Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA ABDOMEN

Disusun untuk memenuhi tugas Keperawatan Gawat Darurat Dan Kritis

Disusun Oleh :
Florentina Narus
200714901297

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


STIKES WIDYAGAMA HUSADA MALANG
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
TRAUMA ABDOMEN

A. KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI
Trauma adalah penyebab kematian ketiga di Amerika serikat setelah
aterosklerosis dan kanker. Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang
mengakibatkan cedera. Ada banyak sekali macam trauma sesuai dengan dengan
jenis yang terjadi pada tubuh kita. Salah satu trauma adalah trauma abdomen.
Trauma abdomen adalah trauma/cedera yang mengenai daerah abdomen
yang menyebabkan \ timbulnya gangguan/kerusakan pada organ yang ada di
dalamnya.
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen
yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan
metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ (Yudhautama,
2013).

2. KLASIFIKASI
Trauma abdomen ada dua macam, yaitu: penetrasi dan non penetrasi.
1) Trauma tumpul (non penetrasi)
Trauma tumpul abdomen adalah suatu trauma pada abdomen oleh karena benda
tumpul yang didasarkan hasil autoanamnesa atau alloanamnesa baik adanya
jejas maupun tanpa jejas, tetapi didapatkan adanya tanda tanda klinis berupa
rasa ketidak nyamanan sampai rasa nyeri dibagian abdomen oleh karena
perlukaan atau kerusakan organ bagian dalam.
2) Trauma tembus (penetrasi)
Trauma tembus abdomen (luka tembak, luka tusuk) bersifat serius dan biasanya
memerlukan pembedahan. Pada cedera tembus, factor yang paling penting
adalah kecepatan peluru masuk ke dalam tubuh. Peluru kecepatan tinggi
membuat kerusakan jaringan yang sangat luas. Hamper semua luka tembak
memerluka bedah eksplorasi. Luka tusuk mungkin lebih ditangani secara
konservatif. Trauma tembus abdominal menimbulkan insiden yang tinggi dari
luka terhadap organ beruang, terutama usus halus. Hati adalah organ padat yang
paling sering cedera (Brunner & Suddarth, 2001).
Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi :

1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding


abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis
atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai
tumor.
2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga
abdomen harus dieksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.

3. ETIOLOGI
Penyebab trauma abdomen berdasarkan klasifikasinya:
1) Penyebab trauma tumpul abdomen:
a. Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
b. Hancur (tertabrak mobil)
c. Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
d. Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga

Pasien dengan trauma tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi
cedera yang tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi.. insiden komplikasi
berkaitan dengan trauma yang penanganannya terlambat lebih besar dari insiden
yang berhubungan dari luka tusuk. Khususnya cedera tumpul yang mengenai
hati, limpa, ginjal, atau pembuluhdarah, yang dapat menimbulkan kehilangan
darah substansial kedalam orgam perineum (Brunner & Suddarth, 2001).

2) Penyebab truma tembus abdomen:


a. Luka akibat terkena tembakan
b. Luka akibat tikaman benda tajam
c. Luka akibat tusukan

4. PATOFISIOLOGI
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalulintas, penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor –
faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi
berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan
tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan
tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari
permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada
elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan
jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah
kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan.
Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut..
Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan
dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan
dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal
tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa
mekanisme :
 Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat
oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman
yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari
organ padat maupun organ berongga.
 Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior
dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
 Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat
menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.

5. MANIFESTASI KLINIS
A. Manifestasi Klinis secara umum menurut Smeltzer (2001) :
 Nyeri (khususnya karena gerakan)  Demam
 Nyeri tekan dan lepas (mungkin  Anoreksia
menandakan iritasi peritoneum Cairan  Mual dan muntah
gastrointestinal atau darah  Takikardi
 Distensi abdomen  Peningkatan suhu tubuh

B. Manifestasi Klinis secara umum menurut (Scheets, 2002), yaitu :


1. Laserasi, memar,ekimosis 12. Tanda Cullen adalah ekimosis
2. Hipotensi periumbulikal pada perdarahan
3. Tidak adanya bising usus peritoneal
4. Hemoperitoneum 13. Tanda Grey-Turner adalah
5. Mual dan muntah ekimosis pada sisi tubuh (
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pinggang ) pada perdarahan
pd auskultasi pembuluh darah, retroperitoneal
biasanya pd arteri karotis), 14. Tanda coopernail adalah
7. Nyeri ekimosis pada
8. Pendarahan perineum,skrotum atau labia
9. Penurunan kesadaran pada fraktur pelvis
10. Sesak 15. Tanda balance adalah daerah
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah suara tumpul yang menetap
kiri yang disebabkan oleh perdarahan pada kuadran kiri atas saat
limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam perkusi pada hematoma limfe
posisi recumbent.

C. Manifestasi Klinis secara umum menurut (Hudak & Gallo, 2001), yaitu :
1) Nyeri  Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri
dapat timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan
nyeri lepas.
2) Darah dan cairan  Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium
yang disebabkan oleh iritasi.
3) Cairan atau udara dibawah diafragma  Nyeri disebelah kiri yang disebabkan
oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi rekumben.
4) Mual dan muntah
5) Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah)  Yang disebabkan oleh
kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi

D. Berdasarkan jenis trauma (FKUI, 1995) :


1. Trauma tembus  trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritoneum
 Hilangnya seluruh / sebagian fungsi organ  Kontaminasi bakteri
 Respon stress simpatis  Kematian sel
 Perdarahan dan pembekuan darah

2. Trauma tumpul  trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritoneum


 Kehilangan darah  Nyeri tekan – ketok – lepas dan
 Memar / jejas pada dinding kekakuan (rigidity) dinding perut
perut  Iritasi cairan usus
 Kerusakan organ – organ  Bising usus melemah / menghilang

E. Berdasarkan tipe trauma (Diklat. 2004) :


1. Pada organ padat  yang paling sering engalami kerusakan adalah hati dan limpa
yang akan menyebabkan perdarahan bervariasi dari ringan – sangat berat bahkan
kematian.
 Gejala perdarah secara umum :
 Penderita tampak anemis
 Perdarahan berat  syok hemoragik
 Gejala adanya darah intraperitoneal :
 Nyeri abdomen bervariasi ringan – berat
 Bising usus menurun / hilang
 Nyeri tekan – lepas dan kekauan otot dinding perut
 Pembesaran – distensi abdomen
 Suara pekak pada posisi abdomen yang meninggi
2. Pada organ berongga
 Infeksi rongga peritoneum
 Rasa neri di seluruh area abdomen
 Terkadang ditemukan penonjolan organ abdomen  omentum, usus halus
atau kolon
 Bising usus menurun dan kekauan otot dinding perut

6. PEMERIKSAAN PADA TRAUMA ABDOMEN


A. Penilaian Trauma
Pemeriksaan pada korban trauma harus cepat dan sistematik sehingga tidak
ada cedera yang tidak terdeteksi sebelum dilakukan penanggulangan yang
efisien dan terencana. Diagnosis dapat ditegakkan dengan menganalisis data
yang didapat dari anamnese, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pencitraan.
(Udeani, 2011)
1. Anamnese
Anamnese yang teliti terhadap pasien yang mengalami trauma abdomen
akibat tabrakan kendaraan bermotor harus mencakup kecepatan kendaraan,
jenis tabrakan, berapa besar penyoknya bagian kendaraan ke dalam ruang
penumpang, jenis pengaman yang dipergunakan, ada/tidak air bag, posisi pasien
dalam kendaraan, dan status penumpang lainnya. Keterangan ini dapat diperoleh
langsung dari pasien, penumpang lain, polisi maupun petugas emergensi jalan
raya. Informasi mengenai tanda-tanda vital, luka-iuka yang ada maupun respons
terhadap perawatan pra-rumah sakit harus dapat diberikan oleh petugas-petugas
pra-rumah sakit. (American College of Surgeons. 2004)
Bila meneliti pasien dengan trauma tajam, anamnese yang teliti harus
diarahkan pada waktu terjadinya trauma, jenis senjata yang dipergunakan (pisau,
pistol, senapan), jarak dari pelaku, jumlah tikaman atau tembakan, dan jumlah
perdarahan eksternal yang tercatat di tempat kejadian. Bila mungkin, informasi
tambahan harus diperoleh dari pasien mengenai hebatnya maupun lokasi dari
setiap nyeri abdominalnya, dan apakah ada nyeri-alih ke bahu. Selain itu pada
luka tusuk dapat diperkirakan organ mana yang terkena dengan mengetahui arah
tusukan, bentuk pisau dan cara memegang alat penusuk tersebut.
(Pusponegoro,2011).

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena
trauma, kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil analisis riwayat
trauma.1 Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistimatis
meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Temuan-temuan positif
ataupun negatif didokumentasi dengan baik pada status. (American College of
Surgeons. 2004)
Syok dan penurunan kesadaran mungkin akan memberikan kesulitan pada
pemeriksaan perut. Trauma penyerta kadang-kadang dapat menghilangkan
gejala-gejala perut.
a) Inspeksi
Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian. Adanya jejas pada dinding
perut dapat menolong ke arah kemungkinan adanya trauma abdomen.
Abdomen bagian depan dan belakang, dada bagian bawah dan perineum
diteliti apakah mengalami ekskoriasi ataupun memar karena alat pengaman,
adakah laserasi, liang tusukan, benda asing yang menancap, omentum
ataupun bagian usus yang keluar, dan status kehamilan. Harus dilakukan log-
roll agar pemeriksaan lengkap.
b) Auskultasi
Di ruang IGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus, yang penting
adalah ada atau tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di retroperitoneum
ataupun gastrointestinal dapat mengakibatkan ileus, yang mengakibatkan
hilangnya bising usus. Pada luka tembak atau luka tusuk dengan isi perut yang
keluar, tentunya tidak perlu diusahakan untuk memperoleh tanda-tanda
rangsangan peritoneum atau hilangnya bising usus. Pada keaadan ini
laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan. Pada trauma tumpul perut,
pemeriksaan fisik sangat menentukan untuk tindakan selanjutnya.3 Cedera
struktur lain yang berdekatan seperti iga, vertebra, maupun pelvis bisa juga
mengakibatkan ileus walaupun tidak ada cedera intraabdominal. Karena itu
hilangnya bising usus tidak diagnostik untuk trauma intraabdominal. (American
College of Surgeons. 2004)
c) Perkusi
Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan mencetuskan tanda
peritonitis. Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada timpani karena dilatasi
lambung akut di kwadran kiri atas ataupun adanya perkusi redup bila ada
hemoperitoneum.2 Adanya darah dalam rongga perut dapat ditentukan dengan
shifting dullness, sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang
beranjak atau menghilang. (Ahmadsyah,2009)
d) Palpasi
Adanya kekakuan dinding perut yang volunter (disengaja oleh pasien)
mengakibatkan pemeriksaan abdomen ini menjadi kurang bermakna. Sebaliknya,
kekakuan perut yang involunter merupakan tanda yang bermakna untuk
rangsang peritoneal. Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri
lepas yang kadang-kadang dalam. Nyeri lepas sesudah tangan yang menekan
kita lepaskan dengan cepat menunjukkan peritonitis, yang bisanya oleh
kontaminasi isi usus, maupun hemoperitoneum tahap awal.
e) Evaluasi luka tusuk
Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi eksplorasi
karena insiden cedera intraperitoneal bisa mencapai 95%. Luka tembak yang
tangensial sering tidak betul-betul tangensial, dan trauma akibat ledakan bisa
mengakibatkan cedera intraperitoneal walaupun tanpa adanya luka masuk. Luka
tusukan pisau biasanya ditangani lebih selektif, akan tetapi 30% kasus
mengalami cedera intraperitoneal. Semua kasus luka tembak ataupun luka tusuk
dengan hemodinamik yang tidak stabil harus di laparotomi segera.
Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi sifatnya superfisial dan
nampaknya tidak menembus lapisan otot dinding abdomen, biasanya ahli bedah
yang berpengalaman akan mencoba untuk melakukan eksplorasi luka terlebih
dahulu untuk menentukan kedalamannya. Prosedur ini tidak dilakukan untuk luka
sejenis diatas iga karena kemungkinan pneumotoraks yang terjadi, dan juga
untuk pasien dengan tanda peritonitis ataupun hipotensi. Akan tetapi, karena 25-
33% luka tusuk di abdomen anterior tidak menembus peritoneum, laparotomi
pada pasien seperti ini menjadi kurang produktif. Dengan kondisi steril, anestesi
lokal disuntikkan dan jalur luka diikuti sampai ditemukan ujungnya. Bila terbukti
peritoneum tembus, pasien mengaiami risiko lebih besar untuk cedera
intraabdominal, dan banyak ahli bedah menganggap ini sudah indikasi untuk
melaksanakan laparotomi. Setiap pasien yang sulit kita eksplorasi secara lokal
karena gemuk, tidak kooperatif maupun karena perdarahan jaringan lunak yang
mengaburkan penilaian kita harus dirawat untuk evaluasi ulang ataupun kalau
perlu untuk laparotomi.
f) Menilai stabilitas pelvis
Penekanan secara manual pada sias ataupun crista iliaca akan menimbulkan
rasa nyeri maupun krepitasi yang menyebabkan dugaan pada fraktur pelvis pada
pasien dengan trauma tumpul. Harus hati-hati karena manuver ini bisa
menyebabkan atau menambah perdarahan yang terjadi.
g) Pemeriksaan penis, perineum dan rektum
Adanya darah pada meatus uretra menyebabkan dugaan kuat robeknya
uretra. Inspeksi pada skrotum dan perineum dilakukan untuk melihat ada
tidaknya ekimosis ataupun hematom dengan dugaan yang sama dengan diatas.
Tujuan pemeriksaan rektum pada pasien dengan trauma tumpul adalah untuk
menentukan tonus sfingter, posisi prostat (prostat yang lelaknya tinggi
menyebabkan dugaan cedera uretra), dan menentukan ada tidaknya fraktur
pelvis. Pada pasien dengan luka tusuk, pemeriksaan rektum bertujuan menilai
tonus sfingter dan melihat adanya perdarahan karena perforasi usus.
h) Pemeriksaan vagina
Bisa terjadi robekan vagina karena fragmen tulang dari fraktur pelvis ataupun
luka tusuk.
i) Pemeriksaan glutea
Regio glulealis memanjang dari crista iliaca sampai Iipatan glutea. Luka tusuk
di daerah ini biasanya berhubungan (50%) dengan cedera intraabdominal.

3. Intubasi
Bilamana problem airway, breathing, dan circulation sudah dilakukan diagnosis dan
terapi, sering dilakukan pemasangan kateter gaster dan urine sebagai bagian dari
resusitasi.
A. Gastric tube
Tujuan terapeutik dari pemasangan gastric tube sejak masa resusitasi adalah
untuk mengatasi dilatasi lambung akut, dekompresi gaster sebelum melakukan
DPL, dan mengeluarkan isi lambung yang berarti mencegah aspirasi. Adanya
darah pada NGT menunjukkan kemungkinan adanya cedera esofagus ataupun
saluran gastrointestinal bagian atas bila nasofaring ataupun orofaringnya aman.
Perhatian: gastric tube harus dimasukkan melalui mulut (orogastric) bila ada
kecurigaan fraktur tulang fasial ataupun fraktur basis cranii agar bisa mencegah
tube masuk melalui lamina cribiformis menuju otak.
B. Kateter urin
Tujuan pemasangan adalah mengatasi retensi urin, dekompresi buli-buli
sebelum melakukan DPL, dan untuk monitor urinary output sebagai salah satu
indeks perfusi jaringan. Hematuria menunjukkan adanya cedera traktus
urogenitalis. Perhatian: ketidak mampuan untuk kencing, fraktur pelvis yang tidak
stabil, darah pada metus urethra, hematoma skrotum ataupun ekimosis perineum
maupun prostat yang letaknya tinggi pada colok dubur menjadi petunjuk agar
dilakukan pemeriksaan uretrografi retrograd agar bisa diyakinkan tidak adanya
rupture urethra sebelum pemasangan kateter. Bilamana pada primary survey
maupun secondary survey kita ketahui adanya robek uretra, mungkin harus
dilakukan pemasangan kateter suprapubik oleh dokter yang berpengalaman.

4. Pengambilan Sampel Darah Dan Urin


Darah yang diambil sewaktu pemasangan jarum infus gunanya adalah
menentukan tipe darah. Pada pasien yang hemodinamiknya stabil adalah untuk
penentuan tipe dan crossmatch bagi yang hemodinamiknya tidak stabil. Bersamaan
dengan itu dilakukan juga pemeriksaan darah rutin, kalium + glukosa + amylase
(pada trauma tumpul) dan juga kadar alkohol darah. Walaupun kadang tidak
penting, dilakukan juga pemeriksaan laboratorium tambahan pada pasien yang
diketahui punya sakit lain sebelumnya, ataupun pasien yang akan menjalani
pemeriksaan Rontgen dengan bahan kontras (terutama yodium) intravena. Urin
dikirim untuk urinalisa ataupun tes obat dalam urin bilamana diperlukan. Untuk
wanita dengan usia produktif, dilakukan juga pemeriksaan tes kehamilan. 2 Indikasi
untuk urinalisis diagnostik termasuk trauma yang signifikan pada dan perut/atau
panggul, gross hematuria, hematuria mikroskopis dalam pengaturan hipotensi, dan
mekanisme deselerasi yang signifikan. (Udeani, 2011).

5. Pemeriksaan Radiologi
A. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, thorax AP dan pelvis
AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto
abdomen 3 posisi (telentang, tegak dan lateral dekubitus) berguna untuk melihat
adanya udara bebas di bawah diafragma ataupun udara di luar lumen di
retroperitonium, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk
dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan
cedera retroperitoneal.
B. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan
pemeriksaan screening X-Ray. Pada pasien luka tusuk di atas umbilikus atau
dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan hemodinamik yang normal,
rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan hemo atau
pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal.
Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk
maupun luka keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya
peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
C. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
1) Uretrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan
uretrografi sebelum pemasangan kateter urin bila kita curigai adanya ruptur
uretra. Pemeriksaan uretrografi dilakukan dengan memakai kateter No. 8-F
dengan balon dipompa 15-20 cc di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc
kontras yang tidak diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan proyeksi
oblik dengan sedikit tarikan pada penis.
2) Sistografi
Ruptur buli-buli intra ataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan
dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT sistografi. Dipasang kateter uretra
dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf
setinggi 40 cm di atas pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam buli-
buli atau sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau
(3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto post-voiding.
Cara lain adalah dengan periksaan CT Scan (CT cystogram) yang terutama
bermanfaat untuk mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun
tulang pelvisnya. (American College of Surgeons. 2004). Pada trauma
pelvis atau abdomen bagian bawah dengan hematuria, dilakukan sistografi
dan ureterogram bila ada kecurigaan cedera uretra, terutama bila ada
riwayat cedera pelana seperti jatuh di atas setang sepeda.
(Pusponegoro,2011).
3) CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan
hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami cedera sistem
urinaria bias diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan
derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya
adalah pemeriksaan IVP.2 Pada penderita dengan hematuria yang
keadaannya stabil harus dilakukan IVP. (Pusponegoro,2011). Gastrointestinal
6. Pemeriksaan Diagnostik pada Trauma Tumpul(American College of Surgeons.
2004)
Apabila ada bukti awal atau pun bukti yang jelas menunjukkan pasien harus
segera ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan banyak waktu tidak perlu
dilakukan. Beberapa prosedur yang dapat dilakukan antara lain diagnostik
peritoneal lavage, CT scan, maupun Focused Assesment Sonography in Trauma
(USG FAST).
Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) merupakan prosedur invasif yang bisa
dikerjakan dengan cepat, memiliki sensitivitas sebesar 98% untuk perdarahan
intraperitoneal. DPL harus dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
hemodinamik abnormal, khususnya apabila ditemui:
1. Perubahan sensorium akibat trauma kapitis, intoksikasi alkohol, kecanduan
obat-obatan.
2. Perubahan sensasi akibat trauma spinal.
3. Cedera organ yang berdekatan dengan iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
4. Pemeriksaan fisik diagnostik tidak jelas.
5. Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang
agak lama, misalnya pasien menjalani pembiusan untuk cidera
ekstraabdominal, pemeriksaan angiografi.
6. Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma
usus.
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal apabila
dijumpai hal-hal tersebut serta apabila fasilitas USG dan CT scan tidak
memadai.
Kontraindikasi untuk DPL adalah apabila dijumpai indikasi yang jelas untuk
laparatomi. Kontaindikasi relatif lainnya antara lain operasi abdomen
sebelumnya, morbid obesiti, sirosis yang lanjut dengan adanya koagulopati
sebelumnya. Bisa dipakai teknik terbuka atau tertutup (Seldinger) di
infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis
maupun ibu hamil lebih baik digunakan supraumbilikal guna mencegah
terjadinya hematoma pelvis atau membahayakan uterus.
Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran maupun
empedu yang keluar melalui tube DPL pada pasien dengan hemodinamik yang
abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah
segar (lebih dari 10 cc) atau cairan geses, dilakukan lavase dengan 1000 cc (10
cc/kgBB) larutan Ringer Laktat. Sesudah cairan tercampur dengan cara
menekan maupun melakukan log-roll, cairan ditampung kembali dan diperiksa di
laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal, serat maupun empedu. Tes
dinyatakan positif apabila dijumpai eritrosit lebih dari 100.000 /mm3, leukosit >
500/mm3 atau pengecatan gram positif untuk bakteri.
Ultrasound FAST memberikan cara yang cepat, noninvasif, akurat, dan
murah untuk mendeteksi hemoperitoneum dan dapat diulang kapan pun.
Ultrasound juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside di kamar
resusitasi yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur
diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan
DPL. Faktor yang mempengaruhi penggunaannnya antara lain obesitas, adanya
udara subkutan ataupun bekas operasi abdomen sebelumnya. Scanning dengan
ultrasound bisa dengan cepat dilakukan untuk mendeteksi hemoperitoneum.
Dicari scan dari kantung perikard, fossa hepatorenalis, fossa splenorenalis serta
cavum Douglas. Sesudah scan pertama, idelanya dilakukan lagi scan kedua
atau scan kontrol 30 menit berikut. Scan kontrol ditujukan untuk melihat
pertambahan hemoperitoneum pada pasien dengan perdarahan yang
berangsur-angsur.
CT Scan merupakan prosedur diagnostik di mana kita perlu memindahkan
pasien ke tempat scanner, memberikan kontras intravena untuk pemeriksaan
abdomen atas, bawah serta pelvis. Akibatnya, dibutuhkan banyak waktu dan
hanya dilakukan pada pasien dengan hemodinamik stabil, di mana kita tidak
perlu segera melakukan laparatomi. Dengan CT scan kita memperoleh
keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan tingkat
kerusakannya, serta mendiagnosa trauma retroperitoneal maupun pelvis yang
sulit didiagnosis dengan pemeriksaan fisik, FAST, dan DPL.
Kontraindikasi relatif penggunaan CT Scan antara lain penundaan yang
terjadi sampai alat CT scan siap untuk dipergunakan, adanya pasien yang tidak
kooperatif yang tidak mudah ditenangkan dengan obat, atau alergi terhadap
bahan kontras yang dipakai bilamana bahan kontras non ionik tidak tersedia.

Tabel Perbandingan prosedur diagnostik DPL, FAST, serta CT scan


DPL FAST CT Scan
Indikasi Menunjukkan darah Menunjukkan cairan Menunjukkan
bila hipotensif bila hipotensi kerusakan organ bila
tensi normal
Keuntungan Deteksi dini, semua Deteksi dini, semua Lebih spesifik untuk
pasien, cepat 98% pasien, non-invasif, cedera, sensitivitas 92-
sensitif, deteksi cedera cepat, 86-97% akurat, 98%
usus, tidak butuh tidak membutuhkan
transport transport
Kerugian Invasif, spesifisitas Bergantung operator, Memakan waktu,
rendah, tidak bisa distorsi oleh udara dibutuhkan transpor,
untuk trauma usus, tidak bisa untuk tidak untuk trauma
diafragma dan trauma diafragma, usus diafragma, usus, dan
retroperitoneal dan pancreas pankreas

7. Pemeriksaan diagnostik pada trauma tajam adalah sebagai berikut: (American College
of Surgeons. 2004)
A. Cedera toraks bagian bawah
Untuk pasien asimptomatik dengan kecurigaan cedera pada diafragma dan
struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun foto toraks
berulang, torakoskopi atau laparaskopi, serta pemeriksaan CT scan.
Dengan pemeriksaan tersebut kita masih bisa menemukan adanya hernia
diafragma sebelah kiri karena luka tusuk torakoabdominal sehingga untuk luka
lain diperlukan eksplorasi bedah. Untuk luka tembak torakoabdominal, pilihan
terbaik adalah laparatomi.

B. Eksplorasi lokal luka dan pemeriksaan fisik serial dibandingkan dengan DPL pada
luka tusuk abdomen depan
Sebanyak 55-65% pasien luka tusuk tembus abdomen depan akan
mengalami hipotensi, peritonitis ataupun eviserasi omentum maupun usus halus.
Untuk pasien seperti ini harus segera dilakukan laparatomi. Untuk pasien lain,
sesudah konfirmasi adanya luka tusuk tembus peritoneum dilakukan eksplorasi
lokal pada luka sampai laparatomi. Laparatomi merupakan salah satu pilihan
relevan untuk semua pasien. Untuk pasien yang relatif asimptomatik, pilihan
diagnostik non-invasif adalah pemeriksaan fisik diagnostik serial dalam 24 jam,
DPL, maupun laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan fisik diagnostik serial
membutuhkan sumber daya manusia yang besar. Dengan DPL bisa diperoleh
diagnosis lebih dini pada pasien asimptomatik dan akurasi mencapai 90% bila
menggunakan hitung jenis sel seperti pada trauma tumpul. Laparaskopi diagnostik
bisa mengkonfirmasi dan menyingkirkan tembusnya peritoneum tetapi kurang
bermakna untuk mengenali cedera tertentu.
C. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan CT dengan double atau triple
kontras pada cedera fisik maupun punggung
Ketebalan otot pinggang maupun punggung melindungi organ visera di
bawahnya pada luka tusuk maupun luka tembak. Walaupun laparatomi merupakan
pilihan yang relevan, untuk pasien asimptomatik terdapat pilihan diagnostik lain yaitu
pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple kontras atau DPL. Dengan
pemeriksaan fisik diagnostik serial untuk pasien asimptomatik yang menjadi
simptomatik, diperoleh akurasi terutama untuk deteksi cedera retroperitoneal
maupun intraperitoneal di belakang linea aksilaris anterior.
CT scan dengan kontras memakan banyak waktu serta membutuhkan
ketelitian untuk memeriksa bagian kolon retroperitoneal pada sisi luka tusuk.
Ketajamannya sebanding dengan pemeriksaan fisik diagnostik serial, tetapi
memungkinkan deteksi yang lebih dini.

7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Azlina (2013) penatalaksanaan medis trauma abdomen yaitu:
A. Penanganan Awal
 Trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
a. Stop makanan dan minuman
b. Imobilisasi
c. Kirim kerumah sakit.
 Penetrasi (trauma tajam)
a. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya) tidak
boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis
b. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan kain
kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak
memperparah luka.
c. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak dianjurkan
dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang keluar dari dalam
tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril.
d. Imobilisasi pasien
e. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum
f. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
g.Kirim ke rumah sakit
B. Penanganan Dirumah Sakit
a. Segera dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan secepatnya. Jika
penderita dalam keadaan syok tidak boleh dilakukan tindakan selain
pemberantasan syok (operasi)
b. Lakukan prosedur ABCDE.
c. Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.
d. Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin yang
keluar (perdarahan).
e. Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi
rangsangan peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui
luka tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ;
lavase peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga perut)
f. Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas yang menunjukkan
trauma intra-abdominal (pemeriksaan peritoneal, injuri diafragma, abdominal free
air, evisceration) harus segera dilakukan pembedahan
g. Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara non-operative
berdasarkan status klinik dan derajat luka yang terlihat di CT
h. Pemberian obat analgetik sesuai indikasi
i. Pemberian O2 sesuai indikasi
j. Lakukan intubasi untuk pemasangan ETT jika diperlukan
k. Kebanyakan GSW membutuhkan pembedahan tergantung kedalaman penetrasi
dan keterlibatan intraperitoneal
l. Luka tikaman dapat dieksplorasi secara lokal di ED (di bawah kondisi steril) untuk
menunjukkan gangguan peritoneal ; jika peritoneum utuh, pasien dapat dijahit dan
dikeluarkan
m. Luka tikaman dengan injuri intraperitoneal membutuhkan pembedahan
n. Bagian luar tubuh penopang harus dibersihkan atau dihilangkan dengan
pembedahan

C. Penatalaksanaan Kedaruratan
1) Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai
indikasi.
a) Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat
menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan
menimbulkan hemoragi masif.
b) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem
saraf.
c) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
d) Gunting baju dari luka.
e) Hitung jumlah luka.
f) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
2) Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen,
khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
3) Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
a) Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka dada.
b) Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan
memperbaiki dinamika sirkulasi.
c) Perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ; ini
sering merupakan tanda adanya perdarrahan internal.
d) Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat
perdarahan.
4) Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi
luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah
komplikasi paru karena aspirasi.
5) Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk
mencegah nkekeringan visera.
a) Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut.
b) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan
muntah.
6) Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan
pantau haluaran urine.
7) Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine,
pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan
status neurologik.
8) Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian
mengenai perdarahan intraperitonium.
9) Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada
kasus luka tusuk.
a) Jahitan dilakukan disekeliling luka.
b) Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
c) Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah
penetrasi peritonium telah dilakukan.
10) Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
11) Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. trauma dapat
menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari
lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi
nosokomial).
12) Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan
darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.

8. KOMPLIKASI
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi trauma abdomen terdiri atas::
 Segera: hemoragi, syok, dan cedera
 Lambat: infeksi
Menurut Paul (2008), komplikasi trauma abdomen:
 Trombosis Vena
 Emboli pulmonar
 Stres ulserasi dan perdarahan
 Pneumonia
 Tekanan ulserasi
 Atelektasis
 Sepsis
Menurut Catherino,( 2003):, komplikasi trauma abdomen :
 Pankreas: pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pankreas-duodenal,
dan perdarahan
 Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin, diaphoresis
dan syok
 Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok
Ginjal: Gagal ginjal akut (GGA)

B. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Dalam pengkajian pada trauma abdomen harus berdasarkan prinsip-prinsip
Penanggulangan Penderita Gawat Darurat yang mempunyai skala prioritas A (Airway), B
(Breathing), C (Circulation). Hal ini dikarenakan trauma abdomen harus dianggap
sebagai dari multi trauma dan dalam pengkajiannya tidak terpaku pada abdomennya
saja.
1. Anamnesa
a) Biodata
 Keluhan Utama
 Keluhan yang dirasakan sakit.
 Hal spesifik dengan penyebab dari traumanya.
b) Riwayat penyakit sekarang (Trauma)
 Penyebab dari traumanya dikarenakan benda tumpul atau peluru.
 Kalau penyebabnya jatuh, ketinggiannya berapa dan bagaimana posisinya saat
jatuh.
 Kapan kejadianya dan jam berapa kejadiannya.
 Berapa berat keluhan yang dirasakan bila nyeri, bagaimana sifatnya pada
quadran mana yang dirasakan paling nyeri atau sakit sekali.
c) Riwayat Penyakit yang lalu
 Kemungkinan pasien sebelumnya pernah menderita gangguan jiwa.
 Apakah pasien menderita penyakit asthma atau diabetesmellitus dan gangguan
faal hemostasis.
d) Riwayat psikososial spiritual
 Persepsi pasien terhadap musibah yang dialami.
 Apakah musibah tersebut mengganggu emosi dan mental.
 Adakah kemungkinan percobaan bunuh diri (tentamen-suicide).

2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Pernapasan
 Pada inspeksi bagian frekwensinya, iramanya dan adakah jejas pada dada serta
jalan napasnya.
 Pada palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernapasan
tertinggal.
 Pada perkusi adalah suara hipersonor dan pekak.
 Pada auskultasi adakah suara abnormal, wheezing dan ronchi.
b. Sistem cardivaskuler (B2 = blood)
 Pada inspeksi adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari daerah
abdominal dan adakah anemis.
 Pada palpasi bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral dan bagaimana
suara detak jantung menjauh atau menurun dan adakah denyut jantung
paradoks.
c. Sistem Neurologis (B3 = Brain)
 Pada inspeksi adakah gelisah atau tidak gelisah dan adakah jejas di kepala.
 Pada palpasi adakah kelumpuhan atau lateralisasi pada anggota gerak.
 Bagaimana tingkat kesadaran yang dialami dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS).
d. Sistem Gatrointestinal (B4 = bowel)
 Pada inspeksi :
- Adakah jejas dan luka atau adanya organ yang luar.
- Adakah distensi abdomen kemungkinan adanya perdarahan dalam cavum
abdomen.
- Adakah pernapasan perut yang tertinggal atau tidak.
- Apakah kalau batuk terdapat nyeri dan pada quadran berapa, kemungkinan
adanya abdomen iritasi.
 Pada palpasi :
- Adakah spasme / defance mascular dan abdomen.
- Adakah nyeri tekan dan pada quadran berapa.
- Kalau ada vulnus sebatas mana kedalamannya.
 Pada perkusi :
- Adakah nyeri ketok dan pada quadran mana.
- Kemungkinan-kemungkinan adanya cairan/udara bebas dalam cavum
abdomen.
 Pada Auskultasi :
- Kemungkinan adanya peningkatan atau penurunan dari bising usus atau
menghilang.
 Pada rectal toucher :
- Kemungkinan adanya darah / lendir pada sarung tangan.
- Adanya ketegangan tonus otot / lesi pada otot rectum.
e. Sistem Urologi (B5 = bladder)
 Pada inspeksi adakah jejas pada daerah rongga pelvis dan adakah distensi
pada daerah vesica urinaria serta bagaimana produksi urine dan warnanya.
 Pada palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica urinaria dan adanya distensi.
 Pada perkusi adakah nyeri ketok pada daerah vesica urinaria.
f. Sistem Muskuloskeletal (B6 = Bone)
 Pada inspeksi adakah jejas dan kelaian bentuk extremitas terutama daerah
pelvis.
 Pada palpasi adakah ketidakstabilan pada tulang pinggul atau pelvis.
3. Pemeriksaan Penunjang :
a. Radiologi :
 Foto BOF (Buick Oversic Foto)
 Bila perlu thoraks foto.
 USG (Ultrasonografi)
b. Laboratorium :
 Darah lengkap dan sample darah (untuk transfusi)
 Disini terpenting Hb serial ½ jam sekali sebanyak 3 kali.
 Urine lengkap (terutama ery dalam urine)
c. Elektro Kardiogram
 Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien usia lebih 40 tahun.

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN

1. Resiko Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan


terputusnya pembuluh darah arteri/vena suatu jaringan (organ abdomen) yang
ditandai dengan adanya perdarahan, jejas atau luka dan distensi abdomen.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, terjadi
keseimbangan volume cairan.
Kriteria Hasil :
 Cairan yang keluar seimbang , tidak didapat gejala-gejala dehidrasi.
 Perdarahan yang keluar dapat berhenti, tidak didapat anemis, Hb diatas 80 gr %.
 Tanda vital dalam batas normal.
 Perkusi : Tidak didapatkan distensi abdomen.
Intervensi :
1. Kaji tentang cairan perdarahan yang keluar adakah gambaran klinik hipovolemik.
2. Jelaskan tentang sebab-akibat dari kekurangan cairan/perdarahan serta tindakan
yang akan dilakukan.
3. Observasi TTV dan kesadaran pasien setiap 15 menit atau 30 menit.
4. Batasi pergerakan yang tidak berguna dan menambah perdarahan yang keluar.
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pelaksanaan :
 Pemberian cairan infus (RL) sesuai dengan kondisi.
 Pemberian transfusi bila Hb kurang dari 8 gr %.
 Pemeriksaan EKG.
6. Monitoring setiap tindakan perawatan/medis yang dilakukan serta catat dilembar
observasi.
7. Monitoring cairan yang masuk dan keluar serta perdarahan yang keluar dan catat
dilembar observasi.
2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hypovolemia, penurunan suplai
darah ke seluruh tubuh yang ditandai dengan suhu kulit bagian akral dingin, capillary
refill lebih dari 3 detik dan produksi urine kurang dari 30 ml/jam.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, perfusi jaringan
kembali normal.
Kriteria hasil :
 Status hemodinamik dalam kondisi normal dan stabil.
 Suhu dan warna kulit bagian akral hangat dan kemerahan.
 Capillary reffil kurang dari 3 detik.
 Produksi urine lebih dari 30 ml/jam.
Intervensi :
1. Kaji dan monitoring kondisi pasien termasuk Airway, Breathing dan Circulation serta
kontrol adanya perdarahan.
2. Lakukan pemeriksaan Glasgow Coma scale (GCS) dan pupil.
3. Observasi TTV setiap 15 menit.
4. Lakukan pemeriksaan Capillary reffil, warna kulit dan kehangatan bagian akral.
5. Kolaborasi dalam pemberian cairan infus.
6. Monitoring input dan output terutama produksi urine.

3. Nyeri berhubungan dengan rusaknya jaringan lunak/organ abdomen yang ditandai


dengan pasien menyatakan sakit bila perutnya ditekan, nampak menyeringai
kesakitan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, rasa nyeri yang
dialami klien berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
 Klien mengatakan nyerinya berkurang atau hilang.
 Klien nampak tidak menyeringai kesakitan.
 TTV dalam batas normal.

Intervensi :
1. Kaji tentang kualitas, intensitas dan penyebaran nyeri.
2. Beri penjelasan tentang sebab dan akibat nyeri, serta jelaskan tentang tindakan
yang akan dilakukan.
3. Berikan posisi pasien yang nyaman.
4. Berikan tekhnik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi rasa nyeri.
5. Monitor TTV.
6. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgesik bilamana
dibutuhkan, (lihat penyebab utama).

4. Cemas berhubungan dengan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan yang


ditandai dengan pasien menyatakan kekhawatirannya terhadap pembedahan,
ekspresi wajah tegang dan gelisah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, kecemasan klien
dapat diatasi.
Kriteria hasil :
 Klien mengatakan tidak cemas.
 Ekspresi wajah klien tampak tenang dan tidak gelisah.
Intervensi :
1. Identifikasi tingkat kecemasan dan persepsi klien seperti takut dan cemas serta
rasa kekhawatirannya.
2. Kaji tingkat pengetahuan klien terhadap musibah yang dihadapi dan pengobatan
pembedahan yang akan dilakukan.
3. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya.
4. Berikan perhatian dan menjawab semua pertanyaan klien untuk membantu
mengungkapkan perasaannya.
5. Observasi tanda-tanda kecemasan baik verbal dan non verbal.
6. Berikan penjelasan setiap tindakan persiapan pembedahan sesuai dengan
prosedur.
7. Berikan dorongan moral dan sentuhan therapeutic.
DAFTAR PUSTAKA

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. Jakarta: EGC

Carpenito, 1998 Buku saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis,
Edisi 6. Jakarta: EGC

Doenges. 2000.Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan


Pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3. Jakarta: EGC

FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Jakarta: Binarupa Aksara

Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.FKUI : Media Aesculapius

Sjamsuhidayat. 1998. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8


Vol.3. : Jakarta: EGC.

Suddarth & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta : EGC

Training. 2009. Primarytraumacare.(http ://www.primarytraumacare.org/


ptcman/training/ppd/ptc_indo.pdf/ 10, 17, 2009, 13.10 1m, diakses: 12
september 2011)

Anda mungkin juga menyukai