Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS NOVEL BEKISAR MERAH

SINOPSIS
Karangsoga adalah sebuah desa di kaki pegunungan vulkanik. Keindahan bentangan alam
dengan Kalirong yang terletak di sebelah utara Karangsoga yang merupakan nadinya. Darsa menatap
bentangan keindahan alam Karangsoga. Hujan semakin deras diikuti guntur dan angin yang kencang
semakin membuat Darsa semakin berkecamuk hatinya. Sebagai seorang penderas dia tidak mungkin
menyadap nira dengan cuaca seperti itu. Begitu juga bagi para penderas nira yang lain, mereka harus
merelakan pongkor yang penuh nira menjadi masam terlambat diangkat karena hujan yang terus
turun. Semangat sejati Darsa kembali muncul ketika melihat cuaca diluar mulai berubah, hujan
benar-benar berhenti, bahkan mata hari kemerahan muncul dari balik awan hitam. Sementara itu,
Lasi mempersiapkan perkakas suaminya; arit penyadap, pongkor-pongkor, dan pikulannya, serta
caping bambu. Namun hari itu bukan keberuntungan bagi Darsa, dia terjatuh dari pohon nira yang
penduduk Karangsoga menyebutnya sebagai “kodok lompat”. Akibat dari jatuh itu Darsa mengalami
lemah pucuk. Akibat jatuhnya Darsa dari pohon kelapa membuat munculnya berbagai masalah.
Darsa suka marah-marah terhadap Lasi. Melihat keadaan Lasi yang selalu dimarahi dan merawat
Darsa yang lumpuh itu, mbok Wiryaji tidak tega. Mbok Wiryaji memiliki niat supaya Lasi dan Darsa
berpisah. Tetapi Mbok Wiryaji mengurungkan niatnya, ketika mendapat nasihat dari Eyang Mus.

Berbagai upaya dilakukan Lasi supaya Darsa sembuh. Perekonomian yang membuat Lasi
akhirnya tidak membawa Darsa ke rumah sakit yang lebih besar, dia memilih untuk membawa Darsa
kepada Bunek. Bunek adalah dukun bayi yang sering mengurut. Setelah beberapa bulan Bunek
mengurut dan mengobati Darsa, akhirnya Darsa sembuh. Darsa bisa melakukan pekerjaan seperti
biasanya dan tetap semangat dalam menyadap nira. Kebahagiaan itu ternyata diikuti suatu masalah
karena Bunek menuntut Darsa untuk menikahi Sipah anaknya yang telah mengandung. Berita
tuntutan itu telah sampai di telinga Lasi. Lasi tidak tahan mendengar perbuatan suaminya dan
perguncingan masyarakat, maka dia meninggalkan Karangsoga. Lasi meninggalkan Karangsoga
dengan ikut mobil pengangkut gula menuju Jakarta. Pardi dan Sapon mengijinkan Lasi untuk ikut
mereka ke Jakarta, tapi sebelumnya Pardi memberikan pesan rahasia bahwa Lasi telah ikut mereka
ke Jakarta supaya penduduk Karangsoga tidak merasa khawatir. Dalam perjalanan menuju Jakarta
mereka singgah pada beberapa warung. Di warung itulah Lasi berkenalan dengan Bu Koneng, Si
Anting Besar, dan Si Betis Kering.

Sementara itu Karangsoga ribut membicarakan kepergian Lasi dari desa itu. Darsa hanya
mampu meratapi keadaan dan kesalahannya karena telah menyakiti Lasi dengan perbuatannya
bersama Sipah anak Bunek. Darsa meminta nasihat kepada Eyang Mus atas semua permasalahan
yang dihadapi. Lasi mulai menikmati kehidupan barunya bersama Bu Lanting di kota. Dia tidak
menyadari bahwa Bu Lanting ternyata menawarkan dirinya kepada Pak Handarbeni, seorang overste
purnawira. Pak Handarbeni berhasil merebut jabatan terpenting pada PT bagi-bagi niaga, bekas
sebuah perusahaan asing yang dinasionalisasi. Lasi sudah berdandan dan bersiap menerima tamu
Bu Lanting yang tidak lain adalah Pak Han. Bel rumah berbunyi, ternyata yang datang adalah Kanjat,
dia berusaha mengajak pulang Lasi ke Karangsoga, tetapi niatnya itu ditolak Lasi. Bagi Lasi hidup
bersama Bu Lanting lebih baik daripada bersama suaminya. Lasi tidak mau dimaru bareng sabumi,
dimadu dalam satu kampung. Setelah berpikir semalaman, akhirnya Lasi menerima tawaran Bu
Lanting yang menjodohkan dia dengan Pak Han. Tetapi sebelumnya Lasi mengajukan keinginan
untuk pulang ke kampung halamannya di Karangsoga menemui orangtuanya. Kedatangan Lasi
dengan mengendarai sedan dan berpenampilan menawan itu membuat gempar desa Karangsoga.
Selain ingin menemui orangtuanya juga mengurus surat perceraian dengan Darsa. Dengan
membawa Surat Sakti dari seorang overste purnawira di Jakarta yang ditujukan kepada kepala desa
Karangsoga dan kepala kantor urusan agama maka talak Darsa pun jatuh.

Berita Lasi menjadi janda sampai kepada Kanjat. Dia menemui Lasi untuk mengutarakan
perasaannya. Namun, Lasi menolak maksud Kanjat yang ingin menikahinya dengan alasan dia sudah
mempunyai rencana menikah dengan overste muda Pak Handarbeni yang sudah banyak
memberinya harta. Lasi akhirnya melaksanakan pernikahan dengan Pak Han di Slipi. Di hari
pernikahannya Lasi merasa tidak bahagia karena tidak ada satu pun kerabat yang datang.
Pelaksanaan pernikahan itupun sederhana, seperti main-main, bahkan bagi dia lebih menarik
pernikahan main-mainnya waktu kecil. Pada malam pertamanya dia harus menerima kenyataan
bahwa suaminya impoten. Lasi merasa kecewa namun dia harus menerima kenyataan itu. Sebagai
seorang wanita Karangsoga, ia masih menyisakan sedikit keyakinan bahwa seorang istri harus
narima. Lasi hanya dijadikan Pak Handarbeni sebagai bekisar merah, simbol kejantanan Handarbeni
di depan teman-temannya.

Lasi yang merasa tertekan dengan keadaan pernikahannya akhirnya bercerita kepada Bu
Koneng. Mendengar itu, Bu Koneng berniat menyuruh Lasi meminta cerai dan akan mencarikan
suami baru yang lebih kaya. Namun, Lasi masih merasa kasihan terhadap keadaan Pak Han,
bagaimanapun Pak Han telah banyak memberikannya kebahagiaan harta. Karena tekanan batin, Lasi
akhirnya meminta izin untuk sementara waktu pulang ke Karangsoga menemui emaknya. Lasi
menikmati suasana di Karangsoga, bahkan dia sangat menikmati udara, suasana hujan. Malam itu
Lasi merasa terusik karena atap kamarnya bocor. Baru dia sadar bahwa ia harus segera memperbaiki
rumah orangtuanya yang sudah hampir lapuk. Beberapa hari di Karangsoga Lasi baru ingat kepada
Eyang Mus. Ia kemudian menemui Eyang Mus yang kondisinya semakin tua dan tinggal sendiri
karena istrinya telah meninggal. Kedatangan Lasi hendak memugar surau mendapat penolakan
Eyang Mus. Eyang Mus mengatakan bahwa yang membutuh kan bantuan dana adalah Kanjat.
Kanjat memiliki rencana membuat percobaan pengolahan nira besar-besaran. Hari itu Lasi dan
Kanjat bertemu, Lasi menceritakan semua keadaan pernikahnya kepada Kanjat. Ia juga
menceritakan rencana perceraiannya. Lasi meminta kepada kanjat untuk menikahinya ketikaia
sudah bercerai dengan Pak Han. Tidak hanya masalah pernikahan yang mereka bicarakan, tetapi juga
keadaan yang terjadi di Karangsoga. Kepedihan kehidupan Karangsoga semakin bertambah ketika
listrik masuk desa itu. Sebagian pohon kelapa harus segera dirobohkan supaya aliran-aliran listrik
lancar. Selain itu banyak penyadap yang tersengat listrik. Lasi dan Kanjat menemui Darsa yang
mengalami kepedihan karena sepuluh dari dua belas pohon kelapanya harus ditebang akibat
terkena listrik. Lasi hanya bisa membantu uang untuk kebutuhan Darsa selama satu tahun. Lasi dan
Kanjat pulang, mereka masing-masing berpisah dipersimpangan jalan.
ANALISIS INTRINSIK
1. Tema
Dalam novel ini, pengarang ingin mengungkapkan masalah sosial yaitu penindasan kaum
bawah (miskin) dalam pembangunan. Ahmad Tohari mengungkapkan bagaimana
kepasrahan kaum bawah dalam menghadapi kemiskinan.
2. Alur
a. Tahap Pengenalan
Tahap Pengenalan adalah tahap pengarang mulai memperkenalkan tempat
kejadian cerita, waktu, tokoh-tokoh cerita dan permasalahan sebagai sumber
konflik di antara tokoh-tokoh yang bertikai. Awal mula diceritakan tentang
kehidupan penderas kelapa di Karangsoga. Pengarang menceritakan secara detail
bentangan alam Karangsoga, masyarakatnya daricrakyat miskin sampai tokoh Pak
Tir yang menguasai penjualan kelapa di desa Karangsoga. Salah satu penderas
kelapa yang memiliki keperuntungan hidup adalah Darsa yang mendapat istri cantik
yang memiliki fisik berbeda dengan wanita di desa itu. Ahmad Tohari mulai
memperkenalkan satu persatu fisik tokohnya beserta perwatakannya melalui
pelukisan watak tokoh langsung dan tidak langsung. Walaupun hidup kekurangan
bersama Darsa, Lasi tetap bersyukur tidak pernah mengeluh dengan keadaan pas-
pasan. Gambaran kaum miskin yang selalu pasrah dan menerima dengan keadaan
yang diberikan Tuhan kepadanya.
b. Tahap Permulaan Konflik
Tahap Permulaan Konflik adalah peristiwa mulai adanya problem-problem
yang ditampilkan pengarang untuk kemudian ditingkatkan mengarah pada
peningkatan konflik. Konflik ini bermula ketika Darsa kecelakaan jatuh dari pohon
kelapa yang disadapnya. Konflik pertama ketika Darsa mengalami kondisi yang
parah karena jatuh dari pohon kelapa sehingga dia harus dirawat di rumah sakit
yang lebih lengkap peralatannya. Lemah pucuk serta keadaan Darsa yang selalu
ngompol itu membuatnya harus lebih ekstra dalam penanganan. Darsa pun
mengalami psikologi yang semakin parah karena tekanan batin atas keadaan yang
menimpanya. Sehingga Lasi selalu menjadi pelampiasan kekesalan dan amarahnya.
c. Tahap Penggawatan
Konflik cerita semakin meningkat ketika kemiskinan dan kekurangan
sehingga Lasi tidak mampu membayar biaya perawatan Darsa. Lasi mengambil
keputusan sesuai saran orang-orang untuk membawa ke Bunek seorang dukun
bayi. Keputusan itu membawa hasil yang baik karena lambat laun Darsa semakin
membaik keadaannya. Darsa akhirnya sembuh dari penyakit lemah pucuk.
Keperkasaan Darsa pun segera diuji oleh Bunek. Darsa berhubungan dengan anak
Bunek yang bernama Sipah. Hubungan ini justru menjadi pemicu konfliksemakin
meningkat karena Sipah anak Bunek yang pincang itu hamil. Bunek pun menuntut
Darsa untuk menikahi Sipah anaknya.
d. Komplikasi
Konflik semakin banyak ketika berita Sipah hamil dan Bunek menuntut Darsa
untuk mengawini anaknya itu sampai kepada Lasi. Lasi marah dan tidak bisa
menerima kelakuan suaminya itu. Lasi pergi dari Karangsoga dengan menumpang
truk yang mengantarkan gula ke kota. Konflik semakin ruwet dan meningkat ketika
Lasi tidak mau lagi kembali ke Karangsoga. Dia lebih nyaman tinggal bersama Bu
Koneng di warung makan itu. Konflik terus memuncak lagi ketika dia diperkenakan
kepada Bu Lanting. Lasi tidak sadar bahwa niat Bu Lanting adalah untuk
menjualnya, karena Lasi merupakan aset kekayaan baginya.
e. Klimaks
Klimaks yaitu puncak dari kejadian-kejadian dan merupakan jawaban dari
semua problem atau konflik yang tidak mungkin dapat meningkat atau dapat lebih
rumit lagi. Puncak problematika pada novel Bekisar Merah ini ketika Lasi menerima
tawaran dari Bu Lanting untuk menikah dengan seorang Ovester bernama Pak
Handarbeni yang umurnya jauh lebih tua dan layak sebagai bapaknya. Konflik batin
terjadi ketika Kanjat datang menemuinya ke kota. Lasi menaruh harapan besar
Kanjat mampu membawanya pergi dari rumah itu dan menikahinya. Namun, Kanjat
hanya diam dan tidak bisa memperjuangkan Lasi karena Kanjat merasa dirinya tidak
pantas mendapatkan Lasi. Sehingga hari berikutnya setelah pertemuannya dengan
Kanjat itu dia memutuskan bersedia menikah dengan Pak Handarbeni.
Pernikahannya muncul banyak konflik salah satunya adalah Pak Handarbeni
ternyata sudah impoten. Sehingga Lasi merasa bahwa pernikahan yang dia jalani
tidak lebih sebuah mainan saja. Seperti permainanya ketika masih kecil di desa
Karangsoga bersama teman-temannya.
f. Tahap Peleraian
Lasiyah merasa penat sebagai seorang yang hanya tak ubahnya Bekisar
Merah simpanan Pak Handarbeni yang kaya raya itu. Dia merasa ternyata kekayaan
tidaklah selalu memberikan segalanya, terutama kebahagiaannya. Lasi
memutuskan untuk pulang sejenak ke desa Karangsoga. Dia merindukan
kedamaian dan suasana alam Karangsoga. Di desa itu Lasi menemukan sejenak
ketenangan. Lamunannya kembali pada masa kecil, masa dia menjadi istri Darsa. Di
desa Karangsoga Lasi membangun rumah emaknya yang semakin rapuh itu. Di sana
ia juga menemui Eyang Mus. Dia berniat untuk membangun surau. Namun Eyang
Mus tidak mengizinkannya dengan berbagai pertimbangan dan nasihat. Eyang Mus
juga memberi nasihat kepada Lasi jika ingin memberikan bantuan yang paling
berhak dibantu adalah Kanjat. Akhirnya Lasi menemui kanjat untuk membicarakan
banyak hal.
g. Tahap Penyelesaian
Pertemuan Lasi dan Kanjat tidak hanya membicarakan tentang rencana
Kanjat yang ingin membantu rakyat Karangsoga. Justru Lasi menggunakan
kesempatan itu kepada Kanjat untuk meminta menikahinya ketika nanti dia sudah
menjadi janda. Namun Kanjat tidak menjawab apapun karena ia tahu posisi Lasi
masih istri seorang ovester yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Mereka
akhirnya memutuskan berpisah dipersimpangan jalan. Perpisahan itu masih
menyisakan banyak pertanyaan apakah mereka akan bersatu atau tidak akan
bersatu selamanya. Dalam hati Lasi juga masih menyisakan keraguan apakah
harapannya untuk menikah dengan Kanjat akan terwujud.
3. Tokoh dan Penokohan
a. Lasiyah (Lasi)
Lasiyah adalah tokoh utama sekaligus tokoh protagonis dalam novel Bekisar
Merah. Tokoh ini adalah tokoh yang sering kali muncul dan mendominasi cerita.
Pengarang menggunakan teknik dramatik dalam pelukisan tokoh. Lasi memiliki ciri-
ciri fisik; memiliki bola mata hitampekat, berkelopak tebal tanpa garis lipatan,
kulitnya bersih, rambut hitam lurus lebat, dan memiliki badan yang indah. Kutipan
yang menjelaskan ciri fisik Lasiyah, dilukiskan atau digambarkan oleh tokoh lain
yaitu tokoh Darsa dan Mbok Wiryaji:
Darsa selalu berdebar bila menatap bola mata istrinya yang hitam pekat.
Seperti kulitnya, mata Lasi juga khas; berkelopak tebal, tanpa garis lipatan. Orang
kampung mengatakan mata Lasi kaput. Alisnya kuat dan agak naik pada kedua
ujungnya. Seperti cina (Ahmad Tohari, 2005:11)
Dengan mata yang sayu dipandanginya anaknya yang tetap membisu.
Dalam hati mbok Wiryaji bangga akan anaknya; kulitnya bersih dengan rambut
hitam lurus yang sangat lebat dan badannya lebih besar dari anak-anak sebayanya.
Tungkainnya lurus dan berisi (Ahmad Tohari, 2005: 37)
Tokoh Lasi dalam Bekisar Merah memiliki watak baik hati, istri yang
berbakti. Tetapi Lasi memiliki watak negatif, yaitu watak Lasi tidak mudah
memaafkan dan melupakan sakit hati. Kutipan yang menunjukkan watak baik hati
Lasi adalah ketika ia harus menerima lamaran Pak Han karena dia merasa harus
membalas budi atas kebaikan Bu Lanting selama ini.
Dua pilihan? Oh, tidak. Hanya satu pilihan! Tiba-tiba Lasi sadar dirinya
bahwa dia berhadapan dengan hanya satu pilihan. Lasi hampir mustahil bilang
“tidak”. Lasi merinding ketika menyadari dirinya telah termakan oleh sekian
banyak pemberian; penampungan oleh Bu Lanting, segala pakaian, bahkan juga
makan dan minum. Uang dan perhiasan. Belum lagi hadiah-haiah dari Pak Han. Lasi
merasa terkepung dan terkurung oleh segala pemberian itu. Lasi terkejut dan
merasa dikejar oleh aturan yang selama ini diyakini kebenarannya. Bahwa tak ada
pemberian tanpa menuntut imbalan. Dan siapa mau menerima harus mau pula
memberi. “ ya ampun, ternyata diriku sudah tertimbun rapat oleh utang
kabecikan, utang, utang budi, atau apalah namanya. Bila aku masih punya muka,
aku harus menuruti kemauan Bu Lanting untuk membayar lagi utang itu. Aku tak
mungkin menampik Pak Han. Tak mungkin?” (Ahmad Tohari, 2005: 203).
Watak negatif tokoh Lasi adalah tidak mudah memaafkan dan pendendam
dilukiskan dengan cerita atau secara deskripsi narasi. Kutipan yang menjelaskan
watak negatif tokoh Lasi sebagai berikut.
Dalam kamarnya Lasi duduk dengan pandangan mata kosong. Lasi masih
tercekam oleh pengalaman digoda anak-anak sebayanya. Meskipun godaan anak
nakal hampir terjadi setiap hari, Lasi tak pernah mudah melupakannya. Bahkan ada
pertanyaan yang mengembang dalam hati; mengapa anak-anak perempuan lain
tidak mengalami hal sama? Mengapa namanya selalu dilencengkan menjadi
Lasipang? Dan apa orang jepang? (Ahmad Tohari, 2005: 34).
Selain itu watak Lasi yang negatif adalah mudah mengeluh, kutipan yang
menunjukkan watak Lasi sebagai berikut.
Di rumah, Lasi menyiapkan tungku dan kawah untuk mengolah nira yang
sedang diambil suaminya. Senja mulai meremang. Setumpuk kayu bakar
diambilnya dari tempat penyimpanan di belakang tungku. Sebuah ayakan bambu
disiapkan untuk menyaring nira. Pada musim hujan Lasi sering mengeluh karena
jarang tersedia kayu bakar yang benar-benar kering. Mengolah nira dengan kayu
setengah basah sungguh menyiksa. Bahkan bila takuntung, gula tak bisa dicetak
karena pengolahan yang tak sempurna (Ahmad Tohari, 2005: 16-17).
b. Darsa
Tokoh Darsa adalah tokoh antagonis karena tokoh ini yang menyebabkan
konflik dalam batin tokoh utama (Lasi). Tokoh ini yang pada mulanya
memunculkan konflik dalam cerita. Sisi positif watak Tokoh Darsa memiliki
semangat bekerja yang tinggi. Kutipan yang menunjukkan psikis dari Darsa yang
memiliki semangat yang tinggi dalam bekerja sebagai berikut.
Meski punya pengalaman pahit terbanting dari ketinggian puncak kelapa,
semangat Darsa tetap tinggi, tak terlihat kesan khawatir akan jatuh buat kali
kedua. Di Karangsoga belum pernah terdengar cerita seorang penyadap jera
karena jatuh…. (Ahmad Tohari, 2005: 68).
Dari kutipan di atas jelas bahwa Darsa tetap semangat dalam keadaan sakit.
Bahkan pada akhir cerita dilukiskan kembali watak Darsa yang memliki jiwa
semangat. Kemiskinan yang dilami, bahkan saat listrik-listrik masuk desa
Karangsoga dan hampir seluruh pohon-pohon kelapa Darsa terkena aliran listrik
dan harus ditebang. Dia tetap memperlihatkan semangatnya sebagai seorang
penderas kelapa, walaupun hanya tinggal tiga pohon saja.
c. Pak Handarbeni
Tokoh Pak Handarbeni atau sering disebut Pak Han ini merupakan tokoh
antagonis juga, karena tokoh ini menyebabkan konflik batin pada diri tokoh utama
(Lasi). Tokoh ini yang kemudian membuat tokoh utama mengalami konflik batin.
Keegoisan sifat dari Pak Han ini yang mendominasi penyebab konflik batin antara
Lasi dan Pak Handarbeni.Tokoh Pak Han dijelaskan dimensi fisik dan psikisnya. Ciri
fisiknya adalah tubuhnya bundar, wajahnya gemuk, tengkuk, dagunya tebal, dan
hidungnya gemuk. Kutipan yang menunjukkan ciri fisik Pak Han dilukiskan melalui
deskripsi sebagai berikut.
Hal pertama yang tekesan oleh Lasi adalah cincin emas besar dengan batu
yang berwarna biru melingkar dijarinya. Jam tangannya pun kuning emas. Lalu
tubuhnya yang bundar tampa pinggang dan perutnya yang menjorok ke depan.
Wajahnya yang gemuk hampir membentuk bulatan. Tengkuk dan dagunya tebal.
Hidungnya gemuk dan berminyak. Lasi juga mencium wewangian yang dikenakan
tamu itu (Ahmad Tohari, 2005: 181).
d. Kanjat
Tokoh Kanjat merupakan tokoh tritagonis, kedudukan tokoh Kanjat ini
sebagai penengah konflik. Tokoh Kanjat sebagai pelerai konflik yang terjadi pada
tokoh utama yaitu Lasi. Kanjat sejak kecil dilukiskan sebagai orang yang memiliki
watak yang baik dan selalu membela Lasi, bahkan menjadi teman ketika Lasi
diasingkan oleh anak-anak yang lain. Tokoh Kanjat saat dewasa dilukiskan sebagai
tokoh yang tetap mencintai Lasi walaupun dia seorang janda. Kehadiran tokoh
Kanjat sanagat berperan penting ketika terjadi adanya konflik pada tokoh utama.
Tokoh Kanjat dari kecil hingga dewasa dilukiskan memiliki watak yang baik, suka
menolong, dan kepedulian tinggi kepada sesama. Kutipan yang menunujukkan
watak tokoh Kanjat sebagai berikut.
“Las, aku tidak ikut nakal, “ujar Kanjat yang tubuhnya lebih kecil karena
usianya dua tahun lebih muda. “Kamu tidak marah padaku, bukan?” (Ahmad
Tohari, 2005: 33)
Semua kenyataan yang ditemukan Kanjat dalam penelitian mengangkat
laten keprihatinan terhadap kehidupan para penyadap ke permukaan
kesadarannya. Keprihatinan bahkan keterpihakan. Dengan demikian Kanjat
sesungguhnya menyadari penyusunan skripsi yang dilakukannya mempunyai
kesadaran subjektivitas, setidaknya pada tingkat motivasinya… (Ahmad Tohari,
2005: 125).
e. Mbok Wiryaji
Tokoh Mbok Wiryaji merupakan tokoh tambahan yang fungsinya sebagai
pendukung tokoh utama. Tokoh Mbok Wiryaji adalah ibu Lasiyah yang
digambarkan sebagai sosok yang sabar dan ikhlas dalam menghadapi kehidupan.
Kutipan yang menunjukkan watak sabar dari tokoh Mbok Wiryaji sebagai berikut.
Sesungguhnya Mbok Wiryaji sudah bertekad menanggung sendiri kesusahan
itu. Tak perlu orang lain, apalagi Lasi, ikut menderita. Namun orang Karangsoga
gemar bergunjing sehingga Lasi mendengar rahasia yang ingin disembunyikannya…
(Ahmad Tohari, 2005: 36).
Kutipan di atas membuktikan bahwa tokoh Mbok Wiryaji ikhlas dan sabar
mengahadapi hujatan orang desa yang memiliki pandangan bahwa perkawinan
campuran menurut orang Jawa merupakan perbuatan yang tercela. Kesabaran
semakin ditunjukkan tokoh Mbok Wiryaji ini yang selalu diam dan tidak banyak
menceritakan masa lalunya kepada anaknya. Sedangkan watak tokoh yang
menunjukkan watak ikhlas ditunjukkan dalam kutipan di bawah ini.
“as, mereka tahu apa dan siapa kamu sebenarnya. Tetapi aku tak tahu
mengapa mereka lebih suka cerita palsu, barangkali untuk menyakiti aku dan
kamu. Sudahlah, Las, biarkan mereka. Kita sebaiknya nrima saja. Kata orang, nrima
ngalah luhur wekasane, orang yang mengalah akan dihormati pada akhirnya”
(Ahmad Tohari, 2005: 40).

f. Wiryaji
Tokoh Wiryaji merupakan tokoh tambahan yang fungsinya sebagai
pendukung tokoh utama. Tokoh Wiryaji memiliki watak sabar dan pasrah. Kutipan
yang menunjukkan psikis Wiyaji sebagai berikut.
“Rasanya kami sudah berusaha semampu kami,” ujar Wiryaji mencairkan
kebisuan. “utang sudah kami gali dan tentu tak akan mudah bagi kami
mengembalikannya. Bila usaha kami ternyata tak cukup untuk menyembuhkan
Darsa, kami sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kami tinggal pasrah” (Ahmad
Tohari, 2005: 52).
g. Eyang Mus
Tokoh Eyang Mus sebagai tokoh tritagonis sebagai pelerai dan peredam
konflik yang terjadi dalam cerita Bekisar Merah. Tokoh Eyang Mus memiliki
fungsi penengah konflik yang terjadi. Melalui tokoh Eyang Mus ini juga, pengarang
berusaha menyampaikan nilai-nilai pendidikankususnya nilai pendidikan agama
dan budaya. Watak yang dimiliki oleh Eyang Mus antara lain; penyabar,
bijaksana, berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan, serta percaya akan
kuasa Tuhan dan takdir hidup. Kutipan yang menunjukkan watak dari tokoh Eyang
Mus yang sabar dan berhati-hati dalam mengambil keputusan ditunjukkan melalui
dialog tokohnya sebagai berikut.
“Sabar. Dari dulu aku selalu ikut menanggung kesulitan yang kalian hadapi.
Sekarang aku juga ikut menyalahkan Darsa. Memang, wong lanang punya
wenang. Tetapi sesekali tak boleh sewenang-wenang. Jelas Darsa salah. Namun
aku minta jangan dulu bicara soal perceraian” (Ahmad Tohari, 2005: 76).
Kutipan di atas membuktikan watak Eyang Mus yang penyabar ternyata
bermanfaat sebagai pelerai konflik yang terjadi. Kemunculan tokoh Eyang Mus
sebagai penasehat ketika terjadi konflik di Karangsoga. Kutipan di atas juga
menjenegaskan bawa, tokoh tritagonis ini memiliki fungsi penting penyampaian
amanat pengarang tentang nasihat kehidupan. Watak tokoh Eyang Mus yang
percaya akan kuasa Tuhan dan takdir hidup ada ditangan Tuhan. Kutipan yang
menunjukkan watak tersebut sebagai berikut ini.
“Bila kamu percaya segala kebaikan datang dari Gusti dan yang sulit-sulit
datang dari dirimu sendiri, hanya kepada Gusti pula kamu harus meminta
pertolongan untuk mendapat jalan keluar. Jadi, lakukan pertobatan lalu berdoa
dan berdoa. Bila masih ada jodoh, takkan Lasi lepas dari tanganmu. Percayalah”
(Ahmad Tohari, 2005: 118).
Kutipan di atas menunjukkan menunjukkan watak Eyang Mus sebagai tokoh
tritagonis penengah konflik. Watak tersebut juga menguatkan bukti bahwa
pengarang, melalui tokoh Eyang Mus ingin menyampaikan pesan tentang nilai-nilai
pendidikan, kususnya nilai-nilai pendidikan agama. Watak itu juga menunjukkan
fungsi tokoh tritagonis sebagai pe gy RTnengah konflik yang terjadi pada tokoh-
tokoh yang lain, baik tokoh utama maupun tokoh tambahan.

h. Pak Tir
Tokoh Pak Tir merupakan tokoh tambahan. Tokoh Pak Tir memiliki ciri fisik;
gemuk, kepala bulat. Pelukisan ciri fisik tokoh Pak Tir secara dramatik melalui
pelukisan langsung. Sedangkan dimensi psikis tokoh Pak Tir adalah orang yang
mudah tersinggung dan memiliki ambisi besar untuk meraih harta. Kutipan yang
menunjukkan dimensi fisik dan psikis sebagai berikut.
Pak Tir sendiri sibuk dengan batang timbangan. Lelaki gemuk dengan kepala
bulat yang mulai botak itu bekerja cepat dan mekanis. Tangannya selalu tangkas
dalam memainkan batang timbangan, menangkapnya pada saat yang tepat, yaitu
ketika batang kuningan itu mulai bergerak naik. Keterampilan seperti itu akan
memberikan keuntungan persekian ons gula sekali timbang. Maka Pak Tir kadang
tersinggung apabila ada orang yang terlalu saksama memperhatikan caranya
menimbang gula. Pembayaran gula pun dilakukan Pak Tir dengan gampang dan
dingin (Ahmad Tohari, 2005: 70).
i. Bunek
Tokoh Bunek merupakan tokoh tambahan yang mendukung tokoh utama.
Tokoh ini mempengaruhi konflik yang muncul dalam cerita. Tokoh Bunek
dijelaskan ciri fisik dan psikisnya. Ciri fisiknya tinggi, wajah bulat panjang, kulitnya
lembut, dan rambutnya lebat. Pelukisan ciri Bunek melalui pelukisan langsung.
Kutipan yang menunjukkan fisik tokoh Bunek sebagai berikut.
Orang bilang ciri paling nyata pada diri Bunek adalah cara jalannya jalannya
yang cepat. Cekat-ceket. Langkahnya panjang dan ayunan tangannya jauh,
mungkin karena Bunek biasa tergesa bila berjalan memenuhi panggilan
perempuan yang sedang menunggu detik kelahiran bayinnya... namun ciri yang
lainnya pun tak kalah mencolok. Bunek selalu kelihatan paling tinggi bila berada di
antara perempuan-perempuan lain. Tawanya mudah ruah, juga latahnya. Pada
saat latah, ucapan yang paling cabul sekalipun dengan mudah meluncur dari
mulutnya. Namun dalam keadaan biasa pun Bunek biasa berkata mesum seringan
ia menyebut sirih yang selalu dikunyahnya. Wajah Bunek bulat panjang dan semua
orang percaya ia cantik ketika masih muda. Kulitnya malah masih lembut meskipun
Bunek sudah punya beberapa cucu. Rambutnya yang paling lebat mulai beruban
tetapi Bunek rajin menyisirnya sehingga menambah kesannya yang rapi dan
singset. Ia selalu ingin bergerak cepat (Ahmad Tohari, 2005: 62).
Sedangkan watak Bunek dijelaskan bahwa dia tokoh yang licik,
menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan hidupnya. Watak yang
demikina membuat munculnya konflik dalam cerita. Watak licik tokoh ini
ditunjukkan melalui dialog tokoh. Kutipan yang menunjukkan watak Bunek sebagai
berikut. Darsa sesudah kutolong mengembalikan kelelakiannya. Sebagai imbalan
aku balik minta tolong. Permintaanku sangat sederhana, enak pula
melaksanakannya; kawini Sipah. Kalian tahu, menunggu sampai orang
melamarnya, repot. Apa kalian mau mengawini anakku yang pincang itu? He-he-
he” (Ahmad Tohari, 2005: 79).
Kutipan di atas menjelaskan watak licik Bunek. Dia menghalalkan segala cara
supaya Sipah mendapatkan jodoh. Bunek sadar bahwa anaknya yang cacat itu
susah sekali mendapatkan suami. Maka, dengan cara licik ia memanfaatkan
kelemahan Darsa. Kelicikan dan perbuatan Bunek inilah yang kemudian membuat
konflik semakin ruwet.
j. Mukri
Tokoh Mukri merupakan tokoh tambahan. Watak Mukri; penolong, pekerja
keras. Kutipan yang menunjukkan psikis Mukri yang suka menolong dan pekerja
keras sebagai berikut.
“Aku tidak lupa apa yang semestinya kulakukan. Melihat ada kodok lompat.
Aku kemudian melepas celana yang kupakai sampai telanjang bulat. Aku menari
menirukan monyet sambil mengelilingi kodok lompat itu” (Ahmad Tohari, 2005:
21-22).
Selain itu, Mukri juga memiliki watak yang gigih bekerja. Sebagai seorang
pemuda desa ia menunjukkan kegigihannya dalam bekerja. Kutipan yang
menunjukkan sebagai berikut.
“Ya. Tetapi aku harus pergi dulu. Pekerjaanku belum selesai.” “Sudah
malam begini kamu mau meneruskan pekerjaanmu?” Pertanyaan itu berlalu
berlalu tanpa jawab. Mukri lenyap dalam kegelapan meski langkahnya masih
terdengar untuk beberapa saat. Kini perhatian semua orang sepenuhnya tertuju
kepada Darsa (Ahmad Tohari, 2005:22).
k. Pardi
Tokoh Pardi merupakan tokoh tambahan. Tokoh yang berfungsi mendukung
tokoh utama. Tokoh Pardi dalam novel ini digambarkan memiliki psikis yang suka
menolong dan bertanggung jawab. Kutipan yang menunjukkan watak dari tokoh
Pardi sebagai berikut.
Tetapi kesempatan itu digunakannya juga untuk titip pesan bagi orangtua
Lasi kepada pemilik warung. Bagaimana juga Pardi ingin membersihkan diri sebab
sebentar lagi pasti ada geger; Lasi raib dari Karangsoga (Ahmad Tohari, 2005: 82-
83).
Watak Pardi selain bertanggung jawab, dia juga suka menolong, sikap
tersebut ditunjukkan ketika dia menolong Lasi. Kebaikan yang ditunjukkan oleh
Pardi benar-benar tulus untuk menolong Lasi yang sedang dalam kesusahan. Pardi
tidak sama sekali meminta imbalan kepada Pardi. Kutipan yang menunjukkan
sebagai berikut.
“Terima kasih, Mas Pardi, aku memang tidak memegang uang. Dan uang ini
aku terima sebagai pinjaman. Kapan-kapan aku akan mengembalikannya padamu
“. “Jangan begitu, Las. Kita sama-sama di rantau, jauh dari kampung. Kita harus
saling tolong” (Ahmad Tohari, 2005: 93).

l. Bu Koneng
Tokoh Bu Koneng merupakan tokoh tambahan. Tokoh Bu Koneng adalah
tokoh yang memiliki watak licik dan mau melakukan segala hal untuk meraih
kepentingannya. Tokoh Bu Koneng ini dituangkan secara baik. Cara yang digunakan
Bu Koneng yaitu dengan memberikan tempat tinggal, pakaian, makanan, dan sikap
keibuan. Namun, dibalik sikap itu sebenrnya terkandung niat yang ingin
mendapatkan keuntungan demi dirinya sendiri. Kutipan yang menunjukkan watak
dari tokoh Bu Koneng sebagai berikut.

Seorang teman yang mau mengerti dan bisa menjadi bejana tempat menuangkan perasaan telah
ditemukan Lasi. Degan anggukan kepala dan senyum penuh pengertian Bu Koneng, dengan cara
yang sangat diperhitung

kan, menjadikan dirinya sandaran bagi hati Lasi yang kena badai…. (Ahmad Tohari, 2005: 97).

m. Bu Lanting

Tokoh Bu Lanting merupakan tokoh tambahan. Tokoh Bu Lanting memiliki watak licik, kebaikan
yang dia berikan tidak tulus dan cenderung mementingkan keinginannya sendiri atau egois. Kutipan
yang menunjukkan spikis Bu Lanting sebagai berikut.

Dua pilihan? Oh, tidak. Hanya satu pilihan! Tiba-tiba Lasi sadar dirinya bahwa dia berhadapan
dengan hanya satu pilihan. Lasi hampir mustahil bilang “tidak”. Lasi merinding ketika menyadari
dirinya telah termakan oleh sekian banyak pemberian; penampungan oleh Bu Lanting, segala
pakaian, bahkan juga makan dan minum. Uang dan perhiasan. Belum lagi hadiah-haiah dari Pak Han.
Lasi merasa terkepung dan terkurung oleh segala pemberian itu. Lasi terkejut dan merasa dikejar
oleh aturan yang selama ini diyakini kebenarannya. Bahwa tak ada pemberian tanpa menuntut
imbalan. Dan siapa mau menerima harus mau pula memberi. “ ya ampun, ternyata diriku sudah
tertimbun rapat oleh utang kabecikan, utang, utang budi, atau apalah namanya. Bila aku masih
punya muka, aku harus menuruti kemauan Bu Lanting untuk membayar lagi utang itu. Aku tak
mungkin menampik Pak Han. Tak mungkin?” (Ahmad Tohari, 2005: 203).

n. Si Anting Besar

Tokoh ini memiliki watak yang iri. Watak yang demikian ditunjukkannya ketika Lasi datang ke warung
bu Koneng, dia merasa bahwa Lasi akan menjadi saingannya. Kutipan yang menunjukkan watak
tokoh Si Anting Besar sebagai berikut.

Selesai mandi Lasi keluar dengan kain sarung dan kebaya biru terang. Kesan lusuh berubah menjadi
segar. Kulitnya menjadi lebih terang karena warna baju yang dipakainnya. Rambut disisir dan
dikonde seadanya, asal rapi. Bu Koneng mengajaknya makan pagi, bukan diruang warung melainkan
di ruang dalam. Lasi tak enak karena merasa terlalu diperhatikan, tetapi tak mampu menampik
kebaikan Bu Koneng. Si Betis Kering dan Si Anting Besar selalu mencuri-curi pandang. Tiga
perempuan muda yang tergolek berimpitan pun sudah lama terbangun. Mereka juga selalu mentap
Lasi dengan pandangan mata seorang pesaing (Ahmad Tohari, 2005: 94).

o. Si Betis Kering

Tokoh ini juga memiliki watak yang iri sama seperti tokoh Si Anting Besar. Watak yang demikian
ditunjukkan ketika Lasi datang ke warung bu Koneng, dia merasa bahwa Lasi akan menjadi
saingannya. Kutipan yang menunjukkan watak tokoh sebagai berikut.

Selesai mandi Lasi keluar dengan kain sarung dan kebaya biru terang. Kesan lusuh berubah menjadi
segar. Kulitnya menjadi lebih terang karena warna baju yang dipakainnya. Rambut disisir dan
dikonde seadanya, asal rapi. Bu Koneng mengajaknya makan pagi, bukan diruang warung melainkan
di ruang dalam. Lasi tak enak karena merasa terlalu diperhatikan, tetapi tak mampu menampik
kebaikan Bu Koneng. Si Betis Kering dan Si Anting Besar selalu mencuri-curi pandang. Tiga
perempuan muda yang tergolek berimpitan pun sudah lama terbangun. Mereka juga selalu mentap
Lasi dengan pandangan mata seorang pesaing (Ahmad Tohari, 2005: 94).

p. Sapon

Tokoh Sapon pada novel Bekisar merah adalah orang desa pengangkut gula ke kota. Tokoh ini
merupakan tokoh tambahan. Dia memiliki watak tanggung jawab. Watak itu terlihat ketika Sapon
membujuk Lasi untuk kembali ke Karangsoga bersamanya dan Pardi. Kutipan yang menunjukkan
watak Sapon sebagai berikut.

“Jangan, Las. Kamu jangan merepotkan kami. Kamu harus pulang. Bila tidak, aku dan Mas Pardi bisa
mendapat kesulitan. Kami bisa menjadi sasaran segala macam pertanyaan” (Ahmad Tohari 2005:
98).

Sapon merasa bertanggung jawab terhadap Lasi karena ia yang mengijinkan Lasi ikut bersamnya.
Sapon juga bertanggug jawab kepada penduduk dan masih menjunjung tinggi adat sopan santun.

4. Setting

Setting berkaitan dengan pengadegan, latar belakang, waktu cerita, dan waktu penceritaan.
Pengadeganan artinya penyusunan adegan-adegan di dalam cerita. Tidak semua kejadian dalam
kehidupan sang tokoh dilukiskan di dalam adegan-adegan. Adegan dipilih yang benar-benar mewakili
cerita. Adegan bisa di dalam rumah dan dapat juga di luar rumah.

a. Setting Waktu

Novel Bekisar Merah telah banyak menampakkan waktu yang jelas dan spesifik. Setting pedesaan
yang digambarkan dalam Bekisar Merah adalah setting tahun 1970-an yang mulai sibuk dengan
pembangunan. Novel Bekisar Merah merupakan karya Ahmad Tohari yang dapat digolongkan
sebagai novel berwarna korupsi. Sedangkan setting yang terkait denganwaktu terlihat pada kutipan
berikut ini yaitu menyebutkan hitungan tahun. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.

“Oalah, Las, Emak tidak bohong. Dengarlah. Kamu lahir tiga tahun sesudah peristiwa cabul yang
amat kubenci itu. Entah bagaimana setelah tiga tahun menghilang orang jepang itu muncul lagi di
Karangsoga. Kedatangannya yang ke dua tidak lagi bersama bala tentara Jepang melainkan bersama
para pemuda gerilya. Tampaknya ayahmu menjadi pelatih para pemuda. Dan mereka, para pemuda
itu, juga Eyang Mus meminta aku memaafkan ayahmu, bahkan aku diminta juga menerima
lamarannya” (Ahmad Tohari, 2005: 39).

Dalam novel Bekisar Merah selain menunjukkan hitungan tahun, juga menunjukkan setting waktu
berupa hari. Situasi pagi, siang, sore, dan malam. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.

Pagi ini lasi berangkat hendak menjenguk Darsa di rumah sakit kecil di kota kewedahan itu…. (Ahmad
Tohari, 2005:45).

Selain itu, setting waktu ditunjukkan dengan angka jam. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut

Jam tujuh malam Handarbeni muncul di rumah Bu Lanting. Necis dengan baju kaus kuning muda dan
celana hijau tua. Wajahnya cerah dengan senyum renyah dan sorot mata penuh kegembiraan.
Rambutnya, meskipun sudah menipis, tersisir rapi dan hitam oleh semir baru. Handarbeni sudah
tahu bekisar itu mau, atau setidaknya tidak menolak menjadi miliknya dari pembicaraan telepon
dengan Bu Lanting tadi siang. Kini Handarbeni datangkarena ingin berbicara sendiri dengan
bekisarnya (Ahmad Tohari, 2005: 212).

b. Setting Tempat

Setting tempat adalah tempat cerita. Setting cerita dalam novel Bekisar Merah ini lebih banyak di
daerah pedesaan, warung, pasar, dan kota. Ahmad Tohari dalam Novel Bekisar Merah ini lebih
banyak atau dominan melukiskan latar tempat yang dilukiskan secara indah. Hal itu terlihat pada
kutipan berikut:

Karangsoga adalah sebuah desa di kaki pegunungan vulkanik. Sisa-sisa kegiatan gunung api masih
tampak pada ciri desa itu berupa bukit-bukit berlereng curam, lembah-lembah atau jurang-jurang
dalam yang tertutup berbagai jenis pakis dan paku-pakuan. Tanahnya yang hitam dan berhumus
tebal mampu menyimpan air sehinggasungai-sungai kecil berbatu-batuan dan parit-parit alam
gemercik sepanjang tahun…. (Ahmad Tohari, 2005: 25).

Tidak hanya tempat berupa desa, namun novel ini juga menjelaskan secara jelas kehidupan kota,
cerita ketika Lasi pergi dari Karangsoga menuju kota Jakarta. Kutipan yang menunjukkan setting
tempat sebagai berikut.

Sapon membawa Lasi masuk warung makan yang cukup besar itu dan langsung ke bagian belakang.
Lampu pompa belum dipadamkan, padahal hari sudah terang benderang…. (Ahmad Tohari, 2005:
90).

Setting tempat sebuah kota juga ditunjukkan oleh novel ini. Tempat-tempat ini menunjukkan
kehidupan kota dan aktivitas orang-orangnya. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.

Bu Lanting makin sering mengajak Lasi keluar makan-makan di lestoran, belanja dipasarnya, atau
berajangsana ke rumah teman. Atau menghadiri resepsi perkawinan di gedung pertemuan yang
megah (Ahmad Tohari, 2005: 166).
Setting tempat berupa sebuah kota Jakarta dijelaskan di sini, kutipan yang menunjukkan sebagai
berikut.

Lasi datang dari Jakarta membawa sedan, itulah celoteh terbaru yang segera merambat ke semua
sudut Karangsoga. Dan cerita pun menuruti kebiasaan di sana, berkembang tak terkendali ke segala
arah… (Ahmad Tohari, 2005: 241).

5. Sudut Pandang

Sudut pandang cerita mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara
atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan tokoh,
latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada pembaca. Sudut
pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh
pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya.

Sudut pandang yang digunakan pada novel Bekisar Merah yaitu pesona atau gaya “dia”, pengarang
atau narator berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut
nama, atau kata gantinya. Nama tokoh, dan tokoh utama selalu disebut termasuk variasi kata
gantinya. Sudut pandang yang paling menonjol dalam novel Bekisar Merah, menggunakan cara ini.
Berikut ini kutipan yang menunjukkan sudut pandang tersebut.

Lasi tak meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba suasana berubah. Darsa memandang Lasi
dengan mata berkilat. Keduanya beradu senyum lagi. Darsa selalu berdebar bila menatap bola mata
istrinya yang hitam pekat. Seperti kulitnya, mata Lasi juga khas; berkelopak tebal, tanpa garis
lipatan. Orang bilang mata Lasi kaput…….. (Ahmad Tohari, 2005: 11).

Handarbeni benar-benar kehilangan kelelakiannya meski obat-obatan telah diminumnya. Untuk


menutup kekecewaan Lasi akibat kegagalan semacam biasanya Handarbeni mengobral janji
membelikan ini itu dan keesokan harinya semuanya akan ternyata bernas. Tetapi malam itu
Handarbeni tak memberi janji apa pun melainkan sebuah tawaran yang membuat Lasi merasa
sangat terpojok, bahkan terhina (Ahmad Tohari, 2005: 267).

ANALISIS UNSUR EKSTRINSIK

1. Nilai Pendidikan Sosial

Kehidupan masyarakat Karangsoga masih menjunjung tinggi kebersamaan dan tolong menolong.
Kehidupan yang selalu bahu membahu dalam keadaan sulit. Kehidupan ini bisa dilihat ketika Darsa
jatuh dari pohon kelapa dan masyarakat ikut andil memberikan pertolongan pertama. Kutipan yang
menunjukkan pendidikan sosial sebagai berikut.

Orang-orang perempuan mengurus Darsa dan Lasi. Celana pendek Darsa yang basah dilepas dengan
hati-hati. Ada yang memaksa Darsa menenggak telur ayam mentah. Mereka legasetelah
menemukan tubuh Darsa nyaris tanpa cedera kecuali beberapa luka goresan pada tangan dan
punggung......(Ahmad Tohari, 2005: 21).
2. Nilai Pendidikan Budaya

Pendidikan budaya pada novel Bekisar Merah ini dirunjukkan melalui nasihat-nasihat yang berupa
bahasa Jawa. Memiliki makna mendalam tentang hakikat kehidupan dan tanggung jawab terhadap
kehidupan tersebut. Menuangkan bagaimana sikap seorang manusia yang hidup dengan
kebudayaan orang Jawa. Kutipan yang menyatakan nilai-nilai pendidikan budaya sebagai berikut.

” Andai aku jadi kamu aku akan mengambil sikap nrima salah, bersikap taat atas asas sebagai orang
yang bersalah. Inilah cara yang paling baik untuk mengurangi beban jiwa dan mempermudah
penemuan jalan keluar...(Ahmad Tohari, 2005: 116).

Kutipan di atas merupakan nilai pendidikan budaya Jawa karena saat Eyang Mus menasehati Darsa,
menggunakan istilah Jawa yaitu ”Nrimo salah” . Nilai pendidikan di atas menjelaskan bahwa, dalam
kehidupan hendaknya bersikap mau menerima kesalahan. Dengan rasa ikhlas menerima kenyataan
maka hati akan tenang sehingga dapat menemukan jalan keluar.

TINGKAT PENGALAMAN JIWA

Pada novel ini, tingkat pengalaman jiwa sudah sampai pada tahap religius yaitu tahap seseorang
mempunyai hubungan vertical terhadap Sang Pencipta. Kutipan yang menunjukkan hal tersebut
adalah sebagai berikut.

” Ya. Ikhtiar harus tetap di jalankan. Juga doa. Dulu kamu sendiri bilang, bila hendak memberikan
welas-asih, Gusti Allah tidak kurang cara. Tetapi mengapa sekarang kamu jadi berputus asa? Kamu
tak lagi percaya bahwa Gusti Allah ora sare, tetap jaga untuk menerima segala doa?” (Ahmad Tohari,
2005: 60).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Tuhan itu sebenarnya tidak tidur. Selain kutipan di atas, terdapat
bukti lain yaitu sebagai berikut.

Lasi terus bekerja mengendalikan api. Nira dalam kawah menggelegak seperti mengimbangi
semangat yang tiba-tiba mengembang di hati Lasi. Asap mengepul dan bergulung naik ke udara. Bau
nira yang mulai memerah tercium lebih harum. Oh, betul Gusti Allah ora sare, bisik Lasi untuk diri
sendiri. Akhirnya Kang Darsa sembuh karena welas asihNya. Orang yang senang menyebutku radha
magel, janda kepalang tanggung, boleh menutup mulut, emak yang selalu menyebut-nyebut nama
Pak Sambeng juga boleh menutup mulut. Lasi mengembuskan napas lega. Air matanya menggenang
(Ahmad Tohari, 2005: 67-68).

Anda mungkin juga menyukai