Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia
Anemia adalah kondisi berkurangnya sel darah merah (erirosit dalam
sirkulasi darah atau massa hemoglobin, sehingga tidak mampu memenuhi
fungsinya sebagai pembawa oksigen ke seluruh jaringan (Tarwoto et al., 2007).
Anemia juga didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) dan hematokrit
(HTC) di bawah kadar normal, berdasarkan pada umur, jenis kelamin, dan lokasi
geografis (ketinggian dari permukaan laut). Umumnya kadar Hb pada wanita
adalah 12 g/dL dan pada pria adalah 14 g/dL. Mekanisme yang menyebabkan
terjadinya anemia yaitu kekurangan pembentukan sel darah merah, destruksi sel
darah merah yang lebih cepat dan kehilangan darah (perdarahan) (Wall, 2008).

2.1.1 Klasifikasi Anemia


Klasifikasi anemia berdasarkan Etiopatogenesisnya:
A. Anemia karena Gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum
tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentukan eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieoloplastik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik

Universitas Sumatera Utara


4. Kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik.
B. Anemia Akibat perdarahan
1. Pasca perdarahan akut
2. Akibat perdarahan kronik.
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosis (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzinopati) : akibat defisiensi
G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
 Thalassemia
 Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dan lain-lain
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopati
c. Dan lain-lain.
D. Anemia dengan penyebab yang tidak diketahui atau dengan
patogenesis yang kompleks.
Klasifikasi lain dari anemia yaitu dapat dibedakan berdasarkan morfologi
dan dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi dan berdasarkan
etiologinya. Berdasarkan klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan :
A. Anemia hipokromik mikrositer
MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg
1. Anemia defisiensi besi
2. Thalassemia mayor
3. Anemia akibat penyakit kronik
4. Anemia sideroblastik.
B. Anemia normokromik normositer
MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
1. Pasca perdarahan akut
2. Aplastik

Universitas Sumatera Utara


3. Hemolitik didapat
4. Akibat penyakit kronik
5. Pada gagal ginjal kronik
6. Sindrom mielodiplastik
7. Keganasan hematologik.
C. Anemia makrositer
MCV > 95 fl
1. Bentuk megaloblastik
a. Defisiensi asam folat
b. Defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
2. Bentuk non – megaloblastik
a. Pada penyakit hati kronik
b. Pada hipotiroidisme
c. Pada sindrom mielodisplastik.
(Bakta et al., 2009).

2.2 Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan
zat besi melampaui kecepatan asimilasinya (Bridges et al., 2000). Anemia
defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron strore) yang akan
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta et al., 2009). Anemia
defisiensi besi merupakan penyebab terpenting suatu anemia mikrositik hipokrom,
dengan ketiga indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) berkurang dan sediaan apus
darah menunjukan eritrosit yang kecil (mikrositik) dan pucat (hipokrom)
(Hoffbrand et al., 2005).
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam
tubuh manusia yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa
(Almatsier, 2009). Walaupun demikian, anemia defisiensi besi adalah penyebab
anemia tersering yang mengenai sekitar 500 juta orang diseluruh dunia. Hal ini
terjadi karena tubuh mempunyai kemampuan yang terbatas untuk mengabsorpsi

Universitas Sumatera Utara


besi dan kehilangan besi yang berlebihan karena perdarahan (Hoffbrand et al.,
2005). Anemia ini jauh lebih banyak dijumpai di Negara berkembang akibat
kebiasaan makan yang buruk (asupan diet dengan bioavailabilitas yang yang
rendah, rendah besi dan protein, serta berlebihnya asupan zat penghambat
absorpsi besi seperti fitat), gangguan absorpsi besi karena infestasi cacing
tambang dan cacing lainnya di usus (Sharma, 2012).

2.2.1 Etiologi dan Faktor Risiko


A. Kekurangan asupan zat besi
1. Vegetarian (kadar asupan zat besi yang rendah)
2. Pemberian susu sapi daripada ASI pada bayi (susu sapi mempunyai
jumlah zat besi yang sama dengan ASI, tetapi bioavailabilitasnya
rendah).
B. Gangguan pada absorpsi besi
1. Gastric bypass surgery
2. Gastric atrophy
3. Irritable bowel disease
4. Achlorhyda
5. Celiac disease
6. Obat-obatan yang mengganggu absorpsi zat besi (antasida,
suplementasi kalsium dan enzim pankreas, tetrasiklin)
7. Susu produk (fosfat)
8. Teh (tanin)
9. Fitat dan fosfonat di sayur-sayuran.
C. Peningkatan kebutuhan zat besi
1. Bayi prematur
2. Postnatal dan masa pertumbuhan remaja
3. Kehamilan
4. Menyusui.
D. Peningkatan kehilangan zat besi
1. Perdarahan gastrointestinal

Universitas Sumatera Utara


2. Perdarahan urogenital
3. Proses melahirkan
4. Dan lain-lain
(Wall, 2008).

2.2.2 Tahapan Kekurangan Zat Besi


Kekurangan besi terjadi dalam tiga tahap yaitu :
1. Simpanan besi berkurang. Terlihat dari penurunan ferritin dalam
plasma hingga 12ug/L. hal ni dapat dikompensai dengan peningkatan
absorpsi besi yang terlihat dari peningkatan kemampuan mengikat besi
total (total iron binding capacity/TIBC). Pada tahap ini belum terlihat
perubahan fungsional pada tubuh.
2. Habisnya simpanan besi, menurunnya jenuh transferrin hingga kurang
dari 16% pada orang dewasa dan meningkatnya protoporfirin, yaitu
bentuk pendahulu (precursor) hem. Pada tahap ini nilai hemoglobin
dalam darah masih berada pada 95% nilai normal. Hal ini dapat
mengganggu metabolisme energi, sehingga menyebabkan menurunnya
kemampuan bekerja.
3. Terjadi anemia defisiensi besi, dimana kadar hemoglobin berada
dibawah kadar normal. Anemia defisiensi besi berat ditandai oleh sel
darah merah yang kecil (mikrositosis) dan nilai hemoglobinnya rendah
(hipokromia) (Almatsier, 2009).

2.2.3 Manifestasi klinis


Semua anemia menyebabkan terjadinya gejala klasik dari penurunan
Oxygen carrying capacity yaitu lelah, kelemahan, sesak napas, terutama dyspnea
saat beraktivitas. Penurunan oxygen carrying capacity akan memicu kekurangan
pengiriman oksigen ke jaringan aktif secara metabolik, yang seharusnya
menerima cukup oksigen, hal ini yang menyebabkan terjadinya kelelahan
(MacPhee et al., 2003). Defisiensi besi (iron depletion) akan menunjukkan kadar
feritin serum darah turun, hemosiderin sumsum tulang turun, parameter status besi

Universitas Sumatera Utara


normal dan resorbsi meningkat, sedangkan eritropoesis defisiensi besi (iron
deficient erythropoiesis) ditandai dengan cadangan besi kosong (sangat kurang),
transportasi besi menurun (serum besi turun), saturasi transferin dan protoporfirin
meningkat, hemoglobin dan hematokrit normal serta gambaran klinis tidak
dijumpai anemia (Manuaba, 2001).
Menurut Wall (2008) manifestasi klinis anemia defisiensi besi berupa :
A. Gejala
1. Sering asimtomatik
2. Lelah
3. Exercise intolerance
4. Susah menelan
5. Sakit kepala
6. Gangguan belajar dan perilaku pada anak
B. Tanda-tanda
1. Pucat
2. Glositis
3. Esophageal webs
4. Koilonychias
5. Papil nedema pada bayi
6. Takikardi dengan atau tanpa aliran murmur
7. Cardiac decompensation (high output failure)
8. Splenomegali (jarang)
C. Hasil pemeriksaan laboratorium
1. Kadar feritin rendah
2. Kadar zat besi rendah
3. TIBC tinggi
4. Persentase saturasi transferin rendah
5. Peningkatan kadar erythrocyte zinc protoporphyrin
6. MCV, MCH dan MCHC rendah
7. Penurunan bone marrow stainable iron
8. Kadar sTf-R meningkat

Universitas Sumatera Utara


9. Rasio dari sTf-R ke feritin biasanya berkisar >2,5
10. Trombositosis
11. RDW meninggi
D. Temuan apusan perifer
1. Mikrositik
2. Hipokromik
3. Anisocytosis
4. Poikilocytosis
5. Cigar or pencil shaped cells and, rarely, target cells.
Selain itu pasien juga dapat mengalami gejala dan tanda umum anemia
dan mengalami glositis yang tidak nyeri, stomatitis angularis, kuku rapuh
bergerigi atau kuku sendok (koilonikia), desfagia akibat adanya selaput faring
(sindrom Paterson Kelly atau Plummer-vinson) dan keinginan makan yang tidak
biasa (pica) (Hoffbrand et al., 2005).

2.3 Anemia Defisiensi Besi pada Ibu Hamil


Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional di tahun 2001 menunjukkan
bahwa 27.9% dari ibu dalam masa reproduktif dan 40.1% ibu hamil menderita
anemia (WHO, 2010). Diagnosis anemia dalam kehamilan ditegakkan jika kadar
hemoglobin (Hb) < 11 d/dL (7,45 mmol/L) dan hematokrit < 0,33 (Sharma, 2012).
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab anemia paling sering dalam
kehamilan, sekitar 95% wanita hamil dengan anemia mengalami anemia defisiensi
besi karena menstruasi yang terlalu banyak atau kehilangan besi seringkali akibat
kehamilan sebelumnya (WHO, 2010).

2.3.1 Penyebab Anemia Defisiensi Besi Pada Ibu Hamil


Secara umum ada tiga penyebab anemia pada ibu hamil
1. Hipervolumia
Anemia lebih sering dijumpai dalam kehamilan karena dalam
kehamilan keperluan zat-zat makanan bertambah dan terjadi pula
perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang.darah bertambah

Universitas Sumatera Utara


banyak selama kehamilan, yang lazim disebut dengan hidremia atau
hypervolemia. Akan tetapi pertambahan sel-sel darah kurang dibandingkan
dengan bertambahnya plasma, sehingga terjadi pengenceran darah.
Pertambahannya berbanding sebagai berikut : plasma 30%, sel darah 18%,
dan hemoglobin 19% (Wiknjosastro, 2005).
Hypervolemia imbas – kehamilan memiliki fungsi penting, yaitu :
 Memenuhi kebutuhan metabolik uterus yang membesar dengan
sistem vaskular yang mengalami hipertrofi hebat
 Menyediakan nutrien dan elemen secara berlimpah untuk
menunjang pertumbuhan pesat plasenta dan janin
 Melindungi ibu dan pada gilirannya janin terhadap efek buruk
gangguan aliran balik vena pada posisi telentang dan berdiri
 Melindungi ibu terhadap efek buruk kehilangan darah selama
proses persalinan
(Cunningham, 2013).
2. Peningkatan kebutuhan besi
Ibu hamil memerlukan zat besi yang lebih tinggi, sekitar 200-300%
dari kebutuhan wanita tidak hamil. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan janin dan pembentukan darah ibu. Jika peningkatan
kebutuhan tidak diimbangi intake yang tidak adekuat maka akan terjadi
ketidakseimbangan atau kekurangan zat besi (Tarwoto dan Wasnidar
2007). Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap kehamilan akan
menguras cadangan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia pada
kehamilan berikutnya (Manuaba et al., 2010).
Diperlukan lebih banyak besi untuk meningkatkan masa eritrosit ibu
sekitar 35% pada kehamilan, transfer 300 mg besi ke janin, dan arena
perdarahan pada saat persalinan. Walaupun absorpsi besi juga meningkat,
terapi besi seringkali diperlukan bila hemoglobin turun sampai kurang dari
10 g/dL atau MCV dibawah 82 fl pada trimester ketiga (Hoffbrand et al.,
2005). Dari ± 1 gram (4-5 mg/dL) unsur besi yang diperlukan, 300 mg
untuk janin dan plasenta serta 700 mg ditambahkan ke hemoglobin ibu

Universitas Sumatera Utara


(Benson et al., 2009). Pada kehamilan aterm sekitar 900 mg zat besi hilang
dari ibu kepada fetus, plasenta dan perdarahan pada waktu partus (Bridges
et al., 2000). Kehamilan berulang, terutama dengan interval pendek, dapat
menyebabkan defisiensi yang berat. Banyak wanita yang anemis sebelum
hamil, kebutuhan besinya tidak pernah terkejar selama kehamilan atau
setelahnya karena simpanan besinya tetap rendah (Benson et al., 2009).
Menurut Manuaba pada tahun 2011, kebutuhan zat besi ibu hamil :
a. 500 mg – tambahan untuk meningkatkan hematopoiesis
b. 300 mg – kebutuhan janin untuk proses hemopoisis selama dalam
kandungan
c. 200 mg – kehilangan karena perdarahan pasca partum.
3. Asupan dan penyerapan zat besi tidak adekuat
Kebutuhan besi total dalam kehamilan sebesar 800 mg tidak dapat
dipenuhi hanya dari diet yang cukup. Karena itu, dianjurkan pemberian
unsur besi profilaksis 60 mg/hari setiap hari untuk semua ibu hamil
(Benson et al., 2009). Meskipun sebagian kaum ibu menerima suplemen,
mereka tidak mengkonsumsi jumlah yang cukup. Riskesdas 2007 telah
temukan bahwa 92.2% kaum ibu menerima suplemen zat besi dan asam
folat selama kehamilan yang terakhir yang sedikit berbeda dari DHS 2007
yang melaporkan bahwa hanya 79.3% kaum ibu telah menerima suplemen
zat besi selama masa kehamilan. Lebih penting lagi adalah bahwa
Riskesdas melaporkan bahwa hanya 29.2% kaum ibu telah mengkonsumsi
>90 tablet selama masa kehamilan yang terakhir sesuai yang
direkomendasikan (Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia, 2010).
Banyak faktor yang menyababkan asupan besi tidak adekuat, misalnya
asupan gizi atau makanan yang kurang akibat kemiskinan. Makann yang
banyak mengandung zat besi berasal dari daging hewani, buah dan
sayuran hijau tidak dapat di konsumsi secara cukup. Pola asuh dari kultur
keluarga yang mengutamakan pemenuhan gizi pada kepala keluarga
mengakibatkan anggota keluarga yang lain seperti anak dan ibu mendapat
nutrisi yang sedikit. Kurangnya pengetahuan tentang makanan yang

Universitas Sumatera Utara


banyak mengandung zat besi serta cara pengolahan makanan yang benar
juga menjadi faktor asupan zat besi yang tidak adekuat. Adanya penyakit
tertentu seperti gastritis, penyakit pada usus halus akan mengganggu
penyerapan zat besi. Tidak mengkonsumsi tablet penambah darah,
dikarenakan ibu hamil yang tidak memeriksakan kandungannya kepetugas
kesehatan. Faktor lain yang dapat menghambat penyerapan zat besi adalah
adanya kebiasaan mengkonsumsi kopi dan teh secara bersamaan pada
waktu makan (Tarwoto et al., 2007)

2.3.2 Manifestasi Klinis Anemia Defisiensi Besi pada Ibu Hamil


Gejala anemia defisiensi besi pada kehamilan yaitu lemah, letih atau lelah,
gangguan pencernaan, penurunan nafsu makan, palpitasi, dyspnea, pusing,
pembengkakan (perifer), edema anasarka, serta gagal jantung kongestif pada
kasus-kasus berat. Sedangkan tanda-tandanya dapat berupa pucat, glositis,
stomatitis, edema, hipoproteinemia, murmur sistolik lembut didaerah mitral akibat
sirkulasi hiperdinamik, dan krepitasi halus di basal paru akibat kongesti hal ini
terjadi pada kasus-kasus berat (Sharma, 2012). Sedangkan menurut Tarwoto dan
Wasnidar tahun 2007, Konsentrasi Hb <10 g/dL, hematokrit <30%, sel darah
merah mikrositik, meningkatnya iron binding capacity hingga 350-500 m/dL,
serum besi <50-60 mg/100 mL, dan saturasi transferin <15-16 merupakan tes
diagnostik untuk anemia defisiensi besi pada ibu hamil.
Untuk menegakkan diagnosis anemia pada kehamilan dapat dilakukan
dengan anamnesa. Pada hasil anamnesa akan didapatkan keluhan cepat lelah,
sering pusing, mata berkunang-kunang, mual-muntah lebih hebat pada hamil
muda. Pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan
alat Sahli.
Hasil pemeriksaan Hb dengan Sahli dapat digolongkan sebagai berikut :
 Hb 11 g% tidak anmia
 Hb 9-10 g% anemia ringan
 Hb 7-8 g% anemia sedang
 Hb < 7 g% anemia berat

Universitas Sumatera Utara


Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan, yaitu
pada trimester pertama dan ketiga (Manuaba et al., 2010).

Tabel 2.1. Diagnosa Anemia Defisiensi Besi pada Ibu Hamil (Sharma, 2012)
Rentang Anemia Defisiensi
Karakteristik Perhitungan
Normal Besi
Hb (g/dL) Metode sahli 11-15 <11
MCV (fL) PCV/eritrosit 75-96 <75
MCH (pg) Hb/Eritrosit 27-33 <27
MCHC (g/dL) Hb/PCV 32-35 <32
Gambaran Gambaran
Apus darah perifer normositik mikrositik
normokromik hipokromik
Besi serum (g/dL) 60-120 <60
TIBC (µg/dL) 300-400 >350
Saturasi Transferin <15%
Ferritin serum
13-27 <12
(mcg/dL)
FEP (µg/dL) <35 >50
Reseptor Transferin
Meningkat
serum
Hb, hemoglobin; MCV, mean corpuscular volume; MCH, mean corpuscular Hb;
MCHC, mean corpuscular Hb concentration; TIBC, total iron binding capacity;
FEP, free erythrocyte protoporphyrin; PCV, packed cell volume.

2.3.3 Pengaruh Anemia Defisiensi Besi terhadap Kehamilan


Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada
pertumbuhan sel-sel tubuh termasuk otak. Pada ibu hamil dapat menyebabkan
keguguran, lahir sebelum waktunya, berat badan lahir rendah, perdarahan sebelum
dan selama persalinan bahkan dapat mengakibatkan kematian pada ibu dan
janinnya. Ibu hamil dengan anemia tidak mampu memenuhi kebutuhan zat besi
untk janinnya sehingga janin sangat berisiko untuk terjadinya gangguan
kematangan atau kematuran organ-organ tubuhnya (Tarwoto et al., 2007).
Dampak anemia pada kehamilan terhadap janin dapat berupa bayi
prematur, bayi kecil untk usia gestasi, peningkatan mortalitas perinatal, penurunan
simpanan besi pada neonates, anemia defisiensi besi, gangguan afektif dan

Universitas Sumatera Utara


kognitif pada bayi, peningkatan insiden penyakit jantung dan diabetes di
kemudian hari (Sharma, 2012). Pada kehamilan trimester pertama anemia dapat
menyebabkan abortus, Missed abortus, dan kelainan kongenital, pada trimester
kedua dapat terjadi persalinan prematus, perdarahan antepartum, gangguan
pertumbuhan janin dalam Rahim, asfiksia intra uterin sampai kematian, berat
badan lahir rendah, gestosis dan mudah terkena infeksi, IQ rendah, serta
dekompensasio kodis-kematian ibu, sedangkan pada saat inpartu dapat
menyebabkan gangguan his primer dan sekunder, janin lahir dengan anemia, serta
persalinan dengan tindakan tinggi meliputi ibu cepat lelah dan gangguan perjalann
persalinan perlu tindakan operatif (Manuaba, 2001).

2.4 Bayi Berat Lahir Rendah


Berat badan merupakan pertimbangan penting dalam menentukan
kesejahteraan. Rata-rata berat badan bayi yang dilahirkan aterm adalah 3500-3750
gram (Stables dan Rankin, 2005 dalam Williamson dan Kenda, 2014). Sekitar
27% angka kematian pada neonatus disebabkan oleh BBLR. Angka kejadian
BBLR di Indonesia berkisar antara 9-20% bervariasi antara satu daerah dengan
daerah lain. Sebanyak 25% bayi dengan BBLR meninggal pada saat baru lahir
dan 50% nya meninggal saat bayi (Maryunani et al., 2009).
Tanda dan gejala yang terdapat pada bayi dengan berat badan lahir rendah
adalah :
 Berat badan <2500 gram
 Letak kuping menurun
 Pembesaran dari satu atau kedua ginjal
 Ukuran kepala kecil
 Masalah dalam pemberian makan (reflex menelan dan menghisap
berkurang)
 Suhu tidak stabil
(Maryunani et al., 2009).

Universitas Sumatera Utara


Kualitas bayi yang dilahirkan sangat dipengaruhi oleh keadaan gizi ibu
sebelum dan selama mengandung antara lain karena perkembangan susunan
syaraf tejadi pada janin yang masih berusia dini. Salah satu indikator untuk
menilai kualitas bayi atau kualitas generasi penerus ini adalah Berat badan saat
lahir. Bila Berat badan saat lahir rendah (BBLR), bayi umumnya akan kurang
mampu meredam tekanan lingkungan yang baru yang dapat berakibat pada
terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan bahkan mengganggu
kelangsungan hidupnya serta akan meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas
bayi karena rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernafasan bagian
bawah, gangguan belajar. masalah perilaku dan sebagainya (Saraswati, 1998).
Dampak lain dari BBLR mencakup kematian janin dan bayi, kematian
postneonatal, morbiditas jangka pendek seperti sindrom gangguan pernapasan dan
necrotizing enterocolitis, dan morbiditas jangka panjang seperti kebutaan, tuli,
hidrosefalus, retardasi mental, dan cerebral palsy (Goldenberg et al., 2015). Salah
satu faktor risiko yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi, khususnya
pada masa perinatal adalah kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Kasus
anak yang meninggal dengan usia di bawah satu bulan ternyata yang mempunyai
riwayat BBLR sebesar 43,3%. sedangkan yang meninggal usia 1 sampai 23 bulan
yang mempunyai riwayat BBLR sebesar 21,7%. Hasil ini menguatkan penelitian
bahwa kejadian BBLR berpengaruh pada kematian bayi terutama di masa 1 bulan
ke bawah. Menurut Depkes (2004) sekitar 57% kematian bayi di Indonesia terjadi
pada bayi umur di bawah 1 bulan dan terutama disebabkan oleh gangguan selama
perinatal dan BBLR. Menurut perkiraan, setiap tahunnya terdapat sekitar 400.000
bayi dengan BBLR (Pramono et al., 2011).
Menurut Maryunani dan Nurhayati (2009) Neonatus atau bayi yang
termasuk dalam BBLR merupakan salah satu dari keadaan berikut :
1. NKB SMK (Neonatus kurang bulan- sesuai masa kehamilan) adalah
bayi prematur dengan berat badan sesuai masa kehamilan
2. NKB KMK (Neonatus kurang bulan-kecil un tuk masa kehamilan)
adalah bayi prematur dengan berat badan lahir dibawah normal
menurut usia kehamilan

Universitas Sumatera Utara


3. NCB KMK (Neonatus cukup bulan – kecil untuk masa kehamilan)
adalah bayi yang lahir cukup bulan dengan berat badan lahir kurang
dari normal.

Selain itu terdapat klasifikasi BBLR menurut berat badan lahir


1. Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (BBLR) atau very low
birth weight (VLBW). Yaitu bayi dengan berat badan lahir antara
1000-1500 gram
2. Bayi dengan berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) atau extremely
low birth weight (ELBW) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan
lahir kurang dari 100 gram.

2.4.1 Faktor yang Mempengaruhi Bayi Berat Lahir Rendah


Penyebab BBLR yang lahir kurang bulan (NKB-KMK) dapat disebabkan
oleh berat badan ibu yang reandah, ibu hamil yang maih remaja, kehamilan
kembar, ibu pernah melahirkan bayi prematur atu berat badan lahir rendah
sebelumnya, ibu dengn inkompeten serviks, ibu hamil yang sedang sakit, serta
beberapa faktor tidak diketahui penyebabnya (Maryunani dan Nurhayati, 2009).
Masalah kurang energi kronik (KEK) pada ibu-ibu merupakan indikator masalah
gizi dan kesehatan di kalangan ibu-ibu yang memiliki risiko BBLR dan gangguan
tumbuh kembang pada anak sesudah lahir (Jahari, 2005).
Sedangkan bayi yang lahir cukup bulan dengan berat badan kurang atau
dibawah normal disebabkan karena ibu hamil dengan gizi buruk atau kekurangan
nutrisi, ibu hamil dengan penyakit hipertensi, preeclampsia, anemia, ibu hamil
yang menderita penyakit kronis (penyakit jantung, sianosis) infeksi (infeksi
saluran kemih), malaria kronik dan ibu hamil merokok dan penyalahgunaan obat
(Maryunani et al., 2009).
Sekalipun tampaknya janin mampu menyerap berbagai kebutuhan dari
ibunya, tetapi dengan anemia akan mengurangi kemampuan metabolisme tubuh
sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangn janin dalam Rahim. Akibat
anemia dapat terjadi abortus, kematian intrauterin, persalinan prematuritas tinggi,
berat badan lahir rendah, kelahiran dengan anemia, cacat bawaan pada janin, bayi

Universitas Sumatera Utara


mudah mendapat infeksi sampai kematian perinatal, serta inteligensia yang rendah
(Manuaba et al., 2010).
Ada dua variabel bebas yang diketahui mempengaruhi pertumbuhan janin,
yaitu berat ibu sebelum hamil dan pertambahan berat ibu selama hamil. Ibu
dengan berat badan kurang seringkali melahirkan bayi yang berukuran lebih kecil
daripada yang dilahirkan ibu dengan berat normal atau berlebihan. Selama
embryogenesis status nutrisi ibu memiliki efek kecil terhadap pertumbuhan janin,
karena kebanyakan wanita memiliki cukup simpanan nutrisi untuk embrio yang
tumbuh lambat. Meskipun demikian, pada trimester ketiga kehamilan saat
hipertrofi seluler janin dimulai, kebutuhan nutrisi janin dapat melebihi persedian
ibu jika masukan nutrisi ibu rendah. Selain malnutrisi gangguan pertumbuhan
intrauterin dapat pula disebabkan oleh gangguan pada plasenta, infeksi dan faktor
genetik (Damanik, 2010).

2.5 Hubungan Anemia pada Ibu Hamil dengan Bayi Berat Lahir Rendah
Menurut Bisara, Supraptinil, Afifa (2003), Kurang energi kronik pada
WUS muda dapat mengakibatkan BBLR pada bayinya dan komplikasi pada
persalinan yang berdampak kematian maternal dan bayi. Selain itu adanya
penyakit selama hamil mempunyai risiko 6 kali lebih besar untuk terjadinya
BBLR dibandingkan dengan tidak ada penyakit selama hamil. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian di Sukabumi terhadap ibu yang melahirkan BBLR
bahwa status anemia berhubungan dengan kejadian BBLR. Ibu dengan kadar
Hb<11 g% berisiko melahirkan BBLR 1,70 kali dibandingkan dengan ibu yang
memiliki kadar Hb 11 g% (Sistiarani, 2008).
Persentase kejadian BBLR pada ibu yang meminum zat besi kurang dari
90 tablet selama proses kehamilan sebesar 6,8%. Sedangkan pada ibu yang
meminum zat besi lebih dari 90 tablet selama kehamilan kejadian BBLR-nya
sebesar 4% Besar risiko faktor yang bermakna pada kejadian BBLR ibu yang
meminum zat besi kurang dari 90 tablet mempunyai risiko terjadi BBLR 1,7 kali
dibandingkan ibu yang meminum zat besi 90 tablet ke atas. (Pramono et al.,
2011).

Universitas Sumatera Utara


Kurangnya nutrisi pada trimester I terutama adanya anemia akan
menyebabkan terjadinya kegagalan organogenesis sehingga akan mengganggu
perkembangan janin pada tahap selanjutnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa
kejadian BBLR pada responden yang mengalami anemia trimester I adalah
sebesar 10 kali dibandingkan responden yang tidak anemia. Sedangkan pada Pada
trimester II, terjadi kecepatan yang meningkat pada pertumbuhan dan
pembentukan janin, sehingga membentuk manusia dengan organ–organ tubuh
yang mulai berfungsi. Pada masa ini zat besi yang diperlukan paling besar karena
mulai terjadi hemodilusi pada darah. Kebutuhan zat besi pada keadaan ini adalah
5 mg/hr dengan kebutuhan basal 0,8 mg/hari. Akibat anemia akan dapat
menimbulkan hipoksia dan bekurangnya aliran darah ke uterus yang akan
menyebabkan aliran oksigen dan nutrisi ke janin terganggu sehingga dapat
menimbulkan asfiksia sehingga pertumbuhan dan perkembangan janin terhambat
dan janin lahir dengan berat badan lahir rendah dan prematur. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ibu hamil yang mengalami anemia selama trimester II
memiliki risiko 16 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibandingkan
responden yang tidak anemia (Labir et al., 2013).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai