Anda di halaman 1dari 31

BAB I

KONSEP MEDIS

A. Defenisi

Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung


kemih dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara
sempurna. Retensio urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari
vesika urinaria (Kapita Selekta Kedokteran).
Retensi urine adalah tertahannya urine di dalam kandung kemih, dapat
terjadi secara akut maupun kronis (Depkes RI Pusdiknakes 1995).
Retensio urine adalah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi
meskipun terdapat keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut (Brunner &
Suddarth).
B. Anatomi Saluran Kemih

Alat-alat kemih terdiri dari : ginjal, pelvis renalis (pielum), ureter,


buli-buli (vesika urinaria), dan uretra. Dinding alat-alat saluran kemih
mempunyai lapisan otot yang mampu menghasilkan gerakan peristaltik.

Gambaran anatomi saluran kemih sebagai berikut :

1. Ginjal

Fitriani, S.Kep (70900115053) | 1


Ginjal menghasilkan air seni dengan membuang air dan berbagai bahan
metabolik yang berbahaya yang mayoritas dihasilkan oleh alat-alat lain.
2. Pelvis Renalis (Pielum)

Mengumpulkan air seni yang datang dari apeks papilla. Mengecil menjadi
ureter yang dilalui air seni dalam porsi-porsi kecil sampai ke dalam
kandung kemih. Kapasitas rata-rata 3-8 ml. Air seni mula-mula terkumpul
di kaliks, saat sfingter kaliks berkontraksi. Kemudian, otot-otot dinding
kaliks, sfingter forniks, berkontraksi dan pada waktu yang bersamaan
sfingter kaliks berelaksasi. Lalu air seni terdorong ke dalam pelvis renalis.
Air seni dibuang dengan cepat oleh penutupan bergantian dari sfingter
pelvis dan kaliks.
3. Ureter

Berbentuk seperti pipa yang sedikit memipih, berdiameter 4-7 mm.


Panjang bervariasi + 30 cm pada laki-laki dan + 1 cm lebih pendek dari
wanita. Kedua ureter menembus dinding kandung kemih pada fundusnya,
terpisah dalam jarak antara 4-5 cm, miring dari arah lateral, dari belakang
atas ke medial depan bawah.
Ureter berjalan sepanjang 2 cm di dalam kandung kemih dan berakhir

pada suatu celah sempit (ostium ureter).


4. Kandung kemih (Buli-buli)

Pada dasar buli-buli, kedua muara ureter dan meatus uretra internum
membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Buli-buli
berfungsi menampung urin dari ureter dan kemudian mengeluarkannya
melalui uretra dalam mekanisme berkemih. Kapasitas maksimal (volume)
untuk orang dewasa + 350-450 ml; kapasitas buli-buli pada anak menurut
Koff :
Kapasitas buli-buli = [ Umur (tahun) + 2] x 30 ml

Bila buli-buli terisi penuh, verteks dan dinding atas terangkat dan
membentuk suatu bantal yang lonjong dan pipih, yang dapat meluas
sampai tepi atas simfisis pubis. Selama kontraksi otot kandung kemih,
ketika dikosongkan selama berkemih, bentuknya menjadi bulat.
5. Uretra

Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli


melalui proses miksi. Secara anatomis, uretra dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu : uretra posterior dan uretra anterior. Uretra diperlengkapi dengan
sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra,
serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior
dan uretra posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang
dipersarafi oleh saraf simpatik sehingga saat buli-buli penuh, sfingter
terbuka. Sfingter ani eksterna terdiri atas otot bergaris yang dipersarafi
oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai keinginan seseorang;
pada saat kencing, sfingter ini terbuka dan tetap menutup pada saat
menahan kencing.
Panjang uretra wanita + 3-5 cm dengan diameter 8 mm, berada di bawah
simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. + 1/3 medial
uretra terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris.
Tonus otot sfingter uretra eksterna dan tonus otot Levator ani berfungsi
mempertahankan agar urin tetap berada di dalam buli-buli pada saat
perasaan ingin miksi. Miksi terjadi bila tekanan intra vesika melebihi
tekanan intrauretra akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter
uretra eksterna.
Panjang uretra pria dewasa + 23-25 cm. Uretra posterior pria terdiri atas
uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar
prostat, dan uretra pars membranasea. Uretra anterior adalah bagian uretra
yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis; uretra anterior terdiri
atas : (1) pars bulbosa, (2) pars pendularis, (3) fossa navikularis, dan (4)
meatus uretra eksterna.
C. Fisiologi

1. Pengisian urine

Pada pengisian kandung kencing, distensi yang timbul ditandai dengan


adanya aktivitas sensor regang pada dinding kandung kencing. Pada
kandung kencing normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama
pengisian sebab terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan active
compliance dari kandung kencing. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor
memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan medula
spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance kandung kencing
kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi yang utuh
mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks s2-S4. Selain
akomodasi kandung kencing, kontinens selama pengisian memerlukan
fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra
lebih tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir
keluar
2. Pengaliran urine

Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari
distensi kandung kencing yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang
bersifat sensitif terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi
volunter tidak diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto
lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi
kandung kencing. Inhibisi tonus simpatis pada leher kandung kencing
juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi tekanan
intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung kemih yang
lengkap tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan
mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi.
D. Etiologi

Adapun penyebab dari penyakit retensio urine adalah sebagai berikut:

1. Supra vesikal berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinallis S2


S4 setinggi T12L1.Kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis baik
sebagian ataupun seluruhnya, misalnya pada operasi miles dan
mesenterasi pelvis, kelainan medulla spinalis, misalnya miningokel,
tabes doraslis, atau spasmus sfinkter yang ditandai dengan rasa sakit yang
hebat.
2. Vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni pada
pasien DM atau penyakit neurologist, divertikel yang besar.
3. Intravesikal berupa pembesaran prostate, kekakuan leher vesika, struktur,
batu kecil, tumor pada leher vesika, atau fimosis.
4. Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran porstat, kelainan patologi
urethra(infeksi, tumor, kalkulus), trauma, disfungsi neurogenik kandung
kemih.
5. Beberapa obat mencakup preparat antikolinergik antispasmotik (atropine),
preparatantidepressant antipsikotik (Fenotiazin), preparat antihistamin
(Pseudoefedrin hidroklorida= Sudafed), preparat penyekat β adrenergic
(Propanolol), preparat antihipertensi(hidralasin)
E. Klasifikasi

Retensi urin dapat dikelompokan menjadi 2 :

1. Retensi urin akut

Retensi urin yang akut adalah ketidakmampuan berkemih tiba-tiba


dan disertai rasa sakit meskipun buli-buli terisi penuh. Berbeda dengan
kronis, tidak ada rasa sakit karena urin sedikit demi sedikit tertimbun.
Kondisi yang terkait adalah tidak dapat berkemih sama sekali, kandung
kemih penuh, terjadi tiba-tiba, disertai rasa nyeri, dan keadaan ini
termasuk kedaruratan dalam urologi. Kalau tidak dapat berkemih sama
sekali segera dipasang kateter.
2. Retensi urin kronik

Retensi urin kronik adalah retensi urin ‘tanpa rasa nyeri’ yang
disebabkan oleh peningkatan volume residu urin yang bertahap. Hal ini
dapat disebabkan karena pembesaran prostat, pembesaran sedikit2 lama2
ga bisa kencing. Bisa kencing sedikit tapi bukan karena keinginannya
sendiri tapi keluar sendiri karena tekanan lebih tinggi daripada tekanan
sfingternya. Kondisi yang terkait adalah masih dapat berkemih, namun
tidak lancar, sulit memulai berkemih (hesitancy), tidak dapat
mengosongkan kandung kemih dengan sempurna (tidak lampias). Retensi
urin kronik tidak mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan
permasalahan medis yang serius di kemudian hari.
Perhatikan bahwa pada retensi urin akut, laki-laki lebih banyak dari pada
wanita dengan perbandingan 3/1000 : 3/100000. Berdasarkan data juga
dapat dilihat bahwa dengan bertambahnya umur pada laki-laki, kejadian
retensi urin juga akan semakin meningkat.
F. Patofisiologi

Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh


disertai rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi
yang hebat disertai mengejan. Retensio urine dapat terjadi menurut lokasi,
factor obat dan factor lainnya seperti ansietas,kelainan patologi urethra,
trauma dan lain sebagainya. Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra
vesikal berupa kerusakan pusat miksi di medulla spinalsi menyebabkan
kerusaan simpatis dan parasimpatis sebagian atau seluruhnya sehingga tidak
terjadi koneksi dengan otot detrusor yang mengakibatkan tidak adanya atau
menurunnya relaksasi otot spinkter internal, vesikal berupa kelemahan otot
detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor
atau kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi
urethra sehingga urine sisa meningkat dan terjadi dilatasi bladder kemudian
distensi abdomen. Factor obat dapat mempengaruhi proses BAK, menurunkan
tekanan darah, menurunkan filtrasi glumerolus sehingga menyebabkan
produksi urine menurun. Factor lain berupa kecemasan, kelainan patologi
urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat meningkatkan tensi otot perut,
peri anal, spinkter anal eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik.
Dari semua factor di atas menyebabkan urine mengalir labat kemudian
terjadi poliuria karena pengosongan kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya
terjadi distensi bladder dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan,
salah satunya berupa kateterisasi urethra
G. Manifestasi Klinis

Pada retensi urin akut di tandai dengan nyeri, sensasi kandung kemih
yang penuh dan distensi kandung keimih yan ringan. Pada retensi kronik
ditandai dengan gejala iritasi kandung kemih ( frekuensi,disuria,volume
sedikit) atau tanpa nyeri retensi yang nyata.
Adapun tanda dan gejala dari penyakit retensi urin ini adalah :

1. Di awali dengan urin mengalir lambat

2. Terjadi poliuria yang makin lama makin parah karena pengosongan


kandung kemih tidak efisien
3. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih

4. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan kadang ingin BAK

5. Pada retensi berat bisa mencapai 2000-3000 cc


Tanda klinis retensi:
1. Ketidak nyamanan daerah pubis

2. Distensi vesika urinaria

3. Ketidak sanggupan untuk berkemih

4. Ketidak seimbangan jumlah urin yang di keluarkan dengan asupannya.


Retensi urine dapat menimbulkan infeksi yang bisa terjadi akibat distensi
kandung kemih yang berlebihan gangguan suplai darahpada dinding kandu
kemih dan proliferasi bakteri. Gangguan fungsi renal juga dapat terjadi,
khususnya bila terdapat obstruksi saluran kemih.
H. Komplikasi

1. Urolitiasis atau nefrolitiasis

Nefrolitiasis adalah adanya batu pada atau kalkulus dalam velvis


renal, sedangkan urolitiasis adalah adanya batu atau kalkulus dalam
sistem urinarius. Urolithiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli)
ditraktus urinarius. Batu terbentuk dari traktus urinarius ketika
konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan
asam urat meningkat.
2. Pielonefritis

Pielonefritis adalah radang pada ginjal dan saluran kemih bagian


atas. Sebagian besar kasus pielonefritis adalah komplikasi dari infeksi
kandung kemih (sistitis). Bakteri masuk ke dalam tubuh dari kulit di
sekitar uretra, kemudian bergerak dari uretra ke kandung kemih. Kadang-
kadang, penyebaran bakteri berlanjut dari kandung kemih dan uretra
sampai ke ureter dan salah satu atau kedua ginjal. Infeksi ginjal yang
dihasilkan disebut pielonefritis.
3. Hydronefrosis

4. Pendarahan

5. Ekstravasasi urine

I. Pemeriksaan Penunjang

Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada retensio urine


adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan spesimen urine

2. Pengambilan: steril, random, midstream

3. Penagmbilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb, KEton, Nitrit.

4. Sistoskopi, IVP
J. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada retensio urine adalah sebagai


berikut:
1. Kateterisasi urethra

2. Dilatasi urethra dengan boudy

3. Drainage suprapubik.
BAB II

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Identitas

Nama, Umur, Jenis kelamin, agama, suku, bangsa, pekerjaan,


pendidikan, status perkawinan, alamat, tanggal masuk Rumah Sakit.
2. Keluhan utama

Biasanya klien merasakan rasa tidak enak pada uretra kemudian di ikuti
nyeri ketika berkemihatau nyeri saat kencing.
3. Riwayat penyakit sekarang

Tanyakan penyebab terjadinya infeksi, bagaimana gambaran rasa nyeri,


daerah mana yang sakit, apakah menjalar atau tidak, ukur skala nyeri, dan
kapan keluhan dirasakan.
4. Riwayat penyakit dulu

Tanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit parah sebelumnya.

5. Riwayat kesehatan keluarga

Tanyakan apakah keluarga klien ada yang menderita penyaki yang sama
dengan klien
Pengumpulan data

1. Aktivitas/istirahat

Gejala: Tidak bisa tidur/istirahat dengan tenang jika rasa nyeri timbul
Tanda : Gelisah
2. Eliminasi

Gejala: Penrunan dorongan aliran urine, keragu-raguan pada awal


berkemih, kandung kemih terasa pnuh, tidak dapat erkemih kecuali dngan
cara mengejan, urin keluar sedikt-sedikit.
Tanda : disensi vesika urinaria, pengeuaran urin < 1500 ml/hari,
pengeluaran urin sedikit , nampak pemasangan kateter.
3. Makanan/ cairan

Gejala: klien mengeluh tidak nafsu makan , klien mengluh mual muntah
Tanda : penurunan BB < porsi makan tidak dihabiskan.
4. Sesksualitas

Gejala: penurunan kemampuan dalam melakukan hubungan seksual.

5. Nyeri/kenyamanan

Gejala: klien mengeluh nyeri saatberkemih

Tanda : ekspresi wajah nampak mringas dan tampak memegang area yang
sakit.
6. Integritas ego

Gejala: klien megeluh mengenai penyakitnya


Tanda : klin tampak gelisah.
B. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pola eliminasi urin (Retensi urin) berhubungan dengan


ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat,
infeksi bladder, gangguan neurology, hilangnya tonus jaringan perianal,
efek terapi
2. Nyeri berhubungan dengan distensi pada kandung kemih

3. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan

4. Resiko infeksi berhubungan dengan terpasangnya kateter urethra.


C. Intervensi Keperawatan

1. Gangguan pola eliminasi urin (Retensi urin)

a. Defenisi:

D. Ketidaksempurnaan pengosongan kandung kemih.

a. Batasan karakteristik
E.Subjektif
1) Disuria

2) Sensasi kandung kemih penuh

F. Objektif

1) Distensi kandung kemih

2) Urine menetes

3) Inkontinensia overflow

4) Urine residu

5) Haluaran urine sering dan sedikit atau tidak ada

b. Faktor yang berhubungan

1) Sumbatan

2) Tingginya tekanan uretra yang disebabkan oleh kelemahan


detrusor
3) Inhibisi arkus refleks

4) Sfingter yang kuat

c. Kriteria evaluasi

G. Menunjukkan kontinensia urine, yang dibuktikan oleh


indikator berikut (sebutkan 1-5: selalu, sering, kadang-kadang, jarang
atau tidak pernah ditunjukkan):
H. Kebocoran urine diantara berkemih.

I. Urine residu pasca-berkemih >100-200 cc

Fitriani, S.Kep (70900115053) | 14


d. Intervensi NIC

1) Kateterisasi urine: memasang kateter ke dalam kandung kemih


untuk sementara waktu atau permanen untuk pengeluaran urine
2) Manajemen eliminasi urine: memelihara pola eliminasi urine
yang optimum
3) Perawatan retensi urine: membantu meredakan distensi kandung
kemih.
e. Aktivitas keperawatan

1) Pengkajian

a) Identifikasi dan dokumentasikan pla pengosongan kandung


kemih
b) Perawatan retensi urine (NIC):

J. Pantau penggunaan agen non-resep dengan


antikolinergik atau agonis alfa.
K. Pantau efek obat resep, seperti penyekat saluran
kalsium dan antikolinergik.
L. Pantau asupan dan haluaran.

M. Pantau derajat distensi kandung kemih melalui


palpasi dan perkusi.
2) Penyuluhan untuk pasien/keluarga

a) Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih


yang harus dilaporkan (misalnya; demam, menggigil, nyeri
pinggang, hematuria, serta perubahan konsistensi dan bau
urine).
b) Perawatan retensi urine (NIC): instruksikan pasien dan
keluarga untuk mencatat haluaran urine, bila diperlukan.
3) Aktivitas kolaboratif

a) Rujuk ke perawat terapu enterostonia untuk instruksi


kateterisasi intermitten mandiri menggunakan prosedur bersih
setiap 4-6 jam pada saat terjaga.
b) Perawatan retensi urine (NIC): rujuk pada spesialis
kontinensia urine jika diperlukan.
4) Aktivitas lain

a) Lakukan program pelatian pengosongan kandung kemih

b) Bagi cairan dalam sehari untuk menjamin asupan yang


adekuat tanpa menyebabkan kandung kemi over-distensi
c) Anjurkan pasien mengonsumsi cairan per oral: cc untuk
siang hari, cc untuk sore hari, dan cc untuk malam hari.
d) Perawatan retensi urine (NIC):

N. Berikan privasi untuk eliminasi.

O. Gunakan kekuatan sugesti dengan mengalirkan air


atau membilas toilet.
P. Stimulasi refleks kandung kemih dengan
menempelkan es ke abdomen, menekan bagian dalam paa
atau mengalirkan air.
Q. Berikan cukup waktu untuk pengosongan kandung
kemi (10 menit).
R. Gunakan spirtus dari wintergreen pada pispot atau
urinal.
2. Nyeri akut

a. Defenisi:
S. Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau
digambarkan dengan istilah seperti (International Association for the
Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas
ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat
diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
b. Batasan Karakteristik

1) Subjektif

T. Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan (nyeri)


dengan isyarat.
2) Objektif

U. Posisi untuk menghindari nyeri.

V. Perubahan tonus otot (dengan rentang dari lemas tidak


bertenaga sampai kaku).
W. Respon autonomik (misalnya, diaforesis; perubuhan
tekanan darah. Pernapasan, atau nadi; dilatasi pupil).
X. Perubahan selera makan.

Y. Perilaku distraksi (misalnya, mondar-mandir, mencari


orang dan/atau aktivitas lain, aktivitas berulang).
Z. Perilaku ekspresif (misalnya, gelisah, merintih, menangis,
kewaspadaan berlebihan, pekacterhadap rangsang, dan menghela
napas panjang).
AA. Wajah topeng (nyeri).

AB. Perilaku menjaga atau sikap melindungi.


AC. Fokus menyempit (misalnya, gangguan persepsi waktu,
gangguan proses pikir, interaksi dengan orang lain atau
lingkungan menurun).
AD. Bukti nyeri yang dapat diamati.

AE. Berfokus pada diri sendiri.

AF. Gangguan tidur (mata terlihat kuyu, gerakan tidak teratur


atau tidak menentu, dan menyeringai).
3) Batasan karakteristik lain (non-NANDA International)

AG. Mengomunikasikan deskriptor nyeri (misalnya, rasa tidak


nyaman, mual, berkeringat malam hari, kram otot, gatal kulit,
mati rasa, dan kesemutan pada ekstremitas).
AH. Menyeringai.

AI. Rentang perhatian terbatas.

AJ. Pucat.

AK. Menarik diri.

c. Faktor yang Berhubungan

AL. Agens-agens penyebab cedera (misalnya, biologis, kimia,


fisik, dan psikologis)
d. Hasil (NOC)

AM. Tingkat Kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap


kemudahan fisik dan psikologis.
AN. Pengendalian Nyeri: tindakan individu untuk
mengendalikan nyeri.
AO. Tingkat Nyeri: keparahan nyeri yang dapat diamati atau
dilaporkan.
e. Tujuan/Kriteria Evaluasi
1) Memperlihatkan pengendalian nyeri, menggunakan tindakan
pencegahan, melaporkan nyeri dapat dikendalikan.
2) Menunjukkan tingkat nyeri

3) Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif


untuk mencapai kenyamanan.
4) Mempertahankan tingkat nyeri pada atau kurang (dengan skala
0-10).
5) Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis.

6) Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk


memodifikasi faktor tersebut.
7) Melaporkan nyeri kepada penywdia layanan kesehatan.

8) Menggunakan tindakan meredakan nyeri dengan analgesik dan


nonanalgesik secara tepat.
9) Tidak mengalami gangguan dalam frekuensi pernapasan,
frekuensi jantung, atau tekanan darah.
10) Mempertahankan selera makan yang baik.

11) Melaporkan pola tidur yang baik.

12) Melaporkan kemampuan untuk mempertahankan performa


peran dan hubungan interpersonal.
f. Intervensi (NIC)

1) Pemberian Analgesik

2) Manajemen Medikasi

3) Manajemen Nyeri

4) Bantuan Analgesis yang Dikendalikan oleh pasien

5) Manajemen Sedasi.

g. Aktivitas Keperawatan
1) Pengkajian

a) Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama


untuk mengumpulkan informasi pengkajian.
b) Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada
skala 0 sampai 10 (0 = tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan,
10 = nyeri hebat).
c) Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri
oleh analgetik dan kemungkinan efek sampingnya.
d) Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan
terhadap nyeri dan respons pasien.
e) Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata yang sesuai
usia dan tingkat perkembangan pasien.
f) Manajemen Nyeri (NIC):

AP. Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif


meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas, atau keparahan nyeri, dan faktor
presipitasinya.
AQ. Observasi insyarat nonverbal ketidaknyamanan,
khususnya pada mereka yang tidak mampu berkomunikasi
efektif.
2) Penyuluhan untuk pasien/keluarga

a) Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat khusus


yang harus diminum, frekuensi pemberian, kemungkinan
efek samping, kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan
khusus saat mengonsumsi obat tersebut (misalnya,
pembatasan aktivitas fisik, pembatasan diet), dan nama
orang yang harus dihubungi bila mengalami nyeri
membandel.
b) Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada
perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai.
c) Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat
meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang
disarankan.
d) Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau
opioid (misalnya, risiko ketergantungan atau overdosis).
e) Manajemen Nyeri (NIC): berikan informasi tentang nyeri,
seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan
antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur.
f) Manjemen Nyeri (NIC):

AR. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis


(misalnya, umpan-balik biologis, transcutaneous electrical
nerve stimulation (TENS), hipnosis, relaksasi, imajinasi
terbimbing, terapi musik, ditraksi, terapi bermain, terapi
aktivitas, akupresur, kompres hangat atau dingin, dan
masase) sebelum, setelah, dan jika memungkinkan, selama
aktivitas yang menimbulkan nyeri; sebelum nyeri terjadi
atau meningkat; dan bersama penggunaan tindakan
peredaan nyeri yang lain.
3) Aktifitas Kolaboratif

a) Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opitat


yang terjadwal (misalnya, setiap 4 jam selama 36 jam) atau
PCA.
b) Manajemen Nyeri (NIC):

AS. Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum


nyeri menjadi lebih berat.
AT. Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil
atau jika keluhan saat ini merupaakn perubuhan yang
bermakna dari pengalaman nyeri pasien di masa lalu.
4) Aktivitas Lain

a) Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikasi melalui


pengkajian nyeri dan efek samping.
b) Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang
efektif di masa lalu, seperti: distraksi, relaksasi, atau
kompres hangat/dingin.
c) Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa
nyaman dan aktivitas lain utnuk membantu relaksasi,
meliputi tindakan sebagai berikut:
AU. Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan
relaksasi.
AV. Ganti linen tempat tidur, bila diperlukan.

AW. Berikan perwatan dengan tidak terburu-buru,


dengan sikap yang mendukung.
AX. Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut aktivitas perawatan.
d) Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan
pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan melakukan
pengalihan melalui televisi, radio, tape, dan interaksi
dengan pengunjung.
a) Gunakan pendekatan yang positif untuk mengoptimalkan
respons pasien terhadap analgesik (misalnya, “obat ini akan
mengurangi nyeri anda”).
AY.

b) Manajemen Nyeri (NIC):

AZ. Libatkan pasien dalam modalitas peredaan nyeri,


jika memungkinkan kendalikan faktor lingkungan yang
dapat mempengaruhi respons pasien terhadap
ketidaknyamanan (misalnya, suhu ruangan, pencahayaan,
dan kegaduhan).
BA. Pastikan pemberian analgesik terapi atau strategi
nonfarmakologis sebelum melakukan prosedur yang
menimbulkan nyeri.

3. Ansietas

a. Defenisi:

BB. Perasaan ridak nyaman atau kekhawatiran yang samar


disertai respons autonom, perasaan takut yang disebabkan oleh
antisipasi terhadap bahaya. perasaan ini merupakan isyarat
kewaspadaan yang memperingatkan bahaya yang akan tderjadi dan
memampukan individu melakukan tindakan utuk mengahdapi
ancaman.
b. Batasan Karakteristik
BC. Perilaku
1) Penurunan produktivitas

2) Mengekspresikan kekhawatiran akibat perubahan dalam


peristiwa hidup
3) Gerakan yang tidak relevan (misalnya mengeret kaki, gerakan
lengan)
4) Gelisah

5) Memandang sekilas

6) Insomnia

7) Kontak mata buruk

8) Resah

9) Menyelidik dan tidak waspada

BD. Afektif

1) Gelisah

2) Kesedihan yang mendalam

3) Distres

4) Ketakutan

5) Perasaan tidak adekuat

6) Fokus pada diri sendiri

7) Peningkatan kekhawatiran

8) Iritabilitas

9) Gugup

10) Gembira berlebihan

11) Nyeri dan peningkatan ketidakberdayaan yang persisten

12) Marah

13) Menyesal

14) Perasaan takut

15) Ketidakpastian

16) Khawatir

BE. Fisiologis
1) Wajah tegang

2) Insomnia

3) Peningkatan keringat

4) Peningkatan ketegangan

5) Terguncang

6) Gemetar atau tremor di tangan

7) Suara bergetar

BF. Parasimpatis

1) Nyeri abdomen

2) Penurunan tekanan darah

3) Penurunan nadi

4) Diare

5) Pingsan

6) Keletihan

7) Mual

8) Gangguan tidur

9) Kesemutan pada ekstremitas

10) Sering berkemih

11) Berkemih tidak lampias

12) Urgensi berkemih

BG. Simpatis

1) Anoreksia

2) Eksitasi kardiovaskuler

3) Diare

4) Mulut kering

5) Wajah kemerahan
6) Jantung berdebar-debar

7) Peningkatan tekanan darah

8) Peningkatan nadi

9) Peningkatan refleks

10) Peningkatan pernapasan

11) Dilatasi pupil

12) Kesulitan bernapas

13) Vasokontriksi superfisial

14) Kedutan otot

15) Kelemahan

BH. Kognitif

1) Kesadaran terhadap gejala-gejala fisiologis

2) Blocking pikiran

3) Konfusi

4) Penurunan lapang pandang

5) Kesulitan untuk berkonsentrasi

6) Keterbatasan kemampuan untuk menyelesaikan masalah

7) Keterbatasan kemampuan untuk belajar

8) Takut terhadap konsekuensi yang tidak spesifik

9) Fokus pada diri sendiri

10) Mudah lupa

11) Gangguan perhatian

12) Tenggelam dalam dunia sendiri

13) Melamun

14) Kecendruangan untuk menyalahkan orang lain

c. Faktor yang Berhubungan


1) Terpajan toksin

2) Hubungan keluarga/hereditas

3) Transmisi dan penularan interpersonal

4) Krisis situasi dan maturasi

5) Stres

6) Penyalahgunaan zat

7) Ancaman kematian

8) Ancaman atau perubahan pada status peran, fungsi peran,


lingkungan, status kesehatan, status ekonomi, atau pola interaksi
9) Ancaman terhadap konsep diri

10) Konflik yang tidak disadari tentang nilai dan tujuan hidup yang
esensial
11) Kebutuhan yang tidak terpenuhi

d. Hasil NOC

1) Tingkat ansietas

2) Pengendalian diri terhadpa ansiets

3) Konsentrasi

4) Koping
e. Tujuan dan Kriteria Evaluasi NOC

1) Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti tingkat ansietas hanya


ringan sampai sedang
2) Kemampuan untuk fokus pada stimulus tertentu

3) Memiliki TTV dalam batas normal

4) Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan meskipun mengalami


kecemasan
f. Intervensi NIC:
1) Bimbingan antisipasi

2) Penururna nasietas

3) Teknik menenangkan diri

4) Penignkatan koping

5) Dukungan emosi

g. Aktivitas Keperawatan

1) Kaji tingkat ansietas pasien

BI. Skala Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) dalam penilaian


kecemasan (ansetas) terdiri dari 14 item, meliputi:
a) Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri,
mudah tersinggung.
b) Merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.

c) Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila


tinggal sendiri dan takut pada binatang besar.
d) Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada malam
hari, tidur tidak pulas dan mimpi buruk.
e) Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan
sulit konsentrasi.
f) Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan
pada hoby, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang
hari.
g) Gejala somatik : nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi,
suara tidak stabil dan kedutan otot.
h) Gejala sensorik : perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur,
muka merah dan pucat serta merasa lemah.
i) Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri di dada, denyut nadi
mengeras dan detak jantung hilang sekejap.
j) Gejala pernapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik,
sering menarik napas panjang dan merasa napas pendek.
k) Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan
menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan
sesudah makan, perasaan panas di perut.
l) Gejala urogenital : sering keneing, tidak dapat menahan
keneing, aminorea, ereksi lemah atau impotensi.
m) Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka
merah, bulu roma berdiri, pusing atau sakit kepala.
n) Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari gemetar,
mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot
meningkat dan napas pendek dan cepat.
BJ. Cara Penilaian

kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori:

BK. 0 = tidak ada gejala sama sekali

BL. 1 = Ringan / Satu dari gejala yang ada


BM. 2 = Sedang / separuh dari gejala yang ada
BN. 3 = berat / lebih dari ½ gejala yang ada
BO. 4 = sangat berat / semua gejala ada
BP. Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah
nilai skor dan item 1-14 dengan hasil:
BQ. Skor < 14 = tidak ada kecemasan.
BR. Skor 14 - 20 = kecemasan ringan.
BS. Skor 21 – 27 = kecemasan sedang.
BT. Skor 28 – 41 = kecemasan berat.

BU. Skor 42 – 56 = panik.

2) Gali bersama pasien tentang teknik yang berhasil dan tidak


berhasil menurunkan ansietas di masa lalu
3) Berikan informasi tentnag gejala ansietas

4) Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal


pikiran dan aperasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas
5) Yakinakan kembali pasien melalui sentuhan, dan sikap empatik
secara verbal dan nonverbal secara bergantian
6) Dorong pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi serta
izinkan pasien untuk menangis
7) Bermain dengan anak atau bawa anak ke tempat bermain anak di
rumah sakit dan libatkan anak dalam permainan
8) Kolaborasi pemberian obat untuk menurunkan ansietas

4. Resiko infeksi

BV. Tujuan dan Kriteria Hasil NOC:

a. Kontrol infeksi dengan indikator (Sebutkan 1-5: tidak pernah, terbatas,


sedang, sering, selalu):
1) Menerangkan cara-cara penyebaran infeksi

2) Menerangkan factor-faktor yang berkontribusi dengan penyebaran

3) Menjelaskan tanda-tanda dan gejala

4) Menjelaskan aktivitas yang dapat meningkatkan resistensi terhadap


infeksi
BW. Intervensi:

a. Bersikan lingkungan setelah digunakan oleh pasien

b. Ganti peralatan pasien setiap selesai tindakan


c. Batasi jumlah pengunjung

d. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu

e. Anjurkan pasien untuk cuci tangan dengan tepat

f. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan

g. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan setelah


meninggalkan ruangan pasien
h. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien

i. Lakukan universal precautions

j. Gunakan sarung tangan steril

k. Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur IV

l. Lakukan teknik perawatan luka yang tepat

m. Ajarkan pasien untuk pengambilan urin porsi tengah

n. Tingkatkan asupan nutrisi

o. Anjurkan asupan cairan yang cukup

p. Anjurkan istirahat

q. Berikan terapi antibiotik

r. Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala dari infeksi

s. Ajarkan pasien dan anggota keluarga bagaimana mencegah infeksi

BX.

BY.

Anda mungkin juga menyukai