BAB I Ilmu Hukum Pidana
BAB I Ilmu Hukum Pidana
BAB I
PENGANTAR
1.5 Penafsiran
Dalam praktek menggunakan undang-undang, tidak jarang dijumpai suatu istilah
yang tidak ditemukan pengertiannya namun harus ditemukan tafsir atau pengertiannya.
Dalam menggunakan penafsiran haruslah diikuti urutan sebagai berikut:
1. Penafsiran secara otentik, mencari pada pasal undang-undang
2. Penafsiran menurut penjelasan undang-undang (Memorie van Toelichting/MvT).
3. Penafsiran sesuai dengan jurisprudensi, terutama putusan-putusan kasasi Mahkamah
Agung (MA), Fatwa MA, putusan-putusan banding atau putusan pengadilan tingkat
pertama yang sudah mempunyai kekuatan tetap dan sudah lazim diikuti oleh peradilan
lainnya.
4. Penafsiran menurut IPHP
Didalam penafsiran dilarang menggunakan analogi (pasal 1 KUHP), tetapi
menggunakan penafsiran ekstensif diperbolehkan. Menurut Moeljatno beda antara
penafsiran ekstensif dan analogi adalah: walaupun dapat dikatakan bahwa penafsiran
ekstensif dan analogi itu pada hakekatnya adalah sama, namun dipandang dari sudut
psychologis bagi orang yang menggunakannya, ada perbedaan yang besar antara
keduanya, pada penafsiran esktensif MASIH BERPEGANGAN PADA BUNYI
ATURAN, sedangkan analogi SUDAH TIDAK BERPEGANGAN PADA BUNYI
ATURAN YANG ADA LAGI sehingga bertentangan dengan asas legalitas.
Moeljatno setuju dengan Hoge Raad yang mengartikan istilah “keadaan tak berdaya”
dengan arti tak berdaya secara jasmaniah juga mencakup arti tak berdaya rohaniah
(dengan jalan penafsiran),kemudian istilah bajak laut juga berlaku untuk kejahatan
sama yang terjadi di udara, pencurian aliran listrik sebagai pencurian (listrik
ditafsirkan secara ekstensif dengan barang).