Anda di halaman 1dari 5

.

BAB I
PENGANTAR

1.1 Pengertian Hukum Pidana


Hukum adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena melanggar suatu
norma hukum. Apabila yang dilanggar norma hukum pidana maka ganjarannya adalah
hukum pidana.
Batasan mengenai hukum pidana belum ada kesamaan, para pakar mempunyai
pendapat masing-masing. Berikut adalah pendapat para pakar pidana:
a. POMPE : Hukum pidana adalah semua aturan hukum yang menentukan terhadap
tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan apa macam pidananya yang
bersesuaian.
b. WIRJONO PRODJODIKORO : Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai
pidana.
c. MOELJATNO : Hukum pidana adalah bagian dari hukum yang mengadakan dasar
dan aturan-aturan untuk menentukan:
- Perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang dengan
disertai ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut;
- Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan
itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
- Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
d. SATOCHID KARTANEGARA : Hukum pidana adalah sejumlah peraturan-peraturan
yang merupakan bagian dari hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan
keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang
berwenang untuk menentukan peraturan-peraturan pidana, larangan atau keharusan
mana disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak negara
untuk melakukan tuntutan, menjalankan pidana dan melaksanakan pidana.

1.2 Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Kriminologi


Obyek Ilmu pengetahuan Hukum Pidana (IPHP) adalah mempelajari asa-asas dan
peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku dan menghubungkannya dengan
lainnya, mengatur penempatan asas-asas/ peraturan-peraturan tersebut dalam suatu
sistematika. Tugas dari IPHP adalah untuk mempelajari dan menjelaskan (interpretasi)
hukum pidana yang berlaku pada suatu waktu dan negara tertentu, mempelajari norma-
norma dalam hubungannya dengan pemidanaan (konstruksi), dan berurutan
(sistematika). Dalam perkembangannya tidak terbatas hanya mempelajari kenyataan-
kenyataan, tetapi juga menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan hukum pidana yang
bersifat filosofis, dogmatis dan historis. Hal ini dimaksudkan agar IPHP tidak beku dan
bisa mengimbangi kebutuhan (constitutum) harus mempelajari juga hukum yang diidam-
idamkan (constituendum). Berkaitan dengan hal tersebut, maka IPHP juga harus
mempelajari sebab-sebab dari suatu tindak pidana dan cara memberantasnya. Timbul
suatu ilmu pengetahuan baru, yang semula hanya merupakan ilmu pengetahuan
tambahan bagi hukum pidana, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan (kriminologi).
Objek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri sebagai
gejala dalam masyarakat (bukan sebagai norma hukum positif semata). Tugas
kriminologi adalah untuk mencari dan menentukan sebab-sebab dari kejahatan serta
menemukan cara pemberantasannya, sedangkan tujuannya adalah untuk mengamankan
masyarakat dari penjahat. Tiada kejahatan tanpa penjahat, berpangkal dari permasalahan
tersebut maka kriminologi erat hubungannya dengan IPHP.

1.3 Hukum Pidana di Indonesia


a. Zaman Indonesia Merdeka
diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17-8-1945 yang
disusul dengan diumumkannya undang-undang Dasar Republik Indonesia. Pasal II
aturan peralihan UUD’45 menetapkan bahwa semua perundang-undangan yang ada
dan tidak bertentangan dengan UUD’45 di nyatakan masih berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut UUD’45 tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum).
Pada tanggal 26 Februari 1946 terbit Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 pada
pasal 1 disebutkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang
adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942 (hal ini
berarti bahwa semua peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dan
Panglima tertinggi Balatentara Hindia Belanda/Nica setelah tanggal 8 Maret 1942
dengan sendirinya tidak berlaku) terbitnya UU. No. 73/1958 membuat UU. No.
1/1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia yang berarti unifikasi
hukum (berlaku bagi semua golongan rakyat). Selain itu hukum pidana yang berlaku
di Indonesia juga telah dikodifisir, yaitu sebagian besar aturan-aturannya telah disusun
dalam satu kitab undang-undang (Wetboek).
b. Hukum pidana di Indonesia sekarang
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan dari
kolonial Belanda, berdasarkan asas konkordansi WvS (Wetboek van Strafrecht)
yang berlaku di negeri Belanda juga berlaku di negara jajahannya, dengan nama
WvS-NI (Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie)
2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) sebagaimana ditentukan
pada UU No. 39 Tahun 1947
3. Perundang-undangan hukum pidana lain, (yang dimungkinkan oleh pasal 103
KUHP) antara lain:
- Undang-Undang No. 7 dari Tahun 1955 tentang tindak Pidana Ekonomi
subversib.
- Undang-undang no. 3 Tahun 1971 tentang tindak pidana korupsi dan lain
sebagainya.

1.4 Tujuan Hukum Pidana dan Dasar Pemidanaan


Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan
(individu) atau hak-hak asasi manusia dan masyarakat, serta negara. Di Indonesia (yang
mengalami penjajahan oleh bangsa asing berkali-kali) setelah merdeka, sudah seharusnya
bila hukum pidana Indonesia (bukan hukum pidana di Indonesia) disusun dan
dirumuskan sedemikian rupa, agar semua kepentingan negara, masyarakat dan individu
sebagai warga negara dapat diayomi dalam keseimbangan yang serasi berdasarkan
pancasila. Tujuan hukum Pidana Indonesia adalah pengayoman semua kepentingan
secara serasi.
Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah memidana seseorang
yang telah melakukan tindak pidana. Dasar pembenar penjatuhan pidana bertolak
pangkal dan pemikiran sebagai berikut:
a. Ketuhanan (Theologis)
Pidana adalah tuntutan keadilan dan kebenaran Tuhan. Tidak boleh ada pemidanaan
karena dendam dan rasa pembalasan, melainkan karena petindak telah berdosa (quia
peccatum est). Hakim bertindak atas kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya,
sedang negara sebagai pembuat undang-undang. Penguasaan adalah abdi Tuhan untuk
melindungi yang baik dan menghukum yang jahat dengan pidana penganut ajaran ini
adalah Thomas van Aquino.
b. Falsafah (Wijsbegeerte)
Berdasarkan ajaran “kedaulatan rakyat” dari J.J. Rousseau yang berarti ada
persetujuan fiktif antara rakyat dengan negara, rakyat berdaulat dan menentukan
bentuk pemerintahan. Kekuasaan negara adalah kekuasaan yang diberikan oleh
rakyat. Setiap warga negara menyerahkan sebagian dari hak asasinya dengan imbalan
perlindungan kepentingan hukumnya dari negara.
c. Perlindungan hukum (Juridis)
Dasar pemidanaan adalah karena penerapan pidana merupakan alat untuk menjamin
ketertiban hukum. Ajaran ini dipelopori oleh Bentham, van Hamel dan Simons.
Sedangkan alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok
sebagai berikut:
a. Teori pembalasan (teori absolut)
Teori ini membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak
pidana. Pembalasan yang berupa pidana mutlak harus diberikan kepada pelaku tindak
pidana tanpa mempersoalkan akibat dan masa depan terpidana, seperti pepatah: darah
bersabung darah, nyata bersabung nyawa, atau oog om oog, tand om tand.
b. Teori tujuan (teori relatif, teori perbaikan)
Teori ini membenarkan pemidanaan berdasarkan atau bergantung kepada tujuan
pemidanaan, yaitu: untuk perlindungan masyarakat dan mencegah terjadinya
kejahatan. Teori ini mempersoalkan akibat dari pemidanaan terhadap penjahat di
samping kepentingan masyarakat serta pencegahan untuk masa mendatang.
c. Teori gabungan (Vereenigings – theorie)
Penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan bagi hakim, penjahat
maupun masyarakat. Harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan
kejahatan yang dilakukan dengan mempertimbangkan masa lalu (seperti pembalasan)
juga mempertimbangkan masa depan (seperti tujuan), maka teori ini ingin
memperbaiki kelemahan pada dua teori sebelumnya.

1.5 Penafsiran
Dalam praktek menggunakan undang-undang, tidak jarang dijumpai suatu istilah
yang tidak ditemukan pengertiannya namun harus ditemukan tafsir atau pengertiannya.
Dalam menggunakan penafsiran haruslah diikuti urutan sebagai berikut:
1. Penafsiran secara otentik, mencari pada pasal undang-undang
2. Penafsiran menurut penjelasan undang-undang (Memorie van Toelichting/MvT).
3. Penafsiran sesuai dengan jurisprudensi, terutama putusan-putusan kasasi Mahkamah
Agung (MA), Fatwa MA, putusan-putusan banding atau putusan pengadilan tingkat
pertama yang sudah mempunyai kekuatan tetap dan sudah lazim diikuti oleh peradilan
lainnya.
4. Penafsiran menurut IPHP
Didalam penafsiran dilarang menggunakan analogi (pasal 1 KUHP), tetapi
menggunakan penafsiran ekstensif diperbolehkan. Menurut Moeljatno beda antara
penafsiran ekstensif dan analogi adalah: walaupun dapat dikatakan bahwa penafsiran
ekstensif dan analogi itu pada hakekatnya adalah sama, namun dipandang dari sudut
psychologis bagi orang yang menggunakannya, ada perbedaan yang besar antara
keduanya, pada penafsiran esktensif MASIH BERPEGANGAN PADA BUNYI
ATURAN, sedangkan analogi SUDAH TIDAK BERPEGANGAN PADA BUNYI
ATURAN YANG ADA LAGI sehingga bertentangan dengan asas legalitas.
Moeljatno setuju dengan Hoge Raad yang mengartikan istilah “keadaan tak berdaya”
dengan arti tak berdaya secara jasmaniah juga mencakup arti tak berdaya rohaniah
(dengan jalan penafsiran),kemudian istilah bajak laut juga berlaku untuk kejahatan
sama yang terjadi di udara, pencurian aliran listrik sebagai pencurian (listrik
ditafsirkan secara ekstensif dengan barang).

Anda mungkin juga menyukai