Anda di halaman 1dari 24

TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA

INTOKSIKASI OPIOID

Oleh:
Putu Angga Dharmayuda
dr. I Gede Budiarta,SpAn.KMN

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017

i
iii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……………………………………………………………….... i


Kata Pengantar ……………………………………………………………... .... ii
Daftar Isi.............................................................................................................. iii
BAB I Pendahuluan ........................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................................... 3
2.1 Opioid............................................................................................................ 3
2.2 Farmakokinetik ............................................................................................. 3
2.3 Farmakodinamik ........................................................................................... 4
2.4 Dosis Terapi .................................................................................................. 6
2.5 Dosis Toksik ................................................................................................. 7
2.6 Opioid Tolerance ........................................................................................... 7
2.7 Opioid Dependence ....................................................................................... 7
2.8 Opioid Addiction........................................................................................... 7
2.9 Opioid Withdrawal ........................................................................................ 8
2.9.1 Skala PEngukuran ......................................................................... 8
2.9.2 Tanda dan Gejala ........................................................................... 10
2.10 Overdosis .................................................................................................... 10
2.10.1 Tanda dan Gejala ......................................................................... 10
2.11 Penanganan ................................................................................................ 11
BAB III Simpulan dan Saran .............................................................................. 14
BAB I

PENDAHULUAN

Overdosis obat merupakan hal penting untuk dipahami saat ini karena telah
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Peningkatan ketersediaan opioid memiliki
peran dalam peningkatan jumlah overdosis dan kematian akibat opiod, tercatat pada
tahun 1999 sampai 2010 terjadi peningkatan dari 4000 menjadi lebih dari 16.000
ketersediaan. Di dekade terakhir ini, peningkatan overdosis obat mulai menjadi
masalah global karena cukup berperan menyebabkan kematian. Kematian akibat
overdosis obat memiliki angka yang cukup tinggi di dunia, opioid merupakan salah
satu obat yang memiliki angka kematian yang cukup tinggi akibat overdosis. Pada
tahun 2010, disebutkan terdapat 99.000 sampai 253.000 kematian yang berkaitan
dengan overdosis opioid. Pada tahun 1999 sampai 2010 terjadi peningkatan
penjualan opioid sebesar empat kali lipat dan ditahun yang sama sampai 2009
terjadi juga peningkatan sebesar enam kali lipat terhadap penyalahgunaan opioid
yang berujung pada overdosis.. Setiap tahunnya, diperkirakan terjadi 70.000 sampai
100.000 angka kematian akibat overdosis opioid. Sebagian besar kasus overdosis
opioid dikaitkan dengan konsumsi yang illegal dan penyalahgunaan yang telah
diresepkan oleh praktisi kesehatan.1-3

Di Amerika, terjadi peningkatan hampir tiga kali lipat pada tahun 1999
sampai 2014 kematian akibat overdosis obat. Di tahun 2014, angka kematian akibat
opioid sebesar 28.647 (63,1%) dari 47.055 kejadian overdosis akibat obat.
Sedangkan pada 2015, terdapat 52.404 kematian akibat overdosis obat dimana
opioid memiliki jumlah kematian sebesar 33.091 (63.1%).1-3 Di Alaska pada tahun
2012, kematian akibat opiod lebih dari dua kali lipat kejadian di Amerika yaitu 10,5
berbanding 5,1 per 100.000 orang. Dan selama tahun 2009 sampai 2015, tercatat
774 kasus kematian akibat overdosis obat dan 512 (66%) diakibatkan oleh opiad.

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat secara objektf adanyai angka


kematian dan penyalah gunaan dari opioid yang cukup tinggi di dunia. Selain itu
American Heart Asossiation telah mengeluarkan update guide lines resusitasi
kardio pulmoner baru tahun 2015, yang merekomendasikan kemungkinan untuk
memikirkan overdosis opiod pada pasien dengan pernapasan yang tidak adekuat

4
5

namun memiliki denyut nadi yang cukup. Dapat disimpulkan bahwa tingginya
toksisitas dan penyalahgunaan opioid yang tinggi sangat menimbulkan morbiditas
dan mortalitas bagi pasien dan menjadi beban bagi negara dalam pengobatan dan
rehabilitasi. Keadaan ini sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut guna memahami
toksisitas dan penyalahgunaan opioid agar lebih waspada dan mampu memberi
penanganan yang adekuat terhadap toksistas dari opioid guna meningkatkan
survival dan kualitas hidup dari pasien.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 OPIOID

Aktivasi reseptor opioid menyebabkan penghambatan neurotransmisi


sinaptik dalam sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf perifer (PNS). Opioid
mengikat dan meningkatkan neurotransmisi di tiga kelas utama dari reseptor opioid.
Efek fisiologis opioid dimediasi terutama melalui µ dan reseptor kappa dalam SSP
dan saraf tepi. Reseptor µ memberikan efek analgesia, euforia, depresi pernapasan,
dan miosis, sedangkan reseptor kappa memilii efek analgesia, miosis, depresi
pernapasan, dan sedasi. Dua reseptor opioid lain yang memediasi efek opioid
tertentu, yaitu δ. Reseptor Sigma memediasi disforia, halusinasi, dan psikosis.

Antagonis opioid (misalnya, nalokson, nalmefene, naltrexone) memiliki


efek berlawanan dengan keempat reseptor opiate tersebut. Opioid diklasifikasikan
menjadi alami, semi-sintetis, sintetis. Opioid mengurangi persepsi nyeri, bukan
menghilangkan atau mengurangi stimulus yang menyakitkan. Merangsang sedikit
euforia, agonis opioid mengurangi sensitifitas terhadap rangsangan eksogen.
Opioid mudah diserap pada gastrointestinal dan mukosa pernafasan.

Efek maksimal umumnya dicapai dalam 10 menit dengan pemberian secara


intravena, 10-15 menit melalui hidung secara dihirup (misalnya, butorphanol,
heroin), 30-45 menit secara intramuskular, 90 menit secara oral, dan 2-4 jam
melalui aplikasi dermal (yaitu, fentanil). berdasarkan dosis terapi, kebanyakan
penyerapan terjadi di usus kecil. Dosis toksisitas mungkin terjadi bila penyerapan
tertunda oleh karena pengosongan lambung tertunda dan terlambatnya motilitas
usus.

Kebanyakan opioid dimetabolisme oleh konjugasi hati dan kemudian


diekskresikan melalui urin. Beberapa opioid (misalnya, fentanyl, buprenorfin) lebih
mudah larut dalam lemak dan dapat disimpan dalam jaringan lemak tubuh. Semua
opioid memiliki durasi aktivasi yang memanjang pada pasien dengan penyakit hati
(misalnya, sirosis) karena metabolisme hepatik terganggu. Hal ini dapat
menyebabkan akumulasi obat dan menyebabkan toksisitas opioid. Gangguan fungsi
ginjal dapat menyebabkan efek toksik dari akumulasi obat atau metabolit aktif.
7

2.2 FAMAKOKINETIK5

Absorpsi

Sebagian besar diserap secara baik bila diberikan secara subkutan,


intramuscular, oral, maupun intravena. Akan tetap, oleh arena first-pass effect,
dosis oral dari opioid harus ditingkatkn dibandingkan dengan pemberian secara
parenteral untuk menimbulkan efek terapi.

Distribusi

Distribusi dari opioid dari berbagai organ dan jaringan sangat bervariasi
dipengaruhi oleh fisiologi dan berbagai faktor kimia. Walaupun opioid terikat
dengan protein plasma dengan affinitas yang bervariasi. Namun opioid secara cepat
meninggalkan kompartemen darah dan kemudian terkonsentrasi secara tinggi di
otak, paru, ginjal, dan limpa.

Metabolisme

Opioid akan dikonversi dalam jumlah besar ke metabolism polar untuk


dipersiapkan diekskresi melalui ginjal. Pengggunaan dalam jangka waktu panjang
atau melibihi dosis akan menyebabkan terjadi penumpukan pada ginjal dan
akhirnya menyebabkan terganggunya metabolism.

Eskresi

Metabolik polar dari konjugat glukoronil kemudian diekskresi melalui urin.


Selain itu hasil konjugat dari opioid akan diekskresikan sebagian kecil melalui
empedu melalui sirkulasi entero hepatik.

2.3 FARMAKODINAMIK5

Mekanisme Kerja
8

Opoid agonis menghasilkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor


specific G protein-coupled yang berada di otak dan medulla spinalis yang
berhubungan pada proses transmisi dan modulasi dari nyeri.

1. Tipe Reseptor

Tiga golongan utama reseptor opioid (µ,δ,κ) berada pada sistem saraf dan
jaringan yang berbeda. Setiap reseptor utama tersebut mampu meggandakan
diri tetapi hanya mampu menjadi salah satu subtipe saja. Ketiganya
merupakan bagian dari reseptor G protein-coupled dan merupakan
serangkaian asam amino homologi. Penduplikasian dari masing-masing
reseptor tersebut memiiki efek farmakologi yang berbeda oleh karena opioid
memiiki potensi sebagai agonis, semi-agonis, atau antagonis.5

2. Aksi Sel

Di level molekuler, reseptor opiod berpasangan dengan G protein dan


memberikan efek sebagai ion channel gating, memodulasi perpindahan
intraseluler CA2+, dan meningkatkan fosfolirasi protein. Opioid memiliki
dua G protein-coupled langsung yang cukup baik di neuron ; (1) menutup
pintu aliran CA2+ pada saraf terminal presinap dan mengakibatkan
penurunan pelepasan transmitter, (2) hiperpolarisasi dan mencegah neuron
postsinap dengan cara membuka saluran K+.

3. Hubungan Efek Fisiologi dengan Tipe Reseptor

Reseptor µ-opioid merupakan reseptor primer opioid. Analgetik, euforia,


depresi pernafasan, dan ketergantungan fisik terhadap morfin merupakan
hasil reaksi di reseptor µ.

4. Toleransi dan Dependensi

Dengan penggunaan dosis terapi berulang, akan terjadi penurunan efek


secara bertahap yang kemudian akan menimbulkan adanya toleransi. Untuk
mendapat efek yang sama, maka dosis obat ditingkatkan. Bersamaan dengan
adanya toleransi, secara perlahan ketergantungan fisik berkembang,
ketergantungan tersebut didefinisikan sebagai adanya gejala putus obat
9

apabila dilakukan pemberhentian penggunaan obat atau memberikan


antagonis dari obat tersebut. Keadaan ini diduga terjadi akibat adanya suatu
konsep reseptor recycling. Secara normal, aktivasi dari reseptor µ opioid
akan mengasilkan endositosis yang diikuti oleh resensitisasi dan recycling
dari reseptor menuju membran plasma. Pada keadaan toleransi ini terjadi
kegagalan opioid untuk melakukan induksi endositosis dari µ-opioid
reseptor. Sehingga menimbulkan keadaan toleransi dan dependensi.

Efek Sistem Organ

1. CNS

Bergabungnya µ reseptor ke sistem saraf pusat menimbulkan


manifestasi analgesia, euforia, sedasi, dan depresi nafas. Penggunaan
berulangan akan meningkatkan derajat toleransi dan menimbulkan manifest
tersebut.

a. Analagesik -> Nyeri terdiri dari sensori dan komponen afektif


(emosi). Opioid memiliki kemampuan yang unik karena mampu
mengurangi perasaan nyeri pada kedua aspek tersebut terutama pada
aspek afektif. Tidak seperti NSAID.

b. Euforia -> Memberikan sensasi melayang dengan menurunkan


kecemasan dan kesedihan. Terkadang dapat juga menyebabkan
disforia atau perasaan tidak menyenangkan yang disebabkan oleh
kurangnya istirahat dan rasa lemas.

c. Sedasi -> Rasa mengantuk dan berkabut merupakan efek opioid


yang umum, terkadang ada sedikit atau tidak ada amnesia. Efek tidur
lebih bermanifes pada orang tua dibandingkan pada anak muda dan
orang sehat. Saat mendapatkan efek tertidur, akan mudah
dibangunkan.

d. Depresi nafas -> disebabkan dengan cara menghambat mekanisme


respirasi di batang otak. Pco2 Alveoli mungkin menigkat, tetapi
terjadinya penekanan pada respon pada carbon dioxide challenge
merupakan indikator yang jelas pada depresi nafas yang terjadi.
10

e. Penekanan Batuk -> penekanan reflek batuk merupakan efek


opioid yang cukup terlihat. Tetapi, penekanan batuk dapat
menyebabkan penumpukan sekresi dan mampu menyebabkan
obstruksi jalan nafas dan atelektasis.

f. Miosis -> dapat dilihat secara visual. Merupakan reaksi farmakologi


dimana terjadi sedikit atau tidak sama sekali keterlibatan toleransi.
Ini sangat berguna untuk mendiagnosis overdosis opioid.

g. Truncal rigidity -> peningkatan tonus pada area tengkuk disebabkan


oleh mekanisme kerja obat pada regio supraspinal. Peningkatan
tonus area tengkuk menyebabkan penurunan compliance dinding
dada dan menyebabkan gangguan ventilasi. Hal ini muncul apabila
dilakukan pemberian opioid larut lemak dengan dosis sangat tinggi.
Untuk mencegah rigiditas tengkuk, dapat digunakan obat blokade
neuro muskuler.

h. Mual dan muntah -> analgesia opioid dapat mengaktifasi


kemoreseptor trigger zone di batang otak untuk menyebabkan mual
dan muntah.

i. Suhu -> regulasi homeostatis dari temperatur tubuh dimediasi oleh


peptida endogen opioid di otak.

2. Perifer

a. System kardiovaskuler -> kebanyakan opioid tidak memiliki efek


pada jantung, selain bradikardi. Tekanan darah biasanya terkontrol
dengan baik. Analgesik opioid hanya memiliki dampak minimal
pada sistem kardiovaskuler kecuali, ada depresi nafas yang
menyebabkan peningkatan Pco2.

b. Saluran gastrointestinal -> konstipasi merupakan efek dari opioid,


efek terebut tidak akan berkurang meskipun penggunaannya
berlanjut. Reseptor opioid banyak terdapat pada saluran
gastrointestinal, dan konstipasi terjadi karena opioid dimediasi
11

melalui sistem saraf enterik. Terjadi penurunan motilitas dan


peningkatan tonus.

c. Saluran bilier -> opioid berinteraksi dengan otot polos bilier


menyebabkan kolik bilier. Terjadi konstriksi spingter oddi
menyebabkan refluk bilier dan sekresi pankreas dan peningkatan
amilase dan lipase.

d. Ginjal -> opioid menekan fungsi ginjal, menyebabkan menurunnya


aliran plasma pada ginjal. Mekanisme yang mungkin terlibat pada
CNS dan saraf tepi.

e. Uterus -> memperpanjang kehamilan, mekanisme masih belum


jelas kemungkinan karena opioid mengurangi tonus uterus.

f. Neuroendokrin -> opioid menstimulasi pelepasan ADH, prolaktin,


dan somatotropin tapi menghambat pelepasan hormon lutenizing.

g. Gatal -> dosis terapi opioid dapat menimbulkan kemerahan dan rasa
hangat pada kulit yang diikuti dengan berkeringat dan sensasi gatal.
Efek tersebut diakibatkan pelepasan histamin pada CNS dan perifer.
Pemberian secara parenteral lebih sering menimbulkan pruritus dan
terkadang juga timbul urtikaria.

2.4 DOSIS TERAPI

Immediate releae.6

- Dosis awal : 15 - 30 mg per oral setiap 4 jam sesuai kebutuhan

10 - 20 mg per oral setiap 4 jam sesuai kebutuhan

- Toleran-opioid : 100 mg per 5 ml (20 mg/mL)

Extended-release.6
12

- Dosis awal : 30 mg per oral setiap 24 jam

- Toleransi-opioid : 1 – 2 kali per hari

Subkutis/Intra Muskuler.6

- Dosis awal : 10 mg (5 – 20 mg) setiap 4 jam sesuai kebutuhan

Intra Vena.6

- Dosis awal : 4 – 10 (5 – 15 mg) mg setiap 4 jam secara perlahan 4 – 5


menit

o Dosis harian : 12 – 120 mg

Epidural.6

- Dosis awal : 5 mg untuk 24 jam -> 1 jam pertama belum menghilangkan


nyeri, dipertimbangkan menambahkan dosis 1 – 2 mg (dosis maksimal
perhari 10 mg)

Anak-anak.6

- Subkutis : 0,1 – 0,2 mg per kg berat badan (maksimal 15 mg per


dosisnya)

- Intra Vena : 50 – 100 mcg per kg berat badan -> injeksi secara perlahan
( maksimal 10 mg perdosis)

2.5 DOSIS TOKSIK7

Lebih dari 98 MME/day.

2.6 OPIOID TOLERANSI

Penurunan efektifitas obat -> pemberian dosis terapiutik atau


penyalahgunaan berulang. Dosis harus ditingkatkan untuk mencapai efek yang
diharapkan atau sama.5

2.7 OPIOID DEPEDENCE

Setelah toleransi, timbul physical dependence yaitu, terjadi perubahan cara


kerja pada tubuh setelah penggunaan obat yang cukup lama karena normalnya
13

tubuh mampu menghasilhkan opioid endogen secara mandiri, tapi karena toleransi
meningkat menyebabkan tubuh bergantung pada sumber eksternal. Perubahan
tersebut bisa menimbulkan withdrawal atau abstinence syndrome. Physical
dependence saat ini disebut dengan dependence. Toleransi dan depdence
sesungguhnya sesuatu yang bisa dikatakan normal setelah pengkonsumsian opioid
untuk jangka waktu yang lama.

2.8 OPIOID ADDICTION

Physiological dependence saat ini disebut sebagai addiction. Addiction


ditandai dengan ketidak mampuan mengontrol keinginan, motivasi atau hasrat yang
tinggi untuk mendapatkan dan menggunakan obat tanpa memikirkan efek negatif
yang timbul. Susah diobati karena memiliki resiko tinggi untuk kembali lagi
menjadi addiction dengan adanya pemicu salah satu dari tiga kondisi berikut :
terpapar kembali dengan obat yang membuat addiction sebelumya, stress, atau
bertemu dan melakukan kontak dengan pengguna obat lainnya. Saat ini, gejala yang
mengarahkan ke addiction hanya kecemasan yang berlebih. Ini merupakan ketidak
normalan mekanisme yang terjadi dan digolongkan sebagai penyakit.

2.9 OPIOID WITHDRAWAL

Ketika dilakukan penghentian penggunaan obat atau tiba-tiba berhenti


setelah menggunakan obat beberapa minggu atau lebih dengan jumlah yang banyak,
maka akan muncul gejala yang semakin nyata. Inilah yang disebut withdrawal.

2.9.1 SKALA PENGUKURAN

Skala pengukuran ini dilengkapi dengan identitas, tanggal dan nama


pemeriksa. Dicatat juga waktu dilakukannya pengukuran dan waktu terakhir
mengkonsumsi obat.

Resting Pulse Rate: (record beats per minute)


Measured after patient is sitting or lying for one minute
0 pulse rate 80 or below
1 pulse rate 81-100
14

2 pulse rate 101-120


4 pulse rate greater than 120

Sweating: over past ½ hour not accounted for by room


temperature or patient activity.
0 no report of chills or flushing
1 subjective report of chills or flushing
2 flushed or observable moistness on face
3 beads of sweat on brow or face
4 sweat streaming off face

Restlessness Observation during assessment


0 able to sit still
1 reports difficulty sitting still, but is able to do so
3 frequent shifting or extraneous movements of legs/arms
5 Unable to sit still for more than a few seconds

Pupil size
0 pupils pinned or normal size for room light
1 pupils possibly larger than normal for room light
2 pupils moderately dilated
5 pupils so dilated that only the rim of the iris is visible

Bone or Joint aches If patient was having pain


previously, only the additional component attributed
to opiates withdrawal is scored
0 not present
1 mild diffuse discomfort
2 patient reports severe diffuse aching of joints/ muscles
4 patient is rubbing joints or muscles and is unable to sit
still because of discomfort

Runny nose or tearing Not accounted for by cold


symptoms or allergies
0 not present
1 nasal stuffiness or unusually moist eyes
2 nose running or tearing
4 nose constantly running or tears streaming down cheeks
15

GI Upset: over last ½ hour


0 no GI symptoms
1 stomach cramps
2 nausea or loose stool
3 vomiting or diarrhea
5 Multiple episodes of diarrhea or vomiting

tremor observation of outstretched hands


0 No tremor
1 tremor can be felt, but not observed
2 slight tremor observable
4 gross tremor or muscle twitching

Yawning Observation during assessment


0 no yawning
1 yawning once or twice during assessment
2 yawning three or more times during assessment
4 yawning several times/minute

Anxiety or Irritability
0 none
1 patient reports increasing irritability or anxiousness
2 patient obviously irritable anxious
4 patient so irritable or anxious that participation in the
assessment is difficult

Gooseflesh skin
0 skin is smooth
3 piloerrection of skin can be felt or hairs standing up on
arms
5 prominent piloerrection

Total scores
16

Score withdrawal:
5-12 = ringan;
13-24 = sedang;
25-36 = sedang berat;
> 36 = berat

2.9.2 TANDA dan GEJALA

• Awal

o Agitasi

o Anxietas

o Produksi air mata meningkat

o Insomnia

o Pilek

o Berkeringat

o Mengantuk

• Terlambat

o Kram perut

o Gooseflesh skin

o Pupil dilatasi

o Mual muntah

Gejala akan menimbulkan rasa tidak nyaman tetapi tidak mengancam


nyawa. Biasanya timbul 12 jam sampai 30 jam awal setelah penggunaan.

2.10 OVERDOSIS
17

Kondisi dimana mengkonsumsi opioid melebihi dosis atau penggunaan


yang seharusnya, biasanya bersifat akut dan mengancam nyawa.5,8

2.10.1 TANDA dan GEJALA

Overdosis opioid menimbulkan toxidrome, tanda dan gejala yang umum


dan utama yang ditimbulkan yaitu :

• Pupil bulat kecil (pinpoint pupils)

• Deprsi pernafasan

• letargia

Tingkat keparahan toxidrome yang ditimbulkan berbeda-beda tergantng


dari dosis dan toleransi terhadap opioid tersebut. Depresi nafas merupakan
manifestasi emergensi yang paling utama perlu diperhatikan. kemudian
toksisitas juga menimbulkan gejala tambahan seperti :

• mual muntah

• esophagitis atau gastritis

• dizziness

• peningkatan atau penurunan tekanan darah

• kejang (seizures)

• megantuk -> pusing -> tidak sadar

• organ damage -> hati dan ginjal

• diare

• disforia

• lakrimasi

• ereksi involunter rambut (piloerection)

• pengelupasan kulit seperti kulit angsa (gooseflesh)


18

2.11 PENANGANAN

Penanganan perlu dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya


efek yang lebih serius meskipun overdosis opioid belum menimbulkan tanda dan
gejala.

Penangnan yang bisa dilakukan berupa :8,12-16

• bila pasien apnea, berikan bantuan farmakologis atau mekanik untuk


menstimulasi pernafasan

• bila laju pernafasan ≤ 12 per menit, lakukan chin-lift, jaw-thrust kemudian


pasang ventilasi dengan bag-valve mask.

• Berikan antidote

o Naloxone -> opioid antagonis, berikatan dengan reseptor opioid


membalikkan dan memblok efek dari opioid dengan onset kerja 1-2
menit. Half-life 20-60 menit dengan durasi 2-3 jam.

▪ Ada tiga cara penggunaan naloxone :

• Injeksi

o Sediaan yang tersedia dalam 1 vial : 0,4 mg/ml; 1


mg/ml; 0,4 mg/10 ml

o Untuk injeksi IM biasanya 1 mg/ml sedangkan


untuk IV biasanya 0,4 mg/ml

o Gunakan jarum 1 – 1 ½ inch

o Injeksi pada otot paha, bokong bagian luar, bahu


(paling baik di bahu)

o Bila tidak tersedia IM needle, gunakan jarum


yang lebih kecil kemudian injeksikan IV atau
subkutis
19

o Bila melalu akses IV, bolus secara perlahan


kurang lebih selama 30 detik dengan dosis yang
sudah ditentukan (0,4 – 2 mg)

• Autoinjeksi

o Alat ini di setujuti tahun 2014

o Mudah dipakai, ada pengaturan suara untuk


mengikuti instruksi penggunaan

o 0,4 mg/0,4 ml

o Siap pakai dengan single dose 2 mg dan dengan


jarum yang bisa dimasukkan kemabali

o Injeks secara IM dan tahan selama 5 detik

• Nasal

o Tarik penutup kuning pada syringe

o Buka tutup merah pada tabung naloxone

o Pasang ujung penyemprot (berwarna biru) ke


syringe

o Secara gentle masukkan sambil memutar tabung


naloxone dari belakang

o masukkan alat yang sudah terpasang ke lobang


hidung dan semprotkan 1 cc di kanan dan 1 cc di
kiri

▪ Dosis penggunaan naloxone

• Neonatus -> 0,1 mg/kg dengan depresi nafas dan dengan


ibu yang menggunakan opioid selama 4 jam melahirkan

• Anak

o <5 tahun atau <20 kg -> 0,1 mg/kg (IV/IM)


20

o >5 tahun atau >20 kg -> 2 mg

• Dewasa

o 0,4 – 2 mg

o Dapat diulang setiap 2 – 3 menit sampai tercapai


target atau maksimal 10 mg

▪ Observasi minimal 2 jam setelah pemberian dosis terakhir

• Reaksi imun -> reaksi alergi (biasanya pada daerah


suntikan)

• Sistem saraf -> pupil kembali miosis

• Jantung -> bradikardi

• Paru-paru dan pernafasan -> nafas mulai spontan

• Gastrointestinal -> bising usus kembali

• kulit -> kemrahan, pruritus

▪ Efek samping yang mungkin ditimbulkan yaitu :

• Nyeri, rasa terbakar, kemerahan pada tempat injeksi

• Berkeringat

• Denyut jantung yang ireguler

• Halusinasi

• Kehilangan kesadaran

• Kejang

• Tanda opioid withdrawal

• Menangis dengan kuantitas lebih dan peningkatan reflek


pada bayi

• Edema paru
21

o Peningkatan respon simpatis yang cepat :


pelepasan katekolamin akan meningkatkan
cardiac Output dan tekanan pulmonal

o Kebocoran kapiler paru : akumulasi cairan paru


dengan konsentrasi protein yang tinggi dan
mungkin berkaitan juga dengan pelepasan
histamine di jaringan paru dan vaskuler

o Tekanan negatif paru akut : bila ada obstruksi


saluran nafas atas

▪ Secret di jalan nafas

▪ Glotis yang tertutup

▪ Efek opioid yang melemahkan glotis

o Naltrexone -> opioid antagonis yang lebih baru, half-life lebih lama dari
naloxone yaitu 4-8jam atau 8-12 jam

▪ Tidak direkomendasikan untuk pasien yang tidak sadar

▪ Bisa digunakan untuk opioid withdrawal

o Methadone -> golongan narkotika kerja panjang yang sering digunakan


untuk melemahkan gejala withdrawal dan biasanya digunakan untuk
opioid dependence atau opioid addiction.

▪ Untuk detoksifikasi -> 20-30 mg PO, bisa di titrasi menjadi 40


mg per hari yang dibagi menjadi beberapa dosis dan diberikan
selama 2-3 hari.

▪ Digunakan setelah detoksifikasi dimana pasien bebas opioid


untuk 7-10 hari

• Per-oral : 25 mg untuk dosis awal -> observasi 1 jam; 50


mg dimulai dari hari kedua.
22

• Intra Muskular : 380 mg di injeksi pada otot gluteal


setiap 4 minggu.

• Menggunakan arang aktif (activated charcoal) -> Dilakukan dalam waktu 1 jam
pertama sebagai GI dekontaminasi jika pasien diketahui intoksikasi dengan
cara mengkonsumsi opioid secara oral

• Kubah lambung (Whole-bowel irrigation) -> bisa dipertimbangkan dilakukan


untuk menghilangkan bahan aktif yang ada pada pencernaan.

Berdasarkan profil farmakologis dari opioid, aktivasi dari µ reseptor


menyebabkan suatu dose dependence yang melakukan depresi terhadap sistem
respirasi melalui hambatan primer pada pusat nafas di batang otak, sehingga pada
suatu keadaan dimana antidote tidak tersedia maka kita dapat melakukan dukungan
ventilasi untuk menjaga breathing dari pasien yang kemudian dilakukan hingga
obat tersebut sepenuhnya tereleminasi oleh tubuh melalui sistem genitourinary
track.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

1. Opioid merupakan kelompok obat yang sering digunakan sebagai analgesia


untuk penanganan nyeri, biasanya nyeri derajat berat

2. Tahapan yang mungkin terjadi sebelum terjadinya overdosis yaitu,


Tolerance, Dependence, withdrawal

3. Gejala utama overdosis opioid : pintpoint pupil, depresi pernafasan, letargia

4. Ada beberapa penangnan pada overdosis, tetapi menggunakan antidotum


terutama naloxone sangat disarankan. penggunaan secara tepat akan
meningkatkan survival pasien

3.2 SARAN

1. Kepada petugas medis agar tetap mempertimbangkan kemungkinan


intoksikasi opioid apabila menemukan ventilasi dengan tidak adequate
namun memiliki nadi yang cukup.

2. Peresepan dan peredaran dari opioid hendaknya menjadi suatu barang yang
sangat ketat dengan pemantauan penuh terhadap setiap penggunaannya
guna meminimalkan penyalah gunaan dari opioid.

3. Perlunya dilakukan suveilance secara berkala terhadap penggunaan opioid


di Indonesia oleh karena sangat minimalnya data yang tersedia.

23
24

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2013. Opioid Overdose: Preventing and Reducing Opioid Overdose


Mortality. United Nation Office on Drugs and crime.New York: United
Nation.

2. American Society of Addiction Medicine.2016. Opioid Addiction 2016 Fact


& Figure. United State: ASAM

3. Unick, GJ.,Rosenblum, D.,Mars, S.,Ciccarone, D.2013. Interwined


Epidemic: National Demographic Trends in Hospitalization. United State:
PLOS

4. Mclaughlin, J.,Castrodale, L. 2016. Drug Overdose Death in Alaska 2009-


2015. Alaska: State Of Alaska Epidemiology.

5. Katzung, BG.,Masters, SB., Trevor, AJ. 2012. Basic & Clinical


Pharmacology 12th Edition.New York: MC Graw Hill.

6. Kishner, S.,Windle, ML.2016. Opiod Equivalents and Conversions.

7. CDC. 2013. Calculation Total Daily Dose of Opioids for Safer


Dosage.United State.

8. Cline, DM., Ma, OJ., Cydulka, RK., et all.2012.Tintinallis Emergency


Medical Manual 7th Edition.New York: MC Graw Hill.

9. WHO. 2009. Guidelines for the Psychosocially Assisted Pharmacological


Treatment of Opioid Dependence.

10. Bovill, JG. 2001. Update on Opioid and Analgesic Pharmacology. IARS.

11. NAABT. 2016. Physical Dependence and Addiction. Unites State.

12. Boyer, EW. 2012. Management of Opioid Analgesic Overdose. United


State. NCBI.

13. Stephens, E. 2016. Opioid Toxicity Treatment & Management. US.


Medscape.
25

14. Busti, J., Hinson, J., Regan, L. 2015. Mechanism for Naloxone-Related
Pulmonary Edema in Opiate and Opioid Overdose Reversal. EBM.

15. Bansal, S., Khan, R. 2007. Naloxone-Induced Pulmonary Edem. America.


Chest Journal : American College of Chest Physicians.

16. Simmonds, M. 2015. Guideline for The Use of Naloxone in Adults.


England. NHS.

Anda mungkin juga menyukai