Anda di halaman 1dari 33

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Buah Jeruk Bali
2.1.1. Deskripsi Tumbuhan Buah Jeruk Bali
Jeruk Besar dalam bahas Inggris disebut pummelos, bahas Indonesi jeruk besar dan
bahasa Jawa jeruk gulung. Jenis jeruk ini dapat tumbuh dengan baik didataran rendah
hingga ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Jenis jeruk ini lebih menyukai
daerah yang bertopografi datar (tidak bervariasi), permukaan air tanahnya dalam dan
tidak tergenang air. Jenis jeruk berasal daerah kepulauan Polynesia sampai
semenanjung Malaka. Berarti jenis jeruk ini berasal dari Indonesia. Setiap pohon
yang besar dapat menghasilkan buah sebanyak 200 buah dalam satu musim. Waktu
berbunga sama seperti jenis jeruk lain. Waktu pembentukan bunga sampai buah
masak membutuhkan waktu sekitar 7-8 bulan. Jeruk besar terdiri dari berbagai
macam jenis, Jeruk Pandan, Jeruk Sinyonya, Jeruk Cikoneng, Jeruk Nambangan,
Jeruk Delima, Jeruk Silempang, Jeruk Oyod Gondong, Jeruk Delima Kepyar, Jeruk
Nambangan-Madiun, Jeruk Bali, Jeruk Gulung, Jeruk Pandanwangi (Soelarso,
1996).
Secara umum, buah jeruk terdiri dari bagian daging buah dan kulit. Bagian
daging buah yang dapat dimakan disebut dengan endokarp. Endokarp terdiri atas
segmen-segmen yang disebut carpel atau locule. Di dalam segmen-segmen tersebut
terdapat kantung-kantung sari buah yang berdinding tipis. Endokarp dikelilingi oleh
bagian jeruk yang dinamakan kulit. Kulit buah jeruk terdiri dari flavedo dan albedo.
Flavedo merupakan bagian kulit luar yang terletak di bagian bawah lapisan epidermis
dan mengandung kromoplas dan kantung minyak, sedangkan kulit bagian dalam yang
disebut albedo merupakan lapisan jaringan busa. Bagian tengah buah jeruk disebut
dengan core atau central plasenta yang berbatasan dengan biji yang terdapat di dalam
segmen (Ting dan Attaway, 1971).
Pomelo adalah sebutan untuk jeruk besar. Di indonesia lebih dikenal sebagai
jeruk bali atau jeruk gulung. Meskipun popular dengan sebutan jeruk bali, sentra
jeruk ini bukan dipulau Bali, melainkan di Nambangan, Magetan (Jawa Timur).
Tanaman jeruk bali tidak hanya terdapat di Nambangan. Tanaman asli Indonesia
sudah menyebar di Iran, Pakistan, India, Malaysia, RRC dan Australia. Salah satu
varietasnya, yaitu pomelo sudah dikembangkan di Negara-Negara subtropis dan
popular dengan sebutan grapefruit. Ukuran grapefruit sedikit lebih kecil dari jeruk
bali dan kegunaannya hanya untuk konsentrat. Konsentrat grapefruit yang
didinginkan biasa diminum pada pagi hari sebelum masyarakat menyantap roti,
kentang, daging, dan sarapan lainnya.
Jeruk Bali merupakan terna pohon dengan pertumbuhan cabang mulai dari
pangkal batang. Ketinggian tajuk hanya sekedar 10 m. Batang jeruk bali berkayu
keras dan liat. Daun jeruk bali berbentuk jorong dengan ujung meruncing dan
bersayap pada bagian tangkainya. Warna daun hijau muda, tebal dan mengilap.
Bunga berwarna putih dan beraroma sangat harum, tumbuh pada ujung ranting.
Bentuk buah bervariasi mulai dari bundar agak pipih hingga bundar sempurna. Warna
kulit buah bervariasi dari hijau gelap sampai hijau kekuningan setelah masak.
Diameter buah rata-rata sekitar 20 cm. Biji berukuran sekitar 1 cm. Daging buah
muda diurai, berwarna mulai dari putih, kekuningan merah jambu dan merah tua.
Rasanya bervariasi dari masam, manis masam, manis sampai manis bercampur getir
(agak pahit). Menteri pertanian RI melepas tujuh varietas jeruk bali. Ketujuh varietas
tersebut adalah nambangan, nambangan merah, nambangan putih, nagetan tanpa biji,
srinyonya, ades duku dan gulung (Rahardi, 2004).
Dari genus Citrus terdapat 16 spesies anggota Citrus, salah satunya
adalah Citrus maxima Merr. (Setiawan, 2003). Pada buku The Handbook of Natural
Flavonoids dikatakan bahwa jenis Citrus ini memiliki manfaat sebagai
antiperoksidatif, antioksidan, antibakteri, antivirus dan antikanker (Harborne,1996).
Gambar 2.1. Bagian Luar Jeruk Bali
2.1.2. Sistematika Buah Jeruk Bali (C. maximaMerr.)
Sistematika buah jeruk bali adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledonae
Ordo : Rutales
Famili : Rutaceae
Genus : Citrus
Spesies : Citrus maxima Merr.
Nama Lokal : Jeruk Bali
2.1.3. Komposisi Kimia Albedo Kulit Jeruk Bali
Jeruk bali memiliki cita rasa manis, asam, dan segar karena banyak mengandung air.
Jeruk bali mengandung vitamin B, provitamin A, vitamin B1, B2, dan asam folat.
Setiap 100 gram jeruk bali mengandung 53 Kkal energi protein 0,6 g, lemak 0,2 g,
karbohidrat 12,2 g, retinol 125 mcg, kalsium 23 mg, dan fosfor 27 mg. Kandungan
lain seperti flavonoid, pektin, dan lycopene menjadikan buah ini semakin kaya akan
zat-zat yang bermanfaat bagi kesehatan. Seperti jeruk lain, jeruk bali adalah sumber
vitamin C (43 mg dalam 100 gram bagian) dan sangat baik sebagai sumber
antioksidan.
Flavedo mengandung minyak essensial, pigmen karotenoid, dan senyawa
steroid, sedangkan albedo kaya akan senyawa selulosa, hemiselulosa, lignin, pektat,
dan fenolik. Komposisi dari dinding segmen, kantung sari buah, dan pusat buah tidak
banyak berbeda dengan albedo. Sebagian besar gula dan asam sitrat terdapat pada sari
buah disamping komponen nitrogen, lipid, senyawa fenolik, vitamin, dan senyawa
anorganik (Ting dan Attaway, 1971).
Bagian dalam kulit buah jeruk bali yang berwarna putih (albedo) dapat
dijadikan makanan, seperti manisan, selain itu dapat dibuat menjadi alkohol dan gula
tetes serta dapat juga diekstrak kandungan pektin di dalamnya. Hasil penelitian dari
Purbianti (2005) menunjukkan pektin paling banyak terdapat pada kulit jeruk bali
dibandingkan dengan kulit jeruk keprok dan jeruk lemon. Jeruk bali memiliki
rendemen (11,13%), kadar air (17,17%), viskositas (16,67 cps), persentase kemurnian
pektin (69,69%), dan derajat keputihan (56,33).

Gambar 2.2 Penampang melintang buah jeruk bali


2.2 Klasifikasi Bahan Alam
Bahan alam didefenisikan di sini sebagai senyawa organik dengan bobot molekul
antara 100 hingga 2000. Dalam arti yang lebih luas, istilah bahan alam juga dapat
digunakan untuk senyawa yang dihasilkan dari alam, seperti bahan tanaman mentah,
bahan makanan, resin dan eksudat tanaman atau ekstrak bahan tanaman (Heinrich, et
al. 2005).
Senyawa kimia bermolekul besar merupakan bagian utama dalam organ
tanaman kering. Senyawa bermolekul besar ini berfungsi sebagai pembentuk struktur
tanaman (selulosa, kitin, lignin dan pektin), sebagai cadangan makanan amilum,
protein, lipoprotein) atau untuk memenuhi fungsi metabolisme penting lainnya
(protein dan enzim). Senyawa kimia dari tanaman yang berbeda-beda dapat disari
dengan pelarut umum, berupa senyawa kimia tanaman dengan molekul kecil.
Sejumlah kelompok bahan alam dapat dibuat dari asam amino fenilalanin, terutama
fenilpropana, lignin, kumarin dan flavonoid, semuanya memiliki substruktur umum
yang berbasis cincin 6-karbon aromatik (unit C6) dengan rantai 3-karbon (unit C3)
yang melekat pada cincin aromatik. Dengan meningkatnya jenis dan tipe senyawa
yang ditentukan di dalam berbagai bahan alam, senyawa yang terdapat dalam
tumbuhan adalah senyawa metabolit primer dan senyawa metabolit sekunder
(Wiryowidagdo, 2008)

2.3 Senyawa Metabolit Primer dan Sekunder


Sejak zaman prasejarah manusia telah memanfaatkan ekstrak tanaman untuk
mengobati dan membunuh. Pada zaman modern senyawa organik yang diisolasi dari
kultur mikroorganisme, seperti halnya dari tanaman, telah banyak digunakan untuk
mengobati berbagai penyakit (misalnya antibiotika penisilin dan tetrasiklin).
Senyawa-senyawa organik yang berasal dari sumber-sumber alami ini menyusun
suatu kelompok besar yang disebut produk-produk alami (natural products), atau
yang lebih dikenal sebagai metabolit sekunder. Suatu jaring-jaring yang kompleks
dari reaksi-reaksi yang dikatalisis oleh enzim kini telah diketahui, yang bermula dari
pengikatan karbondioksida dalam proses fotosintesis , sampai ke senyawa-senyawa
yang beragam yang disebut metabolit primer, misalnya asam amino, asetil koenzim-
A, asam mevalonat, gula dan nukleotida.
Metabolit sekunder dapat dibedakan secara akurat dari metabolit primer
berdasar kriteria berikut : penyebarannya lebih terbatas, terdapat terutama pada
tumbuhan dan mikroorganisme serta memiliki karakteristik untuk setiap genera,
spesies atau strain tertentu. Metabolit itu dibentuk melalui alur (pathway) yang
khusus dari metabolit primer. Sebaliknya, metabolit primer sebarannya luas pada
semua benda hidup dan sangat erat terlibat dalam proses-proses kehidupan yang
esensial. Metabolit sekunder tidaklah bersifat esensial untuk kehidupan, meski
penting bagi organisme yang menghasilkannya.
Senyawa metabolit sekunder juga merupakan senyawa kimia molekul kecil
dengan penyebaran terbatas. Berikut ini beberapa penggolongan senyawa metabolit
sekunder; minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, tanin, resin, glikosida, kumarin,
terpenoid dan steroid. (Sirait, 2007)

2.4 Senyawa Flavonoida


Senyawa flavonoida adalah senyawa-senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom
karbon, terdiri dari 2 cincin benzena yang dihubungkan menjadi satu oleh rantai
liniear yang terdiri dari tiga atom karbon, kerangka ini dapat ditulis sebagai C6-C3-
C6. Jadi senyawa flavonoida adalah senyawa 1,3diarilpeopana, senyawa isoflvonoida
adalah senyawa 1,2 biarllpropana, sedang senyawa-senyawa neoflavonoida adalah
senyawa 1,1 diarilpropana.
Sistem penomoran untuk turunan senyawa flavonoid diberikan di bawah

Gambar 2.3. Penomoran Flavonoid


(Robinson, 1995)
Istilah flavonoida diberikan pada suatu golongan besar senyawa yang berasal
dari kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa flavon, suatu jembatan
oksigen terdapat diantara cincin A dalam kedudukan orto, dua atom karbon benzil
yang terletak disebelah cincin B. Senyawa heterosiklik ini, pada tingkat oksidasi
paling rendah dan dianggap sebagai struktur induk dalam kelompok senyawa-
senyawa ini (Manito, 1981).
Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau dengan mengecualikan
alga. Flavonoid sebenarnya sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan
termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, nektar, bunga, buah dan biji. Hanya
sedikit saja catatanyang melaporkan adanya flavonoid pada hewan , misalnya dalam
kelenjar bau berang-berang. ‘propopolis’ (sekresi lebah) dan didalam sayap kupu-
kupu ; itupun dengan anggapan bahwa flavonoid tersebut berasal dari tumbuhan yang
menjadi makanan hewan tersebut dan tidak dibiosintesis di dalam tubuh mereka
(Markham, 1988).
Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi dan karena itu
menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spectrum UV dan spectrum tampak.
Akhirnya flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai
glikosida dan aglikon flavonoida yang mana pun mungkin saja terdapat dalam satu
tumbuhan berpembuluh, tetapi beberapa kelas lebih terbesar daripada yang lainnya:
flavon dan flavonolterdapat di semesta, sedangkan isoflavon dan biflavon hanya
terdapat pada beberapa suku tumbuhan (Harborne, 1996).
Senyawa flavonoida pada tumbuhan memiliki variasi konsentrasi yang
ditemukan dalam jumlah yang kecil. Variasi konsentrasi atau tipe dari flavonoid yang
ditemukan dalam jumlah kecil pada tumbuhan biasanya disebabkan atau dilihat
berdasarkan umur dari jaringan tumbuhan tersebut, siklus kehidupan tumbuhan
pertahun. Pigmentasi dari merah ke warna ungu kecoklatan dari daun-daun pada
tumbuhan, menunjukkan sebagai sebagai sifat alami daun tersebut. Pada tumbuhan
terjadi anabilisme dan katabolisme flavonoid. Sedikit yang mengetahui dari
katabolisme polimer seperti tanin dari formasi polimer ditunjukkan seperti rute
detoksifikasi isoflavonoid (Vickery, et all. 1981).
Adapun struktur dari flavonoida adalah struktur yang mempunyai dua cincin
aromatik yang dihubungkan dengan tiga karbon yang membentuk suatu cincin yang
terdapat guguseter (C-O-C) dan satu karbonil (C=O) yang dinotasikan cincin C.
kedua cincin aromatik ini dinotasikan cincin A dan B. Pada cincin A dan B ada
dijumpai atau terdapat sustituen hidroksil (OH) atau metoksi, juga gugus gula yang
bentuk C-glikosida atau O-glikosida. Tapi ada juga senyawa flavonoida tanpa adanya
gugus C=O yang disebut senyawa flavan (Ikan, 1969).
Dalam tubuh manusia, flavonoid dapat berguna untuk mengobati gangguan
sirkulasi perifer, menurunkan tekanan darah dan meningkatkan aquaresis. Banyak
juga obat-obat mengandung flavonoid yang dipasarkan di berbagai negara sebagai
obat anti-inflamasi, antispasmodik, antialergi, dan antivirus (Ikan, 1969).
2.4.1 Struktur Dasar senyawa Flavonoida
Senyawa flavonoida adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua inti
fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon yang dapat atau tidak dapat
membentuk cincin ketiga. Struktur dasar flavonoida dapat digambarkan sebagai
berikut (Sastrohamidjojo, 1996) :

A C C C B

Gambar 2.4. Kerangka dasar senyawa flavonoida

2.4.2 Kegunaan Flavonoida


Bagi tumbuhan untuk menarik serangga, yang membantu proses penyerbukan dan
untuk menarik perhatian binatang yang membantu penyebaran biji. Bagi manusia
dalam dosis kecil, flavon bekerja sebagai stimulan pada jantung, hesperidin
mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidroksilasi bekerja sebagai
diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait, 2007).
Senyawa flavonoida juga berperan dalam memberikan banyak warna lain di
alam, terutama daun mahkota kuning dan jingga, bahkan flavonoida tidak berwarna
mengabsorbsi cahaya pada spectrum UV (karena banyak memiliki gugus kromofor)
dan dapat dilihat oleh banyak serangga. Senyawa ini diduga memiliki manfaat
ekologi yang besar di alam berkat warnanya sebagai penarik serangga dan burung
untuk membantu penyerbukan tanaman. Flavonoda tertentu juga mempengaruhi rasa
makanan secara signifikan; misalnya beberapa tanaman memiliki rasa pahit dan kesat
seperti flavanon naringin, pada kulit grapefruit (C. paradisi). Senyawa flavonoida
diduga sangat bermanfaat dalam makanan karena, berupa senyawa fenolik, senyawa
ini yang bersifat antioksidan kuat. Banyak kondisi penyakit yang diketahui bertambah
parah oleh adanya radikal bebas seperti superoksida dan hidroksil. Dan flavonoida
memiliki kemampuan untuk menghilangkan dan secara efektif ‘menyapu’ spesies
pengoksidasi yang merusak ini. Oleh karena itu, makanan yang kaya flavonoida
dianggap penting untuk mengobati penyakit-penyakit, seperti kanker dan penyakit
jantung (Heinrich, et all. 2005).

2.4.3. Klasifikasi Senyawa Flavonoida


1. Flavonoida O-glikosida
Flavonoida biasanya terdapat sebagai flavonoid O-glikosida, pada senyawa tersebut
satu gugus hidroksil flavonoid (atau lebih) terikat pada satu gula (atau lebih) dengan
ikatan hemiasetal yang tak tahan asam. Pengaruh glikosilasi menyebabkan flavonoid
menjadi kurang reaktif dan lebih mudah larut dalam air (cairan), misalnya 7-hidroksil
pada flavon, isoflavon, dan dihidroflavon.
2. Flavonoida C-glikosida
Gula dapat juga teikat pada atom karbon flavonoid dan dalam hal ini gula tersebut
terikat langsung pada inti benzena dengan suatu ikatan karbon-karbon yang tahan
asam. Glikosida yang demikian disebut C-glikosida. Sekarang gula yang terikat pada
atom C hanya ditemukan pada atom C nomor 6 dan 8 dalam inti flavonoid. Misalnya
galaktosa, ramnosa, xilosa dan arabinosa.
3. Flavonoida Sulfat
Golongan flavonoid lain yang mudah larut dalam air yang mungkin ditemukan hanya
flavonoid sulfat. Senyawa ini mengandung satu ion sulfat atau lebih yang terikat pada
hidroksi fenol atau gula. Secara teknis senyawa ini sebenarnya bisulfat karena
terdapat sebagai garam. Banyak yang berupa glikosida bisulfat, bagian bisulfat terikat
pada hidroksil fenol yang mana saja yang masih bebas atau pada suatu gula.

4. Biflavonoida
Biflavonoid adalah flavonoid dimer walaupun prosianidin dimer biasanya tidak
dimasukkan kedalam golongan ini. Flavonoid yang biasanya terlibat ialah flavon dan
flavanon yang secara biosintesis mempunyai biosintesis yang sederhana 5,7,4’ dan
ikatan antar flavonoida berupa ikatan karbon – karbon atau ikatan eter. Monomer
flavonoid yang digabungkan menjadi golongan biflavonoid yang satu jenis atau
berbeda dan letak ikatannya berbeda-beda. Banyak sifat fisika dan kimia biflavonoid
menyerupai sifat monoflavonoid pembentuknya misalnya spectrum UV-tampak, uji
warna dan lain-lain. Biflavonoid jarang ditemukan sebagai glikosida dan
penyebarannya terbatas, terdapat terutama pada gimnospermae.

5. Aglikon Flavonoida
Sejumlah aglikon flavonoid mempunyai atom karbon asimetrik dan dengan demikian
menunjukkan keaktifan optik. Yang termasuk dalam golongan flavonoid ini ialah
flavanon, dihidroflavanol, katekin, pterokarpan, rotenoid dan beberapa biflavanoid
(Markham, 1988)
Menurut robinson, flavonoida dapat dikelompokkan berdasarkan keragaman
pada rantai C3 yaitu flavonol, flavon, isoflavon, flavanon, dihidroflavonol, katekin,
leukoantosianidin, antosianidin, khalkon dan auron (Robinson, 1995).
1. Flavonol

Flavonol paling sering terdapat sebagai glikosida, biasanya 3-glikosida, dan


aglikon flavanol yang umum yaitu kamferol, kuersetin, dan mirisetin yang
berkhasiat sebagai antioksidan dan antiimflamasi. Flavanol lain yang terdapat di
alam bebas kebanyakanmerupakan variasi struktur sederhana dari flavanol.
Larutan flavanol dalam suasana basa dioksidasi oleh udaratetapi tidak begitu
cepat sehingga penggunaan basa pada pengerjaannya masih dapat dilakukan.

OH
O

Gambar 2.5. Flavonol


2. Flavon
Flavon berbeda dengan flavanol dimana pada flavon tidak terdapat gugusan 3-
hidroksi. Hal ini mempunyai serapan UV-nya, gerakan kromatografi, serta
reaksi warnanya. Flavon terdapat juga sebagai glikosidanya lebih sedikit
daripada jenis glikosida pada flavanol. Flavon yang paling umum dijumpai
adalah apigenin dan luteolin. Luteolin merupakan zat warna yang pertama kali
dipakai di Eropa. Jenis yang paling umum adalah 7-glukosida dan terdapat
juga flavon yang terikat pada gula melalui ikatan karbon-karbon. Contohnya
luteolin 8-C-glikosida. Flavon dianggap sebagai induk dalam nomenklatur
kelompok senyawa flavonoida.

Gambar 2.6. Flavon


3. Isoflavon
Isoflavon merupakan isomer flavon, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan
sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk dalam tumbuhan
sebagai pertahanan terhadap serangan penyakit. Isoflavon sukar dicirikan
karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi warna manapun. Beberapa
isoflavon (misalnya daidzein) memberikan warna biru muda cemerlang
dengan sinar UV bila diuapi ammonia, tetapi kebanyakan yang lain tampak
sebagai bercak lembayung yang pudar dengan amonia berubah menjadi
coklat.

Gambar 2.7. Isoflavon


4. Flavanon
Flavano terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam kayu, daun dan
bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen utama dari tanaman genus
prenus dan buah jeruk ; dua glikosida yang paling lazim adalah neringenin
dan hesperitin, terdapat dalam buah anggur dan jeruk.

Gambar 2.8. Flavanon


5. Flavanonol
Senyawa ini berkhasiat sebagai antioksidan dan hanya terdapat sedikit sekali
jika dibandingkan dengan flavonoida lain. Sebagian besar senyawa ini
diabaikan karena konsentrasinya rendah dan tidak berwarna.
O

OH
O
Gambar 2.9. Flavanonol
6. Katekin
Katekin terdapat pada seluruh dunia tumbuhan, terutama pada tumbuhan
berkayu. Senyawa ini mudah diperoleh dalam jumlah besar dari ekstrak kental
Uncaria gambir dan daun teh kering yang mengandung kira-kira 30 %
senyawa ini. Katekin berkhasiat sebagai antioksidan.

OH
OH

HO O

OH

OH
Gambar 2.10. Katekin
7. Leukoantosianidin
Leukoantosianidin merupakan senyawa yang terdapat pada tumbuhan
berkayu. Senyawa ini jarang terdapat sebagai glikosida, contohnya
melaksidin, apiferol.

OH
HO OH
Gambar 2.11. Leukoantosianidin
8. Antosianin
Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan paling tersebar luas
dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut dalam air ini adalah
penyebab hampir semua warna merah jambu, merah marak, ungu, dan biru
dalam daun, bunga dan buah pada tumbuhan tinggi. Secara kimia semua
antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal yaitu sianidin,
dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin ini dengan penambahan atau
pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi atau glikosilasi.

OH
Gambar 2.12. Antosianin
9. Kalkon
Kalkon adalh pigmen fenol kuning yang berwarna coklat kuat dengan sinar
UV bila dikromatografi kertas. Aglikon kalkon dapat dibedakandari
glikosidanya, karena hanya pigmen dalam bentuk glikosida yang dapat
bergerak pada kromatografi kertas dalam pengembang air (Harborne, 1996).

O
Gambar 2.13. Kalkon
10. Auron
Auron berupa pigmen kuning emasyang terdapat dalam bunga tertentu dan
briofita. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna merah ros dan tampak pada
kromatogravi kertas berupa bercak kuning, dengan sinar ultraviolet warna
kuning kuat berubahmenjadi merah jingga bila diberi uap ammonia
(Robinson, 1995).
O
CH

O
Gambar 2.14.Auron

2.4.4 Sifat Kelarutan Senyawa Flavonoida


Aglikon flavonoida adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia seperti
fenol yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Tetapi bila didiamkan
dalam larutan basa dan disamping itu terdapat banyak oksigen maka akan banyak
yang terurai. Karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil yang tak tersulih atau
suatu gula, flavonoid merupakan senyawa polar maka pada umumnya flavonoida
larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida,
dimetilformadida, air dan lain-lain. Adanya gula yang terikat pada flavonoida
cendrung menyebabkan flavonoida lebih mudah larut dalam air. Dengan demikian
campuran pelarut diatas dengan air merupakan pelarut yang lebih baik untuk
glikosida. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, flavon
serta flavanol yang termetoksilasi cendrung lebih mudah larut dalam pelarut seperti
eter dan kloroform (Markham, 1988).
2.5. Tanin
Tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit
hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung
silang proteina. Tanin tumbuhan dibagi menjadidua golongan, yaitu tanin
terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Kadar tanin yang tinggi mempunyai arti penting
bagi tumbuhan yakni pertahanan bagi tumbuhan dan membantu mengusir hewan
pemakan tumbuhan. Tanin terkondensasi terdapat pada paku-pakuan, gimnospermae,
dan angiospermae, sedangkan tanin terhidrolisis penyebarannya terbatas pada
tumbuhan berkeping dua. Beberapa tanin terbukti mempunyai antioksidan dan
menghambat pertumbuhan tumor.
Tanin terdapat luas pada tumbuhan berpembuluh, dalam Angiospermae
terdapat khusus di jaringan kayu. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk
kopolimer mantap yang tidak larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa
yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah
menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein
(Harborne, 1996).
Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin (Harborne, 1996) yaitu :
2.5.1. Tanin terkondensasi
Tanin terkondensasi terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin)
yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon-
karbon menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan
4-8 atau 6-8. Kebanyakan flavolan mempunyai 2-20 satuan flavon. Tanin
terkondensasi disebut juga dengan proantosianidin karena bila direaksikan dengan
asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan
dibebaskanlah monomer antosianidin.
OH
OH
B
HO
O
A C

OH

OH

Gambar 2.15. Katekin


OH
OH

HO O R
OH
OH
OH
OH
HO O R
OH
OH
OH
OH
HO O
R

OH
OH

Gambar 2.16. Catechal tannin


2.5.2. Tanin Terhidrolisis
Terdiri dari dua kelas yaitu:
a. Dimer asam galat
Inti molekul berupa senyawa dimer asam galat, yaitu asam heksahidroksidifenat
yang berikatan dengan glukosa. Tanin terhidrolisis disebut juga elagitanin yang
pada hidrolisis menghasilkan asam galat.

Ikatan-H
HO OH

O HO
OH
HO
OH O
OH
HO Ikatan-H

Gambar 2.17. Dimer Asam galat

b. Depsida galoilglukosa
Pada senyawa ini, inti yang berupa glukosa dikelilingi oleh lima gugus asam galat
(Harborne, 1996)
Gambar 2.18. Gallotannin
2.6. Bakteri
Nama bakteri berasal dari kata “bakterion” (bahasa Yunani) yang berarti tongkat atau
batang. Sekarang namanya dipakai untuk menyebutkan sekelompok mikroorganisme
yang bersel satu, pembiakan dengan cara pembelahan diri, serta demikian kecilnya
sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1998).
Bakteri merupakan penghasil bermacam-macam zat organik dan obat-obatan
antibiotik. Mikroorganisme memang peranan penting dalam menganalisis sistem
enzim dan dalam mengalisis komposisi suatu makanan. Bakteri merupakan
organisme yang sangat kecil (berukuran mikroskopis). Bakteri rata-rata berukuran
lebar 0,5 – 1 mikron dan panjang hingga 10 mikron (1 mikron - 103 mm). Untuk
melihat bakteri dengan jelas, tubuhnya perlu diisi dengan zat warna, pewarna ini
disebut pengecatan bakteri (Irianto, 2006).
Berdasarkan perbedaannya didalam menyerap zat warna gram bakteri dibagi
atas dua golongan yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram
positif menyerap zat warna pertama yaitu kristal violet yang menyebabkan berwarna
ungu, sedangkan bakteri gram negatif menyerap zat warna kedua yaitu safranin dan
menyebabkannya berwarna merah
Ada kalanya suatu bakteri perlu diwarnai dua kali. Setelah zat warna yang
pertama (ungu) terserap, maka bakteri dicuci dengan alkohol, kemudian ditumpangi
dengan zat warna berlainan, yaitu dengan zat warna merah. Zat warna tambahan
terhapus, sehingga yang nampak adalah zat asli (ungu). Dalam hal ini bakteri disebut
Gram Positif. Jika zat warna tambahan merah yang bertahan sehingga zat warna asli
tidak tampak, dalam hal ini bakteri disebut Gram Negatif (Dwijoseputro,1998).

2.6.1. Bakteri Gram positif


Bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang tersusun atas beberapa lapisan
peptidoglikan, dan strukturnya tebal dan keras. Bakteri gram positif mempunyai
struktur dinding sel yang tebal (15-80 μm) dan berlapis tunggal (mono). Komponen
utama penyusun dinding sel adalah peptidoglikan dan asam teikoat (Pelczar,et al.
1986 ). Selain itu, dinding selnya juga tersusun atas asam teikoat (teichonic acid)
yang mengandung alkohol (gliserol atau ribitol) dan posfat. Ada 2 macam asam
teikoat, yaitu asam lipoteikoat (lipoteichoic acid) yang merentang di lapisan
peptidoglikan dan terikat pada membran plasma, dan asam teikoat dinding (wall
teichoicacid) yang terikat pada lapisan peptidoglikan (Pratiwi, 2008).
Beberapa contoh bakteri gram positif, yaitu :
1. Bakteri Staphylococcus aureus
Sistematika Staphylococcus aureus (Dwidjoseputro, 1998).
Division : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Family : Micrococaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, aerob atau anaerob
fakultatif berbentuk bola atau kokus berkelompok tidak teratur, diameter 0,8 – 1,0
μm, tidak membentuk spora dan tifak bergerak, koloni berwarna kuning. Bakteri ini
tumbuh cepat pada suhu 370C tetapi paling baik membentuk pigmen pada suhu 20-
250C. koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat halus, menonjol dan berkilau
membentuk berbagai pigmen. Bakteri ini terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan
luka. Dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan
menyebar luas dalam jaringan (Jawetz, 2001).

Gambar 2.19. Staphylococcus aureus


2. Basillus subtilis
Berbentuk batang dan membentuk spora. Sering menimbulkan permasalahan pada
industri pengalengan karena sporanya sangat tahan terhadap panas. Basillus antracis
menyebabkan penyakit anthrax pada manusia dan hewan, B.subtilis (B.mesentericus)
menyebabkan suatu tipe kerusakan yang disebut dengan ropiness pada roti, dan
B.cereus dapat menyebabkan keracunan pangan (Gaman, 1992).

Gambar 2.20. Basillus subtilis


3.Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas merupakan salah satu jenis dalam kelompok ini yang sering
menimbulkan kebusukan makanan. Pertumbuhan pada kondisi aerobik berjalan cepat,
dan biasanya membentuk lendir. Kebanyakan Pseudomonas, kecuali P. Syringe,
bersifat oksidase positif, dan akan membentuk warna biru jika ditambah senyawa
dimetil-p-fenilenediamin dihidroklorida. Tidak tahan terhadap panas dan keadaan
kering. Oleh karena itu, mudah dibunuh dengan proses pemanasan dan pengeringan
(Fardiaz, 1992).

Gambar 2.21. Pseudomonas aeruginosa


2.6.2 Bakteri Gram negatif
Bakteri Gram negatif memiliki dinding sel yang tersusun atas satu lapisan
peptidoglikan dan membran luar. Terdapat daerah periplasma, yaitu daerah yang
terdapat di antara membran plasma dan membran luar. Periplasma berisi enzim
degradasi konsentrasi tinggi serta protein-protein transpor. Dinding sel bakteri Gram
negatif tidak mengandung teichoic acid. Membran luar tersusun atas lipopolisakarida,
lipoprotein, dan posfolipid (Pratiwi, 2008).
Bakteri gram negatif mempunyai struktur dinding sel yang tipis ( 10- 15 μm)
dan berlapis tiga (multi). Dinding sel meliputi peptidoglikan dan selaput luar
mengandung tiga polimer yaitu lipoprotein, fosfolipida dan lipopolisakarida (LPS)
(Pelczar, et al. 1986 ).
Beberapa contoh bakteri gram negatif, yaitu :
1. Escherichia coli
Escherichia berbatang pendek. Habitat utamanya adalah usus manusia dan hewan.
Escherichia coli dipakai sebagai organisme indikator, karena jika terdapat dalam
jumlah yang banyak menunjukkan bahwa pangan atau air telah mengalami
pencemaran (Gaman, 1992).

Gambar 2.22. Escherichia coli


Berikut sistematika bakteri Escherichia coli (Dwidjoseputro, 1998):
Kingdom : Prokaryota
Divisi : Bacteriophyta
Kelas : Bacteria
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Bacteriaceae
Marga : Escherichia
Jenis : Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang dengan
panjang sekitar 2 mikrometer dan diamater 0,5 mikrometer, bersifat anaerob
fakultatif, biasanya dapat bergerak dan tidak membentuk spora. Bakteri ini umumnya
hidup pada rentang 20-400C, optimum pada 370C.
Escherichia coli merupakan bakteri yang secara normal terdapat di dalam
usus dan berperan dalam proses pembusukan sisa-sisa makanan. Keberadaan bakteri
ini merupakan parameter ada tidaknya materi fekal di dalam suatu habitat khususnya
air. Escherichia coli adalah salah satu jenis bakteri yang ada dalam tinja manusia dan
dapat mengakibatkan gangguan pencernaan seperti diare (Gaman, et al. 1992)
2. Bakteri Shigella dysenteriae
Shigella dysenteriae merupakan bakteri gram negatif, fakultatif anaerobik, berbentuk
batang yang tidak bergerak, tidak membentuk spora. Bakteri ini berukuran sekitar
0,5-0,7 mikrometer dan tumbuh baik pada suhu 370C. Bakteri ini dapat menyebabkan
disentri basiler. Disentri adalah salah satu dari berbagai gangguan pencernaan yang
ditandai dengan peradangan usus terutama kolon, disertai nyeri perut dan buang air
besar yang sering mengandung darah dan lendir (Pelczar, 1986).

Gambar 2.23. Shigella dysenteriae


Berikut sistematika bakteri Shigella dysenteriae (Dwidjoseputro, 1998):
Kingdom : Prokaryota
Divisio : Bacteriophyta
Kelas : Bacteria
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Bacteriaceae
Marga : Shigella
Jenis : Shigella dysenteriae
3. Bakteri Salmonella typhi
Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif, bersifat motil (bergerak), bakteri
anaerob fakultatif. Berbentuk batang pendek berderet seperti rantai. Salmonella typhi
tidak dapat menfermentasi glukosa dan laktosa, tidak menghasilkan asam dan gas dari
glukosa. Bakteri ini tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 35-370C. Salmonella
typhi biasanya ditemukan pada jaringan limfa saluran pencernaan kemudian masuk ke
dalam nodus limfa danaliran darah. Salmonella typhi dapat menyebabkan penyakit
demam tifoid(Gibson, 1996).

Gambar 2.24. Salmonella typhi


Klasifikasi dari bakteri Salmonella typhi menurut (Breed, et al. 1957) adalah:
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Enterobacteriaceae
Marga : Salmonella
Species: Salmonella typhi

2.6.3. Klasifikasi Bakteri


Berdasarkan bentuk morfologinya, maka bakteri dapat dibagi atas tiga golongan
(Dwidjoseputro, 1978), yaitu:
a. Bentuk basil
Basil adalah bakteri yang mempunyai bentuk menyerupai batang atau silinder,
membelah dalam satu bidang, berpasangan ataupun berbentuk rantai pendek atau
panjang. Bentuk basil dapat dibedakan atas:
- Monobasil yaitu basil yang terlepas satu sama lain dengan kedua ujung tumpul.
- Diplobasil yaitu basil yang bergandeng dua dan kedua ujungnya tumpul.
- Streptobasil yaitu basil yang bergandengan panjang dengan kedua ujung tajam.
Contoh: Escherichia coli, Bacillus anthracis, Salmonella typhimurium, Shigella
dysenteriae.

b. Bentuk kokus
Kokus adalah bakteri yang bentuknya seperti bola-bola kecil, ada yang hidup sendiri
dan ada yang berpasang-pasangan. Bentuk kokus ini dapat dibedakan atas:
- Monokokus yaitu kokus yang terlepas satu sama lain.
- Diplokokus yaitu kokus yang bergandeng dua.
- Tetrakokus yaitu kokus yang mengelompok empat.
- Stafilokokus yaitu kokus yang mengelompok dan merupakan suatu untaian.
- Streptokokus yaitu kokus yang bergandeng-gandengan panjang berupa rantai.
- Sarsina yaitu kokus yang mengelompok seperti kubus.
Contoh: Monococcus gonorhoe, Diplococcus pneumoniae, Streptococcus lactis,
Staphylococcus aureus, Sarcina luten.
c. Bentuk spiral
Dapat dibedakan atas:
- Spiral yaitu bentuk yang menyerupai spiral atau lilitan.
- Vibrio yaitu bentuk batang yang melengkung berupa koma.
- Spirochaeta yaitu menyerupai bentuk spiral, bedanya dengan spiral dalam
kemampuannya melenturkan dan melengkukkan tubuhnya sambil bergerak.
Contoh: Spirillum, Vibrio cholerae, Spirochaeta palida (Volk, 1989).

2.6.4. Perkembangbiakan Bakteri


Pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri dipengaruhi oleh:
1. Suhu
Setiap spesies bakteri tumbuh pada suatu kisaran suhu tertentu. Atas dasar ini maka
bakteri diklasifikasikan menjadi (Dwijoseputro,1982):
a. Bakteri psikrofil (oligotermik) yaitu bakteri yang dapat hidup antara suhu 0-30
o
C, sedangkan suhu optimumnya antara 10-20 0C.
b. Bakteri mesofil (mesotermik), yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu antara 5-
60 oC, sedangkan suhu optimumnya antara 25-40 0C.
c. Bakteri termofil (politermik), yaitu bakteri yang tumbuh dengan baik pada suhu 50-
60 oC, meskipun demikian bakteri ini juga dapat berbiak pada temperatur lebih
rendah atau lebih tinggi dari pada itu, yaitu dengan batas-batas 40-80 oC. Suhu
terendah dimana bakteri dapat tumbuh disebut minimum growth temperature.
Sedangkan suhu tertinggi dimana bakteri dapat tumbuh dengan baik disebut
maximum growth temperature. Suhu dimana bakteri dapat tumbuh dengan
sempurna diantara kedua suhu tersebut disebut suhu optimum (Tim
Mikrobiologi FK Unibraw, 2003).
2. pH
Pertumbuhan bakteri pada pH optimal antara 6,5 dan 7,5. Namun, beberapa spesies
dapat tumbuh dalam keadaan sangat asam atau sangat alkali. Bagi kebanyakan
spesies, nilai pH minimum dan maksimum ialah antara 4 dan 9. Bila bakteri dibiakan
dalam suatu medium, yang mula-mula disesuaikan adalah pHnya maka mungkin
sekali pH ini berubah karena adanya senyawa asam atau basa yang dihasilkan selama
pertumbuhan (Pelczar and Chan,1988).
3. Oksigen
Berdasarkan akan kebutuhan terhadap oksigen , bakteri dapat digolongkan menjadi
(Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2003):
a. Bakteri aerob mutlak, yaitu bakteri yang untuk pertumbuhannya memerlukan
adanya oksigen.
b. Bakteri anaerob fakultatif, yaitu bakteri yang dapat tumbuh, baik ada oksigen
maupun tanpa adanya oksigen.
c. Bakteri anaerob aerotoleran, yaitu bakteri yang tidak mati dengan adanya
oksigen.
d. Bakteri anaerob mutlak, yaitu bakteri yang hidup bila tidak ada oksigen.
e. Bakteri mikroaerofilik, yaitu bakteri yang kebutuhan oksigennya rendah.
4. Nutrisi
Sumber zat makanan (nutrisi) bagi bakteri diperoleh dari senyawa karbon, nitrogen,
sulfur, fosfor, unsur logam (natrium, kalsium, magnesium, mangan, besi, tembaga
dan kobalt), vitamin dan air untuk fungsi-fungsi metabolik dan pertumbuhannya
(Dwijoseputro,1982).

5. Pengaruh Kebasahan dan Kekeringan


Bakteri sebenarnya adalah makhluk yang suka akan keadaan basah, bahkan dapat
hidup didalam air, hanya didalam air yang tertutup mereka tidak dapat hidup subur,
hal ini disebabkan karena kurangnya udara. Tanah yang basah baik untuk kehidupan
bakteri. Banyak bakteri yang mati, jika terkena udara kering (Dwijoseputro,1982).

6. Tekanan Osmosa.
Medium yang paling cocok untuk kehidupan bakteri ialah medium yang isotonik
terhadap isi sel bakteri (Dwijoseputro,1982).

2.6.5. Media Pertumbuhan Bakteri


Pembiakan mikroorganisme membutuhkan media yang berisi zat hara serta
lingkungan pertumbuhan yang sesuai bagi mikroorganisme. Media dapat dibagi
berdasarkan (Lay, 1994):
1. Konsistensinya, media dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Media padat
b. Media cair
c. Media semi padat
Media padat diperoleh dengan menambahkan agar. Agar berasal dari
ganggang merah. Agar digunakan sebagai bahan pemadat karena tidak diuraikan oleh
mikroorganisme dan membeku pada suhu diatas 45oC. Kandungan agar sebagai
bahan pemadat dalam media adalah 1,5-2 %.
2. Sumber bahan baku yang digunakan, media dapat dibagi menjadi dua macam:
a. Media sintetik, bahan baku yang digunakan merupakan bahan kimia atau
bahan yang bukan berasal dari alam. Pada media sintetik, kandungan dan isi
bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci.
b. Media nonsintetik, menggunakan bahan yang terdapat dialam, biasanya tidak
diketahui kandungan kimianya secara terperinci. Contoh: ekstrak daging,
pepton, ekstrak ragi dan kaldu daging.
3. Berdasarkan fungsinya, media dapat dibagi menjadi:

a. Media selektif, yaitu media biakan yang mengandung paling sedikit satu
bahan yang dapat menghambat perkembangbiakan mikroorganisme yang
tidak diinginkan dan membolehkan perkembangbiakan mikroorganisme
tertentu yang ingin diisolasi.
b. Media differensial, yaitu media untuk membedakan kelompok
mikroorganisme tertentu yang tumbuh pada media biakan. Bila berbagai
kelompok mikroorganisme tumbuh pada media differensial, maka dapat
dibedakan kelompok mikroorganisme berdasarkan perubahan pada media
biakan atau penampilan koloninya.
c. Media diperkaya, yaitu dengan menambahkan bahan-bahan khusus pada
media untuk menumbuhkan mikroba yang khusus.

2.6.6. Metode Isolasi Biakan Bakteri


a. Cara gores
Ose yang telah steril dicelupkan ke dalam suspensi mikroorganisme yang
diencerkan, lalu dibuat serangkaian goresan sejajar yang tidak saling
menutupi di atas permukaan agar yang telah padat.
b. Cara sebar
Suspensi mikroorganisme yang telah diencerkan diinokulasikan secara merata
dengan menggunakan hockey stick pada permukaan media padat.
c. Cara tuang
Pengenceran inokulum yang berturut-turut diletakkan pada cawan petri steril
dan dicampurkan dengan medium agar cair, lalu dibiarkan memadat. Koloni
yang berkembang akan tertanam di dalam media tersebut (Stanier, 1982).

2.6.7. Fase Pertumbuhan Bakteri


Bila bakteri ditanam dalam perbenihan yang sesuai dan pada waktu-waktu tertentu
diobservasi (dihitung jumlah bakteri yang hidup), pertumbuhan dan
perkembangbiakan bakteri tersebut dapat digambarkan dengan sebuah grafik.
Pertumbuhan bakteri tersebut dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu :
1. Fase Penyesuaian Diri (Lag phase)
Fase penyesuaian merupakan periode waktu dari bakteri yang ditanam pada
media perbenihan yang sesuai atau waktu yang diperlukan untuk beradaptasi terhadap
lingkungan yang baru. Rentang waktu fase penyesuiaan tersebut tergantung dari fase
pertumbuhan bakteri saat dipindahkan untuk diinokulasikan pada media perbenihan
yang baru dan tergantung pula pada adanya bahan toksis atau bahan yang dapat
menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri (Tim Mikrobiologi FK
Unibraw, 2003). Waktu penyesuaiaan ini umumnya berlangsung selama 2 jam. Pada
fase ini belum terjadi pertumbuhan dan perkembangbiakan, tetapi aktivitas
metabolismenya sangat tinggi (Staf Pengajar Kedokteran UI, 1994).
2. Fase Pembelahan (Logarhytmik Phase / Exponensial Phase)
Pada fase ini bakteri berkembang biak dengan cepat, jumlah bakteri
meningkat secara eksponensial. Untuk kebanyakan bakteri, fase ini berlangsung 18 –
24 jam. Pada fase ini pertumbuhan sangat ideal, pembelahan terjadi secara teratur,
semua bahan dalam sel berada dalam seimbang (balanced growth) (Pratiwi, 2008).
3. Fase Stasioner (Stationary phase)
Dengan meningkatnya jumlah bakteri, meningkat juga hasil metabolisme
yang toksik. Bakteri mulai ada yang mati, pembelahan terhambat, pada suatu saat
terjadi jumlah bakteri yang hidup sama dengan bakteri yang mati (Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran UI, 1994).
4. Fase Kematian (Death phase)
Pada fase ini terjadi akumulasi bahan toksik, zat hara yang diperlukan oleh
bakteri berkurang sehingga bakteri akan memasuki fase kematian. Fase ini
merupakan kebalikan dari fase logaritmik. Jumlah sel menurun terus sampai
didapatkan jumlah sel yang konstan untuk beberapa waktu (Lay, 1992).
Keterangan :
a : Lag phase
b : Log phase
c : Stationary phase
d : Death phase

Gambar 2.25. Grafik Pertumbuhan Bakteri

2.6.8. Pengukuran Aktivitas Antibakteri


Penentuan kepekaan bakteria patogen terhadap antimikroba dapat dilakukan dengan
salah satu dari tiga metode pokok yaitu dilusi, difusi dan turbidimetri. Penting sekali
menggunakan metode standar untuk mengendalikan semua faktor yang
mempengaruhi aktivitas antimikroba.
a. Metode Dilusi
Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara
bertahap, baik dengan media cair atau padat. Kemudian media diinokulasi bakteri uji
dan dieramkan. Tahap akhir dilarutkan antimikroba dengan kadar yang menghambat
atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi agar memakan waktu dan penggunaannya
dibatasi pada keadaan tertentu saja (Jawetz, 2001).
b. Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram
kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium
padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah
inkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram dipergunakan mengukur kekuatan
hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat medium dan
kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas obat). Meskipun demikian,
standarisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan melakukan uji kepekaan dengan
baik (Jawetz, 2001).
c. Cara turbidimetri
Pada cara ini digunakan media cair. Pertama dilakukan penuangan media
kedalam tabung reaksi, lalu ditambahkan suspensi bakteri, kemudian dilakukan
pemipetan larutan uji, dilakukan inkubasi. Selanjutnya dilakukan pengukuran
kekeruhan, kekeruhan yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri diukur dengan
menggunakan instrumen yang cocok, misalnya nephelometer setelah itu dilakukan
penghitungan potensi antimikroba (Depkes RI, 1995).

2.7. Skrining Fitokimia


Banyak reagen yang dapat digunakan untuk mengaetahui keberadaan dari flavonoid,
meskipun beberapa juga akan bereaksi positif dengan senyawa polifenol. Reagen
yang biasa digunakan adalah :
1. Shinoda Test, yaitu dengan menambahkan serbuk magnesium pada ekstrak
sampel dan beberapa tetes HCl pekat, warna orange, pink, merah sampai ungu
akan terjadi pada senyawa flavon, flavonol, turunan 2,3-dihidro dan
xanton.Penggunaan zinc sebagai pengganti magnesium dapat dilakukan,
dimana hanya flavononol yang memberikan perubahan warna merah pekat
sampai magenta, flavanon dan flavonol akan memberi warna merah muda
yang lemah sampai magenta.
2. H2SO4(p), flavon dan flavononol akan memberikan perubahan larutan kuning
pekat. Kalkon dan auron menghasilkan larutan berwarna merah atau
merahkebiru-biruan. Flavanon memberikan warna orange sampai merah.
3. NaOH 10%, menghasilkan larutan biru violet
4. FeCl3 5% telah digunakan secara luas untuk mengidentifikasi senyawa fenol,
tetapi tidak dapat digunakan untuk membedakan macam-macam golongan
flavonoid. Pereaksi ini memberi warna kehijauan, warna biru dan warna
hitam-biru (Robinson, 1995).

2.8. Teknik Pemisahan


Tujuan dari teknik pemisahan adalah untuk memisahkan komponen yang diinginkan
dalam keadaan murni, agar tidak bercampur dengan komponen-komponen lainnya
(Silverstein, et all. 1981)

2.8.1 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga
terpisah dari bahan yang tidak larut dengan menggunakan pelarut cair. Senyawa aktif
yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak
atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang
dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara yang tepat
(Depkes, 2000).
Pembagian metode ekstraksi menurut Depkes (2000) adalah:
A. Cara Dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).
Maserasi kinetik dilakukan dengan pengadukan yang kontinu (terus-menerus).
Remaserasi dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru
sampai penyaringan sempurna, umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara,
dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/ penampungan ekstrak) yang terus
menerus sampai ekstrak yang diinginkan habis tersari. Tahap pengembangan
bahan dan maserasi antara dilakukan dengan maserasi serbuk menggunakan
cairan penyari sekurang-kurangnya 3 jam, hal ini penting terutama untuk
serbuk yang keras dan bahan yang mudah mengembang.

B. Cara Panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya
pendingin balik.
2. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinue dan jumlah
pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinue pada temperatur yang
lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu pada temperatur 40-50oC.

2.8.2 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian
semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI,
1995).

Anda mungkin juga menyukai