PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Praktek pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat melalui teknik
penanaman membentuk sistem agroforestri, merupakan teknik-teknik tradisional
dalam pengelolaan hutan yang telah lama membudaya di masyarakat. Sistem-
sistem pengetahuan lokal tersebut walaupun berbeda satu sama lain sesuai dengan
kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem masyarakat setempat, namun secara
umum sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal ini selalu tumbuh
dan berkembang terus-menerus secara turun-temurun. Di Maluku, yang
meliputi : Pulau Ambon, Pulau Seram, dan Pulau-pulau Lease, teknik-teknik
penanaman tersebut sudah merupakan tradisi pengelolaan hutan yang dikenal
masyarakat dengan istilah dusung. Dusung merupakan sebuah istilah yang
biasanya digunakan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan
teknik penanaman yang bervariasi, serta memiliki tingkat keragaman yang tinggi
(Ajawaila 1996).
Keragamanan dusung untuk tanaman campuran strata bawah terdiri dari :
rerumputan, tanaman rempah-rempah, obat-obatan dan kusu-kusu padi atau
Andropogon amboinensis, kemudian tanaman campuran strata menengah terdiri
dari buah-buahan seperti : (durian, kelapa, langsat, manggis, duku, gandaria,
jambu, kenari), tanaman palawija (cengkeh, pala, coklat, kenari dan petai), dan
kombinasi tanaman berkayu strata atas yaitu : sengon, jabon, titi, jenis ficus dll
(Wattimena 2016).
Sistem pengusahaan dusung dalam prakteknya, masyarakat memiliki
perangkat hukum yaitu berupa aturan-aturan adat yang sangat baik dalam
mengatur status penguasaan/kepemilikkan lahan hutan, sampai dengan mengelola
hasil-hasil tanaman ”tertentu” yang diusahakannya. Di Desa Kwaos, untuk status
penguasaan/kepemilikkan lahan hutan, sejak dulu telah diatur secara adat
berdasarkan masing-masing kelompok marga atau yang disebut dengan mata
rumah/rumah tau yakni suatu kesatuan kekerabatan masyarakat yang terdiri dari
beberapa rumah tangga dengan memakai nama keluarga berupa marga yang sama
1
di dalam suatu negeri. Sedangkan untuk mengatur pemanenan hasil tanaman
dalam jangka waktu tertentu agar secara sosial-ekonomi dapat dinikmati oleh
seluruh masyarakat, terdapat pula aturan pengelolaan yang sudah menyatu dengan
masyarakat sejak dulu yang biasa dikenal dengan istilah sistem adat sasi. Adat
sasi menurut Wattimena dan Papilaya (2005), merupakan sebuah aturan yang
mengandung unsur-unsur larangan dalam mengatur akses masyarakat untuk
mengambil hasil tanaman pada jangka waktu tertentu dengan maksud agar
pemanenan dilakukan pada waktu yang tepat.
Dari uraian di atas, sebagai suatu bentuk tradisi adat-istiadat masyarakat
secara tradisional dalam menata kehidupan bermasyarakat, termasuk upaya untuk
mengatur pemerataan pembagian atau pendapatan hasil dari sumberdaya alam
sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat, sejauh mana dipraktekkan oleh
masyarakat khususnya pada desa Kwaos merupakan hal menarik yang perlu untuk
dikaji dan diangkat guna mengetahui potensi-potensi masyarakat lokal dalam
pengelolaan simberdaya hutan yang baik, upaya membangun peran sertanya
dalam perlindungan dan pelestarian sumberdaya hutan.
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, kelembagaan adat masyarakat yang dikaji selain
mencakup aturan-aturan yang digunakan masyarakat dalam mengatur dan
mengelola sumberdaya hutan khususnya yang berkaitan dengan bentuk hak-hak
penguasaan/kepemilikan masyarakat terhadap sumberdaya hutan di Desa Kwaos
dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk pengusahaan dusung yang dilakukan
masyarakat, juga akan melihat tentang kelembagaan masyarakat yang berkaitan
dengan perannya dalam mengatur dan mengelola jenis hasil dusung yang
diusahakannya dengan pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah :
Bagaimana bentuk dan peran kelembagaan adat masyarakat dalam mengatur dan
mengelola sumberdaya hutan dan dusung-nya.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk dan peran kelembagaan
adat masyarakat dalam mengatur dan mengelola sumberdaya hutan dan dusung-
nya.
2
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Menghasilkan bahan informasi tentang Peran kelembagaan adat masyarakat
pada desa Kwaos dalam mengatur dan mengelola sumberdaya hutan dan
dusung-nya.
2. Masukan bagi para pihak tentang Peran kelembagaan adat masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan upaya
membangun peran serta masyarakat dalam perlindungan dan pelestariannya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kelembagaan
Dalam bidang sosiologi dan antropologi kelembagaan banyak ditekankan
pada norma, tingkah laku dan adat istiadat. Menurut Ruttan dan Hayami (1984),
kelembagaan merupakan aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau
organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu
mereka dengan harapan dimana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan
satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Ostrom
(1985), mengartikan kelembagaan sebagai aturan dan rambu-rambu sebagai
panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk
mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain.
Selain itu Uphoff (1986), mengartikan kelembagaan sebagai suatu himpunan atau
tatanan norma–norma dan tingkah laku yang biasa berlaku dalam suatu periode
tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama.
Kelembagaan ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat
istiadat.
Kartodihardjo (2006), mendefinisikan kelembagaan sebagai suatu sistem
yang kompleks, rumit, abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat,
aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mempunyai
peran yang sangat penting dalam memecahkam masalah-masalah nyata dalam
pembangunan. Kelembagaan merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau
mengontrol interdependensi antar manusia terhadap sesuatu kondisi atau situasi
melalui inovasi dalam hak kepemilikkan, aturan representasi atau batas yurisdiksi.
Menurut Schmid (1987) dalam Pakpahan (1989), kelembagaan adalah
seperangkat ketentuan yang mengatur hubungan antar orang, yang mendefinisikan
hak-hak mereka, hubungan dengan hak-hak orang lain, hak-hak istimewa yang
diberikan, serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Kelembagaan juga
dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan antar orang atau
kelompok masyarakat melalui hak dan kewajibannya dalam kaitannya dengan
4
pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan mempunyai peran penting dalam
masyarakat untuk mengurangi ketidakpastian dengan menyusun struktur yang
stabil bagi hubungan manusia. Kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi
individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktifitasnya. Kelembagaan
dicirikan oleh tiga hal utama: (1) hak-hak kepemilikkan (property rights) yang
berupa hak atas benda materi maupun non materi; (2) batas yurisdiksi
(jurisdictional boundary), dan (3) aturan representasi (rules of representation)
(Schmid 1987 dalam Pakpahan 1989).
Hak-hak kepemilikkan (property rights), mengandung pengertian tentang
hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum adat dan tradisi atau
konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal
kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Pernyataan hak milik
memerlukan pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Implikasi dari hal
ini adalah : (1) hak seseorang adalah kewajiban orang lain; (2) hak yang
dicerminkan oleh kepemilikkan (ownership) adalah sumber kekuatan untuk akses
dan kontrol terhadap sumberdaya. Property rights individu atas suatu aset terdiri
atas hak-hak atau kekuasaan untuk mengkonsumsi, mendapatkan pendapatan dan
melakukan transfer hak-haknya atas aset (Basuni, 2003). Hak dapat diperoleh
melalui pembelian apabila barang atau jasa dapat diperjualbelikan, pemberian atau
hadiah, atau pengaturan administratif.
Batas yurisdiksi (jurisdictional boundary) menentukan siapa dan apa yang
tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas
wilayah kekuasaan dan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau
mengandung makna kedua-duanya sehingga terkandung makna bagaimana batas
yurisdiksi berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya. Perubahan batas
yurisdiksi dipengaruhi oleh empat faktor antara lain : (1) perasaan sebagai suatu
masyarakat (sense of community). Perasaan sebagai suatu masyarakat
menentukan siapa termasuk dalam masyarakat dan siapa yang tidak. Hal ini
berkaitan dengan konsep jarak sosial yang menentukan komitmen yang dimiliki
oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan; (2) eksternalitas, merupakan
dampak yang diterima pihak tertentu akibat tindakan pihak lain. Perubahan batas
yurisdiksi akan merubah struktur eksternalitas yang akhirnya merubah siapa
5
menanggung apa; (3) homogenitas, berkaitan dengan preferensi masyarakat yang
merefleksikan permintaan terhadap barang dan jasa; dan (4) skala ekonomi, yang
menunjukkan suatu situasi dimana ongkos per satuan terus menurun apabila
output ditingkatkan. Batas yurisdiksi yang sesuai akan menghasilkan ongkos per
satuan yang lebih rendah dibandingkan dengan alternatif batas yurisdiksi yang
lainnya.
Aturan representasi (rules of representation) merupakan perangkat aturan
yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Dalam proses
pengambilan keputusan dalam organisasi, terdapat dua jenis ongkos yang
mendasari keputusan, yaitu : (1) ongkos membuat keputusan sebagai produk dari
partisipasi dalam membuat keputusan, dan (2) ongkos eksternal yang ditanggung
oleh seseorang atau sebuah organisasi sebagai akibat keputusan organisasi
tersebut. Aturan representasi akan mempengaruhi struktur dan besarnya ongkos
tersebut. Aturan pengambilan keputusan yang sederhana untuk masalah ini adalah
meminimumkan kedua ongkos. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak
berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Konsep aturan
representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa
dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan jenis
keputusan yang dibuat, sehingga aturan representasi menentukan alokasi dan
distribusi sumberdaya yang langkah. Oleh karena itu perlu dicari suatu
mekanisme representasi yang efisien dalam arti menurunkan ongkos transaksi.
B. Sistem Agroforestri
6
Agroforestri menurut Lundgren dan Raintree (1982), merupakan istilah
kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang
secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan
tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll.) dengan tanaman pertanian
dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang
bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis
antar berbagai komponen yang ada.
Beberapa ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan
Raintree (1982), adalah : (1) agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman
atau lebih (tanaman dan/atau hewan). Paling tidak satu diantaranya tumbuhan
berkayu ; (2) siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun ; (3) ada
interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak
berkayu ; (4) selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product),
misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, dan obat-obatan ; (5) minimal
mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung
angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya
keluarga/masyarakat ; (6) untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis,
agroforestri tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman
terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen ; (7) sistem agroforestri
yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi) maupun ekonomis
jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur.
Definisi lain menurut Huxley (1999), agroforestri merupakan : (1) sistem
penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu,
bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan
rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya
(lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman
berkayu dengan komponen lainnya ; (2) sistem pengunaan lahan yang
mengkombinasikan tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu (kadang-
kadang dengan hewan) yang tumbuh bersamaan atau bergiliran pada suatu lahan,
untuk memperoleh berbagai produk dan jasa (services) sehingga terbentuk
interaksi ekologis dan ekonomis antar komponen tanaman ; (3) sistem
pengeloloaan sumber daya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman
7
pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh
berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan
sosial, ekonomi dan lingkungan bagi semua pengguna lahan.
Perhutani (1990), mengartikan agroforestri sebagai manajemen
pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan
kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit pengelolaan lahan yang sama, dengan
memperhatikan kondisi lingkungan fisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat
yang berperan serta.
C. Klasifikasi Agroforestri
Agroforestri diklasifikasikan berdasarkan kriteria-kriteria Nair (1993),
terdiri dari : (1) dasar struktural yakni menyangkut komposisi komponen-
komponen, seperti sistem agrosilvikultur, silfopastural, dan agrisilvopastur ; (2)
dasar fungsional, yakni menyangkut fungsi utama atau peranan dari sistem,
terutama fungsi atau peranan komponen kayu-kayuan ; (3) dasar sosial-ekonomi,
yakni menyangkut tingkat masukan dalam pengelolaan (masukan rendah,
masukan tinggi) atau intensitas dan skala pengelolaan, atau tujuan-tujuan usaha
(subsisten, komersial, intermediet); (4) dasar ekologi yakni menyangkut kondisi
lingkungan dan kecocokan ekologi dan ekosistem.
8
2. Agroforestri moderen (modern atau introduced agroforestri)
Agroforestri moderen umumnya hanya melihat pengkombinasian antara
tanaman keras atau pohon komersial dengan tanaman sela terpilih. Berbeda
dengan agroforestri tradisional/klasik, ratusan pohon bermanfaat di luar
komponen utama atau juga satwa liar yang menjadi bagian terpadu dari
sistem tradisional kemungkinan tidak terdapat lagi dalam agroforestri
moderen (Thaman 1989 ; Sardjono 1990).
E. Agroforestri di Maluku
Sebelum bangsa Portugis tiba di Maluku pada awal abad ke-16 dan
Bangsa Belanda tiba pada awal abad ke-17 (1602) agroforestri yang dikenal di
Maluku sebagai dusung telah membudaya pada masyarakat Maluku. Dusung
adalah suatu aset yang tidak nampak (intangible) di Maluku, yang termasuk dalam
pengetahuan masyarakat lokal (indigenous knowledge) dan teknologi yang
digunakan masyarakat lokal (indigenous technology) sudah teradaptasi dengan
lingkungan fisik, biologis masyarakat setempat (Wattimena dan Papilaya 2005).
9
Dusung di Maluku Tengah (Ambon, Seram dan Banda) menurut
Wattimena (2016), terletak berjarak 1–10 km dari desa, berada pada dataran
rendah basah (0-500 m dpl). Jenis tanaman buah-buah yang diusahakan adalah :
durian, manggis, duku, langsat, bacang dll, tanaman rempah-rempah (pala,
cengkih, kemiri) dan tanaman pangan (umbi-umbian dan pisang) adalah tanaman
yang umumnya dikembangkan pada daerah tersebut.
Manfaat dusung di Maluku menurut Wattimena dan Papilaya (2005),
yaitu :
1. Secara ekologis mempertahankan kualitas sumberdaya alam dan
agroekosistem secara keseluruhan yang meliputi hewan, tanaman dan jasad
renik. Tanaman-tanaman dari dusung itu mempunyai beragam kedalaman
akar, ketinggian tajuk, dan kejarangan tajuk. Kebutuhan yang berbeda
terhadap suhu, intensitas cahaya, kelembaban tanah, kelembaban udara dan
kualitas lahan.
2. Berkelanjutan secara ekonomis, artinya petani bisa dapat memenuhi seluruh
kebutuhan hidup dari dusung tersebut. Fungsi dusung mirip dengan fungsi
pekarangan dimana seluruh kebutuhan hidup mulai dari pangan, bahan
bangunan berasal dari dusung. Di dalam sistem dusung diatur sehingga ada
tanaman yang menghasilkan sepanjang tahun seperti kelapa, coklat, pala,
kenari serta ada yang musiman seperti cengkeh, durian, duku, gandaria, dsb.
3. Adil dan manusiawi artinya hasil dusung itu dapat juga dimanfaatkan bagi
orang yang tidak punya, dan martabat dasar semua mahluk hidup (tanaman,
hewan, dan manusia) dihormati. Peraturan mengenai usaha (memungut yang
jatuh di tanah) dan sasi (peraturan pemungutan hasil).
Istilah sasi sebenarnya tidak tergolong kepada kategori kata-kata yang
mempunyai watak larangan atau suruhan yang bersifat langgeng dan menetap,
namun istilah tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang temporal dan
lambang (atribut) yang bersama-sama membuat institusi sasi mengikat (Kissya
1993). Sementara itu Rahail (1995), menekankan kepada konsep pelestarian dan
produktifitas mengemukakan bahwa sasi adalah suatu pranata adat yang sudah
umum diketahui sebagai suatu larangan untuk mengambil atau merusak
sumberdaya alam tertentu dalam jangka waktu tertentu demi menjaga kelestarian
10
dan agar lebih menjamin hasil yang lebih berlipat ganda di masa depan.
Kemudian Nikijuluw (1997), menyimpulkan bahwa sasi adalah suatu sistem
pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam (hutan dan laut) bagi anak negeri
(penduduk setempat) maupun pendatang.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
11
peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan menyeluruh
terhadap unit sosial yang diteliti. Studi kasus dapat memberikan informasi
penting mengenai hubungan antar-variabel, serta proses-proses yang memerlukan
penjelasan dan pemahaman yang lebih luas. Selain itu, studi kasus dapat
menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar
untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih
besar dan mendalam, dalam rangka pengembangan ilmu (Yin 1997; Azis 2003).
Black dan Champion (1992) menyebutkan beberapa keunggulan spesifik
studi kasus, di antaranya : (1) bersifat luwes berkenaan dengan metode
pengumpulan data yang digunakan ; (2) keluwesan studi kasus menjangkau
dimensi yang sesungguhnya dari topik yang diselidiki ; (3) dapat dilaksanakan
secara praktis di dalam banyak lingkungan sosial ; (4) studi kasus menawarkan
kesempatan menguji teori. Disamping keunggulan, juga terdapat sejumlah
kelemahan : pertama, studi kasus kurang memberikan dasar yang kuat terhadap
suatu generalisasi ilmiah ; Kedua, ada kecenderungan studi kasus kurang mampu
mengendalikan bias subjektifitas peneliti. Untuk mengatasi hal tersebut, empat
hal penting yang perlu diperhatikan sebelum menetapkan penggunaan metode
studi kasus : pertama, studi kasus harus signifikan. Artinya, kasus yang diangkat
mengisyaratkan sebuah keunikan dan betul-betul khas, serta menyangkut
kepentingan publik atau masyarakat umum. Kedua, studi kasus harus lengkap.
Kelengkapan ini dicirikan oleh tiga hal : (1) kasus yang diteliti memiliki batas-
batas yang jelas (ada perbedaan yang tegas antara fenomena dengan konteksnya) ;
(2) tersedianya bukti-bukti relevan yang meyakinkan ; dan (3) mempermasalahkan
ketiadaan kondisi buatan tertentu. Ketiga, studi kasus mempertimbangkan
alternatif perspektif. Keempat, studi kasus harus menampilkan bukti yang
memadai dan secara bijak mendukung atas kasus yang diteliti (Yin 1997; Bungin
2003).
12
Metode wawancara individu dalam penelitian ini dilakukan untuk ; (a)
mengkaji kelembagaan adat masyarakat Desa Kwaos dalam pengelolaan
sumberdaya hutan dan dusung-nya ; (b) melihat tingkat pendapatan masyarakat
dari jenis hasil-hasil dusung yang di usahakan.
Dalam mengkaji Peran kelembagaan adat, wawancara dilakukan
kepada informan kunci (key informan) yang meliputi raja (kepala adat) dan
kepala-kepala soa yang memahami tentang topik yang akan diangkat.
Instrumen dipilih secara sengaja. Sedangkan untuk menganalisis tingkat
pendapatan jenis-jenis hasil dusung serta persepsi masyarakat Desa Kwaos
terhadap sistem adat sasi-nya dilakukan melalui survei. Responden dipilih dari
negeri adalah sebanyak 30 orang yang terdiri dari tiap-tiap kepala keluarga.
Teknik pamilihan responden dilakukan secara acak.
b. Pengamatan terlibat (participantion observation)
Pengamatan terlibat merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang
peneliti melibatkan diri dalam aktifitas kehidupan masyarakat dengan tujuan
untuk melihat, dan memahami secara langsung keragaan kelembagaan adat
masyarakat kedua negeri dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan dusung-
nya.
c. Diskusi kelompok terfokus (focused group discussion)
Focus Group Discussion (FGD) merupakan sebuah teknik
pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan
tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah
kelompok. Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari suatu
kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan
tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah
dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti (Bungin,
2003). Dalam penelitian ini, yang terlibat dalam (FGD) terdiri dari raja dan
kepala-kepala soa.
13
BAB IV
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Desa Kwaos
Desa Kwaos yang terletak di Pulau Seram adalah salah satu desa yang
terdapat di Kecamatan Siritaun Wida Timur Kabupaten Seram Bagian Timur-
Propinsi Maluku yang mempunyai desa administratif sebanyak 18 anak desa
(Kabupaten Seram Bagian Timur, 2018 dalam Angka). Desa Kwaos dipimpin
oleh kepala negeri yang biasanya disebut raja, yang merupakan pemimpin formal
dan informal. Desa Kwaos terletak dipesisir pantai yang memiliki topografi datar
sampai dengan berbukit dengan ketinggian antara 0-500 m dpl. Di sekitar
pemukiman masyarakat secara umum datar sedangkan dibelakang pemukiman
penduduk umumnya bergelombang dan berbukit.
Jarak antara negeri ini dengan Ibu Kota Kabupaten Seram Bagian Timur
(Bula) dapat dicapai dengan jarak 102 km. Akibat jalur darat yang menghubungi
Ibu Kota Kabupaten dengan Kecamatan ini belum tersedia, maka aksesibilitas
masyarakat dalam bermobilisasi untuk bisa sampai ke Ibu Kota Kabupaten hanya
dapat dilalui dengan menggunakan transportasi laut dengan rentang waktu yang
dicapai kurang lebih 3 hari atau sekitar 72 jam. Transportasi yang digunakan
biasanya dalam satu bulan dua kali. Kondisi ini tentu menggambarkan bahwa dari
segi aksesibilitas masih sangat terbatas. Sedangkan jarak dari Ibu Kota Propinsi
(Ambon) ke Desa Kwaos ini dapat dicapai melalui transportasi laut dari pelabuhan
Negeri Tulehu/Mamoking. Dari sini dilanjutkan dengan menggunakan
transportasi laut menuju pelabuhan Desa Amahai dengan rentang waktu kurang
14
lebih 2 jam dan dilanjutakan dengan menggunakan transportasi darat selama
kurang lebih 4 jam ke pelabuhan Desa Tehoru setelah itu kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan transportasi laut dalam rentang waktu kurang dari 2-5 jam
tempuh. Kondisi aksesibilitas seperti ini diakibatkan tidak memadainya sarana
dan prasarana pendukung darat terutama yang menyangkut dengan infrasruktur
jalan, sehingga umumnya akses yang ditempuh masih dengan menggunakan
transportasi laut.
Secara geografis Desa Kwaos sebelah Timur berbatasan dengan
kecamatan Geser, sebelah Barat berbatasan dengan petuanan Desa Atiahu, sebelah
Utara dengan petuanan Desa Bula dan sebelah Selatan berbatasan dengan Laut
Banda. Luas wilayah Desa Kwaos adalah 175,58 ha.
15
Jumlah 583 100
Sumber. Data Statistik Desa Kwaos 2016
16
Februari 28,3 31,6 25,0 229,9 17 82
Maret 28,2 32,9 21,2 183,6 15 82
April 27,0 32,7 20,8 205,5 13 80
Mei 27,9 32,1 22,6 151,3 13 81
Juni 26,6 29,6 22,6 632,8 26 85
Juli 28,0 29,0 23,0 97,3 13 84
Agustus 25,9 29,2 23,2 13,9 13 80
September 26,4 30,4 22,6 67,8 12 82
Oktober 27,2 31,0 24,8 7,2 4 80
Nopember 28,3 32,8 24,2 67,0 9 79
Desember 28,7 33,5 24,9 144,2 14 80
Jumlah 330,6 377 23,0 1.981 168 975
Sumber. Data Seram Bagian Timur dalam Angka 2016.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
17
Sumberdaya hutan dalam perspektif masyarakat baik yang tinggal di
dalam maupun disekitarnya, tidak hanya menjadi tempat tinggal dan sumber
pemenuhan kebutuhan hidup saja, namun terlepas dari itu merupakan tumpuan
hidup (staff of life) yang telah berlangsung secara turun-temurun dengan beragam
totalitas kehidupan yang amat menyejarah serta dilengkapi dengan institusi lokal
(lembaga-lembaga adat), dengan beragam tata nilai, norma, dan hukum sosial
yang diberlakukan dalam mengatur hubungan diantara sesama maupun yang
berhubungan dengan sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
(Nugraha 2005).
Dalam aturan pengelolaan sumberdaya hutan di Desa Kwaos masing-
masing soa mempunyai aturan main tersendiri baik di dalam megatur hubungan
diantara sesama kelompok soa-nya maupun dengan kelompok soa yang lainnya.
Model sistem penguasaan/kepemilikkan masyarakat terhadap sumberdaya hutan
seperti ini menurut Lokollo (2005), merupakan bentuk penguasaan yang
didasarkan pada teritorial geneologis yaitu dominan penguasaan/kepemilikkan
terhadap sumberdaya hutan dan lahan terdiri dari beberapa mata rumah/rumah
tau berbeda yang tergabung dalam satu soa tertentu dengan pembagian teritorial
telah disepakati secara adat berdasarkan masing-masing soa.
Soa yang memiliki kekuasaan kelola terbesar di Desa Kwaos adalah
kelompok Soa Rumadaul kemudian yang kedua adalah Soa Massa dan yang
terakhir adalah Soa Rumadan. Soa Rumadaul memiliki kekuasaan kelola lebih
besar bila dibandingkan dengan kedua soa lainnya dikarenakan dalam soa ini
terdapat banyak mata rumah/rumah tau yang masing-masingnya mempunyai
geneologis teritorial terhadap sumberdaya hutan telah diatur secara adat sejak dulu
begitupun dengan kedua soa yang lain.
Dalam perspektif ekologi budaya yang mempelajari hubungan fungsional
antara organisme dengan lingkungan hidupnya, termasuk budaya masyarakat desa
hutan, masyarakat desa hutan baik yang tinggal di dalam maupun di sekitarnya
memiliki hubungan dialektika yang erat dengan lingkungan sumberdaya hutan.
Hal ini dikarenakan hutan dan masyarakat setempat terdapat ikatan yang sangat
erat yang telah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu dengan suatu tatanan
sosial budaya yang terbentuk dengan ekosistem hutan (Nugraha 2005).
18
Bentuk pembagian penguasaan/kepemilikkan masing-masing soa ini,
walaupun tidak nampak secara fisik, namun masyarakat mampu mengenali
dengan mudah di lapangan. Hal ini di karenakan adanya sistem transfer
pengetahuan yang baik dari generasi ke generasi dengan memakai batas-batas
alam sebagai penandanya, seperti : nama pegunungan, bukit, sungai dan anak
sungai sebagai pembatas.
19
Indonesia dengan penduduk yang beragam, tentunya memiliki pula
berbagai keanekaragaman budaya yang berhubungan dengan sistem pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya alam. Maluku secara umum termasuk masyarakat
adat yang ada pada kedua negeri, memiliki aturan pemanfaatan sumberdaya alam
yang dikenal dengan sistem adat sasi. Adat sasi menurut Biley and Zerner (1992)
dalam Pical (2016), merupakan sebuah bentuk aturan pengelolaan sumberdaya
alam berbasiskan masyarakat, yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan
Maluku sejak jaman dulu kala. Istilah sasi berasal dari kata sangsi yang
mengandung pengertian tentang larangan pemanfaatan sumberdaya alam dalam
jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat.
Secara adat yang berperan dalam mengatur pelaksanaan sasi adalah
lembaga kewang. Kewang adalah orang-orang yang ditugaskan oleh saniri
negeri untuk mengatur pelaksanaan sasi sekaligus mempunyai otoritas untuk
mengontrol pemanfaatan sumberdaya alam di dalam petuanan negeri baik di darat
maupun di laut untuk rentang waktu yang tertentu. Kewang diangkat secara adat
melalui musyawarah negeri yang dilakukan dalam rumah adat (baeleo).
Kepala kewang dan wakil kepala kewang diangkat berdasarkan garis
patrilineal. Kemudian anggota-anggota kewang diangkat dari masyarakat. Dalam
organisasi kewang pelindung atau penasehat adalah raja. Pelaksanaan tugas
kelompok kewang pada dasarnya dilandasi sepenuhnya oleh ketentuan-ketentuan
adat yang berlaku yaitu kelompok kewang mengontrol dan mengawasi masyarakat
untuk tidak mengambil hasil-hasil dusung yang di sasi, sampai jangka waktu
ditentukan.
20
Soa Watimena bersama-sama menghadap raja selaku pimpinan negeri/kepala adat
untuk menyampaikan keinginan atau aspirasi dari masyarakat untuk
mengamankan hasil dusung berupa buah-buahan masyarakat sampai pada waktu
yang diinginkan yaitu waktu dimana buah-buahan yang di sasi dapat mencapai
waktu panennya.
Dalam pertemuan terbatas ini, apabila raja menyepakati keinginan
masyarakat yang disampaikan melalui kepala-kepala soa, maka raja beserta para
saniri negeri akan membentuk lembaga kewang yang bertugas untuk melakukan
fungsi pengawasan terhadap sumberdaya dusung dengan jeis-jenis tanaman yang
akan di sasi. Pembentukan lembaga kewang, biasanya sangat rahasia dan tidak
diketahui oleh masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai kebiasaan dengan maksud
agar akses yang dilakukan oleh kelembagaan kewang dalam melakukan fungsi
kontrolnya tidak mudah diketahui masyarakat. Hasil kesepakatan pelaksanaan
sasi kemudian diberitahukan kepada seluruh masyarakat terutama tentang hasil
dusung yang akan di sasi sampai pada jangka waktu yang akan ditentukan dengan
penanggung jawab sasi adalah raja selaku pimpinan adat.
21
ada di dalam negeri mengetahui telah dilakukannya kegiatan pelarangan untuk
memungut hasil-hasil dusung, juga sebagai simbol pemberitahuan kepada
masyarakat di negeri lain tentang dilakukannya kegiatan larangan pengambilan
hasil dusung atau yang dikenal dengan istilah tutup sasi.
22
Aturan pemanenan Durian
Pemanenan Durian akan dilakukan apabila buah Durian sudah mulai
berjatuhan. Pemanenan harus melalui pemberitahuan resmi dari kelembagaan
kewang. Sepanjang belum ada pemberitahun resmi, maka masyarakat belum
boleh mengambil hasil dusung yang di sasi. Pada saat sasi Durian sudah dibuka
masyarakat tidak diperkenankan untuk memanjat pohon Durian. Aturan yang
memuat unsur larangan ini dimaksud agar buahnya dapat dinikmati oleh semua
lapisan masyarakat. Hal ini dikarenakan untuk jenis hasil dusung Durian, semua
masyarakat baik komunitas pendatang maupun yang asli diperbolehkan mencari
atau memungut buah yang berjatuhan pada dusung-dusung orang lain walaupun
itu bukan miliknya.
4. Bentuk sangsi
Sangsi merupakan salah satu tindakan hukuman yang dilakukan oleh
lembaga kewang dan raja terhadap pihak-pihak yang tidak mematuhi aturan yang
dijalankan selama rentang waktu sasi yang ditentukan. Sangsi yang diberlakukan
terhadap orang yang melanggar aturan sasi di Desa Kwaos adalah dengan
mempermalukannya di tempat umum, seperti di jalan-jalan dengan mengikat
jenis-jenis hasil dusung yang diambilnya itu ke badannya dan disuruh berteriak
mengelilingi negeri dengan teriakan jangan ikuti saya, saya telah mencuri hasil
dusung yang di sasi. Bentuk sangsi ini untuk masyarakat biasanya disebut dengan
istilah salela. Sedangkan di Desa Kwaos bentuk sangsi yang diberlakukan
23
terhadap orang yang melanggar aturan sasi adalah dipanggil ke rumah raja,
kemudian diadili sesuai perbuatan yang dilakukannya, dengan menghadirkan para
saniri negeri dan kepala kewang. Sangsi yang dilakukan yaitu dengan memukul
oknum yang bersangkutan, dan disuruh membayar dalam bentuk uang kepada
negeri akibat pelanggaran yang dilakukan. Sangsi dalam bentuk moneter/uang
untuk jenis Durian perbuah yaitu sebesar Rp 50.000,-, Kelapa Rp. 50.000,- dan
Langsat Rp. 25.000,-/kg.
]
24
BAB VI 36. Kelapa
37. Lansa
KESIMPULAN DAN SARAN 38. Pinang
39. Lansa
40. Kelapa
A. Kesimpulan
1. Masyarakat Desa Kwaos memiliki sistem kekerabatan masyarakat yang terdiri
dari kesatuan-kesatuan geneologis yang berperan dalam pengaturan
pengelolaan sumberdaya hutan termasuk dusung didasarkan pada teritorial
geneologis.
2. Pengelolaan hasil-hasil dusung diatur melalui sistem adat sasi yang
diselenggarakan oleh raja dan para saniri negeri melalui musyawarah di
tingkat negeri.
B. Saran
1. Sistem kelembagaan masyarakat di desa Kwaos dalam mengatur hak-hak
penguasaan atau kepemilikkan masyarakat dalam mengelola sumberdaya
hutan dengan sistem-sistem agroforestri yang dikembangkan, perlu
dipertahankan dan dikembangkan dalam upaya menciptakan pelestarian
sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan yang berkelanjutan.
25
2. Sasi sebagai salah satu bentuk aturan pengelolaan sumberdaya alam yang
berbasiskan masyarakat, dalam menghadapi tekanan penduduk yang terus
meningkat saat ini, perlu untuk dipertahankan sehingga perannya secara sosial
ekonomi dapat memberikan kelestarian pendapatan yang berkesinambungan
bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ajawila JW. 1996. Sistem Sosial Budaya Agroforestri Dusung. Lokakarya Peran
Dusungg Terhadap Kelestarian Lingkungan. Kerjasama WIPTEK –
CIDA, Ambon.
Arifin HS 2003. Agroforestri Kompleks: Pola dan Struktur Pekarangan di
Kawasan Das Cianjur, Jawa Barat. World Agroforestry Centre
(ICRAF)
Arief A. 1994. Hutan. Hakikat dan pengaruhnya terhadap Lingkungan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Bokar 2006. Hak Ulayat Masyarakat Yang Ada Dalam Masyarakat Labuhanbatu
Demi Terciptanya Tertib Hukum Tentang Penguasaan Tanah. Pogram
Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara.
26
North DC. 1995. The new institutional economics and third world development.
In: Harris J, Hunter J and Lewis C. (eds.). 1995. The New
Institutional Economics and Third World Development. Pp 17-26,
Routledge, London.
Nugraha A. 2005. Antropologi Kehutanan. Penerbit : Wana Aksara
Yin RK. 1997. Studi Kasus (Desain dan Metode). Rajawali Grafinfo Persada
Jakarta.
27
Lampiran 1 Daftar istilah
1. Mata rumah/rumah tau adalah suatu kesatuan kekerabatan yang terdiri dari
beberapa rumah tangga dengan memakai nama keluarga berupa marga yang
sama dalam suatu negeri.
2. Soa adalah suatu persekutuan teritorial geneologis, yang terdiri dari kelompok
masyarakat yang di dalamnya bisa terdiri dari seketurunan (geneologis)
maupun terdiri dari beberapa mata rumah/rumah tau di dalam negeri.
3. Raja adalah pimpinan lembaga adat yang melaksanakan tugas memimpin
negeri.
4. Saniri Negeri adalah lembaga adat di tingkat negeri yang terdiri dari raja,
kepala-kepala soa, marinyo, kewang, tuan tanah dan kapitan.
5. Kepala soa adalah pimpinan dari suatu negeri yang di dalamnya terdiri dari
beberapa marga.
6. Kewang (polisi hutan dan laut) yang memiliki peran dalam menjaga dan
mengawasi lingkungan negeri baik di darat maupun di laut.
7. Marinyo adalah menyampaikan berita dari raja kepada staf pemerintahan
yang lain dan kepada masyarakat secara umum.
28
8. Kapitan adalah panglima perang yang bertugas mengakomodir masyarakat
dalam menghadapi serangan-serangan dari luar yang mengganggu
ketentraman dan keamanan masyarakat di dalam negeri.
9. Dati adalah tanah atau wilayah adat yang dapat mengatur hak masyarakat baik
dalam negeri maupun yang berada di luar negeri terhadap wilayah
kekuasaannya atas sumberdaya hutan.
10. ewang adalah areal berupa hutan primer yang belum pernah di olah.
11. Sasi adalah aturan pengelolaan sumberdaya alam berbasiskan masyarakat,
yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan Maluku yang keberadaannya
sudah ada sejak jaman dulu kala.
12. Tutup sasi merupakan kegitan pelarangan terhadap akses masyarakat untuk
mengambil atau memungut jenis-jenis hasil dusung-nya sampai dengan jangka
waktu yang ditentukan.
13. Buka sasi merupakan salah satu bentuk aturan dimana masyarakat dapat
diperbolehkan mengambil hasil-hasil dusung yang telah di sasi.
14. Salela adalah bentuk hukuman yang diberikan kepada orang yang melanggar
aturan sasi dengan dipermalukan di tempat umum seperti di jalan-jalan dengan
mengikat jenis-jenis hasil dusung yang ambilnya itu kebadannya.
29
STUDI KELEMBAGAAN ADAT SISTEM SASI DALAM
PENGELOLAAN AGROFORESTRI DUSUNG DI DESA
KWAOS SIRITAUN WIDA TIMUR SERAM BAGIAN TIMUR
30
AMIRUDIN MASSA
NIM 20155121098
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
2019
31