Anda di halaman 1dari 25

PENDIDIKAN NILAI PEMBENTUK KARAKTER

&
KEPRIBADIAN BUDI PEKERTI DAN PENDIDIKAN
KARAKTER

MAKALAH LANDASAN KEPENDIDIKAN

Pengampu
Dr. Ghufron Abdullah, M.Pd

Oleh:
1. Ahmad Hanif NPM 20510294
2. Khoirun Nisa Nurul Fitri NPM 20510291

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN (S2) PASCASARJANA


UNIVERSITAS PGRI SEMARANG
2021

i
MORAL SEKSUAL, MORAL PERNIKAHAN DAN
MORAL HIDUP

MAKALAH LANDASAN KEPENDIDIKAN

Untuk memenuhi salah satu persyaratan mata kuliahLandasanKependidikan

Pengampu
Dr. Ghufron Abdullah, M.Pd

Oleh
1. Anik Supriyati NPM 20510294
2. Winda Sahara NPM 20510291

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN (S2) PASCASARJANA


UNIVERSITAS PGRI SEMARANG
2021

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Moral Seksual, Moral Pernikahan dan Moral Hidup ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Dr. Ghufron Abdullah, M.Pd. pada mata kuliah Landasan Kependidikan. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Moral Seksual,
Moral Pernikahan dan Moral Hidup bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ghufron Abdullah,


M.Pd., selaku dosen mata kuliah Landasan Kependidikan yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Pekalongan, 10 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

SAMPUL ................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ............................................................................... iii

DAFTAR ISI ............................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ...................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................... 3

A. Pengertian Moral Seksual .......................................................... 3


B. Pengertian Moral Perkawinan .................................................... 7
C. Pengertian Moral Hidup ............................................................. 12

BAB III PENUTUP ................................................................................... 19

A. Simpulan ..................................................................................... 19
B. Saran ........................................................................................... 19

PUSTAKA ................................................................................................ 21
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seks dan seksualitas merupakan hal yang penting bahkan dominan
dalam kehidupan manusia, strategis dalam pembentukan dan penentuan
karakter manusia. Karakter seseorang terbentuk dengan tindakan-tindakan
seks dan seksualitasnya mealui tingkat-tingkat perkembangannya. Baik-
buruknya karakter seseorang juga ditentukan oleh tindakan-tindakan seks dan
seksualitasnya.karenanya seks dan seksualitas menjadi menarik sekaligus
“gawat”. Menarik sekaligus gawat karena seks dan seksualitas merupakan
kebutuhan hidup manusia yang tidak mudah untuk dielakkan; sebagai
kebutuhan fisik atau jasmaniah sekaligus kebutuhan batin atau mental-
kerohanian.
Masalah seks juga menjadi gawat, rentan ketika masuk pada ranah
kehidupan sosial. Seks dan seksualitas telah menimbulkan berbagai masalah
sosial dalam kehidupan masyarakat. Perceraian, perselingkuhan, pelacuran,
pembunuhan bahkan mutilasi dan aborsi (pengguguran), serta abortus (kawin
muda), banyak terjadi dan berpangkal pada masalah seks. Jika seks dan
seksualitas tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan
penyimpangan dan kelainan-kelainan seksual.
Seks dan seksualitas tidak melulu berdampak negatif. Adanya suatu
lembaga yang disebut perkawinan juga merupakan implikasi dari seks dan
seksualitas. Perkawinan yang sah mensucikan dan menyempurnakan tindakan
seks dan seksualitas manusia. Perkawinan itu menjadi sah bila mendapatkan
pengakuan dari masyarakat dengan hukum adatnya, dari negara atau
pemerintah dengan peraturan-perundangannya, serta dari aga dengan hukum
agamanya.
Tindakan seks dan seksualitas manusia melalui perkawinan yang sah
dan melembaga, menciptakan kehidupan baru. Dan kehidupan bar tersebut
mmerlukan tindakan manusia yang baik, yang susila, yang berkarakter. Untuk
itu diperlukan pengetahuan tentang moral hidup. Moral hidup itu antara lain
meliputi: awal kehidupan manusia, pemeliharaan dalam kandungan,
pemeliharaan setelah kelahiran, dan penghayatan tentang akhir kehidupan.
Dengan demikian pendidikan karakter terkait moral seksual menjadi
penting dan merupakan suatu kebutuhan guna membentengi diri dari
penyimpangan dan penyelewengan yang timbul karena masalah seks dan
seksualitas.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu moral seks?
2. Apa itu moral perkawinan?
3. Apakah itu moral hidup?

C. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian moral seks
2. Untuk memahami moral perkawinan
3. Untuk memahami moral hidup

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Moral Seksual


1. Latar belakang
Di era yang serba teknologi seperti sekarang ini, memberikan
kemudahan bagi siapapun untuk melakukan apapun yang mereka inginkan,
usaha atau bisnis, belajar, ataupun bersosial, bahkan saat ini bisa dikatakan
hidup manusia sangat bergantung dari teknologi yang ada, termasuk dalam
hal pergaulan. Dengan adanya teknologi yang canggih ini pun membuat
pergaulan manusia menjadi tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Saat ini
orang indonesia ingin memiliki teman dari negara lain sangat mungkin,
tidak perlu ada pertemuan secara fisik siapa pun bisa berteman atau
bergaul dengan orang lain dari berbagai belahan dunia, dan hal inilah yang
juga menyebabkan pergaulan kalangan muda sekarang menjadi lebih
bebas, tidak ada rasa sungkan, canggung ataupun malu ketika mereka
ingin menunjukkan rasa saying ataupun cinta kepada teman lawan
jenisnya, mereka cenderung dapat mengekspresikannya tidak perduli di
tempat umum. Norma –norma yang berlaku di masyarakat sudah mulai
ditinggalkan, dan media pun turut berperan besar dalam perkembangan
pergaulan kalangan muda jaman sekarang, melalui pemberitaan ataupun
tayangan yang disampaikan memberikan pengaruh yang besar terhadap
mental dan karakter masyarakat secara luas. Oleh
2. Seks dan seksualitas
Seks merupakan bagian dari seksualitas, yaitu alat kelamin ( pria dan
wanita, sarana reproduksi) dah hal-hal yang terkait dengannya. Secara
fungsional Seks juga diartikan sebagai nafsu (dorongan) syahwat, nafsu
birahi pria dan wanita yang terkait dengan naluri atau insting manusia.
Seks diciptakan Tuhan sebagai sarana (alat) untuk membantu rencana
Tuhan dalam menciptakan manusia setelah adanya manuasi apertama
(Adam-Hawa, Pria-Wanita). Dengan demikian menjadi jelas bahwa sek
menjadi sesuatu yang suci dan luhur. Secara Psikologis, Sigmun Freud
menyebut lima tingkat perkembangan seksual sejak manusia kanan-kanak
hingga dewasa secara seksual, yaitu fase ora, anal, zakar, remaja dan
dewasa. Berikut rinciannya
a. Fase Oral (1-2 Tahun) fase mulut/ fase bibir contoh bayi yang
menikmati seksualnya melalui oral, mulut atau bibir
b. Fase anal atau dubur (2-3 Tahun) contoh bayi yang menikmati
seksualnya dengan duburnya
c. Fase zakar /Phalik (3-5 Tahun) ketika anak menghayati seksualnya
dengan zakar/phaliknya, ia bangga dan nikmat bermain dengan
zakarnya. Pendidikan dasar akhlak terjadi sejak lahir hingga usia5-6
tahun.
d. Fase remaja (5-12 tahun) seksualitas masih terbatas pada diri sendiri,
belum tertarik pada lawan jenisnya
e. Fase genital (12-18 tahun) kelenjar dan alat kelamin mulai berfungsi
dan perhatian seksual mulai mengarah kepada lawan jenis,
kematangangan seksual wanita mulai usia 12 tahu sedangkan pria
umur 16 tahun
3. Onani atau masturbasi
Onani atau masturbasi adalah tindakan seksula merangsang alat
kelamin untuk mencapai kepuasan seksual dengan dirinya sendiri melalui
orgasme, tindakan itu termasuk tindakan yang tidak baik secara moral dan
tabu dikalangan masyarakat tradisional bahkan untuk dibucarakan
sekalipun, dari sisi agama disebut dosa berat. Namun dengan
berkembangnya ilmu psikologi, psikologi perkembangan, psikoanalisis
dan sosiologi, onani atau masturbasi tidak harus dianggap tabu melainkan
dinilai secara rasional dan proporsional.
Onani pada remaja sering memiliki tujuan tertentu, hal ini sering
terjadi secara tidak sengaja, missal pada saat mandi. Onani pada remaja
dirasakan sebagai kenikmatan erotis dengan lat kelaminnya sendiri, jika

4
terjadi secara spontan, bukan masalah. Tetapi bila dilakukan dengan
sengaja dan menjadi kebiasaan maka timbullah rasa egsentrisme dengan
seks sebagai saranaya.
Onani juda dapat terjadi dilakangan dewasa, dan perlu dinilai secara
rasional dan proprsional, bila hal itu terjadi secara spontan, tanpa
kesadaran dan pengetahuan sepenuhnya, dalamkeadaan tertekan atau
menderita kelainan, tidak dapat dinilai buruk secara normal, namun bila
dilakukan dengan sengaja untuk membangkitkan dorongan erotis, ini tidak
dapat dibenarkan dan perlu bantuan penyadaran agar tidak “mencandu”.
4. Berpacaran
Pada dasarnya pacaran adalah berteman sebagai awal atau persiapan
menuju hidup bersama sebagai suami-isteri. Memang pacaran tidak dapat
terepas dari seks, pacaran dimulai dengan rasa tertarik kepada lawan jenis
yangmengaah kepada rasa cinta. Pacaran hingga tunanganitu dijiwai oleh
rasa cinta, mulai dari cinta monyet, cinta nafsu, hingga cinta sejati atau
cinta yang sebenarnya, pada masa berpacaran itulah yang sering
menimbulkan masalah moral seksual yang berpangkal pada kurangnya
pemahaman terhadap makna cinta yang sejati, lebih dikuasai nafsu
seksual. Nafsu seksual merupakan puncak dari cinta itu sendiri, maka suli
untukmenentukan kapan boleh dan kapan tidak boleh melibatkan seks
dalam waktu berpacaran. Sebagai prinsip umum dapat dinasehatkan bahwa
cinta perlu kesabaran, menghargai/menghormati, cinta perlu pengorbanan,
tidak menodai, cinta lemah lembut, dan tidak egosentrisme.
5. Homofilia dan homoseksualitas
Homofilia dan homoseksualitas adalah hubungan cinta antara
manusia sejenis. Disebut homofilia bila cinta itu belum begitu mendalam
yang diungkapkan dalam bentuk kemesraan, seperti saling memeluk dan
saling mencium. Homofilia merupakan suatu penyimpangan seksual ,
tidak wajar, sebagai kelainan mental. Biasanya terjadi pada mereka yang
pergaulannyaterbatas pada teman-teman sejenis kelamin, salah satu atau
keduanya menderita kelainan mental. Penyembuhannya relative mudah

5
dengan memasukkan penderika ke dalam pergaulan yang lebih luas, baik
teman sejenis maupun teman lawan jenis.
Sedangkan pada Homoseksualitas (homoseks, Lesbian) hubungan
cinta itu sudah sedemikain dalam, kemesraan sudah setingkan hubungan
suami-isteri, homoseksual dilakukan oleh mereka yang salah satu atau
keduanya berkelainan mental seksual, mereka lebih diklasifikasikan
sebagai orang yang menderita kelainan dari pada orang yang bertindak
melanggar moral. Lain hal nya bila homoseksualitas dilakukan oleh orang
yang sebenarnya normal. Itupun lebih memerlukan bantuan untuk
pertobatan dari pada kecaman. Masyarakat umum biasanyan tidak
membedakan antara lesbian yang sebenarnya (penderita kelainan mental
seksual) dan lesbian pemuas nafsu seksual semata.
6. Kelainan seksual
Beberapa kelainan seksual antara lain: (Hyperseksualitas)terlalu
banyak membutuhkan kepuasan seksual atau nafsu seksual yang besar,
(Hyposeksualitas, Frigiditas, Vaginisme)terlalu sedikit membutuhkan
kepuasan seksual, (Impotensi)tidak mampu menjalankan hubungan
seksual, (Bestialitas) tertarik berhubungan seksual dengan binatang,
(Necrophylia) tertarik berhubungan seksual dengan mayat, (Voyurisme)
tertarik menikmati hubungan seksual dengan orang lain, (Troilisme)
tertarik bersenggama bertiga, (Ekshibitionisme) senang memperlihatkan
alat kelamin di depan umum, (Incest) berhubungan seksual dengan saudara
dekat, Dll.
Dari seluruh pembicaraan tentang moral seksual dapat ditemukan
adanya penyimpangan seksual maupun kelainan seksual, walaupun tidak
dapat disamaratakan keduanya tidak dapat diterima sebagai suatu yang
wajar dan dibiarkan. Perlu adanya pendiikan karakter mengenai moral
seksual yang menelaah tentang baik buruknya tingkah laku seksual
seseorang, dan pendiikan seksual antara lain pengetahuan tentang anatomi
seks, filosofi alat-alat kelamin,psikologi seksual dan etika seksual.

6
B. Pengertian Moral Perkawinan
Allah telah menciptakan manusia pria dan wanita. Selanjutnya
diperintahkan untuk berkembang biak sebanyak butir-butir dipantai untuk
memenuhi muka bumi. Itulah dasar terdalam dari adanya perkawinan pria dan
wanita, hendaknya ditafsirkan sebagai perintah untuk manusia secara
keseluruhan, yang tidak harus berlaku untuk setiap orang sebagai individu.
Atinya dimungkinkan adanya orang yang dengan sengaja untuk berniat untuk
tidak kawin, tidak menikah, tidak memprogramkan adanya keturunan
1. Hakekat perkawinan
a. Perkawinan sebagai panggilan hidup
Allah memanggil manusia untuk menikah atau tidak menikah,
karena itu orang perlu mempersiapkan dirinya, untuk secara jujur
memilih menikah atau tidak menikah. Sebagaimana telah disebutkan
bahwa dasar yang menjadi syarat menikah adalah kemampuan untuk
melakukan hubungan seksual, hal itu artinya orang yang tidak
memiliki kemampuan melakukan hubungan seksual (impoten) tidak
layak untuk menikah; tidak dipanggil Allah untuk hidup berkeluarga
dalam perkawinan. Allah memanggil pria dan wanita untuk menikah
dan melaukan hubungan seksual demi melahirkan anak dalam rangka
“membantu” rencana Allah dalam penciptaan umat manusia. Dengan
demikian pernikahan yang sah berfungsi untuk mensucikan hubungan
seks; dan hubungan seks berfungsi untuk menyempurnakan persatuan
suami istri sebagai “satu tubuh”.
Perkawinan sebagai panggilan hidup termasuk panggilan untuk
melahirkan anak-anak dan memelihara atau mendidik. Dalam hal
program KB bukanlah menolak anak melainkan mengatur jumlah dan
kelahiran anak yang dapat dibenarkan secara moral da tidak
bertentangan dengan moral perkawinan. Dan bagi mereka yang tidak
dikaruniai anak tidak berarti gagal dalam hidupnya atau gagal
perkawinan mereka, melainkan perkawinan sebagai enyempurnaan
diri, menyempurnakan persatuan suami-istri, mengesahkan dan

7
mensucikan hubungna seksual mereka. Oleh karena itu kemandulan
dalam perkawinan tidak menjadi alasan yang kuat untuk melakukan
perceraian. Pernikahan yang sah yang tidak dikaruniai anak pada
dasarnya merupakan panggilan hidup tersendiri yang menjadi misteri
atau rahasia rencana Allah, oleh karena itu perlu disikapi dengan bijak,
dalam rangka berserah diri secara total kepada Allah, melaksanakan
panggilan hidup dari-Nya
b. Perkawinan sebagai persekutuan hidup
Pada hakekatnya perkawinan sebagai bentuk saling penyerahan
diri secara utuh dan total, jiwa dan raga, mental-spiritual antara pria
dan wanita sehingga mennjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan,
disertai dengan janji tulus kesetiaan, maka menjadi layak bila pada
umumnya orang tidak menghendaki pernikahan poligami atau
poliandri, dan tidak pula menginginkan adanya perceraian serta
menghindari pernikahan lintas iman/agama. Apabila hal itu terjadi
tentu bukan karena pilihanutama mereka, dan pasti membawa resiko.
c. Sifat-sifat positif perkawinan yang perlu diperhatikan
Sifat-sifat positif dalam perkawinan yang menjadi perhatian
dalam moral perkawinan, antara lain
1) Perkawinan yang monogam
2) Perkawinan yang tidak terceraikan
3) Perkawinan heteroseksual
4) Perkawinan yang terbuka untuk melahirkan anak
5) Perkawinan yang saling membahagiakan
6) Perkawinan yang meningkatkan gengsi/kehormatan
7) Perkawinan mempersatukan
d. Tugas pokok suami isteri
Tugas pokok suami-istri tidak terlepas dari sifat-sifat perkawinan
sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, tugas pokok suami-istri
dapat disimpulkan sebagai berikut:

8
1) Saling mempersatukan diri dalam cinta melalui saling penyerahan
diri secara total, jiwa, raga, sepenuh hati, tanpa reserve, lewat
pengorbanan yang tidak terbatas, dengan meninggalkan semua
egosentrisme, termasuk semua milik pribadi (private,
personlijkheit).
2) Saling membahagiakan, bukan mengejar kebahagiaan sendiri-
sendiri. Kepuasan tertinggi seorang suami terwujud dalam
kebahagiaan istri dan kebahagiaan tertinggi seorang istri tercapai
bila mampu membahagiakan suami.
Asmaradan (Pakubowono IV. Serat Wulang Putri)
Pratikele wong akrami, dudu brana dudu warna, among ati
pawitane. Luput pisan kena pisan, yen gampang luwih gampang,
yen angel angel kalengkung. Tan kena tinambak arta.
Yang dicari orang menikah itu, bukan harta bukan indanya rupa.
Hanya hatilah bekalnya. Berhasil atau gagal hanya sekali. Bila mudah
lebih mudah bila sukar lebih sukar. Tidak dapat ditanggulangi dengan
uang.
2. Perkawinan sebagai lembaga
a. Perkawinan sebagai lembaga masyarakat
Artinya perkawinan itu diakui, diatur dan dilindungi oleh
masyarakat. Masyarakat mengakui hidup bersama antara pria dan
wanita sebagai suami-isteri dan mengesahkan anak-anak dari suami-
isteri tersebut
Sering norma adat/tradisi dan komunitas-komunitas didalamnya
menjadi kendala perkawinan, karena tidak semua komunitas
mengijinkan perkawinan campur antar/tradisi. Hal ini menuntut
kemampuan untuk penyesuaian dan penyelesaian yang bijak, bukan
saling menekan atau mendeskreditkan demi kemenangan. Tunduk pada
norma bukan berarti tunduk secara kaku, melainkan tetap ada
kemungkinan untuk berinovasi. Hal ini sesuai dengan sifat manusia
memiliki hati nurani dan kehendak bebas serta dimungkinkan oleh

9
dinamika masyarakat dan perkembangan ilmu dan teknologi serta seni
(IPTEKS)
b. Perkawinan sebagailembaga hukum Negara
Negara modern umumnya mengakui perkawinan sebagai lembaga
hukum Negara, demi kesejahteraan negara, demi kesejahteraan
keluarga juga kesejahteraan bangsa. Keluarga adalah fungsi dari
masyarakat, bangsa dan negara. Hukum perkawinan negara, hendaknya
tidak mengatur moralitas perkawinan, melainkan bersifat mengatur
agar tidak terjadi sengketa antara komunitas bila terjadi persengketaan
soal perkawinan Negara mampu memecahkannya. Untuk itu perlu
dikembangkan moralitas pluralis, inklusif, dan toleransi besar
dikalangan masyarakat/warga Negara, antara lain melalui pendidikan
karakter.
c. Perkawinan sebagai lembaga agama
Seperti halnya masyarakat dan Negara, agama pun mengakui,
mengatur dan melindungi perkawinan bagi umatnya; bahkan
memberikan pedoman moral perkawinan dan juga memberikan hokum
agama tentang perkawinan. Hukum agama dalam perkawinan antara
lain mengatur tentang persiapan nikah, peneguhan nikah, proses
perpisahan sementara, proses perceraian,proses pembatalan ikatan
nikah, perkawinan berikut setelah perceraian dan lain-lain.
Perkawinan sebagai lembaga agama bersifat mensucikan
perkawinan yang mengandung nilai-nilai sacral. Perkawinan sebagai
lembaga agama memperkuat moral perkawinan;orang tidak akan
dengan seenaknya merendahkan perkawinan denga tindakan-tindakan
yang dapat dipandang sebagai bertentangan dengan norma-norma
moral, seperti poligami, poliandri, perceraian, kawin siri, kawin
kontrak dan sejenisnya; wlaupun realitas itu ada dan diijinkan oleh
agama.

10
3. Beberapa pandangan
a. Poligami
Pernikahan satu pria dengan beberapa wanita, sekalipun dalam
komunitas masyarakat dan agama tertentu diijinkan, dalam masyarakat
modern hal itu sudah dianggap sebagai suatu yang ketinggalan jaman.
b. Poliandri
Perkawinan seorang wanita dengan beberapa pria, dalam cerita
pewayangan hal itu terjadi antara dewi drupadi dengan lima orang
pandawa.
c. Perceraian
Perceraian pada dasarnya adalah suatu kecelakaan ;tidak pernah
diinginkan atau direncanakan, perceraian pada dasarnya merupakan
suatu kegagalan dalam perkawinan. Dalam perkawinan keluarga,
masyarakat, negara dan agamaturut merestui, mengakui, mengatur dan
melindungi; maka dalam perceraian lembaga-lembaga tersebut perlu
melakukan peran dan fungsinya.
d. Penyelewengan
Dalam moral perkawinan sering disebut perselingkuhan, Hal ini
sering terjadi karena keadaan ekonomi yang kurang memadai, tetapi
lebih banyak terjadi karena kelebihan harta dan kemewahan.
Penyelewengan adalah penyelewengan suatu yang tidak dapat
dibenarkan secara moral.
e. Pengguguran
Serig disebut abortus provocatus, orang yang sudah melakukan
tindakan pengguguran kehamilan, membuang atau membunuh bayi
yang sudah dilahirkan telah melanggar moral hidup, namun demikian
seperti halnya penyelewengan yang lain, pelaku pengguguran tidak
dapat dinilai sama secara moral, hal itu tergantung situasi, kondisi, dan
motivasi dilakukannya penyelewengan.

11
C. Pengertian Moral Hidup
Hidup adalah anugerah dari Allah, manusia tidak berhak untuk
menolaknya, bahkan wajib untuk memelihara dan mempertahankannya.
Karena yang memberi hidup itu Allah, hanya Allah pula yang berhak untuk
mengambil kembali; maka manusia tidak berhak untuk mengakhiri hidup,
baik mengakhiri hidup sendiri maupun orang lain.
1. Awal hidup manusia
Ada beberapa pendapa tentang kapan hidup manusia dimulai,
berikut adalah pendapat-pendapat tersebut beserta alasannya:
a. Hidup seseorang telah ada sejak terbentuknya sel pertama hasil
pertemuan sperma dan sel telur
Alasan yang mendasari: (1) sel pertama itu sudah hidup, mampu
berkembang dengan kekuatan sendiri dengan membelah diri ters-
menerus, sambil berjalan menuju rahim ibunya; (2) sel pertama yang
hidup itu sudah dapat disebut manusia karena memuat sejumlah
kromosom yang biasa termuat dalam sel-sel manusia normal, yaitu 46
kromosom terdiri atas 23 kromosom dari sel telur (22 kromosom
otosom pembawa watak dan 1 kromosom penentu jenis kelamin) dan
23 kromosom dari sperma (22 kromosom otosom pembawa watak dan
1 kromosom penentu jenis kelamin)
b. Hidup seseorang baru dimulai sekitar 11 hari setelah pembuahan
Alasan yang mendasari: (1) 50% sel pertama akan mati secara spontan
sebelum berusia satu minggu; (2) manusia berciri individual (unik),
tidak terbagi, padahal sel pertama itu masih dapat berkembang dan
terbagi menjadi beberapa kelompok sel, yang dapat menjadi beberapa
janin kembar (kembar satu telur)
c. Hidup manusia muncul ketika embrio (calon manusia) berusia sekitar
20 – 40 hari
Alasan yang mendasari: (1) secara filosofis, manusia berbeda dari
ciptaan yang lain karena kemampuan mental dan spiritualnya. Kedua
kemampuan itu ada bila ia memiliki otak. Jadi sel-sel manusia baru

12
dapat disebut manusia ketika ia sudah memiliki otak; (2) secara medis,
janin yang tidak berhasil membentuk otak dalam dirinya akan mati
dengan sendirinya atas kehendak Tuhan.
Ajaran islam menyatakan bahwa roh diberikan pada saat janin
berusia empat bulan, dan tradisi jawamengakui hidup janin benar-benar
kuat setelah melampaui masa kritis periode kehamilan tiga hingga tujuh
bulan. Pada prinsipnya, pengguguran janin sebelum dinyatakan adanya
hidup tidak dapat disebut immoral atau melanggar moral hidup. Akan
tetapi untuk lebih amannya, aman dari tekanan batin maupun dari tuduhan
pembunuhan, kita tidak melakukan tindakan yang berpotensi pengguguran
janin.
2. Pencegahan kehamilan
Salah satu tugas pokok suami-istri adalah siap melahirkan dan
memelihara serta mendidik anak demi kesejahteraan dan kebahagiaan, diri
sendiri, keluarga dan masyarakat. Kesejahteraan dan kebahagiaan tersebut
tidak dapat terlepas dari rasio jumlah penduduk dengan kekayaan
masyarakat/ negara; rasio jumlah anak dengan kemampuan orangtua
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menuntut pengaturan dan
perencanaan jumalah anak atau pengaturan dan perencanaan kehamilan
yang tidak tercela secara etika; maka perlu adanya pencegahan kehamilan
yang bermoral, yang tidak bertentangan dengan moral hidup.
Dalam hal ini perlu dibedakan antara upaya pencegahan kehamilan
(contraception, kontrasepsi) dengan pencegahan kelahiran (birth control).
Pencegahan kehamilan dengan cara-cara wajar, apalagi secara alami,
tidaklah bertentangan dengan moral hidup, tetapi pencegahan kelahiran
cenderung ke arah pengguguran (pembunuhan) berpotensi untuk
bertentangan dengan moral hidup. Pencegahan kehamilan dinilai secara
oral berdasar pada motivasi dilakukannya pencegahan tersebut, bukan
semata-mata cara atau metode yang benar. Walaupun secara medis,
sekonomis, atau sosial-politis sudah benar, dan bersifat efektif, bila
motivasinya tidak baik, tetap dapat dinilai sebagai buruk secara moral.

13
Yang efektif tidak selalu yang baik secara moral; dapat terjadi yang paling
efektif secara metodis juga yang paling buruk secara moral.
Motivasi yang baik mengandung nilai-nilai rasa tanggung jawab
sosialyang tinggi, seperti: demi kesejahteraan anak-anak yang sudah ada,
demi kesejahteraan bangsa, demi pengembangan cinta kasih suami-istri,
tidak diwarnai oleh nafsu egosentrisme dan materialisme. Metode
pencegah kehamilan yang baik secara moral, anatara lain pantang berkala,
sanggama terputus, mengkonsumsi ramuan jamu tradisional yang diyakini
mampu mencegah kehamilan. Cara-cara tersebut dinyatakan baik karena
sifatnya yang alami, tidak mengubah kodrat fisik wanita, meningkatkan
saling pengertian dan perhatian antara suami-istri, mengandung nilai-nilai
pengendalian diri/ nafsu, dan memungkinkan untuk merencanakan
melahirkan anak lagi bila dikehendaki.
Pencegahan kehamilan juga dapat dilakukan dengan metode
pemakaian kondom, pessarium atau dutch cap, atau mengkonsumsi obta/
jamu yang tidak terlarang, yang prinsipnya mencegah terjadinya
pembuahan sel telur oleh sperma. Secara moral tidak ada keberatan
dengan penggunaan metode tersebut, tetapi pemanfaatan teknologi
tersebut dipandang tidak sesuai dengan kodrat hubungan seksual.
Pencegahan kehamilan lain yang tidak sesuai dengan hukum kodrat antara
lain: pil KB, susuk KB, suntik KB, pemandulan dan penggunaan spiral.
Pemandulan, selain menentang kodrat juga tidak memungkinkan wanita
melahirkan anak kembali bila menginginkannya, sedangkan pemakaian
spiral selain tidak sesuai dengan hukum kodrat juga sering tidak efektif
dan menimbulkan kelainan atau gangguan fisik.
Bagaimanapun, kodrat pria dan wanita menyatu dalam perkawinan
dan melahirkan anak, mengasu dan mendidiknya menjadi dewasa,
sejahtera dan bahagia. Idealnya semua itu dapat dijalani secara wajar,
alami serta kodrati. Bila ada rekayasa dengan alasan yang mendasar,
hendaknya rekayasa tersebut tidak bertentangan dengan moral hidup atau

14
etika pada umumnya, serta tidak menggoyahkan hubungan cinta kasih
suami-istri.
3. Kehamilan buatan
Kehamilan buatan merupakan kebalikan dari pencegahan
kehamilan. Bila pencegahan kehamilan melakukan hubungan seksual
tidak menghendaki lahirnya anak, kehamilan buatan menginginkan
adanya anak tanpa hubungan seksual. Adanya anak tanpa hubungan
seksual jelas bertentangan dengan kodrat manusia, dan menjadi masalah
etika, utamanya moral hidup. Berikut adalah bentuk-bentuk kehamilan
buatan:
a. Inseminasi, yaitu memasukkan sperma ke dalam rahim wanita ketika
wanita tersebut sedang mengalami masa subur; ketika ada sel telur
yang masak di dalam saluran telur. Hal ini dapat diterima secaara
moral bila sperma diambil dari suami yang karena sesuatu hal tidak
memungkinkan untuk melakukan pembuahan dengan hubungan
seksual; yang menjadi masalah adalah cara mendapatkan sperma
tersebut.
b. Bayi tabung, dilakukan dengan membuat embrio dalam tabung
sebelum dimasukkan ke dalam rahim wanita pemberi sel telur. Embrio
akan muncul beberapa hari setelah terjadinya pembuahan. Sperma dan
sel telur tersebut hendaknya diambil dari suami-istri sehingga tidak
menimbulkan masalah etis dan psikologis.
c. Ectogenesis, seperti bayi tabung, tetapi pembuahan dan
pengembangan janin seutuhnya dalam tabung. Cara ini menimbulkan
masalah yang lebih serius bagi etikawan atau moralis, karena telah
menggantikan peran ayah dan ibu dengan peralatan canggih sebagai
pabrik manusia. Resiko bayi cacat pun lebih besar, dan cenderung
mengarah pada pengguguran secara sengaja.
d. Cloning, artinya “membuat kecambah”, upaya untuk menghasilkan
anak tanpa sperma pria. Ada beberapa cara, antara lain: (1) memberi
rangsangan kepada sel telur agar embelah terus-menerus hingga

15
muncul janin yang hidup; (2) mengganti inti sel telur dengan inti sel
biasa. Kedua cara tersebut pernah berhasil untuk binatang (katak,
kalkun dan kelinci), tetapi untuk manusia belum berhasil. Cara itu
belum dapat diterima secara moral, karena: (1) mengingkari peran
pria, (2) anak akan identik dengan ibunya, (3) banyak resiko gagal dan
pengguguran, (4) resiko bayi cacat dan pengguguran.
Dari empat cara kehamilan buatan tersebut, yang dapat ditolerir
secara moral atau etika adalah cara inseminasi buata dengan sperma
suami, dan bayi tabung dengan rahim ibu, dengan catatan tidak membuat
banyak embrio yang akhirnya harus dibuang; mengingat embrio
sebebnarnya adalah manusia, membuang embrio berarti suatu
pembunuhan, bertentangan dengan moral hidup.
4. Pemeliharaan bayi dalam kandungan
Setelah terjadi pembuahan, paling tidak setelah embrio berhasil
membentuk otak (20-40 hari setelah pembuahan), moral hidup harus
ditegakkan; embrio tersebut perlu perlindungan. Yang wajib melindungi
embrio tersebut utamanya ibunya, kemudian segenap keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara, serta agama sebagai suatu lembaga yang
telah mengakui sahnya perkawinan.
Seorang ibu yang hamil harus memelihara janin dalam rahimnya,
dengan upaya sendiri atau bantuan orang lain (dokter, bidan, ahli
kandungan) menghindari hal-hal yang dapat berpengaruh negatif terhadap
kandungannya. Pengguguran dalam kasus tertentu, seperti tanpa
pengguguran janin dan ibunya akan meninggal, atau ibunya saja yang
akan meninggal (masih dapat diperdebatkan). Pengguguran dengan alasan
gengsi, malu, miskin tidak dibenarkan secara moral. Penilaian secara
moral terhadap pengguguran bersifat relatif, sesuai dengan situasi,
kondisi, dan motivasi terjadinya pengguguran. Usia janin juga turut serta
menentukan berat-ringannya pelanggaran moral atau etika.

16
5. Pemeliharaan bayi setelah kelahiran
Yang termasuk dalam pemeliharaan bayi setelah kelahiran adalah:
memelihara kesehatan (makanan, minuman, pakaian, obat-obatan, dan
kebersihan serta istirahat), mencegah penyakit dan rasa sakit, menyembuhkan
penyakit dan mengurangi rasa sakit, memulihkan kesehatan setelah
sembuhdari sakit, dan mencegah bahaya maut dan kematian. Upaya-upaya
pemeliharaan tersebut wajib dilakukan sesuai kemampuan, tanpa kelengahan,
tetapi juga tidak melebihi kemampuan.
Upaya pemeliharaan kesehatan bayi setelah kelahiran tidak saja
kesehatan fisik atau jasmani, melainkan juga kesehatan psikis dan
spiritualnya; bahkan psikis dan spiritual lebih penting dari kesehatan fisik,
walaupun ketiganya saling terkait. Jangan sampai penyembuhan fisik
mengorbankan kesehatan psikis dan spiritual seseorang, karena penyakit
psikis dan spiritual lebih susah disembuhkan.
6. Menghayati akhir kehidupan
Kematian tida dapat dielakkan. Melalui kematian itu orang
ditentukan sampai atau tidak sampai pada tujuannya, yaitu tujuan akhir
yang erat terkait dengan etika atau moralitas. Tujuan akhir manusia yang
dimaksud adalah kembali kepada Sang Pencipta.
Secara ilmiah kematian terjadi saat berhentinya fungsi otak, dan
hal ini tidak mungkin diupayakan dengan bantuan atau cara canggih apa
pun. Memang kematian otak juga bertingkat, mati sebagian dan mati
keseluruhan.
Kematian otak dapat dipastikan dengan alat pencatat fungsi otak
(EEG) dan gejala-gejala seperti: tidak ada reaksi pupil mata terhadap
cahaya. Tidak adanya refleks tenggorokan terhadap air, tidak adanya
refleks lutut dan siku terhadap pukulan ringan, menurunnya tekanan darah
terus-menerus walaupun ada usaha menaikkan dengan vasopressor drugs
dalam dosis tinggi, dan tidak adanya pernafasan walaupun dibantu dengan
pernafasan buatan.

17
Walaupun kematian dapat menghantarkan manusia ke dalam
kebahagiaan kekal atau kebahagiaan sejati, orang tetap tidak etis untuk
membunuh, baik membunuh diri sendiri maupun membunuh orang lain,
tanpa alasan yang sah. Ada yang berpendapat pembunuhan sah, bila: (a)
ditentukan dalam undang-undang, (b) menderita sakit berat yang tidak
mungkin disembuhkan, (c) sudah terlalu tua dan menjadi beban hidup
keluarga yang disebut euthanasia langsung (penghentian kehidupan secara
sengaja karena belas kasihan). Ada kecenderungan umum untuk tidak
menghalalkannya. Yang dapat diterima secara moral adalah euthanasia
tidak langsung, yaitu usaha yang akhirnya mengakibatkan atau
mempercepat kematian, walaupun sebenarnya tidak diinginkan. Yang
termasuk euthanasia tidak langsung, yaitu: (a) orang sakit tidak berobat
karena miskin, (b) menderita kanker ganas minum analgetik untuk
mengurangi rasa sakit yang berat, dan berakibat mempercepat kematian.
Ada kalanya penderita sakit tersebut tidak ingin mati, tetap bersemangat
untuk hidup, walaupun jelas tidak ada kemunkinan untuk tetap hidup.
Dalam hal ini perlu pendampingan rohani agar orang siap untuk
meninggal, dan meninggal dalam kedamaian.

18
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Seks dan seksualitas merupakan “pedang bermata dua”, di satu sisi
bila dilaksanakan dengan tepat membuat manusia berkarya suci dan luhur, di
sisi lain bila dilaksanakan secara tidak tepat menjadi orang yang tercela.
Perkawinan merupakan kesiapan manusia untuk menjadi sarana Allah
dalam menciptakan umat manusia. Oleh karena itu perkawinan harus
disiapkan secara matang dan dewasa sehingga mampu menghindari ekses-
ekses negatif, seperti: poligami, poliandri, perceraian, dan penyelewengan
atau perselingkuhan.
Moral seksual bermuara pada moral perkawinan dan selanjutnya
moral seksual dan moral perkawinan bermuara pada moral hidup. Moral
hidup harus sudah ditegakkan sejak ketika manusia masih dalam wujud
embrio, masa kehamilan, setelah kelahiran dan persiapan menghadapi
kematian. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan jumlah rasio anak dengan
tingkatan ekonomi/ kekayaan, kesiapan mental spiritual dalam memenuhi
segala kebutuhan anak. Jadi kesiapan orang tua tidak hanya pada ranah siap
mengandung dan melahirkan saja, tetapi juga pada menjamin kebahagian
anak setelah hadir ke dunia secara lahir dan batin.

B. Saran
Berdasarkan pembahasan materi pada bab sebelumnya, maka dapat
diajukan saran sebagai berikut
1. Moral seksual menjadi taggung jawab bersama, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan lembaga-lembaga terkait. Maka perlu adanya pemahaman
untuk seluruh masyarakat, bagaimana cara mengantisipasi dan bagaimana
penyelesaiannya ketika ada penyimpangan perilaku seksual yang terjadi
pada anggota keluarganya. Dalam hal ini pemerintah dan lembaga-
lembaga lain juga harus tegas dalam membuat aturan perundang-
undangan, termasuk tanyangan-tayangan televisi atau youtube, juga perlu
peran pemerintah untuk mengontrol tayangan yang layak dikonsumsi
masyarakat luas terutama anak-anak. Karena ini akan berdampak pada
perilaku sehari- hari.
2. Begitu pula pada moral perkawinan dan moral hidup, untuk masyarakat
secara umum ketika memutuskan untuk membina sebuah rumah tangga,
sebaiknya jangan hanya didasari rasa cinta saja, harus dilihat juga sisi baik
dan buruknya dari pasangan, agar tidak terjadi masalah atau hal-hal yang
tidak diinginkan, begitu pula dengan pemerintah (KUA) harus lebih
memaksimalkan konseling pra-nikah, sebagai bekal pasangan untuk
menuju biduk rumah tangga.
3. Dan bila perlu pemerintah melalui KUA memberikan layanan Tes
Psikologi bagi mereka yang akan menikah, agar bisa dilihat bagaimana
emosi dari kedua pihak, agar ketika dalam rumah tangganya terjadi
permasalahan tidak terjadi tindakan kekerasan, baik dari suami, isteri atau
anak yang menjadi korban.

20
PUSTAKA

Ysh, Soegeng & Abdullah, Ghufron. 2016. Landasan Kependidikan (Jilid 2).
Yogyakarta. Magnum Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai