ABSTRAK
Artikel ini bertujuan membahas kelemahan generasi z yang akan menjadi tonggak
perubahan pada usianya yang produktif pada puncak bonus demografi di tahun
2030. Agar target pada usia emas nanti bisa diperoleh sesuai harapan, dianalisis
faktor penting tetapi justru diabaikan. Berdasarkan data statistik UNESCO,
Indonesia menempati urutan terbawah nomor dua dalam urusan literasi. Tentu
menjadi perbaikan bersama untuk menunjang generasi muda ini agar tetap
memiliki daya literasi yang kuat walaupun kehidupan diiringi dengan hal yang
serba instan. Dengan adanya revolusi industri 4.0 juga mendorong generasi z
untuk bisa memiliki keahlian dibidang pendidikan abad 21 ini, antara lain:
berpikir kritis, memecahkan masalah, kreatif, inovatif, dan berkomunikasi serta
berkolaborasi. Oleh karena itu, artikel ini akan menyajikan fakta berupa data
secara kajian literatur maupun dengan metode survei lapangan yang telah
dilakukan berupa wawancara kepada sampel kalangan mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Bengkulu. Dari resume ini dihasilkan bahwa menarik minat baca
generasi z bisa dilakukan dengan pendekatan literasi berbasis digital. Hal itu
sesuai dengan pola hidup mereka yang tidak bisa terlepas dari teknologi. Dengan
begitu, generasi z tetap bisa memaksimalkan potensi yang ada serta memiliki
kepekaan terhadap keadaan keummatan sekarang ini dengan tidak buta informasi,
menjadi pembaca sekaligus pembelajar yang bijak dan cerdas dalam memilah
informasi yang valid.
Kata kunci : Generasi z, revolusi industri 4.0, literasi, perpustakaan berbasis
digital
1. Latar Belakang
Pada revolusi Industri 1.0, tumbuhnya mekanisasi dan energi berbasis uap
dan air menjadi penanda. Tenaga manusia dan hewan digantikan oleh
kemunculan mesin. Mesin uap pada abad ke-18 salah satu pencapaian
tertinggi. Revolusi 1.0 ini bisa meningkatkan perekonomian yang luar
biasa. Sepanjang dua abad setelah revolusi industri pendapatan perkapita
negara-negara di dunia meningkat enam kali lipat. Revolusi Industri 2.0
perubahannya ditandai dengan berkembangnya energi. Listrik dan motor
penggerak. Manufaktur dan produksi masal terjadi. Pesawat telepon, mobil,
dan pesawat terbang menjadi contoh pencapaian tertinggi. Perubahan cukup
cepat terjadi pada revolusi Industri 3.0. yang ditandai dengan tumbuhnya
industri berbasis elektronika, teknologi informasi, serta otomatisasi.
Teknologi digital dan internet mulai dikenal pada akhir era ini. Berbeda
mencolok dengan revolusi industry tahap sebelumnya, revolusi industri 4.0
ditandai dengan berkembangnya Internet of atau for Things yang diikuti
teknologi baru dalam data sains, kecerdasan buatan, robotik, cloud, cetak
tiga dimensi, dan teknologi nano. Kehadirannya begitu cepat
[2].
2. Diskusi
Berdasarkan kajian pustaka pada latar belakang, telah kita ketahui sekarang
pada era Revolusi Industri 4.0 yang bisa disingkat RI 4.0 dengan ciri khasnya
yaitu kemajuan teknologi hampir pada semua bidang kehidupan. Tentunya
banyak keuntungan atau dampak positif yang kita peroleh, seperti
kemudahan dalam beraktivitas karena banyaknya mesin berbasis teknologi
yang bisa meringankan perkerjaan manusia, menghemat waktu dalam
melakukan suatu aktivitas, dan bisa mendapatkan suatu informasi dari antar
negara bahkan benua dengan sangat cepat. Serta masih banyak manfaat
lainnya. Namun, dibalik keuntungan yang kita rasakan sekarang, tentulah ada
dampak negatifnya. Hal ini berlawanan dari dampak positifnya. Dengan
dimudahkan pekerjaan, kebanyakan dari kita terdidik menjadi generasi yang
malas karena semua hal bisa dilakukan dengan instan. Lalu, dengan pesatnya
arus informasi yang bahkan sulit untuk dibendungi mana yang harus benar-
benar terfilter bagi kaula muda, menyebabkan pembentukan generasi yang
membebek. Yaitu mengikisnya jati diri selaku pribadi yang ramah, terdidik,
dan memiliki aturan dalam berkehidupan negara karena mengikuti arus
liberalisasi yang juga terselip dalam era globalisasi sekarang ini.
Berdasarkan data di atas, dari kalangan usia produktif tentu terdapat beberapa
generasi. Dan yang cukup mendominasi ialah generasi z yang pada umumnya
lahir pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2010. Tentulah pencapaian dari
bonus demografi itu tidak akan tercapai jika dari generasinya tidak memiliki
bekal untuk memanfaatkan usia produktifnya. Salah satu faktor penting yang
bisa kita analisis ialah dari minat membaca atau kemampuan literasi pada
generasi z dewasa ini.
Faktor rendahnya budaya literasi di Indonesia disebabkan oleh berbagai
faktor, di antaranya kurangnya minat baca dan masih banyak masyarakat
Indonesia yang masih buta huruf. Data Kementrian Koordinator bidang
pembangunan manusia dan kebudayaan menunjukkan bahwa rata-rata orang
Indonesia hanya membaca buku sebanyak 3-4 kali dalam seminggu dengan
waktu 30-60 menit perhari. Jumlah buku yang selesai dibaca sekitar 5-9 buku
pertahun. Data dari BPS tahun 2018 tentang penduduk Indonesia masih
mengalami buta huruf.
Rendahnya literasi merupakan masalah yang urgen dan serius bagi negara
Indonesia. Oleh karena itu, permasalahan tentang loterasi ini harus menjadi
perhatian serius dari pemerintah (Permatasari, 2015). Meningkatkan literasi
menjadi tanggung jawab bersama untuk menjadikan literasi sebagai
kebiasaan dan budaya baik di dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan.
Budaya literasi merupakan pembiasaan seseorang atau kelompok orang
dalam melakukan pemeriksaan atau mengecek kebenaran informasi melalui
berbagai sumber. Semua pemahaman tentang literasi atau sumber informasi
dibutuhkan pembiasaan atau tradisi untuk membaca [9].
Dalam pencarian literatur pada google cendekia, ada contoh menarik untuk
menjadi masukan dalam rendahnya minat baca pada generasi z. Hal ini
berhubungan dengan gerakan literasi baru yang terfokus pada tiga literasi
utama yaitu 1) literasi digital, 2) literasi teknologi, dan 3) literasi manusia
(Aoun, 2018). Dengan kedekatannya generasi z pada teknologi di era RI 4.0
ini maka diberikan sampel yaitu gerakan perpustakaan digital. Yang juga
mendorong terjadinya gerakan literasi baru yang telah kita bahas sebelumnya
pada latar belakang.
Kaum muda di bawah usia 24 tahun kerap disebut generasi Z yang lahir
antara tahun 1995 hingga 2012 dan disebut digital natives (Prensky, 2001).
Karakterisik generasi Z adalah fasih dengan teknologi dan menghabiskan
rata-rata 9 jam per hari bersama ponsel mereka (Daugherty & Hoffman,
2014), pragmatis, waspada, mengutamakan kebersamaan, berkomunikasi
dengan gambar, realistis, dan kesadaran kolektif. Mereka menginginkan
perhatian terhadap kebutuhan informasi yang berbeda untuk setiap individu,
kesempatan memberikan umpan-balik secara langsung atas apa yang
diterima, teknik kolaborasi aktif pihak-pihak yang terlibat, cara yang modern
dan menyenangkan, dan mengonsumsi informasi yang mudah diakses dan
dipahami (Swanzen, 2018) [10].
Pada era RI 4.0 kita bisa merasakan kemajuan teknologi yang tentunya
terdapat masing-masing dampak positif dan dampak negatif dalam kehidupan
kita. Di era disrupsi seperti saat ini, dunia pendidikan dituntut mampu
membekali diri dengan keterampilan abad 21. Didukung juga dengan
adanya bonus demografi yang akan memuncak pada tahun 2030 yang akan
mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal itu dapat terjadi jika
kalangan muda dalam usianya yang produktif memiliki kemampuan yang
sejajar dengan target. Dimana, generasi z pada tahun tersebut akan
mendominasi, maka harus ada perhatian khusus bagi para calon penunjang
kemajuan negara dikemudian hari. Salah satunya yang sangat penting ialah
daya literasi generasi z. Karena menurut data statistik UNESCO Indonesia
menempati urutan terbawah nomor dua dalam urusan literasi.