Anda di halaman 1dari 7

LANJUTAN MATA KULIAH HUKUM PIDANA

SEMESTER II
RABU, 7 APRIL 2021

PERTANGGUNGJAWABAN DALAM HUKUM PIDANA

1. Pengertian Kemampuan Bertanggung jawab


Dalam KUHP, tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung
jawab (toerekeningsvatbaarheid). Menurut Moeljatno, yang berhubungan dengan
kemampuan bertanggung jawab ialah Pasal 44 Ayat (1) KUHP, yang berbunyi :
“Tidaklah dapat dihukum barang siapa melakukan sesuatu perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan padanya, oleh karena pertumbuhan akal sehatnya
yang tidak sempurna atau karena gangguan penyakit pada kemampuan akal
sehatnya.”
Menurut  Memorie van Toelichting  (MvT), definisi dari  tidak mampu
bertanggung jawab, yang diatur dalam Pasal 44 Ayat (1) KUHP adalah :

a. Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memilih antara berbuat atau
tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diperintah –
dengan kata lain : dalam hal perbuatan yang dipaksa.
b. Dalam hal pembuat ada di dalam suatu keadaan tertentu, sehingga ia tidak
dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia
tidak mengerti akibat perbuatannya itu (nafsu patologis (patologische drift),
gila, pikiran tersesat, dan sebagainya).

Mengacu kepada MvT, menurut Van Hammel, kemampuan bertanggung


jawab (toerekenings vatbaarheid) adalah suatu kondisi kematangan dan
kenormalan psikis yang mencakup 3 (tiga) kemampuan lainnya, yakni :
1) Memahami arah tujuan faktual dari tindakan sendiri.
2) Kesadaran bahwa tindakan tersebut secara sosial dilarang.
3) Adanya kehendak bebas berkenaan dengan tindakan tersebut.
Menurut Simons, mampu bertanggung jawab adalah :
(a) Jika orang mampu menginsyafi perbuatannya yang bersifat melawan hukum.
(b) Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadarannya tersebut.

Halaman 1 dari 8 halaman Materi mata kuliah Hukum Pidana


Menurut Van Hattum, seseorang dapat dianggap sebagai “niet
toerekeningsvatbaar” atau “tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya”,
yaitu apabila orang tersebut telah tumbuh secara tidak sempurna, tidak mampu
untuk menyadari akan arti dari tindakannya, dan karenanya juga tidak mampu
untuk menentukan apa yang ia kehendaki.
Dari beberapa definisi sebagaimana terurai di atas pada dasarnya
mengemukakan dua factor sebagai dasar untuk menentukan adanya kemampuan
bertanggung jawab, yaitu factor akal dan factor kehendak. Seseorang dapat
dikatakan mampu bertanggung jawab apabila akalnya sehat, dalam arti dengan
kesadarannya dia dapat menginsyafi perbuatannya yang bersifat melawan hukum,
memiliki tujuan pasti dari perbuatannya tersebut, dan memiliki kehendak bebas
dalam memilih untuk melakukan perbuatan tersebut.
Sehingga dengan demikian seseorang disebut telah melakukan perbuatan
pidana, apabila perbuatannya terbukti sebagai perbuatan pidana seperti yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Akan
tetapi seseorang yang telah terbukti melakukan suatu perbuatan pidana tidak
selalu dapat dijatuhi pidana. Hal ini dikarenakan dalam pertanggungjawaban
pidana, tidak hanya dilihat dari perbuatannya saja, melainkan dilihat juga dari
unsur kesalahannya.
Ada tiga unsur kesalahan, yaitu :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada diri pelaku.
2. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, yang dapat
berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.
Unsur kesalahan yang pertama adalah adanya kemampuan bertanggung
jawab pada diri pelaku. Unsur ini diatur dalam pasal 44 KUHP yang menyebutkan
bahwa orang yang tidak mampu bertanggung jawab tidak dapat dipidana.
Unsur kesalahan yang kedua adalah adanya hubungan batin antara si
pelaku dengan perbuatannya, yang dapat berupa kesengajaan atau kealpaan. Hal
ini tercantum pada masing-masing rumusan delik, baik itu yang diatur di dalam
Buku II maupun Buku III KHUP, dimana ada pasal-pasal yang mencantumkan
unsur sengaja, dan ada pula pasal-pasal yang mencantumkan unsur kealpaan
sebagai syarat dipidananya perbuatan. Jadi orang yang melakukan perbuatan

Halaman 2 dari 7 halaman mata kuliah hukum pidana Teori Causalitet.


atas dasar kealpaan pun dapat dipidana. Pertimbangannya adalah timbulnya
kerugian besar oleh sikap kurang hati-hati atau kurang menduga-duga.
Unsur kesalahan yang ketiga tidak adanya alasan penghapus kesalahan
atau tidak adanya alasan pemaaf. Dalam KUHP ada sejumlah pasal yang menjadi
dasar hukum bagi tidak dapat dipidananya orang yang melakukan perbuatan
pidana dikarenakan oleh alasan pemaaf. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur di
dalam pasal 44 KUHP, pasal 48 KUHP , pasal 49 ayat 2 KUHP, dan pasal 51 ayat
2 KUHP.
Pasal 44 KUHP mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab. Artinya
orang yang tidak mampu bertanggung jawab (gila, imbeciel, idiot) tidak dapat
dipidana apabila dia melakukan perbuatan pidana. Pasal 48 KUHP mengatur
orang yang melakukan perbuatan pidana karena pengaruh daya paksa tidak
dipidana. Pasal 49 ayat 2 KUHP mengatur mengenai pembelaan terpaksa yang
melampaui batas yang berlangsung disebabkan oleh guncangan jiwa yang hebat
karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana. Sedangkan pasal 51
ayat 2 KUHP mengatur dengan etikat baik menjalankan perintah jabatan yang
sah.
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan
criminal responsibility. Didalam hukum pidana, pertanggungjawaban pidana
bersifat personal atau perseorangan, sehingga pertanggungjawaban hanya
dikenakan terhadap pelaku perbuatan pidana. Oleh karena itu
pertanggungjawaban pidana tidak dapat dialihkan kepada orang lain.
Dalam pertanggungjawaban pidana terdapat asas, yaitu tiada pidana
apabila tidak terdapat kesalahan (Geen straf zonder schuld). Dapat diartikan
bahwa seseorang dapat dijatuhi pidana, maka seseorang tersebut tidak hanya
telah melakukan perbuatan pidana, melainkan juga terdapat unsur kesalahan
dalam perbuatannya dan juga seorang pelaku perbuatan pidana tersebut telah
memenuhi unsur kemampuan dalam bertanggung jawab.
Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan keadaan
seorang pelaku perbuatan pidana terhadap dapat atau tidaknya seorang pelaku
tersebut dijatuhi pidana terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukan. Dalam
pertanggungjawaban pidana terdapat beberapa syarat yang mempengaruhi,
sehingga seseorang yang melakukan perbuatan pidana tersebut dapat dipidana.
Untuk dapat dipidananya pelaku perbuatan pidana, disyaratkan bahwa perbuatan

Halaman 3 dari 7 halaman mata kuliah hukum pidana Teori Causalitet.


pidana yang dilakukannya harus memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan
dalam perundang-undangan pidana, selain itu juga dilihat dari sudut pandang
kemampuan bertanggung jawab pelaku apakah pelaku tersebut mampu
dipertanggungjawabkan pidananya atau tidak.
Pertanggungjawaban pidana, berdasarkan sudut pandang terjadinya
perbuatan pidana, maka seseorang dipertanggungjawabkan pidana apabila
perbuatannya telah melawan hukum. Selain itu perbuatan pidana yang dilakukan
juga tidak terdapat alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum.
Kemudian terhadap sudut pandang kemampuan bertanggung jawab pelaku, maka
hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab dan memenuhi syarat
kemampuan bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan pidana atas
perbuatannya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat dijatuhi pidana,
apabila memenuhi syarat-syarat dalam pertanggungjawaban pidana.
Menurut Moeljatno syarat-syarat dalam pertanggung jawaban adalah :
1. Seseorang telah melakukan perbuatan pidana;
2. Dilihat kemampuan bertanggungjawab oleh seseorang yang telah melakukan
perbuatan pidana;
3. Adanya bentuk kesalahan, baik berupa kesengajaan atau kelalaian dalam
perbuatan pidana;
4. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf yang menghapuskan
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perbuatan pidana.
Disebut sebagai perbuatan pidana, apabila perbuatannya telah terbukti
sebagai perbuatan pidana sesuai yang telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan pidana. Didalam perundang-undangan hukum pidana dikenal asas
legalitas, yang terdapat didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyatakan suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang telah ada.
Dari pasal tersebut dapat diartikan bahwa suatu perbuatan dapat dipidana
apabila telah ada peraturan yang mengatur sebelumnya tentang dapat atau
tidaknya suatu perbuatan dijatuhi pidana. Apabila seseorang telah melakukan
perbuatan pidana, maka ia hanya dapat diadili berdasarkan peraturan perundang-
undangan pidana yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan. Sehingga
perundang-undangan yang mengatur pidana tidak berlaku surut atau mundur.

Halaman 4 dari 7 halaman mata kuliah hukum pidana Teori Causalitet.


Salah satu unsur dalam perbuatan pidana adalah unsur melawan hukum.
Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur melawan hukum seperti yang
terkandung dalam peraturan perundang-undangan pidana, maka perbuatan
tersebut disebut perbuatan pidana. Moeljatno mendefinisikan suatu perbuatan
pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dan larangan
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut. Larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu
keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh perbuatan orang). Sedangkan
ancaman pidana ditujukan kepada orang yang melakukan perbuatan itu.46
Dari penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa suatu perbuatan disebut
perbuatan pidana apabila perbuatan tersebut yang dilarang oleh aturan dalam
hukum pidana.
Moeljatno juga menegaskan bahwa terdapat unsur-unsur atau syarat yang
harus ada dalam suatu perbuatan pidana. Unsur atau syarat tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);
b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
d. Unsur melawan hukum yang objektif;
e. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Didalam pertanggungjawaban pidana salah satu syarat lainnya adalah
unsur kemampuan bertanggung jawab pelaku perbuatan pidana. Di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, tidak terdapat ketentuan aturan yang
mengartikan tentang kemampuan bertanggung jawab. Akan tetapi terdapat aturan
yang berhubungan dengan kemampuan bertanggung jawab yaitu dalam Pasal 44
ayat (1) KUHP.
Artinya dalam kemampuan bertanggung jawab, pertama yang dilihat adalah faktor
akal, yaitu apakah pelaku dapat membedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan yang tidak. kemudian dilihat pula terhadap faktor perasaan
atau kehendak si pelaku, yaitu apakah dapat menyesuaikan tingkah lakunya
dengan kesadaran atas mana yang diperbolehkan dan yang tidak.
Oleh karena itu apabila seorang pelaku perbuatan pidana melakukan perbuatan
pidana dan tidak mampu menentukan kehendaknya menurut kesadaran tentang

Halaman 5 dari 7 halaman mata kuliah hukum pidana Teori Causalitet.


baik dan buruknya perbuatannya itu, maka pelaku dianggap tidak mempunyai
kesalahan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan pidananya.
Selain itu dalam unsur pertanggungjawaban pidana juga dilihat sudut
pandang terhadap bentuk kesalahan dalam perbuatan pidana yang dilakukan
tersangka atau terdakwa. Yaitu apakah perbuatan yang dilakukan tersangka atau
terdakwa tersebut terdapat bentuk kesalahan. Bentuk kesalahan apabila
dihubungkan dengan keadaan jiwa seorang pelaku perbuatan pidana, dapat
berupa kesengajaan (opzet) atau karena kelalaian (culpa).
Dalam kesengajaan terdapat dua teori yang berkaitan yaitu teori kehendak
dan teori pengetahuan.
Dalam teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada
terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan undang-undang. Sedangkan
menurut teori pengetahuan, untuk membuktikannya adanya kesengajaan dapat
ditempuh dua cara, yaitu adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara
motif dan tujuan, atau pembuktian adanya kesadaraan terhadap yang dilakukan
beserta akibat.
Kemudian dalam pertanggungjawaban pidana dilhat juga dari sudut
pandang adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf yang menghapuskan
pertanggungjawaban pidana. Alasan pembenar atau alasan pemaaf yang
menghapuskan pidana terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
yaitu dalam Buku I Bab III Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51
KUHP.
Dalam pasal-pasal tersebut disebutkan hal-hal yang menghapuskan
pengenaan pidana, yaitu: tidak mampu bertanggungjawab, daya paksa
(overmacht), pembelaan terpaksa, ketentuan Undang-Undang, dan perintah
jabatan yang sah. Dengan adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf maka
menghapuskan pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang telah
melakukan perbuatan pidana.

2. Tidak Mampu Bertanggung Jawab Untuk Sebagaian.


Orang yang dihinggapi ‘Tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagian’
(Gedeetelijke Ontoerekenings vatbaarheid) disebut dengan Psychopaten. Macam-
macam dari penyakit jiwa ini seperti:

Halaman 6 dari 7 halaman mata kuliah hukum pidana Teori Causalitet.


a. Kleptomania adalah gangguan kejiwaan yang tidak dapat dikendalikan oleh
individu untuk memiliki barang-barang yang dilihatnya dengan cara mencuri.
Gangguan ini dilakukan secara berulang dan tidak dapat ditahan (kompulsif)
dengan berbagai alasan yang tidak rasional untuk memiliki benda-benda
tersebut. Mencuri tanpa disadari atau di luar kehendaknya. Penderitanya tidak
bisa mengontrol diri untuk mencuri atau mengambil barang milik orang lain.
Barang-barang tersebut biasanya tidak bernilai. Jika bernilai, barang tersebut
sebenarnya tidak dibutuhkan.
b. Pyromania adalah gangguan kejiwaan yang ditandai munculnya dorongan kuat
untuk sengaja melakukan pembakaran tanpa alasan dan di luar kehendaknya.
Hal itu dilakukan untuk meredakan ketegangan dan biasanya menimbulkan
perasaan lega atau puas setelah melakukannya. 
c. Nyphomania adalah kelainan jiwa bagi laki-laki jika bertemu seorang wanita
berbuat tidak senonoh. Sedangkan bagi wanita tak mampu menahan hasrat
seksualnya. Hal ini yang menyebabkan si penderita berhubungan seksual
dengan siapapun.
d. Claustrophobia adalah ketakutan tak beralasan ketika berada di ruang
yang tertutup atau sempit. Orang dengan claustrophobia akan berusaha
menghindari ruangan yang kecil atau situasi yang bisa memicu kepanikan
dirinya. Definisi ruangan kecil pun dapat bervariasi, tergantung pada
tingkat keparahan fobianya. Orang yang demikian apabila merusak kaca
untuk melepaskan diri dari ruangan sempit dianggap tidak mampu
bertanggung jawab.
e. Necrophilia adalah kelainan seksual dimana pengidapnya lebih menyukai tidur
atau bercinta dengan mayat daripada dengan manusia. Mulai dari mayat yang
berpengawet hingga tulang belulang.

Dalam hal ini KUHP tidak mengatur soal pemerkosaan terhadap mayat dan
pencurian harta mayat. Seperti untuk kasus mutilasi, dapat dipidana jika
diawali dengan kejahatan pembunuhan terhadap mayat atau melakukan
pembongkaran kuburan mayat sebagaimana diatur dalam Pasal 180 KUHP.
Untuk kasus pemerkosaan, pasal 286 KUHP memang menyinggung ancaman
pidana jika ditujukan terhadap orang yang tidak berdaya, namun tak secara
jelas menyebut bukan terhadap orang yang sudah meninggal.

Halaman 7 dari 7 halaman mata kuliah hukum pidana Teori Causalitet.

Anda mungkin juga menyukai