepalanya.
“Saya mau ngomong sama kalian.” Farrel tiba-tibaberkata dan
mengisyaratkan Alea dan Revo untuk keluar. Bahkan Aria pun ikut keluar.
“Lo berdua kenapa, sih?”
“Maaf, Rel. Gue enggak bisa satu tugas sama orang munafik. Muka dua,
sok polos, sok suci!” sentak Revo.
Alea terkesiap. Lelaki itu seperti menusuk hatinyadengan ribuan pedang.
“Lo apaan, sih, Rev? Mulut lo kayak cewek tahu enggak, sih?”
“Kok, lo belain dia? Ya, jelas-jelas aja, lah, lo lihatfaktanya gimana!”
Revo kembali membentak.
“Ya, lo profesional, lah, Rev. Gue enggak mau tahu, loberdua tetep urus
bidang kalian. Lo mau karena ego lo terusngancurin proker gitu aja? Mikir,
man.” Farrel jadi banyakbicara, dan sebaliknya, Aria malah hanya bisa
terdiam.
Revo mengembuskan napas kesal, lalu pergi dan memasang headset di
kepalanya. “Terserah.”
“Maaf, Kak, saya ke kamar mandi sebentar, ya,” Alea bergegas pergi,
nyaris tak tahan menahan tangisnya.
“Adek cantik.” Farrel mengejar Alea.
Begitu sampai di kamar mandi, Alea melihat wajahnyadi depan cermin.
Matanya berkaca-kaca, hatinya sakit.
“Apa salah gue?” Alea meneteskan air mata. Dia mengingat semua
kejadian yang telah mereka lewati, yang dia hadapi sekarang bukan Revo
yang dulu.
Gue enggak pernah nyesel kenal lo. Tapi, gue nyesel karenague enggak
bisa ngenalin diri lo yang sebenernya, Rev.
Alea membasuh wajahnya, lalu keluar dari kamarmandi. Di sana, ada
Farrel yang tengah berdiri menatapnya.
“Maafin Revo, ya,” ujar Farrel setelah melihat mata Alea yang sembap.
“Lo nangis?”
“Enggak.” Alea terkekeh kecil.
“Gue yakin omongan Revo tentang lo sama sekalienggak bener.” Farrel
menegaskan.
Alea tertawa miris. Farrel mengajak Alea duduk.
“Gue enggak nyangka Revo segininya ke lo. Padahal gue tahu apa yang
dia dan lo rasain. Gue bukan jelek-jelekinsahabat gue sendiri, tapi dia udah
keterlaluan.
“Gue tahu, lo enggak akan ganggu hubungan mereka. Lo sayang sama
Revo, kan? Makanya, lo mau lihat diabahagia. Karena itu, lo sengaja
ngejauhin dia, kan? Lo enggak mau perpanjang perasaan lo, ya? Lo enggak
mau orang lain sakit hati. Gue yakin, ada pihak lain yang ngerencanain
semuanya. Karena enggak mungkin kebetulan, tapi masalahnya siapa?”
Alea tersenyum miring, dia menghela napas.
“Ya, udahlah, Kak, enggak usah dibahas. Enggak penting juga,” tepisnya.
“Tapi, nyatanya lo suka sama Revo, kan? Lo enggak bisa bohong, Alea.”
Alea tertawa. “Enggak penting juga, kan, dibahas?Terus, apa ngaruhnya
kalo gue suka sama dia atau enggak?Buat apa gue bilang ke semua orang soal
gue suka dia atau enggak? Enggak akan ubah semuanya. Permisi,” ujar
Alea menegaskan, lalu meninggalkan koridor.
Dia menguatkan diri dan tekadnya. Dia berjalan penuh emosi yang
bercampur kesedihan.
Dia berjalan tanpa melihat kiri dan kanan, emosinya benar-benar
memuncak. Tanpa sengaja, dia menabrak seseorang. Alea mendongak untuk
melihat orang itu.
“Mau lo apa, sih?” tegas Revo.
“Mau gue? Kalo lo enggak punya bukti, enggak usah asal nuduh orang.
Enggak usah ngambil kesimpulan sendiri tanpa lo tahu kebenarannya gimana.
Kalo lo mau ngomong saring dulu. Buat apa lo punya otak kalo enggak
dipake? Gue kecewa sama lo, Rev.” Alea dengan sengaja menabrak bahu
Revo, lalu pergi meninggalkan lelaki itu.
Revo menatap Alea dengan tatapan kosong, hingga bayangannya hilang.
Seperti ada sesuatu yang menohok di hatinya. Apakah dia menyakiti perasaan
gadis itu?
Kenapa dia marah? Apa dia emang bukan pelakunya? Tapi, semua hal
mengarah ke dia, batin Revo bingung.Namun, jika Alea memang bersalah,
pasti dirinya akan ketakutan, bukan malah marah. Kemarahan Alea seakan
menampar Revo dengan kencang.
Dari kejauhan, ada seseorang yang tersenyum puasakan semua yang
terjadi.
“Lo enggak akan bisa dapetin hati Revo, Alea. Dengan begini, lo berdua
akan semakin jauh.
“Sekarang, tinggal dia.”
Putri Cantik?
“Nyatanya, gue cuma upik abu yang datang sebagai pengganti saat sang
putri pergi.”

Tiga bulan kemudian, kondisi Catherine semakin membaikkarena dia terus


menjalani terapi secara rutin dan bertahap.Namun, dia masih harus tetap
dirawat di rumah sakit. Diasudah bisa menerima bahwa Revo sekarang sudah
besar. Hubungan Catherine dengan Gerald juga sangat membaik semenjak
Gerald berbicara dengan Alea waktu itu. Hubungan Revo dengan Gerald pun
sudah cukup membaik. Itusemua terjadi karena Alea juga. Iya, Alea—gadis
yang Revobenci sekarang.
Kenapa rasanya terus sesek kayak gini? Apa gini rasanya dibenci orang
yang pernah lo anggap bagian dari hidup lo?
Mungkin cuma perasaan gue, tapi nyatanya gue cumaangin lalu.
Nyatanya, gue cuma upik abu yang datang sebagai pengganti saat sang putri
pergi. Mungkin, selama ini posisigue salah. Tapi, apa perasaan gue juga
salah? Gue cuma mau lihat lo bahagia, Rev. Walaupun, lo enggak bahagia
sama gue, hargai gue sedikit aja, apa enggak bisa? Apa harus ujungnya
lo benci gue?
Nyatanya, Revo memang membencinya.

Kepala Revo rasanya sangat sakit. Mengapa dia malah teringat pada Alea?
Dia menenangkan pikirannya. Ibunya sudah hampir sembuh, tapi
mengapa pikirannya masih tak tenang?
Saat dia ingat mata Alea yang berkaca-kaca ketika gadisitu menjelaskan
semuanya, ada rasa penyesalan di dalam hatinya. Meski begitu, masih ada
juga yang bergejolak di dalam dadanya untuk membenci gadis itu, karena dia
pikir Alea-lah dalang dari semuanya.
Terkadang, dia membenci gadis itu, tapi di satu sisi ada rasa yang tak bisa
dia jelaskan. Dia memejamkan mata.Lamunannya baru berhenti saat
ponselnya berbunyi.

08596xxxxx45: Mas Revo, Nyonya Catherine mau ketemu. Bisa ke


rumah sakit sekarang?
revoadriano: Iya, saya ke sana.

Revo menggeleng, membuyarkan semua yang ada di kepalanya. Lebih


baik, dia mengurus ibunya sekarang.
Begitu tiba di rumah sakit, Revo memakir motornya, lalu bergegas
menghampiri ibunya.
“Ma,” panggil Revo.
Catherine tersenyum dan mengelus pipi putranya. Revomencium
punggung tangan Catherine.
“Rev, maafin Mama, ya, selama ini nyusahin kamu. Bahkan, Mama terus
anggap kamu masih kecil.”
Revo tertawa. “Enggak pa-pa, yang penting, kan, sekarang Mama
sembuh. Revo sayang Mama.” Revo tersenyum tulus, begitu juga dengan
Catherine.
“Seinget Mama, kondisi Mama agak membaik setelah kamu ke sini sama
temen cewek kamu. Kamu bisa bawa dia ke sini?” tanya Catherine.
Revo terdiam, pikirannya tertuju kepada Alea.
“Mama lupa wajah dan namanya. Tapi, seinget Mama, Mama pernah
panggil dia dengan sebutan Putri Cantik.Sebenernya, Putri Cantik itu siapa?”
Alea membuka mata ketika terbangun keesokan harinya, menatap sinar
mentari yang memasuki jendela kamarnya. Dia menatap jam dinding, waktu
menunjukkan pukul 7.00 pagi. Ini hari pengambilan rapor dan tidak ada
kegiatan belajar mengajar. Alea tak terlalu bersemangat menemani Cecill
mengambil rapornya. Ke sekolah? Untuk apa? Bertemu seseorang yang akan
menuduhnya tanpa bukti? Bertemu seseorang yang membencinya dengan
alasan yang didasari oleh keyakinannya sendiri? Menyebalkan.
Tak lama, Cecill datang memasuki kamarnya, sudah dengan pakaian rapi.
Dia melipat kedua tangannya seraya menggeleng.
“Alea, siap-siap mandi sana. Jangan kesiangan, abis ini Mama ada acara.”
Setiba di sekolah, sementara Cecill mengambil rapornya, Alea memilih
untuk makan bersama Acha di kantin. Setelah makan, mereka menyusuri
koridor sekolah untuk kembali ke kelas mereka. Namun, mata Alea
membulat ke arah seorang perempuan paruh baya yang berdiri sendiri di
dekat pohon. Alea terkesiap saat melihat dahan pohon itu akan terjatuh.
Tante Catherine? Kok, dia di sini? Batin Alea tak tenang. Dia langsung
berlari ke arah Catherine.
“Tante, awas!” teriak Alea. Catherine menyingkir. Aleamenepis dahan
tersebut agar tidak mengenai Catherine. Namun sialnya, tangannya malah
tergores dahan tersebut.
“ALEA!” pekik Acha. “Lo enggak pa-pa?”
Alea memegangi tangannya. Menggigit bibir bawahnyauntuk menahan
rasa sakit. Dia menoleh ke arah Catherine.
“Tante enggak pa-pa?” tanya Alea.
Catherine menatap tangan Alea yang berdarah. “Enggak pa-pa, tangan
kamu yang luka. Tante obati, ya.”
Alea sadar, sepertinya Catherine sudah sembuh dan tidak dirawat di
rumah sakit lagi. Namun, tampaknya dia tidak mengingat Alea. Mengapa
Revo tidak memberitahunya? Ah, tapi, memangnya Alea siapa?
Alea menggeleng seraya tersenyum.
“Enggak pa-pa, Tante. Ini lukanya enggak parah, kok, enggak sakit juga,”
dustanya. Padahal, goresan itu cukup panjang dan dalam.
“Tapi, nanti kamu cepat obati tangan kamu, ya,” suruhCatherine.
Alea tersenyum dan mengangguk.
“Kamu cantik. Makasih banyak, ya, Sayang.” Catherinemengelus rambut
Alea lembut.
Alea hanya tertawa. “Sama-sama, Tante. Oh, iya, kenapa Tante sendirian
di sini?” tanyanya penasaran. Karena Catherine baru sembuh, Alea merasa
bahwa tak bagus kalaudia ditinggal sendirian.
“Tante nungguin anak Tante, tapi dia belum datang.Mungkin di kelasnya.
Kamu tahu kelas XII IPA 2 di mana?” tanya Catherine.
Alea mengangguk. “Tante tinggal belok ke kanan aja, di samping
perpustakaan itu kelasnya.”
“Makasih, Nak. Nama kamu siapa kalau Tante boleh tahu?”
Belum sempat Alea menjawab, sosok Reva dan Revodatang bersamaan.
Revo menatap Alea tajam.
“Ma,” sapa Revo.
“Putri Cantik?” Catherine langsung memeluk Reva.
Jantung Alea rasanya seperti berhenti seketika. Dia menatap Catherine
yang tengah memeluk Reva.
“Hai, Tante,” sapa Reva seraya tertawa pelan.
“Kenapa kamu baru dateng, Va? ” tanya Catherine.
Alea menundukkan kepalanya.Mungkin memang kehadirannya di hidup
Revo sudah tak dianggap sama sekali.
“Aku nungguin Revo, Tante.
Dia lama banget.” Reva tertawa, begitu juga dengan Catherine.
“Mama ke kelas Revo duluan aja sama Reva. Nanti, Revo nyusul. Revo
mau ada urusan sebentar,” suruh Revo.
“Ya, udah, Mama duluan. Tante duluan, ya.” Catherineter senyum pada
Alea. Alea hanya mengangguk.
Setelah Catherine pergi, Revo menatap Alea tajam.
Acha hanya terdiam, merasa takut melihat Revo seperti itu.
“Enggak usah caper!” sentak Revo, lalu pergi.Alea menatap kepergian
Revo.
Mengapa rasanya sakit sekali? Melebihi sakit di tangannya karena
goresan dahan.
Apa lo segitunya benci sama gue?
Di sisi lain, Acha diam mematung menatap Alea. “Le, lo enggak pa-pa?”
Suara Acha menyadarkan Alea dari lamunannya. Alea tertawa sejenak. “Gue
enggak pa-pa,” ujar Alea meyakinkan.
“Lo bohong. Mending obatin tangan lo, yuk?” ajak Acha. Alea hanya
mengangguk. Dia kemudian kembali menatap sosok Revo dari
belakang.Anggap saja, semuanya sudah sirna.
Down
“Mungkin, semuanya enggak akan serumit ini kalo kita enggak saling
kenal.”

Sebentar lagi, liburan panjang semester akan tiba, acara OSIS akan diadakan
beberapa hari lagi. Dan, ini rapat terakhir untuk membicarakan acara tersebut.
Alea duduk di bangkunya, di antara Bella dan Vei.
Namun, tak lama kemudian, keduanya pergi karena harus mengurus
bidangnya masing-masing, sementara Alea masih duduk sendiri. Sebenarnya,
percuma juga. Bekerja sama dengan orang yang sedang tidak sejalan,
hasilnya tidak akan baik.
Alea bisa merasakan Aria sedang memandangnya yang masih sendirian
dan tidak melakukan pekerjaan apa pun.
“Revo di mana?” tanya Aria.
“Saya enggak tahu, Kak.” Alea menatap Aria sekilas.
“Revo di rooftop sama Reva,” sahut Farrel.
“Le, kamu susul Revo ke sana, ya,” suruh Aria.
“Nanti Kak Revo-nya juga ke sini.”
“Alea, proker kita itu udah tinggal hitungan hari. Kalo kamu masih aja
nunda-nunda pekerjaan kamu, gimana bisaselesai? Mikir, lah,” sentak Aria.
Namun, Farrel menatapnyaagar Aria tidak meneruskannya.
“Iya, saya susul.” Alea tak mau ribut. Dia menurut sajadan berjalan
menuju rooftop. Tempat penuh kenangan,enam bulan yang berarti dan penuh
makna.
Alea memasuki lorong dan naik ke rooftop. Matanya mencari sosok yang
ingin dia temui, tapi tidak ada. Namun,matanya membulat ke arah Reva, yang
kakinya tergelincir di ujung rooftop dan hampir terjatuh ke bawah.
“KAK REVA!” Alea dengan cepat menahan tubuh Reva dari belakang
agar tidak terjatuh.
“Kak, hati-hati.”
Untung saja Alea datang tepat waktu. Jika tidak, mungkin hidup Reva
sudah tamat sekarang. Atau beberapa jam lagi, tubuhnya akan terbaring di
rumah sakit.
Alea tidak tahu bahwa Revo muncul dari belakangdan menatapnya kaget.
Memang jika dilihat dari belakang, terlihat Alea hendak mendorong Reva.
Padahal, kenyataannya tidak.
Revo menghampiri Alea dan Reva. Matanya menatap tajam Alea, dia
menarik tangan Alea dengan kasar.
PLAK. Revo menampar pipi Alea. Alea terdiam sejenak,rasanya tamparan
Revo tidak terasa di pipinya. Namun, dengan jelas menampar kuat hatinya.
“Lo keterlaluan. Maksud lo apa?” bentak Revo penuh emosi. Alea
memegangi pipinya.
“Lo mau bunuh reva? Iya? Otak lo di mana?” suaraRevo benar-benar
menusuk memasuki telinga Alea.
Wajah Revo penuh amarah, tatapannya penuh emosi.
“Gue sempet mikir, gue salah nuduh lo. Tapi, ternyata,lo lebih busuk dari
yang gue bayangin!”
Mata Alea sudah berkaca-kaca. Matanya sangat panas, dia tak tahan
dengan semua perkataan Revo.
“Rev, udah. Tadi, tuh—” ujar Reva terpotong. Revosudah menatap Reva
tajam. Mengapa gadis itu masih mau membela Alea saat dia sudah di ujung
nyawanya?
“Sayang, dia mau bunuh kamu. Dia mau celakainkamu. Dia enggak bisa
dibiarin.” Revo mencengkeram kuatpergelangan tangan Alea.
“Kenapa lo segitunya sama Reva? Apa salah dia?”
Alea sudah tak kuat membendung air matanya, diameneteskan air
matanya.
“Enggak usah nangis. Air mata lo enggak guna!”
Alea terisak, Revo semakin memperkuat cengkeramannya. “Jawab!”
“Gue cuma mau nyelamatin pacar lo. Gue sama sekalienggak ada niatan
buat celakain dia, apalagi bunuh dia. Gue udah sabar selama ini sama
tuduhan-tuduhan lo, Rev. Tapi, lo keterlaluan!” Alea melepas cengkeraman
Revo dari tangannya. Dia sudah sangat emosi sekarang.
“Nyelamatin? Gue lihat pake mata gue sendiri lo mau dorong pacar gue
ke bawah. Itu namanya nyelamatin?” sentak Revo.
“Lo itu cuma pembohong. Munafik. Sok suci. Sok polos.Asal lo tahu, gue
nyesel pernah kenal sama cewek kayak lo.Lo enggak punya hati. Enggak
punya otak!” bentak Revo.
“Rev.” Reva ingin menjelaskan yang sebenarnya, tapiRevo sudah kelewat
emosi. Dia hanya menatap Reva sejenak, lalu kembali menatap tajam dan
penuh kebencian gadis yang ada di depannya.
“Kalo lo bukan cewek, udah gue abisin lo sekarang juga! Reva pacar gue,
Alea. Lo macem-macem sama dia, sama aja lo nyari perkara sama gue.”
“Maksud lo apaan, sih? Hah?” Lagi-lagi, Alea menangis.Revo sudah
keterlaluan. Dia sudah membuat Alea benar-benar tertekan.
“Lo apaan, sih? Udah gue bilang bukan gue, ya, bukan gue. Kurang jelas
apa lagi, sih? Hah? Bukan gue pelakunya.
Gue enggak punya niat sebusuk itu!” teriak Alea. Di mendorong kuat
tubuh Revo.
Reva hanya bisa terdiam.
“Dari kemaren gue sabar. Gue enggak marah samasemua tuduhan lo.
Terserah lo mau ngomong apa. Guekira, lo cuma salah paham, Rev. Tapi, lo
keterlaluan. Lo keterlaluan, Revo!” isak Alea lagi.
“Lo pikir, lo siapa, sih, sampe berani sekasar ini sama cewek? Gue
ngejauh dari lo karena gue tahu lo udah punyapacar. Gue enggak mau
kehadiran gue ganggu kalian. Gue cuma mau lo bahagia sama pacar lo, Rev.
Gue enggak mauada yang ngerasa enggak bahagia karena kehadiran gue. Gue
sama sekali enggak niat apa pun buat ngerencanainhal sebusuk itu!”
“Tapi, nyatanya lo emang busuk!”
“Apa? Busuk apa? Gue enggak bilang lo busuk pas lo bohong sama Tante
Catherine. Lo bohong apa pun tentang Putri Cantik gue terima. Gue enggak
permasalahin itu.
“Tapi, lo yang selalu nuduh-nuduh gue. Lo keterlaluan,Rev. Kenapa gue
enggak bisa benci sama lo, Rev? Kenapa? Ajarin gue buat benci sama lo,
Rev.” Alea mendorong tubuhRevo kuat. Sehingga, Revo terdorong ke
belakang.
“Dulu gue percaya lo orang yang baik, temen, kakakyang baik buat gue.
Nyatanya, lo lebih percaya sama firasat-firasat enggak jelas lo. Bukti-bukti
semu lo dibanding kenyataan yang sebenernya.”
“Ajarin gue buat benci sama orang yang udah nuduh lodi saat lo enggak
salah. Ajarin gue buat benci sama orang kayak gitu!”
Revo terdiam, tubuhnya mematung.
“Kenapa lo diem? Ajarin gue, Rev. Ajarin gue!” Alea menggoyangkan
lengan Revo. Air matanya mengalir.
“Percuma gue ngomong kayak gini, ya? Lo juga tetep bakal anggap gue
sama. Terserah lo, deh, sekarang. Terserahlo!” sentak Alea. Revo terdiam.
“Kenapa lo diem? Hah? Lanjutin aja, Rev. Lo belum puas, kan, nampar
gue? Ayo, tampar lagi!” Alea mengangkattangan Revo. Namun, tangan Revo
membeku.
Alea tertawa miris. “Percuma gue teriak-teriak kayak gini, lo enggak akan
pernah percaya sama gue, Rev. Gue marah sama lo? Iya. Tapi, gue enggak
pernah benci sama lo. Mungkin, lo bener, gue busuk, ya? Sok suci, sok polos,
munafik, dan masih banyak lagi yang lebih buruk dari itu. Iya, gue jauh lebih
buruk dan kotor dari semua yang udah lo omongin.
“Gue minta maaf, gue udah ganggu semua ketenangan lo. Maaf gue udah
bikin lo nyesel karena udah kenal gue, udah ketemu gue. Gue minta maaf
karena pernah ada di alam hidup lo. Setelah ini, anggap aja kita enggak
pernah kenal, Rev. Gue enggak akan ganggu hidup lo lagi, Rev. Gue harap ke
depannya lo bisa jauh lebih bahagia tanpa kehadiran cewek munafik, cewek
sok polos, sok suci kayak gue. Gue harap hidup lo lebih tenang dan bahagia.”
Alea meneteskan air matanya. Lalu, kembali mengusapnya dan tertawa miris.
“Mungkin, semuanya enggak akan serumit ini kalokita enggak saling
kenal.” Lagi-lagi, air mata Alea menetes.
“Gue enggak harus, kan, jelasin gue bener atau enggak?Gue bersalah atau
enggak? Gue pelakunya atau bukan? Lo enggak akan pernah percaya sama
kata-kata gue.”
“Satu yang perlu lo tahu, gue enggak pernah nyesel kenal sama lo dan gue
enggak akan pernah benci sama lo. Semoga lo terus bahagia.”
Alea pergi meninggalkan Reva dan Revo. Mungkin,memang seharusnya
begitu sedari dahulu. Alea harusnya tak pernah hadir.

Alea benar-benar terpukul karena ucapan dan perlakuan Revo. Mungkin


benar, pertemuan Revo dengannya suatu kesalahan. Namun, mengapa Revo
setega itu? Dia memegangi pipinya yang memanas. Padahal, setahunya Revo
tak pernah kasar dengan perempuan.
Alea menatap dirinya di depan cermin kamar mandi, mencuci wajahnya
yang sudah tak karuan. Dia benar-benarrapuh dan tiba-tiba jadi teringat
ucapan Reynand beberapabulan yang lalu.
Tunggu, di mana Reynand? Akhir-akhir ini, Alea sama sekali tak pernah
melihat Reynand.
Apakah Alea membutuhkan Reynand sekarang?
“Aku enggak mau ada yang nyakitin kamu lagi, Lea.Cukup aku, dan aku
nyesel ngelakuin itu kalo tahu aku bakal kehilangan kamu.”
“Rey.”
“Kalo dia nyakitin kamu, bilang sama aku. Kamu boleh pergi dari aku,
tapi aku tetep di sini kalo dia pergi dari kamu.”
Mengapa Alea mendadak berpikir tentang Reynand? Dia membasuh
wajahnya, lalu bergegas menuju XI IPA 4, kelas Reynand. Di sana, masih
ada beberapa teman sekelas Reynand.
“Eh, si Cantik.”
“Eneng abis nangis? Tenang, ada Abang,” ledek beberapa orang. Kecuali,
yang berpenampilan paling beringas, Alfa namanya. Dia teman Reynand.
“Reynand-nya ada enggak, ya?” tanya Alea.
“Waduh, kok, nyari Reynand? Sama Abang aja, deh,
Neng.”Alfa menatap Alea sekilas. “Lo Alea?” tanyanya.
Alea mengangguk.
“Reynand udah enggak masuk sejak satu minggu yang lalu. Dia titip surat
ini buat lo katanya, kalo lo nyariin dia.”
“Satu minggu yang lalu? Kenapa lo enggak langsung kasih gue?” tanya
Alea.“Lah, lo nyariinnya sekarang.” Alfa membuang permen kojeknya ke
tempat sampah, lalu memasuki kelasnya.
Setelah menerima surat itu, Alea duduk di taman sekolah.
Hai, Lea. Apa kabar? Aku harap kamu nyariin aku karena kabar
bahagia, ya. Bukan karena kamu lagi sedih. Aku harap kamu enggak akan
pernah sedih lagi setelah aku pergi. Aku yakin Revo akan jadi orang yang
lebih baik buat kamu dan bisa bikin kamu bahagia. Kalo kamu lagi
nangis atau lagi sedih, jangan nangis, ya. Kamu enggakboleh cengeng.
Cukup aku aja yang bikin kamu nangis, yang lain jangan.
Aku pindah lagi ke Bandung soalnya aku sadarkehadiran aku ganggu
kamu. Aku minta maaf karenapernah nyakitin kamu. Oh, iya, aku sedikit
ingkar janji. Aku pergi, soalnya aku mau lihat kamu bahagia. Aku enggak
akan balik lagi ke sana, apalagi nemuin kamu. Aku sayang kamu, Lea.
Jangan lupa bahagia, susah soalnya kalo bahagiain dari jauh.
I love you ♥
Tes. Air mata Alea jatuh membasahi kertas itu. Mengapa semuanya pergi
darinya? Dia sangat butuh seseorang, tetapi dia tak memiliki sandaran untuk
bercerita sekarang.
Alea terdiam sejenak, lalu bergegas pulang. Farrel menatap bingung
wajah Alea yang sudah tak karuan, pipinya memerah, di ujung bibirnya juga
terlihat memar.
“Alea.” Farrel menghampiri Alea. Alea mengusap air matanya. Lalu,
tertawa palsu.
“Lo kenapa?” tanya Farrel bingung.
“Gue izin pulang, Kak. Bilang ke Kak Aria.” Alea menatap Farrel sendu,
matanya sudah sangat sembap.
“Iya, tapi lo kenapa? Kenapa pipi lo merah banget? Kenapa ujung bibir lo
memar?”
“Saya enggak pa-pa.”
“Revo mana?”
Mengingatkan nama Revo. Luka di dalam hatinya semakin menjadi, dia
kembali menangis.
“Masih di rooftop.” Suara Alea melemah.
“Revo ngapain lo? Kenapa lo sampe kayak gini?”
“Tanya Revo aja, Kak. Permisi.” Alea bergegas pergi.
Farrel berjalan menuju rooftop. Melihat Reva dan Revo masih di sana.
Farrel menatap Revo serius.
“Rev, lo apain Alea? Gue ketemu dia di jalan, muka dia udah enggak
karuan. Lo apain dia?”
“Cuma gue tampar. Lebay banget,” jawab Revo. MataFarrel membulat ke
arah Revo.
“Apa kata lo? Cuma lo bilang? Lo gila? Otak lo di mana,sih?” Farrel
mulai emosi. Revo tertawa sinis.
“Dia mau bunuh pacar gue. Terus, gue harus diem aja?”tanya Revo. Farrel
menggelengkan kepalanya.
“Enggak mungkin, Rev. Lo pasti salah paham.”
“Iya,” lanjut Reva. Revo menggelengkan kepalanya.
“Dia mau bunuh kamu, Va. Dia mau dorong kamu kebawah. Aku enggak
mau denger apa pun. Kamu enggakusah bela dia.”
“Lo gila, Rev. Lo enggak punya hati tahu enggak?” sentak Farrel. “Gue
enggak nyangka punya sahabat sebusuk lo!”
“Lo kenapa, sih, belain dia? Lo suka sama dia? Ya, udahambil aja. Tapi,
asal lo tahu, Alea enggak lebih dari cewek sok polos, sok suci.”
“Rev, jaga mulut lo. Dia tetep junior kita!”
“Kenapa enggak keluarin aja? Kriminal. Malu-maluin nama OSIS tahu
enggak?”
“Rev, lo pernah mikir enggak, sih? Sedikit aja tentang perasaan dia?”
“Ngapain dia dipikirin. Bukannya dia yang enggakpunya perasaan?”
“Alea rela ngalah demi lo. Dia korbanin perasaan dia demi lihat lo
bahagia. Terserah lo percaya omongan gue atau enggak, lo bakalan nyesel
karena udah lakuin itu, Rev.Lo cowok paling bego karena udah lakuin itu ke
cewek yang bener-bener sayang sama lo. Dia enggak berharap lo jadi
miliknya, Rev. Dia punya cinta yang tulus, karena bahkan dia enggak mau lo
tahu tentang perasaannya. Dia enggak nuntut tentang perasaannya.
Kebahagiaan lo ituudah lebih dari apa pun buat dia. Pegang kata-kata gue, lo
bakalan nyesel.”
“Hm.” Revo malas mendengarkan Farrel.

Akhirnya, proker pensi OSIS diadakan hari ini. Hari yang ditunggu-tunggu
oleh banyak orang, tapi tidak untuk Alea. Alea hanya dapat melihat setiap
orang tertawa bahagia. Termasuk, dua sejoli yang tengah tertawa bersama di
ujungsana, Reva dan Revo.
Alea juga menyanyi untuk meramaikan pensi hari ini. Tak lama, dia
menaiki panggung, menatap semua orang yang ada di bawah.
“ALEA!” pekik Acha heboh.
“Berisik lo! Pacar gue itu.”
“Dih, tujuh turunan dia enggak bakalan mau pacaran sama lo!”
Alea memegang stand mic tersebut.
“Tes, tes.” Ya, jadi sebelumnya saya sebagai pengurus bidang
performance di sini mengucapkan banyak terimakasih buat kalian semua
yang sudah hadir di salah satu program kerja OSIS.”
“Waduh, enggak heran lagi kalo Alea yang nyanyi. Jadi,hari ini mau
bawain lagu apa, nih? Yang pasti kayaknya bakalan bikin semuanya nangis,”
tanya Dio.
“Jadi, lagu ini mengisahkan tentang seseorang yang sudah merelakan
orang yang dia cintai untuk membuatorang yang dia cintai bahagia. Karena,
orang yang diacintai merasa bahwa dia yang terluka, tanpa melihat dari sisi
yang lainnya.”
“Aduh, dalem banget, ya, Le? Oke, silakan, Alea! Let’s enjoy.”
Alunan musik mulai terdengar, semua penonton yang sebelumnya
bersemangat berjingkrak-jingkrak kini terdiammenatap Alea. Begitu juga,
lelaki yang ada di ujung sana.Dia menatap Alea penuh makna, entah apakah
itu tatapan kebencian?
¯Hati ini t'lah letih
Jalani kisah yang kau rasa perih
Seolah hatimu yang paling terluka
Tak pernah kau lihat sisi hatiku•

Bagi Alea, ini kisah yang sangat manis. Walaupun, dia merasakan pahit
pada akhirnya.
¯Di matamu kauanggap ku selalu salah
Di depanmu aku kan bersumpah mengalah •
Alea tahu betul, bagaimana sakitnya disalahkan karena kesalahan yang
tidak dia lakukan. Setidaknya, Alea belajar mengalah di saat dia tidak
bersalah.
¯Aku yang telah merelakanmu
Karena kini aku merasa
Tak mampu bahagiakanmu
Tuhan jagalah jiwa dan raganya
Hidup matiku hanyalah untuknya
Walau ku tak bersamanya•

Alea sangat rela jika dia harus melepas Revo. Jiwa dan raganya tetap
tertuju kepadanya. Alea selalu berharap, Revoakan selalu bahagia, meskipun
tidak bersamanya.
Revo menatap Alea lekat, dia teringat oleh ucapan Farrel. Gue bakalan
jadi orang paling bodoh kalo gue nyesel kehilangan dia. Batin Revo
menegaskan.
Beberapa penonton menangis. Sebagian lagi ada yang hampir menangis,
terdiam, melongo, membuat snapgram galau.
Lo bener-bener tulus, Alea, batin Farrel. Dia berpikir bahwa Revo yang
sangat bodoh.
“Terima kasih,” ujar Alea, lalu turun dari panggung.
Putus

Seminggu berlalu semenjak kejadian itu, dan ini hari ketiga class meeting
sekolah yang selalu diadakan oleh SMA Gempita di setiap akhir semester.
Alea sama sekali belum datang ke acara class meeting ini karena sebenarnya
acara ini tidak wajib diikuti oleh setiap murid.
Alea memilih untuk tetap berada di rumahnya. Dia terlalu malas untuk
pergi ke sekolah.
Semenjak kejadian itu, kondisi kesehatan Alea jugamenurun. Dia juga
tidak terlihat ceria seperti biasanya.
Di sisi lain, Acha tengah merapikan tasnya karena dia baru saja
menyelesaikan class meeting pidato bahasa Inggris.Dia bergegas berjalan ke
suatu ruangan.
“Kebiasaan si Alea, apa-apa lama,” gerutunya seraya menyusuri koridor
sekolah. Tak lama, langkahnya terhenti.Dia menepuk jidatnya sendiri, lupa
bahwa Alea tengah sakitdan tidak datang ke sekolah.
“Oh, iya, dia, kan, lagi sakit. Gue jadi kangen.” Acha menghela napas,
hendak memutar balik badannya. Namun,ada suara-suara bising dari suatu
ruangan, dan karena penasaran, Acha pun menghampiri ruangan tersebut.
“MAKSUD LO APA, SIH?” Suara bentakan itu membuat Acha
mengernyit. Dia merapatkan tubuhnya ke dinding.
“MAKSUD LO APA?” Suara perempuan itu kembali membentak.
“Maksudnya apa gimana? Rencana kita udah berhasil.”
“Berhasil apaan? Lo bisa dengan gampangnya wujudinapa yang lo mau,
tapi lo enggak bantuin gue sama sekali buat bisa deketin Revo. Terus, apa
gunanya kita bikinhubungan Alea sama Revo merenggang? Buat apa gue
bikin Revo benci sama Alea kalo gue tetep enggak bisa dapetin Revo?”
Mata Acha terbelalak ketika dia mendengar nama sahabatnya disebut.
Dia mengambil ponselnya dan merekam suara-suara tersebut. Acha tahu
siapa pemilik suara itu dan membekap mulutnya dengan terkejut.
“Lo cuma bilang, lo enggak suka lihat Alea sama Revo bareng-bareng.
Gue juga enggak suka. Lo, kan, yang ajakgue kerja sama duluan? Sekarang
udah berhasil, kan?”
“Terus, tujuan lo cuma buat hancurin kebahagiaanRevo? Dia orang baik,
dia bahkan bakalan kasih yang dia punya buat lo. Manusia keji macam apa,
sih, lo? Hah?”
“Lo juga bukan temen yang baik buat Alea. Lo hampir bikin hidup temen
lo sendiri ancur cuma gara-gara cowok macem Revo. Apa, sih, yang dilihat
dari Revo?”
“Alea cuma anggap gue temen, sementara lo? Ngaca!”
“Gue benci sama Revo. Dari dulu, dia selalu mau ngerebut apa yang gue
punya. Sampe Reva lebih milih dia daripada gue. Gue suka sama Reva dari
dulu, tapi Reva lebih milih Revo dibandingkan gue. Okay, enggak pa-
pa.Cuma, apa gue harus biarin Reva disakitin, ditinggalinsama orang yang
dia sayang? Apa gue salah pengin lihat orang yang gue sayang bahagia?
Enggak lebih dari itu. Gueenggak maksa Reva buat jadi milik gue, enggak
kayak lo yang cuma mikirin kebahagiaan lo dan ngorbanin orang lain!”
sentak lelaki itu.
Selain Acha, Farrel pun mulai mencuri dengar pertengkaran tersebut. Dia
penasaran melihat Acha yang menempel di tembok untuk mendengarkan dan
dia pun akhirnya ikut-ikutan menguping. Farrel membekap mulutnya
sendiriagar tidak bersuara, tak percaya lelaki itu pelakunya.
“Pokoknya gimana pun caranya, Revo bakal jadi milik gue. Termasuk
kalo harus nyakitin Reva lo itu!” Gadis itutak mau kalah.
“Jangan sentuh Reva atau hidup lo bakal hancur!”
Gadis itu tertawa jahat. “Gue juga bisa bongkarsemuanya. Tentang siapa
dalang yang ngerencanain penculikan Alea dan semua rencana busuk lo.”
“Bongkar aja. Lo enggak sadar kalo lo juga terlibat? Kita bertiga di sini.”
Farrel berpikir keras. Bertiga? Lalu, satu lagi siapa?
“Lo emang bener-bener licik, ya. Gue bisa bikin reputasilo langsung
hancur. Siapa yang sangka orang yang selama ini mereka bangga-banggakan
itu seorang penjahat, licik, pecundang?!”
“Jaga omongan lo!” sentak lelaki itu tak terima.
Gadis itu tertawa licik. “Awas. Gue mau balik.” Gadis itu hendak keluar
dari ruangan. Farrel dengan sigap menarik tubuh Acha, lalu bersembunyi di
balik tembok.
“Ayo!” Farrel menarik Acha ke arah kantin. “Eh,ngapain? Gue mau
balik!”
“Ini tentang keselamatan sahabat lo. Lo mau Alea kenapa-kenapa lagi? Ini
juga soal sahabat gue.”
“Iya, sih, tapi kalo ke kantin gue bawaannya jadi laper.”Acha
menunjukkan deretan giginya.
“Iya, gue yang traktir.”
Acha tersenyum semringah dan mengikuti langkahFarrel.
Farrel duduk, napasnya terengah-engah. Namun, dia harus tenang karena
mereka pasti sangat licik. Sementara, Acha sibuk memesan makanan dan
minuman, lalu membawanya ke meja.
“Gue enggak nyangka mereka pelakunya. Bener-bener enggak abis pikir.”
“Gue juga enggak abis pikir. Soalnya, gue lihat-lihat, mereka, kan,
lumayan deket juga sama Alea, sama Revo juga.”
“Gue yakin dari awal, semua kejadian yang Alea sama Revo alamin itu
enggak mungkin kebetulan. Pasti ada dalangnya.” Farrel menatap Acha lekat.
“Gue kira itu lo, nyatanya bukan.”
Acha tersentak, menatap Farrel kesal. “Kenapa gue?”
“Lo yang paling mencurigakan.”
Acha mengembuskan napas kesal. Namun, dia teringat,dia pernah
memberikan botol minuman kepada Alea, yang berujung pada percobaan
penculikan pada Alea. Ada yang menyuruhnya untuk memberikan itu. Tapi,
dia terkecoh, jadi apa mungkin orang itu juga terlibat?
“Yang paling penting, Revo dan Alea harus tahu.Walaupun agak susah
buat ngomong sama mereka di saat mereka dalam kondisi salah paham
begini,” ujar Acha.
Farrel mengangguk, akhirnya dia bergegas menujuapartemen Revo. Hari
ini, Revo tidak datang ke sekolah karena tidak mengikuti perlombaan apa
pun.
Revo terlihat tengah duduk di balkon apartemen.
“Ngapain, sih, lo ke sini?” tanya Revo dengan menatapFarrel tajam.
“Ada yang penting, Rev.”
Revo mengerutkan dahinya. “Apaan?”
“Ini tentang lo sama Alea.”
Revo menghela napas berat. “Enggak usah bahas dia.”
“Tapi, ini penting banget dan lo harus tahu.”
“Apa?” tanya Revo malas.
Farrel mengeluarkan ponselnya.
“Tapi, lo janji, lo harus tenang. Kalo lo gegabah, Revajuga bisa dalam
masalah. Oke?” pinta Farrel.
“Maksud lo apaan, sih?” tanya Revo tak mengerti.
“Tadi, pas selesai class meeting, gue denger semuanya.” Farrel membuka
rekaman suara.
Saat mendengarkan rekaman tersebut, napas Revomenjadi tak karuan.
Jadi, selama ini Alea tidak bersalah? Padahal, dia sudah bersikap sekasar
itu. Revo mendengarkan isi rekaman tersebut sampai akhir.
“Kurang ajar. Enggak mungkin, Rel!” ujar Revo.
Farrel tertawa miris. “Nyatanya, semiris itu.”
Pikiran Revo langsung tertuju kepada Reva. Gadis itu mungkin bukan
sasaran utama, tapi bisa saja dia celaka.
“Kita harus ke rumah Reva, sekarang!” Revo bergegas keluar dari
apartemennya, Farrel mengikuti.
“Gue harap cewek gila itu enggak ngapa-ngapain Reva lagi,” ujar Revo.
“Tapi, lo enggak boleh gegabah, Rev. Cewek itu lebih licikdari apa yang
lo bayangin. Enggak kontras gitu sama muka.”
Mobil mereka akhirnya tiba di depan rumah Reva. Revodan Farrel
memasuki rumah itu.

“Jadi, beneran lo yang misahin Alea sama Revo?” tanya Reva pada lelaki
yang ada di hadapannya.
Lelaki itu mengangguk. “Iya, kalo gue boleh jujur, gue masih sayang
banget sama lo, Va. Tapi, gue enggak maksa lo buat jadi milik gue, kok. Gue
cuma mau lo bahagia sama pilihan lo. Gue juga enggak mau hubungan lo
sama Revoudahan gara-gara cewek itu.”
Reva tertawa sinis. “Harusnya gue enggak usah ngomong ke Alea buat
jauhin Revo. Gue kira, dengan ketemu Revo, perasaan gue ke dia bakalan
bisa balik lagi kayak dulu. Gue kira gue akan sayang lagi sama dia kayak
dulu. Tapi, makin lama, gue ngerasa perasaan gue buat dia udah enggak ada.
Kalo tahu gitu, gue bakalan milih lo dari dulu. Lagi juga, kayaknya dia udah
enggak ada rasa sama gue,” ujar Reva.
Lelaki itu membulatkan matanya ke arah Reva. Sungguh gadis itu akan
memilihnya? “Serius, Va?”
Reva mengangguk seraya tersenyum.
“Lo yakin, Va? Enggak akan takut soal hubungan losama Revo kalo Revo
tahu?” tanya lelaki itu.
“Ya, enggak, lah, Revo itu kuno, norak, ngebosenin.”
Sesaat kemudian, lelaki itu tersadar ada orang lain di dekat pintu rumah
Reva. Ternyata, Farrel dan Revo.
Lelaki itu lalu mengisyaratkan Reva untuk berhentibicara. Namun,
sepertinya Reva masih belum sadar.
“Revo aja yang bego ngebelain gue sampe segitunya. Derita dia, lah.
Peduli amat. Sukanya juga sama cewekgendut model Alea. Ya, enggak level,
lah, kalo disandinginsama gue.”
Revo tersenyum miris, lalu menghampiri Reva.
“Kenapa enggak ngomong, Va? Lo enggak harus maksain hubungan yang
lo udah enggak nyaman.”
Suara itu membuat Reva menoleh ke arahnya, ternyataitu Revo. Sosok
yang sedari tadi tengah dia bicarakan.
Namun, tak lama Reva tertawa sinis. “Lo enggak usah muna, deh, Rev.
Selama ini juga lo udah jatuh cinta, kan, sama yang katanya adek lo itu?”
“Mungkin, perlahan waktu yang bikin rasa kita memudar sendirinya dan
bikin kita sama-sama tahu dan ngerti siapa orang yang kita mau dan kita
butuhin sebenernya. Jadi, enggak usah seolah gue yang salah, deh.”
“Mungkin, emang harusnya kita udahan, tapi satu hal yang harus lo ngerti,
lo enggak usah banding-bandingin orang lain sama lo. Apalagi, nge-judge
orang gitu aja!” ujar Revo.
“Mungkin, kalo itu buat lo bahagia, hubungan kita emang enggak usah
diterusin lagi. Kalo emang lo bakalan lebih milih dia, harusnya lo ngomong
dari awal.”
Revo menatap lelaki di samping Reva.
“Saya enggak nyangka, ya, ternyata ketua yang paling terhormat itu
seperti ini. Harusnya, Anda juga ngomong dari awal sama saya. Enggak usah
bikin rencana-rencana busuk yang libatin orang lain yang enggak bersalah.
Tolong,ya, Anda udah dapetin apa yang Anda mau. Jadi, jangan libatin orang
yang tidak bersalah di sini. Bilang juga sama Bella, jangan suka ngelakuin
hal bodoh yang ngerugiinorang lain. Bolehkah saya membuat permintaan
seperti itu, Ketua? Hormat saya, Revo Adriano,” ujar Revo, lalu bergegas
keluar.
Farrel menggaruk kepalanya sendiri yang tidak gatal.
“Lo kalo laper bilang gue apa, Ar. Entar, gue beliin makanan, enggak
usah makan temen. Entar, lo kanibal, sumpeh. Bikin pusing aja. Ribet lo
semua.”
Ferrrel mengejar Revo yang tengah emosi.
Isi Hati Alea
Mungkin benar jika terkadang sesuatu memang terasa lebihberarti ketika
sudah pergi.

Keesokan harinya, Revo harus berangkat ke SMA Gempitakarena masih


ada laporan yang harus dia serahkan pada Pak Dibyo. Dia bergegas
memasuki ruang OSIS untukmengambil beberapa laporan yang dia simpan di
loker.
Revo tersenyum miris ketika melihat kursi paling belakang. Biasanya,
Alea duduk di kursi itu, dengan tawanya yang dapat menenangkan banyak
orang.
“Lo apa kabar, Le? Maafin gue, ya. Tapi, apa gue masihpantes buat
dapetin maaf lo?”
Fokus Revo teralihkan pada buku yang terletak dikolong meja. Alea
memang suka menulis dan mencoret-coretbuku ketika dia tengah merasa
bosan. Revo membuka bukuitu perlahan, lalu membaca isi buku tersebut.

Hai, Rev. Aku hanya ingin menulis, kok. Bukannya karena apa, tapi
aku lelah memendamnya sendirian lagi. Aku lelah berpura-pura atas
perasaanku sendiri. Aku lelahmenepis perasaan yang kubilang tak ada,
tapi kenyataannya perasaan itu sudah tumbuh. Aku tidak tahu apa yang
harus aku katakan lagi kepadamu. Kamu menganggapku salah. Aku
memang salah karena aku mencintaimu.
Mengapa kamu tidak bilang dari awal kalau kamu memiliki kekasih?
Aku terus menepis kenyataan bahwa aku mencintaimu dan dengan diriku
saja aku berbohong. Karena, aku tak ingin mencintaimu, aku takut terluka
karena mencintaimu. Meski begitu, aku gagal, kamu berhasilmembuat aku
mencintaimu. Dan, sekarang, aku cukupterluka, tapi bukan karenamu. Itu
karena perasaankusendiri yang tak sesuai dengan kenyataan.
Jujur saja, saat pertama kali aku melihatmu, aku tidakmerasakan apa
pun. Namun, kamu mencoba membuatku terus memikirkanmu. Kamu
berhasil, aku terus memikirkanmu karena sikapmu yang aneh.
Kamu aneh. Iya, terkadang kamu baik, terkadang jugaterlihat sangat
menyebalkan. Tapi, itu yang aku rindukandari kamu. Kamu tunjukkan apa
sebenarnya dari kamu. Kamu tidak selembut dan tidak seromantis lelaki
lain. Tapi,itulah Revo yang aku rindukan, bukan Revo yang seperti
sekarang. Yang ketika kita berdekatan saja, kita seolah biasa saja.
Harusnya memang dari dulu seperti itu, karenaaku yakin kamu tak
menganggapku lebih dari juniormu. Dulu aku juga hanya menganggapmu
seniorku, tapi entah.Seperti yang kubilang tadi, perasaan itu tumbuh
begitu saja.
Aku rindu kamu, rindu tatapan tajam matamu, rindu semua
pertengkaran yang terjadi entah karena apa. Intinya aku rindu. Tapi, aku
sadar diri, kamu sudah memiliki kekasih. Kamu sangat menyayanginya,
bukan?

Revo menghela napas sejenak, semua yang telah berlalu terlintas di


benaknya. Hatinya tak sanggup untuk terus membacanya. Jadi, itu yang
selama ini Alea rasakan?

Aku tidak membencinya. Aku sadar diri bahwa aku dengan dirinya tidak
bisa dibandingkan. Jauh. Tapi, aku cukup bahagia, karena kalian sangat
cocok. Kamu juga terlihat bahagia.
Aku ingin kamu tahu. Aku tidak pernah punya niat jahat apa pun
kepadamu. Aku bahagia saat melihat kamu bahagia, walaupun kamu tidak
bahagia bersamaku. Aku tidak pernah ingin mencelakai orang yang sudah
membuatkamu bahagia, karena dia telah membantuku membahagiakanmu.
Memang, saat aku mendengar bahwa kamu sudah punya pacar dan kamu
menganggapku sebagaiadikmu, ada yang mengganjal di hatiku.
Tapi, sumpah demi apa pun, aku tetap menerima kenyataan. Aku tidak
ingin mengganggu hubungan kalian. Akubahagia melihatmu bahagia. Itu
sudah lebih dari cukup.
Soal Tante Catherine, aku sudah menerima jika kamubilang Reva Putri
Cantik yang selalu dinanti Mama. Memang harusnya dia yang menjadi putri
di hatimu, bukanaku. Aku hanya seorang upik abu yang terlihat seperti putri
pengganti saat sang putri pergi. Aku sadar dan aku bahagia saat aku tahu
Tante sudah sembuh total. Tapi, asal kamu tahu, aku juga sangat
menyayanginya. Aku takmungkin mencelakainya.
Aku harap, kamu tahu kebenarannya. Aku takmelakukan hal yang kamu
sebutkan sama sekali. Bahagiamu saja sudah cukup untukku. Aku memang
merindukanmu. Perlu kamu tahu, aku mencintaimu, tapi aku tak ingin
merebutmu. Aku mencintaimu, tapi aku tahu diri. Aku mencintaimu, makanya
aku ingin lihat kamu bahagia.
Semoga kamu tahu kebenarannya. Kamu tahu, aku sama sekali tidak bisa
membencimu entah karena alasan apa. Apakah kamu tahu?
Aku mencintaimu seperti kamu mencintai pacarmu. Sejujurnya, aku
sangat merindukan kamu. Tapi, takapalah jika rinduku yang tak bermakna
besar ini bisamembuatmu selalu tersenyum. Aku selalu menyayangimu
walaupun mungkin kamu masih membenciku. Semogakamu terus bahagia.
Aku berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan waktu untukku
dan kesempatan untuk mengenalmu. Terima kasih untuk enam bulan yang
penuh makna selama aku mengenalmu. Aku tak pernah menyesal, aku sayang
kamu.

Tanpa sadar, setetes air mata jatuh di pipi Revo. Apakahdia bisa disebut
sebagai lelaki cengeng? Namun, dia tak bisa menahannya. Apa yang
dirasakan Alea begitu tulus. Dan, apa yang dia balas? Apa yang dia berikan
untuk Alea?

Hari masih pagi. Namun, rindu tak kenal waktu.


Kecewa juga tak pernah mengerti kapan ia harus datangdan kapan ia
harus berhenti.
Sinar mentari datang menyinari. Membawa suatu titik cahaya yang
berarti. Bahkan, tenggelamnya juga dinanti-nanti. Senjamu yang indah.
Tapi, kamu tahu waktu, orang lain akan menganggapmu menghilang
di saat kamu tenggelam. Padahal, apakah mereka tahu? Kamu tetap
memberi sinar pada sang bulan
walaupun tak terlihat.
Apakah begitu juga dengan rindu? Tak tampak, tapi selalu ada. Di
kala malam. Orang tak akan percaya jika mentari masih bersinar.
Mungkin begitu juga denganmu.Kamu tak akan percaya. Kamu sudah
gelap terbawa malam.
Memberi kesempatan kepada gemerlap bintang untuk bersinar. Agar
orang lain tetap bahagia, meskipun ia dianggap tak ada.
Percayalah, apakah menurutmu aku bagaikan sinar mentari yang
merindukan pagi?
Namun, malam tak ingin usai, ia masih berbahagia. Apakah di kala
malam, ia akan percaya jika sang mentari masih ada?Namun, satu yang
harus kamu percaya, sang mentari tak akan pernah pergi
meninggalkanmu.

Itu kata-kata terakhir yang Alea buat di buku itu. Revo jadi sangat
membenci dirinya sendiri. Menampar Alea hal paling bodoh yang pernah dia
lakukan.
“Maafin gue, Alea.”
Revo segera menyelesaikan urusan laporan yang harusdia serahkan pada
Pak Dibyo. Setelah itu, motornya melajuke rumah Alea.

Revo turun dari motornya dan dengan ragu menekan belrumah Alea.
Tak lama, seorang wanita paruh baya keluar dari rumahitu seraya
tersenyum semringah.
“Revo? Apa kabar kamu?”
Revo mencium punggung tangan Cecill serayatersenyum. “Baik, kok,
Tante.”
“Kebetulan banget kamu ke sini.”
“Kenapa, Tante?” tanya Revo bingung.
“Kamu ajakin Alea keluar, deh. Dia, tuh, udah seminggu enggak mau
keluar kamar. Dia juga jadi murung terus,enggak kayak biasanya. Kamu lagi
ada masalah, ya, sama Alea?” tanya Cecill.
Revo mengangguk canggung. “Iya, Tante. Boleh enggaksaya ketemu
sama Alea?”
Cecill mengangguk seraya tersenyum. “Bentar, ya,Tante panggilin dulu.
Masuk, Rev. Duduk dulu.”
Cecill berjalan menuju kamar putrinya dan mengetukpintu kamar Alea
perlahan. “Le. Mama boleh masuk?”tanya Cecill.
“Masuk aja, Ma,” jawab Alea lesu. Dia melihat Cecill memasuki
kamarnya, lalu duduk di tepi kasur Alea. Ibunyamengelus rambutnya seraya
tersenyum.
“Ada yang mau ketemu kamu.”
“Siapa?” tanya Alea malas.
“Temen kamu, temuin dulu, gih.”
Alea menggeleng. “Bilang aja Alea lagi tidur.”
“Le, enggak boleh gitu, ah. Masa, dia niat baik mau ketemu kamu terus
kamu enggak mau nemuin?”
Alea menghela napas dan akhirnya keluar dari kamarnya dengan wajah
sangat pucat. Pandangannya terarah pada seseorang yang tengah duduk di
sofanya.
Mata mereka sempat bertaut untuk beberapa saat. Aleamenatap sosok itu
dengan tajam.
“Le, ada yang mau gue omongin—” ucapan Revo terpotong.
“Mending lo pergi. Gue enggak mau ngomongin apaapa lagi,” ujar Alea
dengan tajamnya.
“Le, tapi—”
“Pergi, Rev!” sentak Alea. “Lo enggak bisa denger?” Nada bicaranya
meninggi, lalu dia kembali berjalan menujukamarnya, dan menutup pintu
kamarnya.
“Alea, kok, gitu, sih, Sayang?” seru Cecill.
“Enggak pa-pa, kok, Tante.”
“Tapi, kan, dia enggak sopan begitu,” tepis Cecill.
Mendengar keributan itu, Leon yang kini tengah pulangke Jakarta
menghampiri Revo dan Cecill yang tengah berada di ruang tamu. Matanya
membulat penuh emosi ke arah Revo.
“Bangun lo!” sentak Leon seraya menarik kerah baju Revo dengan kuat.
Leon menghantam Revo dengan kuat, posisi Revo pun menjadi
tersungkur.
“Bangun!” Lagi-lagi, Leon menghantam Revo. “Gueudah duga dari awal
kalo lo pasti berengsek!”
Cecill menggelengkan kepalanya. “Leon, kamu ini apaapaan, sih? Revo,
tuh, dateng baik-baik, lho, mau ketemu Alea. Terus, maksud kamu apa main
hajar-hajar aja? EmangMama enggak pernah ajarin kamu sopan santun?”
Leon tertawa sinis. “Laki-laki baik enggak akan pernahberani buat
nyakitin cewek, Ma. Laki-laki baik mana yang tega nampar perempuan?”
Cecill menatap Revo dengan tatapan bingung. “Benar kamu nampar
Alea?”
Revo terdiam sejenak.
“Benar kamu nampar anak saya? Salah apa dia?”
Revo mengangguk penuh penyesalan. “Iya, Tante. Aleaenggak salah apa-
apa.”
“Memangnya tidak bisa dibicarakan baik-baik? Selamaini, saya sama
papanya Alea enggak pernah main fisik samadia. Saya kecewa sama kamu.
Lebih baik kamu pergi,” ujar Cecill dingin. Tidak seperti biasanya.
Revo mengangguk, lalu keluar dari rumah Alea. Revo sadar jika dia
pantas mendapatkan semua ini. Revo tahu jika kesalahan yang dia lakukan
benar-benar fatal.

Revo kembali ke apartemennya. Dia menghela napas berat,lalu memasuki


kamar mandi dan membasuh wajahnya.
Dia benar-benar merasa bersalah karena sudah sekasar itu pada gadis yang
sama sekali tidak bersalah.
“Lo bego, Rev. Lo ... bego!” pekiknya sambil mengacakrambutnya
sendiri. Dia kini merasa sangat frustrasi.
“Kalo sampe Alea kenapa-kenapa, gue enggak akanmaafin lo!” ujar Revo
pada cermin di depannya.
“ARGH!” Dia menonjok cermin itu hingga terlihatretak. Lagi-lagi, dia
menonjok cermin tersebut sehinggatangannya tergores dan berdarah.
“Harusnya lo enggak bohongin perasaan lo sendiri.Harusnya lo enggak
nuduh orang sembarangan. Harusnya Lo enggak nampar dia waktu itu.
Harusnya lo enggak ngomong yang enggak pantes ke dia.”
“Rev, kamu kenapa?” terdengar suara Catherine.
“Enggak pa-pa, Ma.” Revo membasuh tangannya yang berdarah dengan
air, rasanya perih sekali.
Dia keluar dari kamar mandi, Catherine sudah menatapnya dengan tatapan
mengintimidasi.
“Kamu kenapa?”
“Enggak pa-pa, Ma.”
“Kamu bohong, Rev. Ada yang kamu sembunyiin, kan, dari Mama?”
tanya Catherine.
“Revo pembohong, Ma. Revo bohongin Mama soal PutriCantik.” Revo
tak mau berbohong lagi, dia bergegas untukduduk di sofa. Catherine
mengikutinya dan menatapnya lekat.
“Maksud kamu?” tanya Catherine bingung.
“Sebenernya, Putri Cantik itu bukan Reva, Ma.”
Catherine terlihat semakin bingung.
“Terus, sebenernya Putri Cantik itu siapa?”
“Ceritanya panjang, Ma.”
“Mama siap jadi pendengar yang baik.”
“Jadi sebenernya, Putri Cantik itu adik kelas Revo di OSIS. Alea
namanya, Alea Annastasya. Dia baik bangetanaknya, lucu, selalu buat orang
ketawa kalo ketemu dia.
Dulu, tanpa sengaja Revo sama dia ke rumah sakit. Terus cuma dia yang
bisa tenangin Mama, bahkan bisa bikinMama mau terapi lagi dan sembuh
seperti sekarang.”
“Terus, kenapa kamu harus bohong?”
“Revo salah paham, Ma. Revo ngira dia orang yang selalu celakain Reva
selama ini, ternyata bukan. Revonyesel pernah ngomong kasar sama dia,
bahkan pernah nampar dia.”
Mata Catherine membulat. “Kamu nampar dia?”
Revo mengangguk, lalu menundukkan kepalanya.
“Makanya, waktu Mama sembuh dan nanya dia dimana, Revo enggak
mau kasih tahu Mama yang sebenernya.Revo rasa, dia enggak pantes jadi
Putri Cantik yang Mama bilang. Tapi, ternyata Revo salah. Alea enggak salah
sama sekali.”
“Soal Reva, dulu kita emang pernah saling sayang, Ma.Tapi,
kenyataannya selama satu tahun Reva di Jerman,ternyata Reva udah enggak
punya perasaan apa-apa lagi sama Revo. Revo juga baru sadar, kalo selama
ini Revo udahjatuh cinta sama Alea. Tapi, Revo justru bikin kesalahan yang
besar sama dia, Revo justru nyakitin dia, Ma.”
Catherine mengangguk. “Kamu harus minta maafsama dia.”
Mungkin benar jika terkadang sesuatu memang terasalebih berarti ketika
sudah pergi.
“Sekarang, kamu beli makanan dulu, ya? Kamu pasti belum makan, kan?”
Revo akhirnya bergegas keluar dari apartemen untuk membeli makanan
siap saji untuk dirinya dan ibunya. Namun, seseorang dengan motor besarnya
mengadang motor milik Revo yang tengah melaju. Iya, sosok itu Reynand.
“Maksud lo apaan, Rev?” tanya Reynand, lalu turun dari motornya. Dia
menatap Revo dengan serius. Sepertinya,dia sudah mendengar apa yang Revo
lakukan kepada Alea dan menurutnya itu sangat keterlaluan.
Revo juga turun dari motor miliknya.
Reynand menarik kerah baju Revo, lalu menghantamnya dengan kuat.
Padahal, luka karena hantaman Leonbelum hilang rasa sakitnya, tetapi Revo
rasa dia pantas mendapatkannya.
“Kurang apa lagi yang gue korbanin buat lo? Hah?Mama sama sekali
enggak pernah peduli sama keadaangue, gara-gara lo!”
Reynand kembali menghantam Revo dengan kuat, tapiRevo sama sekali
tidak melawan.
“Gue udah korbanin semuanya. Bahkan, gue udah relainAlea, cewek yang
gue sayang. Tapi, ternyata lo cuma bisabikin dia nangis. Ambil aja semuanya
dari gue!” Kali ini,tonjokan Reynand jauh lebih kencang, sehingga membuat
Revo tersungkur.
Regret
Satu minggu sudah berlalu. Kini, seorang lelaki paruh bayamemasuki kamar
Alea seraya memancarkan senyumnya. Sosok itu Zio, ayah dari Alea.
Akhir tahun ini, Zio baru bisa pulang ke Indonesia. Ayah Alea selama ini
memang menetap di Amerika untuk mengurus bisnisnya yang tak bisa
dikelola dari jauh.Sehingga, Zio jarang sekali bertemu putri kecilnya ini yang
kini sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik.
Dia duduk di tepi kasur seraya mengelus lembut rambutputrinya yang
sedang tertidur dan memandangi wajah Aleayang terlihat sangat pucat. Zio
sudah mendengar dari Cecilljika putrinya itu memang sedang murung.
“Hai, Cantik.” Zio mencium kening putrinya.
“Papa mungkin enggak bisa temenin kamu setiap waktu. Tapi, Papa
sayang kamu.”
Alea membuka matanya perlahan dan membulatkan matanya ke arah
papanya. “Papa?”
Zio tersenyum hangat ke arah Alea.
“PAPA!” pekik Alea, lalu bangun dan memeluk papanyayang kini tengah
duduk di tepi kasurnya.
“Alea kangen Papa.”
“Papa juga kangen sama kamu.”
Zio melepaskan pelukan itu, lalu mencolek hidungputrinya. “Apa kabar
kamu?”
“Baik, kok, Pa.”
Zio menggelengkan kepalanya. “Kamu bohong.”
“Bohong kenapa?”
“Mama bilang, akhir-akhir ini anaknya yang cantik itu jadi suka ngurung
diri di kamar. Terus, jadi enggak suka ketawa kayak biasanya. Bener enggak?
Badan kamu juga
panas banget, Le. Muka kamu pucet.”
“Papa, sih, kelamaan di sana.”
“Yang penting, sekarang udah di sini, kan?” tanya Zio. “Ya, udah, jangan
sedih-sedih terus, ya? Cepet sembuh juga.Kalo kamu sembuh, nanti Papa
beliin boneka beruang yangkamu minta waktu SMP.”
Alea tertawa. “Kok, Papa masih inget aja, sih?”
Zio ikut tertawa. “Ya, ingetlah. Papa juga inget waktu itu ada yang bilang
kalo katanya ada yang mau nyusul keAmerika, terus ikut lomba nyanyi?”
Alea mengangguk seraya tersenyum.
“Nanti, Papa juga beliin es krim sepuluh rasa yangkamu minta. Tapi, kalo
tambah gendut, jangan marah, ya?”
“Ih, Papa ngeselin.”
Zio menatap putrinya gemas seraya tertawa.
Tak lama, Leon membuka pintu kamar Alea. “Le, ada yang mau ketemu
lo, tuh.”
“Siapa lagi, sih? Kalo Revo usir aja, ya, Bang.”
Leon menggeleng. “Bukan.”
“Tapi, gue mau sama Papa dulu,” tolak Alea.
Zio tertawa renyah. “Papa agak lama, kok, di sini,sekarang kamu keluar,
gih? Kalo kelamaan di kamar, nanti lama-lama kamu jadi Putri Tidur.”
Alea mengangguk, lalu keluar dari kamarnya. Diatersenyum menatap
seseorang yang kini duduk di sofa.
“Hai.” Alea tersenyum. “Aku seneng kamu di sini, Rey.”
Perasaan Alea sangat tenang. Sangat teduh rasanyasaat bersama Reynand.
Karena yang dia kira lebih baik, nyatanya tak sebaik itu.
“Aku minta maaf, aku makan omongan aku sendiri,”ujar Reynand.
Alea mengerutkan dahinya. “Kenapa?”
“Di surat itu, aku bilang aku enggak akan nemuin kamulagi. Tapi,
nyatanya aku khawatir sama kamu. Aku takut kamu kenapa-kenapa, Lea.”
Reynand menatap Alea.
Alea tersenyum. “Kamu pernah bilang, kalo ada yangnyakitin aku, kamu
bakalan ada.”
Reynand tersenyum. “Aku enggak akan pernah biarin ada orang yang
nyakitin kamu lagi, Lea,” dia menggenggamerat tangan Alea. “Jalan-jalan,
yuk?”
Alea kembali mengernyit. “Ke mana?”
“Ke mana, ya?” ledek Reynand, yang membuat keduanya tertawa renyah.
“Enggak usah resek, deh!”
Akhirnya, mereka pergi ke kafe yang tak jauh dari SMAGempita. Di sana,
Alea memesan segelas ice chocolate dan sepotong cheese cake.
Mereka belum sadar bahwa di seberang mereka ada Revo dan Farrel.
Rasanya ini bukan sebuah kebetulan,karena Revo juga sering menemani
Farrel ke sini.
Farrel yang tengah memakan sepotong roti, menghentikan aktivitasnya,
lalu menepuk pundak Revo dengan mulut penuh roti.
“Apaan, sih, Rel? Mending lo makan dulu, deh, tuh, roti lo.”
Namun, lagi-lagi Farrel menepuk pundak Revo denganlebih kencang. Dia
menunjuk ke arah Alea dan Reynand.
“Aewa!” ujar Farrel.
Revo mengerutkan dahinya. “Hah? Biawak?”
Farrel menggeleng. Dia meminum segelas air, laluberkata. “Alea. Itu Alea
sama Reynand, kan?” Dia kembali menunjuk Alea dan Reynand.
Revo menoleh. Reynand sedang menatap tanpa henti ke arah Alea yang
tengah meminum ice chocolate.
Merasa diperhatikan, Alea menatap balik lelaki itu.
“Kenapa kamu ngelihatin aku?”
“Aku sayang kamu, Lea. Tos dulu, dong,” ajak Reynand.
Alea tertawa kecil. Ternyata, Reynand masih mengingattos saat mereka
berpacaran. Mereka dulu biasa menyatukanjempol, lalu kelingking mereka.
Dan, sekarang, merekamelakukannya lagi.
Revo tersenyum tipis. Mungkin seharusnya dia memangmerelakan Alea
dengan orang yang dapat membuatnyabahagia. Bukan seperti dirinya, yang
hanya bisa membuat Alea menangis.
“Jangan pernah pergi lagi, Rey.” Alea menggenggam erat lengan
Reynand.
Reynand tersenyum. “Iya. Kamu lagi sakit, kan? Cepetsembuh, ya.” Dia
mencubit pelan pipi Alea gemas.
“Aku sayang kamu enggak, ya?” Alea seolah berpikirseraya menatap
Reynand dengan meledek.
“Kamu mulai ngeselin, ya?” tanya Reynand.
Alea tertawa. “Sayang, kok.”
Reynand tertawa. “Gimana di Jakarta? Enak enggak?”
Alea mengangguk. “Enak, kok, aku nemu banyakmakanan enak di sini.”
“Tapi, aku lebih suka Bandung.”
“Kenapa?” Alea mengerutkan dahinya.
Reynand tersenyum hangat ke arahnya. “Karena, aku nemuin kamu di
sana.”
Alea tertawa. “Ih, gombal!”
Dari jauh, Revo kembali tersenyum tipis. Semoga lo bahagia terus, ya.
Last Time

Setelah beberapa minggu, kondisi Alea mulai membaik. Dia juga merasa
lebih bahagia karena ada Reynand di sisinya. Selama itu juga, Alea selalu
mendapatkan kiriman bunga matahari kesukaannya, yang Alea yakin dari
Reynand.
Di sisi lain, sebentar lagi angkatan Revo akan melepas jabatannya, karena
mereka sudah bertugas kurang lebih satu tahun sebagai formatur OSIS. Kini,
mereka tengah mengadakan acara perpisahan di Nihiwatu Beach, Sumba,
Nusa Tenggara Timur.
Rekan Alea memaksa Alea untuk ikut, karena mereka sangat merindukan
Alea yang sudah terlalu lama tidak terlihat. Akhirnya, Alea pun setuju untuk
mengikuti kegiatan itu, dengan syarat dia boleh mengajak Reynand.
“Rey, bagus banget. Aku mau berenang,” ujar Alea.Reynand terkekeh
kecil seraya mengacak gemas rambut Alea. Alea sedang menatap langit senja
yang sangat indah, sunset yang menakjubkan.
“Kamu suka?” tanya Reynand.
“Aku suka banget.” Alea menatap sunset yang memanjakan matanya.
“Aku juga.” Reynand tertawa. Alea menatap Reynand sejenak.
“Oh, ya? Aku baru tahu kamu suka pantai.”
“Aku juga suka banget, sama kamu.” Reynand menatapAlea lekat, Alea
hanya tertawa.
“Enggak jelas!” ujar Alea dengan nada meledek.Reynand ikut tertawa.
“Aku mau jalanjalan, Rey. Sunset-nya bagus banget,” ujar Alea. Reynand
mengetuk dagunya.
“Ayo!” Mereka berlari dan tertawa bersama.
Sementara itu, Farrel dan Revo memilih untuk bersantai sejenak di bawah
pemandangan sunset yang menenangkan.Dalam diam, Revo menatap Alea
yang semakin jauh dari pandangannya.
“Aku terbakar api cemburu,” ujar Farrel, memberi ada pada kalimat
tersebut sehingga menjadi nyanyian.
Revo memandang Farrel sinis. “Enggak jelas lo.”
“Enggak boleh cemburu sama adek sendiri, ya, Abang ganteng yang
paling ganteng.”
“Berisik.” Revo duduk di kursi pantai, menatap langit senja seraya
meluruskan kakinya. Matanya menerawang.
“Rel, lo pernah mikir enggak, sih, kalo misalnya dalangdari suatu hal itu
orang yang enggak kita duga?” Revomenatap Farrel serius.
“Maksud lo? Lagi juga, gimana kita mau bongkar ten-tang ini ke Alea?
Dia aja enggak mau ngomong sama lo, ngelihat lo aja dia ngejauh.” Farrel
juga ikut duduk.
“Gue takut terjadi apa-apa sama Alea, Rel,” ujar Revo dengan perasaan
tak karuan.
“Takut kenapa? Ada Reynand juga, kan, yang jagaindia?”
Revo beranjak dari posisinya.
“Gimana kalo ternyata Reynand itu satu orang lagiyang kerja sama bareng
Aria dan Bella?” tanya Revo serius.
“Enggak boleh, Bang, nuduh adek sendiri.”
“Gue serius, Rel.”
“Emangnya lo punya bukti apa?” tanya Farrel.
“Mungkin, di rekaman suara itu enggak ngebuktiinjelas kalo Reynand
pelakunya. Tapi, intinya, pelakunyaitu bertiga.
“Nah, lo inget enggak, waktu pertama kali Reynand ke sini dan bener-
bener ngejar Alea, tapi Alea enggak mau? Terus, lo inget soal penculikan
Alea yang bikin gue sama Alea berantem?” Revo menekankan.
Farrel mengangguk. “Terus?”
“Lo inget waktu Alea dapat barang bukti berupa video, yang isinya seolah
gue bilang benci sama Alea? Dari belakang, tuh, orang mirip banget sama
gue, kan? Nah, lo pikir, siapa orang yang mirip banget sama gue selain
Reynand?” tanya Revo.
Farrel tampak berpikir. “Bisa jadi.”
“Setelah itu, Reva dateng. Lo pernah mikir enggak, sih,kalo mungkin,
Aria yang nyuruh Reva buat balik? Atau mungkin sebelumnya mereka udah
ada hubungan.
“Setelah Reva balik, hubungan gue sama Alea merenggang. Di saat itu
juga, Reynand pergi. Sampai gue sama Aleasalah paham besar, Reynand
masih menghilang.”
“Bukannya kalo gitu berarti Reynand enggak terlibat?”
“Bukan gitu maksud gue, Rel. Reynand sengaja menghilang biar semua
bukti enggak mengarah ke dia. Biar kita enggak curiga sama dia.”
“Kalo gitu, kenapa dia sampe nonjokin lo pas dia tahulo nampar Alea?”
“Menurut gue, dia ngelakuin itu biar enggak berkesanburuk di mata kita.
Setelah dia bisa dapetin simpati dan kepercayaan Alea, dia pelan-pelan mulai
rebut hati Alea. Lo tahu, kan, posisi Alea lagi down? Pasti Reynand bakalan
mudah banget buat dapetin Alea lagi.”
“Maksud lo? Misi Reynand cuma buat balikan sama Alea?”
“Enggak, enggak gitu. Kalo Alea percaya sama Reynand,otomatis dia
dengan mudah bisa ngelakuin misinya, kan?” tanya Revo.
“Jadi, semuanya mengarah ke Reynand?”
“Ya, mereka semua kerja sama.”
“Jadi, waktu Reynand nonjokin lo itu, dia seolah marahsama lo buat
nutupin jejak?”
Revo mengangguk. “Menurut gue, mungkin Reynandngelakuin misinya
bukan karena dia masih sayang sama Alea.”
“Apa karena dia enggak mau lihat lo milikin apa yang ingin lo milikin?
Maksudnya, Reynand ngelakuin misinya itu cuma karena iri sama lo?” tanya
Farrel.
Revo mengangguk, sembari mencari sosok Alea dan Reynand yang telah
hilang.
“Sekarang mereka di mana?” tanyanya, matanya masihmencari. Dia
segera berlari mengikuti jejak terakhir Alea dan Reynand. Farrel
mengikutinya.

Alea menghela napas sejenak, memejamkan matanyasetelah menatap langit


senja.
Hai, senja, kamu indah, tapi sebentar lagi akan pergi.Apakah kamu tahu
akan banyak orang yang menyayangkanmujika kamu pergi? Malam akan
datang, lalu semuanya gelap.
Hai, senja, apakah kamu akan tetap pergi? Apakah kamutidak akan
memikirkan berapa banyak orang yang akan merindukanmu? Aku salah
satunya, aku merindukanmu senja. Namun, kamu jahat, kamu akan pergi.
Jika itu maumu, aku tak akan melarangmu. Aku akan membiarkanmu pergi.
Hai, senja, apa menurutmu aku jahat? Apakah kamupernah membohongi
dirimu sendiri? Membohongi perasaanmu sendiri? Mencoba menghapus
perasaanmu yang sudah terlaludalam. Nyatanya aku tak bisa, senja. Aku
menyayangimu, danaku tak bisa menghapusmu.
Aku kira akan lebih baik jika aku pergi sebelum kamu pergi.Nyatanya,
aku takut jika kamu benar-benar pergi. Ketahuilah,aku menyayangimu.
Tanpa dia sadari, air matanya mengalir. Di sebelahnya,Reynand
menatapnya sejenak.
“Kamu kenapa?” tanya Reynand.
Alea tersadar dari lamunannya, lalu tersenyum. “Enggak pa-pa, aku
kelilipan doang.”
“Masa?” Reynand mendekatkan wajahnya, berniatuntuk meniup mata
Alea agar dia tidak kelilipan lagi.
“Rey, aku enggak pa-pa.”
“Katanya kelilipan? Sini, aku tiupin.” Reynand kembalimendekatkan
wajahnya.
“Enggak usah kurang ajar!” Mendadak, Revo muncul dan mendorong
bahu Reynand ke belakang, sehinggaReynand menjauh dari Alea. “Apa-
apaan, sih, lo?” bentak Revo.
Alea menatap Revo dengan malas. “Lo yang apa-apaan,Rev. Mau apa
lagi, sih, lo?” tanyanya ketus.
Revo menatap Reynand geram. Jika saja tidak ada Aleadi sini, Revo pasti
akan menghajar Reynand habis-habisan.
“Alea, dengerin gue. Dia enggak sebaik yang lobayangin!” sentak Revo.
Alea hanya tersenyum miring.
“Dia punya rencana busuk, Le. Selama ini, semua yang terjadi sama lo itu
gara-gara dia!”
“Oh, ya? Terus, menurut lo siapa yang baik? Lo? Emangnya lo sebaik
apa? Kakak macam apa yang nuduh adiknyasendiri tanpa bukti!” Alea
menantang Revo.
“Oke, habis ini lo boleh enggak percaya sama gue. Lo boleh benci sama
gue. Tapi, kali ini lo harus dengerin gue, Le. Lo enggak inget soal penculikan
lo oleh gengnya Van-do? Lo dapet video yang isinya kelihatannya gue
ngomong benci sama lo, kan?” tanya Revo.
Alea mau tak mau mulai berpikir.
“Pokoknya, lo seneng-seneng aja sama cewek itu. Lo mau dia, kan?
Kemarin, gue nolongin dia cuma pura-pura, biar dia enggak curiga. Hari ini,
gue bakal menghilang, biar dia enggak nyangka. Gue benci dia, gue benci
Alea.”
“Lo pikir aja, siapa lagi orang yang mirip banget sama gue kalo bukan
dia?” Revo menatap Reynand tajam.
“Ya, siapa tahu emang lo yang mau celakain Alea.Enggak usah asal
tuduh!” sentak Reynand.
Alea kembali berpikir sejenak. Dia sudah yakin bahwa orang di video itu
bukan Revo. Namun, apakah mungkin jika itu Reynand? Alea yakin Reynand
sudah berubah.
“Lo inget, kan? Ingetinget aja suara di dalem video itu baik-baik. Itu
bukan suara gue!”
“Enggak, Le. Itu bukan aku. Kamu percaya, kan, samaaku?”
“Emang lo dalangnya, Rey. Lo playing victim seolah lo, kan, yang paling
berkorban di sini? Lo menghilang,lo pura-pura baik demi ngejalanin misi lo.
Lo punya misi bersama, kan?”
Alea memegangi kepalanya, kepalanya terasa sangat sakit mendengar
perdebatan kakak beradik itu.
“Dia enggak sendirian di sini, Alea.”
Reynand menyahut dengan geram. “Lo enggak mikir Alea udah sakit
gara-gara lo? Lo yang enggak punya otak, Rev!”
“Udah. Udah. Diem semuanya!” sentak Alea. Dia tak tahu pada siapa dia
harus percaya.
“Percaya sama gue, Le.” Revo menatap Alea lekat,tatapan yang selalu
membuat hati Alea tenang. Alea menatap balik, Alea yakin Revo tak akan
bohong. Namun, diajuga tak akan percaya jika Reynand pelakunya.
“Alea, kamu mikir, dong!” sahut Reynand. “Dia itupembohong. Dia udah
terlalu sering nyakitin kamu, kamu percaya sama aku, ya. Dia pembohong!”
“Gue enggak mau percaya sama siapa-siapa. Gue enggak mau ngomong
sama lo berdua!” Alea memutar kursi rodanya dan menjalankannya sendiri.
“Adek Cantik.” Farrel menahan kursi roda Alea.
“Gue bisa sendiri, Kak.” Alea meninggalkan mereka.
Revo menghantam tubuh Reynand dengan kuat. “Lo boleh aja milikin
Alea lagi. Tapi, ya, lo tahu batas, lah. Lo enggak usah kurang ajar!”
“Suka-suka gue, lah. Alea-nya juga enggak pa-pa kayaknya. Lagi juga,
tadi enggak kayak yang lo lihat. Enggak usah sok tahu!”
Revo kembali menghantam tubuh Reynand. “Maksud loapa, Rey? Apa
misi lo di sini? Apa mau lo? Kalo lo sayang sama Alea, jagain dia. Jangan
ngerusak dia!”
Reynand tertawa jahat. “Lo pikir gue ngelakuin inicuma karena gue
sayang sama Alea? Akting gue bagus, ya, nunjukin seolah-olah gue sayang
sama dia? Gue nonjokin lo,gue marah sama lo setelah lo nyakitin dia. Bego.
Lo semua bego!” teriak Reynand.
“Jadi, lo sama sekali enggak ada rasa sama Alea?”tanya Revo terkejut.
“Gue sayang sama Alea. Alea enggak bersalah di sini. Tapi, misi utama
gue, gue enggak mau lo milikin apa yang lo mau. Gue enggak mau lo milikin
cewek sebaik Alea!” bentak Reynand.
“Tapi, kenapa, Rey?”
“Lebih baik, kan, kalo lo kehilangan orang yang lo sayang?” Reynand
tertawa puas.
Revo menggelengkan kepalanya.
“Gue benci sama lo, Bang. Lo rebut semuanya. Termasuk Mama. Kasih
sayang Mama. Lo dapetin semua kasih sayang, tapi lo malah bikin Mama jadi
sakit!” Reynand mendorong kuat tubuh Revo. “Gue benci, gue takut, lotahu
Papa temperamentalnya kayak apa, kan? Gue takutsendirian di rumah, Bang.
Makanya, gue selalu kabur dari rumah. Tapi, Papa selalu pukul gue setiap
gue pulang. Gueiri sama lo. Semua orang bangga-banggain lo. Lo pinter, lo
baik, lo punya prestasi di mana-mana. Lo bisa apaan aja. Sampe Mama cuma
peduli sama lo. Dia enggak peduli samasekali sama gue. Padahal, gue juga
butuh semua itu, Bang.
“Mungkin, gue enggak bisa kayak lo, tapi apa salahnyakalo mereka
hargain gue? Gue benci lo punya semuanya. Gue benci lo pergi gitu aja. Gue
benci lo enggak pernah peduli sama keadaan gue. Makanya, gue enggak mau
lo milikin Alea!” Reynand mendorong tubuh Revo cukup kuathingga Revo
terjatuh.
Revo tahu, Reynand pasti sedang terbawa emosi. Mendadak saja, Revo
sadar bahwa dalang utama dalam masalahini Aria dan Bella. Dan, Reynand
hanyalah boneka, karena dua orang itu sepertinya tahu betul bahwa Reynand
takbisa mengendalikan emosi.
“Rey, abang mana, sih, yang tega benci sama adiknya sendiri?” tanya
Revo setelah hening lama. “Gue kira denganlo tinggal sama Papa, hidup lo
bakalan lebih terjamin. Gue sayang sama lo, Rey. Kalo gue boleh milih, gue
enggak akanbiarin semuanya begini.
“Gue sama sekali enggak ada niat buat ngerebutsemuanya dari lo. Mama
bangkrut, makanya dia sakit. Lo tahu enggak? Kemarin Papa sama Mama
bilang ke gue kalomereka mau balik lagi.
“Setelah Mama sembuh, dia juga selalu nanyain tentanglo. Dia mau
ketemu sama lo, tapi dia tahu lo benci sama dia, lo benci sama gue. Lo
enggak akan mau ketemu.
“Mama sama Papa mau balik lagi, tapi dia mikir apa lo bisa nerima
keadaan lagi? Gue minta maaf, Rey. Gue enggak bisa jadi kakak yang baik.
“Tapi tolong, kalo lo kayak gini terus. Lo malahmemperburuk keadaan.
Orang lain malah akan anggap lo semakin buruk, Rey. Dan, gue mohon,
jangan bawa-bawa orang lain di sini.
“Kalo emang lo sayang sama Alea, ya, udah. Gue rela. Tapi, tolong,
jangan sakitin dia lagi. Jangan jadiin diamainan lo doang.”
Reynand menatap Revo sejenak, lalu menundukkankepalanya. Dia sadar
jika dia bersalah.
“Gue minta maaf, Bang. Gue emang salah sangka se-lama ini.”
Farrel menatap kedua kakak beradik ini seraya menggelengkan kepalanya.
“Kayak nonton drama gue, terharu.” Farrel memegangidadanya sendiri.
Reynand menghampiri Alea yang kini tengah beradadi kafe sederhana yang
berada di dekat pantai.
“Ngapain kamu ke sini?” tanya Alea.
“Aku mau minta maaf sama kamu, Le,” ujar Reynand.
Alea menatap Reynand. “Kenapa kamu minta maaf?”
“Aku terlibat dalam rencana ini, Le.”
Mata Alea membulat ke arah Reynand. Dia tak mengertidengan apa yang
Reynand ucapkan.
“Mak—sud kamu?”
“Iya, aku ngerencanain semuanya dari awal sama Belladan Aria buat
misahin kamu sama Revo. Aku juga terlibat di sini, Le.” Reynand
menundukkan kepalanya.
Alea menelan ludahnya sendiri. Hatinya terasa seperti tercabik sesuatu.
“Aria? Bella?”
“Kami yang bikin kamu sama Revo salah paham, yang bikin Revo seolah
mikir bahwa kamu yang celakain Reva.
“Bella juga terlibat karena dia suka sama Revo dari awal masuk. Tapi,
katanya, nyatanya malah kamu yang deket sama Revo.
“Kamu enggak sadar, Aria sama Bella enggak ada di sini? Jabatan mereka
sebagai pengurus OSIS dihentikan sementara, karena apa yang kami lakukan
sudah menuju tindak kriminal.”
Alea terkejut. Benar juga, sedari tadi dia tak melihat Bella dan Aria di
sini.
“Tapi, kenapa kamu harus ikut dalam rencana ini?” tanya Alea gusar.
Reynand tersenyum sedih. “Awalnya, aku benci sama Revo, Le. Dia
selalu dapetin apa yang dia mau, selaludibangga-banggain sama orang lain.
Aku tahu kalo Revo suka kamu, makanya aku enggak mau Revo dapetin
ceweksebaik kamu. Jadi, aku lakuin semuanya, termasuk saat kamu diculik
oleh gengnya Vando. Aku juga terlibat di sana, semua teror Reva,
kesalahpahaman kamu sama Revo. Itu semua gara-gara aku.
“Aku minta maaf. Mungkin saat kita sama-sama lagi, rasa itu mulai
tumbuh lagi di hati aku. Tapi, sebenernya,kedekatan itu cuma bagian dari
misi aku buat ngehancurin Revo. Aku bener-bener minta maaf, Le.
“Revo yang sayang sama kamu, bukan aku. Yang setiap hari kasih kamu
bunga matahari kesukaan kamu juga bukan aku, tapi Revo.
“Aku juga tahu, kok, gimana perasaan kamu sama Revo.Kalian sama-
sama sayang, kalian saling nyaman. Tapi, gara-gara aku dan orang-orang
yang enggak suka sama kalian,semuanya jadi serumit ini. Harusnya kamu
bisa bahagia. Aku minta maaf, ya,” ujar Reynand.
Alea hanya mengangguk dan menatap Reynand sendu.
Dia menatap lelaki itu hingga tak dapat dijangkau olehmatanya lagi.
Alea memejamkan matanya. Dia tak mengerti, mengapatak ada satu pun
kisah cintanya yang berakhir bahagia? Atau, memang tak ada cinta yang
ditakdirkan untuk berakhir dengan bahagia? Atau mungkin juga, dia memang
tidak semestinya jatuh cinta?
“Le.” Alea menoleh ke sumber suara itu.
Revo.
“Lo enggak pa-pa?” tanya Revo khawatir.
Apanya yang enggak apa-apa? Pikir Alea.
“Enggak pa-pa, mending lo pergi.”
“Tapi, kan—” ucapan Revo terpotong. Alea menghela napas berat dan
menatap Revo dengan matanya yang berkaca-kaca. Tak bisakah Revo
mengerti Alea sedang ingin sendiri? Mungkin itu akan lebih baik untuknya
agar dia memahami perasaannya sendiri yang bahkan sampai sekarang tak
dapat dia mengerti. Lebih baik Alea punya waktu untukmengobati luka-luka
yang meradang dalam perasaannya.
“Mending lo pergi, gue mau sendiri!” ulang Alea dengansuara meninggi.
Revo tersenyum miris.
“Iya, gue pergi,” ucapnya. “Tapi sebelumnya, bolehgue ngomong
sesuatu?” Dia menatap Alea secara intens.
“Ngomong apa?” tanyanya ketus.
“Gue minta maaf. Gue tahu, gue keterlaluan. Gue sadarmungkin gue udah
enggak pantes buat dapetin maaf dari lo, tapi gue tetep mau minta maaf.”
Alea mengangguk. “Udah, kan? Terus?”
“Gue sayang sama lo,” jawab Revo. Suaranya sangat parau. Tatapannya
juga sangat tulus. “Tapi, gue sadar, gue enggak pantes buat lo. Karena
ternyata kehadiran gue cuma bisa nyakitin lo.
“Gue sadar, kita enggak akan pernah bisa barengbareng. Gue udah terlalu
sering bikin lo nangis dan lo pantesdapetin orang yang jauh lebih baik dari
gue. Yang bisa bikinlo selalu senyum, yang bisa bikin lo selalu ketawa, selalu
bahagia. Bukan orang yang cuma bisa nyakitin lo kayak gue.
“Mungkin, emang kisah kita harus berakhir, bahkan sebelum dimulai.
Atau mungkin, kisah kita emang enggak seharusnya ada. Harusnya, gue
enggak perlu hadir ke dalam hidup lo. Gue tahu diri, cowok berengsek kayak
gue enggak pantes buat dapetin cewek sebaik lo, Le.”
Revo menatap Alea. “Makasih banyak karena lo pernahbikin gue ketawa.
Lo selalu ada bahkan di saat gue lagi ada di titik terendah hidup gue. Makasih
banyak karena lo,nyokap gue sembuh lagi. Kalo gue boleh minta sama
Tuhan,gue akan minta Dia izinin gue buat tetep di sini sama lo.Tapi, mungkin
Tuhan berkata lain. Mungkin, Tuhan mau ngehukum gue karena gue udah
berani-beraninya nyakitin orang sebaik lo.
“Gue pergi, Le. Gue harap, setelah gue pergi lo akan jauh lebih bahagia,
ya. Jangan lupa ketawa. Jangan lupa bahagia. Jangan pernah nangis lagi.
Jangan ceroboh lagi, ya. Jangan belepotan kalo makan. Oh, iya, kalo lagi
makan es krim jangan buru-buru ya. Jangan suka telat kalo berangkat ke
sekolah. Dan—jangan pernah jatuh cinta sama orang yang salah lagi, ya. Gue
sayang sama lo,” ujar Revo seraya tersenyum parau. Matanya tampak
berkaca-kaca.
“Dan, sekali lagi, maafin gue, Le. Gue pergi, ya,” Revo mengakhiri, lalu
beranjak pergi dan meninggalkan Aleasendiri.
Alea menatap Revo dari belakang, lalu memejamkan matanya. Beriringan
dengan perginya Revo, air matanya mengalir deras. Seketika, semua hal yang
pernah dia lalui bersama Revo kembali terlintas di dalam benaknya. Mengapa
kata-kata yang Revo ucapkan seolah menghantam hatinya dengan kuat?
Mengapa rasanya sesakit ini? Bukankahharusnya dia bahagia karena Revo
sudah pergi? Bukankah dia tak perlu merasa kehilangan orang yang sudah
menyakitinya terlalu dalam?
New Ending
“I believe everyone deserves a second chance.”

Keesokan paginya, semua masih sibuk dengan kegiatan masing-masing


karena acara pelepasan baru akan dilaksanakan esok hari.
Suara tawa teman-temannya memenuhi telinga Alea. Mereka tampak
sangat berbahagia. Namun, tidak dengan Alea. Dia duduk di tepi pantai
seraya menatap ombak yangterus menerjang pantai. Dia menghela napas
sejenak.
Entah mengapa, ucapan Revo masih membekas di dalam benaknya.
Apakah itu tandanya Revo akan benar-benarpergi? Apakah benar ucapan
Revo bahwa kisah mereka memang sudah seharusnya berakhir, bahkan
sebelum dimulai?
“Adek cantik.” Suara itu membuat Alea tersadar dari lamunannya. Dia
menoleh. Ternyata, kini Farrel sudah ada di sampingnya.
“Kak Farrel?” tanyanya seraya menatap Farrel dengan matanya yang
berkaca-kaca.
“Lo nangis?” tanya Farrel balik.
Alea menggeleng. “Enggak, gue enggak pa-pa.”
“Adek cantik masih marah sama Abang Revo?” tanya Farrel seraya
meledek.
Alea terkekeh seraya menggelengkan kepalanya lagi.
“Enggak, gue enggak marah.”
“Tapi, lo kecewa?” tanya Farrel lagi.
Alea terdiam sejenak. Memangnya apa yang sebenarnyadia rasakan? Apa
yang dia inginkan? Mengapa dia tak dapatmengerti perasaannya sendiri?
Alea mengangkat kedua bahunya. “Enggak tahu. Gueenggak ngerti sama
perasaan gue sendiri.”
Farrel tersenyum menenangkan. “Le, mana ada, sih, orang yang enggak
ngerti sama perasaannya sendiri? Lo sebenernya tahu apa yang perasaan lo
mau, tapi lo terlalu sering bohongin perasaan lo sendiri. Lo terlalu sering
ngelawan apa yang perasaan lo mau.”
Alea terdiam sejenak. “Maksudnya?”
“Lo terlalu sering bilang ke diri lo bahwa lo baik-baik aja, padahal
sebenernya lo lagi enggak baik-baik aja. Padahal diri lo lagi hancur. Lo
terlalu sering bilang sama diri lo kalo lo enggak jatuh cinta, karena lo takut
buat jatuh cinta lagi. Padahal kenyataannya, you’ve fallen in love with him.
Lo terlalu sering mikirin perasaan orang lain sampe enggak peduli sama
perasaan lo sendiri. Coba lo tanyasama perasaan lo sendiri, apa lo siap buat
kehilangan Revo selamanya? Apa lo bisa jatuh cinta sama orang baru lagi?
Dan, apa lo siap kalo suatu hari nanti lo bakalan lihat Revo sama orang lain
lagi, padahal nyatanya lo masih sesayang itu sama Revo?” tanya Farrel.
Alea menghela napas berat. “Buat apa lagi, sih, tetep jatuh cinta sama
orang yang udah ngecewain lo berkali-kali?” tanyanya. “Buat sakit hati yang
kedua kalinya? Dan, rela jadi orang bodoh buat disakitin lagi?”
Farrel tersenyum hangat. “Le, gue ngerti lo pasti kecewa. Gue tahu dan
gue akuin bahwa apa yang udah Revolakuin itu keterlaluan. But, can’t you
see it from the other side? Dia sayang banget sama lo, Le. Lo orang pertama
yangbisa bikin Revo sebahagia itu, bahkan di titik terendahnya sekalipun.”
Alea tertawa miris. “Dia udah punya Reva, Kak.”
Farrel menggeleng. “Revo sama Reva udah putus, Le.”
Alea tertegun. Revo dan Reva sudah putus?
“Dia pacaran dan bertahan sama Reva selama tiga tahun. Awalnya,
mereka emang saling sayang, tapi mungkin,lama-kelamaan mereka sadar
orang seperti apa yang merekamau dan mereka butuhkan. Reva sekarang
pacaran sama Aria, Le. Dan, gue rasa, Revo juga udah jatuh cinta sama lo.
Gue tahu dia salah karena dia udah nampar lo, padahallo yang nolongin
Reva. Tapi, gue sadar, kok, Revo emang sayang sama lo. Lo inget, kan,
gimana khawatirnya Revo waktu ada empat orang yang godain lo di jalan?
Selama seminggu ini lo menghilang dan dia tahu kondisi kesehatanlo enggak
baik juga dia kelihatan khawatir banget.
Dia juga ngirimin bunga matahari kesukaan lo setiap hari, buat nebus
kesalahan dia. Walaupun, gue juga ngerti itu enggak sebanding sama apa
yang dia udah lakuin ke lo.
Lo berdua juga salah paham karena ada orang lain yangenggak suka lihat
kalian bareng-bareng, kan? Padahal, lo berdua sama-sama sayang.
Gue tahu apa yang lo rasain pasti sakit. Tapi, lo tahu hal apa yang paling
menyakitkan?” tanya Farrel.
Alea mengerutkan dahi seraya menggeleng.
“Saat lo berpisah dan akan selamanya kehilangan orangyang lo sayang,
padahal kalian berdua sama-sama sayang. Hal paling bodoh dan hal paling
menyakitkan ketika lo bohongin perasaan lo sendiri.
Lo sayang sama Revo, kan? Dia juga sayang sama lo, Le. Dan, gue rasa
dia udah dapat pelajaran. Revo pernah ditonjok habis-habisan sama Bang
Leon, juga Reynand.Tapi, dia sama sekali enggak ngelawan karena dia
sadardia pantes dapetin itu semua.
Tapi, di sini yang akan ngerasa terhukum bukan cuma Revo, Le. Tapi, lo
juga. Lo siap buat kehilangan Revo, padahal kalian saling sayang? Lo mau
dia pergi?
Lo mau kehilangan dia selamanya? Gue tahu Revoketerlaluan, tapi masa,
iya, lo enggak mau maafin dia?
Tuhan aja yang punya segalanya selalu mau maafin dosa hamba-Nya dan
nerima hamba-Nya kembali. Masa, iya, lo enggak mau maafin Revo? I
believe everyone deservesa second chance.”
Alea menghela napas berat. Ucapan Farrel seakan-akanmenamparnya
dengan begitu keras.
Dia melihat Farrel tersenyum seraya menepuk pundaknya. “Gue enggak
maksa lo buat maafin apalagi nerima Revolagi, gue tahu itu berat. Tapi, gue
harap lo udah ngerti apa yang hati lo mau. Maaf kalo gue ganggu. Gue mau
ke sana lagi, ya?” pinta Farrel.
Alea mengangguk seraya masih mencerna kata-kataFarrel. Dia kembali
menatap deburan ombak yang terlihat semakin kencang.
Setelah beberapa saat, Alea berjalan cepat untukmenghampiri teman-
temannya yang lain. Namun, ketika dia berjalan, kakinya terkilir sehingga dia
hampir terjatuh. Tiba-tiba, dia merasakan ada tangan seseorang yang
menahannya agar dia tidak terjatuh.
Alea menoleh. Revo? Apakah sedari tadi Revo sudah berada di sana?
Lelaki itu menatap Alea dengan datar, lalu berkata, “Hati-hati.”
Alea mengangguk canggung. “Makasih.”
Setelah itu, tanpa mengucapkan apa pun lagi, Revoberanjak pergi
meninggalkan Alea. Alea menatap sosok itu dari belakang. Seketika, ucapan
Farrel kembali terlintas di benak Alea.
Alea menghela napas sejenak. Mungkin memang benarucapan Farrel. Dia
telah jatuh cinta pada Revo. Lebih tepatnya lagi, dia sudah jatuh cinta terlalu
dalam pada Revo.
“Revo!” panggil Alea.
Namun, lelaki itu tak menoleh.
“Rev!” panggil Alea lagi.
Revo tampak bergeming sejenak, sebelum akhirnya diamenoleh ke arah
gadis itu.
Dia menatap Alea lekat tanpa berbicara apa pun.
Alea menatap balik mata yang menatapnya denganlekat itu.
“Gue maafin lo,” ujar Alea.
Revo mengerutkan dahinya. “Le, tapi—”
“Gue maafin lo, kok.”
Mungkin, Alea terkesan bodoh karena kembali memaafkan sosok yang
sudah menyakitinya selama ini.Namun, bukankah Revo juga punya alasan di
balik itusemua? Bukankah Revo sudah mendapat ganjaran atasperbuatannya?
Alea tersenyum hangat.
Akhirnya, Revo pun membalas senyuman Alea dengan tak kalah hangat.
“Tapi, kenapa lo mau maafin gue?”
“Bahas itunya jangan di sini, ya,” pinta Alea.
Revo mengangguk seraya tersenyum lagi.
“Eh, iya. Di sini ada kedai mi ayam yang katanya enak,lho. Walaupun,
kayaknya enggak seenak Mi Ayam Madam.
Lo mau nyoba?” tanya Revo.
Alea mengangguk.
Mereka bergegas menuju kedai mi ayam itu. Suasana di sana cukup
menyenangkan, kursi dan mejanya terbuat dari kayu, serta ada banyak pohon
kelapa yang memperindah suasana.
“Gue pesen dulu, ya,” ujar Revo. Alea mengangguk danmembiarkan
lelaki itu untuk memesan.
Revo menghampiri Alea dengan membawa obat-obatan. Seperti dahulu
waktu mereka baru bertemu.
“Sini, gue obatin. Kaki terkilir itu juga enggak bisa dianggap remeh, lho.”
“Gue bisa sendiri, kok.”
Revo tak memedulikan ucapan Alea. Dia perlahan mengobati kaki Alea
yang terluka. Alea memejamkan matanya, menahan sakit di kakinya. Dia
mencoba mengambil obat-obatan itu kembali dari tangan Revo. Namun,
Revo tak memberikannya.
“Kalo enggak diobatin, nanti infeksi. Luka lo parah banget. Tahan
sebentar, ya.”
Usai mengobati, Revo memperban kaki Alea agar lukanya tidak terkena
bakteri dan semacamnya.
“Makasih, ya.” Alea tersenyum manis seraya menatap Revo lekat. Revo
juga membalas senyumannya, senyum yang tak selalu Revo tunjukkan.
Entah mengapa, berada sedekat ini dengan Revo membuat detak jantung
Alea berdebar tak karuan.
Perasaan kaki terkilir enggak mengakibatkan sakit jantung, deh. Alea
menarik napas, menenangkan dirinya.
“Ini, Mas, Mbak, pesanannya.” Pelayan meletakkan duaporsi mi ayam dan
dua gelas es jeruk di meja Alea dan Revo.
“Makasih, Mbak.” Alea tersenyum manis.
“Alea,” panggil Revo.
Alea menoleh perlahan. “I—ya?”
Revo hanya tersenyum.
Alea jadi semakin gugup. “Kenapa?”
“Gue minta maaf, ya, gara-gara gue semuanya jadi gini.” Revo menatap
sendu Alea. Alea mengangguk seraya memakan mi ayam yang ada di
hadapannya.
“Gue juga minta maaf, soal kejadian-kejadian di bulan-bulan yang lalu.”
Alea mengangguk. Walaupun sebenarnya, dia tak suka jika Revo bersikap
sekasar itu terhadap perempuan.
“Iya. Tapi, gue enggak suka kalo lo temperamen. Nuduh orang tanpa
bukti yang jelas. Apalagi kalo lo kasar samacewek,” pinta Alea.
Revo mengangguk.
“Karena gimana juga, cowok itu enggak boleh kasar ama cewek. Apalagi,
main tampar aja kayak waktu itu.Sakit, tahu!” Alea memegangi kedua
pipinya.
Revo tersenyum gemas ke arah Alea. “Iya, gue minta maaf.”
Alea mengangguk seraya tersenyum. “Tapi, jangan gitulagi, ya? Awas lo
sampe nampar gue lagi.”
“Jadi, lo maafin gue?” tanya Revo.
“Iya. Tapi, sampe lo nampar gue lagi, gue enggak akan maafin lo seumur
hidup.”
Setelah itu, mereka hanya diam-diaman, rasanyacanggung, tak asyik
seperti dulu lagi. Namun, ketahuilah, di balik diam Alea ada jantung yang
tengah berdebar tak karuan saat ini. Revo menatap Alea lekat, Alea menatap
balik, tetapi dia tak kuat menatap Revo terlalu lama.
“Enggak enak, ya, jadi canggung gini.” Revo tertawa pelan.
“Ya, abisnya lo nyeremin, sih.” Alea menatap Revokembali dengan ragu,
Revo tak dapat menahan tawanya.
“Nyeremin gimana? Lo aja yang penakut.”
“Penakut apanya? Lo itu serem banget tahu enggak, sih? Mana ngeselin.
Rasanya lo pengin gue makan hiduphidup.” Alea menatap Revo kesal.
“Jangan, nanti gue enggak ada lagi kalo lo makan.”
“Biarin aja, kan, jadi enggak ada makhluk seserem lo lagi.”
“Nanti, lo kangen enggak?” tanya Revo dengan percayadiri. Alea menatap
Revo malas.
“Lo kali yang kangen sama gue.”
“Emang, iya.” Revo menatap Alea lekat. Hanya dua kata, tapi membuat
jantung Alea berdebar tak karuan. Pipinya memerah, Revo lagi-lagi tertawa
melihat tingkahnya.
“Apaan, sih, lo genit banget. Nanti kalo Reva tahu lo ngomong kayak tadi
gimana?” tanya Alea memancing.
“Biarin aja dia denger, gue enggak peduli,” jawab Revo.“Gue udah putus,
Le. Reva selingkuh sama Aria. Sekarang, dia pacarnya Aria,” jelas Revo.
Alea mengangguk.
“Pasti Reva enggak mau, ya, punya pacar nyeremin kayak lo?” tanya Alea
meledek.
“Tapi kalo lo mau, kan?” tanya Revo. Alea terdiam sejenak, lelaki ini
membuat ritme jantungnya semakin tak karuan. Alea mencerna perkataan
Revo, maksudnya bagaimana? Revo menatap Alea tanpa henti, melihat pipi
gadis itu berubah menjadi merah, sangat menggemaskan.
Alea menoleh ke arah Revo.
“Lo bisa biasa aja enggak, sih, kalo ngelihatin orang?” tanya Alea.
“Muka lo itu serem. Ngaca, deh!” Alea memberikan ponselnya agar Revo
melihat ekspresi wajahnya sendiri di layar ponselnya yang mati.
“Ganteng.” Revo tertawa dengan percaya dirinya.
“Jijik.”
Alea memakan mi ayam yang ada di depannya seraya menatap ombak
pantai dan semilir angin pantai yangmengenai kulitnya. Revo menatap Alea
tanpa henti seraya tersenyum. Alea menyadari jika Revo memperhatikannya.
Apa angin pantai bikin jantung enggak sehat, ya? Batin Alea bingung.
Revo terus tersenyum.
“Kenapa lo senyum-senyum mulu, sih? Gila, ya?”
“Lo cantik, Alea.”
Alea terdiam lagi.
“Jangan lupa dateng ke acara inti, ya, besok.”
“Tanpa Kak Aria?” tanya Alea. Ekspresi Revo langsung berubah.
“Enggak usah sebut dia lagi, Le. Dia emang pantes, kok,dapetin itu,” ujar
Revo mempertegas. Alea mengangguk.
“Sekali lagi, gue minta maaf, ya. Lo jadi harus terlibat di rencana
busuknya Aria, Bella, sama Reynand. Tapi, gue akan pastiin. Setelah ini
enggak akan ada yang bisa sakitin lo lagi.”
“Lo udah bilang maaf ke gue lebih dari 50 kali, Rev.” Alea tertawa. Revo
sangat gemas ketika melihat gadis itu tertawa, dia mengacak-acak rambut
Alea dan mencubitgemas pipinya.
“Sakit, dodol.”

Selama acara di pantai, Alea memilih untuk sekamar dengan Vei. Malam itu,
Vei membicarakan soal Bella sambil kesal.
“Gue kecewa sama Bella, Le. Gue udah anggap dia sahabat dari gue
masuk OSIS. Gue kira dia cuma kagum samaKak Revo, gue enggak nyangka
kalo dia bakalan ngelakuin hal segila ini.”
“Udah, enggak pa-pa.” Alea tersenyum. Gadis ini sangatbaik. Itu yang
membuatnya semakin cantik, hatinya sangat baik.
“Kenapa lo enggak marah? Lo terlalu baik, Le. Makanya, orang jadi
gampang jahat sama lo.”
“Udah berlalu juga, kan, Vei. Lagi juga, mungkin gue yang salah karena
enggak sadar sama perasaan Bella. Doainaja yang terbaik buat dia. Oh, iya,
jam berapa sekarang?” tanya Alea. Dia melihat jam di dinding. Sudah pukul
5.00 sore. Acara inti akan dimulai pukul 7.00 malam. “Lo enggaksiap-siap,
Vei?”
“Masih dua jam lagi kali, Le.”
“Tapi, kita harus siap-siap. Tahu enggak, sih, ini, kan,acara pelepasan
mereka?” Alea dengan semangat membongkar isi kopernya.
Vei tertawa kecil. “Tapi, Bapak Wakil Ketua yang bentarlagi lengser
enggak bakalan lepas dari hati lo, kan?”
Pipi Alea langsung memerah. “Apaan, sih, lo!”
Alea sibuk mencari baju yang bagus untuknya. Entah mengapa, dia
menjadi sangat bimbang hanya untuk memilihbaju. Waktu berlalu dengan
cepat dan tahu-tahu saja sudahpukul 6.00 sore. Vei sudah selesai bersiap-siap.
“Ayo, dong, Le. Tadi, lo yang minta buru-buru. Sekarang, lo yang lama.”
“Bentar.”
“Gue duluan, ya.” Vei memilih untuk keluar dahulu.
Alea menghela napas. “Kenapa tiba-tiba baju gueenggak ada yang bagus,
sih?” Dia terlalu fokus mencari bajuyang bagus untuknya, hingga tidak sadar
di luar kamarnya ada Revo yang menunggunya. Lelaki itu sudah rapi
dengankemeja berwarna biru dongker dan celana hitam.
“Acaranya mulai jam tujuh, kan, Le.”
Alea menoleh. Dia terpana melihat Revo yang terlihat sangat tampan.
“Iya, gue tinggal ganti baju, kok.”
“Lo pake baju apaan aja cantik, kok. Cepetan, ya, gue tunggu di acara
inti.” Revo tersenyum ke arah Alea. Alea diam mematung, menatap Revo
yang berlalu pergi.
Akhirnya, pilihannya jatuh pada dress tiga perempat berwarna merah
muda selutut. Alea merapikan rambutnya dan memberikan make up tipis di
wajahnya. Kemudian, dia keluar mengikuti yang lain.
Alea menuju ruangan yang sudah disepakati sebagai tempat diadakannya
acara tersebut. Sudah ramai. Aleabertemu dengan Farrel, yang menatapnya
kagum karena tak biasanya Alea berdandan seperti ini.
“Adek, kok, tambah cantik?” puji Farrel.
“Makasih, Kak.” Alea tersenyum.
Seperti biasa, Dio menjadi MC. Acara berjalan seperti yang sudah
direncanakan, tapi di tengah-tengah ada sedikit perubahan. Seharusnya, Aria
yang memberikan pidato pelepasan, tapi karena Aria sedang dalam tahanan
polisi,Revo harus menggantikan Aria.
“Silakan buat Abang Revo yang paling ganteng untukmenyampaikan
pidato.”
Revo tertawa sejenak, lalu naik ke podium.
Alea menatap Revo dari bawah. Revo juga menatapnyaseraya tersenyum.
Senyum yang dapat meluluhkan hati Aleadan membuat jantungnya berdebar
tak karuan.
“Ya, ampun waketosku ganteng banget!” teriak Sissy.
“Abang jangan malu-maluin adek, Bang!” teriak Farrel yang memecahkan
tawa.
“Ya, jadi sebelumnya gue mau minta maaf kalo misalnya bahasa gue
kurang baku atau kurang formal. Gue di sini sebenernya menggantikan Aria
karena beliau tidakbisa berpidato di sini malam ini.
“Sebenernya, acara serah terima jabatannya masihsatu bulan lagi. Tapi,
makasih banget buat satu tahunbareng-barengnya, ya. Gue minta maaf kalo
gue dan rekanrekan punya salah, misalnya kami pernah ngatur-ngatur kalian
atau gimana. Tapi, yang jelas, makasih banget buat kerja samanya.
Buat temen-temen gue, makasih banget buat dua tahunnya. Gue sebagai
Wakil Ketua OSIS di sini minta maaf kalo misalnya ada perilaku gue yang
enggak ngenakin, gue juga mewakili Aria untuk meminta maaf.
Gue harap, di periode selanjutnya, OSIS SMA Gempita akan lebih baik.
Akan lebih banyak menggapai prestasi lagi,akan melakukan banyak program
kerja yang lebih bagus dari yang angkatan gue buat.”
“Sama-sama, Abang!” teriak Farrel.
“Sebelum gue lanjut, ada yang mau disampaikan enggak buat pengurus
OSIS di periode gue?”
Semua melirik ke arah Arkan, Arkan salah satu pengurus OSIS
seangkatan Alea. Arkan dikenal penuh semangat dan bertanggung jawab. Dia
paling rajin di OSIS.
“Gue?” tanya Arkan. Dia bangkit dari duduknya dan langsung berdiri.
“Ya, kalau saya, perwakilan dari angkatan saya mau berterima kasih
sebesar-besarnya buat semua pelajaranyang dikasih sama angkatan Kakak.
Kami juga minta maaf kalau belum bisa ngasih yang terbaik, suka bikin
marah, belum bisa bikin proker yang bener-bener baik. Tapi, kami semua
mendoakan semoga Kakak-Kakak ke depannya semakin sukses dan masuk ke
perguruan tinggi yang diinginkan.
Begitu aja, Kak Revo,” ujar Arkan. Revo mengangguk.
Semuanya bertepuk tangan dan bersorak.
“Baik, terima kasih, Arkan. Ada lagi?” tanya Revo. Dia menatap lekat
Alea seraya menaikkan satu alisnya.
Alea menunduk.
“Kalau tidak ada, masih ada yang mau gue sampaikan lagi.” Revo
menatap Alea dengan intens.
“Mungkin, apa yang mau gue omongin agak melanggarperaturan. Tapi,
gue, kan, udah lepas dari jabatan gue. Adayang mau marah?” tanya Revo
meledek. Semuanya malah tertawa.
“Semangat. Aku mendukungmu!” teriak Farrel.
“OSIS itu berharga, berkesan, dan unforgettable banget buat gue. Tapi,
ada satu anggota di sini yang bener-bener berkesan buat gue. Dia ngajarin
gue banyak hal, ngajarin gue buat jadi orang yang penyabar, pemaaf. Dia
buat hidup gue jadi lebih baik.”
Tatapan Revo tak lepas dari Alea. Alea masih menundukkan kepalanya,
pipinya sudah memerah. Dia bisa merasakan bahwa semua mata tertuju ke
arahnya.
“Dia lucu. Friendly, supel. Mungkin kalian akan menilai dia berbeda
sebelum atau setelah mengenal dia. Di balik semua sifatnya yang lucu, dia
juga bisa jadi seorang gadis yang bijaksana.
Mungkin, pada akhirnya gue ngelanggar peraturan. Guebukan sekadar
suka sama dia, gue bukan sekadar sayang sama dia, gue jatuh cinta sama dia.
Gue jatuh cinta dari semua yang dia punya.”
Bodohnya, gue enggak ngakuin perasaan gue. Gue selalu tepis perasaan
gue, kalo gue enggak jatuh cinta samaorang itu.”
Nyatanya, semakin lama dia masuk dalam hidup gue. Dia ngubah hidup
gue jadi lebih baik, nyatanya gue makin jatuh cinta sama dia.
Bodohnya gue. Gue ngelakuin kesalahan yang bikin diajauh dari gue. Gue
nyakitin dia, tapi dia bilang dia enggakbisa benci sama gue. Dia terlalu baik,
kan?
Jadi, gue mau minta sama dia kasih gue kesempatan buat perbaikin
semuanya. Apa gue boleh jadi orang yang selalu ada di saat lo butuh? Apa
gue boleh jadi orang yang selalu lindungin lo? Gue tahu, gue terlalu dalem
nyakitinlo. Apa gue boleh ngehapus semua kesalahan gue?
Gue sayang sama lo. Gue jatuh cinta sama lo, Alea Annastasya.” Revo
menatap Alea lekat. Kini, Alea benar-benar gugup dan tak tahu harus berbuat
apa.
Apa lo izinin gue buat jadi pacar lo?” tanya Revo.
Alea merasakan wajahnya merah padam. Apa yangharus dia lakukan
sekarang?
“Terima. Terima. Terima!” sorak anggota OSIS yang lain, mendukung
Alea untuk menerima Revo. Alea mencobauntuk terlihat tenang meski begitu
gugup.
“Woi, ada yang lebih penting!” Farrel berteriak setelahmelihat ponselnya.
Semuanya menatap Farrel dengan kesal.Mengganggu suasana saja.
“Apaan?” tanya Revo malas.
“Main guest star kita berhalangan hadir lagi!” teriak Farrel. Yang lain pun
bersorak kecewa. “Kesel enggak, sih, setiap bikin acara pasti guest star kita
ada aja yang enggak hadir? Eh, gini aja,” Farrel tiba-tiba tampak seolah baru
mendapat ide. “Gimana kalo si adek sama lo duet bareng, Rev? Kalo adek
setuju, berarti dia nerima lo. Kalo enggaksetuju berarti lo ditolak.” Farrel
meledek.
“Gih, sana.” Vei mendorong punggung belakang Alea agar ke depan.
Akhirnya, Alea berdiri. Semuanya bersorak senang.
“Mau nyanyi lagu apa?” tanya Revo ketika Alea sudah di sampingnya.
Alea masih menunduk. Pipinya masih merah.
Revo masih menatapnya, menaikkan satu alisnya. Itu malah membuat
Alea salah tingkah.
“Terserah lo,” gumamnya.
“Nyanyi lagunya Ed Sheeran – Perfect. Lo tahu, kan?”
Alea mengangguk.
“Oke. Kami bakalan nyanyi lagu dari Ed Sheeran yangberjudul Perfect.
Buat gadis sempurna yang ada di samping gue.” Revo menatap Alea, tapi
Alea langsung mengambil mikrofon tanpa menatap Revo.
Alunan musik mulai terdengar.

¯I found a love for me


Darling just dive right in
And follow my lead •

Sepertinya, Revo memang sudah menemukan cintayang tepat untuknya,


cinta yang selalu membuatnya tertawa bahagia. Dia menatap gadis di
depannya.

¯Well I found a girl beautiful and sweetI never knew you were the someone
waiting for me •
Biarkan saja banyak yang bilang jika Alea tidak secantik gadis lain. Bagi
Revo, Alea tetap gadis cantik nomor dua setelah ibunya. Jika dia tahu Alea
juga mencintainya, dia akan memilih untuk bersamanya dari awal.
¯‘Cause we were just kids when we fell in love
Not knowing what it wasI will not give you up this time
But darling, just kiss me slow, your heart is all I own
And in your eyes you’re holding mine•
Namun, biarkanlah ini menjadi kisah remaja yang paling indah bagi
mereka. Di mana mereka bisa merasakan berbagai hal di sini.

¯Baby, I’m dancing in the darkwith you between my arms


Barefoot on the grass, listening to our favorite song
When you said you looked a mess,
I whispered underneath my breath
But you heard it, darling, you look perfect tonight •

Bagi Revo, Alea tetap akan menjadi gadis yang sempurna.


Bagi Alea, Revo juga telah memberi banyak arti didalam kehidupannya.
Bagaimana cara dia mencintai orang lain tanpa harus memaksa perasaannya,
bagaimana dia bisamengikhlaskan, bagaimana dia bisa sabar, bagaimana
diabisa mengendalikan semuanya.
Semuanya bertepuk tangan atas penampilan mereka berdua.
Setelah itu, acara bebas. Revo dan Alea keluar dari tempat itu, menatap
laut lepas dan pemandangan yangcukup indah walaupun sudah malam.
“Kenapa lo nembak gue di sini? Kan, malu jadi center of attention gitu.”
Revo tak dapat menahan tawanya melihat sikap Alea. “Gue sayang sama
lo, Le. Jadi, kenapa harus malu?” tanyanya seraya tersenyum.
“Masa, sih, lo sayang sama gue? Kalo lo sayang sama gue, kenapa lo
aneh?”
“Emangnya cara tiap orang buat sayang sama orang itu sama? Apa lo
bakal jatuh cinta sama gue kalo gue sama kayak orang lain? Gue itu suka
sama lo, lo aja yang enggak pernah peka.”
“Jadi, sebenernya gue atau lo yang enggak pernahpeka?” tanya Alea.
“Yang penting, lo izinin gue buat jadi pacar lo, enggak?” tanya Revo.
Alea tersenyum malu dan mengangguk. “Iya.”
“Iya, apa?” tanya Revo meledek.
“Iya, gue izinin lo jadi pacar gue.”
“Kenapa? Enggak denger.”
Alea tahu, Revo ingin menjebaknya.
“Ya, udah kalo enggak denger, enggak jadi.” Aleatertawa meledek.
Revo menatap Alea malas. “Kok, lo ngeselin, sih?” Dia mencoba
mendekati Alea. Alea mencoba menjauh, tapikakinya masih terasa sakit.
“Lo!”
“Lo yang ngeselin!”
“Lo, lah!” Alea tak mau kalah.
“Gue bakalan jadi orang paling ngeselin setiap hari kalo itubikin lo
enggak akan pernah pergi dari gue. I love you, Alea.”
“Lebay!”
Revo kembali mendekati Alea, lalu menggenggamkedua tangan gadis itu
dan mengajaknya berputar-putar. Mereka tertawa bersama.
“Gue sayang sama lo, Alea Annastasya.”
“Gue juga.”
Ini kisah sekolah yang sangat berkesan bagi Alea.Semua yang terjadi
sangat menggemaskan.
Epilog
Terima kasih, untuk sebuah kisah yang sangat menarik.
Terima kasih untuk sebuah teka-teki yang kamu beri.
Terima kasih atas semuanya, semuanya sangat lucu.
Tabrakan, lalu tertimpa gitar, tertawa di bawah derasnya hujan, ucapan
ulang tahun yang membingungkan, tatapan yangtak akan pernah terlupakan,
insiden pertengkaran karena hal yang tidak jelas alasannya.
Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana kita saling tatap tanpa
bicara apa pun. Bagaimana aku menatapmu dengan sinis, padahal aku
merasakan debaran yang sangat kencang di dadaku.
Terima kasih karena sudah tidak ada yang membohongi perasaan lagi,
terima kasih sudah mengakui walaupun dengan cara yang tidak biasa.
Terima kasih atas semuanya. Mungkin, kisah ini terlihat sangat tidak
jelas. Tapi, aku menyukai semua ketidakjelasanini, aku mencintaimu wahai
matahari dari bulan, lalu kembali lagi. I love you from the other side that
you don’t even know.
Extra Chapter

Sebulan berlalu dan kini kondisi tubuh Alea sudah membaik. Apalagi
hubungannya dengan Revo, semuanya berjalan baik-baik saja dan sangat
menyenangkan. Revo juga sudah meminta maaf pada Cecill dan Zio, mereka
memaafkan Revo asalkan dia tak akan mengulang kesalahan itu pada Alea.
Alea juga sudah bertemu dengan Catherine.
Alea bersyukur, karena pada akhirnya dia tak perlu untuk membohongi
perasaannya lagi jika dia sangatmencintai lelaki itu.
Derai hujan sedari tadi turun membasahi SMA Gempita.Kini, Alea dan
Revo tengah menatap tim basket putri SMA Gempita yang tetap bersemangat
melawan tim basket dari SMA Dirgantara, meskipun hujan tak kunjung reda.
“Gila, mereka keren abis enggak, sih?” tanya Alea.Bukannya menggubris,
Revo malah tertawa.
“Heh, kenapa lo ketawa-ketawa? Emangnya ada yang lucu?”
Revo masih saja tertawa. “Ya, iyalah keren, orang pemainnya juga kurus-
kurus kayak mereka. Coba lo bayanginkalo lo yang jadi tim basket?”
Alea menatap Revo malas. “Eh, lo kalo ngomong jangansembarangan.”
“Sembarangan apanya? Gue, tuh, ngomong sesuaifakta. Lo aja setiap lari
pasti jatuh.” Revo tak mau kalah.
“Yang ada, nih, ya, kalo lo main basket jadinya bola,kok, main bola?”
Alea berdecak kesal. “Rev, lo, tuh, ngeselin bangettahu enggak?”
“Emang, tapi lo sayang, kan?” tanya Revo yang entah mengapa membuat
perasaan Alea tak karuan sehinggamembuat pipinya memerah.
Revo kembali tertawa. “Ih, pipi lo, kok, merah-merah gitu, sih, Le?”
“Lo bisa enggak, sih, enggak usah resek sehari aja?” Alea menatap Revo
dengan tatapan malas.
“Lo bisa enggak, sih, enggak usah kesel sama gue sehariaja?” tanya Revo
balik dengan menirukan gaya bicara Aleayang tengah marah.
Alea berdecak kesal, dia mencubit lengan Revo yang ada di sampingnya.
Revo meringis pelan. “Sakit, oncom. Bisa enggak kalo kesel enggak usah
nyubit?”
“Bisa enggak kalo jadi orang enggak usah ngeselin?” tanya Alea.
Revo terkekeh kecil seraya mengacak rambut Aleagemas. “Ya, udah
maaf.”
“Enggak, enggak dimaafin.”
“Kok, lo resek, sih? Maafin enggak?” paksa Revo.
“Kok, lo maksa, sih?”
“Maafin enggak?” paksa Revo lagi.
“Oke, tapi ada satu syarat.”
Revo mengerutkan dahinya. “Syarat apaan?”
Alea menatap Revo dengan tatapan penuh misteri.
Tak lama, gadis itu berlari meninggalkan Revo. “Kejar gue!”
“Alea, lo apaan, sih? Di luar ujan!” Revo berteriak dari jauh. Alea
menoleh sejenak.
“Ya, udah, berarti lo enggak gue maafin!” Alea terus berlari hingga
koridor parkir.
“Heh, Anak Kecil, lo nantangin gue ceritanya? Enggak usah gaya-gayaan,
deh, udah tahu enggak bisa lari!” Revo berlari mengejar Alea sehingga tanpa
susah payah dia bisa dengan cepat menahan tangan Alea dari belakang.
“Ih, curang. Lepas enggak!”
“Lepas apa? Lo aja yang enggak bisa lari.”
Alea menggeleng. “Lo aja yang kecepetan larinya!”
Alea kembali melepas genggaman Revo dan berlari. Akhirnya, dengan
begitu menggemaskannya mereka berlari mengitari koridor sekolah di tengah
derasnya hujan. Namun, Revo kembali berhasil menggapai tangan Alea.
“Le, lo enggak punya hobi lain, ya, selain ngajakinorang ujan-ujanan?”
Alea menoleh. “Lagian, lo enggak punya hobi lain selainbikin gue kesel?”
“Punyalah.”
“Apa?” tanya Alea meledek.
“Mau tahu banget?” tanya Revo seraya terkekeh kecil.
“Apa emangnya?”
Revo tersenyum tipis seraya menyeka rambut Alea yangberantakan
karena hujan. “Sayang sama lo.”
Alea menatap Revo lekat seraya tersenyum.
Lagi-lagi, Revo berhasil membuat jantungnya berdeguplebih kencang.
Revo memang sangat menyebalkan, tapiselalu berhasil membuat Alea
kembali tersenyum.
“Receh banget tahu enggak gombalan lo?” Aleamemukul bahu Revo
pelan.
“Itu bukan gombalan, itu kenyataan.”
Alea kembali terdiam. Revo tersenyum gemas seraya mengambil jaket
dari tasnya, lalu memakaikannya pada tubuh Alea.
“Ih, gue enggak mau pake jaket.”
“Pake, dodol. Nanti lo sakit.”
“Enggak mau, jaket lo bau,” dusta Alea. Padahal, jaket Revo sedari dulu
selalu wangi.
“Sembarangan lo ngomong. Pake enggak? Kalo enggak, gue bilangin ke
nyokap lo, ya?”
“Bilangin aja, emangnya mau bilang apa, sih, lo? Hah?”Alea meletakkan
tangannya di pinggang seraya menatap Revo seolah menantangnya.
“Mau bilang kalo gue sayang sama anaknya.”
“Oh, sayang sama Bang Leon?” canda Alea.
“Receh banget, sih, lo. Ya, udah, ayo, pulang.”
Alea tersenyum, sekarang masih hujan, tapi Revomengajaknya pulang?
Berarti, Revo mengizinkannya untukhujan-hujanan lagi?
“Berarti, gue boleh ujan-ujanan lagi?”
Revo menatap Alea pasrah. Memangnya dia bisaberbuat apa lagi? Baju
Alea sudah telanjur basah karena hujan-hujanan. Revo mengangguk pasrah.
Akhirnya, mereka bergegas meninggalkan koridor sekolah, lalu Revo
mengantar Alea sampai rumahnya.
Sesampainya di rumah Alea, Revo masih menatap Aleadengan lekat. Alea
mengerutkan dahinya, lalu menampar pelan pipi Revo. “Ngapain, sih, lo
lihatin gue kayak gitu?”
“Emangnya enggak boleh gue lihatin pacar gue sendiri?” tanya Revo
sehingga membuat pipi Alea kembali memanas.
“Apaan, sih, lo!” Alea kembali memukul pelan bahu Revo. Namun, Revo
masih menatap Alea.
“Berhenti lihatin gue kayak gitu enggak?”
“Siapa suruh muka lo bikin gue enggak pernah bosen buat ngelihatin lo?”
jawab Revo.
“Apaan, sih, emang kenapa muka gue?”
“Lo cantik, Le.”
Sesaat kemudian, Revo tertawa. “Tapi, boong. Oh, iya,gue mau ngomong
sesuatu.”
Alea menghela napas berat. “Dari tadi juga lo udah ngomong.”
“Tapi, sekarang gue mau ngomong serius.” Air muka Revo memang
langsung berubah menjadi serius.
Alea mengerutkan dahinya. “Ngomong apa?”
“Ada yang mau nikah.”
Alea semakin bingung. “Apaan, sih, lo? Katanya mau ngomong serius.”
“Ya, gue serius, ada yang mau nikah.”
“Nikah?”
Revo mengangguk. “Iya, kok, lo kayak enggak percaya banget, sih?”
“Siapa yang mau nikah emangnya?”
Revo kembali tersenyum, senyum yang sama sekali takdapat dia mengerti
apa maksudnya.

Setelah Revo pulang, Alea memasuki rumahnya. lalu dudukdi sofa. Alea
masih tak bisa berhenti tersenyum, Alea sangatbahagia mendengar apa yang
Revo sampaikan tadi.
“Heh, gila lo, ya? Ngapain lo senyum-senyum sendiri?”Seseorang
menimpuk Alea dengan bantal sofa, lalu duduk di samping Alea seraya
memakan snack yang dia pegang.
“Enggak pa-pa,” jawab Alea, dia masih saja senyumsenyum sendiri.
“Bahagia banget, sih, lo kayaknya? Balik sama siapa lo tadi?” tanya Leon.
Alea terdiam sejenak, haruskah dia mengatakan jika dia pulang bersama
Revo? Bukankah Leon sangat tidak setuju jika Alea berpacaran denganRevo?
Haruskah dia mengatakan Revo telah resmi menjadi kekasihnya satu bulan
yang lalu?
“Enggak usah ditutup-tutupin lagi. Lo balik sama pacarlo, kan, tadi? Lo
udah jadian, kan, sama Revo waktu lo ke pantai itu?” tanya Leon. Alea
menunjukkan deretan giginya.
“Iya, Bang.”
Tak lama, Leon tersenyum hangat ke arah Alea. “Gue seneng, kok, kalo
lihat adek gue seneng. Dan, gue baru sadar, ternyata Revo orang yang bisa
bikin lo selalu bahagia.Gue setuju, kok, kalo lo sama Revo.”
Alea membulatkan matanya ke arah Leon. “Seriusan lo, Bang?”
“Iya, tapi kalo sampe dia nyakitin lo lagi. Jangansalahin gue, ya, kalo
pacar lo kenapa-kenapa?”
Alea memeluk Leon yang ada di sampingnya dengan erat. “Love you,
Bang!”
Leon berdecak kesal menahan tubuh Alea yang memeluknya begitu erat.
“Iya, iya, maaf, ya, gue pernah ngelarang lo buat deket sama Revo. Soalnya,
sesuai pengamatan gue sebagai playboy yang andal. Gue kira, Revo itu
cowok yang enggak baik buat lo. Ternyata, lo bahagianya kalo sama dia. Dia
juga sayang sama lo.”
“Iya, enggak pa-pa. Eh, iya, Bang, lo tahu enggak?”
“Tahu apa?” tanya Leon bingung.
“Masa, tadi Revo bilang, ada yang mau nikah.”
Leon mengerutkan dahinya. “Nikah? Gila lo, ya, baru pacaran sebulan
udah mau nikah aja? Siapa yang mau nikahemangnya? Lo mau nikah sama
Revo?”
Alea tersenyum dengan senyuman yang tak dapat Leonmengerti.
“Le, lo gila, ya, senyum-senyum sendiri lagi?”“Lo serius mau nikah
sama Revo?”

Alea menatap dirinya di depan cermin, merias wajahnya agar terlihat lebih
sempurna. Dia mengenakan dress di bawah lutut berwarna putih. Dia rasa
dirinya sangat aneh.
“Kamu cantik.” Tante Catherine menghampiri Alea,lalu membereskan
beberapa helai rambut Alea.
“Tante, dong, yang lebih cantik.”
“Makasih, ya, Cantik. Kamu bikin keluarga Tantekembali bahagia, kamu
emang ajaib. Jangan pernah pergi tinggalin Revo, ya?” pinta Catherine.
“Revo beruntungmilikin kamu.”
“Enggak, kok, Tante. Revo sebenernya bisa aja dapetin yang lebih baik
dari aku.” Alea tersenyum, Catherine mengelus pipi Alea.
“Yang cantik banyak, tapi yang kayak kamu, kan, jarang.” Catherine
tertawa kecil.
“Kamu ada di saat Revo terpuruk, kamu bener-bener buat Tante kembali
sembuh total seperti sekarang, bahkan kamu bisa lunakin Om Gerald yang
kayak batu, bikin Revo sama Reynand baikan lagi. Pokoknya, makasih.”
Catherine mengecup kening Alea.
“Sama-sama, Tante.”
“Tante harap, kamu jodohnya Revo nanti.” Pipi Alea langsung memerah.
Dia menatap Catherine sejenak, lalu menundukkan kepalanya. Biasanya,
ucapan seorang ibuakan menjadi kenyataan.
“Ya, kan, enggak ada yang tahu, Tan,” jawab Aleadengan malu-malu.
Catherine tertawa gemas.
“Kamu itu lucu banget, sih.” Catherine menarik Alea ke dalam
dekapannya.
“Oh, iya, kamu ditanyain Revo di bawah,” ujarCatherine. Alea
mengangguk.
“Alea ke bawah dulu, ya?” pamit Alea seraya tersenyum.Catherine
mengangguk.
Alea menatap Revo yang sudah rapi mengenakan kemeja yang dibalut
oleh jas hitam.
Revo menatap Alea dari atas hingga bawah, lalu terkekeh kecil. Alea
bingung.
“Apaan, sih!”
“Lo mau ngapain? Jadi badut?” Revo tertawa.
“Emangnya gue aneh?” tanya Alea lalu menghampiri cermin besar di
dekat sana. Dia membenarkan rambutnya.
“Lo gendut.” Revo tertawa jail.
“Bisa enggak, sih, lo enggak usah bikin emosi sehari aja?”
“Bisa enggak lo enggak usah emosian sama gue sehariaja?” Revo
mengikuti gaya bicara Alea.
“Enggak usah ngambek. Lo jelek kalo lagi ngambek.” Revo mengacak-
acak rambut Alea.
“Lo cantik, kok.” Revo menarik lengan Alea dan membuat gadis itu
menatapnya. Dia membenarkan rambut Aleayang telah dia buat berantakan.
Dia tertawa gemas, lalumencubit pipi gadis itu. Entah mengapa, hal
sesederhana itu membuat jantung Alea berdebar sangat kencang.
“Woi, acaranya udah mulai. Pacaran mulu.” Farrelmenghampiri Alea dan
Revo dengan tatapan tajam, tapi itu malah membuat wajah Farrel semakin
lucu.
“Muka lo biasa aja kali!” ujar Reynand seraya meraup wajah Farrel. Iya,
Revo sudah membebaskan Reynand karena lelaki itu tak sepenuhnya salah
dalam rencana busuk itu. Tetapi, dia membiarkan Aria dan Bella untuk tetap
mendekam di penjara agar mereka jera.
Alea dan Revo saling bertatapan, lalu tertawa ketika kembali melihat
wajah Farrel.
“Pantesan lo jomlo.” Revo meledek Farrel dan menarikAlea untuk
memasuki acara.
Para tamu menatap kagum Revo yang memiliki paras tampan, Alea juga
memiliki wajah yang sangat imut dan menggemaskan.
“Rev, kok, adeknya enggak disuruh tidur?” ledek seorang gadis seumuran
mereka. Revo hanya tertawa menatapAlea.
“Kalian cocok, kok. Semoga cepet nyusul TanteCatherine, ya.” Gadis itu
tertawa setelah meledek mereka.
Revo tersenyum simpul menatap Catherine dan Geraldkembali bersama.
Rasanya sangat bahagia, ketika melihat semuanya kembali harmonis.
Reynand bertugas untukmenyambut tamu di depan sana.
“Kenapa lo senyam-senyum?” Alea menatap Revo.
“Makasih, ya, udah bikin keluarga gue balik lagi.” Revomenatap intens
Alea. Alea tertawa.
“Bukan karena gue, emang Tuhan udah berkehendak kalian buat bahagia.
Setiap orang berhak bahagia.”
“Menurut gue, Tuhan terlalu adil.”
“Kenapa?”
“Tuhan ngirimin bidadari secantik lo, terus balikinkeluarga gue. Gue
enggak nyesel, ya, gitar gue kebantingsama bidadari,” ledek Revo.
Alea mendorong bahu Revo. “Lebay lo!”
Dari jauh, Farrel memberikan isyarat kepada Alea dan Revo untuk
melempar buket bunga.
Alea dan Revo melempar buket bunga tersebut.Semuanya berebut bunga
yang tertaut sangat indah. Alea dan Revo juga ikut tertawa bahagia.

Acara pernikahan Catherine dan Gerald sudah selesai. Alea melepas beberapa
aksesori di kepalanya.
Suara ketukan pintu membuat Alea menoleh ke arah sumber suara itu.
“Masuk,” sahut Alea lembut. Suara ketukan itu kembali terdengar, Alea
menghela napas, lalu membuka pintu kamaritu. Namun, sama sekali tidak ada
orang di sana.
“Tante Catherine?” Lampu di rumah Catherine padam.Hanya lampu
kamar yang Alea tempati dan satu titik cahayayang dia lihat.
Dia menyusuri koridor rumah Revo, kini Revo sudah tinggal di salah satu
perumahan di daerah Jakarta bersamaCatherine, Gerald, dan Reynand. Revo
sudah tidak menempati apartemennya.
“Tante di mana?” Alea menyusuri koridor rumah Revo. Jika kondisi
rumah Revo sangat gelap dan tidak ada orang, lalu yang tadi siapa?
“Rev, ini kerjaan lo, kan?” tanya Alea gemetar. Kakinyamulai gemetar,
debaran di dadanya sudah sangat kencang. Napasnya tak karuan.
“Revo. Rev, bercanda lo enggak lucu tahu enggak?!” Alea setengah
berteriak. Dia sangat ketakutan.
Kaki Alea sudah melemas, kepalanya terasa sangatpusing jika gelap. Dia
terjatuh dan menangis sejadi-jadinya,dia sangat takut pada gelap.
“Rev—gue—takut.” Suara Alea terdengar sangat parau.
Seketika, lampu menyala, Revo menghampiri Alea yangtengah menangis
sejadi-jadinya. Dengan tatapan malas,Alea menatap Revo.
“Lo, tuh, kenapa, sih, ngeselin banget!” dumel Alea. Namun, dia langsung
menelungkup di lengan Revo. Revo terdiam, sesungguhnya dia merasa
bersalah. Tangannyasempat kaku, dia bingung harus berbuat apa. Pada
akhirnya, dia mengelus bahu Alea untuk menenangkan gadis itu.
“Maafin gue, ya?” pinta Revo lembut. “Jangan nangis.”
“Bercanda lo enggak lucu!” Alea memukul lengan Revo.Tak lama
kemudian, Alea mendongak. Revo melengkungkansenyum di bibirnya, lalu
mengelus rambut Alea denganlembut. Namun, Alea menepisnya.
“Tahu, ah. Gue bete sama lo!” Alea hendak bergegaske kamar itu
kembali. Namun, Revo menahan tangannya.
“Jangan marah, jangan nangis lagi, ya.” Revo memberikan buket bunga
yang sangat indah, boneka, dan cokelatyang ada di dalamnya.
“Kalo cewek suka bingung disuruh pilih bunga, boneka,atau cokelat, buat
lo semuanya.” Revo menatap lekat Alea. Namun, Alea masih tak ingin
mengambilnya.
“Ambil, dong, jarang-jarang, kan?” ledek Revo seraya mengacak gemas
rambut Alea. Alea menghapus air matanyadan mengambil bunga dan cokelat
tersebut.
“Lo nyolong di mana? Perasaan, tadi buketnya kebanyakan mawar.” Alea
menghapus air matanya dan menatap buket bunga itu dengan senang.
“Enak aja, itu gue pesen istimewa ke abangnya,” ujar Revo dengan
ekspresi yang sangat lucu. Alea tertawa.
“Gue bilang, gue mau bunga yang bakalan kasih banyakarti dan makna
ketulusan buat pemiliknya nanti. Karena, pemiliknya punya hal serupa. Gue
bilang ke abangnya, itu bunga matahari yang selalu setia menanti mentari.
Dan, mentari selalu gelisah untuk menunggu pagi.”
Alea tertegun sejenak dengan kata-kata Revo. Pipinya memerah, lalu dia
tertawa. “Makasih.”
“Tapi, lo pesen ke abang-abang bunga yang ngurusin buket di nikahan
nyokap-bokap lo juga, kan?” tanya Alea. Revo terdiam, lalu mendekati Alea.
Alea terdiam, mau apa Revo? Alea terus melangkah mundur, hingga
tubuhnya terpepet tembok.
“Kalo, iya, lo mau apa?” ledek Revo yang semakinmendekati Alea.
“Gu ... gue.” Alea mencoba menatap Revo yang sudah terlebih dahulu
menatapnya dengan lekat. Dia meremas bajunya sendiri.
“Hm?” Revo menaikkan satu alisnya.
Alea memejamkan matanya. Dia terlalu takut menatapRevo sedekat itu.
“Kalo diajak ngomong, lihat orang yang ngajak longomong.”
Alea membuka matanya, posisinya tetap sama.
“Lo mau ngapain, sih?” Alea gugup, dia kembali menutup matanya.
Revo tersenyum gemas menatap tingkah Alea, membuat gadis ini salah
tingkah, pipinya tiba-tiba memerah, itu sangat menggemaskan.
“Mau bilang mau lo jadi bulan atau jadi matahari,bunga matahari bakalan
selalu untuk lo,” bisik Revo tepat di telinga Alea. Lalu, dia meniup wajah
Alea dengan jailnya.
“Gue enggak akan apa-apain lo, Cantik,” ujar Revoseraya membenarkan
helai rambut Alea yang berantakan.
“Lo itu kenapa, sih, hobi banget bikin gue jantungan? Kayaknya, nih, ya,
pacaran sama lo itu mengakibatkanserangan jantung.”
Revo tak kuasa menahan tawanya akan jawaban Alea yang
menggemaskan.
“Emang kenapa jantungan? Lo mikirnya gue anehaneh, sih.”
Alea menatap Revo malas, dia kesal sekaligus malu.
“Gue cuma mau bilang, gue sayang sama lo. Walaupun,banyak yang
bilang muka lo pipi doang juga, gue tetep sayang.”
Alea menatap Revo kesal.
“Rev. Lo itu ngeselin banget, sih!” Alea memukul bahu Revo.
“Woi, sakit.” Revo berlari, tapi Alea tetap mengejarnya.
“Lo jail banget jadi orang. Bodo amat, gue kesel sama lo!” Alea terus
mengejar Revo dan mereka tertawa bersamadengan cara unik mereka.
“Tapi, sayang, kan?” mereka terus kejar-kejaran hinggamenimbulkan
suara gaduh di rumah itu.
Hai, Alea. Gue suka sama lo dari awal, dari awal lo jatuhingitar gue di
sekolah. Kalo lo yang jatuhin, gue ikhlas kalo gitar gue harus jatuh setiap
hari. Gue suka sama lo, gue suka saat loketawa, saat lo salah tingkah, saat lo
ngomong, saat lo bingung,bahkan saat lo marah gue juga suka. Makanya,
gue sengaja buatlo bingung sama gue, inget enggak waktu gue ngucapin
ulangtahun ke Farrel, padahal dia enggak ulang tahun? Padahal, itu buat lo.
Diem-diem gue nge-add LINE lo, terus muncul notif kalo lo ulang tahun. Lo
lucu kalo lagi marah, makanya gue sengaja buat lo marah. Intinya, gue suka
semuanya dari lo. Walaupun, gue terlambat buat ngakuin perasaan gue, ya,
enggak pa-pa, lah, daripada enggak sama sekali. Kalo gue boleh muter
waktu, gue enggak akan pernah nyakitin hati lo waktu itu, Le.Makasih
banyak, lo ngajarin gue arti kasih sayang, kesabaran, ketulusan. Bahkan, lo
kembaliin hidup gue yang udah hancur, lobuat hidup gue jadi lebih
berwarna. Mungkin enggak ada kata cukup untuk jelasin lo. Gue belajar dan
percaya akan banyak makna setelah kenal lo. Gue mungkin enggak akan
tahu apa itu ketulusan kalo bukan karena lo. Makasih buat
semuanya,makasih buat kisah yang menurut orang lain mungkin enggak
jelas, tapi menurut gue ini menggemaskan. I think i’m gonnalove you for a
long time. I love you too, pretty girl.
Penulis

Alya Ranti Azzahrah, lahir di Bekasi, 22 September 2002 dan


tertarikdengan dunia kepenulisan. Karena itu,dia mulai terjun di Wattpad
pada 2018. The Other Side adalah buku pertamanya. Selain suka menulis,
Alya jugasuka mendengarkan musik akustik. Baginya, mendengarkan musik
dan
menulis adalah sesuatu yang tak dapat dipisahkan.Untuk mengetahui Alya
lebih dekat dan membaca
karyanya yang lain, silakan cek media sosial:Wattpad :
@alyarantiInstagram : @alyaranti

Anda mungkin juga menyukai