Anda di halaman 1dari 5

Perdagangan Luar Negeri (I) Pasar Bebas:

Dampak Dan Hukumnya


05 Mar 2009 in Headline, Tsaqofah 6 Comments

HTI-Press. Pemerintah melalui Menteri Perdagangan pada


tanggal 28 Februari 2009 lalu bersama sejumlah menteri Perdagangan ASEAN, Australia dan
New Zaeland telah menandatangani Persetujuan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-
Selandia Baru, atau AANZ-FTA (Asean, Australia, New Zealand Free Trade Area), yakni
perjanjian kerjasama untuk melakukan perdagangan bebas di antara negara-negara
tersebut.
Bahkan Menteri Perdagangan ASEAN juga telah membahas kerangka kerja penyusunan FTA
dengan Uni Eropa dan India.[1] Pokok dari perjanjian tersebut adalah masing-masing
negara akan menurunkan tarif bea masuk barang dan jasa dari negara-negara yang terlibat
perjanjian menjadi nol persen dengan tahapan-tahapan yang disepakati.
Pada perjanjian AANZA-FTA, sekitar 86 persen dari pos tarif Indonesia bertahap akan
menjadi nol persen pada 2015, atau sekitar 13 persen tarif menjadi nol persen pada
2009. Dari Australia, 92 persen jadi nol persen pada tahun pertama. Lebih dari 70 persen
pos tarif Selandia Baru juga langsung nol persen di tahun pertama. Sementara produk
peternakan, seperti daging dan susu, dari kedua negara itu dinolkan pada 2017-2020.[2]
Padahal jika dicermati perjanjian tersebut justru merugikan Indonesia. Selama ini misalnya
neraca perdagangan non migas Indonesia baik dengan Australia dan New Zealand selalu
negatif. Artinya tanpa perdagangan bebas pun, Indonesia lebih banyak mengimpor barang
dari kedua negara tersebut. Australia selama ini dikenal sebagai pemasok utama susu
daging sapi dan sejumlah bahan pangan ke Indonesia.
Jika tarif diturunkan menjadi nol persen maka dapat dipastikan ketergantungan pada impor
akan semakin tinggi. Sementara industri pertanian yang kini terseok-seok akibat gempuran
produk-produk impor akan semakin terpukul. Sekedar catatan hingga saat ini Indonesia
mengimpor sejumlah produk pertanian antara lain: gandum sebanyak 100% dari total
kebutuhan gandum dalam negeri, kedelai 61%, gula 31%, susu 70%, daging sapi 50%,
garam 66,% dan kapas sebanyak 80%.[3]
Belum lagi dampak free trade dalam bidang jasa. Sektor jasa seperti pendidikan, kesehatan
sangat berpotensi tergulung akibat kalah bersaing dengan negara-negara sekelas Australia
dan Singapura. Ide-ide dan budaya-budaya kufur dari negara-negara tersebut akan makin
mencengkram.
Jerat Negara Maju
Sejak isu globalisasi dihembuskan oleh negara-negara maju, liberalisasi baik perdagangan
dan investasi, telah menjadi spirit berbagai perjanjian dan kesepakatan ekonomi baik
bilateral seperti Japan Indonesia Economic Aggrement (JIEPA), maupun multilateral

Page | 1
seperti Asean Economic Community (AEC), APEC, NAFTA dan WTO. Ciri yang paling
menonjol dari perjanjian-perjanjian tersebut adalah menghilangkan secara bertahap
berbagai tarif dan hambatan perdagangan dan investasi.
Liberalisasi perdagangan yang digawangi WTO, IMF dan Bank Dunia sejatinya hanyalah
kendaraan bagi negara-negara maju untuk memperluas pasar mereka demi memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya di negara-negara berkembang dan negara-negara
miskin. Di sisi lain mereka enggan menerapkan aturan yang sama jika mengancam
perekonomian domestik mereka. Mereka akan melakukan proteksi terhadap industri-
industri mereka jika dianggap lemah baik dengan pengenaan tarif impor yang tinggi, subsidi
dan pensyaratan standar mutu yang tinggi bagi produk-produk impor serta berbagai
regulasi yang menghambat barang-barang impor masuk ke pasar domestik mereka. Sektor
pertanian negara-negara Uni Eropa misalnya hingga kini terus disubsidi melalui
pemberlakuan Common Agricultural Policy (CAP).
Jika ditelusuri sebenarnya negar-negara Industri dulunya juga memberlakukan tarif yang
tinggi untuk melindungi industri mereka. Pada tahun 1950 misalnya rata-rata tarif industri
Amerika dan Inggris masing-masing sebesar 14 dan 23 persen. Angka tersebut jauh lebih
tinggi dibandingkan tarif perdagangan Brazil (10,4%), China (12,3%) dan negara-negara
berkembang lainnya (8,1%) pada tahun 2001.[4] Dr Joon Change, pakar sejarah ekonomi
dari Cambridge University menyatakan bahwa AS baru melakukan liberalisasi dan mulai
memperjuangkan perdagangan bebas (free trade) setelah perang Dunia ke-2 ketika
kedigdayaan industrinya tidak lagi tertandingi.[5]
Perusahaan-perusahaan Mulitinational Corporates (MNCs) yang menguasai dua pertiga
perekonomian negara-negara maju, adalah yang paling diuntungkan dalam perdagangan
bebas ini. Hal ini secara gamblang dinyatakan oleh komisi perdagangan Uni Eropa, Peter
Mandelson:
“We want to liberalize trade and grow markets in which to sell European goods and
services. Multilateral negotiations offer the biggest prize in achieving this.” (kami ingin
meliberalisasi perdagangan dan menumbuhkan pasar agar dapat menjual berbagai
komoditas dan jasa Eropa. Negosiasi multilateral menawarkan hadiah yang besar untuk
mendapatkan hal tersebut).[6]
Padahal menurut penelitian yang dilakukan Mark Weisbrot dkk dalam Scorecard on
Globalization 1980-2000, globalisasi yang ditandai dengan perdagangan bebas justru
memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan
manusia. Pertumbuhan ekonomi dan sejumlah indikator kesejahteraan manusia seperti
tingkat harapan hidup, kelahiran bayi, dan tingkat pendidikan justru mengalami penurunan
sejak gencarnya globalisasi (tahun 1980-2000). Hal tersebut berkebalikan dengan tahun
1960-1980. Salah satu alasan yang mengemuka dalam penelitian tersebut adalah pada
tahun 1960-1980 banyak negara yang melakukan proteksi terhadap perekonomian untuk
melindungi pasar mereka dari pasar internasional. [7]
Haiti adalah contoh bagaimana liberalisasi perdagangan memakan korbannya. Negara yang
hingga dua puluh tahun lalu dapat memenuhi 95 persen kebutuhan berasnya dari produksi
domestik, kini malah dibanjiri beras AS yang mencapai 75 persen. Beras sendiri merupakan
produk yang mendapat subsidi besar-besaran dari pemerintah AS. Penyebabnya tarif impor
beras sebesar 35 persen yang selama ini membentengi petani Haiti, atas desakan IMF pada
tahun 1995 diturunkan hingga tiga persen. Akibatnya, kini hampir 50 persen penduduk Haiti
didera kemiskinan dan kekurangan pangan.[8] Petani-petani di India, Afrika Barat, Ghana,
dan sejumlah negara-negara berkembang lainnya termasuk Indonesia juga menjadi korban
akibat kebijakan liberasasi perdagangan ini.
Dengan demikian, menganggap kebijakan perdagangan bebas adalah sesuatu yang
menguntungkan bagi semua negara akan menyeret seseorang pada fallacy of
generalisation, kesalahan karena melakukan generalisasi pada kasus yang berbeda.
Sayangnya sejumlah ekonom dan pengambil kebijakan di negara-negara berkembang

Page | 2
termasuk di negeri ini telah mengamini konsep ini. Mereka terus mendukung dan
melakukan liberalisasi meski harus menumpas perekonomian negara mereka sendiri.
Akibatnya perdagangan bebas telah menjadi petaka bagi negara-negara berkembang.
Hukum Perjanjian Dalam Islam
Sebelum menjelaskan hukum dari perjanjian perdagangan bebas terlebih dahulu dipaparkan
secara global bagaimana aturan perjanjian luar negeri Khilafah Islam–satu-satunya bentuk
negara yang diakui dalam Islam–dengan negara lain.
Secara umum perjanjian negara Islam dengan negara kafir (dar al-harb) hukumnya mubah.
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
ٌ ‫صلُونَ إِلَى قَ ْو ٍم بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَ ُه ْم ِميثَا‬
‫ق‬ ِ َ‫إِاَّل الَّ ِذينَ ي‬
“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu
dan kaum itu telah ada perjanjian.” (QS al—Nisa’ [4]: 90).
‫سلَّ َمةٌ إِلَى أَ ْهلِ ِه‬
َ ‫ق فَ ِديَةٌ ُم‬
ٌ ‫َوإِنْ َكانَ ِمنْ قَ ْو ٍم بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَ ُه ْم ِميثَا‬
“Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya.” (QS al-Nisâ [4]: 92)
Demikian pula Rasulullah SAW misalnya melakukan perjanjian dengan Yuhanah bin Ru’bah
pemilik kota Ilah dan bani Dhamrah.
Syarat-syarat yang disepakati dalam perjanjian tersebut wajib ditunaikan oleh kaum
muslimin sebagaimana halnya negara lain yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
Rasulullah SAW bersabda:
‫المسلون عند شروطهم‬
“Kaum muslimin (wajib) terikat pada syarat-syarat yang mereka buat.”
Namun demikian syarat tersebut harus sejalan dengan Islam. Jika bertentangan maka isi
perjanjian tersebut harus ditolak dan haram terikat padanya. Perjanjian netralitas yang
bersifat permanen antara dua negara misalnya, yakni perjanjian untuk tidak saling
menyerang sepanjang masa, perjanjian untuk menetapkan daerah perbatasan secara
permanen tidak boleh disepakati. Ini karena perjanjian tersebut akan membatasi
pelaksanaan jihad fi sabilillah. Demikian pula perjanjian untuk menyewakan pangkalan
udara dan militer kepada negara-negara kafir juga tidak boleh ditandatangani. Ini karena
perjanjian tersebut akan memudahkan negara kafir menguasai negara Islam.[9] Rasulullah
SAW bersabda:
‫کل شرط ليس في کتاب هللا فهوباطل‬
“Semua syarat yang bertentangan dengan Kitabullah maka bathil.”
Adapun perjanjian luar negeri dalam bidang ekonomi, perdagangan dan keuangan maka
secara umum hukumnya mubah karena masuk dalam kategori hukum sewa atas barang
dan jasa (ijarah), jual-beli (bai’), dan pertukaran mata uang (sharf). Namun demikian jika
di dalam klausul perjanjian tersebut terdapat hal-hal yang bertentangan dengan syara’
maka tidak boleh disepakati dan ditindaklanjuti. Sebagai contoh kesepakatan untuk
mengekspor komoditi yang sangat vital bagi negara Islam, mengekspor komoditas yang
justru memperkuat negara lain sehingga dapat mengancam negara Islam atau perjanjian
yang merugikan industri-industri dalam negeri. Semua hal tersebut diharamkan karena
mengakibatkan bahaya (dharar) bagi ummat Islam. Hal ini didasarkan pada kaedah ushul:
‫کل فرد من ﺃفراد المباح ﺇﺫا کان يؤدي ﺇلی ضرر يمنع ﺫالك الفرد ويبقی الشيﺀ مباحا‬
“Setiap bagian yang masuk dalam kategori mubah jika mengantarkan pada dharar maka
bagian tersebut dilarang sementara bagian-bagian lain yang masuk dalam kategori tersebut
tetap mubah.”[10]
Hukum Perdagangan Bebas

Page | 3
Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum bahwa tujuan utama dari kebijakan liberalisasi
perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka
pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan negara-negara maju yang memiliki
superioritas atas negara-negara berkembang. Akibatnya negara-negara berkembang akan
terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi
lain kebijakan tersebut membuat negara-negara berkembang semakin sulit dalam
membangun fondasi ekonomi yang tangguh sebab mereka terus bergantung kepada
negara-negara industri. Dengan demikian mereka tidak akan pernah bergeser menjadi
negara industri yang kuat dan berpengaruh.[11]
Oleh karena itu beliau menegaskan haramnya untuk menerima konsep pasar bebas yang
dipropagandakan oleh Amerika dan negara-negara barat. Di samping secara faktual jelas-
jelas merugikan, sejatinya kebijakan tersebut tidak lain merupakan implementasi dari
konsep kebebasan memiliki (freedom of ownership) yakni kebebasan untuk memiliki dan
menguasai berbagai jenis komoditi.
Padahal di dalam Islam konsep kemilikan telah diatur dengan jelas. Seseorang individu
hanya berhak menguasai barang-barang yang masuk dalam kategori milkiyyah
fardiyyah. Sementara untuk kepemilikan umum (milikiyyah ‘ammah) dan negara
(milikiyyatu ad daulah) berada di tangan pemerintah yang dikelola untuk kemaslahatan
rakyat.
Di samping itu, pasar bebas pada faktanya merupakan alat bagai negara-negara kufur
mampu mencengkram dan mengontrol perekonomian negeri-negeri Islam. Padahal hal
tersebut secara tegas dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT:
‫َولَ ْن يَجْ َع َل هَّللا ُ لِ ْل َكافِ ِرينَ َعلَى ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َسبِي ًل‬
“Dan Allah tidak memperkenankan orang-orang Kafir menguasai orang-orang
beriman.” (QS al-Nisa [4]: 141)
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Syekh Taqiuddin An-Nabhany.
Menurutnya perdagangan luar negeri yang berbasis teori free market (hurriyatu al-
mubadalah) yakni perdagangan luar negeri antara negara dilakukan tanpa hambatan seperti
tarif bertentangan dengan Islam.
Alasannya perdagangan luar negeri merupakan hubungan antara negara Islam dengan
negara lain berada dalam tanggungjawab negara. Sebagaimana difahami bahwa negara
memiliki otoritas untuk mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain
termasuk hubungan antara rakyatnya dengan rakyat negara lain, baik dalam bidang
ekonomi, perdagangan ataupun yang lainnya. Oleh karena itu perdagangan luar negeri
tidak dibiarkan bebas tanpa kontrol.
Di samping itu negara Islam memiliki otoritas untuk mengizinkan atau melarang komoditas
tertentu untuk diekspor. Syara’ juga telah memberikan tanggangjawab kepada negara
untuk mengatur pedagang ahlu al-harb dan mu’ahid. Termasuk dalam hal ini memberikan
pelayanan kepada rakyatnya yang berdagang baik di dalam maupun di luar negeri.[12]
Alhasil, dalam membuat berbagai perjanjian kerjasama perdagangan dengan negara lain
negara Khilafah Islamiyyah—yang insya Allah akan tegak dalam waktu yang tidak lama
lagi–wajib terikat pada syariat Islam dan sedikitpun tidak boleh menyimpang darinya.
Berbeda dengan negara ini yang telah menyimpang jauh dari syariah Islam. Wal-Lâh
a’lam bi al-shawâb. Bersambung. (Muhammad Ishaq – Lajnah Tsaqafiyyah HTI).

[1] “Perdagangan Bebas ASEAN-India Difinalisasi”,  Kompas, 29/8/08


[2] “Minta Manfaat Tambahan”, Kompas 28/2/09
[3] “Impor produk pertanian masih tinggi”, Bisnis Indonesia, 10/2/09
[4] Action Aid international,Trade Invader, 2005. www.actionaid.org
[5] http://www.khilafah.com/index.php/the-khilafah/economy/1916-the-myth-of-free-trade

Page | 4
[6] Action Aid International, Unde Influence, 2005. www.actionaid.org
[7] http://www.khilafah.com/index.php/the-khilafah/economy/1916-the-myth-of-free-trade
[8] http://www.pih.org/inforesources/news/Haiiti_food_crisis_04-08.html
[9] Taqiyuddin An Nabhany,  Muqaddimah ad-Dustur, hal. 309
[10] Ibid, hal. 307
[11] Abdul Qadim Zallum, The American Campaign to Suppress Islam,  hal. 29
[12] Taqiyuddin An-Nabhany, An-Nidzâm al-Iqtishâdy fi al- Islâm, hal. 313-314

Page | 5

Anda mungkin juga menyukai