Anda di halaman 1dari 10

DAYA LITERASI GENERASI Z DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.

Inas Zhafirah (A1E017045)


Program Studi Pendidikan Fisika
Universitas Bengkulu
inaszhfr@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan membahas kelemahan generasi z yang akan menjadi tonggak
perubahan pada usianya yang produktif pada puncak bonus demografi di tahun
2030. Agar target pada usia emas nanti bisa diperoleh sesuai harapan, dianalisis
faktor penting tetapi justru diabaikan. Berdasarkan data statistik UNESCO,
Indonesia menempati urutan terbawah nomor dua dalam urusan literasi. Tentu
menjadi perbaikan bersama untuk menunjang generasi muda ini agar tetap
memiliki daya literasi yang kuat walaupun kehidupan diiringi dengan hal yang
serba instan. Dengan adanya revolusi industri 4.0 juga mendorong generasi z
untuk bisa memiliki keahlian dibidang pendidikan abad 21 ini, antara lain:
berpikir kritis, memecahkan masalah, kreatif, inovatif, dan berkomunikasi serta
berkolaborasi. Oleh karena itu, artikel ini akan menyajikan fakta berupa data
secara kajian literatur maupun dengan metode survei lapangan yang telah
dilakukan berupa wawancara kepada sampel kalangan mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Bengkulu. Dari resume ini dihasilkan bahwa menarik minat baca
generasi z bisa dilakukan dengan pendekatan literasi berbasis digital. Hal itu
sesuai dengan pola hidup mereka yang tidak bisa terlepas dari teknologi. Dengan
begitu, generasi z tetap bisa memaksimalkan potensi yang ada serta memiliki
kepekaan terhadap keadaan keummatan sekarang ini dengan tidak buta informasi,
menjadi pembaca sekaligus pembelajar yang bijak dan cerdas dalam memilah
informasi yang valid.
Kata kunci : Generasi z, revolusi industri 4.0, literasi, perpustakaan berbasis
digital
1. Latar Belakang

Merujuk beberapa literatur Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)


Revolusi industri terdiri dari dua (2) kata yaitu revolusi dan industri.
Revolusi berarti perubahan yang bersifat sangat cepat, sedangkan
pengertian industri adalah usaha pelaksanaan proses produksi. Apabila
ditarik benang merah maka pengertian revolusi industri adalah suatu
perubahan yang berlangsung cepat dalam pelaksanaan proses produksi
dimana yang semula pekerjaan proses produksi itu dikerjakan oleh manusia
digantikan oleh mesin, sedangkan barang yang diproduksi mempunyai nilai
tambah (value added) yang komersial.

Istilah "Revolusi Industri" diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan


Louis-Auguste Blanqui di pertengahan abad ke-19. Revolusi industri ini
pun sedang berjalan dari masa ke masa. Dekade terakhir ini sudah dapat
disebut memasuki fase ke empat 4.0. Perubahan fase ke fase memberi
perbedaan artikulatif pada sisi kegunaaannya. Fase pertama (1.0) bertempuh
pada penemuan mesin yang menitikberatkan (stressing) pada mekanisasi
produksi. Fase kedua (2.0) sudah beranjak pada etape produksi massal yang
terintegrasi dengan quality control dan standarisasi. Fase ketiga (3.0)
memasuki tahapan keseragaman secara massal yang bertumpu pada
integrasi komputerisasi. Fase keempat (4.0) telah menghadirkan digitalisasi
dan otomatisasi perpaduan internet dengan manufaktur (BKSTI 2017) [1].

Gambar 1 Perkembangan Revolusi Industri [1]

Pada revolusi Industri 1.0, tumbuhnya mekanisasi dan energi berbasis uap
dan air menjadi penanda. Tenaga manusia dan hewan digantikan oleh
kemunculan mesin. Mesin uap pada abad ke-18 salah satu pencapaian
tertinggi. Revolusi 1.0 ini bisa meningkatkan perekonomian yang luar
biasa. Sepanjang dua abad setelah revolusi industri pendapatan perkapita
negara-negara di dunia meningkat enam kali lipat. Revolusi Industri 2.0
perubahannya ditandai dengan berkembangnya energi. Listrik dan motor
penggerak. Manufaktur dan produksi masal terjadi. Pesawat telepon, mobil,
dan pesawat terbang menjadi contoh pencapaian tertinggi. Perubahan cukup
cepat terjadi pada revolusi Industri 3.0. yang ditandai dengan tumbuhnya
industri berbasis elektronika, teknologi informasi, serta otomatisasi.
Teknologi digital dan internet mulai dikenal pada akhir era ini. Berbeda
mencolok dengan revolusi industry tahap sebelumnya, revolusi industri 4.0
ditandai dengan berkembangnya Internet of atau for Things yang diikuti
teknologi baru dalam data sains, kecerdasan buatan, robotik, cloud, cetak
tiga dimensi, dan teknologi nano. Kehadirannya begitu cepat
[2].

Diketahui bahwa Fokus keahlian bidang Pendidikan abad 21 saat ini


meliputi creativity, critical thingking, communication dan collaboration atau
yang dikenal dengan 4Cs.
Gambar 2 Keterampilan Abad 21 [3]
Di era disrupsi seperti saat ini, dunia pendidikan dituntut mampu membekali
para peserta didik dengan keterampilan abad 21 (21st Century Skills).
Keterampilan ini adalah ketrampilan peserta didik yang mampu untuk bisa
berfikir kritis dan memecahkan masalah, kreatif dan inovatif serta
keterampilan komunikasi dan kolaborasi. Selain itu keterampilan mencari,
mengelola dan menyampaikan informasi serta trampil menggunakan
informasi dan teknologi. Beberapa kemampuan yang harus dimiliki di di
abad 21 ini meliputi : Leadership, Digital Literacy, Communication,
Emotional Intelligence, Entrepreneurship, Global Citizenship, Problem
Solving, Team working. Tiga Isu Pendidikan di indonesia saat ini Pendidikan
karakter, pendidikan vokasi, inovasi (Wibawa, 2018). Tidak hanya bagi
peserta didik, Guru dan dosen pun harus harus siap menghadapi keterampilan
ini. Bagaimana mungkin kita menuntut peserta didik untuk mampu memiliki
keterampilan abad 21 jika guru atau pengajarnya belum siap.
Sistem pendidikan membutuhkan gerakan kebaruan untuk merespon era
industri 4.0. Salah satu gerakan yang dicanangkan oleh pemerintah adalah
gerakan literasi baru sebagai penguat bahkan menggeser gerakan literasi
lama. Gerakan literasi baru yang dimaksudkan terfokus pada tiga literasi
utama yaitu 1) literasi digital, 2) literasi teknologi, dan 3) literasi manusia
(Aoun, 2018). Tiga keterampilan ini diprediksi menjadi keterampilan yang
sangat dibutuhkan di masa depan atau di era industri 4.0. Literasi digital
diarahkan pada tujuan peningkatan kemampuan membaca, menganalisis, dan
menggunakan informasi di dunia digital (Big Data), literasi teknologi
bertujuan untuk memberikan pemahaman pada cara kerja mesin dan aplikasi
teknologi, dan literasi manusia diarahkan pada peningkatan kemampuan
berkomunikasi dan penguasaan ilmu desain (Aoun, 2017). Literasi baru yang
diberikan diharapkan menciptakan lulusan yang kompetitif dengan
menyempurnakan gerakan literasi lama yang hanya fokus pada peningkatan
kemampuan membaca, menulis, dan matematika. Adaptasi gerakan literasi
baru dapat diintegrasi dengan melakukan penyesuaian kurikulum dan sistem
pembelajaran sebagai respon terhadap era industri 4.0 (Yahya, 2018) [3].

Satria (2014) mengatakan hasil penelitian Programme for International


Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia
pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia
menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Sementara Vietnam justru
menempati urutan ke-20 besar. Pada penelitian yang sama, PISA
juga menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di urutan ke 57
dari 65 negara yang diteliti. PISA menyebutkan, tak ada satu siswa pun
di Indonesia yang meraih nilai literasi ditingkat kelima, hanya 0,4
persen siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat empat.
Selebihnya di bawah tingkat tiga, bahkan di bawah tingkat satu," ujarnya.
Ia pun melansir data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks
minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000
penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP
juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia
hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen.
Berdasarkan laporan UNESCO yang yang dirilis pada tahun 2010,
tingkat literasi rendah mengakibatkan kehilangan atau penurunan
produktivitas, tingginya beban biaya kesehatan, kehilangan proses
pendidikan baik pada tingkat individu maupun pada tingkat sosial dan
terbatasnya hak advokasi akibat rendahnya partisipasi sosial dan politik
[4].
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dalam pasal
1 disebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses
pembelajaran. Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa peserta didik adalah anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Dalam beberapa tahun terakhir definisi generasi telah berkembang, salah
satunya adalah definisi menurut Kupperschmidt’s (2000) yang mengatakan
bahwa generasi adalah sekelompok individu yang mengidentifikasi
kelompoknya berdasarkan kesamaan tahun kelahiran, umur, lokasi, dan
kejadian–kejadian dalam kehidupan kelompok individu tersebut yang
memiliki pengaruh signifikan dalam fase pertumbuhan mereka. Dari
beberapa definisi tersebut teori tetang perbedaan generasi dipopulerkan oleh
Neil Howe dan William Strauss pada tahun 1991. Howe & Strauss (1991,
2000) membagi generasi berdasarkan kesamaan rentang waktu kelahiran dan
kesamaan kejadian–kejadian historis. Pembagian generasi tersebut juga
banyak dikemukakan oleh peneliti–peneliti lain dengan label yang berbeda
– beda, tetapi secara umum memiliki makna yang sama. Sebagai contoh
menurut Martin & Tulgan (2002) Generasi Y adalah generasi yang lahir
pada kisaran tahun 1978, sementara menurut Howe & Strauss (2000)
generasi Y adalah generasi yang lahir pada tahun 1982, hal tersebut terjadi
karena adanya perbedaan skema yang digunakan untuk mengelompokkan
generasi tersebut, karena peneliti – peneliti tersebut berasal dari Negara yang
berbeda. Beberapa pendapat tentang pebedaan generasi dapat dilihat pada
tabel berikut :
Gambar 3 pengelompokan generasi [5]

Semakin berkembangnya zaman, berkembang pula teknologi dan informasi.


Tawaran modernitas tidak lagi dapat dihindari. Awalnya, seseorang
menggunakan alat komunikasi seperti telephone adalah ketika dirinya ingin
menyampaikan sebuah informasi kepada orang lain, namun terkendala
jarak. Begitu juga dengan internet, seseorang memanfaatkannya hanya untuk
mengakses informasi-informasi penting saja. Namun dengan
berkembangnya zaman dan teknologi informasi, orang- orang telah
dimanjakan oleh fasilitas smartphone [6].

Generasi Z atau biasa disebut iGeneration (generasi internet), sudah


dapat mengaplikasikan berbagai kegiatan dalam satu waktu, misalnya
menggunakan gadget untuk membuka media sosial, mendengarkan musik,
nonton via internet menggunakan ponsel pintar (smartphone), atau bisa
dikatakan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya, dan populasi
generasi inilah yang dominan saat ini. Hal itu bisa terjadi karena memang
sejak kecil mereka sudah mengenal teknologi, bahkan sudah akrab. Sehingga
secara tidak langsung kepribadian mereka sudah terpengaruh [7].

2. Diskusi

Berdasarkan kajian pustaka pada latar belakang, telah kita ketahui sekarang
pada era Revolusi Industri 4.0 yang bisa disingkat RI 4.0 dengan ciri khasnya
yaitu kemajuan teknologi hampir pada semua bidang kehidupan. Tentunya
banyak keuntungan atau dampak positif yang kita peroleh, seperti
kemudahan dalam beraktivitas karena banyaknya mesin berbasis teknologi
yang bisa meringankan perkerjaan manusia, menghemat waktu dalam
melakukan suatu aktivitas, dan bisa mendapatkan suatu informasi dari antar
negara bahkan benua dengan sangat cepat. Serta masih banyak manfaat
lainnya. Namun, dibalik keuntungan yang kita rasakan sekarang, tentulah ada
dampak negatifnya. Hal ini berlawanan dari dampak positifnya. Dengan
dimudahkan pekerjaan, kebanyakan dari kita terdidik menjadi generasi yang
malas karena semua hal bisa dilakukan dengan instan. Lalu, dengan pesatnya
arus informasi yang bahkan sulit untuk dibendungi mana yang harus benar-
benar terfilter bagi kaula muda, menyebabkan pembentukan generasi yang
membebek. Yaitu mengikisnya jati diri selaku pribadi yang ramah, terdidik,
dan memiliki aturan dalam berkehidupan negara karena mengikuti arus
liberalisasi yang juga terselip dalam era globalisasi sekarang ini.

Bonus demografi terjadi ketika struktur penduduk dengan jumlah usia


produktif (15-64 tahun) sangatlah besar sedangkan proporsi penduduk
usia muda sudah semakin kecil dan proporsi penduduk usia lanjut belum
begitu besar. Hal ini membawa angin segar dimana Indonesia akan
mendapatkan keuntungan ekonomis yang disebabkan oleh penurunan rasio
ketergantungan sebagai hasil proses penurunan kematian bayi dan penurunan
fertilitas dalam jangka panjang. Namun bonus demografi ini tidak akan
bermanfaat apabila tidak dipersiapkan sedemikian rupa, misalnya dengan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, membuka lapangan pekerjaan
yang sesuai dengan mutu sumber daya manusia tersebut [8].

Dilansir dari okezone.com, dikatakan bahwa Indonesia akan mendapat


anugerah bonus demografi selama rentang waktu 2020- 2035, yang mencapai
puncaknya pada tahun 2030. Pada saat itu jumlah kelompok usia produktif
(umur 15-64 tahun) jauh melebihi kelompok usia tidak produktif (anak-anak
usia 14 tahun ke bawah dan orang tua berusia 65 ke atas). Jadi, kelompok
usia muda kian sedikit, begitu pula dengan kelompok usia tua.

Bonus demografi ini tercermin dari angka rasio ketergantungan (dependency


ratio), yaitu rasio antara kelompok usia yang tidak produktif dan yang
produktif. Pada 2030 angka rasio ketergantungan Indonesia akan mencapai
angka terendah, yaitu 44%. Artinya, pada tahun tersebut rasio kelompok usia
produktif dengan yang tidak produktif mencapai lebih dari dua kali (100/44).
Singkatnya, selama terjadi bonus demografi tersebut komposisi penduduk
Indonesia akan didominasi oleh kelompok usia produktif yang bakal menjadi
mesin pendorong pertumbuhan ekonomi kita. Negara-negara maju seperti
Jepang, Kanada, atau negara-negara Skandinavia tak lagi produktif karena
kelompok usia produktifnya terus menyusut.

Berdasarkan data di atas, dari kalangan usia produktif tentu terdapat beberapa
generasi. Dan yang cukup mendominasi ialah generasi z yang pada umumnya
lahir pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2010. Tentulah pencapaian dari
bonus demografi itu tidak akan tercapai jika dari generasinya tidak memiliki
bekal untuk memanfaatkan usia produktifnya. Salah satu faktor penting yang
bisa kita analisis ialah dari minat membaca atau kemampuan literasi pada
generasi z dewasa ini.
Faktor rendahnya budaya literasi di Indonesia disebabkan oleh berbagai
faktor, di antaranya kurangnya minat baca dan masih banyak masyarakat
Indonesia yang masih buta huruf. Data Kementrian Koordinator bidang
pembangunan manusia dan kebudayaan menunjukkan bahwa rata-rata orang
Indonesia hanya membaca buku sebanyak 3-4 kali dalam seminggu dengan
waktu 30-60 menit perhari. Jumlah buku yang selesai dibaca sekitar 5-9 buku
pertahun. Data dari BPS tahun 2018 tentang penduduk Indonesia masih
mengalami buta huruf.

Rendahnya literasi merupakan masalah yang urgen dan serius bagi negara
Indonesia. Oleh karena itu, permasalahan tentang loterasi ini harus menjadi
perhatian serius dari pemerintah (Permatasari, 2015). Meningkatkan literasi
menjadi tanggung jawab bersama untuk menjadikan literasi sebagai
kebiasaan dan budaya baik di dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan.
Budaya literasi merupakan pembiasaan seseorang atau kelompok orang
dalam melakukan pemeriksaan atau mengecek kebenaran informasi melalui
berbagai sumber. Semua pemahaman tentang literasi atau sumber informasi
dibutuhkan pembiasaan atau tradisi untuk membaca [9].

Dalam pencarian literatur pada google cendekia, ada contoh menarik untuk
menjadi masukan dalam rendahnya minat baca pada generasi z. Hal ini
berhubungan dengan gerakan literasi baru yang terfokus pada tiga literasi
utama yaitu 1) literasi digital, 2) literasi teknologi, dan 3) literasi manusia
(Aoun, 2018). Dengan kedekatannya generasi z pada teknologi di era RI 4.0
ini maka diberikan sampel yaitu gerakan perpustakaan digital. Yang juga
mendorong terjadinya gerakan literasi baru yang telah kita bahas sebelumnya
pada latar belakang.

Kaum muda di bawah usia 24 tahun kerap disebut generasi Z yang lahir
antara tahun 1995 hingga 2012 dan disebut digital natives (Prensky, 2001).
Karakterisik generasi Z adalah fasih dengan teknologi dan menghabiskan
rata-rata 9 jam per hari bersama ponsel mereka (Daugherty & Hoffman,
2014), pragmatis, waspada, mengutamakan kebersamaan, berkomunikasi
dengan gambar, realistis, dan kesadaran kolektif. Mereka menginginkan
perhatian terhadap kebutuhan informasi yang berbeda untuk setiap individu,
kesempatan memberikan umpan-balik secara langsung atas apa yang
diterima, teknik kolaborasi aktif pihak-pihak yang terlibat, cara yang modern
dan menyenangkan, dan mengonsumsi informasi yang mudah diakses dan
dipahami (Swanzen, 2018) [10].

Berdasarkan hasil data dari wawancara kepada beberapa mahasiswa Fakultas


Teknik Universitas Bengkulu, juga diperoleh pernyataan bahwa hampir dari
semua narasumber rata-rata tidak bisa terlepas dari smartphone lebih dari 3
jam. Kemudian, mereka mendominasi smartphone tersebut sebagai media
dalam berkomunikasi dan mencari informasi. Tentu hal ini menjadi bahan
kajian bahwa sedikitnya minat mereka dalam membaca terlebih dalam hal
media berupa text book, karena hal yang mereka sukai ialah data berupa
informasi berbasis digital yang ditunjang dengan teknologi yang ada serta
memiliki nilai efisiensi yang tinggi.

Sehingga, dengan munculnya fenomena perpustakaan digital sebagai salah


satu layanan yang diberikan oleh perpustakaan pada pemustakanya juga
yang sudah mulai merambah ke Indonesia bisa menjadi solusi untuk
meningkatkan daya literasi generasi z saat ini. Hal ini terlihat banyaknya
perpustakaan yang sudah mengenalkan layanan baru yakni perpustakaan
digital dan salah satunya perpustakaan digital berbasis aplikasi pada
perangkat smartphone. Perpustakaan yang memberikan layanan ini sangat
beragam dari berbagai jenis perpustakaan baik perpustakaan nasional,
perpustakaan umum, perpustakaan khusus, perpustakaan sekolah bahkan
perpustakaan perguruan tinggi. Saat ini terdapat dua pengembang atau
developer perpustakaan digital berbasis aplikasi smartphone yang banyak
merilis perpustakaan digital yakni PT. Enam Kubuku Indonesia dan PT.
Woolu Aksara Maya. Berikut adalah hasil dokumentasi penulis terhadap
perpustakaan digital berbasis aplikasi smartphone di Indonesia pada
halaman penyedia aplikasi pada smartphone:

Tabel 1. Perpustakaan Digital berbasis aplikasi smartphone


di Indonesia

No Jenis Perpustakaan Digital Jumlah


1. Perpustakaan Nasional 1
2. Perpustakaan Umum 51
3. Perpustakaan Sekolah 10
4. Perpustakaan Perguruan 73
5. Perpustakaan Khusus 7

Aplikasi Perpustakaan Digital iJogja merupakan salah satu


bentuk layanan perpustakaan dari Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah,
Daerah Istimewa Yogyakarta atau BPAD DIY. Layanan ini merupakan
salah satu program BPAD DIY dalam mengikuti perkembangan teknologi
di bidang perpustakaan yang diluncurkan pada 2 Agustus 2016.
Berdasarkan dokumentasi penulis pada bulan September 2018, aplikasi
iJogja sudah diunduh sebanyak ±10.000 kali dengan versi terakhir 1.1.7
yang diperbarui pada 9 Juli 2018. Tingkat kepuasan pengguna terhadap
aplikasi iJogja tercatat dengan nilai rata-rata 4.1 atau “kategori baik” dari
199 tanggapan pemakai/ pengguna. Selain itu, untuk memaksimalkan
layanan perpustakaan digital, iJogja telah menyediakan 7.010 judul buku
dengan jumlah ±25.000 eksemplar.
Program perpustakaan digital tentunya lebih ditujukan pada pemustaka
yang sudah literet dalam menggunakan media atau teknologi, generasi Y
dan Z merupakan contohnya. Generasi atau disebut sebagai generasi
digital natives atau keadaan dimana sudah terlahir dengan keberadaan
teknologi khususnya komputerisasi dan pengolahan data di lingkungan
sekitarnya, yakni pada rentang tahun 1981-1995, dan generasi Z
dengan rentang 1996- sekarang (Oblinger, Oblinger, & Lippincott, 2005;
Prensky, 2001). Generasi Y dan generasi Z ini merupakan target utama dari
adanya program perpustakaan digital berbasis aplikasi karena generasi ini
sudah terbiasa menggunakan teknologi agar memanfaatkan perpustakaan
digital ini dengan maksimal. Keberhasilan suatu perpustakaan baik dalam
konvensional ataupun perpustakaan digital dapat dilihat dari banyaknya
pengguna atau user yang memanfaatkan koleksi ataupun sumber
informasi yang ada di perpustakaan tersebut.
Keberadaan program perpustakaan digital ini juga bertujuan untuk
menjawab kebutuhan-kebutuhan setiap individu terkait kebutuhan
dirinya dengan sumber-sumber informasi atau pengetahuan. Adapun
faktor-faktor yang mendorong seseorang individu untuk melakukan suatu
tindakan bisa berasal dari keinginan individu sendiri ataupun berasal
dari lingkungan luar. Dalam psikologi keadaan akan adanya kebutuhan
dan dorongan individu untuk bertindak dan melakukan sesuatu dikenal
sebagai motivasi [11].
3. Simpulan

Pada era RI 4.0 kita bisa merasakan kemajuan teknologi yang tentunya
terdapat masing-masing dampak positif dan dampak negatif dalam kehidupan
kita. Di era disrupsi seperti saat ini, dunia pendidikan dituntut mampu
membekali diri dengan keterampilan abad 21. Didukung juga dengan
adanya bonus demografi yang akan memuncak pada tahun 2030 yang akan
mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal itu dapat terjadi jika
kalangan muda dalam usianya yang produktif memiliki kemampuan yang
sejajar dengan target. Dimana, generasi z pada tahun tersebut akan
mendominasi, maka harus ada perhatian khusus bagi para calon penunjang
kemajuan negara dikemudian hari. Salah satunya yang sangat penting ialah
daya literasi generasi z. Karena menurut data statistik UNESCO Indonesia
menempati urutan terbawah nomor dua dalam urusan literasi.

Karakterisik generasi Z adalah generasi yang fasih dengan teknologi dan


banyak menghabiskan waktu dengan smartphone miliknya. Lebih menyukai
hal-hal yang berbau instan dan mengonsumsi infromasi dengan cara yang
modern yang mudah diakses dan dipahami. Dengan kertarikan mereka pada
dunia digital, maka hadirlah fenomena perpustakaan digital sebagai salah
satu layanan yang diberikan oleh perpustakaan pada pemustakanya juga
sudah mulai merambah ke Indonesia. Dicontohkan yaitu aplikasi
perpustakaan digital iJogja. Tentut hadirnya media tersebut menjadi
solusi yang tepat untuk menarik minat literasi generasi z. Juga memudahkan
mereka dalam mencari informasi dengan perpustakaan berbasis digital
tersebut. Ada baiknya, hal tersebut juga dicontoh dan dikembangkan di kota
lainnya agar kaula muda tetap memiliki perhatian besar pada literasi dalam
era RI 4.0 ini dan bisa mencapai target dalam usia produktif dalam bonus
demografi yang akan mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
[1] H. Suwardana, “Revolusi Industri 4. 0 Berbasis Revolusi Mental,” JATI
UNIK J. Ilm. Tek. dan Manaj. Ind., vol. 1, no. 1, p. 102, 2018.
[2] M. A. Ghufron, “Revolusi industri 4.0: Tantangan, Peluang dan Solusi Bagi
Dunia Pendidikan,” Semin. Nas. dan Disk. Panel Multidisiplin Has.
Penelit. dan Pengabdi. Kpd. Masy., pp. 332–337, 2018.
[3] E. Risdianto, “Analisis Pendidikan Indonesia di Era Revolusi Industri 4 . 0
Disusun oleh : Yudi Prianto Subaidah Ziyadatur Rohmah Ferawati
Firdaus,” no. January, pp. 0–16, 2019.
[4] Magdalena and Dkk, “MEMBANGUN KARAKTER ANAK BANGSA
GENERASI Z,” no. September 2019.
[5] Y. S. Putra, “Teori Perbedaan Generasi,” no. 1952, pp. 123–134, 2017.
[6] I. E. Youarti and N. Hidayah, “Perilaku Phubbing Sebagai Karakter Remaja
Generasi Z,” J. Fokus Konseling, vol. 4, no. 1, p. 143, 2018.
[7] H. Fitra and T. Imam, “Haidir Fitra S, Tri Imam F [ Implementasi Zetizen
Bagi Daya Tarik Literasi Media Generasi Z ],” Jurnalisa, vol. 4, no. 1, pp.
31–45, 2018.
[8] N. Falikhah, “Bonus Demografi Peluang Dan Tantangan Bagi Indonesia,”
Alhadharah J. Ilmu Dakwah, vol. 16, no. 32, 2017.
[9] Hasnadi, “Membangun Budaya Literasi Informasi pada Perguruan Tinggi,”
pp. 610–620, 2019.
[10] S. E. Indrajaya, S. E. Indrajaya, L. Lukitawati, M. I. Komunikasi, and U.
Diponegoro, “Tingkat Kepercayaan Generasi Z terhadap Berita Infografis
dan Berita Ringkas di Media Sosial,” no. April, pp. 169–182, 2019.
[11] M. P. Ristiyono, “Motivasi Generasi Y dan Z dalam Memanfaatkan
Perpustakaan Digital iJogja Sebagai Sumber Pengetahuan,” 2018.

Anda mungkin juga menyukai