PT Mizan Pustaka Jln. Cinambo No. 135, Kel. Cisaranten Wetan, Kec. Cinambo, Bandung 40294
Telp. (022) 7834310--Faks. (022) 7834311
Alya Ranti The other side/Alya Ranti, penyunting, Nurul Amanah dan Prisca Primasari.
ISBN 978-602-6716-61-3
Satu hari berlalu, tapi Alea tak kunjung menemukan Wakil Ketua OSIS SMA
Gempita dan Ketua Koordinasi Seksi Bidang yang dia pilih. Padahal, Alea
sudah mencari di semua tempat yang kirakira akan didatangi sosok itu. Alea
juga sudah stalk akun Instagram OSIS Gempita untuk mengecek formatur.
Namun percuma, sepertinya semuanya sudah dirancang dengan baik oleh
Aria dan rekan-rekannya.
Alea terpaksa keluar dari koridor sekolah dan menunggu angkutan umum
datang, tapi tidak ada yang lewat.Mungkin karena hari sudah terlalu sore.
Sebenarnya, Alea bisa saja menaiki ojek online, tetapihari ini Alea lupa
membawa ponselnya karena tadi pagi dia terburu-buru untuk ke sekolah.
Alea mencoba berjalan untuk kembali mencari angkutan umum. Namun,
tiba-tiba sebuah motor dengan kecepatan kencang tak sengaja menyerempet
kakinya sehingga dia terjatuh dan terhantam trotoar di sampingnya.
“Ah!” Alea memegangi kakinya yang berdarah. Sosokitu tampak melepas
helmnya, lalu beranjak turun dari motornya untuk menghampiri Alea.
“Hati-hati, dong, kalo bawa motor. Gimana, sih?”dumel Alea seraya
masih memegangi kakinya. Alea mendongak, lalu menatap orang itu lekat.
Dia lagi?
Alea tak mengerti mengapa semesta seakan kembali mempertemukannya
dengan sosok yang berwajah mirip dengan mantan kekasihnya itu.
“Lo?” Lelaki itu mengerutkan dahinya. “Maaf. Maaf banget sumpah, gue
bawa motornya ngantuk,” ujar lelaki itu. Alea masih menatap wajahnya.
Memang benar, wajah lelaki itu sudah tampak lesu dan mengantuk, tapi
nyatan yaitu malah menambah ketampanannya.
“Tapi, lo bisa enggak, sih, enggak usah minggir-minggirkalo bawa motor?
Kalo yang lo tabrak anak kecil gimana? kan, bahaya!” dumel Alea lagi.
Lelaki itu mengangguk.
“Iya, iya, gue minta maaf. Lo mau ke dokter?”
Alea menggeleng. “Enggak usah.”
Lelaki itu tampak mengamati kaki Alea yang tampak terluka karena
tertabrak motornya. “Tapi … kaki lo parah.”
“Enggak, gue enggak pa-pa,” tepis Alea.
“Coba gerakin,” pinta lelaki itu seraya sedikit mengangkat kaki Alea.
Alea meringis kesakitan karena itu. “Sakit. Gila lo, ya.”
“Lo yang gila. Kalo kaki lo enggak kenapa-kenapa, ya, enggak bakal
sakit, lah, kalo gue angkat. Kaki lo itu parah lukanya,” jelas lelaki itu seraya
menatap tajam Alea. “Kalo lo enggak mau ke dokter, gue harus anter lo
pulang. Biar gue obatin kaki lo,” ujar lelaki itu. Namun, Alea masihsaja
menatap lekat matanya. Lelaki itu benar-benar mirip dengan mantan
kekasihnya, meskipun dapat dibedakan.
Sesungguhnya, lelaki itu lumayan baik, tapi dekatdekat dengannya selalu
mengingatkan Alea pada sakit yangseharusnya sudah dia lupakan.
“Gue bisa jalan sendiri, kok!” Alea beranjak berdiri. Meski begitu,
kakinya yang sedang terluka tak mampuuntuk menopang tubuhnya sehingga
dia hampir terjatuh. Untungnya, lelaki itu menahan tangannya.
“Lo enggak usah sok kuat, deh. Ayo, gue anterin balik. Gue enggak mau,
ya, lo bilang gue tabrak lari.” Lelaki itu terdengar sangat memaksa.
“Yaelah, lebay lo. Siapa, sih, yang bakalan bilang lo tabrak lari? Lo pikir,
gue bakalan lapor polisi gitu? Ya, enggak, lah. Lagian juga, kan, tadi gue
udah bilang—” ujar Alea terpotong. Tanpa persetujuan Alea, lelaki itu
langsung membopong tubuh Alea ke atas motornya.
“Eh, apa-apaan lo?”
“Berisik!” sentak lelaki itu.
Alea memejamkan matanya. “Gue takut duduk miring begini. Kalo gue
jatuh, gimana?”
Lelaki itu menarik napas gusar. “Lebay lo. Nenek-nenek duduk miring aja
enggak pernah jatuh.”
“Ya, tapi, kan, gue bukan nenek-nenek.”
“Berisik lo!” Bukannya menggubris Alea, lelaki itu malah mengegas
motornya kencang.
“Woi, lo gila? Pelan-pelan bisa kali!”
Lelaki itu tidak memelankan kecepatan laju motornya. Dia malah
mengegas motor itu semakin kencang.
Alea spontan mencengkeram kuat baju lelaki yang ada di depannya.
Lelaki itu menatap Alea dari kaca spionnya sehingga Alea melepaskan
tangannya. “Maaf.”
Namun, lelaki itu tak menggubrisnya. Di menit-menitberikutnya, yang
tercipta hanyalah keheningan.
Lelaki itu terus melaju, Alea baru tersadar ini bukan arah menuju
rumahnya. Dia menepuk pundak lelaki didepannya. “Eh. Eh. Ini bukan arah
ke rumah gue.”
“Iya, emang enggak ke rumah lo,” jawab lelaki itu.
“Lo mau bawa gue ke mana?” tanya Alea panik. Namun,lelaki itu tak
menjawab pertanyaan Alea.
“Heh, lo mau bawa gue ke mana? Jangan bilang, lo mau nyulik gue.”
Lelaki itu berdecak kesal. Tak lama, motornya berhentidi depan sebuah
kafe yang belum pernah Alea kunjungi sebelumnya.
“Ngapain lo malah bawa gue ke kafe?” Alea bingung. “Beneran, kan, lo
mau nyulik gue? Gue teriak, nih?”
Lelaki itu turun dari motornya, lalu menatap Alea tajam. “Ngapain juga
gue nyulik cewek kayak lo?”
“Ya, terus ngapain lo bawa gue ke sini?” tanya Ale.
“Mau ketemu nenek gue!” jawabnya asal.
Alea mengerutkan dahinya. “Serius? Ngapain coba lo mau ketemu nenek
ngajak-ngajak gue? Jangan-jangan, lo kerja sama, ya, bareng nenek lo buat
nyulik gue?”
“Ya, enggak, lah.”
“Terus, kita ngapain?” tanya Alea lagi.
Lelaki itu sudah terlebih dahulu berjalan meninggalkan Alea. “Ya, mau
makan, lah, ngapain gue ngajak lo ke sini kalo enggak buat makan? Ayo!”
“Ya, sebentar, enggak sabaran amat.” Alea mencoba turun dari motor dan
berjalan pelan, tetapi kakinya terasasakit sekali. “Ah!” ringis Alea
memegangi kakinya.
Lelaki itu kembali menghampiri Alea, lalu menuntun Alea ke dalam. Alea
melihat tangan yang menyentuh bahunya. Aneh sekali, jantungnya berdebar
lebih cepat. Padahal, Alea belum mengenal lelaki itu.
Hanya karena wajahnya mirip dengan mantan kekasihnya, masa, iya, Alea
merasakan debaran yang sama?
“Lo mau makan apa?”
“Enggak, ah!” tolak Alea. “Lo aja enggak kenal gue,kenapa lo mau
bayarin gue? Atau, jangan-jangan, lo mau ngeracunin gue, ya?” tanya Alea
curiga.
Lelaki itu berdecak kesal. “Emang muka gue sekriminalitu, apa? Anggap
aja, sih, ini tanda permohonan maaf gue karena gue udah nabrak lo.”
“Enggak usah lebay, deh!”
“Lo diem di situ,” suruh lelaki itu.
Alea berdecak, lalu bergumam. “Emang kriminal.”
Namun, sepertinya gumaman Alea terdengar oleh lelakiitu sehingga dia
menoleh sejenak ke arah Alea sebelum dia berjalan ke arah kasir.
“Permisi, Mbak. Nasi goreng spesialnya dua, sandwich dua, ice tea-nya
dua, sama air mineralnya dua. Oh, iya,Mbak, ada kotak P3K enggak?”
“Ada, sebentar, ya, Mas.” Setelah Revo membayarmakanan yang dia
pesan, kasir itu memberikan kotak berisi obat-obatan kepadanya. Lalu, lelaki
itu kembali menghampiri Alea.
Alea terkaget saat lelaki itu menarik kaki Alea untuk mengobati kakinya
yang terluka. “Eh. Enggak sopan banget,sih, lo megang-megang. Sakit!”
ringis Alea ketika lelakiitu meneteskan obat ke bagian lukanya. Si lelaki
memutar kedua bola matanya malas.
“Bisa diem enggak, sih, lo? Nih, ya, kalo enggak diobatin kaki lo, tuh,
bisa infeksi, nanti ujung-ujungnya gue juga yang disalahin.”
“Lo, tuh, lebay banget, sih, siapa juga yang bakalnyalahin lo?” dumel
Alea. “Diem!” Lelaki itu kembali meneteskan beberapa cairanpada kaki
Alea.Alea menatapnya. Kenapa muka lo harus mirip sama dia, sih? Batin
Alea. “Udah, tuh. Cepet, kan, kalo lo diem,” lelaki itu mendongak dan sadar
Alea memperhatikannya.
“Enggak usah lihat-lihat.”
“Siapa juga yang ngelihatin lo?”
“Lo, lah.”
Alea berdecak. “Enggak usah kegeeran, deh.”
Dia menatap Alea datar dan berdiri untuk mengembalikan kotak itu. Tak
lama, pesanan mereka datang. Alea menatapbingung meja di depannya, yang
seketika terisi oleh begitu banyak makanan. Dia menatap lelaki itu malas.
“Eh, gila. Kan, gue bilang enggak mau makan. Lo ngapain pesenbanyak
banget?”
Lelaki itu menatap Alea lekat. “Lo, kan, lagi sakit.Orang sakit itu harus
banyak makan.”
“Apa hubungannya? Yang sakit, kan, kaki gue.”
“Pokoknya, lo harus makan!” lelaki itu memaksa.
Alea menatap lelaki itu tajam. “Gue enggak mau!”
“Makan. Atau, lo gue tinggal sendirian di sini!” ancam lelaki itu sambil
menatap Alea tak kalah tajam.
“Ya, udah, tinggalin aja,” tolak Alea. “Emang lo pikir gue bakalan takut?”
“Makanan itu mubazir kalo enggak dimakan, mendingan lo makan, deh.”
Alea menghela napas kesal.
“Ya, udah, lo makan aja duluan,” sahut Alea malas.
“Lo, lah, yang harusnya makan duluan, kan, lo yang lagi sakit. Gimana,
sih?” sentaknya.
“Ya, tapi, kan, lo yang beli makanan sebanyak itu. Jadi,harusnya lo yang
makan duluan, lah. Lagian, sejak kapan ada peraturan kalo orang sakit harus
makan duluan?”
Seorang pelayan di kafe itu menatap bingung kedua remaja yang tak
berhenti berdebat hanya karena perkara siapa yang harus makan duluan.
“Maaf, Mas, Mbak,” celetuknya. “Kalo enggak ada yangmau makan,
makanannya boleh saya yang makan aja enggak, ya?” tanyanya seraya
menunjukkan deretan giginya tanpa rasa bersalah.
Akhirnya, Alea dan lelaki yang ada di hadapannya punperlahan memakan
makanan yang sudah tersedia di atas meja sedari tadi. Mereka sejenak saling
bertatapan.
Revo Adriano
Terkadang, kenyataan memang sangat sulit untuk dipercaya.
Pagi ini, Alea harus masuk sekolah dan menyerahkansurat itu kepada Aria.
Namun, bahkan sampai kini pundia tak kunjung menemukan sang wakil
ketua. Kakinyamasih terasa sakit, tapi dia tahu dirinya harus tetap pergike
sekolah. Selain karena dia harus mengaku kepada Aria bahwa dia belum
menemukan wakil ketuanya, dia jugaharus mengumpulkan tugas sekolah.
Alea menghampiri Aria yang sudah terlebih dahuluberada di depan ruang
OSIS. “Kak Aria, saya belum dapat tanda tangan dari wakil Kakak,” ujar
Alea gugup.
“Kamu enggak sanggup?” tanya Aria ketus.
“Saya bisa, kok, saya cuma minta perpanjangan waktu,”jawab Alea, lalu
menundukkan kepalanya.
“Kamu baru masuk aja udah ngelunjak. Ya, udah, saya kasih waktu ke
kamu dua hari lagi. Tapi, gantinya, kamu harus lari keliling lapangan dua
puluh putaran,” suruh Ariatanpa melihat kaki Alea yang tengah berbalut
perban.
“Dua puluh putaran, Kak?”
Aria mengangguk tegas. “Iya, kenapa? Kamu enggak sanggup juga?”
Alea berpikir sejenak, bagaimana dia bisa berlaridengan kondisi kakinya
yang seperti ini? Alea menatapAria sejenak, mencoba meminta penawaran.
“Kak, tapikaki saya lagi sakit.”
“Lembek banget, sih, kamu. Saya enggak peduli. Pokoknya kalo kamu
enggak lari, ya, enggak ada perpanjangan waktu.” Lelaki itu tampak marah
dengan mata yang membelalak ke arah Alea.
“Iya, deh, saya lari.”
Alea pun mulai berlari mengitari lapangan. Namun, baru tiga putaran saja,
dia sudah jatuh tersungkur hingga sulit untuk bangun. Dan, sialnya, Alea
tidak melihat Aria di sana. Ternyata, Aria tidak mengawasinya.
“Ah, gila, sakit banget.” Dia memegangi kakinya. Namun, tak lama,
seseorang datang menghampirinya.
“Lo bego banget, sih. Udah tahu kaki lo masih pincang,ngapain, sih, lari-
lari?” sentak lelaki itu. Iya, itu lelaki yangkemarin menabraknya.
“Gue, tuh, lagi dihukum, awas!” jawab Alea. Dia ingin beranjak bangun,
tapi nyatanya tak bisa, dia pun kembali terjatuh. Lelaki itu menarik napas
sejenak, lalu membantu Alea untuk bangun dan menyuruh gadis itu duduk di
bangkuyang terletak di tepi lapangan.
“Lo jalan aja masih pincang, ngotak dikit kenapa, sih. Makanya, jangan
bandel, dihukum guru, kan?” Lelaki itu memarahi Alea.
“Sok tahu banget, sih, lo. Bukan guru yang ngehukum, tapi senior yang
hukum gue. Udah, deh, gue, tuh, haruslari lagi. Nanti kalo dia lihat gue
enggak lari, bisa abis gue. Minggir enggak lo?”
“Senior lo enggak punya otak apa gimana, sih? Udah lo diem aja, nanti
gue yang urus senior lo. Gila emang. Lo salah apa, sih, sampe dia nyuruh lo
lari-lari? Dia enggak lihat kaki lo lagi sakit begitu? Udah, deh, enggak usah
takutsama senior,” ujar lelaki itu dengan begitu perhatian.
“Enggak tahu, ah, gue pusing. Dari kemaren, guenyari orang, tapi enggak
ketemu,” jawab Alea. Lelaki itumengerutkan dahinya.
“Lo nyari siapa emang? Siapa tahu gue kenal.”
“Enggak, senior gue bilang, gue harus cari sendiri,”tepis Alea.
“Yaelah, santai aja kali. Gue juga enggak bakal ngomong-ngomong ke
senior lo. Emang lo nyari siapa, sih?” tanyanya penasaran.
Alea berdecak kesal. “Lo enggak perlu tahu.”
“Enggak usah takut sama senior, dia juga manusia kali.Siapa, sih,
emangnya yang lo cari?”
Alea menatap lelaki itu sejenak, lalu menghela napas.
“Jadi, gue, tuh, baru seminggu di sini, terus gue mau masuk OSIS. Nah,
ketuanya bilang, gue harus minta persetujuan sama wakilnya dulu. Tapi, gue
enggak tahu wakilnya siapa, gue udah nyari di mana-mana, tapi gue enggak
—” ujar Alea terpotong. Dia kaget dan matanya membulatketika lelaki itu
merebut surat yang tengah Alea pegang. Lelaki itu membacanya, lalu
menandatanganinya.
“Eh lo gila, ya? Itu, kan, enggak boleh di coretcoret. Aduh.
Kenapa lo asal tanda tangan aja, sih? Nambahin masalah aja tahu enggak,
sih, lo,” dumel Alea.
“Nambahin masalah gimana, sih?”
“Ya, lo nambahin masalah, lah. Kalo ketos gue tahu, dia bisa tambah
marah sama gue. Kertas itu enggak bolehdicoret-coret. Kalo waketos gue
marah terus malah enggakmau tanda tangan gimana? Lo mau tanggung
jawab?”
Lelaki itu justru tertawa. “Yaelah, kocak banget, sih, lo.Nih, ya, ketos lo
enggak bakalan marah sama lo. Apalagi waketos lo.”
“Hah? Enggak bakalan marah gimana, sih? Ketos gue itu galak banget.
Gimana kalo misalnya wakilnya lebihgalak dari dia? Mereka pasti bakalan
marah, lah, gara-gara kertas itu dicoret-coret!”
“Katanya lo lagi nyari Wakil Ketua OSIS, kan?” tanyanya.
“Iya.”
“Ya, udah sana kasih ke Aria.”
Alea mengerutkan dahinya. “Apaan, sih? Ya, lo sama aja palsuin tanda
tangan, dong!” jawab Alea kesal. “Loemang pengin lihat gue dimarahin abis-
abisan lagi, ya?”
“Palsuin apaan, sih? Aneh lo. Udah kasih ke Aria sana. Bilang sama dia,
otak dipake jangan ditaro dengkul. Senioritas aja terus sampe mampus,” ujar
lelaki itu dengan beraninya. Alea menatapnya bingung. Sepertinya, lelaki itu
sadar gadis di sebelahnya tengah kebingungan.
“Gue wakil ketua OSIS,” ujarnya.
Alea menggeleng tak percaya. Dia mengamati lelaki itu dari atas hingga
bawah.
“Hah? Apa?”
“Gue wakil ketua OSIS,” ulangnya lagi.
“Boong. Masa, wakil ketua OSIS begajulan kayak lo?”
“Dih, terserah kalo enggak percaya.”
“Emang enggak percaya.” Alea melongo sekaligusberpikir.
“Di mana-mana anak OSIS itu keren, pinter, berwibawa.Mana ada wakil
ketua OSIS kayak lo?”
“Ya, udah, terserah lo, lah. Nih.” Lelaki itu mengembalikan surat itu
kepada Alea, lalu pergi meninggalkan Aleasendiri di lapangan.
Alea menatap sosok itu dari belakang. Masa, iya, lelakiseperti dia wakil
ketua OSIS sekaligus ketua koordinasi?
Setelah itu, dengan perlahan Alea berjalan untukmemasuki ruang
kelasnya. Alea menghela napas sejenak, kemudian duduk di bangku
kelasnya. Dia terus berpikir, apakah mungkin bahwa lelaki yang mirip
dengan mantannya itu seniornya? Wakil ketua OSIS pula.
“Gila, gila, gila!” seru seorang cewek di kelasnya. “Gueketemu sama Kak
Revo tadi. Ganteng banget, coy!”
“Ih, gue juga ketemu Kak Revo di parkiran. Kak Revo punya gue
pokoknya.”
“Enggak. Dia pangeran di hati gue.”
Alea bergidik geli mendengar percakapan teman-temansekelasnya yang
sedari tadi membicarakan seseorang bernama Revo. Sepertinya, sudah setiap
hari dia mendengar nama itu. Alea menoleh ke arah Acha, teman sekelasnya
yang tengah memainkan ponsel.
“Cha!” panggil Alea.
“Hm?” Acha menyahut, masih sibuk dengan ponselnya.
“Revo—siapa, sih? Kok, tiap hari gue denger Reva RevoReva Revo,”
dumel Alea.
Acha terkekeh kecil. “Orang ganteng, Le. Kayak enggaktahu aja nasib
orang ganteng di Gempita gimana. Samakayak cewek cantik macem gue ini,
jadi buah bibir setiap hari,” sahut Acha.
Alea bergedik geli. “Najong!”
“Lo anak OSIS, kan? Masa, enggak kenal Revo, sih?” tanya Acha
bingung.
Alea mengerutkan dahinya. “Emangnya, Revo siapa, sih?”
“Enggak usah gitu. Jelek. Revo, kan, Waketos Gempita.”Acha
menjelaskan. Alea hanya mengangguk seraya mencerna perkataan Acha.
Setelah mencerna ucapan Acha, Alea mengingat sesuatu. Berarti, Revo orang
yang dia cari-cari.
“Lo tahu enggak orangnya yang mana? Seriusan dia waketos?” tanya Alea
menggebu-gebu. Acha mengangguk.
“YANG MANA? ANTERIN GUE KE DIA BALIK SEKOLAH, YA?
PLEASE!” teriak Alea di telinga Acha. Acha mendorong kepala Alea pelan.
“Enggak usah pake teriak di kuping bisa enggak, ya, Ibu Alea? Lagian
ngapain, sih, lo nyariin waketos sendiri? Setahu gue, nih, ya, di OSIS ada
peraturan kalo sesama anggota OSIS itu dilarang pacaran. Masa, lo enggak
tahu, sih?”
“Cha, siapa yang mau ngajak dia pacaran coba? Ketos gue nyuruh gue
minta persetujuan dari waketosnya dulu, baru, deh, gue resmi jadi OSIS. Lo
mau, kan, nganterin gue?Dia kelas berapa?” tanya Alea.
“Iya, Alea. Iya. Dia XII IPA 2, nanti gue tunjukin, deh,orangnya yang
mana, yang paling ganteng pokoknya,”jawab Acha.
“Makasih, Cha. Lo baik, deh.” Alea memeluk tubuh mungil Acha.
“Lebay lo, ah!”
Sepulang sekolah, Acha menemani Alea ke depan kelas XII IPA 2. Matanya
mencari seseorang di antara ramainya siswadan siswi SMA Gempita yang
berlomba-lomba untuk segerapulang ke rumahnya masing-masing. Tak lama
kemudian, mata Acha membulat ke satu titik, lalu menepuk pundak Alea.
“Le, itu!”
“Itu Kak Revo!” Acha menunjuk seseorang yang hendakberjalan.
“Yang mana?” Alea menyipitkan matanya.
“Itu! Yang pake jaket biru dongker. Cepetan kejar, dia mau balik, tuh.”
Acha menunjuk orang itu.
“Ayo, temenin.”
“Kejar sendiri, ah, Le. Laper, nih, gue, mau makan,” cengir Acha. Alea
mengangguk pasrah, temannya itu memang suka sekali makan.
“Ya, udah, deh. Makasih, Cha.” Alea berjalan cepatmengejar Revo. Dia
berjalan sangat cepat. Namun, ternyataRevo berjalan jauh lebih cepat.
“Permisi, permisi.” Alea menyelak orang-orang yang tengah berjalan di
depannya.
“Kak!” Lelaki itu tidak menoleh ke arah Alea dan tetap berjalan.
Sepertinya, dia memang tidak mendengar.
“Kak!” Alea sedikit berlari walaupun sebenarnya kakinya masih sangat
sakit untuk dibawa berlari.
“Kak Revo!”
Lelaki itu berhenti berjalan dan menoleh ke arah Alea. Napas Alea masih
menggebu-gebu, bulir-bulir keringat punbercucuran dari wajahnya.
“Kak, saya boleh minta tanda tang—” ujar Alea terpotong. Lelaki itu
menoleh ke arahnya dengan tatapan datar. Ternyata, memang benar. Lelaki
itu benar-benar WakilKetua OSIS Gempita dan lelaki most-wanted yang
paling sering dibicarakan.
“Lo?” Alea berhenti berbicara.
Revo menarik napas gusar. “Baru percaya?” tanya Revo.
Alea mengangguk. Revo menatapnya tajam.
“Udah berapa kali, sih, gue bilang? Kaki lo itu lagi sakit,enggak usah
petakilan!” sentaknya. Alea masih melongo menatap wajah lelaki itu.
“Lo enggak percaya banget, sih? Udah sana kasih suratnya ke Aria,”
suruh Revo. Alea mengangguk.
“Jadi, lo senior gue?” tanya Alea tak penting.
“Iya, makanya lo enggak usah songong,” jawabnya.
Jadi, gue bakal ketemu mulu, dong, sama dia? Ya Tuhan, gimana gue
mau move on? batin Alea mengeluh.
“Sana, kasih ke Aria. Atau, gue batalin, nih, tanda tangannya?” ancam
Revo.
“Eh, jangan, dong, Kak.”
“Pake kakak-kakakannya kalo lagi di OSIS aja. Enggak cocok muka lo
jadi junior budiman,” tepis Revo.
“Panggil Revo aja.”
“Oh, oke. Gue Alea,” ujar Alea seraya mengulurkan tangannya.
“Udah tahu!”
“Tahu dari mana?”
Revo terkekeh kecil.
“Tahu, lah, apa coba yang enggak gue tahu?” tanya Revo dengan percaya
dirinya.
“Lo nguntit gue, ya?” Alea menajamkan tatapannya.
“Enggak usah kepo lo. Kayak Dora!” sahut lelaki itu.“Udah, kan? Gue
masih ada urusan.” Dia segera berjalan meninggalkan koridor.
“Eh, entar dulu!”
“Apa lagi?” tanya Revo.
“Lo belum nulis nama lengkap lo di sini,” jawab Alea seraya
menunjukkan kertas yang sudah Revo tanda tangan.
“Nama lengkap gue enggak tahu juga?” tanya Revo.
Alea menggeleng seraya tersenyum.
“Enggak usah senyum. Jelek lo. Sini kertasnya!” ujar Revo ketus, lalu
menuliskan nama Revo Adriano di sana.
“Makasih.” “Makasih doang? Junior laknat emang lo,” dumel Revo. Alea
berdecak kesal. “Lah, terus maunya apa?”
“Makasih, Waketos ganteng,” jawab Revo dengan PD.“Kenapa, sih, lo,
tuh, narsis banget?”
“Cepetan. Gue batalin, nih, tanda tangannya. Gue bakal bilang ke Aria
kalo lo maksa minta tanda tangangue,” ancam Revo.“Dih, ogah. Apa banget,
sih, lo?” dumel Alea tak terima.“Cepetan!”“Iya, iya. Makasih, Waketos gan
—teng,” ujar Alea penuh penekanan.“Udah, jauh-jauh sana lo dari gue!” usir
Revo.Alea menarik napas kesal. Walaupun, Revo memang sangat
menyebalkan, setidaknya Alea sudah melaksanakansyarat dari ketua OSIS-
nya.
“Kalo banyak yang bilang gue berengsek, ngapain masih percaya sama gue?
Kapan gue minta lo buat percaya sama gue?”
“Gue percaya sama lo karena gue sayang sama lo.”
“Lo sadar diri aja, deh, lo itu jauh dari tipe cewek gue. Gue juga malu
ngakuin lo jadi pacar gue di depan temen-temen gue.”
“Kenapa lo jahat sama gue, Rey? Lo jahat. Jahat!”
Setelah lama di perjalanan, mereka akhirnya tiba di jalan menuju rumah Alea.
Namun, napas Alea menjadi pendek, gerakannya pun menjadi tak karuan.
Dia meremas kuat tangan Revo disampingnya tanpa sadar. Air matanya
mengalir. Napasnya benar-benar tak karuan.
“Heh. Woi. Bangun. Ngigo lu aneh tahu, enggak?” Revomenepuk pelan
pipi Alea agar gadis itu tersadar.
“Enggak. Lo jahat!”
“Nenek lo jahat? Bangun, woi!” Revo menggerakkan lengan Alea agar
gadis itu terbangun. Namun, tingkah Aleamasih sama.
“Ini anak kesurupan apa ketindihan, ya?” Akhirnya, perlahan Alea
membuka matanya dan memegang pipinya yang terasa panas.
“Kok, lo nampar gue?” tanya Alea linglung.
Revo semakin bingung. “Tadi, lo ngigo, gue kira loketindihan,” jawabnya.
Alea mengerutkan dahinya. Dia menarik napas sejenak,menenangkan
dirinya dari mimpi buruknya.
“Ya, sorry, abis lo ngigonya aneh.”
Alea menatap lekat mata Revo.
Gue enggak boleh samain dia kayak Reynand. Mereka orang yang beda.
Alea memegangi kepalanya yang terasa sakit.
“Lo sakit, kan? Gue bilang juga apa. Ngeyel banget, sih,” ujar Revo.
“Salah sendiri tadi lo enggak mau pake jaket.”
“Enggak, gue enggak pa-pa, kok,” tepis Alea. Dia menatap Revo sangat
lekat, tapi melihatnya justru membuat air matanya nyaris terjatuh lagi.
“Enggak pa-pa apanya, orang lo—” kalimat Revo terpotong.
“Gue cuma mimpi buruk, seriusan, deh,” tepis Alea seraya mengangkat
kedua jarinya. Namun, air matanya sudah tertahan di kantung matanya.
“Lo—nangis?”
Alea menggeleng, dia memalingkan wajahnya dariRevo. “Enggak. Gue
enggak nangis.”
“Beneran?”
Alea hanya mengangguk tanpa menoleh.
“Gue serius, Alea.” Revo menarik lengan Alea agar diamenoleh ke
arahnya.
“Gue juga serius, gue enggak pa-pa.” Alea meyakinkan.
Revo mencondongkan tubuh dan meniup sekilas mataAlea sehingga mata
Alea berkedip dan air matanya ikut mengalir.
“Perih, dodol!” Alea mengusap matanya sendiri.
“Ya, makanya lo jangan nangis, dong. Gue, kan,jadi bingung,” ujar Revo.
“Gue, kan, udah bilang, gue mimpi buruk. Gue enggak nangisin lo, kok.
Jijik juga,” sambung Alea.
“Makanya, lo kalo mau tidur baca doa dulu,jangan asal tidur,” kata Revo
lagi. “Udah gitu, kalo mau tidur enggak usah kebanyakan mikirin gue.”
Setelah dua minggu, Alea, yang kakinya sudah membaik, jadi jarang
bertemu manusia menyebalkan itu.
Revo sering melakukan dispensasi untuk mengikutiolimpiade atau
kegiatan lomba lainnya. Jarak kelas merekajuga cukup jauh, sehingga mereka
sangat jarang bertemu. Dan, malam ini, Alea jadi bingung. Kenapa dia malah
memikirkan Revo?
Hari ini, 22 Mei. Usia Alea genap 16 tahun, tapi Alea bahkan hampir
melupakan ulang tahunnya sendiri.
Alea mencoba mengambil ponselnya yang terletak di meja samping
tempat tidurnya. Matanya membulat ketika dia melihat notifikasi dari aplikasi
LINE miliknya.
“Hah?” Alea bingung. “Dari mana dia tahu gue ulangtahun?” Dia
membuka notifikasinya lebih jelas karena tulisan Revo yang muncul di
notifikasi hanya sepotong. Tapi, mengapa Alea sangat penasaran ingin
membukanya, ya?
OSIS GEMPITA 67
farrelradena
Bisa, dong, jangan sampe enggak bisa buat Alea mah, tapi ulang
tahun saya September, Le.
Alea mengerutkan dahinya. Jika Farrel tidak berulang tahun hari ini,
mengapa Revo mengucapkan ulang tahun kepada Farrel di grup OSIS?
Membingungkan.
“Serius Kak Farrel enggak ulang tahun?” Alea menggaruk belakang
kepalanya yang tidak terasa gatal samasekali.
Apa mungkin sebenarnya ucapan ulang tahun itubukan untuk Farrel,
melainkan untuk Alea? Jika memang untuk Alea, mengapa Revo tak
mengucapkannya secaralangsung saja?
Hari ini, Alea cukup dikagetkan oleh teman-temannyayang ternyata
mempersiapkan banyak kejutan untuknya. Padahal, dia baru sebulan
bersekolah di sini.
Karena terlalu banyaknya kejutan, Alea hampir lupa bahwa hari ini dia
masih ada kegiatan OSIS. Jam sudahmenunjukkan pukul 3.00 sore. Harusnya
dia ikut berkumpulpukul 1.00 siang tadi. Alea menepuk kepalanya sendiri.
“Duh, mampus gue!” ujar Alea.
“Jangan mampus dulu, lo belum bongkaran, nih,”sahut Acha.
“Cha, gue harusnya ngumpul OSIS setengah dua tadi,”kata Alea.
Acha menggelengkan kepalanya. “Tuh, kebiasaan, kan,lo mah. Ya, udah,
sana!” suruh Acha.
“Serius gue harus tetep ke sana?” tanya Alea lagi.
Acha memutar kedua bola matanya. “Iya, serius. Kalo lokabur hari ini
terus ketahuan ketos lo, malah makin parah. Tahu sendiri ketos lo gimana?”
Alea mengangguk mengerti, lalu mengambil tasnya.Membayangkan
karakter Aria yang memang keras kepala dan otoriter, Alea tahu bahwa
perkataan Acha benar.
“Gue duluan, ya, Cha. Makasih banyak,” ujar Alea, lalu bergegas pergi
meninggalkan kelasnya.
Dia melangkah memasuki ruang OSIS dan terlihat Ariasudah menatapnya
sinis dari jauh.
“Kamu serius di OSIS enggak, sih? Jam segini kamu baru dateng?” tanya
Aria ketus. “Ayo, ikut saya!” Lelaki itumenarik pergelangan tangan Alea
dengan kasar.
“HAPPY BIRTHDAY, ALEA!” Seketika, wajah Aleadipenuhi oleh
shaving cream. Dia terkejut ketika Aria menariknya ke koridor sekolah yang
tak jauh dari ruang OSIS. Ternyata sudah banyak sekali anggota OSIS yang
mempersiapkan kejutan untuk ulang tahun Alea.
“Make a wish,” suruh Bella. Alea terkekeh kecil. Dia mengharapkan
sesuatu di dalam hatinya.
“Gue harap tahun ini jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. Gue mau
jadi pribadi yang lebih baik. Gue harap bisa lupain Reynand. Gue harap ada
sosok yang lebih baik.”
Alea meniup lilin itu dan semua tampak bertepuktangan gembira.
“Saya enggak nyangka bakalan ada surprise kayak gini.Makasih banyak,
Semuanya,” ujar Alea. Dia tak sadar dirinya hampir menangis.
Namun, tunggu, sedari tadi dia tidak melihat sosokyang biasanya
tertangkap oleh matanya. Di mana Revo?
“Bebeb gue mana, sih? Kangen, nih,” tanya Vei.
Bella berdecak kesal. “Enggak usah ngakuin pacarorang!” sahut Bella.
Alea menggeleng. Masih sempat-sempatnya sajateman-temannya ini
berdebat.
Panjang umur, tak lama kemudian lelaki itu datang dengan wajah
datarnya. Revo duduk di salah satu kursi di koridor itu. Meski begitu, dia
hanya terdiam, sementara Alea masih sibuk tertawa dengan teman-temannya
dan beberapa kakak kelasnya yang ikut serta memberikan kejutanini
untuknya. Namun, tawanya seakan terhenti saat dia melihat mata yang diam-
diam memperhatikannya sedari tadi.
Tatapan itu masih sama, sama lekatnya dan samatajamnya seperti
sebelumnya. Alea mencoba membalastatapan lekat itu.
Dia kenapa, sih, ngelihatin gue kayak gitu? batin Alea.
Lelaki itu hanya terdiam, tak ikut merayakan seperti teman-temannya
yang bersorak heboh. Sebenarnya, apayang terjadi padanya? Dari raut
wajahnya, Revo seperti tengah menutupi sesuatu. Dan, mengapa matanya
selalu menatap Alea dengan begitu lekat?
Alea memotong kue ulang tahunnya dan membagikannya kepada rekan-
rekannya. Dia juga berencana untukmemberikannya kepada Revo yang
sedang sibuk dengan ponselnya di ujung sana. Alea pun melangkah
untukmendekati lelaki itu.
“Kak Revo mau kue, enggak?” tanya Alea.
Revo menatap layar ponselnya, lalu mematikannya.Dia mengalihkan
pandangannya pada gadis di depannya.
“Enggak, gue kenyang,” tolak Revo.
“Ih, serius.”
“Beneran, gue kenyang.” Revo kembali menolak sembari memainkan
ponselnya. Alea berdecak kesal dan dudukdi bangku di samping Revo.
“Ngapain, sih, lo di sini?” tanya Revo, sambil menatap Alea dengan
tatapan tajamnya.
“Ngasih kue,” jawab Alea memaksa.
Revo memutar kedua bola matanya. Akhirnya, diamengambil kue di
tangan Alea.
“Lo belum makan kuenya, kan?” tanya lelaki itu, yang tengah memotong
kue menjadi potongan kecil.
Alea menggeleng.
“Lo makan dulu, baru gue makan,” suruh Revo.
Alea mengerutkan dahinya.
“Ribet, deh. Makan tinggal makan.”
“Udah berani, ya, nyuruh-nyuruh senior?” tanya Revo.
Alea berdecak kesal.
“Ya, udah, deh, gue makan di sana. Jangan lupa dimakan, ya, Bapak
Waketos yang Terhormat,” ujar Aleayang hendak berjalan. Namun, Revo
menahan tangannya.
“Bukan gitu maksud gue.”
“Terus?” tanya Alea.
Revo tersenyum, yang membuat Alea semakin bingung.Seketika, wajah
Alea dipenuhi kue cokelat. Revo menumpahkan kue itu di wajah Alea dan
memutar-mutarkannya agar cokelatnya merata di wajah Alea.
Sialan, batin Alea menggerutu.
“Lihat kamera, dong.” Revo sudah memotret wajahAlea yang penuh
cokelat ketika gadis itu menoleh.
“REVO!”
“Kak Revo,” ujar Revo, menekankan bahwa kini mereka berada di
lingkup ruang OSIS, walaupun jarak merekalumayan jauh dengan beberapa
anak OSIS lainnya.
“Bodo amat. Lo kenapa, sih, ngeselin banget jadi manusia?” tanya Alea
kesal. Revo justru kembali asyik denganponselnya. Hal itu tentu membuat
Alea sangat emosi. “Eh, loitu bisa denger enggak, sih, di sini ada orang lagi
ngomong!”sentak Alea. Revo malah mengarahkan kamera itu lagi ke wajah
Alea. CEKREK. Lelaki itu mendapatkan foto wajah Alea yang penuh
cokelat, ditambah lagi dia sedang marah.
“Sialan!”
“Kasar!”
“Bodo amat. Hapus enggak fotonya?” paksa Alea. Namun, Revo tetap
tidak menggubrisnya.
“Hapus. Hapus fotonya!” paksa Alea, lalu mencobamengambil ponsel
Revo untuk menghapus foto-foto menyebalkan itu.
“Apaan, sih, lo megang-megang HP gue?” Revo menepistangan Alea
dengan cepat.
“Hapus, enggak?” suruh Alea lagi.
“Daripada lo nyuruh-nyuruh gue, mendingan lo makandulu itu kue di
muka lo!” ledek Revo. “Muka lo jelek, tahu enggak?”
Alea tak peduli dan tetap mencoba merebut ponsel Revo. Saat itu, kakinya
tergelincir karena lantai yang sedang dia pijak itu sangat licin. Spontan, Revo
menahan Alea agar dia tidak terjatuh.
Keduanya merasa kaget. Namun, Revo tetap bisa memasang wajah
datarnya walaupun sebenarnya dia jugaterkejut. Revo tahu apa yang Alea
rasakan sekarang. Gadis itu tak sepandai dirinya dalam mengatasi
kecanggungan dan hal seperti ini. Wajahnya terlihat menegang, panik,
memerah.
“Gu—gue mau bersihin muka.” Dengan wajah merahnya, Alea segera
berlari meninggalkan Revo. Dia menuju ke kamar mandi dan membilas
wajahnya dengan air. Dia menatap dirinya di cermin, lalu menepuk pipinya.
“Tenang, Alea, tenang.” Alea membasuh wajahnyakembali dengan air
untuk menenangkan dirinya. Hingga dia sadar ada tangan yang menepuk
pundaknya.
“Enggak!” teriak Alea kaget.
“Apaan, sih, lo? Lo ke mana aja? Gue cariin dari tadi lo enggak ada. Yang
ulang tahun siapa, yang ilang siapa, anak-anak OSIS udah pada pulang,” ujar
Bella.“Oh, ya? Maaf, Bell. Gue duluan, ya,” Alea tergesa-gesa.Bella
menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
“Itu anak kenapa? Mabok? Nambah umur bukannya makinbener. Mana
masih muda, untung tambah tua.”
Confused
Bukankah pergi meninggalkan memang lebih baik, dibandingkan terus
bertahan ketika kamu sudah disia-siakan?
Sore itu, Alea tak langsung pulang dari sekolahnya—SMA Garuda Merdeka
di Bandung. Dia harus mengikuti pelajaran tambahan musik yang diadakan
oleh Pak Didi. Saat itu, ponsel Alea bergetar bertanda ada notifikasi yang
masuk. Alea segera membuka notifikasi itu.
reynando: Alea, aku enggak bisa jemput kamu. Aku masih sakit.
tasyalea: Iya, enggak pa-pa, Rey. By the way, kamu di mana
sekarang?
reynando: Kamu lanjut belajar aja, aku enggak pa-pa.
Suara petir yang sangat gaduh mengingatkannya lagi akan hal itu. Alea
menutup kedua telinga dengan tangannya, sama seperti waktu itu.
Napas Alea masih tak karuan. Dia menatap Revo. Entahmengapa,
menatap wajah Revo seperti mengulik luka lamayang sebenarnya ingin dia
kubur dalam-dalam.
Kenapa kamu enggak bisa benar-benar pergi dari pikiranku?
Aku lelah, dengan bayang-bayangmu yang selalu membuatku terus
menginginkanmu.
Aku tahu, itu tidak akan terjadi lagi. Namun, mengapa akuselalu
menyayangimu walaupun kamu tidak bisa menjadi milikku?
Tolong, saat aku benar-benar menjauh. Mengapa kamu seolah berada di
pikiranku dalam bentuk orang lain?
Tuhan, apakah Engkau tidak mengizinkanku untukmelupakannya?
Mengapa selalu ada hal-hal yang membuatku teringat kepada dirinya?
Aku ingin melupakanmu, tapi sulit. Tapi, jika aku terus mencintaimu, aku
tahu diri. Hal-hal yang aku harapkan mustahil untuk terjadi.
Aku cukup peduli dengan hatiku yang sudah remuk. Akutidak ingin
hancur lebih dari ini.
Tuhan, tolong aku. Jika aku memang tidak bisa bersamanya lagi, tolong
jaga hatiku. Jangan biarkan aku jatuh cintakepada orang yang salah lagi,
izinkanku untuk bahagia. Aku sudah terlalu lelah dengan sakit yang selalu
kupendam sendiri.
Revo yang tengah asyik dengan gitarnya, menghentikanaktivitasnya
karena napas gusar gadis itu.
“Berisik banget, sih, lo!” ujar Revo dengan nada kesal. Namun, napas itu
semakin terdengar. “Berisik, Le!”
Napas Alea malah semakin terdengar jelas. Dia hampirmenangis, matanya
sudah berkaca-kaca. Revo meletakkan gitar dan mendekatinya. Suasananya
sangat gelap, hingga Revo harus menggunakan sinar ponselnya untuk melihat
wajah Alea.
“Lo kenapa?” tanya Revo dengan nada khawatir. Masalahnya, gadis itu
tak henti-hentinya melenguh.
“Alea.” Revo menyentuh punggung tangan Alea agar gadis itu membuka
matanya.
Alea membuka matanya sejenak, lalu memejamkannyakembali karena
sangat gelap.
“Lo—takut gelap, ya?” tanya Revo lembut, seolah mengerti sekali bahwa
perasaan gadis itu sedang tak karuan.
Alea menggeleng.
“Enggak, gue enggak takut. Gue cuma pusing kalogelap,” sambung Alea.
Revo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa yangharus dia lakukan?
“Rev, gue boleh enggak—” ujar Alea terpotong.
Revo membulatkan matanya ke arah gadis di depannya,menunggu
perkataan selanjutnya.
“Boleh apaan?” tanya Revo.
“Gue boleh, enggak—”
“Kalo ngomong yang jelas,” sentak Revo. Padahal, dia penasaran dengan
apa yang gadis itu inginkan.
“Gue boleh enggak minjem HP lo? Kepala gue pusingbanget kalo enggak
lihat cahaya sama sekali.” Alea memijitpelipisnya. “Boleh, ya? HP gue mati.”
Alea memohon. Aleamengalihkan pikiran serta mengendalikan rasa
takutnyadengan bermain game. Namun, ponselnya sekarang mati.
Revo bernapas lega. Dia kira, Alea ingin meminta apa. “Bilang dulu.”
“Bilang apaan?” tanya Alea.
“Kak Revo ganteng, boleh minjem HP, enggak?” jawab Revo usil.
Alea menghela napas kesal. “Kok, lo lagi kayak gini masih aja, sih,
sempet-sempetnya narsis?”
“Ya, udah, gue pulang.” Revo bergegas melangkah, tapiAlea menahan
tangannya.
“Apaan?” tanya Revo.
“Kak Revo ganteng, boleh minjem HP-nya, enggak?” tanya Alea
terpaksa.
Revo tertawa renyah, lalu mengacak rambut Aleadengan gemas. “Kocak
banget, sih, lo.”
Entah mengapa, tangan Revo yang mengacak rambutnya seakan kembali
menghadirkan desiran hangat yang takdapat dia mengerti.
Revo memberikan ponsel yang tengah dia genggamkepada Alea. “Nih.”
“Boleh?” tanya Alea senang.
Revo hanya mengangguk.
Alea dengan semangat memainkan game. Revo hanya menatap heran
gadis yang berada di depannya. Entahmengapa, matanya seakan tidak bisa
berhenti menatapgadis itu. Alea sangat unik, bahkan gadis itu bisa tertawa
riang hanya karena hal yang sangat sederhana.
“Yes! Dikit lagi! Yah, enggak kena!”
“Berisik lo!” sentak Revo.
“Gue menang, Rev. Gue menang!” ujar Alea senangdengan
menggoyangkan bahu Revo.
“Lo bisa diem, enggak?” Revo menurunkan tanganAlea secara perlahan.
Dia menatap gadis itu dengan tatapan tajamnya yang selalu berhasil
mengintimidasi lawanbicaranya. “Berisik tahu enggak, sih, lo!” lanjut Revo
lagi, membuat gadis itu kembali ke bangkunya.
Tak lama kemudian, aliran listrik di SMA Gempita sudah kembali normal.
Hujan pun tampaknya sudah mereda.
“Makasih, ya.” Alea mengembalikan ponsel itu.
“Hm.” Revo hanya berdeham.
“Kira-kira yang lain bakal ke sini lagi, enggak?” tanya Alea.
“Enggak kayaknya, udah malem,” jawab Revo seraya melihat jam
tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 malam. Alea mengangguk,
lalu mengambil tas miliknya dibelakang.
“Lo mau ke mana?”
“Mau pulang.”
“Dijemput?” tanya Revo penasaran.
Alea menggeleng.
Revo segera mengemas barang-barangnya dan memasukkan semuanya ke
tasnya. “Lo bareng gue aja. Bahaya kalo lo sendirian naik taksi malem-
malem gini.”
“Ah, otak lo kayak bapak-bapak. Sekarang, tuh, masihsore kali. Udah,
deh, gue duluan, ya.” Alea ingin beranjak jalan, tapi Revo sudah menahan
tangannya.
“Gue enggak mau debat. Pokoknya, lo bareng gue,” ujarRevo dengan
nada dingin, tapi penuh penekanan.
Alea menuruti kemauan Revo. Sebenarnya, yang Revo katakan benar.
Alea sendiri sedikit takut jika harus pulang sendirian, apalagi sudah gelap dan
masih hujan meskipun tak terlalu lebat.
Revo menatap gadis di sebelahnya yang masih sajaterdiam. Dia tak
berhenti menatap Alea sampai Alea menyadarinya.
Mereka selalu begitu, entah karena apa.
About the Secret
Ada beberapa hal yang tak bisa dilihat dan dinilai hanya dengan mata.
Sorenya, Alea harus pulang terlambat lagi karena ulangan susulan pelajaran
Fisika dengan Bu Lidya yang harusnya dilakukan tadi pagi ketika dia datang
terlambat.
“Akhirnya, bebas juga gue,” dia meregangkan otot-ototnya yang terasa
kaku, kemudian mengambil tasnya dan bergegas untuk pulang.
“Alea, Ibu buru-buru, mau ada acara mendadak. Kamu tolong kasih kunci
ini ke Mang Udin, ya?” pinta Bu Lidya.
Alea menghela napas kesal. Padahal, dia ingin langsungpulang.
“Mang Udin di mana, Bu?”
“Enggak tahu, kamu cari aja. Anak cantik.” Bu Lidya mencolek dagu
Alea. Alea pun dengan terpaksa mencari Mang Udin di seluruh koridor
sekolah. Sudah seperti tidak ada kehidupan, sangat sepi.
“Mang Udin!” teriak Alea dan segera menghampirilelaki paruh baya itu
dengan napas tersengal-sengal.
“Eh, Neng Cantik, ada apa, Neng?” tanya Mang Udin.
“Saya disuruh Bu Lidya ngasih kunci ini ke Mamang.” Alea memberikan
kunci itu kepada Mang Udin.
“Oh, iya, makasih, Neng. Saya duluan, ya, Neng.” MangUdin bergegas
pergi, entah ke mana.
Niat Alea untuk pulang terhenti ketika dia melihat koridor sempit di
belakang sekolah yang tidak pernah dia kunjungi. Rasa penasaran pun mulai
memenuhi isi kepalanya.
“Itu apa, ya?” tanya Alea. Dia berjalan mendekati koridor itu. “Eh,
jangan, deh, balik aja.”
Tapi, gue penasaran. Alea mendekati koridor sempityang tersembunyi di
dekat kamar mandi pria itu. Itu pun tertutup tripleks sehingga tak semua
orang menyadarinya.
Pelan-pelan, Alea menyusuri koridor itu. Ternyata itu jalan menuju
rooftop sekolah. Begitu sampai di rooftop, Alea baru tahu, ternyata sekolah
itu punya rooftop yangmemungkinkannya untuk menatap langsung langit
senja yang indah.
Alea menyipitkan mata. Sepertinya, dia tahu siapasosok lelaki di ujung
rooftop dengan rokok yang sedang dipegangnya. Dia menggelengkan kepala,
berpikir bahwa itu tak mungkin.
Alea mendekati sosok itu dengan ragu. Apa yang ada di hadapannya
sekarang benar-benar tak bisa dia percaya.
Itu bukan Revo dengan pakaian, rambut, dan wajahyang rapi seperti
biasanya. Rambutnya tampak acak-acakan,bajunya sudah berantakan dan
dikeluarkan, dasinya jugasudah tidak jelas alurnya. Dari raut wajahnya, Revo
tampak memiliki banyak masalah. Tatapan matanya juga terlihat kosong.
“Lo ngerokok?” tanya Alea ragu. Suaranya membuat lelaki itu menoleh
dan menatapnya lekat. Lalu, Revo kembali menoleh ke arah depan.
“Maaf kalo gue ganggu, gue balik.” Alea bergegas kembali dari tempat
itu. Namun, dia merasa ada tangan yang menahannya untuk tetap di situ.
“Duduk.”
“Enggak usah, gue mau balik.”
“Duduk, Alea,” paksanya dengan suara dinginnya.
Akhirnya, Alea duduk di tempat itu, lalu menatap Revodengan sedikit
rasa takut.“Lo tahu tempat ini dari siapa?” tanya Revo.“Gue tadi nyari Mang
Udin, terus gue enggak sengaja lihat koridor sempit. Gue penasaran, gue
enggak tahu kalo ini jalan ke rooftop.” Alea menjelaskan.
Revo hanya mengangguk.
“Lo jangan kasih tahu ke siapa-siapa tentang tempat ini.” “Bukannya ini
tempat umum?”“Pokoknya, jangan,” ujar Revo dengan nada yang
cukuptegas, membuat gadis itu hanya mengangguk.
Alea bingung, harus bagaimana dia bisa pulang. Namun, dia tak mau
Revo terus-menerus seperti ini.Kenapa, sih, gue harus peduli? batin Alea
bertanya-tanya.
“Uhuk ... huk.” Suara itu terdengar dari lelaki di sampingnya. “Huk.”
Lelaki itu kembali terbatuk.
Alea menatap Revo lekat.
“Lo enggak biasa ngerokok, ya?” tanyanya.
Memang benar, Revo bukan perokok akut. Dia hanya merokok di kala
terkena masalah yang tak bisa dia hindari lagi. Itu pun selalu membuatnya
terbatuk.
Alea segera merampas dan melempar rokok yang hendak Revo isap,
sekalian dengan bungkus rokoknya.
Mata lelaki itu menatap Alea tajam.
“Apaan, sih, lo? Hah?” bentak Revo.
“Lo, tuh, kalo punya otak dipake dikit, kek. Kalo udah tahu lo enggak
bisa ngerokok, ya, enggak usah ngerokok.Lo tadi udah batuk-batuk, terus
ngapain lo ngerokok? Lo mau mati?” balas Alea seraya berdiri. Dia tak
peduli Revo seniornya—yang dia ucapkan memang benar.
“Apa masalahnya, sih, buat lo?” tanya Revo kesal, lalu ikut berdiri dan
mendekati gadis itu.
“Rokok enggak baik buat kesehatan lo. Setiap masalahpasti ada jalan
keluarnya, tapi menurut gue rokok enggak bakal bisa nyelesaiin masalah lo!”
sentak Alea.
“Terus, apa yang baik buat gue?” bentak Revo dan terusmendekati gadis
itu. “Apa yang bisa nyelesaiin masalah gue? Hah? APA?” bentak Revo lagi
dengan suara yang jauhlebih kencang dari tadi. Suaranya benar-benar
menunjukkan bahwa dia sedang frustrasi.
Alea menatap bingung Revo yang seketika terdiam.Lelaki itu juga tampak
memegangi dadanya.
“Rev? Lo kenapa?”
Tak lama setelahnya, Revo tak lagi terlihat berdiritegak, tubuhnya terjatuh
secara perlahan.
“REVO!”
Alea mendekati lelaki yang sudah tak sadarkan diri itu.
Dia memegang punggung tangan lelaki itu.
“Rev, lo kenapa?” tanya Alea panik. Wajah Revo semakin pucat, keringat
dingin pun bercucuran dari tubuhnya, membuat Alea semakin panik. “Lo
kenapa, Rev?”
Entah apa yang terjadi—Alea juga tak tahu apa masalahyang tengah
dihadapi Revo sehingga lelaki itu bisa pingsandua kali hari ini.
“Rev! Jangan pingsan dulu, kek, gue enggak tahu harus gimana. Sekolah
udah sepi. Aduh.” Alea menggaruk kepalanya dan menatap wajah pucat
Revo. Dia kemudian melihat kunci mobil Revo di samping korek milik lelaki
itu.
“Enggak sopan, sih, tapi mau gimana lagi?” Alea mengambil kunci mobil
itu dan menuntun lelaki itu dengantersengal-sengal.
Dia sudah berteriak minta tolong dan meneriaki nama siapa pun, tapi tak
ada sahutan yang dia dengar. Mungkin karena sekolahnya sudah sangat sepi.
Akhirnya, Alea bisa membawa Revo ke rumah sakit.
Alea menatap lelaki itu dengan sedikit kecemasan di dalam hatinya.
Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Revo?Alea mengusap kedua matanya,
merasa sangat mengantuk,padahal baru pukul 6.30 malam.
Alea melihat lelaki itu mulai bergerak, menunjukkan bahwa dia sudah
sadar. Revo sepertinya teringat sesuatudan mencoba melepas infus di
tangannya.
“Heh, lo mau ngapain?” pekik Alea kaget ketika melihatinfusan itu sudah
lepas dari tangan Revo.
“Gue buru-buru.” Revo segera turun dari ranjang rumahsakit, lalu
mengambil kunci mobilnya dan berjalan cepat untuk keluar.
“Dia udah gila?” Alea menggaruk kepalanya sendirisebelum berlari
mengejar Revo yang bayangannya mulai menghilang.
Untunglah, Alea masih sempat menghampiri Revo yangsudah berada di
parkiran dan hendak memasuki mobilnya.
“Lo gila, ya?” Napas Alea masih terengah-engah karenalelah mengejar
Revo. “Lo enggak punya otak apa gimana, sih? Lo itu masih sakit. Gue aja
yang bawa mobilnya,”paksa Alea. Revo tak menggubris, dia sudah
memasukimobil dan menyalakannya. Sementara, Alea masih berada di depan
mobil Revo. Cahaya lampu mobil itu membuat Alea menyipitkan matanya.
“Lo mau mati?” sentak Revo.
Alea akhirnya memasuki mobil Revo, menatap aneh lelaki di sebelahnya.
Tak lama, Revo segera mengegas mobil itu dengankecepatan penuh.
“Eh lo—gila!” pekik Alea.
Selama perjalanan, kepala Alea terasa pusing karena Revo terus mengegas
mobilnya kencang-kencang. Revoterdengar mengklakson siapa saja yang ada
di depannya.
“Woi. Lo bawa mobil yang bener, dong.”
“Berisik.”
Tiba-tiba, Revo menabrak batu besar sehingga mobilnya menjadi melaju
tak terkendali. Untungnya dia segera sigap menghentikan mobilnya.
Alea menutup matanya dengan kedua tangan.
“Lo punya nyawa berapa, sih? Sembilan? Sepuluh?” tanya Alea kesal
dengan napas terengah-engah. “Lo hampirbikin gue mati tahu, enggak.”
“Gue enggak maksa lo ikut gue,” ujar Revo, sambil menepis ucapan Alea,
lalu membuka pintu mobilnya.
Alea baru sadar, kini mereka tengah berada di sebuah rumah sakit lain.
Tunggu, Revo kabur dari rumah sakit untuk ke rumah sakit? Untuk apa? Alea
ikut turun dari mobil Revo dan mengikuti langkah lelaki itu dengan bingung.
Revo memasuki salah satu ruang rawat inap di rumah sakit itu. Dia
menghampiri seorang wanita paruh baya yangtengah terbaring lemah di
ranjang rumah sakit.
“Mama?” Revo mencium punggung tangan wanita itu, lalu merapikan
rambut ibunya.
Alea menatap kejadian itu dengan haru. Ternyata, Revohampir melupakan
nyawanya karena ingin menjengukibunya. Mata lelaki itu tampak berkaca-
kaca.
Desiran tajam dan rasa sesak yang mungkin Revo rasakan, dapat dia
rasakan juga.
“Revo sayang Mama.”
“Kamu siapa?” mama Revo malah bertanya padanya.
Revo menatap mamanya dengan sendu.
“Ma, ini aku Revo,” ujar Revo selembut mungkin.
“Revo?” Catherine, mama Revo, tampak mengerutkandahinya seraya
memandangi wajah Revo dengan lekat.
“Iya, aku Revo.”
Catherine memegangi kepalanya, seperti terasa sakit karena ada memori
yang terlintas di benaknya, tapi dia tak dapat mengingatnya dengan benar apa
yang kini tengah bergemuruh kuat di dalam kepalanya.
Napas Catherine mulai terdengar tak karuan. Dia menatap Revo penuh
tanda tanya. “Kamu siapa? Kenapa kamupanggil saya Mama?”
“Revo anak Mama,” lirih Revo.
Catherine menggelengkan kepalanya, lalu mendorong kuat tubuh Revo
hingga tubuhnya sedikit terdorong kebelakang.
“Enggak, putra saya masih kecil. Pergi kamu!” bentak Catherine.
Revo kembali memandang ibunya dengan terluka. Saatini, Catherine
tengah mengalami Amnesia Disosiatif. Itu penyakit di mana penderitanya
akan kehilangan memorinya.Lebih dari itu, penderita Amnesia Disosiatif
dapat kehilanganmemori tentang lingkungannya ataupun identitasnya sendiri,
mengakibatkan timbulnya gangguan kesadaran sertaperubahan persepsi pada
diri seseorang. Amnesia Disosiatif ini biasanya disebabkan peristiwa
traumatik ataupun trauma psikologis yang berat.
Penyakit itu juga bisa disebabkan karena stres yang berkepanjangan.
Penderitanya biasanya terlihat sangatcemas dan depresi. Penderitanya juga
bisa mengalami perubahan kesadaran yang terlihat seperti mengamuk
ataupunmarah besar, walaupun terkadang mereka masih terlihat seperti orang
normal pada umumnya dan bisa melakukan aktivitas layaknya orang normal
juga.
Dalam beberapa kasus, penderitanya dapat kehilanganinformasi tentang
teman-temannya, keluarganya, atau bahkan siapa dirinya.
Itulah sebabnya, hingga saat ini Catherine menganggap anaknya masih
kecil. Yang ada di memorinya, Revo kecilnya, sedangkan Revo yang ada di
hadapannya sekarang dia anggap orang asing karena ketidakmampuan saraf
otaknya untuk menciptakan memori baru. Catherine tak bisa menerima
bahwa Revo sudah bertumbuh besar. Amnesia Disosiatif ini sebenarnya bisa
disembuhkan denganbeberapa terapi. Namun, Catherine tak pernah mau
untuk menjalani terapi itu.
Catherine memegangi kepalanya. Amnesia Disosiatif ini memang
melibatkan resepsi dalam skala besar sehingga mengakibatkan terpisahnya
impuls yang tidak dapat diterima dan ingatan yang menyakitkan dari
ingatanseseorang. Dalam amnesia ini, ego yang ada di dalamdirinya
melindungi dirinya sendiri dari kecemasan yang mengeluarkan ingatan
mengganggu. Kedatangan Revo yang mengaku-ngaku sebagai putranya
sering kali membuatCatherine tertekan, karena ada memori yang ingin masuk
ke ingatannya, tapi tak berhasil.
“Pergi kamu!” teriak Catherine lagi.
Catherine kini tampak benar-benar tak karuan. Alea yang tadinya berdiri
di dekat Revo, segera menghampiri Catherine dan mengelus punggung
tangan wanita paruh baya itu.
“Tante, Tante akan baik-baik aja,” ujar Alea menenangkan.“Pergi dari
hadapan saya!” sentak Catherine pada Revo.
Alea menatap Revo sejenak, mengisyaratkan kepada lelaki itu untuk pergi
meninggalkan ruangan ini agarCatherine dapat kembali menenangkan
dirinya. Revo hanya mengangguk pelan, lalu bergegas pergi meninggalkan
Catherine untuk berdua saja dengan Alea.
Kini, Catherine menangis. Alea tersenyum ke arahCatherine. “Maaf,
Tante. Kalo saya boleh tahu, kenapaTante nangis?”
“Saya enggak tahu sekarang putra saya di mana. Dia pergi sebelum saya
bisa bahagiain dia. Mungkin, dia marahsama saya. Saya bisa mengerti jika
dia marah dan malu punya ibu yang enggak berguna seperti saya.”
Alea menggeleng. Dia mengelus lembut pundakCatherine seraya
tersenyum. “Enggak, anak Tante pastisayang banget sama Tante. Anak Tante
juga pasti bangga karena punya ibu yang cantik dan kuat kayak Tante.”
Catherine tertawa miris. “Kalau memang dia sayangsama saya, kenapa dia
enggak pernah kembali? Dan kalo dia bangga sama saya, kenapa dia pergi?”
Diam-diam, Revo memperhatikan Alea dan mamanya dari balik pintu
ruangan. Dia tersenyum miris.
Revo enggak pernah pergi, Ma. Revo sayang Mama, batin Revo dengan
perasaan yang sulit dijelaskan.
“Tante, anak Tante selalu ada buat Tante. Bahkan, dia enggak pernah
pergi ninggalin Tante sendirian.” Alea melanjutkan.
Catherine menggeleng. “Maksud kamu apa?”
“Anak Tante itu dia yang tadi meluk Tante. Dia Revo, putra Tante. Dia
sekarang udah tumbuh dewasa.”
Catherine menggeleng lagi. “Enggak mungkin. Diamasih kecil. Kamu
enggak usah berbohong untuk menenangkan saya. Kamu enggak usah
berbohong!”
Kepala Catherine terasa semakin sakit. Hal-hal terse-but mengakibatkan
emosi Catherine semakin bergejolak. Membuatnya merasakan hal yang
sangat menyakitkandan kembali memaksanya untuk mengingat pada konflik
di masa lalu, tekanan, atau trauma yang menyebabkandirinya seperti ini.
“Saya cuma mau ketemu putra kecil saya,” lirih Catherine.
“Saya minta maaf kalau yang saya katakan bikin Tantejadi sedih.”
Alea kembali tersenyum hangat. “Tapi, saya yakin,kalau suatu saat nanti,
Tante bakalan ketemu sama anak Tante. Tante bakal lihat kalo dia sayang
banget sama Tante.Saya yakin, Tuhan pasti bakalan kasih akhir cerita yang
terbaik buat Tante.”
Catherine membalas senyuman hangat yang diberikan oleh Alea.
“Terima kasih, ya, kamu baik sekali. Nama kamusiapa?”
“Alea, Tante,” jawab Alea seraya tersenyum.
“Boleh saya panggil kamu Putri Cantik?” tanyaCatherine dengan matanya
yang berbinar ke arah Alea.
Alea mengerutkan dahinya. “Putri Cantik? Kenapaharus Putri Cantik?”
tanya Alea.
Catherine tertawa. “Karena, bukan hanya wajah kamu yang cantik, tapi
hati kamu juga cantik. Enggak seperti sayayang enggak berguna.”
Alea menggelengkan kepalanya. “Tante, enggak ada manusia yang
enggak berguna di dunia ini. Tante enggak boleh sedih, ya?” ujarnya
menenangkan.
“Ibu Catherine, saatnya istirahat.” Seorang perawatmemasuki ruangan
Catherine sambil tersenyum.
“Tante, Tante harus istirahat yang cukup, ya. Aleapulang, Tante.” Alea
mencium punggung tangan Catherine.Catherine tersenyum seraya mengelus
lembut rambut Alea.
“Hati-hati, Putri Cantik.”
Alea mengangguk dan tersenyum, lalu bergegasmeninggalkan ruangan.
Dia menarik napas sejenak, lalu menghampiri Revoyang sedari tadi
memperhatikannya. Mereka kemudianberjalan menuju koridor parkir dan
berniat untuk segera pulang. Sesampainya di koridor parkir rumah sakit, mata
Alea berkaca-kaca. Meski, semuanya terasa melelahkan, itujuga sangat
mengharukan.
“Rev, nyokap lo kenapa?” tanya Alea hati-hati.
Revo menjawab parau. “Nyokap kena Amnesia Disosiatif karena trauma.
Makanya, dia enggak bisa nerima kalo gue ini Revo. Karena yang ada di
memori dia, Revo itu masih kecil.
“Maaf kalau Mama juga kelihatan agak emosional. Soalnya penyakit ini
juga bisa membuat penderitanya merasa depresi dan cemas.”
Mata Alea semakin berkaca-kaca. Dia tak kuasa menahan tangisnya yang
sedari tadi dia bendung.
Revo menatap gadis itu lekat. “Ck. Cengeng lo!”
Dia terdiam sejenak sebelum berbicara kembali.
“Menurut lo, orang bodoh seperti apa yang nangis saat dia jadi alasan
orang lain buat ketawa?” Revo merangkul bahu Alea.
Tubuh Alea merinding, jantungnya berdebar sangatkencang.
“Makasih udah bikin Mama senyum. Makasih udahbikin Mama ketawa
lagi. Maaf juga, tadi gue udah bentak-bentak lo.”
Entah apa yang Alea rasakan sekarang. Yang jelas,jantungnya berdebar
sangat kencang.
“Rev, ini tempat umum.”
“Lo deg-degan?” tanya Revo.
Mata Alea membulat sempurna, pipinya memerah. Diamalu sejadi-jadinya
karena Revo menyadari itu.
“Ayo, balik.” Alea memasuki mobil Revo terlebih dahulu dengan pipinya
yang merah padam. Revo terkekeh kecil, lalu ikut memasuki mobilnya.
“Balik ke rumah lo aja, biar dari sana gue balik sendiri.Lo, kan, masih
sakit,” ujar Alea tanpa menatap Revo.
“Lo belum jawab pertanyaan gue.”
“Pertanyaan apa?”
“Lo deg-degan?” tanya Revo lagi, sehingga membuat pipi Alea semakin
panas dan memerah.
“Udah, ayo, jalan.”
Revo tertawa seraya menggeleng.
Rasanya sudah setengah perjalanan, tapi Alea sadar inijalan menuju
rumahnya.
“Rumah lo searah sama rumah gue, ya?”
“Enggak.”
“Kan, gue bilang, enggak usah nganterin gue. Lo masihsakit.”
“Suka-suka gue, lah.” Revo menatap lurus ke depan.
“Lo kenapa, sih, aneh banget? Lo enggak sadar lo masih sakit? Kalo
misalnya lo balik terus lo kenapa-kenapa, gimana?”
“Gue mati, tinggal dikubur. Tapi, lo jangan nangis,ya,” ledek Revo.
Alea berdecak kesal. “Gue serius.”
“Ya, gue juga serius. Eh, jangan, nanti sayang.”
Alea menatap Revo sejenak, lalu memutar kedua bola matanya malas.
Tetapi, sesungguhnya, dia masih tak mengerti mengapa kini pipinya sungguh
memanas.
Tak lama, mereka sampai di depan rumah Alea. Sekarang sudah pukul
11.00 malam, tak terasa.
Saat Alea turun dari mobil, terlihat jelas bahwa Leon,kakak laki-laki Alea,
sudah menunggunya di depan rumah dengan tatapan tajam. Padahal, tadi
Alea sudah meminta izin mamanya. Dulu, Alea dan Leon tinggal bersama
saat diBandung. Saat Alea dan keluarga pindah ke Jakarta, Leon harus tetap
tinggal di Bandung karena harus melanjutkan pendidikannya. Namun, kini
dia sedang berada di Jakarta.
“Bang.” Alea hendak mencium tangan abangnya, tapi Leon malah
menghampiri pintu mobil Revo.
“Keluar lo!” Suara Leon terdengar penuh emosi.
Revo membuka pintu mobilnya.
Leon menghajar Revo dengan sangat kuat.
Alea meringis seraya menutup matanya.
“Maksud lo apa bawa dia sampe semalem ini?” tanyaLeon.
Revo menatap Leon tajam. “Lo yang apa-apaan?” Dia mendorong kuat
tubuh Leon sampai Leon terhuyung.
“Lo apain dia? Hah?” bentak Leon.
Mata Alea membulat ke arah abangnya. “Apaan, sih!” sentak Alea.
Namun, tidak ada yang peduli.
Leon mendorong tubuh Revo ke mobil dan menghantamnya lagi. Revo
pun membalasnya. “Berengsek! Lo bawadia ke mana sampe semalem ini?
Jawab!”
Revo menatap Leon tajam. “Cuma orang yang enggak tahu tata krama
yang ngehajar orang tanpa alasan!” Dia menghajar dan mendorong tubuh
Leon hingga menabrak pagar rumahnya. Kepala Alea sudah sangat pusing
mendengar pertengkaran itu. Sementara itu, sepertinya mamanya sudah
tertidur sehingga sama sekali tidak mendengar apa pun.
“Mendingan, lo tanya sendiri sama cewek lo!” bentak Revo seraya
menarik kerah baju Leon dengan kuat.
Alea tersadar. Sepertinya, Revo dan Leon salah paham.
Leon tertawa sinis, tapi lama-lama tawanya menjadi terbahak-bahak.
Revo masih menarik kerah baju Leon dan bingung dengan yang terjadi.
“Apa lo bilang? Alea cewek gue?” Leon terus tertawa.
“Enggak usah ketawa!” Revo kembali menghajar Leon.Leon sepertinya
mulai terpancing lagi. “Lo harusnya ngaca.Lo harusnya cari tahu dulu siapa
gue!” Dia mengepalkan tangannya.
“Abang. Revo. Udah enggak usah berantem!” pekikAlea.
Tanpa disangka, tonjokan Leon yang sangat kuat itu mendarat di wajah
Alea. Kepala Alea terasa sangat pusingdan akhirnya dia jatuh pingsan.
“Abang?” tanya Revo bingung.
“IYA. DIA ADIK GUE. ADIK KANDUNG GUE!”
Revo hanya terdiam. Dia mematung ketika melihatAlea sudah terkapar
dan abangnya hendak menggendong gadis itu ke dalam.
“Sori, gue enggak tahu.”
“Lo jelasin sejelas-jelasnya sama nyokap gue!” sentak Leon.
Cecill, ibu Alea, muncul sejurus kemudian. Mata Cecill membulat ke arah
Alea yang tengah terkapar dan ke arah Leon yang menggendongnya.
“Ya, ampun, Alea. Anak Mama, kamu kenapa, Sayang?” Cecill
menyingkirkan satu bulatan timun yang masih melekat di matanya dan
melepas earphone dari telinganya, lalu mengejar mereka ke kamar Alea.
“Nak Revo? Kamu yang waktu itu anterin Alea pashujan, kan?” tanya
Cecill.
“Iya, Tante.”
“Ini kenapa bisa begini? Aduh, mukanya kenapa me-mar?” tanya Cecill.
“Enggak sengaja Leon tonjok, Ma,” ujar Leon, membuatwajah mamanya
yang masih dibalut masker putih itu menegang dan matanya membelalak ke
arahnya.
“Kenapa kamu tonjok, Leon?”
“Aku kira, nih, orang ngapa-ngapain Alea, aku mau nonjok dia. Eh, malah
kena Alea.”
“Kamu, tuh, ya, Alea udah izin sama Mama mau bawa temennya ke
rumah sakit. Kamu, sih, main hajar-hajar aja.”
“Mama aku tanya kenapa enggak jawab?” Leon kesal.
“Kan, Mama pake headset. Kamu, sih, Mama lagi perawatan nanya-nanya
terus. Udah, Mama mau ambilin air anget buat Alea. Kalian berdua bersihin
itu luka-lukanya,” suruh Cecill, lalu pergi keluar dari kamar Alea.
“Heh, inget, dia bukan cewek gue!” tegas Leon.
“Iya, Bang.” Revo hanya mengangguk.
“Nak Revo, Tante bukannya ngusir, tapi udah malem banget. Kamu
pulang aja, ya? Kasihan Alea-nya,” suruh Cecill.
Revo mengangguk mengerti. “Iya, Tante, saya pamit dulu.” Dia mencium
punggung tangan Cecill. “Bang.” Dia juga menganggukkan kepalanya ke
arah Leon, lalu keluar dari kamar Alea.
“Ada-ada aja.” Cecill menggaruk kepalanya.
Revo memasuki mobilnya, meletakkan tangan di atas setir mobilnya. Dia
mengingat wajah Alea yang memar, merasa itu semua gara-gara dirinya.
Padahal, Alea pulang semalam ini juga gara-gara Revo. Namun, dia
kemudian teringat Tante Cecill dan Bang Leon, yang tampak sangat
menyayangi Alea. Revo tersenyum.
“Lo beruntung, ya, punya keluarga yang sayang bangetsama lo,” ujar
Revo, lalu menghela napasnya.
Dua puluh menit kemudian, Revo memasuki apartemennya. Dia tinggal
sendiri di apartemen yang masih satu kawasan dengan SMA-nya itu. Dia
merebahkan tubuhnya dikasur. Pikirannya masih dipenuhi sosok gadis yang
mungkinsaja masih pingsan itu.
Alea udah sadar belum, ya? Batin Revo bertanya. Diapun mengambil
ponselnya dan menelepon gadis itu.
“Halo?” Suara imut di seberang sana terdengar parau, tapi menenangkan
hati Revo yang mendengarnya.
“Lo udah siuman?”
“Ada apaan?” Suara Alea memang terdengar sepertiorang mengantuk.
“Lo udah tidur, ya?”
“Kenapa lo nanya-nanya? Khawatir, ya?”
“Dih, kepedean lo. Ya, udah kalo lo udah tidur, gue matiin lagi.”
“Terus, lo nelepon gue cuma mau bangunin gue doang? Apa gunanya
coba?” tanya Alea terdengar seperti kesal,membuat Revo terdiam.
“Kok, diem? Berarti bener, kan, lo khawatir sama gue?” Alea meledek.
“Ya, abang lo, kan, harusnya nonjok gue, bukan nonjoklo. Gue enggak
mau, ya, lo nyalah-nyalahin gue.”
“Siapa yang nyalahin lo? Lagian juga, lo aneh banget.Kenapa lo ngira
Bang Leon pacar gue?”
“Iya, ya, harusnya gue mikir, mana mau cowok kayak abang lo pacaran
sama cewek model kayak lo? Mustahil,” ledek Revo.
“Lo bisa enggak, sih, malem-malem enggak usah bikinkesel?”
“Ya, lo bisa enggak malem-malem enggak usah kesel sama orang?”
“Orang lo yang bikin kesel, kenapa jadi nanya gue?”
“Mendingan, lo tidur lagi,” suruh Revo.
“Enggak jelas lo nyuruh-nyuruh!”
“Tidur lagi, Alea, udah malem.” Revo melembut.
“Enggak usah sok lembut, deh.”
“Tidur sekarang atau gue cium?”
“Jijik tahu enggak? Amit-amit tujuh turunan tujuh tanjakan.”
“Gue bercanda, kok. Good night.” Revo memutuskan teleponnya.
Di kamarnya, Alea berdecak kesal.“Enggak jelas, dia yang nelepon dia yang
matiin.”Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar
Alea. “Le. Ini Abang.”“Masuk aja, Bang. Pintunya enggak gue kunci.”Leon
memasuki kamar adiknya, lalu duduk di tepi kasur. “Maafin gue, ya, Le.
Tadi, gue enggak sengaja.”“Enggak, enggak gue maafin. Sakit tahu!” Alea
memegangi pipinya yang terkena tonjokan itu.“Iya, maaf, Alea adik gue yang
paling cantik.” Leon merangkul Alea dan mengacak rambut adiknya
gemas.Alea mendengus kesal seraya merapikan rambutnya.
“Ya, iyalah, orang adek lo cuma satu.”
“Lagi juga, cowok lo enggak jelas, sih.” ujar Leon.
“Bang Leon sembarangan aja, deh, kalo ngomong. Revo,tuh, bukan
cowok gue.”
Leon tersenyum. “Ya, bagus.”
Alea mengerutkan dahinya. “Kenapa bagus?”
“Revo bakalan sama aja kayak mantan lo, Le. Percaya, deh, sama gue. Dia
pasti bakalan nyakitin lo nanti.”
Alea tertawa. “Sok tahu banget, sih, lo, Bang. Emangnyalo cenayang yang
bisa tahu semuanya gitu?”
“Lo kayak enggak tahu abang lo ini siapa, sih, Le? Cowok-cowok kayak
Revo itu udah bisa ketebak jalan pikirannya.” Alea terdiam sejenak,
abangnya ini memang playboy.Namun, apakah semudah itu Leon memahami
isi kepala Revo? Sementara untuk Alea, Revo itu sangat sulit ditebak.
“Sekarang gue tanya, deh, hubungan lo sama Revoapa?”
“Dia kakak kelas gue, Bang.”
“Lo berdua lebih dari itu, Le. Tapi, lihat aja, sampe sekarang dia enggak
ngasih kejelasan, kan, sama lo?”
“Hah? Lebih dari itu gimana, sih, maksud lo?”
Alea menghela napas berat. “Gini, ya, Bang Leon yang kucinta, lagi juga
siapa, sih, yang mau pacaran sama Revo?Gue sama Revo itu cuma sebatas
senior-junior. Enggak lebihdari itu. Ngerti?” jelas Alea.
“Oh, ya? Terus, kenapa lo segitu khawatirnya waktugue nonjokin dia?”
tanya Leon seraya menatap Alea lekat.
“Ya, dia masih sakit, Bang. Tadi aja gue abis nemenin dia ke rumah
sakit.”
“Itu tandanya lo peduli sama dia, Lea.”
Alea mendengus kesal. “Peduli apanya, sih, Bang? Lo bayangin kalo
misalnya lo jadi gue. Ada orang sakit terus pingsan dan enggak ada satu pun
orang yang bisa nolongin dia, kecuali lo. Lo pasti bakalan nolongin dia,
kan?” Lojangan suka nilai orang dari luar. Revo emang ngeselinbanget, tapi
gue tahu sebenernya dia baik, kok, Bang.”
“Terserah lo, Le. Gue cuma ngasih tahu aja. Tapi,awas, ya, kalo lo sampe
beneran suka sama Revo.” Leon menegaskan. Nada bicaranya juga terdengar
sangat serius.
“Iya, apaan, sih, lo?”
“Pokoknya, kalo lo sampe pacaran sama Revo gueenggak setuju. Gue
enggak suka sama Revo!” tegas Leon,lalu beranjak turun dari kasur Alea.
“Ya, iyalah, orang lo sama Revo sama-sama cowok,” dumel Alea pelan,
tetapi masih bisa terdengar oleh Leon.
“Alea, Abang serius.”
Alea menatap abangnya malas. “Iya, iya.”
Leon melanjutkan langkahnya untuk keluar dari kamar adiknya. Alea
menarik kembali selimut miliknya dan mematikan lampu tidur.
Bitter Sweet
Haruskah hati yang terlalu sering disakiti kembali memaafkan?
Di toko elektronik ternama di tempat itu, Revo dan Alea mencari speaker
yang kira-kira cocok untuk kegiatan penyiaran radio di sekolah. Setelah
hampir 1 jam, akhirnya mereka mendapatkan speaker yang sesuai.
Revo masih menatap Alea bingung. Wajah gadis itu masih tampak
cemberut dan tak bersemangat. Revo menggarukbelakang kepalanya yang
tidak gatal, lalu melihat sebuah arena permainan yang tidak terlalu ramai.
“Mau ke sana, enggak?” tanya Revo.
Alea menatap Revo dengan datar. “Enggak, ah, males.”
“Ayo, cemen lo!”
“Enggak mau,” tolak Alea lagi.
“Yang menang, ditraktir es krim, deh.”
Mendengar kata es krim, wajah Alea tampak kembaliceria. “Es krim?
Serius?”
Revo mengangguk. “Iya.”
“Awas lo kalo boong.” Alea masih menatap Revodengan tatapan tak
percaya.
“Iya, sekali lagi lo ngomong—gue getok lo, ya.”
Alea tertawa, lalu berjalan menuju arena permainan itu. “Ayo!”
Revo mengikuti langkah Alea sambil tertawa meledek. “Tapi, emangnya
lo berani ngelawan gue?”
“Siapa takut?”
“Masa? Kalo kalah jangan nangis, ya?” ledek Revo.
Alea menatap wajah Revo menantang. “Apa pun bakal gue lakuin demi es
krim tercinta.” Setelah itu, Alea bergegasmemasuki tempat tersebut. Revo
pun mengikuti langkah Alea dan akhirnya mereka bermain permainan balap
mobil. Alea bermain dengan sangat serius sehingga membuat wajahnya
terlihat sangat lucu.
“Ayo, dong, balap!”
“Ah, nabrak!”
“Woi, awas mana klakson!”
Revo menatap kagum Alea, sepertinya gadis ini memang memiliki
masalah, tetapi dia masih bisa terlihatsebahagia ini. Revo tak fokus, sehingga
dia tertinggal jauh.
“Rev, cemen banget, sih, lo!” ledek Alea. “Sok-sokan nantangin gue!”
“Dih, curang lo!” ujar Revo seraya mendorong pelantubuh Alea sehingga
gadis itu tidak berkonsentrasi.
“Lo yang curang. Geseran, di situ masih lega!”
“Ah, curang!” Alea mendorong tubuh Revo denganlengan kanannya
sehingga lelaki itu terdorong dan Alea akhirnya memenangkan pertandingan.
“Yeay, es krim!” pekik Alea senang seraya melompat.
Sementara Revo, lelaki itu mengembangkan senyumantipis seraya
menggelengkan kepalanya. Senyuman itu sangattipis, mungkin tak akan ada
yang menyadarinya.
Alea menatap Revo. “Lo kenapa malah ngelihatin gue gitu, sih? Ayo,
traktir es krim.”
“Jangan seneng dulu. Tanding basket gimana?” tanyaRevo. “Ayo!” Revo
tersenyum licik. Dirinya yang lebih tinggidari Alea pasti akan lebih mudah
untuk mengalahkannya.
Alea terlebih dahulu berlari ke sana. Namun, mata Revo terbelalak
melihat tingkah Alea. Dia menaiki bangku yang biasanya digunakan anak-
anak untuk bermain basket.Sehingga, dia lebih banyak memasukkan bola ke
ring.
“Yes, masuk!”
“Ah, cemen lo pendek, sih.” ledek Alea. Revo pasrah ketika waktu
bermain sudah berakhir dan skor Alea jauh lebih banyak darinya.
“Dua-kosong.” Alea menjulurkan lidahnya.
“Curang!”
“Lo duluan yang curang. Es krim, ya, tetep es krim.” Alea menarik tangan
Revo menuju kedai es krim. Sebenarnya Revo memang sengaja ingin kalah,
dia tahu gadis ini akan sangat bahagia jika bertemu es krim.
“Mas, es krim yang two in one satu, ya,” pesan Alea.
“Mau rasa apa, Kak?”
“Rasanya complete,” jawab Alea dengan semangat. Tak lama, Alea
menerima es krim itu dengan wajah semringah.
Revo membulatkan matanya ke arah gadis itu.
“Namanya sama aja lo meres orang.”
“Gue enggak maksa. Lo yang nantangin gue duluan,” ujar Alea seraya
memakan es krimnya dengan bahagia.
Sesederhana itu dia bahagia? batin Revo.
“Mau?” Ledek Alea.
“Mau.” Revo mendekatkan wajahnya ke es krim Alea.
“Enggak boleh, ini es krim gue. Siapa suruh kalah? Wlek.” Alea
memeletkan lidahnya.
Revo ingin mengelap mulut Alea dengan tissue, tetapi Alea segera
merebut tissue itu. Ketika Alea tengah mengelapmulutnya, Revo mengambil
es krim itu.
“Revo, es krim gue!”
“Es krim gue!” Revo tetap meledek Alea dan tak mau memberikan es
krim itu kembali. “Revo, balikin enggak?”Revo tertawa. “Enggak mau, orang
punya gue.”“Itu punya gue. Siapa suruh lo kalah?” Alea tetap takmau kalah.
Revo mengacak-acak rambut gadis itu, lalu memberikan es krim itu. Alea
kembali memakan es krim kesukaannya. Dalam diam, Revo mengembangkan
senyum tipisnya.
Alea menatap Revo yang ternyata sudah menatapnya terlebih dahulu.
“Jangan lama-lama ngelihatinnya, entar lo naksir lagi sama gue.”
Revo tertawa. “Ngapain gue suka sama cewek kayak lo? Paling nanti lo
yang suka sama gue.”“Kak Revo yang terhormat, bisa enggak jangan
kepedean sehari aja?”Revo lagi-lagi tertawa. “Lihat aja nanti, pokoknya kalo
lo sampe suka sama gue, lo harus traktir es krim, ya?”
Alea masih tetap memakan es krimnya. “Siapa takut?”
Di seberang sana, ada sepasang mata yang tak senang melihat gadis itu
tertawa bahagia.
“Sial, lo harusnya lagi nangis-nangis sekarang. Enggak ada yang boleh
milikin lo selain gue. Lihat aja tanggalmainnya, Alea Annastasya. Lo bakal
balik lagi ke gue.”
Unavoidably
tasyalea: Berisik.
Hari ini, Alea bahagia karena dia tidak terlambat. Tapi, dia juga tidak
bersemangat, karena harus mengikuti pelajaran Olahraga yang tidak dia
sukai. Apalagi, Olahraga diletakkan pada jam terakhir pelajaran.
Begitu pelajaran itu selesai, masih saja ada yang mengganjal hati Alea.
Kelasnya dan Revo selalu bersamaan saatpelajaran Olahraga, tapi di mana
Revo? Alea tidak melihat Revo sama sekali hari ini.
Seseorang menepuk pundak Alea, membuat Alea terkejut. “Revo?”
Sosok itu malah tertawa. Ternyata, Vei, teman Alea di OSIS. “Cie, Kak
Revo mulu.”
“Vei, ngagetin aja, sih, lo.”
Vei lagi-lagi tertawa. “Ketahuan, deh, lo lagi mikirin Kak Revo. Jangan-
jangan, dari tadi lo nyariin Kak Revo?”
“Ih, apaan, sih, Vei. Lagi juga, kenapa tiba-tiba lo ada di sini?” tanya Alea
bingung.
“Tadinya, sih, gue lagi nyari temen gue, terus guengelihat lo lagi
celingak-celinguk. Lo pasti lagi nyariin KakRevo, ya?” tebak Vei sok tahu.
“Apaan, sih, enggak!”
“Masa? Kayaknya, lo lagi deket gitu sama Kak Revo. Tapi, kok, Kak
Revo enggak nembak-nembak lo, sih, Le? Kalo nanti Kak Revo cuma
ngegantungin lo gimana? Kak Revo, kan, ganteng, cewek mana, sih, yang
enggak mau sama dia? Kalo dia enggak macarin lo karena dia punya cewek
lain gimana, Le? Atau, jangan-jangan dia enggak serius sama lo?” tanya Vei
bertubi-tubi.
“Vei, nanya mulu lo kayak pembantu baru.”
“Ya, udah, semoga lo sama Kak Revo cepet jadian, deh.Walaupun sesama
OSIS dilarang jadian, tapi, kan, Kak Revobentar lagi lulus.”
Mata Alea membulat ke arah Vei. “Vei, lo bisa diem enggak?”
“Udah, ya, Le. Gue mau nyari temen gue lagi. Dadah, Alea. Hati-hati
cinta lo bertepuk sebelah tangan!” teriak Vei, lalu pergi meninggalkan Alea.
Alea kembali menoleh ke gerombolan kelas Revo, XII IPA 2, yang baru
saja selesai berolahraga. Namun, dia masihtidak melihat lelaki itu.
Apaan, sih, gue? Ngapain juga jadi nyariin Revo? Enggakpenting,
batinnya.“Eh, cuy!” Alea melihat Acha yang berlari ke arahnya dengan napas
terengah-engah. “I—ini,” ujar Acha tersengal.
“Pelan-pelan, Cha.”
Acha memberikan botol minuman kepada Alea.
“Lho? Buat gue?” tanya Alea bingung.
“Iya.”
“Baik banget, sih, lo, Cha. Makasih, Acha cantik, deh.”Alea mencolek
dagu Acha.
“Bukan dari gue, Le.”
“Terus, dari siapa?”
Acha tampak berpikir dan mengingat. “Siapa, ya?”
“Dari Kak Revo, deh, kayaknya,” lanjut Acha. Aleabingung, dia
mengerutkan dahinya. Dia melirik ke seluruh penjuru, tapi tidak ada Revo di
sini.
“Serius dari dia?”
Acha mengangguk. “Gue duluan, ya, Le. Bokap gue udah di depan.”
“Oh, iya.” Alea membiarkan Acha pergi. Dia menatap botol itu ragu. Dia
sebenarnya tak ingin meminumnya.Namun, dia sangat haus. Toh, itu dari
Revo. Pemikirannya seperti itu.
Alea meminum minuman itu hingga setengah botol.Namun, tiba-tiba saja
kepalanya terasa sangat berat. Tak lama kemudian, tubuh Alea terkapar di
saat lapangan sudah sangat sepi. Anak-anak dari kelas Revo pun sudah
pulang.
Ketika membuka matanya, Alea mendapati dirinya berada di tempat yang
sama sekali tidak dia kenali. Di depannya, ada beberapa lelaki. Alea
menyipitkan matanya. Rupanya, mereka empat lelaki yang mengganggunya
di jalan waktu itu.
“Hai, udah bangun, ya, Cantik? Gimana tidurnya?”tanya lelaki itu seraya
mengacak rambut Alea. Alea ingin menepisnya, tapi tangan dan kakinya
diikat.
Dia terkejut saat mendapati bahwa ternyata mereka satu sekolah
dengannya. Seragam mereka sama denganyang Alea kenakan.
“Hai, Cantik,” lelaki itu menggerakkan tangannya di depan wajah Alea.
“Siapa lo? Mau lo apa, sih?!” Alea setengah berteriak.
“Kamu, anak baru, ya? Belum tahu siapa aku? Kenalin,aku Vando. Dia
Ivan, Alex. Kalo dia namanya Raka.” Vandomenunjukkan satu per satu
teman-temannya. Alea ingat cerita Bella dan Vei tentang mereka. Sepertinya,
mereka geng motor dan pentolan di SMA Gempita yang dimaksud itu.
Mereka anak nakal, sangat nakal.
“Aku mau kamu, Sayang. Aku rela kemarin babak belurdemi kamu.”
Vando mengelus pipi Alea dengan lembut.Alea membuang wajahnya.
“Kemarin, aku gagal dapetin kamu, tapi aku tetep maukamu.”
“Maksud lo apa? Hah?” Alea hampir berteriak. Vando mencengkeram
dagu Alea dengan kuat sehingga membuat Alea meringis.
“Lo berani sama gue? Berani?” bentak Vando.
Mata Alea sedikit memerah, dia sangat takut sekarang.Namun, lelaki-
lelaki itu justru tertawa nakal.
“Diem lo semua!” bentak Alea. Meski begitu, kali ini airmatanya
mengalir saat ketiga lelaki itu juga mendekatinya.Dia sangat takut.
“Abis bentak-bentak kita, dia nangis, Do,” kata Raka.
“Jangan nangis, dong, Dedek Gemes.”
Mama, Bang Leon, Papa, Revo. Kalian di mana? Guebutuh kalian. Gue
takut. Entah mengapa, nama Revo ikut dia sebut di dalam hatinya.
Vando mencondongkan badannya dan mengubah posisinya menjadi
berjongkok. Dia menyeka air mata Alea yang jatuh menetes.
“Jangan nangis. Ada aku di sini,” kata Vando.
“Tolong jelasin sama gue, maksud kalian apa? Apasalah gue sama
kalian?”
“Kita cuma mau seneng-seneng, kok,” ujar Vando.
“Gue serius,” tegas Alea dengan suara parau. Air matanya sudah mengalir
deras. “Apa ada yang nyuruh kalian buat ngelakuin ini?” Meski sekarang dia
sangat takut, dia tetap saja penasaran.
“Nyuruh apa, sih, Sayang? Emang aku yang mau kamu,Alea,” ujar
Vando. “Kamu terlalu sombong jadi adik kelas.Makanya, kita ajak main,”
lanjut Vando.
“Apa salah gue sama kalian? Siapa yang nyuruh kalian?” tanya Alea
sambil berteriak.Vando menatap Alea tak tega. Dia menghela napas sejenak.
“Lo cantik. Tapi, bego,” ujarnya.
Alea menyipitkan matanya.
“Maksud lo apa?”
“Apa, ya?” Vando mendekatkan wajahnya pada Alea.
“Jawab, berengsek!” tegas Alea.
Vando tertawa sinis.
“Mending berengsek ngaku berengsek. Daripada pura-pura baik, tapi
tahunya berengsek, sampah!” tegas Vando balik, membuat Alea tak mengerti.
“Munafik.”
“Pencitraan.”
“Katanya, sih, most wanted, suka menang olimpiade,kebanggaan
sekolah.”
Begitulah suara-suara dari mereka, keempat lelaki itu. Alea semakin tak
mengerti.
“Oh, iya, aku inget. Yang anak organisasi itu, ya?Organisasi apa, ya?”
Vando berpikir seolah tak tahu. Padahal, Alea tahu sebenarnya mereka orang
suruhan.
“Oh, yang nyuruh kita seneng-seneng sama Alea? Siapayang mau nolak,
orang cantik begini,” lanjut Ivan.
“Kamu bener-bener bodoh, Alea. Makanya, aku kasih tahu. Tapi,
organisasi apa, ya? Lupa,” ledek Vando.
“Oh, organisasi?”
“Siswa Intra Sekolah?” Mereka semua tertawa. Kecuali, Alea. Ucapan itu
benar-benar membuat jantung Alea seolahberhenti berdetak. Dia terkejut
bukan main.
“Bohong. Apa buktinya?”
“Ada, lah, buktinya. Tapi, nanti kita enggak dibayar. Laper, kan, belum
makan,” ujar Raka.
Secara tidak langsung, mereka mengatakan jika ada seseorang yang
menyuruh mereka untuk melakukan semuaini kepada Alea.
“Kalo kalian cuma mau uang, gue bayar lebih dari yangdia bayar,” ujar
Alea, membuat mata mereka berbinar.
“Masa, kamu masih enggak ngerti juga, sih, Sayang?” tanya Vando.
Alea sepertinya mengerti siapa yang dimaksud Van-do, tapi dia masih
berpikir bahwa itu tak mungkin. Meski begitu, dari kejadian awal yang dia
ingat, memang semuabukti mengarah kepada dia.
“Siapa yang kalian maksud?” bentak Alea.
“Perlu disebut namanya? Kasihan, nanti malu.”
“Siapa yang lo maksud, Vando? Siapa?!”
“Takut, dia sama temen-temennya jago berantem.”
Kata-katanya membuat hati Alea semakin teriris. Enggak. Enggak
mungkin! Batin Alea berteriak.
“Siapa orangnya?!” Alea benar-benar berteriak mencarikepastian. Air
matanya terus mengalir.
“Kamu kenal orang ini, kan?” tanya Vando sambilmenunjukkan layar
ponselnya. Alea mencoba menatap layarponsel itu, tapi posisi tangannya
masih terikat.
“Oh, bentar.” Raka membukakan ikatan pada tubuh Alea, membuat
merasa cukup lega. Dengan sikap sepertiini, kemungkinan besar mereka tidak
akan berbuat apapun pada Alea.
Alea mengambil ponsel Vando. Di layar, terputarsebuah video dengan
seorang lelaki di dalamnya. Dari belakang, Alea sangat mengenali siapa
orang itu.
“Pokoknya, lo seneng-seneng aja sama cewek itu. Lo mau dia, kan?
Kemarin, gue cuma pura-pura nolongin dia, biar dia enggak curiga. Hari ini,
gue bakal menghilang, biar dia enggak nyangka. Gue benci dia, gue benci
Alea.”
Tes. Air mata Alea perlahan kembali menetes membasahi pipinya. Bukan,
itu bukan Reynand. Sang pelaku memang sangat mirip dengan Reynand, tapi
Reynand tidak mungkin berpenampilan seperti Revo. Tidak
mungkin.Reynand tidak pernah memakai ikat pinggang, apalagi dasi.Baju
saja jarang dimasukkan.
“Itu Revo yang kemarin nolongin kamu, kan?” tanya Vando.
Alea sekarang benar-benar menangis. Apa kesalahannya kepada Revo?
Apa yang membuat Revo membencinya sampai begini? Rasanya benar-benar
sakit.
Berarti, benar kata orang. Jika ada orang yang terlalu baik kepadamu,
jangan langsung percaya. Itulah yang menjadi pemikiran Alea. Dia, toh,
masih 16 tahun, masih terombang-ambing pikiran dan perasaannya.
“Gue balik, deh. Besok, uangnya gue transfer. Makasih banyak.” Alea
beranjak meninggalkan tempat itu.
“Mau aku anterin?” tanya Vando.
Alea hanya tersenyum lemah.
“Enggak usah, makasih,” jawabnya sebelum benar-benar pergi dengan air
mata yang terus mengalir.
Dia tak tahu di mana dia sekarang. Yang dia tahu, dia sangat kecewa
kepada Revo. Apakah dia salah memberikan penilaian terhadap Revo?
Apa salah gue, Rev? Apa? Kenapa lo benci gue? Pekik Alea dalam
batinnya. Dia masih tak menyangka.
Tadinya, Alea berpikir bahwa Revo seniornya yang sebenarnya memiliki
hati yang baik. Yang membuat Alea melupakan masalahnya, yang
membuatnya kesal, lalu tertawa, yang selalu membuatnya bahagia, bahkan di
kala dia harusnya menangis. Alea kecewa saja jika Revo memiliki masalah
dengannya, mengapa caranya harus begini?
Alea sangat terpukul. Padahal, rasanya baru kemarin Revo bilang,
“Enggak ada yang harus lo takutin selama lo sama gue, Alea.”
Baru semalam, mereka bergurau tentang tantanganyang tak jelas. Baru
semalam, dia mengucap I love you, walaupun hanya bercanda. Lalu, ini apa?
Air matanya kembali menetes.
Daerah ini sangat sepi, tapi Alea tak peduli. Seka
rang, dia hanya benar-benar kecewa kepada Revo.
Kata-kata yang dia dengar di video tadi sangat melekatdi memorinya.
“Gue benci dia, gue benci Alea.”
Terlihat sebuah motor yang tak asing di matanya.
“Ar, itu Alea?” Revo terkejut bukan main melihat Alea yang tengah
menangis dan sendirian di tempat sesepi ini. Wilayah ini sangat jauh dari
kawasan SMA Gempita.
“Hah? Alea mulu. Kangen, ya? Baru enggak ketemu sehari,” ledek Aria.
Revo menghela napas kesal. “Gue serius.”
Aria membulatkan matanya ke arah gadis itu. Benar yang dikatakan Revo,
itu Alea.
“I—iya, itu Alea.” Dia mengegas motor milik Revo untuk menghampiri
Alea.
Alea sendiri kembali berpikir keras. Dugaannya dan bukti yang
ditunjukkan Vando sepertinya benar. Daerah ini sangat jauh dari sekolah, lalu
untuk apa Revo ke sini? Di dekat tempat dia disekap? Untuk apa?
Revo menatap Alea bingung, sementara Alea menatapRevo tajam, penuh
pertanyaan. Revo turun dari motornya.
“Kenapa lo di sini?” tanyanya. Alea menatap Revotajam.
“Kenapa lo enggak pulang? Di sini sepi. Kalo lo kenapa-kenapa gimana?”
tanya Revo lagi.
Alea tertawa sinis.
“Maksud lo apa?” pekiknya.
Revo bingung dan tak mengerti.
“Maksud lo apa, sih?” Alea kembali bertanya dengan setengah berteriak.
“Maksud lo apa, Rev? Jawab!” Alea kinibenar-benar berteriak, lebih kencang
dari yang tadi. Revo melihat air mata Alea benar-benar mengalir deras.
“Jangan nangis.” Dia mencoba menyeka air mata gadisitu, tapi tangannya
ditepis dengan kuat.
Alea kemudian menampar Revo dengan cukup kuat, melampiaskan
emosinya. Revo memegang pipinya yangcukup sakit. Namun, rasa sakit
karena ditampar oleh Alea tidak sebanding dengan rasa penasarannya.
Aria yang melihat itu pun tidak mengerti apa yangterjadi.
“Lo kenapa, sih?” desak Revo.
Alea masih menangis, tapi menatap Revo dengan tatapan yang sangat
tajam.
“Gue kecewa sama lo, Rev.” Suaranya mulai melemah.
Dia ingin segera pergi, tapi Revo menahan tubuh Alea, meskipun Alea
terus memukulnya dan memberinya perlawanan. Aria memberi kode kepada
Revo untuk melepaskannya saja. Akhirnya, Revo menurut, gadis itu
menatapnya tajam, lalu segera pergi.
“Dia masih emosi,” ujar Aria.
“Tapi, dia kenapa?” Revo menunjukkan raut wajahbingung. “Ini udah
malem banget, Ar. Kasihan dia baliksendiri, emang dia tahu daerah sini?”
tanyanya khawatir.
Tapi kemudian, dia melihat Alea yang mencegat taksi dan naik ke taksi
tersebut.
Revo menaiki motornya. “Ikutin aja, Ar.”
“Hah?”
“Ikutin!” suruh Revo. “Tapi, jangan sampe ketahuan.”
Aria pasrah. Dia mengikuti taksi Alea dengan perlahan agar suara
motornya tidak terdengar jelas.
Sekarang sudah pukul 11.00 malam, wajar saja jikaRevo khawatir.
Mereka mengikuti Alea sampai ke depan rumahnya, setelah aman baru Revo
dan Aria sembunyi.
Alea masuk ke rumahnya dengan lemas.
“Kenapa baru pulang?” tanya Cecill tegas.
Alea tak tahan untuk kembali menangis.
“Kamu kenapa?” Nada bicara Cecill seketika berubah. Dia menghapus air
mata putrinya yang mengalir.
“Ma, Bang Leon udah tidur?” tanya Alea.
Cecill menggeleng. “Tadi, dia balik ke Bandung. Tadinya mau nunggu
kamu pulang, tapi kamunya kemaleman, makanya dia duluan. Salam
katanya,” jawab Cecill. “Kamu kenapa?”
“Hampir diculik, tadi sempat disandera.”
“Mama serius, kamu kenapa?”
“Emang muka Alea kayak orang bercanda, ya?” tanya Alea serius, dengan
matanya yang sembap.
“Emang tadi enggak pulang bareng Revo?” tanya Cecill.
Mata Alea berkaca-kaca lagi. Dia menggeleng.
“Besok-besok, Mama suruh Revo anter-jemput kamu, ya? Mama tenang
kalo kamu sama dia. Kamu pasti enggakakan kenapa-kenapa begini.”
Alea menggeleng seraya tersenyum miris. “Enggakusah, Ma. Alea bisa
sendiri. Alea ke kamar dulu, ya.” Alea memasuki kamarnya.
Mama enggak tahu siapa Revo sebenarnya. Alea lalu menelungkupkan
wajahnya di bantal kesayangannya.
Dia sudah merasa sangat mengantuk sekarang, tapiperasannya kini tengah
tak bersahabat. Dia beranjak dari kasurnya, lalu membuka jendela kamarnya
dan menatap bintang yang tengah berkelip indah di atas sana.
Terkadang aku berpikir, apakah boleh aku iri pada langit?
Langit memiliki mentari yang selalu bersinar terang untuknya.
Langit juga memiliki bulan yang menghangatkannya,dengan sinar redup
miliknya.
Langit juga memiliki bintang yang menghiasi gelapnya.Bintang juga tak
pernah meninggalkan langit sekalipun tak adayang bisa melihatnya di pagi
hari.
Bukan seperti dia, yang datang seakan menghangatkan, tetapi berujung
menyesakkan.
“Bang Leon, kenapa lo harus pulang ke Bandung sekarang, sih? Gue
nyesel enggak dengerin omongan lo, Bang. Gue kecewa sama Revo.”
Mungkin benar, jangan terlalu percaya jika kamu tak ingindikecewakan.
Want to Go
Semenjak kejadian itu, Alea malas masuk sekolah. Sudah tiga hari.
Mungkin, karena dia terlalu memikirkan hal itu, dia jadi jatuh sakit. Beberapa
kali Revo mencoba menemuinya, tapi Alea selalu menolak.
Kini, Alea tengah berada di kamar seraya menataplangit-langit kamarnya.
Dia meraih ponselnya dan mulai membuka aplikasi Instagram miliknya.
Meski sedang sangat kecewa, dia tetap melihat Insta Story yang dibuat oleh
Revo,yang bertuliskan; I am sorry, I hate me too.
Alea menarik napas sejenak untuk menenangkan pikirannya. Dia masih
terlalu kecewa.
Setelah tiga hari, akhirnya Alea masuk sekolah. Dia memasuki ruang
OSIS, menatap seluruh anggota yangsudah berkumpul. Dia menghampiri
Aria yang berdiri di depan pintu.
“Kak, saya mau ngomong,” ujar Alea tegas.
Aria mengerutkan dahinya. “Kita enggak bisa cumaberdua ngomongnya,
formatur saya perlu tahu. Termasuk Revo,” ujar lelaki itu.
Alea hanya mengangguk.
Aria keluar kelas dan berteriak, “Den, panggilin formatur. Bilang aja
disuruh Aria.”
Tak lama, mereka datang dengan wajah bingung.Apalagi, Revo. Dia
menatap Alea yang sudah berada di sana.
“Kenapa, Ar?” tanya Revo sambil menatap Alea sekilas.Aria pun menatap
Alea dengan tegas.
“Saya mau keluar dari OSIS, Kak.”
Kening Revo berkerut, matanya membulat ke arah Alea.
“Kenapa?” tanyanya tegas.
Alea hanya terdiam.
“Kalo cuma karena masalah pribadi kamu sama salah satu anggota saya,
kamu enggak bisa keluar seenaknya,” tegas Aria.
Alea menghela napas.
“Tapi, saya udah pikirin tentang ini, Kak.”
Aria berpikir sejenak. Sebenarnya, dia mengerti masalah mereka. Alea
hanya salah paham. Namun, dia tak bisa menyudutkan Alea begitu saja. Itu
malah akan makin membuat gadis itu mengira yang tidak-tidak.
“Oke, gini aja, deh. Saya enggak mengizinkan kamu keluar, tapi saya
kasih waktu kamu buat vakum satu bulan.Tapi, kalo sebelum itu kamu mau
aktif lagi, ya, enggak pa-pa,” tegas Aria.
Alea mengangguk.
“Saya mau kamu sama Revo ngomong berdua di sini,” Aria kembali
berkata, kemudian mengajak yang lain untuk keluar.
Setelah semua anggota keluar, ruangan menjadi hening.Revo menatap
lekat wajah Alea.
“Kenapa?” tanya lelaki itu. “Kenapa keluar? Kenapa bawa-bawa OSIS?”
Alea tidak menjawab.
“Gue enggak ngerti mau lo gimana. Lo aja enggakngomong ke gue
masalahnya apa, lo cuma dateng terus nampar gue. Gue enggak marah, tapi
kenapa lo harus bawa-bawa OSIS juga, sih? Masalah lo sama gue, bukan
sama OSIS,” tegas Revo.
Alea hanya tertawa sinis. “Lo enggak usah munafik.Enggak usah seolah
gue yang salah di sini.”
“Gue enggak nyalahin lo. Lo anggap gue salah, kan? Tapi, seenggaknya
lo jelasin ke gue apa kesalahan gue.”
Alea masih tidak menjawab.
Revo menggerakkan wajah Alea agar gadis itu menatapnya.
“Jawab,” ucap Revo tegas. Alea tetap tidak menjawab. “Jawab!” bentak
Revo.
“Lo menghilang di hari itu. Gue habis olahraga dan yang gue ingat, temen
gue ngasih minuman yang katanya dari lo. Karena itu dari lo, gue percaya
dan gue minum aja.Setelah gue minum itu, gue pingsan. Terus, gue udah ada
disuatu gudang dengan posisi tubuh gue diikat. Di sana ada Vando dan
kawan-kawannya, mereka berniat melakukan hal yang tidak senonoh. Dan,
itu semua gara-gara lo!” Alea menunjuk wajah Revo dengan penuh emosi.
Revo sontak bingung.
“Gue punya video waktu lo nyuruh mereka. Di video itu lo bilang kalo lo
benci gue dan nyuruh mereka buat ngelakuin itu. Setelah gue bisa keluar dari
gudang itu, gue ketemu sama lo. Lo masih mau ngelak? Maksud lo apa?”
tanya Alea gemetar.
Revo menggelengkan kepalanya.
“Lo salah paham!” tegasnya.
Alea tertawa sinis. “Salah apa?”
“Gue sama sekali enggak pernah benci sama lo, Alea. Dan, waktu itu gue
ada rapat forum OSIS.”
Alea tertawa sinis.
“Terus, ini apa?” tanya Alea sambil menunjukkan video itu.
Revo mengerutkan dahinya. Sosok di video itu memang benar-benar
seperti dirinya.
Apa mungkin itu dia? Batin Revo bingung.
“Itu bukan gue, Alea. Gue enggak pernah benci samalo. Kenapa juga gue
harus benci sama lo?” tanya Revo.Alea mendengus. “Lo munafik,
Rev.”“Kenapa gue harus celakain orang yang udah bikin hidup gue jadi lebih
baik? You’re like my sister from another mother. Gue sayang sama lo, Alea.”
Alea menatap Revo intens, tertegun sejenak dengankata-kata yang
diucapkan Revo.
Namun, tetap saja, di dalam hati, Alea masih tak percaya dan kecewa.
“Pembohong.” Dia menatap Revo tajam.
“Itu bukan gue.”
“Kalo bukan lo, terus siapa, Rev?” Alea menajamkan tatapannya, lalu
beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Revo sendiri di sana.
Revo pasrah setelah melihat gadis itu keluar dari ruangan. Dia terus
berpikir, siapa dalang di balik semua ini? Lalu, untuk apa dia melakukannya?
Alea melangkah keluar dari ruangan itu, kemudian duduk di bangku taman
sekolah.
“Kenapa gue harus celakain orang yang udah bikin hid-up gue jadi lebih
baik? You’re like my sister from another mother. Gue sayang sama lo,
Alea.”
Alea menghela napas berat, memejamkan matanya.Bayangan tentang
Revo terus menghantuinya. Alea tak maumembencinya, dia tak ingin jauh
dari lelaki itu. Namun, kalau memang betul Revo pelakunya, masih
pantaskah dia mengharapkan Revo? Air matanya mengalir deras.
Tak lama, muncul sosok lucu yang memakai kostum beruang dan
menghampiri Alea. Sosok itu membawabuket bunga mawar putih dan
beberapa cokelat.
Alea bingung.“Kakak jangan nangis,” ujarnya seraya menggerak-
gerakkan tangannya. Alea sontak tertawa.“Kakak kenapa?” tanya sosok itu
lagi.Alea hanya tersenyum.“Kakak jangan senyum, nanti aku suka. Aku, kan,
masihkecil,” lanjutnya, membuat Alea tertawa lagi.“Kamu siapa? Lucu
banget, sih.” Alea memegang pipi kostum beruang tersebut.
Beruang tersebut bergerak-gerak.“Kakak ketawanya juga lucu.”“Kamu
lebih lucu.” “Aku seneng, deh, lihat Kakak ketawa, enggak sedih lagi,” ujar
si beruang seraya melambaikan tangannya.“Iya, enggak kayak dia.” Alea
menundukkan kepalanyalagi dan mendengus.
Matanya kembali berkaca-kaca.“Kakak jangan sedih lagi.” Beruang itu
mengelus punggung Alea.Alea pun tertawa.
“Kamu siapa?” tanya Alea lembut. Beruang itu hanya menggeleng.“Aku
boleh buka?” tanya Alea lagi.Beruang itu mengangguk.
“Tapi, Kakak terima dulu bunga sama cokelatnya,”jawab beruang
itu.“Makasih, ya,” ujar Alea sambil menerima bunga dan cokelat itu.
“Nanti dimakan, ya, Kak, biar tambah gendut.”Alea mengerutkan dahinya
sejenak, lalu tergelak.
“Heh!” dia memukul lengan beruang itu. “Aku buka, ya?
Satu ... dua ... tiga.” Dia pun membuka kepala beruang tersebut.
Setelah terbuka, raut wajah Alea langsung berubah. Seakan tak senang
dan ada yang janggal.
“Rey—nand?” ujar Alea bingung.
“Maaf, ya, aku enggak berniat apa-apa, kok. Aku cumangelihat, kayaknya
akhir-akhir ini kamu sedih terus,” ujar Reynand, lalu duduk di samping Alea.
Alea mengangguk pelan. “Enggak pa-pa.”
“Tapi, kamu lagi kenapa-kenapa, Alea.” Reynand menatap Alea tajam.
Alea hanya tertawa terpaksa.
“Aku enggak suka lihat kamu sedih.” Reynand menggenggam tangan
Alea.
“Aku tahu, aku sering bikin kamu sedih, aku tahu aku salah.
Aku enggak minta kita balik lagi, aku tahu aku udah enggak pantes buat
kamu.
Tapi, aku minta, cari orang yang bisa bikin kamu ketawa terus, ya.
Jangan bikin kamu sedih gini,” ujar Reynand.
“Aku rela kamu sama orang lain, tapi dengan syarat kamu harus bahagia.”
Reynand menatap Alea serius.
Jantung Alea tak lagi berdebar saat menatap lelaki itu.
“Ini urusan gue, Rey.”
“Lea, aku sayang kamu dan aku harus pastiin kamu bahagia.” Reynand
menggenggam tangan Alea semakin erat.
“Gue enggak pa-pa.”
“Jangan sedih atau aku abisin orang yang buat kamu sedih.”
“Rey, jangan macem-macem.” Alea mulai malasmenanggapi Reynand.
“Aku enggak macem-macem, aku cuma mau lihat kamubahagia aja.
Salah?” tanya Reynand.
Alea menghela napas.
“Aku selalu sayang kamu, Lea.” Reynand kembalimenarik lengan Alea.
Alea jadi bingung. Dulu, ketika dia sedang sedih karena Reynand, tiba-
tiba Revo datang. Dan, sekarang malah berbalik? Semuanya malah terasa
janggal bagi Alea.
“I’ll never let you down, Lea.” Reynand mengelus lembut rambut gadis
itu.
Di seberang sana, ada sosok yang memperhatikanmereka. Revo.
“Kenapa dia di sini? Kenapa gue enggak tahu dia disini? Salah gue apa,
sih, Rey?” suara Revo melemah. Dia merasa sangat emosi, tapi mencoba
untuk meredamnya. Dia akan menemui Reynand, tapi nanti setelah Alea
pulang.
Setelah Alea pergi, Revo berjalan mengadang Reynand.“Kenapa lo di sini?”
tanya Revo.Reynand tertawa sinis.
“Apa urusannya sama lo, hah?” Dia menarik kerah baju
Revo. Namun, Revo menepis tangan Reynand.“Gue enggak ngajak lo
berantem. Gue cuma tanya,kenapa lo di sini?” tanya Revo lagi.Reynand
tertawa sinis. “Kenapa? Enggak suka?”“Terserah lo mau ngapain, tapi jangan
bawa-bawa Alea buat jadi mainan lo!” sentak Revo.
“Apaan, sih? Kok, jadi Alea?” sangkal Reynand. “Lo udah rebut
segalanya dari gue, Rev. Enggak usah bawa-bawa Lea!” Dia menghantam
tubuh Revo dengan kuat.
“Kenapa lo buat Alea benci gue?”
“Lo ngomong apaan, sih? Lo yang bikin dia kayak gitu,kan? Kenapa jadi
nyalahin gue? Gue enggak ngapa-ngapain.Ngapain gue bikin dia benci sama
lo? Apa gunanya?”
Revo menghindar, dia tak mau menghantam tubuhReynand karena
sesuatu hal.
“Gue ngerti gimana lo, Rey. Tolong, lo boleh lakuin apa pun yang lo mau.
Lo ambil semua yang lo mau. Tapi, jangan Alea!” bentak Revo. “Lo
keterlaluan, Rey!”
“Tapi, gue enggak ngapa-ngapain!”
“Kalo bukan lo, terus siapa?” tanya Revo.
Reynand tertawa sinis. “Kenapa, sih, lo peduli banget? Lo suka sama
dia?” tanya Reynand. “Ambil bekas gue. Kalobisa. Dia aja benci sama lo,
kan?”
Rahang Revo mengeras. “Jadi, Alea mantan lo?”
Reynand tertawa puas. “Iya, kenapa?” Reynandmendekati tubuh Revo dan
kembali menghajar tubuh Revodengan kuat, tapi Revo sama sekali tidak
melawan.
“Kenapa lo diem aja? Hah?” bentak Reynand.
Revo memegangi perutnya yang terasa sakit. “Lo apaan,sih?”
“Kenapa, sih, lo selalu nuduh gue? Apa karena gueenggak baik? Oke, di
mata orang gue enggak pernah baik, Rev. Apalagi, di mata lo!” bentak
Reynand lagi.
Revo mendengkus. “Gue enggak bahas soal itu, Rey. Gue cuma mau
nanya, kenapa lo bawa-bawa Alea di sini?”
Mata Reynand membulat ke arah Revo.
“Apaan, sih? Gue sama sekali enggak tahu urusan lo sama Lea!”
Tonjokan itu menghatam lagi Revo.“Kenapa lo enggak ngelawan? Takut?”
bentak Reynand.“Lo kalo emang enggak bisa dapetin Alea enggak usah
kayak gini.”
Reynand menghantam tubuh Revo hingga Revo tersungkur. Wajah Revo
memar, bibirnya dipenuhi darah.
“Semua orang anggap lo baik. Semua orang anggap lo punya segalanya,
Rev. Tapi, lo enggak pantes dapetin Alea. Gue—lebih tahu tentang Lea jauh
sebelum lo kenal sama dia. Gue lebih ngerti tentang Lea, Rev. Jadi, enggak
usah bertindak seolah lo korbannya.” Reynand kembalimenghantam Revo,
lalu meninggalkan Revo tersungkur.
“Kak Revo?” terdengar sebuah suara yang dekat denganposisi Revo. Revo
menoleh.
“Kak Revo enggak pa-pa?” tanya gadis itu seraya membungkukkan
badannya.
Revo mencoba bangun dari posisinya, tapi masih sakit sekali. Dia
meringis.
“Kak, itu Kakak udah parah banget. Aku anter Kakakke rumah sakit, ya?”
tanya gadis itu.
Revo menggeleng. “Enggak usah, lo pulang aja.”
“Tapi, Kakak gimana?”
“Gampang.” Revo mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi
Aria. Namun, panggilan itu tak dijawab.
Gadis itu menatap Revo lekat. “Gimana, Kak?”
“Oke.”
Setelah beberapa lama, akhirnya mereka sampaidi apartemen Revo.
“Makasih, ya.” Revo tersenyum tipis. Gadis itu hanya mengangguk.
“Lo sering sama Alea, kan?” tanya Revo.
“Iya.” Gadis itu tersenyum.
“Nama lo siapa?” tanya Revo.
“Acha,” jawab gadis itu.
Di kelas, Alea sangat dekat dengan Acha. Tapi, Alea jarang sekali curhat
tentang hal yang spesifik dengan Acha.
Revo hanya mengangguk. “Gue boleh nanya?”
“Itu Kakak udah nanya.” Acha tertawa.
Revo hanya tertawa terpaksa. “Alea pernah cerita ten-tang gue enggak
akhir-akhir ini?” tanyanya.
Acha menggeleng.
“Gue serius.”
“Alea enggak bilang apa-apa, tapi akhir-akhir ini emangdia beda. Enggak
kayak biasanya, lebih diem aja,” jawab Acha.
Revo memijit pelipisnya. “Tapi, dia pernah cerita kalodia marah sama
gue?” tanyanya serius.
“Dia enggak pernah bilang kalo dia marah sama Kakak.Terus, kayaknya
dia enggak pernah marah serius gitu, deh, sama Kakak. Tapi, kalo kesel gitu
dia sering cerita.” Gadis itu masih tertawa.
Revo mengangguk. Itu tandanya gadis itu memendam semuanya
sendirian. Alea tak ingin melibatkan siapa pun, bahkan teman dekatnya.
“Kesel gimana maksudnya?” tanya Revo penasaran.
“Iya, katanya dia kesel kalo muka Kakak lagi garang kayak singa. Terus,
katanya Kakak itu ngeselin banget. Dia enggak jelas banget, sih, waktu itu,
tapi lucu.”
“Oh, ya?” raut wajah Revo berubah lagi.
“Iya, katanya Kakak itu aneh. Entar, tiba-tiba emosi sendiri, terus baik
sendiri lagi. Katanya, mata Kakak tajem,nusuk.” Acha menggeleng.
Revo tertawa renyah. Gadis itu memang menggemaskan dan sekarang
Revo merindukannya.
Apa bener gue kangen sama lo? Batin Revo tak percaya.
“Kakak lagi ada masalah sama Alea, ya? Cerita aja, siapa tahu aku bisa
bantu.”
Revo menggeleng.
“Enggak pa-pa,” tepis Revo seraya tersenyum.
“Maafin Alea, ya, Kak. Kadang, dia suka kelewat cuek, enggak peka,
childish, aneh,” ujar Acha.
Revo tersenyum. “Katanya, lo temen deketnya?”
Acha mengangguk.
“Kenapa jelek-jelekin temen lo? Gue enggak suka lo jelek-jelekin Alea.
Apalagi, di depan gue,” tegas Revo.
Acha menunduk.
“Alea enggak childish, kok. Kelihatannya aja begitu,” bela Revo lagi.
Acha kembali mengangguk. “Maaf, Kak. Aku enggak bermaksud jelek-
jelekin Alea.”
“Ya, udah, udah malem juga. Lo enggak pulang?”tanya Revo.
“Kakak sendiri enggak pa-pa?”
“Santai aja.” Revo hanya tersenyum.
Acha lalu beranjak pergi. “Ya, udah saya pulang, ya, Kak,” pamitnya.
Revo mengangguk. “Makasih banyak, ya.”
Acha hanya tersenyum, lalu keluar dari apartemen Revo. Jika itu Alea,
Revo pasti akan memaksanyauntuk pulang bersamanya.
Terungkap dan Kembali
Sembilan tahun yang lalu, semua barang terbanting. Revo yang masih
berumur 8 tahun menutup mata dan telinganyakuat-kuat. Dia tak tahan
melihat Gerald yang terus berlaku kasar kepada Catherine, ibunya. Gerald
seperti itu karena Catherine baru kembali ke rumah pukul 3.00 pagi. Hal itu
Catherine lakukan karena dia harus mengurus bisnis yang tidak bisa ditunda
lagi dan karena hal itu Gerald malahmenganggap jika Catherine
menelantarkan anak-anaknya. Mendengar pertengkaran yang hebat itu, Revo
yang beradadi kamarnya terus memeluk Reynand, adiknya yang hanya
berselisih setahun darinya. Wajah mereka memang mirip, tapi tidak identik.
Wajah mereka masih bisa dibedakan. Adiknya itu sangat ketakutan karena
pertengkaran hebat yang terjadi di luar kamar mereka. Revo terus memeluk
Reynand untuk menenangkan adiknya itu, tapi suara gaduh itu sangat
kencang sehingga membuat mereka tetap mendengarnya. Pertengkaran
mereka semakin hebat dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk
bercerai.
Catherine masuk ke kamar anak-anaknya dan mengajakkedua anaknya itu
untuk ikut bersamanya. Namun, Gerald menolak hal itu, dia bilang Catherine
tak bisa membawa kedua anaknya. Meski begitu, pada akhirnya
Catherinemengajak Revo untuk pergi, sementara Reynand tetapbersama
Gerald di Bandung.
Revo sebenarnya tak mau meninggalkan adiknya sendirian. Dia tahu jika
papanya terlalu kasar dan temperamental. Reynand pun sebenarnya tak mau
berpisah dengan Revo, tapi Catherine terus menarik paksa Revo untuk
pergidari rumah itu. Semenjak itu, hubungan Reynand dan Revotak lagi baik.
Sebelumnya, Revo selalu membela Reynand jika adiknya itu berbuat
kesalahan, tapi Reynand benci karena Revo pergi meninggalkannya bersama
papanya, padahal Reynand sangat takut dengan papanya.
Revo menghela napas sejenak. Air matanya terbendung.
“Itu hari terakhir gue di Bandung. Nyokap langsung bawa gue ke Jakarta.
Reynand itu emosional banget, Rel, dan dia enggak bisa ditekan. Dulu, dia
nakal, Mama kadang enggak sabaran ngadepinnya. Apalagi, Papa kalo
Reynand nakal pasti langsung main tangan. Emang saat itu, mungkin dia
butuh sosok yang bisa ngertiin dia. Tapi, gue malah ninggalin dia.”
Farrel mengangguk, dia tak menyangka hidup sahabatnya sedrama itu.
“Drama banget, ya. Maaf, Rev, tapi kenapa nyokap lo bisa—” tanya
Farrel dengan hati-hati.
“Sebulan setelah perceraian mereka, ada gosip Papa bakal nikah lagi.
Entah, tapi setahu gue sampe sekarang Papa enggak nikah lagi. Meski gitu,
gue tahu gimana sifat jeleknya Papa,” Revo berkata geram.
Farrel menepuk pundak sahabatnya. “Dia orangtua lo, coy!”
“Tapi, gue tahu gimana pergaulannya. Bokap gue juga sering balik pagi.
Gue sering nangis nyariin bokap gue, terusgue enggak tidur sampe pagi.
Terus, dia mukulin gue dan pasti berantem sama Mama,” lanjut Revo.
“Berarti, Reynand emosional kayak bokap lo?” tanya Farrel.
Revo menaikkan kedua bahunya. “Bisa jadi, tapi enggaksebegitunya juga
kayaknya.
“Empat tahun tanpa Papa, kondisi nyokap semakin terpuruk. Puncaknya
waktu perusahaan nyokap gue bangkrut,katanya nyokap sedih karena enggak
bisa treat gue kayakanak-anak seumur gue. Padahal, gue oke aja. Enggak
lama,nyokap didiagnosis kena Amnesia Disosiatif. Dokter bilang,bakal butuh
waktu yang lama buat ngembaliin ingatannyokap. Karena, penyakit ini
berkaitan erat sama emosi.Kehilangan memorinya, terutama memori jangka
panjangnya. Amnesia ini juga bikin dia enggak bisa inget tentang orang-
orang di sekitarnya. Nyokap terlalu lelah buat nerima kenyataan yang
sebenarnya, makanya egonya ngelindungindia buat enggak nerima kenyataan
yang menyakitkan buat dia itu.”
“Tapi, semenjak ada Alea, nyokap jadi sering ketawa. Akhir-akhir ini,
nyokap juga jadi mau terapi. Nyokap jadi punya semangat hidup lagi.
Bahkan, dia mau meluk gue, ya, karena Alea,” ujar Revo, sembari
menenangkan dirinya.
“Kenapa lo bisa hidup sendiri? Kenapa lo enggak balik sama bokap lo?”
“Gue udah nyaman begini, Rel. Bokap gue tetep subsidibuat gue tiap
bulan, uangnya juga enggak pernah gue pake sampe habis. Kalo menang
olimpiade, hasilnya juga enggakpernah gue pake.”
Farrel mengangguk.
“Gimana bisa lo tetep jadi anak yang baik? Setahu gue,ya, biasanya, tuh,
mereka bakal milih hal negatif buat jadi pelampiasan.” Dia penasaran.
“Gue sayang Mama, Rel. Gue enggak mau dia kecewa lagi. Gue yakin,
suatu saat dia bakal sembuh, terus bahagia dan bangga lihat gue nanti. Lagi
juga, gue enggak bisa, ngerokok aja batuk. Ke bar, gue pusing cium bau
alkohol.” Revo menggeleng seraya tertawa.
“Terus, Alea?” tanya Farrel.
“Kenapa Alea?” tanya Revo balik.
“Kenapa bisa ada masalah sama dia?”
Revo menceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Farrel pun
mengangguk mengerti.
“Siapa pun pelakunya, enggak bakal gue maafinseumur hidup. Apa-apaan
bikin Abang Revo sama adek gueberantem? Kampret semut rang-rang!”
“Lebay lo!”
“Lihat aja, ya, enggak lama lagi pasti si adek bakal ke sini.” Farrel
bergegas pergi dari apartemen Revo. “Tapi, losembuh dulu, muka lo serem.”
“Terserah lo, deh, Rel.” Revo menggeleng pasrah.
Esok harinya, ketika waktu menunjukkan pukul 4.30 sore—waktu pulang
sekolah SMA Gempita—Farrel berdiri di koridor untuk menunggu seseorang.
Tak lama, sosok yang diatunggu datang. Gadis yang tak begitu tinggi dan tak
begitu pendek, berpipi chubby, berkulit hampir putih, panjangrambutnya
lebih sedikit dari bahu, dan tidak terlalu kurus.
“Alea,” panggil Farrel.
Alea menoleh ke arah suara itu. “Cha, lo duluan aja, deh,” suruh Alea,
yang disambut anggukan Acha.“Gue mau ngomong sama lo, serius.”Farrel
sepertinya tidak bercanda. Alea pun mengangguk. Dia berjalan mengikuti
Farrel. Ternyata, Farrel mengantarnya memasuki area rooftop sekolah, yang
keberadaannya hanya diketahui mamang sekolah, Revo, Farrel, dan Alea
sendiri.
“Kenapa, Kak?” tanya Alea serius.
“Lo ada masalah sama Revo?” Farrel to the point.
“Kalo cuma bahas dia, gue mau pulang.” Alea beranjakberdiri, tapi Farrel
menahan kuat tangan gadis itu.
“Kenapa?”
“Kakak pasti tahu kenapa.”
“Gini, deh, sekarang lo mikir. Kalo emang Revopelakunya, buat apa dia
khawatir sama keadaan lo? Buat apa dia minta maaf berhari-hari ke rumah
lo?”
“Biar enggak disalahin, lah. Mana ada maling maungaku.”
“Nah, itu lo tahu. Kasarnya gini, kalo Revo emang pelakunya, buat apa
dia suruh orang buat videoin dia? Pasti kalo dia pelakunya, bukti bakal
diamanin seberes mungkin,lah. Enggak mungkin malah ditunjukin gitu aja
sama anak buahnya,” jelas Farrel.
Alea menghela napas dan berpikir sejenak.“Lo emang temennya,” ujar
Alea kemudian, “pasti lo bakal belain dia, lah.” “Seinget gue, gue punya
buktinya, deh, kalo waktuitu mereka memang ada di forum OSIS.” Farrel
merogoh kantong celananya dan meraih ponselnya. Dia mencaririwayat
multichat-nya dengan formatur OSIS dan memperlihatkannya pada Alea.
Di foto itu, memang terlihat jelas bahwa Revo tengahberada di forum
OSIS se-DKI Jakarta.
farrelradena: Ehem.
Salsa: Kirim ke grup Gempita 67 ah. Sisain satu, dong, yang kayak
gini, Alea harus baca, ah.
Alea mengerutkan dahinya. Rasanya tak mungkin jika chat itu rekayasa.
Dia memijit pelipis.
“Itu semua cuma setting-an, kan?” tanya Alea ketus. Kalo emang itu
beneran, kenapa Revo enggak jelasin dariawal?”
“Lo aja enggak mau ketemu dia, gimana bisa diajelasin?”
Alea terdiam.
“Logikanya gini, buat apa Revo ngelakuin ini?”
“Dia benci sama gue katanya, di video itu.”
“Logikanya kalo dia benci sama lo, emangnya hari-harisebelumnya lo
pernah berantem? Lo punya salah apa sama Revo?” tanya Farrel.
I love you, Alea.
Kata-kata itu yang paling Alea ingat sehari sebelumnya.Yang dia ingat,
mereka ke rumah sakit untuk menjenguk Tante Catherine.
“Baik-baik aja, sih,” gumam Alea. “Makanya, guebingung.”
“Nah, lo sadar enggak lo berdua lagi diadu domba?” tanya Farrel serius.
Alea menahan napas, mencoba menenangkan dirinya.
“Gue enggak tahu, sih, perasaan Revo ke lo gimana, tapi gue yakin lo
berdua bisa ngerasain sendiri. Revo sayangsama lo, Alea. Enggak tahu
sayang dalam artian apa, yang jelas dia sayang sama lo. Lo ngerti enggak
maksud gue?”
Alea mengangguk pelan.
“Sekarang, Revo mana?” tanyanya.
“Revo sakit.”
“Sakit apa?” tanya Alea terkejut.
“Lihat aja sendiri. Kalo lo mau tahu, lo ke apart Revo aja. Gue balik.”
“Kak Farrel, emangnya Kak Revo kenapa, sih?” Alea mendesak dengan
semakin khawatir.
“Dia babak belur gara-gara lo. Dia enggak mau ada orang yang celakain
lo beneran. Gue balik, ya.”
“Kak Farrel.” Alea menahan tangan Farrel untuk tidak pulang. “Anterin
gue ke apart Kak Revo, ya?”
Farrel pun mengangguk dan mengantar gadis itu hinggake depan pintu
apartemen Revo, lalu segera pergi meninggalkannya agar mereka punya
waktu berdua.
Jam sudah menunjukkan pukul 6.00 sore. Dengan ragu,jemari Alea menekan
bel apartemen Revo.
“Masuk aja, sih, Rel!” ujar Revo dari balik selimutnya.
Alea menghela napas dan kembali menekan bel itu.
“Rel, berisik lo.”
Alea menyiapkan mentalnya untuk berbicara dengan Revo. Dia sangat
canggung sekarang.“Rev, ini Alea.” Suara gadis itu membuat Revo membuka
matanya dan melepas selimutnya. Dia memperjelas pendengarannya.
Dia mencoba berdiri meskipun sangat sakit. Lalu membuka pintu
apartemennya.
Revo menatap gadis yang masih berseragam sekolah. Dia terkejut.
“A—Alea?” Revo sangat gugup. Dia menggaruk kepalanya, mengusap
hidungnya, memainkan alisnya.
Alea juga hanya menatap Revo. Ketampanan lelakiitu tidak berkurang
meski hanya memakai kaus oblongberwarna hitam dan celana selutut
berwarna putih. Deru napas Alea jadi tak karuan.
“Masuk.” Revo mempersilakan seraya tersenyum. Aleamenatap luka dan
lebam di wajah lelaki itu.
“Gue enggak akan ngapa-ngapain.”
Alea mengangguk ragu sebelum masuk.
“Lo ke sini sama—” ujar Revo terpotong karena Alealangsung merangkul
lengan Revo yang ada di hadapannya.
“Hei, lo kenapa?” Revo mengelus lembut rambut Alea. Dia bisa
mendengar gadis itu menangis. “Jangan nangis.”
“Maafin gue, gue udah nuduh lo yang enggak-enggak.”
Revo hanya tersenyum. “Enggak pa-pa, gue ngerti, kok,posisi lo gimana.
Jangan nangis, ya, gue enggak pa-pa.”
“Le?” ulang Revo lagi. “Btw, gue belum mandi, sumpah,” ujar Revo.
Alea terkekeh kecil, lalu melepas cengkeramannya.
“Maafin gue, ya.”
“Harusnya, gue yang minta maaf. Lo mau, kan, maafin gue?” tanya Revo.
Alea menggeleng.
“Kok, geleng?”
“Gue yang minta maaf,” ulang Alea.
“Gue yang salah,” ujar Revo.
Alea menggeleng lagi. “Gue!”
“Oke, gue maafin lo. Lo mau, kan, maafin gue?” tanyaRevo seraya
tersenyum.
Alea mengangguk.
“Gue enggak marah sama lo, Le,” ujar Revo.
“Tapi, kenapa ada orang yang mau bikin kita berantem?Buat apa coba dia
bikin gue marah sama lo?”
“Kalo lo marah, kocak soalnya,” jawab Revo.
Alea mendengus. “Kenapa, sih, lo tetep aja ngeselin?”
Revo terkekeh melihat bibir gadis itu yang cemberut. “Tapi, ngangenin,
kan?” godanya.
Alea menggeleng. “Enggak, lo kali yang kangen sama
gue,” ujarnya.Revo menaikkan satu alis. “Iya. Gue kangen sama lo.” Dia
hanya menjawab singkat, tapi membuat jantung
Alea berdebar lebih kencang. Pipinya memerah.
“Lo habis berantem, ya?” Alea mengalihkan pembicaraan. Dia memang
penasaran dengan luka di wajah Revo, dan cemas melihat Revo yang sampai
sulit untuk berjalan.
“Hm.” “Gara-gara gue?” Revo menatap Alea meledek. “Geer.” “Kata
Kak Farrel, lo bonyok gara-gara gue?” tanya Alea. Revo hanya terkekeh.
“Enggak pa-pa, kok, gue,” ja
wabnya ketika melihat wajah Alea yang sudah panik.
“Pasti lo belum obatin yang bener, deh. Itu luka lo nanti infeksi. Padahal,
ada kotak P3K lengkap juga.” Alea mengambil kotak P3K di dekat sofa milik
Revo.
“Berisik, lebay lo.” “Sini.” Alea mendekati Revo, lalu mengobati luka-
luka
Revo dengan perlahan.“Sakit,” ringis Revo.“Sebentar, daripada infeksi.
Nanti, muka lo tambah
jelek.”“Berarti, sekarang ganteng?” goda Revo.Alea memukul tubuh Revo
pelan.“Aduh, duh, sakit!” Revo melebih-lebihkan gayanya.“Lebay, lo enggak
jago akting, ah,” dumel Alea. Revo terkekeh kecil seraya menatap wajah
gadis itu.“Kalo enggak diobatin bisa infeksi tahu, kenapa, sih,
enggak dari kemaren diobatinnya?” tanya Alea kesal.“Iya, maaf, Bu
Dokter.”
“Lagian, lo berantem sama siapa, sih?” Alea bertanya serius sambil
menatap lekat ke arah Revo. Namun, Revomalah keluar dari kamarnya
menuju balkon luar. Aleamengikutinya.
Revo menatap langit malam Kota Jakarta yang bertaburbintang, sementara
Alea masih menatap wajah Revo denganlekat. Entah mengapa, menatap
wajah lelaki itu sepertimenciptakan kenyamanan tersendiri baginya.
Tatapan Revo beralih kepadanya. Tatapannya sangat tajam dan selalu
mampu mengintimidasi lawannya, sehingga Alea mengalihkan pandangannya
ke bawah. Di bawah sana terdapat lampu-lampu, gedung-gedung tinggi,
dankendaraan yang sangat indah untuk dipandang.
“Kenapa lo lihatin gue kayak gitu?”
“Lo duluan yang lihatin gue.” Revo membela dirinya. “Enggak usah
salting. Muka lo jelek.”
“Rev, gue serius, deh, lo berantem sama siapa? Terus, kenapa lo
berantem?”
Revo mengetuk dagunya sendiri, meledek Alea yang tengah serius.
“Sama Reynand, ya?” tebak Alea.
Kenapa Alea bisa tahu? Apa mungkin beneran Reynand pelakunya? Batin
Revo penasaran.
“Mantan lo, ya?”
Mata Alea membulat penuh ke arah Revo. Kenapa diabisa tahu?
“Kok, lo tahu?”
Revo terkekeh kecil. “Muka lo biasa aja kali, jelek.” Revo meraup wajah
Alea.
“Jadi, bener lo berantem sama Reynand?” Alea menepistangan Revo dan
menatapnya serius.
“Jadi, bener dia mantan lo?” tanya Revo balik, membuat Alea tak bisa
menjawab.
“Iya.”
“Oh.” Revo mengalihkan pandangannya lagi ke atas.
“Dia mantan gue waktu di Bandung.”
Revo hanya mengangguk.
“Tapi, sekarang udah enggak ada hubungan apa-apalagi.” Alea mulai
bingung melihat Revo yang tiba-tibabersikap dingin. “Lo marah?”
“Enggak, lah. Kenapa harus marah? Lebay lo.”
“Lagian lo tiba-tiba diem.”
“Gue lagi mikir keras.” Revo mengetuk dagunya.
“Mikir apa?”
“Kenapa Reynand mau sama lo, ya? Katanya, pas dia pertama masuk aja
udah dikejar-kejar cewek. Masa, mau sama cewek yang modelnya kayak lo
gini?” Revo menatap Alea dari atas sampai bawah.
Alea berdecak kesal. “Enggak tahu.”
Revo terkekeh. “Enggak usah ngambek.” Dia menggelitiki leher Alea
sehingga gadis itu menjerit histeris. Dia memang tak kuat soal ini.
“Ah, enggak lucu. Enggak mau main kelitikan.”
“Udahan, ah, ampun.”
Revo tertawa renyah mendengarnya. Meski seringtertawa, rasanya dia tak
pernah tertawa selepas ini. Alea sangat menyukai tawa renyah Revo, yang
menandakanbahwa lelaki itu memang tengah berbahagia.
“Ah, dasar lemah!”
“Geli!”
Revo masih saja tertawa.
“Gue serius, deh, lo berantem sama Reynand? Berarti, Reynand yang
pengin gue marah ke lo?”
“Iya, gue berantem sama dia. Tapi, belum tentu juga dia pelakunya,
enggak usah nebak-nebak dulu,” tegas Revo.
“Tapi, siapa lagi, Rev? Cuma dia yang akhir-akhir ini tiba-tiba dateng,
kelakuannya juga aneh. Masa, iya, tiba-tibadia jadi boneka beruang pas gue
lagi kesel sama lo?”
“Ya, mungkin aja dia mau temenan sama lo. Lo, kan,
gendut kayak gajah.”Alea berdecak kesal. “Gue serius!” “Gue juga serius,
terus pacarannya kapan?” goda Revo.“Rev, serius. Kenapa lo seakan bodo
amat, sih? Dia
itu udah bawa-bawa lo di sini. Kalo berita ini nyebar, kan, jadinya
pencemaran nama baik. Lagi juga, dia pinter bangetbikin bukti palsu.
Sumpah, ya, siapa lagi orang yang mirip sama lo selain Reynand?” tanya
Alea kesal.
Revo berdiri, begitu pula Alea. Dia memegang pundak
Alea. “Siapa pun pelakunya, itu enggak penting, Alea.”“Kenapa enggak
penting?” Alea menatap Revo.“Yang penting, lo percaya kalo itu bukan
gue.”“Kalo dia ngelakuin hal yang lebih bahaya gimana?”“Ya, mau dia
ngejalanin rencana apa juga kalo lo percaya sama gue, dia enggak akan
berhasil. Lo percaya, kan, sama gue, Le?” tanya Revo seraya menatap lekat
Alea. Aleatak mengerti mengapa jantungnya sering berdegup kencangketika
Revo menatapnya selekat ini.
“Iya. Tapi, gue tetep mau tahu siapa pelakunya.” Revo mengangguk.
“Oke, kalo gitu gue juga mau tahu.” “Katanya enggak penting?” “Kalo
penting buat lo, itu berarti penting buat gue.” Alea tertegun dengan kata-kata
Revo
“Sebenarnya, memang udah cukup kalo lo percaya itu bukan gue. Tapi,
gue enggak mau lo ngerasa terancam.”
Revo mengacak gemas rambut gadis itu. Tubuh Alea mematung,
jantungnya berdegup kencang.
“Kalo lo mau pulang, gue anterin lo pulang.”
Tak lama, Revo kembali ke kamarnya, walaupun masihterlihat menahan
sakit. Tubuh Alea masih mematung. Dia hanya menatap Revo dari belakang
hingga lelaki itu hilang dari pandangannya.
Kenapa gue malah deg-degan?
Alea masuk dan menatap Revo. “Ya, udah, gue balik.”
“Gue anterin.” Revo beranjak berdiri lalu, mengambil kunci mobilnya.
Alea menggeleng kuat. “Rev, lo berdiri aja susah.Apalagi, bawa mobil
coba? Gue bisa pulang sendiri, kok. Dikira gue anak kecil apa?”
“Emang, iya, lo anak kecil,” jawab Revo meledek.
“Enak aja lo ngatain gue anak kecil!”
“Dih, emang, iya, kan? Buktinya aja lo masih belepotankalo lagi makan es
krim.” Revo tetap tak mau kalah.
“Gue balik. Cepet sembuh.” Alea melambaikan tangannya, lalu bergegas
keluar dari apartemen Revo.
“Hati-hati,” ujar Revo.
Alea mengangguk. Ada rasa lega tersendiri setelahdia tahu bukan Revo
pelakunya. Namun, yang selalu dia tanyakan dalam benaknya, siapa sosok
yang membuatmereka seperti ini?
“Awas nginjek semut,” ledek Revo seraya tersenyum. Alea hanya
menoleh, lalu tertawa sejenak.
Guess
Hari ini, Alea bersekolah seperti biasa. Selepas siang, dia disuruh oleh Bu
Lidya untuk mengambil buku di perpustakaan bersama Acha.
“Pak, buku fisika yang biasa dipake Bu Lidya yangmana, ya?” tanya Alea
setiba dia di perpustakaan.
Pak Tejo menunjukkan sebuah buku. Alea menganggukdan
mengambilnya.
“Makasih, Pak, pinjem, ya,” ujar Alea.
“Ah, si Eneng cantik banget, sih.” Pak Tejo mengibaskan rambutnya.
Dahi Alea berkerut sejenak, lalu tertawa.
“Ehem.” Acha menyenggol lengan Alea.
“Siapa yang cantik?” tanya seseorang dengan nadaserius. Iya, itu
Reynand. Alea menoleh ke sumber suara itu.
Pak Tejo bergegas pergi.
Alea menatap Reynand tajam, lalu membuang muka. Dia malas menatap
Reynand. Dia masih saja bertanya-tanya, mungkinkah Reynand dalang di
balik semuanya? Jika bukan, siapa lagi? Hanya dia lelaki paling nekat yang
Alea kenal.
“Kenapa?” tanya Reynand bingung.
“Gue mau ngomong,” jawab Alea serius, lalu menatap ke arah Acha.
Acha mengerti. Dia pun pergi.
“Mungkin, kita bisa sambil makan atau—” ucapanReynand terpotong saat
Alea menatapnya tajam.
“Gue mau ngomong sama lo di sini, sekarang.” Aleamemutuskan ketika
melihat sekitarnya sepi.
“Hei, tenang dulu, ya?” Reynand mencoba memegang lengan Alea, tapi
Alea menepisnya. Alea kemudian duduk di kursi perpustakaan.
“Maksud lo apa lagi, sih, Rey? Apa lo enggak bisa bikinhidup gue tenang-
tenang aja gitu?” tanyanya kesal.
Reynand bingung. “Maksud kamu?”
“Gue enggak pernah ganggu hidup lo, apalagi hubungan lo sama Gladys,
kan? Padahal, jelas-jelas lo yang selingkuhin gue. Apa gue permasalahin
waktu lo buang guegitu aja? Apa gue pernah bales semuanya ke lo?”
Reynand menghela napas sejenak.
“Oke, aku ngerti apa yang aku lakuin ke kamu dulu itu salah. Tapi, aku
emang beneran mau minta maaf ke kamu sekarang, Lea. Kenapa kamu bahas
lagi?” dia mencoba menenangkan.
“Gue enggak bakal bahas lagi kalo lo enggak mancing gue, Rey. Gue
udah cukup sabar. Tapi, tolong, enggak usah bawa orang lain di sini!” tegas
Alea.
“Maksud kamu apa, sih, Lea? Aku enggak ngerti.”
“Lo sengaja mau bikin gue celaka? Lo, kan, yang nyuruh Vando sama
gengnya buat nyulik gue waktu itu? Terus, lo puter balikin fakta seolah Revo
yang ngelakuin semuanya. Iya, kan?” Alea bertanya dengan marah.
Reynand menggeleng. “Kenapa pikiran kamu sejelekitu ke aku, sih, Lea?
Apa aku seburuk itu menurut kamu?”
“Lo yang bikin gue mikir kayak gini, Rey. Lo keterlaluan. Bahkan, Revo
sekarang sakit, babak belur. Gara-gara lo, kan?” Alea berdiri.
Reynand tampak mulai emosi. “Maksud lo apa, Lea? Gue tahu, gue bukan
cowok baik kayak Revo yang selalu dibangga-banggain banyak orang. Tapi,
gue enggak mung-kin celakain lo. Gue sayang sama lo.” Dia menatap lekat
mata Alea. Dia sepertinya sudah kelewat geram sehingga bahasanya pun
berubah menjadi “lo-gue”.
“Lo enggak celakain gue, tapi lo bikin gue benci sama Revo. Apa lo mau
jauhin gue sama Revo? Kenapa, sih? Gue sama Revo bahkan enggak ada
hubungan apa-apa.”
“Bukan gue, Lea. Bukan!” Reynand ikut berdiri.
Alea menggeleng. “Gue ngerti gimana lo, Rey.”
“Oke, gue emang enggak bisa bikin lo bahagia, cuma bisa bikin lo sakit
hati. Tapi, apa lo enggak inget gue juga pernah berjuang buat lo? Gue pernah
jadi orang yang selalu ada di hati lo? Lo pikir, gue sejahat itu?” ujar Reynand
tegas. “Gue kira masih ada ruang di hati lo buat maafin gue, Lea.” Mata
Reynand tampak kecewa. “Gue ke Jakarta cuma demi lo, cuma supaya lo bisa
maafin gue.
“Satu yang perlu lo tahu, gue masih sayang sama lo. Dan, gue enggak
mungkin ngelakuin hal itu!” Reynand menegaskan. Matanya menunjukkan
banyak hal—sedih,marah, kecewa. “Gue kira, lo beda dari yang lain, ternyata
sama aja.” Reynand bergegas pergi, tapi bahunya mengenaibahu Alea.
Alea menatap sendu ke arah Reynand. Entah mengapa,dia bisa merasakan
sakit yang Reynand rasakan. Namun, memang tingkah Reynand yang paling
mencurigakan.
Reynand memilih pergi karena dia tak mau emosi danmelukai Alea. Dia
bergegas ke taman.
“Kenapa harus Revo? Apa-apa Revo. Kayak enggak adaorang lain aja!”
pekik Reynand.
“ARGH!” Dia menonjok kuat pohon di depannya.
“Kenapa lo rebut semuanya dari gue?” rahang Reynand mengeras.
“Kenapa semua orang bisa bahagia? Sementara gue enggak?” Emosi
Reynand memuncak. Dia ingin menonjok lagi pohon di depannya. Namun,
sebuah tangan mungil menahan tangannya yang sudah berdarah.
“Gue bilang jangan gegabah, Reynand. Jangan terlalu kebawa emosi.
Bakalan ada orang yang lebih pintar di sini.”Gadis itu tersenyum jahat.
“Maksud lo?”
Gadis itu hanya terdiam.
“Maksud lo apa?” Reynand kembali bertanya.
“Orang itu lebih tahu tentang seluk-beluk mereka,”jawab gadis itu sinis.
“Siapa?”
Alea hanya mengaduk-aduk mi ayam di hadapannya,sementara Acha melihat
jam tangannya. Sepertinya, dia sedang terburu-buru.
“Le, gue duluan boleh? Ada urusan, penting.”
“Mau ke mana?” tanya Alea.
“Gue ada janji sama orang, Le. Lagian, dari tadi lo diemaja, sih. Gue
duluan, ya,” jawab Acha. Alea mengangguk dan membiarkan Acha pergi.
“Hei,” sapa seseorang. Alea mendongak.
“Boleh duduk?” tanya Revo.
Alea hanya mengangguk. “Kenapa lo sekolah?”
“Biar pinter,” jawab Revo meledek.
Alea mendengus. “Gue serius. Lo masih sakit gitu juga.”Dia menatap
wajah Revo yang masih lebam. “Masih sakit?”tanyanya seraya memegang
pipi Revo.
Revo menatap lekat wajah Alea. Entah mengapa, dia menjadi gugup.
Alea malah menepuk pipi Revo sehingga lelaki itu meringis.
“Ya, sakit, lah, dodol!” sahut Revo.
“Ya, lo stres, ditanyain malah bengong.” Alea melepaskan tangannya dari
pipi Revo.
“Kenapa, sih? Kok, tumben sendirian?
Acha mana?”tanya Revo.Alea mengernyit.
“Kok, lo kenal Acha?”
“Ya, tahulah, gue harus tahu siapa aja yang bareng sama lo setiap hari.”
Revo menatap Alea intens.Alea tertawa. “Lebay. Emangnya lo bapak
gue?”
“Bapak dari anak-anak lo aja, deh,” goda Revo.
Alea menimpuk wajah Revo dengan buku yang tadi dia bawa.
“Gue serius, deh, kenapa lo malah sekolah kalo lo masih sakit?”
“Ya, obatnya ada di sekolah.” Revo menaikkan satu alisnya seraya
tersenyum. Jantung Alea menjadi berdegup kencang. Dia kemudian hanya
mengangguk pasrah.
“Gue enggak mau ada orang yang nekat ngapa-ngapain
lo, Alea.” Revo menegaskan.“Btw, tadi gue udah ngomong sama
Reynand.
”Ekspresi wajah Revo berubah, dia menatap Alea serius.
“Ngomong apa?” tanyanya.Alea hanya terdiam.
“Dia bilang apa, sih?” tanya Revo lagi.Alea menarik napas panjang.
“Ya, gitu, deh.” Dia meletakkan kepalanya di atas tangannya yang
terlipat.
“Gitu gimana? Enggak jelas lo!” Revo menarik tangan
Alea. Alea menatap Revo malas.“Dia malah marah. Gue bingung,
deh.”“Kan, gue udah bilang, jangan asal nuduh.”
“Tapi, dia yang paling aneh, Rev. Sebelum dia pindah ke sini enggak ada
masalah apa-apa.”
“Enggak usah dibahas lagi aja, ya,” Revo mengelus punggung tangan
Alea seraya menatapnya. “Percaya sama gue, cepet atau lambat pasti
pelakunya bakal ketahuan.”
“Emang lo siapa? Thanos?” tanya Alea kesal.
“Kok, lo ngeselin, sih? Mau gue kelitikin lagi?”
Alea menepis tangan Revo yang mulai mendekatinya. “Ah, pergi lo jauh-
jauh!” pekiknya. Namun, Revo tetap mendekatinya. Alea memukul tubuh
Revo.
“Nanti, lo kangen kalo gue jauh. Lagian, lebay bangetlo. Gini doang geli?
Hah?”
Alea terus menghindari Revo, lalu berlari. Revo tertawapuas melihatnya,
tapi dia tidak bisa mengejar Alea karenakaki dan punggungnya masih terasa
ngilu.
Dari kejauhan, ada sepasang mata yang tak senangmelihat mereka. Dua
orang itu terlihat sangat bahagia,walaupun alasan mereka tertawa sangatlah
sederhana.
“Sial. Kenapa mereka masih aja bisa bareng? Kenapa Alea bisa percaya
sama Revo? Enggak becus,” ujar seseorangdengan penuh kebencian.
“Tapi tenang aja, selanjutnya lo berdua enggak akan bisa bareng kayak
gini lagi. Lo yang mulai, gue udah ikutin permainan lo. Sekarang, lo yang
bakalan terjebak di sini,” ujar lelaki tersebut seraya tersenyum miring.
Dia kemudian berjalan cepat menemui seseorang.Dengan sinis, ditatapnya
gadis yang sudah terlebih dahulu sampai di sana.
“Lama banget lo!” sentak gadis itu. Lelaki itu mendorong tubuh mungil
itu ke tembok dan menahannya.
“Enggak becus. Kenapa Alea sama Revo bisa baikan?
Buat apa gue kerja sama bareng orang enggak becus?
Hah?”bentak lelaki itu.
Gadis mungil itu menundukkan kepalanya. “Maaf.”
“Maaf, maaf. Kerja begitu doang enggak bisa!”
“Lo enggak bisa nyalahin gue gitu aja, dong. Lo aja ngumpet. Revo
enggak akan nyangka kalo lo pelakunya. Gue yang kerja di sini. Bahkan,
mereka sempet berantem karena kerjaan gue. Lo ngotak, dong!” lawan gadis
itu.
“Oke, gue yakin rencana selanjutnya bakalan berhasil kalo kerja lo
becus!” Dia menunjuk bahu gadis itu dengan telunjuknya.
“Rencana apa?” tanya gadis itu bingung.
“Rencana yang lo enggak bakal percaya, bahkan Revojuga enggak akan
percaya.”
Di sisi lain, Alea masih menjauhi Revo. Alea menolehke belakang, tapi
tetap berjalan cepat sehingga tanpa sadardia menabrak seseorang.
“Pak Dibyo?”
Mampus gue. Alea menggigit bibir bawahnya. Pak Dibyo pembina OSIS.
Jika ditanya galak atau tidak, ibaratnyabegini. Aria saja sudah galak. Namun,
kegalakannya masih seperdelapan kegalakan Pak Dibyo. Meski begitu, Pak
Dibyo bisa berubah menjadi orang yang asyik jika sedang bercanda.
“Kenapa kamu lari-lari? Buat gaduh saja. Ini sudahmasuk jam pelajaran.
Kenapa masih di kantin?” tanya Pak Dibyo tegas.
“Maaf, Pak.”
“Kamu juga, Revo. Kenapa masih di sini? Jadi wakilketua OSIS gimana,
sih? Kalian itu anak OSIS, harusnya bisa mencontohkan yang baik.
Bukan seperti ini. Memalukan!” Pak Dibyo kembali membentak.
Namun, Revo hanya menunduk seraya tersenyum tipis dan melirik Alea.
Dasar gila, batin Alea kesal seraya melirik Revo sekilas.
“Ya, sudah, kalian jangan ikut pelajaran sampai jamnyaselesai. Kalian
bersihkan seluruh koridor sekolah. Terutama kamar mandi. Cepat. Atau,
Bapak tambah hukuman kalian.”
“Iya, Pak.” Alea bergegas pergi dari koridor kantin danmenuju kamar
mandi. Revo pun mengikutinya.
“Gara-gara lo, tahu nggak,” sentak Alea seraya memanyunkan bibirnya.
Revo malah tertawa.
“Kok, ketawa?” Alea sangat kesal.“Seneng,” jawab Revo.Alea
mengerutkan dahinya.
“Kok, seneng, sih? Gila lo, ya.”“Seneng, kan, dihukumnya bareng sama
lo.” Revo tersenyum dan mengangkat satu alisnya.
Akhirnya, Alea dan Revo membersihkan hampir seluruharea sekolah,
termasuk koridor taman.
“Neng Alea? Ngapain ke sini bawa-bawa pel-pelan?”
Mang Urip heran.
“Lagi dihukum, Mang.”
Alea tertawa.“Ah, udah, Mamang aja yang ngepel.
Nanti, tangan kamu kasar, masa cantik-cantik gini disuruh ngepel.” Mang
Urip mengambil peralatan pembersih itu dari Alea.
“Enggak usah, Mang. Alea lagi dihukum, nanti malah diomelin Pak
Dibyo. Gara-gara dia, nih.” Alea melirik ke arah Revo. Revo hanya
tersenyum ke arah Mang Urip.
“Udah atuh Pak Dibyo mah gampang, nanti Mamang yang ngomong.
Udah, Neng Cantik mah istirahat aja.”“Ya, udah, makasih, Mang.” Alea
tersenyum.“Makasih, Mang.” Revo mengikuti. Lalu, mereka pergi
meninggalkan koridor taman. Sekarang sudah pukul 4.00 sore dan jam
pulang sekolah pukul 4.30 sore. Mereka tetap tidak boleh masuk kelas.
“Cabut aja, yuk,” ajak Revo. Mata Alea membulat.
“Lo gila, ya? Mau dihukum lagi?”
“Yaelah, Pak Dibyo mah galak-galak gitu dikasih soto ayam juga diem,”
jawab Revo santai. “Ayo, cabut, daripada lo ketemu Pak Dibyo, terus
ketahuan enggak ngerjainhukuman.” Revo menarik tangan Alea untuk keluar
dari koridor sekolah. Alea hanya menuruti lelaki itu.
Revo dan Alea memang terkadang aneh, sebenarnya mereka dapat
digolongkan sebagai anak pintar. Namun, kelakuan mereka terkadang suka
begitu. Apalagi, Revo,pemenang Olimpiade Matematika dan Exact berturut-
turut. Tapi, ya, terkadang suka begitu juga.
“Lo bawa motor yang waras, dong.” Alea memperingatkan.
“Siap, Bu Bos.” Revo mengendarai motornya dengan kecepatan normal.
Sekarang, mereka berada di suatu kawasan yang sangatasing bagi Alea.
Dia menatap bingung jalanan yang tengah mereka telusuri.
“Kita mau ke mana, sih, Rev?” tanya Alea bingung.
“Ada, deh. Bagus, kok, tempatnya.”
“Lama.” Alea meletakkan kepalanya di punggungRevo. Entah mengapa,
desiran hangat itu hadir ke dalam perasaan Revo, senyumannya pun seketika
mengembang. Dia menatap lekat gadis itu dari kaca spion.
“Bentar lagi, sabar, elah,” jawab Revo ketus.
Tak lama, mereka sampai di salah satu tempat di manaada danau yang
dikelilingi rumput hijau. Dan, di dekatnya ada semacam warung bakso, tetapi
tempat makannya di saung. Sehingga, pelanggan di sana bisa menatap
langsung ke arah danau. Alea menatap bingung pemandangan yang ada di
hadapannya, jadi di Ibu Kota masih ada tempatseindah dan sesunyi ini?
Revo berjalan terlebih dahulu, lalu menaiki saung. Aleahanya
mengikutinya.
“Pak, Baksonya dua, ya,” pesan Revo.
“Iya.”
Alea terdiam. Dia hanya menatap Revo yang ada di depannya. Revo
menatap balik gadis di hadapannya. Mereka terdiam dan mata mereka bertaut
untuk beberapa saat.
Mungkin kali ini Alea mengakui pendapat banyakorang bahwa Revo itu
memang tampan. Alea merasa begitutenang, nyaman, dan sangat
menyejukkan.
Kok, ganteng beneran? Batin Alea. Gila gue, ya? Masa,orang stres kayak
dia gue bilang ganteng? Alea menggelengkan kepalanya.
“Lo kenapa?” suara Revo menyadarkan Alea.
“Eh? Enggak—enggak, kok, enggak pa-pa.” Alea menundukkan
kepalanya.
“Lagi mikirin gue, ya?” tanya Revo narsis.
“Hah?”
“Lo mikirin gue, ya?” ulang Revo lagi. Alea menatap Revo aneh.
“Enggak, lah, gila. Amit-amit.”
“Kalo sampe lo mikirin gue, berat badan lo naik 10 kilo, ya?” Revo
menantang seraya menaikkan satu alisnya.
“Ya, itu lo curang namanya. Kenapa lo ngajakin gue makan terus?”
“Karena, lo kerjaannya emang makan terus.” Revo tertawa.
“Sok tahu.”
“Udah ketahuan dari bentuk badan, apalagi pipi.” Revomeledek.
“Dih, emangnya gue gendut apa?” tanya Alea kesal.
“Akhirnya ngaku, bukan gue yang ngomong.” Aleamenatap Revo malas.
Namun, lelaki itu hanya tertawa.
“Ini baksonya.” Tak lama, bapak penjual bakso itudatang. Bapak Doni
namanya, kata Revo. Karena, nama warung bakso ini “Warung Bakso Bapak
Doni” tapi ada benarnya juga.
“Makasih, Pak.”
“Tumben ngajak pacar, Mas? Biasanya, sama MasFarrel?” tanya Pak
Doni.
“Dia bukan pacar saya, Pak,” ujar Alea dan Revo berbarengan. Pak Doni
tertawa.
“Jangan gitu, kalian ini cocok banget, lho,” ujar Pak Doni.
“Ya, udah maaf ganggu, ya, Mas. Saya ke belakang, banyak pesenan.”
Pak Doni lalu pergi.
Revo menatap gemas Alea saat gadis itu memakanbakso.
“Pelan-pelan makannya, katanya enggak mau dibilanggendut?” ledek
Revo. Alea menjauhkan mangkok baksodari dirinya.
“Jangan ngambek, sini gue suapin.” Revo mengarahkansendok itu ke
mulut Alea. Namun, Alea tak ingin membuka mulutnya.
“Makan enggak?” paksa Revo. Akhirnya, Alea membuka mulutnya, tapi
Revo malah memakan bakso itu sendiri. Lelaki itu tertawa puas. Tak lama,
ponsel Revo berdering. Revo mengangkatnya.
“Kenapa?” tanya Alea setelah Revo selesai menelepon.
“Farrel telepon gue, katanya penting. Gue ke sanabentar. Lo tunggu gue di
sini, ya,” kata Revo.
Alea mengangguk.
“Lo enggak pa-pa?” tanya Revo lagi.
“Iya, santai aja, emang gue anak kecil apa?” jawabAlea kesal.
“Beneran?”
“Iya, udah cepetan sana,” suruh Alea.
“Baik, deh. Tungguin, ya.” Revo mengacak gemas ram-but Alea, lalu
bergegas menuju apartemennya.
tasyalea: Iya, gue udah arah balik kok, santai aja. Tapi, lo di
sana enggak pa-pa, kan? Ada masalah?
Revo menarik napas sejenak ketika membaca pesan dari Alea, dia kira
gadis itu akan marah. Namun, Aleamalah mengkhawatirkan dirinya, padahal
di sini dia tidakkenapa-kenapa.
revoadriano: Lo marah?
tasyalea: Hahaha lebay banget lo! Ya, enggak, lah, santai aja.
Semoga cepet kelar urusan lo, biar enggak kebanyakan urusan kayak
engkong-engkong wkwkwk
Revo merasa bersalah karena gadis itu malah memikirkan tentang dirinya.
Padahal, mungkin di sana gadis itu tengah kedinginan.
“Maafin gue, Alea.”
Alea meletakkan ponselnya. Terlihat pelayan membawapesanan ke meja
mereka.
“Minum dulu, Lea. Kamu masih kedinginan, ya?”Reynand memegang
pipi Alea lembut seraya tersenyum. Entah mengapa, perlakuan Reynand
begitu lembut danmenghangatkan di saat Revo bahkan tidak ada di sisinya.
“Minum dulu, ya?” Reynand mengusap lembut rambutAlea. Alea
mengangguk, meminum hot chocolate kesukaannya. Ternyata, Reynand
masih ingat apa yang disukainya.
“Makasih, Rey. Lo masih inget?” tanya Alea.
“Yang terindah mana bisa dilupain,” ucap Reynand.
Alea menggeleng.
“Aku boleh nanya?” tanya Reynand.
“Tanya apa?”
“Sebenernya, kamu sama Revo gimana, sih? Kamupacarnya Revo? Atau,
gimana?”
Alea tersedak. Mengapa tiba-tiba Reynand menanyakan itu?
“Kalian pacaran?”
“Bukan urusan lo.” Alea menatap Reynand tajam.
Reynand hanya mengangguk. “Emang kita enggak bisa,ya, ngomong
‘aku-kamu’ lagi kayak dulu?”
“Enggak, lo juga enggak usah ngomong pake ‘akukamu’ lagi ke gue,”
tegas Alea.
“Maafin aku, ya, Lea. Selama ini, aku enggak bisa bikinkamu bahagia.
Aku selalu bikin kamu sedih selama kita bareng, aku nyesel pernah buang
kamu gitu aja. Apalagi, waktu aku selingkuh sama Gladys, rasanya waktu itu
aku cowok paling bodoh. Aku sadar aku berengsek, aku enggakpantes buat
kamu, Lea. Kamu berhak buat bahagia sama yang lebih baik dari aku, tapi
aku mohon kamu jangan salahpilih. Aku enggak mau kamu jatuh ke lubang
yang sama, aku enggak mau kamu sakit hati lagi, Lea. Aku minta maaf.Aku
janji mulai sekarang aku akan jaga jarak sama kamu.Aku sayang kamu, Alea
Annastasya.”
Ucapan Reynand terdengar sangat tulus. Matanyapun terlihat berkaca-
kaca. Apakah Reynand benar-benar menyesal? Atau, hanya playing victim?
Entahlah.
Dia menarik tangan Alea dan menggenggamnya.
“Maafin aku, ya?” Reynand terlihat menahan air matanya. Jika lelaki
menangis karena wanita, tandanya apa? Mungkin, dia benar-benar mencintai
wanita itu.
Namun, apakah Reynand begitu?
“Rey, enggak gitu.” Alea menatap Reynand intens.
“Aku enggak mau ada yang nyakitin kamu lagi, Lea. Cukup aku, dan aku
nyesel ngelakuin itu kalo tahu aku bakal kehilangan kamu.”
“Rey.”
“Kalo dia nyakitin kamu, bilang sama aku. Kamu bolehpergi dari aku, tapi
aku tetep di sini kalo dia pergi darikamu.” Reynand menatap Alea.
Alea tertegun dengan ucapan itu.
“Udah malem. Pulang, yuk,” ajak Alea mengakhiripembicaraan. Reynand
mengangguk seraya tersenyum.
“By the way, makasih jaketnya, Rey. Udah enggak dingin,kok.” Alea
mengembalikan jaket itu kepada Reynand.
Akhirnya, mereka kembali ke rumah Alea. Alea tak ingin meneruskan
perasaannya, sudah cukup sampai di sini.Jika memang Reynand tulus atau
tidak tulus sekalipun, itu urusannya. Yang jelas, Alea tidak membenci
Reynand di dalam hatinya.
Alea merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya. Dia
menghela napas sejenak.
“Kenapa Reynand segitunya, ya? Kenapa gue seolah nyakitin dia, sih?”
Pikirannya jadi tak karuan, terlebih saat bayangan Revo kembali menghantui
pikirannya. Di mana lelaki itu sekarang?
“Telepon enggak, ya?” Alea menekan kontak Revodengan ragu-ragu.
“Nanti, dia kegeeran.” Dia kembali meletakkan ponselnya, lalu
meletakkan kepalanya di atas bantal. Namun, entah mengapa pikirannya
masih tak tenang, bayang-bayang tentang Revo terus menghantuinya. Dia
pun mengambil ponselnya kembali dan menekan tombol call.
Suara panggilan masuk itu tidak menyadarkan Revo dari lamunannya. Reva
dan Farrel sudah pulang. Entah mengapa, kehadiran Reva justru membuatnya
bingung, bertanya-tanya, dan khawatir. Bukankah seharusnya dia senang?
KRING. Revo berdecak kesal, siapa, sih, yang meneleponnya malam-
malam begini?
tasyalea is calling ...
Hari ini, aktivitas Revo sedikit berbeda. Karena, Reva bersekolah kembali
di SMA Gempita, Revo menjemputnya untuk berangkat bersama ke sekolah.
Reva pun ditempatkan di XII IPA 2, kelas Revo sekarang. Mereka berada di
kelas yang sama lagi. Teman-teman Revo sudah tak asing dengan Reva.
Di akhir kelas X waktu itu, Reva mengikuti program pertukaran Youth for
Understanding di Jerman. Lamanya program pendidikan ini satu tahun
ajaran. Setelah itu, dia bisa kembali ke Indonesia dan kembali bersekolah di
SMA Gempita.
Saat istirahat, Reva memilih untuk berkumpul bersamaRevo dan teman-
teman lamanya—Aria, Farrel, dan Rasya.
Tiba-tiba, seorang lelaki dengan tatapan tajam menghampiri meja mereka.
“Berengsek!” umpat lelaki itu. Dia mendaratkan satu pukulan keras di
wajah Revo. Iya, itu Reynand. Revo menatap bingung Reynand yang tiba-
tiba menghantamnya.
“Eh, santai, dong.” Aria melerai Reynand agar tidak melakukan hal yang
lebih parah dari ini.
“Santai, Bray.” Farrel menambahkan.
“Diem lo semua!” Reynand mendorong Farrel dan Aria,lalu menghampiri
Revo. Aria menarik Reva agar menjauh.
“Di sini aja.”
“Tapi, Revo, Ar.” Reva terlihat khawatir.
“Enggak pa-pa, Va.”
“KENAPA LO TINGGALIN ALEA SENDIRIAN KEMAREN? HAH?”
Reynand kembali menghantam Revo.
Reynand menarik kerah baju Revo.
“Enggak pa-pa kalo emang lo mau rebut Alea dari gue. Tapi, satu yang
harus lo tahu, jangan pernah sakitin Alea.” Reynand melepaskan tangannya
dari kerah baju Revo, lalu membiarkan lelaki itu terjatuh. Reynand pergi dan
menataptajam semua teman Revo.
Mereka tahu, Reynand sangat temperamen. Karena itu, mereka
membiarkan saja.
Revo kembali duduk di bangku kantin.
“Alea siapa?” tanya Reva penasaran. Namun, tak ada yang bisa
menjawab. “Alea siapa, Rev? Kok, kamu tinggalindia sendirian? Maksudnya
gimana? Kasihan, dong, dia.” Reva berkata tak mengerti.
Rasya, Farrel, Aria, dan Revo hanya saling bertatapan. Farrel
menggerakkan kepalanya seolah menyuruh Revountuk menjawabnya. Reva
semakin bingung.
“Alea siapa, sih?” tanyanya lagi.
“Alea junior kita di OSIS. Tapi, ya, deket gitu sama Revokayaknya,”
celetuk Farrel. Aria menajamkan tatapannya ke arah Farrel.
“Oh, gitu, deket gimana?” tanya Reva. Namun, nadanyabukan seperti
orang cemburu.“Nanti, aku kenalin kamu, deh, sama dia. Dia baik, kok,
orangnya,” jawab Revo.
Reva terlihat antusias. “Hari ini, aku mau ketemu dia, ya, Rev. Bisa,
kan?” pinta Reva seraya menggoyangkan bahu Revo.
Revo mengangguk.
“Sekarang aja, Rev. Sekarang, kan, lagi istirahat,”sambung Reva.
“Iya, aku ke kelas dia dulu, ya. Kamu tunggu di sini.” Revo tersenyum
dan mencubit gemas pipi Reva, walaupun pipi Reva tirus dan tidak chubby
seperti Alea.
Farrel berjalan mengikuti Revo.
“Ke mana-mana aja berdua.” Aria menggeleng.
“Rev, lo yakin?” tanya Farrel.
Revo mengangguk. “Iya, emang kenapa?”
“Lo gila!” tukas Farrel.
Revo mengerutkan dahinya. “Gila kenapa? Apa salahnya emang kalo
mereka kenal?” tanya Revo.
Farrel mengacak-acak rambutnya sendiri. “Rev, lo tahusendiri, kan?”
“Berisik.” Revo terus berjalan, sementara Farrel terus mengikutinya.
“Enggak usah ikut!”
“Kan, mau ketemu adek.” Farrel menunjukkan deretangiginya. Revo
menatapnya tajam dan Farrel pun berhenti mengikuti Revo.
Revo berjalan memasuki kelas Alea yang sangat sepi. Gadis itu sedang
duduk di sana sendirian.
“Hai.”
Suara itu membuat Alea mendongak.
“Lho? Ngapain ke sini?” tanya Alea bingung. Dia kagetketika tangan
Revo menyentuh keningnya.
“Kok, badan lo panas?” tanya Revo khawatir.
“Enggak pa-pa.”
“Lagian, hujanhujanan, oon dipelihara,” Revo ketus.
Alea menatap Revo kesal. “Gue mau tidur.” Dia kembalimeletakkan
kepalanya di atas tangannya. Namun, Revomenarik tangannya.
“Ah, kenapa, sih?”
“Gue mau ngenalin lo sama orang,” ujar Revo.
Kening Alea berkerut. “Siapa? Enggak mau, ah.”
“Eh, serius. Dia mau kenal sama lo katanya.”
“Bilang aja gue lagi jadi Putri Tidur.”
“Ih, serius, dia mau kenal sama lo. Lo enggak mau tahu?Dia cantik, lho,”
bujuk Revo.
Alea mendongak.
“Tapi, cantikan gue. Ya, udah, ayo!” Alea berdiri.
“Cantikan dia, lah.”
“Ayo, cepetan gue mau tidur,” dumel Alea.
“Makasih.” Revo mengacakacak rambut Alea.
“Ah, elah!” Alea merapikan rambutnya. Revo tertawa gemas melihatnya.
Alea mengikuti Revo yang berjalan terlebih dahulu, arahnya ke kantin.
Setelah sampai, terlihat olehnya gadis cantik berambut pirang , berkulit putih,
dan memiliki tubuhsemampai bersama Aria, Farrel, dan Rasya.
Gadis itu tersenyum ke arah Alea. Alea pun membalas senyumnya.
Dia siapa? Batin Alea bingung.
“Dia Reva, pacar gue.”
Mata Alea langsung membulat ke arah Revo. Seakan takpercaya dengan
apa yang dikatakan lelaki itu. Seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya
dengan kuat. Mengaparasanya sesak? Memangnya, dia siapa?
“Hai.” Reva mengulurkan tangannya. Alea membalasnya.
Ucapan Revo seakan terngiang-ngiang di dalam benaknya. Jadi, selama
ini Revo sudah memiliki pacar?
Dia—punya pacar? Air muka Alea langsung berubah.
“Dia Alea, Va. Aku udah anggap dia kayak adik aku sendiri. Iya, kan?”
Revo menyenggol lengan Alea.
Alea terdiam, pikirannya jadi tak karuan.
“Budek,” umpat Revo.
Alea menoleh ke arah Revo.
“Kenapa?” tanyanya.
Revo berdecak kesal. “Ngomong sama kingkong.”
“Kata Revo, dia udah anggap lo adeknya sendiri katanya.” Reva tertawa.
Alea tersenyum. Pahit.
Gue kenapa, sih? Dia tak mengerti mengapa dadanya sesak.
“Oh, iya, maaf, ya, kemarin Revo ninggalin lo sendiri di danau,” ujar
Reva.
Alea mengerutkan dahinya.
“Dia sama gue di apartemen, di luar hujan. Makanya, gue enggak izinin
dia.” Reva tersenyum.
Jadi, maksudnya urusan penting itu Reva? Sampai-sampai Revo tidak bisa
menjemputnya? Alea merasa bagaikanbarang yang dijadikan cadangan saat
yang utama hilang.
Alea tersenyum miris. “Oh, iya.”
“Alea, masuk. Ada guru.” Alea menoleh, melihat Acha sedang
menghampirinya.
“Gue duluan, ya. Bye.” Dia pun berlari. “Cha, tungguin!” Untunglah,
Acha menjadi penyelamatnya.
“Alea lucu, ya?” tanya Reva.
Revo terkekeh kecil. “Amit-amit.”
“Amit-amit, tapi kamu ketawa.” Reva mencubit ping-gang Revo.
Revo meringis. “Hahaha, sakit tahu!”
Dari kejauhan, Alea melihat mereka tengah tertawa. Dia tak mengerti apa
yang dia rasakan sekarang. Hatinya terasa sangat hancur, tapi dia tak
mengerti apa alasannya.
Dia tidak tahu apakah dia menyukai Revo atau tidak, tapi mengapa saat
dia tahu Revo memiliki kekasih, hatinyaterasa sakit?
Alea memasuki kelasnya. Sepanjang hari, dia terdiam. Bahkan, pelajaran
yang guru jelaskan sama sekali tidak adayang masuk ke otaknya.
Saat pelajaran Olahraga, Alea sama sekali tidak bergerak dari posisinya.
“Le, lo kenapa, sih?” tanya Acha bingung.
Alea menggeleng. “Gue enggak pa-pa,” jawabnya sambil tersenyum
paksa.
“Ayo Olahraga.”
“Duluan aja, nanti gue nyusul,” jawab Alea lesu.
Acha duduk di samping Alea.
“Lo kenapa, sih, Le? Kenapa lo enggak pernah cerita apa pun ke gue?
Emangnya lo anggap gue apa, sih? Gue temen lo, Alea.” Acha menarik
tangan Alea.
Alea menghela napas. “Kan, gue udah bilang. Gueenggak pa-pa, Cha.”
“Yang tadi, siapanya Revo?” tanya Acha mendadak.
Alea mendongak ke arah Acha. “Pacarnya.”
Acha bingung. “Revo punya pacar, Le?”
Alea mengangguk.
“Kok, dia gitu?”
Alea mengerutkan dahinya. “Dia gitu kenapa?”
“Ya, gue kira lo sama dia, kan, udah deket banget. Gue kira, dia suka
sama lo.”
Alea tertawa. “Ya, enggak, lah, ngaco. Gila lo, ya. Enggak lihat gue sama
dia kayak Tom and Jerry tiap ketemu?”
“Ih, tapi kalian kalo lagi berantem itu sweet.”
“Najis. Enggak, lah. Amit-amit.”
“Amit-amit, tapi pas tahu dia punya pacar lo-nya galau.” Acha
menggelengkan kepalanya.
“Gue enggak suka sama Revo, Cha.”
“Lo suka dia, Alea.”
“Enggak.”
“Tapi, perasaan lo ke dia beda pasti, kan?”
Alea terdiam.
“Ganti baju sana, gue duluan.” Acha terlebih dahulu berjalan ke lapangan.
Jam pelajaran Olahraganya dan Revo bersamaan. Entah mengapa bisa
begitu. Dia berlari memasuki lapangan, menyusul teman-temannya.
“Alea, kenapa telat?” tanya Pak Bobi.
Alea tak menggubris, dia malah melihat Reva dan Revodi seberang sana,
yang tengah tertawa bersama.
“ALEA!” sentak Pak Bobi.
Alea tersadar dari lamunannya. “Iya, Pak?”
“Kamu ini telat terus kerjaannya. Kali ini, kamu Bapak hukum!”
Alea menghela napas.
“Kamu lari keliling lapangan sepuluh kali!”
“Tapi, Pak ....”
Pak Bobi menatap Alea geram.
“Alea, lari sekarang!”
“Iya.” Alea pun pasrah dan mulai berlari mengelilingi lapangan.
Di seberang sana, Revo yang tengah tertawa, perlahan mengalihkan
pandangannya ke arah Alea.
Kebiasaan, batin Revo seraya menatap gadis itu. Sementara itu, Reva
menatap Revo dengan aneh.
“Kenapa?” tanyanya, mengikuti arah pandang Revo.
Alea? Sebenernya, mereka ada apa, sih? Batin Reva.
“Rev,” tegur Reva lagi.
Revo tersadar dari lamunannya. “Hah? Kenapa?”
“Kamu ngelihatin siapa, sih?”
“Enggak—enggak pa-pa. Terus, terus tadi gimana?”tanya Revo
mengalihkan pembicaraan, tapi sesekali diamasih melihat Alea dari ujung
matanya.
Ketika Revo bermain bola basket, dia mulai tak fokus, menatap Alea
khawatir. Bagaimana jika gadis itu pingsan?Alea paling tak kuat lari.
“Abang Revo ngelihatin adek mulu, ah. Nanti, ada yangcemburu,” ledek
Farrel.
BUGH. Tanpa sengaja, Revo melempar bola basket kearah Farrel. Dia
kira melempar ke arah keranjang basket.
“Ya, elah, coy. Emang muka gue kayak keranjang basket? Gue tahu gue,
ganteng, enggak usah sirik. Gue enggak akan jelek cuma gara-gara kelempar
bola basket.” Farrel melempar balik bola itu ke arah Revo.
“Enggak sengaja, sih, elah,” ujar Revo kesal.
“Kebanyakan main perasaan, sih,” celetuk Farrel.
Revo terdiam, kembali melihat wajah Alea yang sudahmemerah seperti
kepiting rebus.
Sudah sembilan kali putaran. Kaki Alea sudah terasa sangat lemas. Dia
berhenti sejenak.
“ALEA. LARI!” sentak Pak Bobi. Napas Alea terengah-engah. Dia
mencoba berlari lagi, tapi tidak kuat.
BRUK. Dia terjatuh di lapangan, kepalanya sangat pusing, kakinya sudah
lemas. Dia tidak pingsan, tapi tetap saja kelelahan.
“Alea,” pekik Revo. Spontan, dia bergegas menghampirigadis itu. Namun,
Reva menahan tangan Revo.
“Kamu mau ke mana? Kita lagi pelajaran.”
“Va, tapi Alea,” ujar Revo tertahan. Dia menatapAlea yang masih
tersungkur di lapangan, tapi untungnya teman-temannya segera
menolongnya.
“Alea banyak yang nolongin.” Reva menarik tangan Revo untuk segera
kembali ke gerombolan kelas mereka.
Saat membuka matanya, yang Alea lihat hanya Revo dan Reva yang
sedang bergandengan.
Alea menghela napas sejenak, lalu tersenyum miris.
Entah mengapa, hal kecil seperti itu membuat hatinya terasa janggal.
Seharusnya, Alea tidak seperti ini.
“Alea, kamu enggak pa-pa, kan?” tanya Pak Bobi.
Alea tersadar. “Kenapa, Pak?”
“Kamu itu cantik-cantik, kok, bolot banget dari tadi? Kamu enggak pa-
pa?”
“Iya, saya enggak pa-pa.”
“Kamu ada-ada aja, sih. Udah kamu istirahat aja. Lagi juga, pelajaran saya
udah mau habis,” suruh Pak Bobi.
Setelah itu, Pak Bobi mengisyaratkan kepada semuasiswa untuk
beristirahat juga, karena Olahraga jam terakhir,maka teman-temannya pasti
langsung pulang.
“Lo mau pulang?” tanya Acha.
Alea menggeleng. “Duluan aja.”
“Oke, gue duluan, ya.” Acha mencubit gemas pipi sahabatnya. Alea
berjalan menuju taman sekolah.
Di sana ada beberapa tanaman dan bunga. Dalam sekejap, sekolah sudah
sangat sepi.
“Sebenernya, gue itu kenapa, sih? Kenapa gue ngerasa ada yang aneh
sama gue? Kenapa gue sedih? Kenapa rasanya sakit? Padahal, semuanya
enggak ada hubungannya sama gue. Harusnya gue seneng, dong, lihat Revo
punyapacar, biar dia enggak jadi jomlo karatan terus gila seumur hidup.”
Alea menatap kesal dirinya di cermin yang dia bawa. Dia memanyunkan
bibirnya. Ditatapnya bunga-bunga yangada di depannya.
“Hai, mawar, kamu indah. Tapi, kalo tangan aku kena, kamu pasti bakalan
luka, ya? Kamu indah, tapi enggak bisadigapai. Kalo aku paksa, aku yang
sakit. Apa aku seperti itu,ya? Mungkin, aku bisa merasakan yang namanya
keindahan, tapi jangan terlalu dekat. Karena, akhirnya pasti akan
menyakitkan.” Alea tersenyum menatap mawar itu.
“Kamu juga sama seperti mawar, kaktus. Mungkin,bedanya kamu sama
mawar, dari awal kamu enggak kelihatan indah. Berjalan apa adanya, tapi
kenapa kamu sama kayak mawar? Kalo aku deketin kamu, nanti aku
sakit.Apalagi kalo aku peluk kamu. Mungkin, kamu nerima aku, tapi duri-
duri kamu bakalan nyakitin aku. Sebenernya, akuyang salah, buat apa aku
meluk kaktus?
“Hai, anggrek, aku tahu kamu beda dari mereka berdua.Kamu indah, tapi
sulit didapetinnya. Terus, tiba-tiba kamu menghilang.” Alea termenung
sejenak.
I love you, Alea.
Entah mengapa, kata-kata Revo selalu terngiang dibenak Alea. Padahal,
Alea tahu, Revo mengucapkan ituhanya karena ingin menggodanya. Dia
menggeleng, airmatanya sudah terbendung di kelopak matanya. Tak lama, air
mata itu mengalir.
Buat apa gue nangis? Alea menghela napas.
“Adek jadi melankolis banget?” tanya seseorang.
“Kak Farrel?” Alea segera menghapus air matanya.
“Gue boleh duduk?” tanya Farrel balik, Alea punmengangguk.
“Kenapa Kakak senyum?”
“Gue bilang enggak usah kaku-kaku amat kalo ngomong sama gue, kayak
lo ngomong sama Revo aja.”
“Iya, kenapa tiba-tiba lo senyum?”
“Kenapa lo nangis?”
“Gue enggak nangis.”
“Gue ngerti, kok, perasaan lo gimana sekarang.”
Alea terkekeh kecil.
“Emangnya gue kenapa, Kak? Gue enggak pa-pa.”
“Pasti karena Revo sama Reva, kan?” tanya Farrel.“Kenapa? Lo
cemburu?”
Alea mengerutkan dahinya.
“Ya, enggak, lah. Ngapain cemburu sama anak model Revo? Gue malah
seneng dia punya pacar, jadinya enggak gila seumur hidup.”
“Enggak usah munafik, Le. Gue ngerti perasaan loberdua kayak gimana.”
“Kayak gimana emang?” Alea penasaran.
“Ya, gitu pokoknya. Adek masih kecil. Cuma Abang Farrel doang yang
ngerti.”
Alea terkekeh mendengar jawaban Farrel.
“Kak Farrel.”
“Hm?”
“Gue boleh nanya? Tapi, maaf kalo terlalu pribadi.”
“Kenapa?”
“Revo sama Reva baru jadian?” tanya Alea.
Farrel menggeleng. “Enggak, mereka pacaran udahhampir tiga tahun.
Tapi, kayaknya kenalnya sebelum itu, deh. Tapi, pas kelas X akhir, Reva itu
pertukaran pelajar ke Jerman selama setahun lebih dikit. Sekarang, program
dia di sana udah selesai, makanya dia balik lagi ke Indonesia.
“Terus, kemaren pas gue ke apartemen Revo, tiba-tiba gue lihat Reva
nangis di depan sana. Katanya, Revo sakit, entah dia dapat kabar dari mana.
Yang Revo sakit gara-gara berantem sama Reynand itu.
“Gue kira, pas Reva di Jerman mereka udah enggak pacaran, soalnya
Revo emang enggak pernah cerita apa-apa.Ternyata, masih sampe sekarang.”
Alea tersenyum. “Baguslah kalo gitu, berarti LDR mereka berhasil.”
“Kenapa lo nanyain soal mereka? Lo cemburu? Atau, lo beneran suka
sama Revo?” tanya Farrel menjebak. Dia menatap Alea lekat.
Alea terdiam. Dia juga tak mengerti, apakah diamenyukai Revo?
Aware?
Kebohongan yang paling menyakitkan ketika kamu berbohong pada dirimu
sendiri.
Setelah Alea mengetahui itu, sebenarnya hubungan Alea dan Revo berjalan
biasa saja. Namun, bedanya, mungkin Reva menjadi pembatas antara mereka.
Ini sudah berjalan dua minggu, Alea dan Revo masih saling menyapa.
Bahkan,saat ada Reva sekalipun. Alea juga tetap tertawa dan terlihat bahagia
di hadapan Revo.
Seolah yang biasanya selalu ada, telah menghilang.Seperti pernah
memiliki, padahal tidak. Ingin bilang kehilangan, tapi tidak pernah memiliki.
Besok, praktik menyanyi, tapi Alea belum mempersiapkan apa pun.
Mood-nya jadi mudah berubah-ubah sekarang. Sebenarnya, Pak Deka
membolehkan untuk berduet, trio, ataupun kuartet. Namun, Alea terlalu
malas untuk itu.
Dia enggan menyesuaikan vokal dan sebagainya.
Dia mengambil gitar di ujung kelasnya, milik Aldi.Sengaja ditinggal di
kelas oleh Aldi untuk besok.
Alea sebenarnya tak mahir bermain gitar, tapi diamengetahui kunci-
kuncinya, meski masih sering bingung juga jika berpindah kunci.
“G ... E minor ... terus C ... terus G.” Alea mencoba memetik senar
gitarnya lagi. Kalau dia belum mahir, besok bagaimana?
“When you hold me in the street.” Alea mulai melantunkan lagu itu.
Suaranya cukup merdu. Mungkin, tekniknya tidak terlalu dia kuasai.
“E minor, ya? And you kiss me on the dance floor. C? I wish that it could
—eh, gue salah kunci, ya?” Alea memetik bingung senar gitarnya. “Eh, ini
dia I wish that it could be like that, why can’t we be—eh, pindah kunci lagi,
ya?” Rasanya Alea memang tak pandai bermain gitar.
Reva berkata sepulang sekolah dia akan kumpul dengan teman lamanya, jadi
Revo tak harus mengantarkannya pulang. Revo berjalan menyusuri koridor
sekolah, ingin pulang karena sekolah juga sudah sangat sepi seperti tak ada
kehidupan. Langkahnya terhenti saat dia mendengar lantunan lagu yang
sangat indah. Namun, mengesalkan karena si penyanyi menyanyikannya
dengan terbata-bata. Padahal, suaranya sangat merdu.
“Suaranya bagus. Siapa yang nyanyi udah sepi gini?” Revo mengernyit.
Dia terus berjalan, mencoba untuk tak menghiraukan itu. Namun, rasanya
suara itu tak asing baginya dan menyentuh hatinya.
“I wish that it could be like that, why can we be like that, cause I’m yours.
Ke G terus E minor. Ya, elah, sakit lagi tangan gue. We keep behind—close—
doors.”
“Siapa yang nyanyi, sih, elah? Putus-putus jadi enggak enak.”
Revo semakin penasaran dengan suara itu. Dia pun mendekati kelas
tempat suara itu berasal. Kelas Alea. Revo baru menyadarinya.
“Everytime—I see you.”
Suara itu terhenti. Si pemilik suara menoleh ke arah seseorang yang sudah
berdiri di depan pintu dan menyapanya.
“Alea?” Revo mengerutkan dahinya.
“Eh, lo.” Alea menatap bingung lelaki itu. Rasanyasudah lama sekali
mereka tidak seperti ini.
“Gue boleh masuk?” tanya Revo.
Alea mengangguk. Revo pun masuk.
“Lo nyanyi putus-putus gitu ngeselin tahu enggak. Kaloada orang yang
lagi dengerin lo nyanyi enak-enak, gimana?”Revo menatap Alea kesal.
“Berarti, suara gue enak, dong?”
“Enggak usah kepedean.” Revo mendorong bahu Alea.
Alea terkekeh kecil. “Gue, kan, enggak maksa orang buat dengerin gue
nyanyi. Salah sendiri didengerin. Dodol, sih,” ujarnya meledek.
“Musik itu emang buat didengerin buat pendengarnya dan jadi media buat
yang memainkannya,” ujar Revo.
Alea malah bertepuk tangan. “Iya, deh, Bapak Revo yang terhormat.”
“Lo enggak balik?” tanya Revo.
“Ya, enggak, lah. Kalo gue balik, terus yang nyanyisiapa? Setan?
Dedemit?” jawab Alea kesal.
“Ya, maksud gue, ngapain lo nyanyi?”
“Suka-suka gue.”
“Dih.”
“Besok, gue ada praktik nyanyi, tapi gue belum prepare.”
“Susah main gitarnya, ya?” tanya Revo.
Alea mengangguk. “Gue enggak ngerti pindah kuncinyagimana, susah
kalo sambil nyanyi.”
“Gampang kali. Sini!” Revo mengambil gitar itu dari Alea. “Gue yang
main gitar, lo yang nyanyi, ya,” suruh Revo.
“Suara gue mahal.”
“Najong!” Dan, akhirnya mereka tertawa bersama.Entah bagaimana,
rendahnya selera humor mereka, tapi hal sepele itu saja membuat mereka
bahagia.
Revo menatap Alea lekat, begitu pun dengan Alea.Ada desiran hangat dan
nyaman di antara mereka berdua.
Yang tidak dapat disatukan. Yang mereka sendiri tidak memahami
perasaan itu.
“Kenapa malah lihatin gue?” tanya Alea kesal.
“Udah cepetan nyanyi.”
“Emang lo bisa main gitar?” Alea bertanya meledek.
“Cepetan nyanyi, Alea Annastasya paling gendut sejagat raya.”
“Heh!”
“Makanya nyanyi. Mainnya dari C aja, ya?” tanya Revo.Alea
mengangguk. Lantunan gitar itu sudah terdengar indah, tidak seperti petikan
gitar Alea tadi.
¯As you drive me to my houseI can’t stop these silent tears from rolling
down
You and I both have to hide
On the outside where I can’t be yours and you Can’t be mine •
Seketika, lirik itu membuat Revo menatap sendu gadis di depannya. Alea
membalas tatapan itu.
“Where I can’t be yours and you can’t be mine?” Seperti menohok hati
mereka berdua.
Alea menyanyikan lagu itu hingga akhir. Entah mengapa, dia sangat
menghayati dan meresapi lirik lagu itu.
Semua yang mendengarkan tercengang, tak dapat berkata-kata. Pak Deka pun
tak menyangka. Semua bertepuk tangan.
“Alea, tadi kamu lip sync?” tanya Pak Deka.
“Enggak, lah, Pak, suara ancur gitu ngapain lip sync.” Alea tertawa.
“Saya serius. Saya kasih nilai tertinggi kamu di praktikini kalau kamu
mau menyanyikan satu lagu lagi. Tapi, di panggung sekolah,” ujar Pak Deka.
Alea mengerutkan dahinya.
“Kamu isi daily music hari ini,” Pak Deka menambahkan. Memang,
setiap hari pasti ada saja yang menyanyi di panggung sekolah. Tapi, apakah
Alea bisa?
“Lagi! Lagi! Lagi!” sorakan teman-teman sekelasnyamembuatnya mau
tak mau menuruti kemauan Pak Deka.
“Ta—tapi saya enggak tahu, Pak, kunci gitarnya. Tadi aja masih amatir.”
Alea ragu.
“Enggak pa-pa, nanti ada yang saya suruh main piano.”
Akhirnya, mau tak mau dia menurut. Begitu dia beradadi panggung
sekolah, sialnya di depannya ada Reva dan Revo, yang tengah berbincang
dan bergurau bersama. Aleamalas jika Revo harus melihatnya. Dia menatap
Revo dari atas panggung. Revo pun langsung menoleh ke arah Alea.
“Itu Alea, Rev?” tanya Reva bingung.
Revo mengangguk. “Iya, Va.”
Revo menatap Alea serius, lekat, dan tajam. Aleamenyadari itu. Tatapan
yang sangat tajam dan selalu bisa mengintimidasinya.
“Oke, jadi Alea Annastasya dari XI IPA 1 yang akan mengisi daily music
hari ini. Enjoy it!”
Tatapan Revo masih tidak lepas dari gadis itu.
“Rev.” Reva menggoyangkan lengan Revo.
Revo menoleh. “Hm?”
“Alea lucu, ya?” tanya Reva lagi.
Revo tertawa. “Iya, lucu, kayak boneka beruang palinggede yang di kamar
kamu.”
“Ih, jahat. Alea cantik enggak?” tanya Reva.
“Cantik.” Revo kembali menatap Alea.
Reva menanggapi Revo kesal. “Oh, gitu.”
“Tapi, cantikan kamu, lah.” Revo mencolek hidungReva. Mereka tertawa
bersama, dengan jelas Alea bisamelihat itu dari atas panggung.
Alunan musik mulai berbunyi.
Mungkin, Alea juga tak perlu iri pada angin. Dulu, Revo memang akan
marah pada angin jika angin mengoyaktubuh Alea. Namun, sekarang,
masihkah Revo akan marah pada angin?
Alea berharap dunia memberikan yang terbaik untuk lelaki yang tengah
bergurau dengan kekasihnya di seberangsana. Mungkin, gadis itu yang
terbaik. Jika memang bukan Alea yang terbaik, Alea berharap Revo
mendapatkan yang lebih baik lagi. Tak perlu ada maaf-memaafkan, Alea juga
ingin Revo bahagia. Semoga, lelaki itu jauh dari kata kehancuran.
Haruskah Alea cemburu? Haruskah Alea marah pada jalan yang tengah
Revo tempuh? Apakah kini Revo bahagia tanpa Alea?
Bayangan tentang itu terlintas di benak Alea. Apakah rasa sayang itu
masih ada sekarang? Apakah Alea harus menyayangi orang yang telah
disayangi?
Cemburu pada cinta? Bagaimana? Cinta seperti apa yang perlu kamu
cemburui? Cinta yang ada di sini, tapi hilang karena sudah untuk orang lain?
Atau, cinta yang dia berikan untukmu yang seharusnya untuk orang lain?
Hampir satu bulan berlalu. Semenjak itu, hubungan Alea dan Reno semakin
merenggang. Sebenarnya, tak ada masalah yang serius yang terjadi di antara
mereka. Namun, Alea lebih membatasi dirinya dengan Revo. Dia tak mau
kedekatan mereka berlanjut.
Revo sudah memiliki kekasih, belum lagi kekasihnya sekelas dengan
dirinya. Lalu, untuk apa lagi Alea memiliki kedekatan dengan Revo?
Di sisi lain, Revo pun seperti kehilangan sesuatu, padahal sesuatu yang
hilang dari hidupnya dahulu sudah kembali. Mengapa kembalinya Reva
malah membuatnya gelisah? Apa yang salah?
Suara gitar memenuhi ruangan musik. Alea ingin menyendiri sambil
memetik gitar tersebut. Dia bosan dengan keramaian dan ingin menenangkan
pikirannya sejenak.
Apakah cinta yang hanya datang karena terbiasa itu tak akan
menyakitinya? Lalu jika sudah jauh, maka sudah tak cinta? Jatuh cinta, tapi
tak cinta? Apakah yang kamu maksud jatuh cinta sesaat?
Alea berhenti memetik senar gitarnya ketika seseorang berdiri di depan
ruang musik. Revo. Lelaki itu tersenyum dan duduk di samping Alea. Alea
mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Kenapa berhenti?” tanya Revo.
Alea menggeleng. “Enggak pa-pa.”
“Main lagi aja,” suruh Revo.
Alea menggeleng, lalu terdiam.
Revo menatap lekat gadis itu. “Enggak,” ujar Alea.
“Kenapa?”
“Lo ada perlu apa?” tanya Alea ketus.
Revo menghela napas. “Enggak usah sok jutek.”
“Ada perlu apa? Gue mau sendiri.”
“Pak Deka nyuruh gue ngambil gitar di ruang musik.Cuma kalo lo mau
main, ya, enggak pa-pa,” ujar Revo.
Alea melepaskan gitar itu dan memberikannya kepada Revo.
“Kan, lo lagi pake.”
“Bawa aja, gue mau sendiri.”
“Lo ada masalah?” tanya Revo lagi.
“Gue mau sendiri, Rev.” Suaranya meninggi.
Revo akhirnya mengangguk. “Okay. Jangan lupangumpul OSIS, ya, nanti
siang.” Dia tersenyum ke arahAlea, lalu mengambil gitar itu.
“Makasih gitarnya.”
Alea hanya mengangguk. Setelah Revo berbalik, Alea menatap lelaki itu
dari belakang, hingga lelaki itu tidak dapat dijangkau oleh matanya. Dia
memejamkan matanya.
Ternyata, kumpul OSIS hari ini lebih serius dibandingkan biasanya. Kali ini,
membahas tentang proker OSIS yang akan dijalankan bulan depan. Melihat
Alea yang terus terdiam, Revo menatap gadis itu bingung.
“Ikut gue.” Revo menatap Alea tajam dan mencengkeram pergelangan
tangannya dengan kuat, lalu menariknya. Alea hanya mengikuti.
Revo berjalan lumayan cepat.
“Rev, sakit.” Alea mencoba melepaskan tangannyadari genggaman Revo.
“Mau ke mana, sih?” tanyanya lagi.
“Ikut aja.” Revo menatap tajam Alea.
“Rev.”
Mereka memasuki lorong dan menaiki tangga. Ternyata, Revo
mengajaknya ke rooftop sekolah yang tak banyakdiketahui orang.
“Rev, sakit,” ringis Alea.
Revo menghela napas, lalu melepas genggamannya.
“Kenapa di sini?” tanya Alea. “Kenapa?” tanya Revo serius. Dia menatap
intens gadis itu, membuat jantung Alea berdebar sangat kencang.
“Kenapa apanya?” tanya Alea ragu.
Revo mendekati Alea lagi. “Kenapa jadi ngejauh?”
Alea terdiam.
Napas Alea tak karuan. “Gue enggak ngejauh.” Alea semakin mundur,
sampai tubuhnya menempel tembok.
“Lo jelas-jelas ngejauh dari gue. Kalo gue ada salah, kenapa enggak
ngomong aja? Gue enggak akan marah samalo. Kenapa harus ngejauh?”
tanya Revo lagi. Dia mendekatkan tubuhnya ke arah Alea.
“Kenapa lo jauhin gue?”
Alea memejamkan matanya. Entah mengapa, desiran hangat itu sangat
terasa di hatinya. Perasaannya campur aduk saat ini. Alea menggigit bibirnya.
“Gu—gue.” Dia menjadi gugup.
Revo menaikkan satu alisnya.
“Gue enggak jauhin lo, Rev!” Alea mendorong tubuh Revo. Namun, Revo
malah mengunci tubuh Alea dengan kedua tangannya.
“Kenapa?” tanya Revo lagi.
Alea menggigit bibir bawahnya.
“KENAPA LO JAUHIN GUE, ALEA?” bentak Revo.
Alea memejamkan matanya, rasanya sangat sesaksekali. Dia tak tahu
harus menjawab apa.
“Gu—e ….” Dia menahan air mata yang sudah tertahandi kantong
matanya. Matanya memanas. “Jauhin gue aja, Rev. Emang udah seharusnya
begitu.”
“Jauhin lo? Kenapa?” Revo mengerutkan dahinya. Dia tak mengerti
dengan Alea. Apa mau gadis itu? “KENAPA GUE HARUS JAUHIN LO?
JAWAB!” bentak Revo.
Alea memejamkan mata sehingga air matanya mengalir.
Dia takut menatap mata Revo dari jarak sedekat ini. Dia pun
menyandarkan keningnya di bahu lelaki itu.
Tubuh Revo mematung. Lalu, tangannya mengelus kepala Alea.
Entah mengapa, rasanya menjadi sangat nyaman,semua yang dia pendam
pun hilang sejenak. Tenang sekali.
“Jangan nangis, Le. Maafin gue,” Revo mengelus lembut rambut Alea.
“Maafin gue, ya.” Di hatinya, seperti ada desiran hangat yang memenuhi.
Dia tak tega dan merasa bersalah karena sudah membuat gadis ini
menangis. Namun, di satu sisi, mengapa gadisini menyuruhnya untuk
menjauhinya? “Hei,” ujarnya
Alea benar-benar bergeming.
“Jangan nangis lagi. Maafin gue, ya,” Revo lembut.
“Jauhin gue,” isak Alea dalam tangisnya.
“Kenapa? Kenapa gue harus ngejauh dari lo?”
Alea mundur dan menatap mata Revo dengan intens.
“Apa yang lagi lo sembunyiin dari gue?” tanya Revo lembut tapi tegas.
“Lo pikir aja sendiri.”
“Lo kenapa, sih, Le?” tanya Revo tak mengerti. Aneh bukan? Alea seakan
marah, tapi malah tiba-tiba bersandar padanya.
“Enggak pa-pa. Misi, gue mau balik.” Alea ingin kembali, tapi tertahan
oleh kedua tangan Revo.
“Ya, lo jawab dulu.”
“Gue—mau—balik,” ujar Alea penuh penekanan.
Revo menghela napas. Dia akhirnya mengangguk dan membiarkan gadis
itu pergi.
Reva meminum secangkir kopi di Kafe Samara. Dia menatap sekelilingnya.
Dia merasa diawasi. Sosok gadis di depann yaitu sangat mencurigakan.
Wajahnya ditutupi majalah. Dia pun memakai topi dan jaket lengkap. Dia
terlihat berbisik kepada pelayan restoran sesaat setelah Reva memesan
sandwich-nya.
Perasaannya tak karuan.
Revo bisa temenin gue enggak, ya? Batin Reva tak tenang. Dia
mengambil ponsel dari tas miliknya.
Keesokan harinya, Alea tengah berjalan keluar dari ruangOSIS. Dia baru
selesai menyicil persiapan kegiatan pensiyang akan diadakan bulan depan.
Untungnya, hari ini dia tak bertemu dengan Revo.
Namun, seketika dia berhenti saat seorang pria paruh baya yang tak asing
baginya menghampiri ruang OSIS.
“Benar ini ruang OSIS?” tanyanya.
Alea mengangguk. “Iya, benar, Pak.”
“Benar Revo pengurus OSIS di sekolah ini?”
Alea mengangguk lagi. “Iya, Pak.”
“Di mana dia sekarang?”
Alea menggelengkan kepalanya. “Hari ini, dia enggak datang rapat, Pak.
Jadi, saya kurang tahu di mana dia.”
Gerald mengangguk mengerti, lalu sejenak mengamatiwajah Alea. Seperti
tak asing dengan wajah gadis itu.
“Kamu yang waktu itu ke rumah sakit sama Revo, kan?”tanya Gerald.
Alea mengangguk canggung.
“Saya bisa bicara sama kamu?” tanya Gerald. Aleamengangguk. Pria itu
berjalan menuju tempat duduk yang tak jauh dari koridor ini.
“Serius kamu enggak tahu di mana Revo sekarang?”
“Saya enggak tahu, Om.”
“Kalo saya boleh tahu, Om siapa, ya? Maksud saya, Omsiapanya Revo?”
tanya Alea.
“Saya Gerald, saya papanya Revo dan mantan suaminyaCatherine,” jawab
Gerald. Alea mengangguk. Jadi, mereka sudah bercerai?
“Saya mencari Revo karena saya perlu bertemu dan bicara dengannya.
Namun, Revo sangat membenci sayasekarang, mungkin semuanya juga salah
saya.”
Alea mengangguk. Apakah mereka berpisah sepertikisah klasik di mana
Pak Gerald berselingkuh?
“Semuanya cuma salah paham, Nak. Tapi, saya menyesali semuanya.
Saya cerita sama kamu enggak pa-pa, kan? Saya rasa, kamu orang yang
tepat.”
“Iya, enggak pa-pa, Om.” Alea tersenyum.
“Kamu pacarnya Revo?”
“Oh, bukan, Om.” Alea terkekeh kecil.
“Saya rasa, kalian cukup dekat. Apa Revo pernah ceritasesuatu?”
Alea menggeleng.
“Jadi, saya masih sangat menyayangi Catherine, Nak. Tapi, sedari dulu
saya enggak bisa nunjukin rasa sayang saya ke Catherine dan anakanak saya.
Saya terlalu temperamen, cemburuan, dan mudah terbawa emosi.” Gerald
menundukkan kepalanya.
“Saya enggak bisa tunjukkan ke Catherine dan anakanak saya kalau saya
amat menyayangi mereka. Semua ini karena saya.”
“Kenapa Om enggak coba buat tunjukin? Kalo Omenggak tunjukin,
gimana mereka bisa tahu?”
“Revo keras kepala, Nak. Kamu tahu, kan? Sekali dia membenci
seseorang, akan susah untuk menebusnya. Apalagi saya, hidup dia hancur
karena saya.” Sesal Gerald.
“Saat itu, Catherine habis ada urusan dengan teman bisnis lelakinya, tapi
hingga larut malam. Lalu, saya marah sama dia, saya menampar dia, saya
kasar sama dia. Saat itu, Revo masih delapan tahun dan adiknya satu tahun di
bawahnya.”
“Saya sadar saya salah, padahal saya lebih sering pulang pagi. Terkadang,
saya ke club malam. Tapi, sayasama sekali tidak pernah bermain perempuan.
Saya hanya menyayangi Catherine.”
“Jadi, Revo punya adik?” tanya Alea penasaran.
“Iya, Revo punya adik, namanya Reynand. Saat itu, Catherine mengajak
mereka berdua untuk tinggal bersamanya, tapi saya melarang. Saya
mengambil adiknya Revo.Akhirnya, Revo ikut Catherine ke Jakarta,
sementara saya dan adiknya di Bandung.
“Tapi, ternyata saya enggak bisa tanpa Catherine. Saya enggak bisa didik
Reynand dengan benar. Akhirnya, anak itu sekarang enggak karuan. Karena
saya juga.”
Mata Alea terbelalak. Jadi, Reynand adik Revo? Pantas saja mereka
sangat mirip.
“Jadi, Reynand adiknya Revo?” tanya Alea.
“Iya, kamu kenal Reynand? Dia pindah ke Jakarta untuk menemui
seseorang.”
Alea mengangguk.
“Mereka berdua sangat dekat, Revo memang anak yang baik dan kakak
yang baik. Dia sangat menyayangi Reynand.Begitu juga dengan Reynand.
“Karena saya, mereka terpisah, Reynand selalu mencari ibunya. Saat dia
tahu Catherine menderita Amnesia Disosiatif, dia anggap bahwa Revo
penyebabnya. Lalu,sampai sekarang Reynand membenci Revo. Padahal,
bukanbegitu adanya.”
“Maaf, ya, Om, kalo perkataan saya ada yang salah atau menyinggung.
Kalo menurut saya, semuanya masih bisa diperbaiki. Mungkin, Om bisa
mengubah cara Om memperlakukan Tante Catherine. Semuanya bisa
dibicarakan baik-baik, Om.”
“Om jangan bahas masalah Om dengan Tante Catherine dulu, Om coba
aja dengan obrolan ringan. Pasti Tante Catherine bisa merespons dengan
baik, kok. SoalRevo, mungkin Om bisa mulai dengan Tante Catherine.Revo
bisa melupakan segalanya kalo udah tentang mamanya, Om. Bahkan,
nyawanya sekalipun dia enggak peduli. Kalo Om bisa tunjukin Om sayang
Tante Catherine. Perlahan, pasti Revo akan luluh.
“Enggak semua orang bisa tahu apa yang kita rasain,Om. Kalo kita
enggak ungkapin, gimana mereka bisa tahu? Saya yakin, semuanya bisa
membaik.”
“Apa selama ini Revo baik-baik aja?” tanya Gerald.
“Mungkin, kelihatannya begitu, tapi sebenarnya pasti Revo butuh kalian,
Om. Tapi, saya salut sama dia, dia masih bisa jadi orang yang baik setelah
semua yang dia lalui. Dia enggak neko-neko, kok, Om.” Alea tersenyum.
“Kamu gadis yang baik. Kenapa kamu enggak pacaran sama Revo?”
tanya Gerald. Alea tersenyum.
“Revo udah sama orang yang lebih baik dari saya,Om. Saya permisi, ya?
Saya yakin, semuanya bisa lebih baik.” Alea beranjak, lalu menuju ke arah
pangkalan ojek di dekat sana.
Gerald berpikir sejenak, rasanya benar yang dikatakan Alea. Catherine
tidak akan tahu kalau dia menyayanginya jika dia tidak menunjukkannya.
Bicara
Mereka bertemu di Kafe Samara. Alea ingat betul, ini tempat dirinya dan
Revo pernah bertemu.
“Ada apa?” tanya Alea cemas.
“Lo sempat ke kafe ini?
Tepatnya, sekitar tiga hari yang lalu?” tanya Revo.
Alea bingung, dia menggeleng. Seingatnya, terakhir kali dia ke sini saat
dia bersama Revo di kala itu.
“Enggak, gue enggak ke sini.”
“Jangan bohong. Lo ke sini, kan?” paksa Revo.
Alea menggeleng. “Gue sama sekali enggak ke sini,
Rev. Lo ngajak gue ke sini cuma buat nanya itu doang?”Revo tersenyum
miring. Dia membuka tasnya danmeraih pisau yang dia ambil dari tas Alea
tadi.“Ini punya lo, kan?”Mata Alea terbelalak. Bagaimana Revo bisa
mendapatkannya?
“Lo apa-apaan, sih? Lo buka-buka tas gue?” tanya Alea,hendak
mengambil pisau itu. Namun, Revo tak membiarkannya.
“Kenapa? Lo takut? Lo juga yang ngirim kodok mati kerumah Reva?
Terus, nabrak Reva gitu aja? Terus rencana lo selanjutnya apaan? Hah?”
sentak Revo.
Alea merasa lelaki itu seperti menusuk relung hatinya.
“Lo nuduh gue? Lo pikir, gue segila itu apa? Lo sama aja nuduh-nuduh
gue, tapi enggak ada buktinya. Gue bawa pisau itu, ya, emang karena ada
praktik biologi. Terus, gueemang enggak sengaja nabrak Reva. Maksud lo
apaan, sih?”tanya Alea tak terima.
Revo tertawa sinis. “Kenapa marah? Ngerasa? Gue enggak pernah pikir lo
segila itu, Le. Tapi, nyatanya lo emang segila itu!” ujarnya penuh penekanan.
Mata Alea terasa panas. Dia menggeleng. Dia tak boleh menangis di sini.
Dia harus membela dirinya.
“Gue—enggak pernah sama sekali punya niat jahatsama lo ataupun Kak
Reva. Enggak ada satu pun alasan yang bikin gue benci sama kalian.
Terserah lo mau nuduh gue apa pun, yang jelas bukan gue pelakunya!” tegas
Alea.
“Oke. Gue percaya sama lo. Tapi, kalo sekali lagi kejadian apa-apa sama
Reva, gue tahu siapa orang yang harus disalahin.”
Hurt
Gue enggak pernah nyesel kenal lo. Tapi, gue nyesel karenague enggak bisa
ngenalin diri lo yang sebenernya.
Semenjak hari itu, hubungan Alea dengan Revo dapat dikatakan lebih dari
renggang. Mereka sangat jauh, bahkan Revo pun tampak tidak menyukai
Alea. Alea mengerti bahwa Revo pasti mencintai kekasihnya, tapi haruskah
lelaki itu menuduhnya tanpa bukti yang kuat?
Sudah waktunya pulang sekolah, tapi Alea harus rapat OSIS untuk
membicarakan proker yang akan dijalankan minggu depan.
Alea meninggalkan kelasnya dan berjalan menujuruang OSIS. Belum
terlalu ramai.
Meski begitu, ada sepasang mata yang menatapnyatajam. Sangat tajam.
Benar, Revo mengamati Alea sekilas dengan sinis, lalu kembali fokus dengan
ponselnya. Alea yang menyadarinya, hanya membalas tatapan itu sekilas.
Tak lama, rapat OSIS dimulai. Vei menatap Aleabingung. Mungkin dia
sadar bahwa Alea tampak berbeda, lebih murung dan pendiam.
“Lo kenapa?”
“Kenapa apanya?” Alea terkekeh dan menggeleng, lalukembali
memperhatikan Aria yang tengah berbicara.
“Untuk masing-masing tugas, apa ada yang keberatan atau perlu
dibantu?”
Revo meletakkan ponsel dan mengacungkan tangan.
“Maaf, saya tidak bisa menjalankan tugas di bidang ini.Saya
mengundurkan diri dari tugas ini,” ujar Revo tegas. Dia menatap Alea tajam,
Alea menundukkan kepalanya.
“Saya mau ngomong sama kalian.” Farrel tiba-tibaberkata dan
mengisyaratkan Alea dan Revo untuk keluar. Bahkan Aria pun ikut keluar.
“Lo berdua kenapa, sih?”
“Maaf, Rel. Gue enggak bisa satu tugas sama orang munafik. Muka dua,
sok polos, sok suci!” sentak Revo.
Alea terkesiap. Lelaki itu seperti menusuk hatinyadengan ribuan pedang.
“Lo apaan, sih, Rev? Mulut lo kayak cewek tahu enggak, sih?”
“Kok, lo belain dia? Ya, jelas-jelas aja, lah, lo lihatfaktanya gimana!”
Revo kembali membentak.
“Ya, lo profesional, lah, Rev. Gue enggak mau tahu, loberdua tetep urus
bidang kalian. Lo mau karena ego lo terusngancurin proker gitu aja? Mikir,
man.” Farrel jadi banyakbicara, dan sebaliknya, Aria malah hanya bisa
terdiam.
Revo mengembuskan napas kesal, lalu pergi dan memasang headset di
kepalanya. “Terserah.”
“Maaf, Kak, saya ke kamar mandi sebentar, ya,” Alea bergegas pergi,
nyaris tak tahan menahan tangisnya.
“Adek cantik.” Farrel mengejar Alea.
Begitu sampai di kamar mandi, Alea melihat wajahnyadi depan cermin.
Matanya berkaca-kaca, hatinya sakit.
“Apa salah gue?” Alea meneteskan air mata. Dia mengingat semua
kejadian yang telah mereka lewati, yang dia hadapi sekarang bukan Revo
yang dulu.
Gue enggak pernah nyesel kenal lo. Tapi, gue nyesel karenague enggak
bisa ngenalin diri lo yang sebenernya, Rev.
Alea membasuh wajahnya, lalu keluar dari kamarmandi. Di sana, ada
Farrel yang tengah berdiri menatapnya.
“Maafin Revo, ya,” ujar Farrel setelah melihat mata Alea yang sembap.
“Lo nangis?”
“Enggak.” Alea terkekeh kecil.
“Gue yakin omongan Revo tentang lo sama sekalienggak bener.” Farrel
menegaskan.
Alea tertawa miris. Farrel mengajak Alea duduk.
“Gue enggak nyangka Revo segininya ke lo. Padahal gue tahu apa yang
dia dan lo rasain. Gue bukan jelek-jelekinsahabat gue sendiri, tapi dia udah
keterlaluan.
“Gue tahu, lo enggak akan ganggu hubungan mereka. Lo sayang sama
Revo, kan? Makanya, lo mau lihat diabahagia. Karena itu, lo sengaja
ngejauhin dia, kan? Lo enggak mau perpanjang perasaan lo, ya? Lo enggak
mau orang lain sakit hati. Gue yakin, ada pihak lain yang ngerencanain
semuanya. Karena enggak mungkin kebetulan, tapi masalahnya siapa?”
Alea tersenyum miring, dia menghela napas.
“Ya, udahlah, Kak, enggak usah dibahas. Enggak penting juga,” tepisnya.
“Tapi, nyatanya lo suka sama Revo, kan? Lo enggak bisa bohong, Alea.”
Alea tertawa. “Enggak penting juga, kan, dibahas?Terus, apa ngaruhnya
kalo gue suka sama dia atau enggak?Buat apa gue bilang ke semua orang soal
gue suka dia atau enggak? Enggak akan ubah semuanya. Permisi,” ujar
Alea menegaskan, lalu meninggalkan koridor.
Dia menguatkan diri dan tekadnya. Dia berjalan penuh emosi yang
bercampur kesedihan.
Dia berjalan tanpa melihat kiri dan kanan, emosinya benar-benar
memuncak. Tanpa sengaja, dia menabrak seseorang. Alea mendongak untuk
melihat orang itu.
“Mau lo apa, sih?” tegas Revo.
“Mau gue? Kalo lo enggak punya bukti, enggak usah asal nuduh orang.
Enggak usah ngambil kesimpulan sendiri tanpa lo tahu kebenarannya gimana.
Kalo lo mau ngomong saring dulu. Buat apa lo punya otak kalo enggak
dipake? Gue kecewa sama lo, Rev.” Alea dengan sengaja menabrak bahu
Revo, lalu pergi meninggalkan lelaki itu.
Revo menatap Alea dengan tatapan kosong, hingga bayangannya hilang.
Seperti ada sesuatu yang menohok di hatinya. Apakah dia menyakiti perasaan
gadis itu?
Kenapa dia marah? Apa dia emang bukan pelakunya? Tapi, semua hal
mengarah ke dia, batin Revo bingung.Namun, jika Alea memang bersalah,
pasti dirinya akan ketakutan, bukan malah marah. Kemarahan Alea seakan
menampar Revo dengan kencang.
Dari kejauhan, ada seseorang yang tersenyum puasakan semua yang
terjadi.
“Lo enggak akan bisa dapetin hati Revo, Alea. Dengan begini, lo berdua
akan semakin jauh.
“Sekarang, tinggal dia.”
Putri Cantik?
“Nyatanya, gue cuma upik abu yang datang sebagai pengganti saat sang
putri pergi.”
Kepala Revo rasanya sangat sakit. Mengapa dia malah teringat pada Alea?
Dia menenangkan pikirannya. Ibunya sudah hampir sembuh, tapi
mengapa pikirannya masih tak tenang?
Saat dia ingat mata Alea yang berkaca-kaca ketika gadisitu menjelaskan
semuanya, ada rasa penyesalan di dalam hatinya. Meski begitu, masih ada
juga yang bergejolak di dalam dadanya untuk membenci gadis itu, karena dia
pikir Alea-lah dalang dari semuanya.
Terkadang, dia membenci gadis itu, tapi di satu sisi ada rasa yang tak bisa
dia jelaskan. Dia memejamkan mata.Lamunannya baru berhenti saat
ponselnya berbunyi.
Sebentar lagi, liburan panjang semester akan tiba, acara OSIS akan diadakan
beberapa hari lagi. Dan, ini rapat terakhir untuk membicarakan acara tersebut.
Alea duduk di bangkunya, di antara Bella dan Vei.
Namun, tak lama kemudian, keduanya pergi karena harus mengurus
bidangnya masing-masing, sementara Alea masih duduk sendiri. Sebenarnya,
percuma juga. Bekerja sama dengan orang yang sedang tidak sejalan,
hasilnya tidak akan baik.
Alea bisa merasakan Aria sedang memandangnya yang masih sendirian
dan tidak melakukan pekerjaan apa pun.
“Revo di mana?” tanya Aria.
“Saya enggak tahu, Kak.” Alea menatap Aria sekilas.
“Revo di rooftop sama Reva,” sahut Farrel.
“Le, kamu susul Revo ke sana, ya,” suruh Aria.
“Nanti Kak Revo-nya juga ke sini.”
“Alea, proker kita itu udah tinggal hitungan hari. Kalo kamu masih aja
nunda-nunda pekerjaan kamu, gimana bisaselesai? Mikir, lah,” sentak Aria.
Namun, Farrel menatapnyaagar Aria tidak meneruskannya.
“Iya, saya susul.” Alea tak mau ribut. Dia menurut sajadan berjalan
menuju rooftop. Tempat penuh kenangan,enam bulan yang berarti dan penuh
makna.
Alea memasuki lorong dan naik ke rooftop. Matanya mencari sosok yang
ingin dia temui, tapi tidak ada. Namun,matanya membulat ke arah Reva, yang
kakinya tergelincir di ujung rooftop dan hampir terjatuh ke bawah.
“KAK REVA!” Alea dengan cepat menahan tubuh Reva dari belakang
agar tidak terjatuh.
“Kak, hati-hati.”
Untung saja Alea datang tepat waktu. Jika tidak, mungkin hidup Reva
sudah tamat sekarang. Atau beberapa jam lagi, tubuhnya akan terbaring di
rumah sakit.
Alea tidak tahu bahwa Revo muncul dari belakangdan menatapnya kaget.
Memang jika dilihat dari belakang, terlihat Alea hendak mendorong Reva.
Padahal, kenyataannya tidak.
Revo menghampiri Alea dan Reva. Matanya menatap tajam Alea, dia
menarik tangan Alea dengan kasar.
PLAK. Revo menampar pipi Alea. Alea terdiam sejenak,rasanya tamparan
Revo tidak terasa di pipinya. Namun, dengan jelas menampar kuat hatinya.
“Lo keterlaluan. Maksud lo apa?” bentak Revo penuh emosi. Alea
memegangi pipinya.
“Lo mau bunuh reva? Iya? Otak lo di mana?” suaraRevo benar-benar
menusuk memasuki telinga Alea.
Wajah Revo penuh amarah, tatapannya penuh emosi.
“Gue sempet mikir, gue salah nuduh lo. Tapi, ternyata,lo lebih busuk dari
yang gue bayangin!”
Mata Alea sudah berkaca-kaca. Matanya sangat panas, dia tak tahan
dengan semua perkataan Revo.
“Rev, udah. Tadi, tuh—” ujar Reva terpotong. Revosudah menatap Reva
tajam. Mengapa gadis itu masih mau membela Alea saat dia sudah di ujung
nyawanya?
“Sayang, dia mau bunuh kamu. Dia mau celakainkamu. Dia enggak bisa
dibiarin.” Revo mencengkeram kuatpergelangan tangan Alea.
“Kenapa lo segitunya sama Reva? Apa salah dia?”
Alea sudah tak kuat membendung air matanya, diameneteskan air
matanya.
“Enggak usah nangis. Air mata lo enggak guna!”
Alea terisak, Revo semakin memperkuat cengkeramannya. “Jawab!”
“Gue cuma mau nyelamatin pacar lo. Gue sama sekalienggak ada niatan
buat celakain dia, apalagi bunuh dia. Gue udah sabar selama ini sama
tuduhan-tuduhan lo, Rev. Tapi, lo keterlaluan!” Alea melepas cengkeraman
Revo dari tangannya. Dia sudah sangat emosi sekarang.
“Nyelamatin? Gue lihat pake mata gue sendiri lo mau dorong pacar gue
ke bawah. Itu namanya nyelamatin?” sentak Revo.
“Lo itu cuma pembohong. Munafik. Sok suci. Sok polos.Asal lo tahu, gue
nyesel pernah kenal sama cewek kayak lo.Lo enggak punya hati. Enggak
punya otak!” bentak Revo.
“Rev.” Reva ingin menjelaskan yang sebenarnya, tapiRevo sudah kelewat
emosi. Dia hanya menatap Reva sejenak, lalu kembali menatap tajam dan
penuh kebencian gadis yang ada di depannya.
“Kalo lo bukan cewek, udah gue abisin lo sekarang juga! Reva pacar gue,
Alea. Lo macem-macem sama dia, sama aja lo nyari perkara sama gue.”
“Maksud lo apaan, sih? Hah?” Lagi-lagi, Alea menangis.Revo sudah
keterlaluan. Dia sudah membuat Alea benar-benar tertekan.
“Lo apaan, sih? Udah gue bilang bukan gue, ya, bukan gue. Kurang jelas
apa lagi, sih? Hah? Bukan gue pelakunya.
Gue enggak punya niat sebusuk itu!” teriak Alea. Di mendorong kuat
tubuh Revo.
Reva hanya bisa terdiam.
“Dari kemaren gue sabar. Gue enggak marah samasemua tuduhan lo.
Terserah lo mau ngomong apa. Guekira, lo cuma salah paham, Rev. Tapi, lo
keterlaluan. Lo keterlaluan, Revo!” isak Alea lagi.
“Lo pikir, lo siapa, sih, sampe berani sekasar ini sama cewek? Gue
ngejauh dari lo karena gue tahu lo udah punyapacar. Gue enggak mau
kehadiran gue ganggu kalian. Gue cuma mau lo bahagia sama pacar lo, Rev.
Gue enggak mauada yang ngerasa enggak bahagia karena kehadiran gue. Gue
sama sekali enggak niat apa pun buat ngerencanainhal sebusuk itu!”
“Tapi, nyatanya lo emang busuk!”
“Apa? Busuk apa? Gue enggak bilang lo busuk pas lo bohong sama Tante
Catherine. Lo bohong apa pun tentang Putri Cantik gue terima. Gue enggak
permasalahin itu.
“Tapi, lo yang selalu nuduh-nuduh gue. Lo keterlaluan,Rev. Kenapa gue
enggak bisa benci sama lo, Rev? Kenapa? Ajarin gue buat benci sama lo,
Rev.” Alea mendorong tubuhRevo kuat. Sehingga, Revo terdorong ke
belakang.
“Dulu gue percaya lo orang yang baik, temen, kakakyang baik buat gue.
Nyatanya, lo lebih percaya sama firasat-firasat enggak jelas lo. Bukti-bukti
semu lo dibanding kenyataan yang sebenernya.”
“Ajarin gue buat benci sama orang yang udah nuduh lodi saat lo enggak
salah. Ajarin gue buat benci sama orang kayak gitu!”
Revo terdiam, tubuhnya mematung.
“Kenapa lo diem? Ajarin gue, Rev. Ajarin gue!” Alea menggoyangkan
lengan Revo. Air matanya mengalir.
“Percuma gue ngomong kayak gini, ya? Lo juga tetep bakal anggap gue
sama. Terserah lo, deh, sekarang. Terserahlo!” sentak Alea. Revo terdiam.
“Kenapa lo diem? Hah? Lanjutin aja, Rev. Lo belum puas, kan, nampar
gue? Ayo, tampar lagi!” Alea mengangkattangan Revo. Namun, tangan Revo
membeku.
Alea tertawa miris. “Percuma gue teriak-teriak kayak gini, lo enggak akan
pernah percaya sama gue, Rev. Gue marah sama lo? Iya. Tapi, gue enggak
pernah benci sama lo. Mungkin, lo bener, gue busuk, ya? Sok suci, sok polos,
munafik, dan masih banyak lagi yang lebih buruk dari itu. Iya, gue jauh lebih
buruk dan kotor dari semua yang udah lo omongin.
“Gue minta maaf, gue udah ganggu semua ketenangan lo. Maaf gue udah
bikin lo nyesel karena udah kenal gue, udah ketemu gue. Gue minta maaf
karena pernah ada di alam hidup lo. Setelah ini, anggap aja kita enggak
pernah kenal, Rev. Gue enggak akan ganggu hidup lo lagi, Rev. Gue harap ke
depannya lo bisa jauh lebih bahagia tanpa kehadiran cewek munafik, cewek
sok polos, sok suci kayak gue. Gue harap hidup lo lebih tenang dan bahagia.”
Alea meneteskan air matanya. Lalu, kembali mengusapnya dan tertawa miris.
“Mungkin, semuanya enggak akan serumit ini kalokita enggak saling
kenal.” Lagi-lagi, air mata Alea menetes.
“Gue enggak harus, kan, jelasin gue bener atau enggak?Gue bersalah atau
enggak? Gue pelakunya atau bukan? Lo enggak akan pernah percaya sama
kata-kata gue.”
“Satu yang perlu lo tahu, gue enggak pernah nyesel kenal sama lo dan gue
enggak akan pernah benci sama lo. Semoga lo terus bahagia.”
Alea pergi meninggalkan Reva dan Revo. Mungkin,memang seharusnya
begitu sedari dahulu. Alea harusnya tak pernah hadir.
Akhirnya, proker pensi OSIS diadakan hari ini. Hari yang ditunggu-tunggu
oleh banyak orang, tapi tidak untuk Alea. Alea hanya dapat melihat setiap
orang tertawa bahagia. Termasuk, dua sejoli yang tengah tertawa bersama di
ujungsana, Reva dan Revo.
Alea juga menyanyi untuk meramaikan pensi hari ini. Tak lama, dia
menaiki panggung, menatap semua orang yang ada di bawah.
“ALEA!” pekik Acha heboh.
“Berisik lo! Pacar gue itu.”
“Dih, tujuh turunan dia enggak bakalan mau pacaran sama lo!”
Alea memegang stand mic tersebut.
“Tes, tes.” Ya, jadi sebelumnya saya sebagai pengurus bidang
performance di sini mengucapkan banyak terimakasih buat kalian semua
yang sudah hadir di salah satu program kerja OSIS.”
“Waduh, enggak heran lagi kalo Alea yang nyanyi. Jadi,hari ini mau
bawain lagu apa, nih? Yang pasti kayaknya bakalan bikin semuanya nangis,”
tanya Dio.
“Jadi, lagu ini mengisahkan tentang seseorang yang sudah merelakan
orang yang dia cintai untuk membuatorang yang dia cintai bahagia. Karena,
orang yang diacintai merasa bahwa dia yang terluka, tanpa melihat dari sisi
yang lainnya.”
“Aduh, dalem banget, ya, Le? Oke, silakan, Alea! Let’s enjoy.”
Alunan musik mulai terdengar, semua penonton yang sebelumnya
bersemangat berjingkrak-jingkrak kini terdiammenatap Alea. Begitu juga,
lelaki yang ada di ujung sana.Dia menatap Alea penuh makna, entah apakah
itu tatapan kebencian?
¯Hati ini t'lah letih
Jalani kisah yang kau rasa perih
Seolah hatimu yang paling terluka
Tak pernah kau lihat sisi hatiku•
Bagi Alea, ini kisah yang sangat manis. Walaupun, dia merasakan pahit
pada akhirnya.
¯Di matamu kauanggap ku selalu salah
Di depanmu aku kan bersumpah mengalah •
Alea tahu betul, bagaimana sakitnya disalahkan karena kesalahan yang
tidak dia lakukan. Setidaknya, Alea belajar mengalah di saat dia tidak
bersalah.
¯Aku yang telah merelakanmu
Karena kini aku merasa
Tak mampu bahagiakanmu
Tuhan jagalah jiwa dan raganya
Hidup matiku hanyalah untuknya
Walau ku tak bersamanya•
Alea sangat rela jika dia harus melepas Revo. Jiwa dan raganya tetap
tertuju kepadanya. Alea selalu berharap, Revoakan selalu bahagia, meskipun
tidak bersamanya.
Revo menatap Alea lekat, dia teringat oleh ucapan Farrel. Gue bakalan
jadi orang paling bodoh kalo gue nyesel kehilangan dia. Batin Revo
menegaskan.
Beberapa penonton menangis. Sebagian lagi ada yang hampir menangis,
terdiam, melongo, membuat snapgram galau.
Lo bener-bener tulus, Alea, batin Farrel. Dia berpikir bahwa Revo yang
sangat bodoh.
“Terima kasih,” ujar Alea, lalu turun dari panggung.
Putus
Seminggu berlalu semenjak kejadian itu, dan ini hari ketiga class meeting
sekolah yang selalu diadakan oleh SMA Gempita di setiap akhir semester.
Alea sama sekali belum datang ke acara class meeting ini karena sebenarnya
acara ini tidak wajib diikuti oleh setiap murid.
Alea memilih untuk tetap berada di rumahnya. Dia terlalu malas untuk
pergi ke sekolah.
Semenjak kejadian itu, kondisi kesehatan Alea jugamenurun. Dia juga
tidak terlihat ceria seperti biasanya.
Di sisi lain, Acha tengah merapikan tasnya karena dia baru saja
menyelesaikan class meeting pidato bahasa Inggris.Dia bergegas berjalan ke
suatu ruangan.
“Kebiasaan si Alea, apa-apa lama,” gerutunya seraya menyusuri koridor
sekolah. Tak lama, langkahnya terhenti.Dia menepuk jidatnya sendiri, lupa
bahwa Alea tengah sakitdan tidak datang ke sekolah.
“Oh, iya, dia, kan, lagi sakit. Gue jadi kangen.” Acha menghela napas,
hendak memutar balik badannya. Namun,ada suara-suara bising dari suatu
ruangan, dan karena penasaran, Acha pun menghampiri ruangan tersebut.
“MAKSUD LO APA, SIH?” Suara bentakan itu membuat Acha
mengernyit. Dia merapatkan tubuhnya ke dinding.
“MAKSUD LO APA?” Suara perempuan itu kembali membentak.
“Maksudnya apa gimana? Rencana kita udah berhasil.”
“Berhasil apaan? Lo bisa dengan gampangnya wujudinapa yang lo mau,
tapi lo enggak bantuin gue sama sekali buat bisa deketin Revo. Terus, apa
gunanya kita bikinhubungan Alea sama Revo merenggang? Buat apa gue
bikin Revo benci sama Alea kalo gue tetep enggak bisa dapetin Revo?”
Mata Acha terbelalak ketika dia mendengar nama sahabatnya disebut.
Dia mengambil ponselnya dan merekam suara-suara tersebut. Acha tahu
siapa pemilik suara itu dan membekap mulutnya dengan terkejut.
“Lo cuma bilang, lo enggak suka lihat Alea sama Revo bareng-bareng.
Gue juga enggak suka. Lo, kan, yang ajakgue kerja sama duluan? Sekarang
udah berhasil, kan?”
“Terus, tujuan lo cuma buat hancurin kebahagiaanRevo? Dia orang baik,
dia bahkan bakalan kasih yang dia punya buat lo. Manusia keji macam apa,
sih, lo? Hah?”
“Lo juga bukan temen yang baik buat Alea. Lo hampir bikin hidup temen
lo sendiri ancur cuma gara-gara cowok macem Revo. Apa, sih, yang dilihat
dari Revo?”
“Alea cuma anggap gue temen, sementara lo? Ngaca!”
“Gue benci sama Revo. Dari dulu, dia selalu mau ngerebut apa yang gue
punya. Sampe Reva lebih milih dia daripada gue. Gue suka sama Reva dari
dulu, tapi Reva lebih milih Revo dibandingkan gue. Okay, enggak pa-
pa.Cuma, apa gue harus biarin Reva disakitin, ditinggalinsama orang yang
dia sayang? Apa gue salah pengin lihat orang yang gue sayang bahagia?
Enggak lebih dari itu. Gueenggak maksa Reva buat jadi milik gue, enggak
kayak lo yang cuma mikirin kebahagiaan lo dan ngorbanin orang lain!”
sentak lelaki itu.
Selain Acha, Farrel pun mulai mencuri dengar pertengkaran tersebut. Dia
penasaran melihat Acha yang menempel di tembok untuk mendengarkan dan
dia pun akhirnya ikut-ikutan menguping. Farrel membekap mulutnya
sendiriagar tidak bersuara, tak percaya lelaki itu pelakunya.
“Pokoknya gimana pun caranya, Revo bakal jadi milik gue. Termasuk
kalo harus nyakitin Reva lo itu!” Gadis itutak mau kalah.
“Jangan sentuh Reva atau hidup lo bakal hancur!”
Gadis itu tertawa jahat. “Gue juga bisa bongkarsemuanya. Tentang siapa
dalang yang ngerencanain penculikan Alea dan semua rencana busuk lo.”
“Bongkar aja. Lo enggak sadar kalo lo juga terlibat? Kita bertiga di sini.”
Farrel berpikir keras. Bertiga? Lalu, satu lagi siapa?
“Lo emang bener-bener licik, ya. Gue bisa bikin reputasilo langsung
hancur. Siapa yang sangka orang yang selama ini mereka bangga-banggakan
itu seorang penjahat, licik, pecundang?!”
“Jaga omongan lo!” sentak lelaki itu tak terima.
Gadis itu tertawa licik. “Awas. Gue mau balik.” Gadis itu hendak keluar
dari ruangan. Farrel dengan sigap menarik tubuh Acha, lalu bersembunyi di
balik tembok.
“Ayo!” Farrel menarik Acha ke arah kantin. “Eh,ngapain? Gue mau
balik!”
“Ini tentang keselamatan sahabat lo. Lo mau Alea kenapa-kenapa lagi? Ini
juga soal sahabat gue.”
“Iya, sih, tapi kalo ke kantin gue bawaannya jadi laper.”Acha
menunjukkan deretan giginya.
“Iya, gue yang traktir.”
Acha tersenyum semringah dan mengikuti langkahFarrel.
Farrel duduk, napasnya terengah-engah. Namun, dia harus tenang karena
mereka pasti sangat licik. Sementara, Acha sibuk memesan makanan dan
minuman, lalu membawanya ke meja.
“Gue enggak nyangka mereka pelakunya. Bener-bener enggak abis pikir.”
“Gue juga enggak abis pikir. Soalnya, gue lihat-lihat, mereka, kan,
lumayan deket juga sama Alea, sama Revo juga.”
“Gue yakin dari awal, semua kejadian yang Alea sama Revo alamin itu
enggak mungkin kebetulan. Pasti ada dalangnya.” Farrel menatap Acha lekat.
“Gue kira itu lo, nyatanya bukan.”
Acha tersentak, menatap Farrel kesal. “Kenapa gue?”
“Lo yang paling mencurigakan.”
Acha mengembuskan napas kesal. Namun, dia teringat,dia pernah
memberikan botol minuman kepada Alea, yang berujung pada percobaan
penculikan pada Alea. Ada yang menyuruhnya untuk memberikan itu. Tapi,
dia terkecoh, jadi apa mungkin orang itu juga terlibat?
“Yang paling penting, Revo dan Alea harus tahu.Walaupun agak susah
buat ngomong sama mereka di saat mereka dalam kondisi salah paham
begini,” ujar Acha.
Farrel mengangguk, akhirnya dia bergegas menujuapartemen Revo. Hari
ini, Revo tidak datang ke sekolah karena tidak mengikuti perlombaan apa
pun.
Revo terlihat tengah duduk di balkon apartemen.
“Ngapain, sih, lo ke sini?” tanya Revo dengan menatapFarrel tajam.
“Ada yang penting, Rev.”
Revo mengerutkan dahinya. “Apaan?”
“Ini tentang lo sama Alea.”
Revo menghela napas berat. “Enggak usah bahas dia.”
“Tapi, ini penting banget dan lo harus tahu.”
“Apa?” tanya Revo malas.
Farrel mengeluarkan ponselnya.
“Tapi, lo janji, lo harus tenang. Kalo lo gegabah, Revajuga bisa dalam
masalah. Oke?” pinta Farrel.
“Maksud lo apaan, sih?” tanya Revo tak mengerti.
“Tadi, pas selesai class meeting, gue denger semuanya.” Farrel membuka
rekaman suara.
Saat mendengarkan rekaman tersebut, napas Revomenjadi tak karuan.
Jadi, selama ini Alea tidak bersalah? Padahal, dia sudah bersikap sekasar
itu. Revo mendengarkan isi rekaman tersebut sampai akhir.
“Kurang ajar. Enggak mungkin, Rel!” ujar Revo.
Farrel tertawa miris. “Nyatanya, semiris itu.”
Pikiran Revo langsung tertuju kepada Reva. Gadis itu mungkin bukan
sasaran utama, tapi bisa saja dia celaka.
“Kita harus ke rumah Reva, sekarang!” Revo bergegas keluar dari
apartemennya, Farrel mengikuti.
“Gue harap cewek gila itu enggak ngapa-ngapain Reva lagi,” ujar Revo.
“Tapi, lo enggak boleh gegabah, Rev. Cewek itu lebih licikdari apa yang
lo bayangin. Enggak kontras gitu sama muka.”
Mobil mereka akhirnya tiba di depan rumah Reva. Revodan Farrel
memasuki rumah itu.
“Jadi, beneran lo yang misahin Alea sama Revo?” tanya Reva pada lelaki
yang ada di hadapannya.
Lelaki itu mengangguk. “Iya, kalo gue boleh jujur, gue masih sayang
banget sama lo, Va. Tapi, gue enggak maksa lo buat jadi milik gue, kok. Gue
cuma mau lo bahagia sama pilihan lo. Gue juga enggak mau hubungan lo
sama Revoudahan gara-gara cewek itu.”
Reva tertawa sinis. “Harusnya gue enggak usah ngomong ke Alea buat
jauhin Revo. Gue kira, dengan ketemu Revo, perasaan gue ke dia bakalan
bisa balik lagi kayak dulu. Gue kira gue akan sayang lagi sama dia kayak
dulu. Tapi, makin lama, gue ngerasa perasaan gue buat dia udah enggak ada.
Kalo tahu gitu, gue bakalan milih lo dari dulu. Lagi juga, kayaknya dia udah
enggak ada rasa sama gue,” ujar Reva.
Lelaki itu membulatkan matanya ke arah Reva. Sungguh gadis itu akan
memilihnya? “Serius, Va?”
Reva mengangguk seraya tersenyum.
“Lo yakin, Va? Enggak akan takut soal hubungan losama Revo kalo Revo
tahu?” tanya lelaki itu.
“Ya, enggak, lah, Revo itu kuno, norak, ngebosenin.”
Sesaat kemudian, lelaki itu tersadar ada orang lain di dekat pintu rumah
Reva. Ternyata, Farrel dan Revo.
Lelaki itu lalu mengisyaratkan Reva untuk berhentibicara. Namun,
sepertinya Reva masih belum sadar.
“Revo aja yang bego ngebelain gue sampe segitunya. Derita dia, lah.
Peduli amat. Sukanya juga sama cewekgendut model Alea. Ya, enggak level,
lah, kalo disandinginsama gue.”
Revo tersenyum miris, lalu menghampiri Reva.
“Kenapa enggak ngomong, Va? Lo enggak harus maksain hubungan yang
lo udah enggak nyaman.”
Suara itu membuat Reva menoleh ke arahnya, ternyataitu Revo. Sosok
yang sedari tadi tengah dia bicarakan.
Namun, tak lama Reva tertawa sinis. “Lo enggak usah muna, deh, Rev.
Selama ini juga lo udah jatuh cinta, kan, sama yang katanya adek lo itu?”
“Mungkin, perlahan waktu yang bikin rasa kita memudar sendirinya dan
bikin kita sama-sama tahu dan ngerti siapa orang yang kita mau dan kita
butuhin sebenernya. Jadi, enggak usah seolah gue yang salah, deh.”
“Mungkin, emang harusnya kita udahan, tapi satu hal yang harus lo ngerti,
lo enggak usah banding-bandingin orang lain sama lo. Apalagi, nge-judge
orang gitu aja!” ujar Revo.
“Mungkin, kalo itu buat lo bahagia, hubungan kita emang enggak usah
diterusin lagi. Kalo emang lo bakalan lebih milih dia, harusnya lo ngomong
dari awal.”
Revo menatap lelaki di samping Reva.
“Saya enggak nyangka, ya, ternyata ketua yang paling terhormat itu
seperti ini. Harusnya, Anda juga ngomong dari awal sama saya. Enggak usah
bikin rencana-rencana busuk yang libatin orang lain yang enggak bersalah.
Tolong,ya, Anda udah dapetin apa yang Anda mau. Jadi, jangan libatin orang
yang tidak bersalah di sini. Bilang juga sama Bella, jangan suka ngelakuin
hal bodoh yang ngerugiinorang lain. Bolehkah saya membuat permintaan
seperti itu, Ketua? Hormat saya, Revo Adriano,” ujar Revo, lalu bergegas
keluar.
Farrel menggaruk kepalanya sendiri yang tidak gatal.
“Lo kalo laper bilang gue apa, Ar. Entar, gue beliin makanan, enggak
usah makan temen. Entar, lo kanibal, sumpeh. Bikin pusing aja. Ribet lo
semua.”
Ferrrel mengejar Revo yang tengah emosi.
Isi Hati Alea
Mungkin benar jika terkadang sesuatu memang terasa lebihberarti ketika
sudah pergi.
Hai, Rev. Aku hanya ingin menulis, kok. Bukannya karena apa, tapi
aku lelah memendamnya sendirian lagi. Aku lelah berpura-pura atas
perasaanku sendiri. Aku lelahmenepis perasaan yang kubilang tak ada,
tapi kenyataannya perasaan itu sudah tumbuh. Aku tidak tahu apa yang
harus aku katakan lagi kepadamu. Kamu menganggapku salah. Aku
memang salah karena aku mencintaimu.
Mengapa kamu tidak bilang dari awal kalau kamu memiliki kekasih?
Aku terus menepis kenyataan bahwa aku mencintaimu dan dengan diriku
saja aku berbohong. Karena, aku tak ingin mencintaimu, aku takut terluka
karena mencintaimu. Meski begitu, aku gagal, kamu berhasilmembuat aku
mencintaimu. Dan, sekarang, aku cukupterluka, tapi bukan karenamu. Itu
karena perasaankusendiri yang tak sesuai dengan kenyataan.
Jujur saja, saat pertama kali aku melihatmu, aku tidakmerasakan apa
pun. Namun, kamu mencoba membuatku terus memikirkanmu. Kamu
berhasil, aku terus memikirkanmu karena sikapmu yang aneh.
Kamu aneh. Iya, terkadang kamu baik, terkadang jugaterlihat sangat
menyebalkan. Tapi, itu yang aku rindukandari kamu. Kamu tunjukkan apa
sebenarnya dari kamu. Kamu tidak selembut dan tidak seromantis lelaki
lain. Tapi,itulah Revo yang aku rindukan, bukan Revo yang seperti
sekarang. Yang ketika kita berdekatan saja, kita seolah biasa saja.
Harusnya memang dari dulu seperti itu, karenaaku yakin kamu tak
menganggapku lebih dari juniormu. Dulu aku juga hanya menganggapmu
seniorku, tapi entah.Seperti yang kubilang tadi, perasaan itu tumbuh
begitu saja.
Aku rindu kamu, rindu tatapan tajam matamu, rindu semua
pertengkaran yang terjadi entah karena apa. Intinya aku rindu. Tapi, aku
sadar diri, kamu sudah memiliki kekasih. Kamu sangat menyayanginya,
bukan?
Aku tidak membencinya. Aku sadar diri bahwa aku dengan dirinya tidak
bisa dibandingkan. Jauh. Tapi, aku cukup bahagia, karena kalian sangat
cocok. Kamu juga terlihat bahagia.
Aku ingin kamu tahu. Aku tidak pernah punya niat jahat apa pun
kepadamu. Aku bahagia saat melihat kamu bahagia, walaupun kamu tidak
bahagia bersamaku. Aku tidak pernah ingin mencelakai orang yang sudah
membuatkamu bahagia, karena dia telah membantuku membahagiakanmu.
Memang, saat aku mendengar bahwa kamu sudah punya pacar dan kamu
menganggapku sebagaiadikmu, ada yang mengganjal di hatiku.
Tapi, sumpah demi apa pun, aku tetap menerima kenyataan. Aku tidak
ingin mengganggu hubungan kalian. Akubahagia melihatmu bahagia. Itu
sudah lebih dari cukup.
Soal Tante Catherine, aku sudah menerima jika kamubilang Reva Putri
Cantik yang selalu dinanti Mama. Memang harusnya dia yang menjadi putri
di hatimu, bukanaku. Aku hanya seorang upik abu yang terlihat seperti putri
pengganti saat sang putri pergi. Aku sadar dan aku bahagia saat aku tahu
Tante sudah sembuh total. Tapi, asal kamu tahu, aku juga sangat
menyayanginya. Aku takmungkin mencelakainya.
Aku harap, kamu tahu kebenarannya. Aku takmelakukan hal yang kamu
sebutkan sama sekali. Bahagiamu saja sudah cukup untukku. Aku memang
merindukanmu. Perlu kamu tahu, aku mencintaimu, tapi aku tak ingin
merebutmu. Aku mencintaimu, tapi aku tahu diri. Aku mencintaimu, makanya
aku ingin lihat kamu bahagia.
Semoga kamu tahu kebenarannya. Kamu tahu, aku sama sekali tidak bisa
membencimu entah karena alasan apa. Apakah kamu tahu?
Aku mencintaimu seperti kamu mencintai pacarmu. Sejujurnya, aku
sangat merindukan kamu. Tapi, takapalah jika rinduku yang tak bermakna
besar ini bisamembuatmu selalu tersenyum. Aku selalu menyayangimu
walaupun mungkin kamu masih membenciku. Semogakamu terus bahagia.
Aku berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan waktu untukku
dan kesempatan untuk mengenalmu. Terima kasih untuk enam bulan yang
penuh makna selama aku mengenalmu. Aku tak pernah menyesal, aku sayang
kamu.
Tanpa sadar, setetes air mata jatuh di pipi Revo. Apakahdia bisa disebut
sebagai lelaki cengeng? Namun, dia tak bisa menahannya. Apa yang
dirasakan Alea begitu tulus. Dan, apa yang dia balas? Apa yang dia berikan
untuk Alea?
Itu kata-kata terakhir yang Alea buat di buku itu. Revo jadi sangat
membenci dirinya sendiri. Menampar Alea hal paling bodoh yang pernah dia
lakukan.
“Maafin gue, Alea.”
Revo segera menyelesaikan urusan laporan yang harusdia serahkan pada
Pak Dibyo. Setelah itu, motornya melajuke rumah Alea.
Revo turun dari motornya dan dengan ragu menekan belrumah Alea.
Tak lama, seorang wanita paruh baya keluar dari rumahitu seraya
tersenyum semringah.
“Revo? Apa kabar kamu?”
Revo mencium punggung tangan Cecill serayatersenyum. “Baik, kok,
Tante.”
“Kebetulan banget kamu ke sini.”
“Kenapa, Tante?” tanya Revo bingung.
“Kamu ajakin Alea keluar, deh. Dia, tuh, udah seminggu enggak mau
keluar kamar. Dia juga jadi murung terus,enggak kayak biasanya. Kamu lagi
ada masalah, ya, sama Alea?” tanya Cecill.
Revo mengangguk canggung. “Iya, Tante. Boleh enggaksaya ketemu
sama Alea?”
Cecill mengangguk seraya tersenyum. “Bentar, ya,Tante panggilin dulu.
Masuk, Rev. Duduk dulu.”
Cecill berjalan menuju kamar putrinya dan mengetukpintu kamar Alea
perlahan. “Le. Mama boleh masuk?”tanya Cecill.
“Masuk aja, Ma,” jawab Alea lesu. Dia melihat Cecill memasuki
kamarnya, lalu duduk di tepi kasur Alea. Ibunyamengelus rambutnya seraya
tersenyum.
“Ada yang mau ketemu kamu.”
“Siapa?” tanya Alea malas.
“Temen kamu, temuin dulu, gih.”
Alea menggeleng. “Bilang aja Alea lagi tidur.”
“Le, enggak boleh gitu, ah. Masa, dia niat baik mau ketemu kamu terus
kamu enggak mau nemuin?”
Alea menghela napas dan akhirnya keluar dari kamarnya dengan wajah
sangat pucat. Pandangannya terarah pada seseorang yang tengah duduk di
sofanya.
Mata mereka sempat bertaut untuk beberapa saat. Aleamenatap sosok itu
dengan tajam.
“Le, ada yang mau gue omongin—” ucapan Revo terpotong.
“Mending lo pergi. Gue enggak mau ngomongin apaapa lagi,” ujar Alea
dengan tajamnya.
“Le, tapi—”
“Pergi, Rev!” sentak Alea. “Lo enggak bisa denger?” Nada bicaranya
meninggi, lalu dia kembali berjalan menujukamarnya, dan menutup pintu
kamarnya.
“Alea, kok, gitu, sih, Sayang?” seru Cecill.
“Enggak pa-pa, kok, Tante.”
“Tapi, kan, dia enggak sopan begitu,” tepis Cecill.
Mendengar keributan itu, Leon yang kini tengah pulangke Jakarta
menghampiri Revo dan Cecill yang tengah berada di ruang tamu. Matanya
membulat penuh emosi ke arah Revo.
“Bangun lo!” sentak Leon seraya menarik kerah baju Revo dengan kuat.
Leon menghantam Revo dengan kuat, posisi Revo pun menjadi
tersungkur.
“Bangun!” Lagi-lagi, Leon menghantam Revo. “Gueudah duga dari awal
kalo lo pasti berengsek!”
Cecill menggelengkan kepalanya. “Leon, kamu ini apaapaan, sih? Revo,
tuh, dateng baik-baik, lho, mau ketemu Alea. Terus, maksud kamu apa main
hajar-hajar aja? EmangMama enggak pernah ajarin kamu sopan santun?”
Leon tertawa sinis. “Laki-laki baik enggak akan pernahberani buat
nyakitin cewek, Ma. Laki-laki baik mana yang tega nampar perempuan?”
Cecill menatap Revo dengan tatapan bingung. “Benar kamu nampar
Alea?”
Revo terdiam sejenak.
“Benar kamu nampar anak saya? Salah apa dia?”
Revo mengangguk penuh penyesalan. “Iya, Tante. Aleaenggak salah apa-
apa.”
“Memangnya tidak bisa dibicarakan baik-baik? Selamaini, saya sama
papanya Alea enggak pernah main fisik samadia. Saya kecewa sama kamu.
Lebih baik kamu pergi,” ujar Cecill dingin. Tidak seperti biasanya.
Revo mengangguk, lalu keluar dari rumah Alea. Revo sadar jika dia
pantas mendapatkan semua ini. Revo tahu jika kesalahan yang dia lakukan
benar-benar fatal.
Setelah beberapa minggu, kondisi Alea mulai membaik. Dia juga merasa
lebih bahagia karena ada Reynand di sisinya. Selama itu juga, Alea selalu
mendapatkan kiriman bunga matahari kesukaannya, yang Alea yakin dari
Reynand.
Di sisi lain, sebentar lagi angkatan Revo akan melepas jabatannya, karena
mereka sudah bertugas kurang lebih satu tahun sebagai formatur OSIS. Kini,
mereka tengah mengadakan acara perpisahan di Nihiwatu Beach, Sumba,
Nusa Tenggara Timur.
Rekan Alea memaksa Alea untuk ikut, karena mereka sangat merindukan
Alea yang sudah terlalu lama tidak terlihat. Akhirnya, Alea pun setuju untuk
mengikuti kegiatan itu, dengan syarat dia boleh mengajak Reynand.
“Rey, bagus banget. Aku mau berenang,” ujar Alea.Reynand terkekeh
kecil seraya mengacak gemas rambut Alea. Alea sedang menatap langit senja
yang sangat indah, sunset yang menakjubkan.
“Kamu suka?” tanya Reynand.
“Aku suka banget.” Alea menatap sunset yang memanjakan matanya.
“Aku juga.” Reynand tertawa. Alea menatap Reynand sejenak.
“Oh, ya? Aku baru tahu kamu suka pantai.”
“Aku juga suka banget, sama kamu.” Reynand menatapAlea lekat, Alea
hanya tertawa.
“Enggak jelas!” ujar Alea dengan nada meledek.Reynand ikut tertawa.
“Aku mau jalanjalan, Rey. Sunset-nya bagus banget,” ujar Alea. Reynand
mengetuk dagunya.
“Ayo!” Mereka berlari dan tertawa bersama.
Sementara itu, Farrel dan Revo memilih untuk bersantai sejenak di bawah
pemandangan sunset yang menenangkan.Dalam diam, Revo menatap Alea
yang semakin jauh dari pandangannya.
“Aku terbakar api cemburu,” ujar Farrel, memberi ada pada kalimat
tersebut sehingga menjadi nyanyian.
Revo memandang Farrel sinis. “Enggak jelas lo.”
“Enggak boleh cemburu sama adek sendiri, ya, Abang ganteng yang
paling ganteng.”
“Berisik.” Revo duduk di kursi pantai, menatap langit senja seraya
meluruskan kakinya. Matanya menerawang.
“Rel, lo pernah mikir enggak, sih, kalo misalnya dalangdari suatu hal itu
orang yang enggak kita duga?” Revomenatap Farrel serius.
“Maksud lo? Lagi juga, gimana kita mau bongkar ten-tang ini ke Alea?
Dia aja enggak mau ngomong sama lo, ngelihat lo aja dia ngejauh.” Farrel
juga ikut duduk.
“Gue takut terjadi apa-apa sama Alea, Rel,” ujar Revo dengan perasaan
tak karuan.
“Takut kenapa? Ada Reynand juga, kan, yang jagaindia?”
Revo beranjak dari posisinya.
“Gimana kalo ternyata Reynand itu satu orang lagiyang kerja sama bareng
Aria dan Bella?” tanya Revo serius.
“Enggak boleh, Bang, nuduh adek sendiri.”
“Gue serius, Rel.”
“Emangnya lo punya bukti apa?” tanya Farrel.
“Mungkin, di rekaman suara itu enggak ngebuktiinjelas kalo Reynand
pelakunya. Tapi, intinya, pelakunyaitu bertiga.
“Nah, lo inget enggak, waktu pertama kali Reynand ke sini dan bener-
bener ngejar Alea, tapi Alea enggak mau? Terus, lo inget soal penculikan
Alea yang bikin gue sama Alea berantem?” Revo menekankan.
Farrel mengangguk. “Terus?”
“Lo inget waktu Alea dapat barang bukti berupa video, yang isinya seolah
gue bilang benci sama Alea? Dari belakang, tuh, orang mirip banget sama
gue, kan? Nah, lo pikir, siapa orang yang mirip banget sama gue selain
Reynand?” tanya Revo.
Farrel tampak berpikir. “Bisa jadi.”
“Setelah itu, Reva dateng. Lo pernah mikir enggak, sih,kalo mungkin,
Aria yang nyuruh Reva buat balik? Atau mungkin sebelumnya mereka udah
ada hubungan.
“Setelah Reva balik, hubungan gue sama Alea merenggang. Di saat itu
juga, Reynand pergi. Sampai gue sama Aleasalah paham besar, Reynand
masih menghilang.”
“Bukannya kalo gitu berarti Reynand enggak terlibat?”
“Bukan gitu maksud gue, Rel. Reynand sengaja menghilang biar semua
bukti enggak mengarah ke dia. Biar kita enggak curiga sama dia.”
“Kalo gitu, kenapa dia sampe nonjokin lo pas dia tahulo nampar Alea?”
“Menurut gue, dia ngelakuin itu biar enggak berkesanburuk di mata kita.
Setelah dia bisa dapetin simpati dan kepercayaan Alea, dia pelan-pelan mulai
rebut hati Alea. Lo tahu, kan, posisi Alea lagi down? Pasti Reynand bakalan
mudah banget buat dapetin Alea lagi.”
“Maksud lo? Misi Reynand cuma buat balikan sama Alea?”
“Enggak, enggak gitu. Kalo Alea percaya sama Reynand,otomatis dia
dengan mudah bisa ngelakuin misinya, kan?” tanya Revo.
“Jadi, semuanya mengarah ke Reynand?”
“Ya, mereka semua kerja sama.”
“Jadi, waktu Reynand nonjokin lo itu, dia seolah marahsama lo buat
nutupin jejak?”
Revo mengangguk. “Menurut gue, mungkin Reynandngelakuin misinya
bukan karena dia masih sayang sama Alea.”
“Apa karena dia enggak mau lihat lo milikin apa yang ingin lo milikin?
Maksudnya, Reynand ngelakuin misinya itu cuma karena iri sama lo?” tanya
Farrel.
Revo mengangguk, sembari mencari sosok Alea dan Reynand yang telah
hilang.
“Sekarang mereka di mana?” tanyanya, matanya masihmencari. Dia
segera berlari mengikuti jejak terakhir Alea dan Reynand. Farrel
mengikutinya.
Selama acara di pantai, Alea memilih untuk sekamar dengan Vei. Malam itu,
Vei membicarakan soal Bella sambil kesal.
“Gue kecewa sama Bella, Le. Gue udah anggap dia sahabat dari gue
masuk OSIS. Gue kira dia cuma kagum samaKak Revo, gue enggak nyangka
kalo dia bakalan ngelakuin hal segila ini.”
“Udah, enggak pa-pa.” Alea tersenyum. Gadis ini sangatbaik. Itu yang
membuatnya semakin cantik, hatinya sangat baik.
“Kenapa lo enggak marah? Lo terlalu baik, Le. Makanya, orang jadi
gampang jahat sama lo.”
“Udah berlalu juga, kan, Vei. Lagi juga, mungkin gue yang salah karena
enggak sadar sama perasaan Bella. Doainaja yang terbaik buat dia. Oh, iya,
jam berapa sekarang?” tanya Alea. Dia melihat jam di dinding. Sudah pukul
5.00 sore. Acara inti akan dimulai pukul 7.00 malam. “Lo enggaksiap-siap,
Vei?”
“Masih dua jam lagi kali, Le.”
“Tapi, kita harus siap-siap. Tahu enggak, sih, ini, kan,acara pelepasan
mereka?” Alea dengan semangat membongkar isi kopernya.
Vei tertawa kecil. “Tapi, Bapak Wakil Ketua yang bentarlagi lengser
enggak bakalan lepas dari hati lo, kan?”
Pipi Alea langsung memerah. “Apaan, sih, lo!”
Alea sibuk mencari baju yang bagus untuknya. Entah mengapa, dia
menjadi sangat bimbang hanya untuk memilihbaju. Waktu berlalu dengan
cepat dan tahu-tahu saja sudahpukul 6.00 sore. Vei sudah selesai bersiap-siap.
“Ayo, dong, Le. Tadi, lo yang minta buru-buru. Sekarang, lo yang lama.”
“Bentar.”
“Gue duluan, ya.” Vei memilih untuk keluar dahulu.
Alea menghela napas. “Kenapa tiba-tiba baju gueenggak ada yang bagus,
sih?” Dia terlalu fokus mencari bajuyang bagus untuknya, hingga tidak sadar
di luar kamarnya ada Revo yang menunggunya. Lelaki itu sudah rapi
dengankemeja berwarna biru dongker dan celana hitam.
“Acaranya mulai jam tujuh, kan, Le.”
Alea menoleh. Dia terpana melihat Revo yang terlihat sangat tampan.
“Iya, gue tinggal ganti baju, kok.”
“Lo pake baju apaan aja cantik, kok. Cepetan, ya, gue tunggu di acara
inti.” Revo tersenyum ke arah Alea. Alea diam mematung, menatap Revo
yang berlalu pergi.
Akhirnya, pilihannya jatuh pada dress tiga perempat berwarna merah
muda selutut. Alea merapikan rambutnya dan memberikan make up tipis di
wajahnya. Kemudian, dia keluar mengikuti yang lain.
Alea menuju ruangan yang sudah disepakati sebagai tempat diadakannya
acara tersebut. Sudah ramai. Aleabertemu dengan Farrel, yang menatapnya
kagum karena tak biasanya Alea berdandan seperti ini.
“Adek, kok, tambah cantik?” puji Farrel.
“Makasih, Kak.” Alea tersenyum.
Seperti biasa, Dio menjadi MC. Acara berjalan seperti yang sudah
direncanakan, tapi di tengah-tengah ada sedikit perubahan. Seharusnya, Aria
yang memberikan pidato pelepasan, tapi karena Aria sedang dalam tahanan
polisi,Revo harus menggantikan Aria.
“Silakan buat Abang Revo yang paling ganteng untukmenyampaikan
pidato.”
Revo tertawa sejenak, lalu naik ke podium.
Alea menatap Revo dari bawah. Revo juga menatapnyaseraya tersenyum.
Senyum yang dapat meluluhkan hati Aleadan membuat jantungnya berdebar
tak karuan.
“Ya, ampun waketosku ganteng banget!” teriak Sissy.
“Abang jangan malu-maluin adek, Bang!” teriak Farrel yang memecahkan
tawa.
“Ya, jadi sebelumnya gue mau minta maaf kalo misalnya bahasa gue
kurang baku atau kurang formal. Gue di sini sebenernya menggantikan Aria
karena beliau tidakbisa berpidato di sini malam ini.
“Sebenernya, acara serah terima jabatannya masihsatu bulan lagi. Tapi,
makasih banget buat satu tahunbareng-barengnya, ya. Gue minta maaf kalo
gue dan rekanrekan punya salah, misalnya kami pernah ngatur-ngatur kalian
atau gimana. Tapi, yang jelas, makasih banget buat kerja samanya.
Buat temen-temen gue, makasih banget buat dua tahunnya. Gue sebagai
Wakil Ketua OSIS di sini minta maaf kalo misalnya ada perilaku gue yang
enggak ngenakin, gue juga mewakili Aria untuk meminta maaf.
Gue harap, di periode selanjutnya, OSIS SMA Gempita akan lebih baik.
Akan lebih banyak menggapai prestasi lagi,akan melakukan banyak program
kerja yang lebih bagus dari yang angkatan gue buat.”
“Sama-sama, Abang!” teriak Farrel.
“Sebelum gue lanjut, ada yang mau disampaikan enggak buat pengurus
OSIS di periode gue?”
Semua melirik ke arah Arkan, Arkan salah satu pengurus OSIS
seangkatan Alea. Arkan dikenal penuh semangat dan bertanggung jawab. Dia
paling rajin di OSIS.
“Gue?” tanya Arkan. Dia bangkit dari duduknya dan langsung berdiri.
“Ya, kalau saya, perwakilan dari angkatan saya mau berterima kasih
sebesar-besarnya buat semua pelajaranyang dikasih sama angkatan Kakak.
Kami juga minta maaf kalau belum bisa ngasih yang terbaik, suka bikin
marah, belum bisa bikin proker yang bener-bener baik. Tapi, kami semua
mendoakan semoga Kakak-Kakak ke depannya semakin sukses dan masuk ke
perguruan tinggi yang diinginkan.
Begitu aja, Kak Revo,” ujar Arkan. Revo mengangguk.
Semuanya bertepuk tangan dan bersorak.
“Baik, terima kasih, Arkan. Ada lagi?” tanya Revo. Dia menatap lekat
Alea seraya menaikkan satu alisnya.
Alea menunduk.
“Kalau tidak ada, masih ada yang mau gue sampaikan lagi.” Revo
menatap Alea dengan intens.
“Mungkin, apa yang mau gue omongin agak melanggarperaturan. Tapi,
gue, kan, udah lepas dari jabatan gue. Adayang mau marah?” tanya Revo
meledek. Semuanya malah tertawa.
“Semangat. Aku mendukungmu!” teriak Farrel.
“OSIS itu berharga, berkesan, dan unforgettable banget buat gue. Tapi,
ada satu anggota di sini yang bener-bener berkesan buat gue. Dia ngajarin
gue banyak hal, ngajarin gue buat jadi orang yang penyabar, pemaaf. Dia
buat hidup gue jadi lebih baik.”
Tatapan Revo tak lepas dari Alea. Alea masih menundukkan kepalanya,
pipinya sudah memerah. Dia bisa merasakan bahwa semua mata tertuju ke
arahnya.
“Dia lucu. Friendly, supel. Mungkin kalian akan menilai dia berbeda
sebelum atau setelah mengenal dia. Di balik semua sifatnya yang lucu, dia
juga bisa jadi seorang gadis yang bijaksana.
Mungkin, pada akhirnya gue ngelanggar peraturan. Guebukan sekadar
suka sama dia, gue bukan sekadar sayang sama dia, gue jatuh cinta sama dia.
Gue jatuh cinta dari semua yang dia punya.”
Bodohnya, gue enggak ngakuin perasaan gue. Gue selalu tepis perasaan
gue, kalo gue enggak jatuh cinta samaorang itu.”
Nyatanya, semakin lama dia masuk dalam hidup gue. Dia ngubah hidup
gue jadi lebih baik, nyatanya gue makin jatuh cinta sama dia.
Bodohnya gue. Gue ngelakuin kesalahan yang bikin diajauh dari gue. Gue
nyakitin dia, tapi dia bilang dia enggakbisa benci sama gue. Dia terlalu baik,
kan?
Jadi, gue mau minta sama dia kasih gue kesempatan buat perbaikin
semuanya. Apa gue boleh jadi orang yang selalu ada di saat lo butuh? Apa
gue boleh jadi orang yang selalu lindungin lo? Gue tahu, gue terlalu dalem
nyakitinlo. Apa gue boleh ngehapus semua kesalahan gue?
Gue sayang sama lo. Gue jatuh cinta sama lo, Alea Annastasya.” Revo
menatap Alea lekat. Kini, Alea benar-benar gugup dan tak tahu harus berbuat
apa.
Apa lo izinin gue buat jadi pacar lo?” tanya Revo.
Alea merasakan wajahnya merah padam. Apa yangharus dia lakukan
sekarang?
“Terima. Terima. Terima!” sorak anggota OSIS yang lain, mendukung
Alea untuk menerima Revo. Alea mencobauntuk terlihat tenang meski begitu
gugup.
“Woi, ada yang lebih penting!” Farrel berteriak setelahmelihat ponselnya.
Semuanya menatap Farrel dengan kesal.Mengganggu suasana saja.
“Apaan?” tanya Revo malas.
“Main guest star kita berhalangan hadir lagi!” teriak Farrel. Yang lain pun
bersorak kecewa. “Kesel enggak, sih, setiap bikin acara pasti guest star kita
ada aja yang enggak hadir? Eh, gini aja,” Farrel tiba-tiba tampak seolah baru
mendapat ide. “Gimana kalo si adek sama lo duet bareng, Rev? Kalo adek
setuju, berarti dia nerima lo. Kalo enggaksetuju berarti lo ditolak.” Farrel
meledek.
“Gih, sana.” Vei mendorong punggung belakang Alea agar ke depan.
Akhirnya, Alea berdiri. Semuanya bersorak senang.
“Mau nyanyi lagu apa?” tanya Revo ketika Alea sudah di sampingnya.
Alea masih menunduk. Pipinya masih merah.
Revo masih menatapnya, menaikkan satu alisnya. Itu malah membuat
Alea salah tingkah.
“Terserah lo,” gumamnya.
“Nyanyi lagunya Ed Sheeran – Perfect. Lo tahu, kan?”
Alea mengangguk.
“Oke. Kami bakalan nyanyi lagu dari Ed Sheeran yangberjudul Perfect.
Buat gadis sempurna yang ada di samping gue.” Revo menatap Alea, tapi
Alea langsung mengambil mikrofon tanpa menatap Revo.
Alunan musik mulai terdengar.
¯Well I found a girl beautiful and sweetI never knew you were the someone
waiting for me •
Biarkan saja banyak yang bilang jika Alea tidak secantik gadis lain. Bagi
Revo, Alea tetap gadis cantik nomor dua setelah ibunya. Jika dia tahu Alea
juga mencintainya, dia akan memilih untuk bersamanya dari awal.
¯‘Cause we were just kids when we fell in love
Not knowing what it wasI will not give you up this time
But darling, just kiss me slow, your heart is all I own
And in your eyes you’re holding mine•
Namun, biarkanlah ini menjadi kisah remaja yang paling indah bagi
mereka. Di mana mereka bisa merasakan berbagai hal di sini.
Sebulan berlalu dan kini kondisi tubuh Alea sudah membaik. Apalagi
hubungannya dengan Revo, semuanya berjalan baik-baik saja dan sangat
menyenangkan. Revo juga sudah meminta maaf pada Cecill dan Zio, mereka
memaafkan Revo asalkan dia tak akan mengulang kesalahan itu pada Alea.
Alea juga sudah bertemu dengan Catherine.
Alea bersyukur, karena pada akhirnya dia tak perlu untuk membohongi
perasaannya lagi jika dia sangatmencintai lelaki itu.
Derai hujan sedari tadi turun membasahi SMA Gempita.Kini, Alea dan
Revo tengah menatap tim basket putri SMA Gempita yang tetap bersemangat
melawan tim basket dari SMA Dirgantara, meskipun hujan tak kunjung reda.
“Gila, mereka keren abis enggak, sih?” tanya Alea.Bukannya menggubris,
Revo malah tertawa.
“Heh, kenapa lo ketawa-ketawa? Emangnya ada yang lucu?”
Revo masih saja tertawa. “Ya, iyalah keren, orang pemainnya juga kurus-
kurus kayak mereka. Coba lo bayanginkalo lo yang jadi tim basket?”
Alea menatap Revo malas. “Eh, lo kalo ngomong jangansembarangan.”
“Sembarangan apanya? Gue, tuh, ngomong sesuaifakta. Lo aja setiap lari
pasti jatuh.” Revo tak mau kalah.
“Yang ada, nih, ya, kalo lo main basket jadinya bola,kok, main bola?”
Alea berdecak kesal. “Rev, lo, tuh, ngeselin bangettahu enggak?”
“Emang, tapi lo sayang, kan?” tanya Revo yang entah mengapa membuat
perasaan Alea tak karuan sehinggamembuat pipinya memerah.
Revo kembali tertawa. “Ih, pipi lo, kok, merah-merah gitu, sih, Le?”
“Lo bisa enggak, sih, enggak usah resek sehari aja?” Alea menatap Revo
dengan tatapan malas.
“Lo bisa enggak, sih, enggak usah kesel sama gue sehariaja?” tanya Revo
balik dengan menirukan gaya bicara Aleayang tengah marah.
Alea berdecak kesal, dia mencubit lengan Revo yang ada di sampingnya.
Revo meringis pelan. “Sakit, oncom. Bisa enggak kalo kesel enggak usah
nyubit?”
“Bisa enggak kalo jadi orang enggak usah ngeselin?” tanya Alea.
Revo terkekeh kecil seraya mengacak rambut Aleagemas. “Ya, udah
maaf.”
“Enggak, enggak dimaafin.”
“Kok, lo resek, sih? Maafin enggak?” paksa Revo.
“Kok, lo maksa, sih?”
“Maafin enggak?” paksa Revo lagi.
“Oke, tapi ada satu syarat.”
Revo mengerutkan dahinya. “Syarat apaan?”
Alea menatap Revo dengan tatapan penuh misteri.
Tak lama, gadis itu berlari meninggalkan Revo. “Kejar gue!”
“Alea, lo apaan, sih? Di luar ujan!” Revo berteriak dari jauh. Alea
menoleh sejenak.
“Ya, udah, berarti lo enggak gue maafin!” Alea terus berlari hingga
koridor parkir.
“Heh, Anak Kecil, lo nantangin gue ceritanya? Enggak usah gaya-gayaan,
deh, udah tahu enggak bisa lari!” Revo berlari mengejar Alea sehingga tanpa
susah payah dia bisa dengan cepat menahan tangan Alea dari belakang.
“Ih, curang. Lepas enggak!”
“Lepas apa? Lo aja yang enggak bisa lari.”
Alea menggeleng. “Lo aja yang kecepetan larinya!”
Alea kembali melepas genggaman Revo dan berlari. Akhirnya, dengan
begitu menggemaskannya mereka berlari mengitari koridor sekolah di tengah
derasnya hujan. Namun, Revo kembali berhasil menggapai tangan Alea.
“Le, lo enggak punya hobi lain, ya, selain ngajakinorang ujan-ujanan?”
Alea menoleh. “Lagian, lo enggak punya hobi lain selainbikin gue kesel?”
“Punyalah.”
“Apa?” tanya Alea meledek.
“Mau tahu banget?” tanya Revo seraya terkekeh kecil.
“Apa emangnya?”
Revo tersenyum tipis seraya menyeka rambut Alea yangberantakan
karena hujan. “Sayang sama lo.”
Alea menatap Revo lekat seraya tersenyum.
Lagi-lagi, Revo berhasil membuat jantungnya berdeguplebih kencang.
Revo memang sangat menyebalkan, tapiselalu berhasil membuat Alea
kembali tersenyum.
“Receh banget tahu enggak gombalan lo?” Aleamemukul bahu Revo
pelan.
“Itu bukan gombalan, itu kenyataan.”
Alea kembali terdiam. Revo tersenyum gemas seraya mengambil jaket
dari tasnya, lalu memakaikannya pada tubuh Alea.
“Ih, gue enggak mau pake jaket.”
“Pake, dodol. Nanti lo sakit.”
“Enggak mau, jaket lo bau,” dusta Alea. Padahal, jaket Revo sedari dulu
selalu wangi.
“Sembarangan lo ngomong. Pake enggak? Kalo enggak, gue bilangin ke
nyokap lo, ya?”
“Bilangin aja, emangnya mau bilang apa, sih, lo? Hah?”Alea meletakkan
tangannya di pinggang seraya menatap Revo seolah menantangnya.
“Mau bilang kalo gue sayang sama anaknya.”
“Oh, sayang sama Bang Leon?” canda Alea.
“Receh banget, sih, lo. Ya, udah, ayo, pulang.”
Alea tersenyum, sekarang masih hujan, tapi Revomengajaknya pulang?
Berarti, Revo mengizinkannya untukhujan-hujanan lagi?
“Berarti, gue boleh ujan-ujanan lagi?”
Revo menatap Alea pasrah. Memangnya dia bisaberbuat apa lagi? Baju
Alea sudah telanjur basah karena hujan-hujanan. Revo mengangguk pasrah.
Akhirnya, mereka bergegas meninggalkan koridor sekolah, lalu Revo
mengantar Alea sampai rumahnya.
Sesampainya di rumah Alea, Revo masih menatap Aleadengan lekat. Alea
mengerutkan dahinya, lalu menampar pelan pipi Revo. “Ngapain, sih, lo
lihatin gue kayak gitu?”
“Emangnya enggak boleh gue lihatin pacar gue sendiri?” tanya Revo
sehingga membuat pipi Alea kembali memanas.
“Apaan, sih, lo!” Alea kembali memukul pelan bahu Revo. Namun, Revo
masih menatap Alea.
“Berhenti lihatin gue kayak gitu enggak?”
“Siapa suruh muka lo bikin gue enggak pernah bosen buat ngelihatin lo?”
jawab Revo.
“Apaan, sih, emang kenapa muka gue?”
“Lo cantik, Le.”
Sesaat kemudian, Revo tertawa. “Tapi, boong. Oh, iya,gue mau ngomong
sesuatu.”
Alea menghela napas berat. “Dari tadi juga lo udah ngomong.”
“Tapi, sekarang gue mau ngomong serius.” Air muka Revo memang
langsung berubah menjadi serius.
Alea mengerutkan dahinya. “Ngomong apa?”
“Ada yang mau nikah.”
Alea semakin bingung. “Apaan, sih, lo? Katanya mau ngomong serius.”
“Ya, gue serius, ada yang mau nikah.”
“Nikah?”
Revo mengangguk. “Iya, kok, lo kayak enggak percaya banget, sih?”
“Siapa yang mau nikah emangnya?”
Revo kembali tersenyum, senyum yang sama sekali takdapat dia mengerti
apa maksudnya.
Setelah Revo pulang, Alea memasuki rumahnya. lalu dudukdi sofa. Alea
masih tak bisa berhenti tersenyum, Alea sangatbahagia mendengar apa yang
Revo sampaikan tadi.
“Heh, gila lo, ya? Ngapain lo senyum-senyum sendiri?”Seseorang
menimpuk Alea dengan bantal sofa, lalu duduk di samping Alea seraya
memakan snack yang dia pegang.
“Enggak pa-pa,” jawab Alea, dia masih saja senyumsenyum sendiri.
“Bahagia banget, sih, lo kayaknya? Balik sama siapa lo tadi?” tanya Leon.
Alea terdiam sejenak, haruskah dia mengatakan jika dia pulang bersama
Revo? Bukankah Leon sangat tidak setuju jika Alea berpacaran denganRevo?
Haruskah dia mengatakan Revo telah resmi menjadi kekasihnya satu bulan
yang lalu?
“Enggak usah ditutup-tutupin lagi. Lo balik sama pacarlo, kan, tadi? Lo
udah jadian, kan, sama Revo waktu lo ke pantai itu?” tanya Leon. Alea
menunjukkan deretan giginya.
“Iya, Bang.”
Tak lama, Leon tersenyum hangat ke arah Alea. “Gue seneng, kok, kalo
lihat adek gue seneng. Dan, gue baru sadar, ternyata Revo orang yang bisa
bikin lo selalu bahagia.Gue setuju, kok, kalo lo sama Revo.”
Alea membulatkan matanya ke arah Leon. “Seriusan lo, Bang?”
“Iya, tapi kalo sampe dia nyakitin lo lagi. Jangansalahin gue, ya, kalo
pacar lo kenapa-kenapa?”
Alea memeluk Leon yang ada di sampingnya dengan erat. “Love you,
Bang!”
Leon berdecak kesal menahan tubuh Alea yang memeluknya begitu erat.
“Iya, iya, maaf, ya, gue pernah ngelarang lo buat deket sama Revo. Soalnya,
sesuai pengamatan gue sebagai playboy yang andal. Gue kira, Revo itu
cowok yang enggak baik buat lo. Ternyata, lo bahagianya kalo sama dia. Dia
juga sayang sama lo.”
“Iya, enggak pa-pa. Eh, iya, Bang, lo tahu enggak?”
“Tahu apa?” tanya Leon bingung.
“Masa, tadi Revo bilang, ada yang mau nikah.”
Leon mengerutkan dahinya. “Nikah? Gila lo, ya, baru pacaran sebulan
udah mau nikah aja? Siapa yang mau nikahemangnya? Lo mau nikah sama
Revo?”
Alea tersenyum dengan senyuman yang tak dapat Leonmengerti.
“Le, lo gila, ya, senyum-senyum sendiri lagi?”“Lo serius mau nikah
sama Revo?”
Alea menatap dirinya di depan cermin, merias wajahnya agar terlihat lebih
sempurna. Dia mengenakan dress di bawah lutut berwarna putih. Dia rasa
dirinya sangat aneh.
“Kamu cantik.” Tante Catherine menghampiri Alea,lalu membereskan
beberapa helai rambut Alea.
“Tante, dong, yang lebih cantik.”
“Makasih, ya, Cantik. Kamu bikin keluarga Tantekembali bahagia, kamu
emang ajaib. Jangan pernah pergi tinggalin Revo, ya?” pinta Catherine.
“Revo beruntungmilikin kamu.”
“Enggak, kok, Tante. Revo sebenernya bisa aja dapetin yang lebih baik
dari aku.” Alea tersenyum, Catherine mengelus pipi Alea.
“Yang cantik banyak, tapi yang kayak kamu, kan, jarang.” Catherine
tertawa kecil.
“Kamu ada di saat Revo terpuruk, kamu bener-bener buat Tante kembali
sembuh total seperti sekarang, bahkan kamu bisa lunakin Om Gerald yang
kayak batu, bikin Revo sama Reynand baikan lagi. Pokoknya, makasih.”
Catherine mengecup kening Alea.
“Sama-sama, Tante.”
“Tante harap, kamu jodohnya Revo nanti.” Pipi Alea langsung memerah.
Dia menatap Catherine sejenak, lalu menundukkan kepalanya. Biasanya,
ucapan seorang ibuakan menjadi kenyataan.
“Ya, kan, enggak ada yang tahu, Tan,” jawab Aleadengan malu-malu.
Catherine tertawa gemas.
“Kamu itu lucu banget, sih.” Catherine menarik Alea ke dalam
dekapannya.
“Oh, iya, kamu ditanyain Revo di bawah,” ujarCatherine. Alea
mengangguk.
“Alea ke bawah dulu, ya?” pamit Alea seraya tersenyum.Catherine
mengangguk.
Alea menatap Revo yang sudah rapi mengenakan kemeja yang dibalut
oleh jas hitam.
Revo menatap Alea dari atas hingga bawah, lalu terkekeh kecil. Alea
bingung.
“Apaan, sih!”
“Lo mau ngapain? Jadi badut?” Revo tertawa.
“Emangnya gue aneh?” tanya Alea lalu menghampiri cermin besar di
dekat sana. Dia membenarkan rambutnya.
“Lo gendut.” Revo tertawa jail.
“Bisa enggak, sih, lo enggak usah bikin emosi sehari aja?”
“Bisa enggak lo enggak usah emosian sama gue sehariaja?” Revo
mengikuti gaya bicara Alea.
“Enggak usah ngambek. Lo jelek kalo lagi ngambek.” Revo mengacak-
acak rambut Alea.
“Lo cantik, kok.” Revo menarik lengan Alea dan membuat gadis itu
menatapnya. Dia membenarkan rambut Aleayang telah dia buat berantakan.
Dia tertawa gemas, lalumencubit pipi gadis itu. Entah mengapa, hal
sesederhana itu membuat jantung Alea berdebar sangat kencang.
“Woi, acaranya udah mulai. Pacaran mulu.” Farrelmenghampiri Alea dan
Revo dengan tatapan tajam, tapi itu malah membuat wajah Farrel semakin
lucu.
“Muka lo biasa aja kali!” ujar Reynand seraya meraup wajah Farrel. Iya,
Revo sudah membebaskan Reynand karena lelaki itu tak sepenuhnya salah
dalam rencana busuk itu. Tetapi, dia membiarkan Aria dan Bella untuk tetap
mendekam di penjara agar mereka jera.
Alea dan Revo saling bertatapan, lalu tertawa ketika kembali melihat
wajah Farrel.
“Pantesan lo jomlo.” Revo meledek Farrel dan menarikAlea untuk
memasuki acara.
Para tamu menatap kagum Revo yang memiliki paras tampan, Alea juga
memiliki wajah yang sangat imut dan menggemaskan.
“Rev, kok, adeknya enggak disuruh tidur?” ledek seorang gadis seumuran
mereka. Revo hanya tertawa menatapAlea.
“Kalian cocok, kok. Semoga cepet nyusul TanteCatherine, ya.” Gadis itu
tertawa setelah meledek mereka.
Revo tersenyum simpul menatap Catherine dan Geraldkembali bersama.
Rasanya sangat bahagia, ketika melihat semuanya kembali harmonis.
Reynand bertugas untukmenyambut tamu di depan sana.
“Kenapa lo senyam-senyum?” Alea menatap Revo.
“Makasih, ya, udah bikin keluarga gue balik lagi.” Revomenatap intens
Alea. Alea tertawa.
“Bukan karena gue, emang Tuhan udah berkehendak kalian buat bahagia.
Setiap orang berhak bahagia.”
“Menurut gue, Tuhan terlalu adil.”
“Kenapa?”
“Tuhan ngirimin bidadari secantik lo, terus balikinkeluarga gue. Gue
enggak nyesel, ya, gitar gue kebantingsama bidadari,” ledek Revo.
Alea mendorong bahu Revo. “Lebay lo!”
Dari jauh, Farrel memberikan isyarat kepada Alea dan Revo untuk
melempar buket bunga.
Alea dan Revo melempar buket bunga tersebut.Semuanya berebut bunga
yang tertaut sangat indah. Alea dan Revo juga ikut tertawa bahagia.
Acara pernikahan Catherine dan Gerald sudah selesai. Alea melepas beberapa
aksesori di kepalanya.
Suara ketukan pintu membuat Alea menoleh ke arah sumber suara itu.
“Masuk,” sahut Alea lembut. Suara ketukan itu kembali terdengar, Alea
menghela napas, lalu membuka pintu kamaritu. Namun, sama sekali tidak ada
orang di sana.
“Tante Catherine?” Lampu di rumah Catherine padam.Hanya lampu
kamar yang Alea tempati dan satu titik cahayayang dia lihat.
Dia menyusuri koridor rumah Revo, kini Revo sudah tinggal di salah satu
perumahan di daerah Jakarta bersamaCatherine, Gerald, dan Reynand. Revo
sudah tidak menempati apartemennya.
“Tante di mana?” Alea menyusuri koridor rumah Revo. Jika kondisi
rumah Revo sangat gelap dan tidak ada orang, lalu yang tadi siapa?
“Rev, ini kerjaan lo, kan?” tanya Alea gemetar. Kakinyamulai gemetar,
debaran di dadanya sudah sangat kencang. Napasnya tak karuan.
“Revo. Rev, bercanda lo enggak lucu tahu enggak?!” Alea setengah
berteriak. Dia sangat ketakutan.
Kaki Alea sudah melemas, kepalanya terasa sangatpusing jika gelap. Dia
terjatuh dan menangis sejadi-jadinya,dia sangat takut pada gelap.
“Rev—gue—takut.” Suara Alea terdengar sangat parau.
Seketika, lampu menyala, Revo menghampiri Alea yangtengah menangis
sejadi-jadinya. Dengan tatapan malas,Alea menatap Revo.
“Lo, tuh, kenapa, sih, ngeselin banget!” dumel Alea. Namun, dia langsung
menelungkup di lengan Revo. Revo terdiam, sesungguhnya dia merasa
bersalah. Tangannyasempat kaku, dia bingung harus berbuat apa. Pada
akhirnya, dia mengelus bahu Alea untuk menenangkan gadis itu.
“Maafin gue, ya?” pinta Revo lembut. “Jangan nangis.”
“Bercanda lo enggak lucu!” Alea memukul lengan Revo.Tak lama
kemudian, Alea mendongak. Revo melengkungkansenyum di bibirnya, lalu
mengelus rambut Alea denganlembut. Namun, Alea menepisnya.
“Tahu, ah. Gue bete sama lo!” Alea hendak bergegaske kamar itu
kembali. Namun, Revo menahan tangannya.
“Jangan marah, jangan nangis lagi, ya.” Revo memberikan buket bunga
yang sangat indah, boneka, dan cokelatyang ada di dalamnya.
“Kalo cewek suka bingung disuruh pilih bunga, boneka,atau cokelat, buat
lo semuanya.” Revo menatap lekat Alea. Namun, Alea masih tak ingin
mengambilnya.
“Ambil, dong, jarang-jarang, kan?” ledek Revo seraya mengacak gemas
rambut Alea. Alea menghapus air matanyadan mengambil bunga dan cokelat
tersebut.
“Lo nyolong di mana? Perasaan, tadi buketnya kebanyakan mawar.” Alea
menghapus air matanya dan menatap buket bunga itu dengan senang.
“Enak aja, itu gue pesen istimewa ke abangnya,” ujar Revo dengan
ekspresi yang sangat lucu. Alea tertawa.
“Gue bilang, gue mau bunga yang bakalan kasih banyakarti dan makna
ketulusan buat pemiliknya nanti. Karena, pemiliknya punya hal serupa. Gue
bilang ke abangnya, itu bunga matahari yang selalu setia menanti mentari.
Dan, mentari selalu gelisah untuk menunggu pagi.”
Alea tertegun sejenak dengan kata-kata Revo. Pipinya memerah, lalu dia
tertawa. “Makasih.”
“Tapi, lo pesen ke abang-abang bunga yang ngurusin buket di nikahan
nyokap-bokap lo juga, kan?” tanya Alea. Revo terdiam, lalu mendekati Alea.
Alea terdiam, mau apa Revo? Alea terus melangkah mundur, hingga
tubuhnya terpepet tembok.
“Kalo, iya, lo mau apa?” ledek Revo yang semakinmendekati Alea.
“Gu ... gue.” Alea mencoba menatap Revo yang sudah terlebih dahulu
menatapnya dengan lekat. Dia meremas bajunya sendiri.
“Hm?” Revo menaikkan satu alisnya.
Alea memejamkan matanya. Dia terlalu takut menatapRevo sedekat itu.
“Kalo diajak ngomong, lihat orang yang ngajak longomong.”
Alea membuka matanya, posisinya tetap sama.
“Lo mau ngapain, sih?” Alea gugup, dia kembali menutup matanya.
Revo tersenyum gemas menatap tingkah Alea, membuat gadis ini salah
tingkah, pipinya tiba-tiba memerah, itu sangat menggemaskan.
“Mau bilang mau lo jadi bulan atau jadi matahari,bunga matahari bakalan
selalu untuk lo,” bisik Revo tepat di telinga Alea. Lalu, dia meniup wajah
Alea dengan jailnya.
“Gue enggak akan apa-apain lo, Cantik,” ujar Revoseraya membenarkan
helai rambut Alea yang berantakan.
“Lo itu kenapa, sih, hobi banget bikin gue jantungan? Kayaknya, nih, ya,
pacaran sama lo itu mengakibatkanserangan jantung.”
Revo tak kuasa menahan tawanya akan jawaban Alea yang
menggemaskan.
“Emang kenapa jantungan? Lo mikirnya gue anehaneh, sih.”
Alea menatap Revo malas, dia kesal sekaligus malu.
“Gue cuma mau bilang, gue sayang sama lo. Walaupun,banyak yang
bilang muka lo pipi doang juga, gue tetep sayang.”
Alea menatap Revo kesal.
“Rev. Lo itu ngeselin banget, sih!” Alea memukul bahu Revo.
“Woi, sakit.” Revo berlari, tapi Alea tetap mengejarnya.
“Lo jail banget jadi orang. Bodo amat, gue kesel sama lo!” Alea terus
mengejar Revo dan mereka tertawa bersamadengan cara unik mereka.
“Tapi, sayang, kan?” mereka terus kejar-kejaran hinggamenimbulkan
suara gaduh di rumah itu.
Hai, Alea. Gue suka sama lo dari awal, dari awal lo jatuhingitar gue di
sekolah. Kalo lo yang jatuhin, gue ikhlas kalo gitar gue harus jatuh setiap
hari. Gue suka sama lo, gue suka saat loketawa, saat lo salah tingkah, saat lo
ngomong, saat lo bingung,bahkan saat lo marah gue juga suka. Makanya,
gue sengaja buatlo bingung sama gue, inget enggak waktu gue ngucapin
ulangtahun ke Farrel, padahal dia enggak ulang tahun? Padahal, itu buat lo.
Diem-diem gue nge-add LINE lo, terus muncul notif kalo lo ulang tahun. Lo
lucu kalo lagi marah, makanya gue sengaja buat lo marah. Intinya, gue suka
semuanya dari lo. Walaupun, gue terlambat buat ngakuin perasaan gue, ya,
enggak pa-pa, lah, daripada enggak sama sekali. Kalo gue boleh muter
waktu, gue enggak akan pernah nyakitin hati lo waktu itu, Le.Makasih
banyak, lo ngajarin gue arti kasih sayang, kesabaran, ketulusan. Bahkan, lo
kembaliin hidup gue yang udah hancur, lobuat hidup gue jadi lebih
berwarna. Mungkin enggak ada kata cukup untuk jelasin lo. Gue belajar dan
percaya akan banyak makna setelah kenal lo. Gue mungkin enggak akan
tahu apa itu ketulusan kalo bukan karena lo. Makasih buat
semuanya,makasih buat kisah yang menurut orang lain mungkin enggak
jelas, tapi menurut gue ini menggemaskan. I think i’m gonnalove you for a
long time. I love you too, pretty girl.
Penulis