Anda di halaman 1dari 14

CLINICAL APPRAISAL

1. Apakah studi ini dibahas secara jelas dan berfokus?

Ya, studi ini membahas secara jelas mengenai evaluasi variasi kadar selenium
dan vitamin E serum pada sekelompok pasien bergantung transfusi di Mesir
yang mengidap SCD dan TM, terlebih lagi untuk menghubungkan kadar
tersebut dengan status kelebiham besi atau keperluan transfusinya.

2. Apakah penelitian ini menggunakan metode yang valid?

Ya, penelitian ini menggunakan metode yang valid. Penelitian ini merupakan
studi observasional kasus kontrol dengan membagi 30 orang pasien talasemia
mayor, 30 orang sickle cell disease, dan 30 orang sehat sebagai kontrol
normal. Akan tetapi metode pemilihan sampel tidak terlalu dijelaskan dalam
studi ini. Pasien dengan penyakit demam akut dalam 72 jam, vaso-occlusive
crisis (VOC) akut dalam tiga bulan sebelumnya atau memiliki penyakit serius
berulang dieksklusikan sebagai subyek. Studi ini juga telah disetujui oleh
komite etik lokal sesuai dengan deklarasi Helsinki II, Finlandia. Lembar
persetujuan didapatkan dari pasien atau orangtua/walinya setelah mereka
diinformasikan mengenai studi yang akan dilakukan dan hasil yang
diharapkannya.

Analisis data penelitian pun menggunakan metode dan alat yang valid. Untuk
analisis biokimia, hematologis dan imunologis peniliti dalam studi ini
menggunakan chemistry auto analyzers pada Dimension EXL (Siemens
Healthcare, Jerman), AxSYM (Abbott Laboratories, Chicago, IL, Amerika
Serikat), fully automated hematology analyzer dari Sysmex (Sysmex Asia
Pacific, Jepang), teknik aglutinasi slide latex, kit ELISA vitamin E (Katalog
No: E0922h, www.eiaab.com) dan Atomic Absorption Spectrometer pada
Varian SpectrAA 220 (Labexchange, Jerman). Untuk analisis statistik,
dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package
for the Social Science; SPSS Inc., Chicago, IL, Amerika Serikat) versi 15
untuk Microsoft Windows. Pengolahan data dijelaskan secara rinci dimana
data numerik diekspresikan dalam mean ± standard deviation (SD);
perbandingan ketiga kelompok dilakukan dengan menggunakan analisis uji
one way ANOVA dengan uji Bonferroni’s post hoc. Student’s t-test digunakan
untuk membandingkan antara kedua kelompok. Data kategorik diekspresikan
sebagai angak (frekuensi) dan persentasi, dan perbandingan antar kelompok
dengan menggunakan uji chi-square. Korelasi antara berbagai variabel
dilakukan dengan menggunakan koefisiensi korelasi r Pearson. Nilai P kurang
dari 0,05 dianggap signifikan secara statistik.

3. Apakah hasil studi ini penting?

Hasil penelitia ini valid dengan hasil studi yang menunjukkan bahwa tingkat
depleted antioxidant pada kelompok anak-anak Mesir yang diteliti dengan TM
dan SCD relatif terhadap kontrol sehat (P <0,05). Korelasi positif yang
signifikan ditemukan antara kadar vitamin E dan feritin (r=0,26; p=0,047)
pada pasien SCD dan TM. Korelasi yang tidak signifikan ditemukan antara
kadar selenium dan vitamin E serum. Selain itu, nilai antioksidan tersebut
tidak berkorelasi dengan indeks hemolysis atau pada orang-orang dengan
inflamasi pada pasien TM dan SCD yang ditransfusi secara kronik.

4. Apakah hasil penelititan ini dapat diaplikasikan pada pasien atau populasi?

Hasil penelitian ini dapat diaplikasikan di RSUD Abdul Moeloek mengingat


kasus penyakit yang dijelaskan dalam studi ini juga cukup banyak di RSUD
Abdul Moeloek. Akan tetapi mungkin terdapat beberapa perbedaan hasil
pemeriksaan yang disebabkan berbedanya alat yang digunakan di RSUD
Abdul Moeloek dan alat yang digunakan dalam studi ini. Selain itu,
berbedanya lingkungan tempat dan ras yang ada di RSUD Abdul Moeloek dan
studi ini mungkin akan mempengaruhi terhadap perbedaan hasil.
Selenium dan Vitamin E sebagai antioksidan pada
anemia hemolitik kronik: Apakah kurang? Sebuah
studi kasus kontrol pada sekelompok anak-anak
Mesir

Mona M. Hamdy, Dalia S. Mosallam, Alaa M. Jamal, Walaa A. Rabie

ABSTRAK

Peningkatan cedera oksidatif merupakan salah satu penanda baik pada sickle cell
disease (SCD) maupun talasemia mayor. Penurunan kadar antioksidan ditemukan
pada kedua penyakit tersebut. Studi kami dilakukan untuk mengevaluasi variasi
kadar selenium dan vitamin E serum pada sekelompok pasien bergantung
transfusi di Mesir yang mengidap SCD dan TM, terlebih lagi untuk
menghubungkan kadar tersebut dengan status kelebiham besi atau keperluan
transfusinya. Studi kasus kontrol ini dilakukan di Rumah Sakit Pediatrik
Universitas Kairo untuk menilai kadar serum dari selenium dengan menggunakan
atomic absorption spectrometer dan vitamin E mengggunakan kit ELISA yang
tersedia di pasaran pada anak-anak yang bergantung transfusi, 30 orang dengan
talasemia beta dan 30 orang dengan SCD dalam keadaan stabil yang berusia 6-18
tahun, lalu dibandingkan dengan 30 orang sebagai kontrol sehat dengan jenis
kelamin dan usia yang sama. Hasil studi kami menunjukkan bahwa tingkat
depleted antioxidant pada kelompok anak-anak Mesir yang diteliti dengan TM
dan SCD relative terhadap kontrol sehat (P <0,05). Korelasi positif yang
signifikan ditemukan antara kadar vitamin E dan feritin (r=0,26; p=0,047) pada
pasien SCD dan TM. Korelasi yang tidak signifikan ditemukan antara kadar
selenium dan vitamin E serum. Selain itu, nilai antioksidan tersebut tidak
berkorelasi dengan indeks hemolysis atau pada orang-orang dengan inflamasi
pada pasien TM dan SCD yang ditransfusi secara kronik.

Pendahuluan

Vitamin dan trace mineral mewakili kunci buffer terhadap cedera oksidatif [1].
Hemoglobinopati kronik dikarakteristikan sebagai cedera oksidan karena
peningkatan konsumsi resting oxygen dan sirkulasi hemoglobin bebas prooksidatif
[2]. Pada sickle cell disease (SCD), Hgb S tidak stabil dan menghasilkan radikal
bebas yang mencederai enzim seluler dan membrane lemak, produksi reactive
oxygen species dan hiperhemolisis telah dijadikan menjadi mekanisme dominan
untuk konsumsi komponen tersebut [3]. Pasien dengan SCD menunjukkan kadar
yang menurun pada zinc, selenium, dan glutathione serta vitamin A, C, riboflavin,
D, dan E [4].

Biomarker stres oksidatif juga meningkat pada pasien SCD dan talasemia mayor
yang ditranfusi secara kronik dan berkorelasi paling kuat dengan kadar non-
transferrin bound iron (NTBI) [5]. Sebuah studi oleh Nur et al. [6] menunjukkan
bahwa N-acetylcysteine sebagai antioksidan penting dengan efek pleiotropic pada
pengobatan inflamasi pasien sickle cell tampaknya mengurangi ekspresi
phosphatidylserine (PS) eritrosit, sebagai indikator langsung cedera membran
eritrosit (oksidatif). Mengingat semua fakta tersebut di atas, penelitian ini dimulai
untuk mengevaluasi peran kadar vitamin E dan selenium sebagai antioksidan pada
pasien multitransfusi di Mesir dengan b-talasemia dan sickle cell anemia serta
hubungannya dengan kelebihan besi, hemolytic rate, dan marker inflamasi.

Pasien dan Metode

Studi kasus kontrol ini dilakukan di Department of the Chemical pathology; yang
meliputi 60 pasien; 30 kasus dengan b-talasemia dan 30 kasus dengan sickle cell
disease yang berobat di Klinik Hematologi Rumah Sakit Pediatrik Universitas
Kairo. Seluruh pasien yang diajak secara rutin difollow-up selama masa studi ini
(sejak bulan Desember 2012 hingga bulan Juni 2013). Pasien dengan penyakit
demam akut dalam 72 jam, vaso-occlusive crisis (VOC) akut dalam tiga bulan
sebelumnya atau memiliki penyakit serius berulang dieksklusikan. Tidak ada
subyek yang menerima suplementasi antioksidan atau vitamin seperti vitamin E.
Protokol studi ini telah disetujui oleh komite etik lokal sesuai dengan deklarasi
Helsinki II, Finlandia. Lembar persetujuan didapatkan dari pasien atau
orangtua/walinya setelah mereka diinformasikan mengenai studi yang akan
dilakukan dan hasil yang diharapkannya. Selain itu, 30 orang subyek sehat dengan
usia dan jenis kelamin yang sama juga diajak dan dijadikan sebagai kelompok
kontrol, tidak ada dari anak-anak tersebut yang memiliki riwayat anemia maupun
hasil pemeriksaan darah lengkap dan elektroforesis hemoglobin yang abnormal.
Penelusuran riwayat secara mendetail dan pemeriksaan klinis dilakukan pada
semua pasien dan kontrol. Seluruh pasien TM mendapat tranfusi sederhana 10–15
cc/kg setiap 3 atau 4 minggu. Tiga pasien dengan SCD mendapat transfusi dua
kali per bulan, 6 pasien sekali perbulan dan sisanya mendapat transfusi setiap dua
atau tiga tahun. Pada pasien sickle cell disease, transfusi darah tidak rutin
tergantung pada terapi hydroxyurea (HU), kepatuhan dan penghentian pengobatan
karena efek samping HU. Jumlah vaso-occlusive crisis (VOC) pada pasien sickle
cell disease bervariasi; 20 kali per tahun pada 4 pasien, 12 kali per tahun pada 7
pasien, dua kali per tahun pada 6 pasien dan sekali per tahun pada 6 pasien, dua
puluh empat diantaranya sedang dalam terapi hydroxyurea, dua puluh delapan
pasien telah melakukan splenektomi. Sampeel darah dari pasien talasemia dan
SCD dikumpulkan sesaat sebelum transfusi.

Metode sampling
Seluruh pasien diinstruksikan untuk berpuasa paling tidak 12 jam, 10 ml darah
vena diambil dari subyek dalam keadaan aseptic, 6 ml dari darah yang
dikumpulkan dalam vacutainer biasa dan sisa 4 ml dari darah tersebut dimasukkan
dalam vacutainer berisi antikoagulan EDTA. Serum dipisahkan melalui
sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit pada suhu ruangan.

Analisis biokimia, hematologis dan imunologis


Analisis dari semua parameter biokimia seperti ALT, AST, kolesterol total,
Trigliserida (TG), LDL dan HDL dianalisis dengan chemistry auto analyzers pada
Dimension EXL (Siemens Healthcare, Jerman). Feritin serum diukur
menggunakan chemiluminescent immunoassay pada AxSYM (Abbott Laboratories,
Chicago, IL, Amerika Serikat). Pemeriksaan darah lengkap dilakukan dengan
fully automated hematology analyzer dari Sysmex (Sysmex Asia Pacific, Jepang);
CRP dilakukan dengan teknik aglutinasi slide latex.

Pengukuran kadar Vitamin E dan Selenium serum


Kadar vitamin E serum ditentukan dengan menggunakan kit ELISA vitamin E
(Katalog No: E0922h, www.eiaab.com). Kadar selenium ditentukan dengan
menggunakan Atomic Absorption Spectrometer pada Varian SpectrAA 220
(Labexchange, Jerman).

Analisis statistik
Seluruh perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan program komputer
SPSS (Statistical Package for the Social Science; SPSS Inc., Chicago, IL,
Amerika Serikat) versi 15 untuk Microsoft Windows. Data numerik diekspresikan
dalam mean ± standard deviation (SD); perbandingan ketiga kelompok dilakukan
dengan menggunakan analisis uji one way ANOVA dengan uji Bonferroni’s post
hoc. Student’s t-test digunakan untuk membandingkan antara kedua kelompok.
Data kategorik diekspresikan sebagai angak (frekuensi) dan persentasi, dan
perbandingan antar kelompok dengan menggunakan uji chi-square. Korelasi
antara berbagai variabel dilakukan dengan menggunakan koefisiensi korelasi r
Pearson. Nilai P kurang dari 0,05 dianggap signifikan secara statistik.

Hasil

Kelompok b-Talasemia berisi 17 orang (56,7%) laki-laki dan 13 orang (43,3%)


perempuan sedangkan kelompok SCD berisi 14 orang (46.7%) laki-laki dan 16
orang (53.3%) perempuan (P > 0.05). Usia rata-rata kelompok b-talasemia adalah
12,9 ± 3,2 tahun dan ini sebanding dengan kelompok SCD yaitu 11,8 ± 2,9 tahun
(P > 0,05). Kelompok b-Thalassemia menunjukkan hasil yang secara statistik
signifikan memiliki prevalensi positive consanguinity yang lebih tinggi (P = 0,01),
splenektomi (P < 0,001), dan frekunesi transfusi darah/tahun (P = 0,014)
dibandingkan dengan kelompok SCD, tabel 1 meringkas data demografis pasien
kami. Untuk berat badan per umur, anak-anak yang berada pada persetil di bawah
5 mewakili 86,7% kelompok TM dan 33,3% pada kasus SCD (P < 0,05).

Terkait temuan laboratorium, kelompok tlasemia menunjukkan kadar Hb, MCV,


MCH, MCHC, trombosit, LDH yang lebih rendah dan kadar HCT, feritin dan
AST yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kasus SCD (P < 0,05). Kami
menggunakanbatas cut-off 1000 ng/ml untuk feritin serum untuk membedakan
antara pasien yang terkelasi dengan adekuat dan pasien yang terkelasi dengan
buruk, kami menemukan hanya 3,3% pasien TM yang terkelasi dengan adekuat
melawan 26,7% pasien SCD patients dan membedakan secara signifikan dan
perbedaannya signifikan (P = 0,01). Pada pasien SCD menunjukkan secara
signifikan nilai surrogate untuk hemolysis dan inflamasi ketika dibandingkan
dengan kelompok talasemia (P < 0,05). LDH hampir lima kali lebih besar dari
nilai normalnya pada pasien SCD yang mengindikasikan bahwa transfusi tidak
sepenuhnya efektif dalam menekan produksu sel darah merah endogen. C-reactive
protein (CRP) juga hampir tiga kali lebih besar pada pasien SCD. Dua puluh tiga
persen pasien talasemia memiliki lebih dari du kali lipat kadar transaminase
dibanding kelompok SCD. Hasil yang perbedaannya tidak signifikan yang
ditemukan pada kadar rata-rata trombosit, persentase neutrophil, perhitungan
retikulosit (P > 0,05), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 3 mengilustrasikan perbandingan rata-rata kadar lipid profil pasien kami;


total kolesterol, LDL-cholesterol, juga trigliserida (TG) secara signifikan menurun
pada talasemuia dan sickle cell anemia dibandingkan dengan kontrol yang relevan
(P < 0,05), yang merupakan hal yang aneh pada penyakit tersebut. Akan tetapi,
perbedaan yang tidak signifikan ditemukan pada tingkat rata-rata (P > 0,05) antara
kasus talasemia beta dan sickle cell anemia.

Rata-rata kadar selenium pada pasien TM dan SCD secara signifikan lebih rendah
ketika diandingkan dengan kelompok kontrol (P < 0,05). Akan tetapi, rata-rata
kadar selenium menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok talasemia dan SCD (P > 0,05). Hasil yang serupa juga terlihat pada
rata-rata kadar vitamin E kelompok TM dan SCD yang secara signifikan lebih
rendah ketika dibandingkan denga kelompok kontrol (P < 0,05). Tetapi, rata-rata
kadar vitamin E menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok talasemia dan SCD (P > 0,05) seperti yang diringkas dalam tabel 4.
Terdapat korelasi positif yang signifikan yang ditemukan antara kadar vitamin E
dan feritin. Akan tetapi korelasi yang tidak signifikan ditemukan pada semua
antioksidan dan variabel laboratorium lainnya, termasuk antioksidan lain antara
kedua kelompok pasien yang diajak dalam penelitian ini seperti yang terungkap
dalam tabel 5.

Diskusi

Studi kami didesain untuk meninjau kadar antioksidan (vitamin E dan selenium)
dan profil lipid pada anak-anak tergantung transfusi di Mesir dengan b-talasemia
dan sickle cell disease dan untuk mengkorelasikan kadar tersebut dengan status
kelebihan besi atau kebutuhan transfusi.

Deplesis yang sangat signifikan (P < 0,001) pada vitamin E serum telah
diobservasi dalam studi kami. Vitamin E memegang peranan penting dalam
melindungi sel terhadap cedera oksidatif. Peran antioksidan Vitamin E disebabkan
karena kemampuannya dalam pendinginan lipid peroksida yang sangat reaktif
dengan mendonasikan hydrogen dan mencegah ekstraksi hydrogen dari asam
lemak tak jenuh ganda. Hal ini membantu dalam merestriksi reaksi berantai self-
perpetuated peroksidasi lipid [7]. Menurut pengetahuan penulis; studi tunggal
yang dilakukan sebelumnya [8] dan diperiksan status oksidan-antioksidan pada 40
anak dengan SCD. Sebagian besar studi sebelumnya tentang stres oksidatif pada
hemoglobinopati kronik diperiksa pada orang dewasa dan diperiksa satu
kelompok penyakit [9–11]; studi lain [1] membandingkan marker stres oksidatif
dan antioksidan (vitamin E) pada pasien SCD dan b-talasemia yang ditransfusi
secara kronik. Hal ini membuat studi kami menjadi yang pertama kali untuk
menggabungkan dua antioksidan pada kedua penyakit.

Hubungan antara defisiensi vitamin E dan kejadian VOC pada pasien SCD
merupakan kontroversi. Beberapa studi melaporkan bahwa defisiensi vitamin E
mungkin tidak konduktif untuk VOC dan merekomendasikan menggunakan
antioksidan yang lebih spesifik seperti total antioxidant capacity (TAO) atau nitrit
oksida [5,8]. Namun, korelasi terbalik antara kadar vitamin E dan frekuensi
transfusi dilaporkan oleh Marwah et al. [5].

Diantara kasus SCD kami, vitamin E tidak berkorelasi dengan variabel yang
diujikan manapun seperti frekuensi transfusi, frekuensi VOC, dan indeks
hemolysis, selenium, kolestrol serum, HDL atau LDL.

Selenium memegang peranan penting dalam mencegah modifikasi oksidatif lipid,


mengurangi inflamasi dan mencegah agregasi trombosit [12]. Suplementasi
selenium pada pasien dengan penyakit kardiovaskular ditemukan dapat
menurunkan kadar kolestrol plasma total dan low-density-lipoprotein (LDL)
kolestrol plasma dan dosis setinggi 300 mcg/hari secara signifikan meningkatkan
kadar HDL [13–15].

Pengukuran status selenium yang paling umum digunakan adalam konsentrasi


selenium plasma dan serum [16]. Tetapi konsentrasi dalam darah mencerminkan
intake selenium terakhir dan bukan intake jangka panjang. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa subyek normal memiliki kadar selenium yang rendah.
Kadar rata-rata selenium pada kasus TM adalah 30,6 ± 23,6 lg/L dan pada kasus
SCD adalah 29,8 ± 20,8 lg/L dan keduanya secara signifikan leih rendah ketika
dibandingkan dengan kelompok kontrol 109,9 ± 8,3 lg/L (p < 0,05). Tetapi, kadar
selenium rata-rata menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok talasemia dan SCD (p > 0,05). Data kami sesuai denga studi
sebelumnya [17–19]. Keadaan defisiensi selenium pada kelompok talasemia dan
SCD ini dapat dijelaskan dengan keadaan stres oksidatif kronik dengan penurunan
berbagai antioksidan [19]. Apakah suplementasi selenium berguna atau tidak pada
kelompok pasien tersebut masih memerlukan studi lebih lanjut.

Pada penelitian ini, 30 pasien (50%) memiliki riwayat kekerabatan yang positif
dan 27 pasien (45%) memiliki kondisi yang mirip pada keluarganya, hal ini dapat
menjelaskan prevalensi talasemia beta sangat tinggi di daerah Mediterania [20]
dan SCD sangat tinggi pada Afrika Tengah, Mediteraniais dan negara-negara
timur [21].

Dua puluh delapan pasien (46,7%) telah melakukan splenektomi karena seringnya
tranfusi. Diantara pasien SCD, frekuensi median yang memerlukan perawatan
rumah sakit selama setahun terakhir adalah 5 (IQR 2–12) yang dapat dijelaskan
sebagai komplikasi SCD [5]. Kelompok b-Thalassemia menunjukkan prevalensi
lebih tinggi pada kekerabatan yang positif (p = 0,01) dan splenektomi
dibandingkan dengan kelompok SCD (P < 0,001). Seluruh pasien b-talasemia
bergantung transfusi dan menerima darah pada frekuensi berkisar dari 4 sampai 24
kali per tahun dengan rata-rata 13,8 ± 5,0 dan secara signifikan lebih tinggi ketika
dibandingkan dengan kelompok SCD dimana hanya 21 yang bergantung transfusi
dan menerima darah pada frekuensi berkisar dari 2 sampai 24 kali per tahun
dengan rata-rata 9,8 ± 5,5 (P = 0,014). Penanganan talasemia mayor adalah
transfusi darah untuk mempertahankan kadar hemoglobin [22]. Kelasi besi yang
tepat merupakan komponen penting dari b-talasemia dan SCD yang dianggap
menghambat cedera jaringan dari kelebihan besi dan meningkatkan harapan hidup
[23].

Kelompok talasemia menunjukkan prevalensi anak-anak dengan berat badan per


umur di bawah persentil 5 adalah 86,7%, 33,3% pada kasus SCD dan 0% pada
kelompok kontrol. Untuk persentil tinggi badan per umur kelompok talasemia
80%, 46,7% pada kasus SCD dan 0% pada kelompok kontrol. Perbedaan tersebut
signifikan (P < 0,05) dan sepakat dengan laporan sebelumnya tentang peningkatan
prevalensi gangguan pertumbuhan pada pasien talasemia dan SCD bergantung
transfusi yang secara sekunder karena kelebihan besi yang berhubungan dengan
endokrinopati [24,23].

Pasien anemia kronik mempertahankan peningkatan cardiac output untuk


mempertahankan delivery oksigen [25]. Proses ini menyebabkan kondisi
hiperkatabolik ringan, peningkatan pengeluaran energi saat beristirahat, dan stres
oksidatif kronik [26,27].

Data kami menunjukkan bahwa seluruh pasien kami mengalami anemia kronik
dan baik kelompok talasemia dan SCD menunjukkan indeks hemoglobin dan sel
arah merah di bawah kadar fisiologis normal. Akan tetapi, pasien talasemia beta
menunjukkan kadar rata-rata yang secara signifikan lebih rendah pada
hemoglobin, MCV, MCH dan MCHC dan kadar AST yang lebih tinggi ketika
dibandingkan dengan pasien SCD, yang mengindikasikan kondisi hemolitik yang
lebih berat. Hal ini sesuai dengan studi kohort sebelumnya [28] pada sejumlah
besar pasien b-talasemia mayor yang difollow-up pada senter yang sama dan
dilaporkan rata-rata kadar hemoglobin sebelum transfusi serendah 5,7 ± 1,16 g/dl
yang lebih rendah dibanding penelitian sejenis yang median baseline hemoglobin
mencapai 10,0 g/dl [29]. Hal ini mungkin menjelaskan restrictive transfusion
regimen yang diadopsi oleh senter kami dan benar-benar menggambarkan latar
belakang finansial kami dengan ketersediaan darah dan juga kelasi besi yang
terbatas. Akan tetapi, indeks hemolisis lain seperti penghitungan retikulosit dapat
dibandingkan pada kedua kelompok. Di lain pihak; pasien SCD menunjukkan
nilai surrogate yang lebih tinggi untuk hemolisis dan inflamasi ketika
dibandingkan dengan kelompok talasemia (P < 0,05); LDH hampir lima kalo lebih
besar daripada nilai normal pada pasien SCD yang mengindikasikan bahwa
transfusi tidak sepenuhnya efektif dalam menekan produksi sel darah merah
endogen dan rata-rata C-reactive protein (CRP) juga meningkat hampir tiga kali
lipat pada pasien SCD yang konsisten dengan keadaan inflamasi kronik. Empat
dari 30 pasien TM menunjukkan nilai yang abnormal pada aspartate dan alanine
transaminase yang melebihi dua kali lipat dibanding kelompok SCD.

Pasien SCD menunjukkan peningkatan secara signifikan pada penghitungan


trombosit dibandingkan dengan kelompok talasemia yang dapat dijelaskan denga
keadaan asplenia fungsional dan trombositosis sekunder pada pasien tersebut
[30,31].
Ketika kelasi yang tepat digunakan, diharapkan kadar feritin serum dapat
dipertahankan dalam batas normal berapapun jumlah transfusinya. Hal ini
mungkin berhubungan dengan penggunaan kelasi yang tidak tepat atau respon
yang berbeda terhadap terapi kelasi pada pasien [23]. Akan tetapi maintenance
kadar feritin serum yang seragam masih kurang pada populasi kami. Baik pada
kedua kelompok terjadi peningkatan kadar feritin serum dimana kelompok
talasemia memiliki nilai feritin antara 898 dan 12.128 ng/ml dan pasien SCD
antara 560 sampai 6000 ng/ml. Keadaan kelebihan besi ini menunjukkan
penurunan kepatuhan penggunaan kelasi pada populasi kami [28]. Dilaporkan
bahwa angka kepatuhan 26,3% pada pasien yang mendapat deferoxamine dan
58.6% pada pasien yang mendapat kelasi oral, tetapi, bukan hanya disebabkan
kepatuhan yang buruk tetapi juga karena ketersediaan kelasi tersebut. Walaupun
demikian, kadar pada kelompok talasemia secara signifikan lebih tinggi ketika
dibandingkan dengan pasien SCD dan tlah dikonfirmasi bahwa semakin tinggi
frekuensi ketergantungan transfusi semakin tinggi juga absorpsi sekunder besi
berlebih untuk meningkatkan angka ketidakefektifan eritropoiesis pada pasien
talasemia [19]. Ketika kami menggunakan batas cut-off feritin serum di bawah
1000 ng/ml antara pasien yang terkelasi adekuat dengan pasien yang terkelasi
buruk sesuai dengan panduan Thalassemia International Federation [32,33] kami
menemukan hanya 3,3% dari pasien TM yang terkelasi adekuat dengan 26,7%
pasien SCD dan hal ini berbeda secara signifikan (p = 0,01). Angkan diantara
pasien TM ini lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Ragab et
al. [28] dalam penelitian kohort TM mereka dimana hasilnya adalah 30%, tetapi
mirip dengan Shah et al. [23] yang melaporkan angka prevalensi 6,3% diantara
kelompok studinya.

Diantara kelompok talasemia; kadar feritin dan selenium serum tidak berkorelasi
dengan variabel yang diujikan termasuk antioksidan lain. Hal ini sesuai dengan
Claster et al. [19] yang meneliti kelompok pasien yang ditransfusi secara kronik
sebanyak 43 pasien dengan SCD (17 orang laki-laki, 26 orang perempuan) dan 24
pasien dengan TM (13 laki-laki dan 11 perempuan). Mereka berusia antara 1,5
sampai 31,4 tahun dan ditemukan bahwa kadar vitamin E dan seleniumnya rendah
dan menunjukkan sedikit hubungan dengan kelebihan besi, hemolisis, ataupun
inflamasi. Miripnya, kelompok SCD menunjukkan tidak ada korelasi kadar feritin
dan selenium serum dengan variabel uji termasuk antioksidan lainnya.

Banyak faktor seperti kelebihan besi, kerusakan hepar, dan gangguan hormonal
yang mempengaruhi pola lipid diantara pasien dengan talasemia beta mayor.
Beberapa penulis menyarankan bahwa peningkatan eritropoiesis dan peningkatan
uptake LDL oleh makrofag dan histiosit dari reticuloendothelial system
merupakan determinan utama rendahnya kadar kloesterol plasma pada talasemia
beta mayor [34,35].
Data kami menunjukkan bahwa kolesterol total dan LDL juga TG secara
signifikan lebih rendah pada kelompok talasemia daripada kelompok kontrol (P <
0,001) dan sesuai dengan laporan sebelumnya [36,37]. Di lain pihak, Chrysohoou
et al. [35] melaporkan kadar TG yang lebih tinggi pada pasien talasemia. Hal ini
berbeda dengan hasil studi kami dan dapat dijelaskan dengan kelompok usia yang
lebih muda pada studi kami. Miripnya, kelompok SCD secara signifikan memiliki
kadar kolesterol total, LDL, dan TG daripada than kontrol (P < 0,001), yang aneh
pada penyakit ini dan sesuai dengan VanderJagt et al. [38]. Tetapi, kadar
kolesterol total, LDL, juga TG berada dalam batas normal dan berbanding dengan
talasemia beta dan sickle cell anemia (P > 0,05). Sebagai tambahan, tidak terdapat
perbedaan signifikan antara kadar rata-rata HDL pada ketiga kelompok (P > 0,05).

Keterbatasan Studi

Salah satu keterbatasan studi kami bahwa studi kami diuji untuk antioksidan
individu seperti vitamin E dan selenium yang dapat kurang informative
dibandingkan dengan uji lain seperti total antioxidant capacity yang
menggambarkan reducing property pada antioksidan individual bukan protein
atau komponen donasi electron dan nitrit oksida yang saat ini bertanggung jawab
en vogue untuk cedera vaskular dan thrombosis dalam konteks hemolisis tetapi
juga interakter penting dengan selenium dan vitamin E, karena terbatasnya biaya
pekerjaan kami, kami tidak daoat mengevaluasi parameter tersebut dan
korelasinya dengan indeks lain. Tetapi kami bertujuan untuk menyelesaikan
pekerjaan ini dalam studi lain di masa mendatang. Faktor pembatas lain adalah
rendahnya jumlah sampel yang dapat mempenngaruhi kesimpulan kami dan hal
ini dikarenakan keterbatasan sumber keuangan perkerjaan kami yang tidak
dibiayai agensi manapun.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil studi kami, pasien dengan b-thalassemia dan SCD mengalami
depleted antioxydant dan kemudian meningkatkan stres oksidatif relatif terhadap
kontrol sehat. Hal ini merupakan indikasi bahwa pasien talassemia dan SCD
dihasilkan dalam jumlah yang lebih besar akibat reactive oxygen species yang
cenderung dihapus secara efektif dengan mekanisme endogen. Namun, kadar
antioksidan ini tidak berkorelasi dengan indeks hemolisis atau inflamasi pada
pasien transfusi kronis.

Studi ini tidak menerima bantuan keuangan dari instansi manapun di sektor
publik, komersial, atau non-profit.
Kontribusi Penulis

Seluruh penulis berkontribusi secara substansial terhadap isi intelektual dalam


tulisan ini.
Mona Hamdy, MD: Desain studi, merevisi isi intelektual dan penyetuju versi akhir
yang dipublikasikan.
Dalia Mosallam, MD: Desain studi, konsep, dan akuisisi data klinis dan hasil
aplikasi klinis.
Alaa Jamal, MSc: Akuisisi data, sampel dan hasil aplikasi klinis.
Walaa Rabie, MD: Desain studi, pekerjaan laboratorium, interpretasi hasil dan
analisis data, serta penulisan naskah.
Seluruh penulis telah membaca dan menyetujui naskah akhir.

Referensi
1. Walter PB, Fung EB, Killilea DW, Jiang Q, Hudes M, Madden J, et al.
Oxidative stress and inflammation in iron-overloaded patients with b-
thalassaemia or sickle cell disease. Br J Haematol 2006;135(2):254–63.
2. Brewer CJ, Coates TD, Wood JC. Spleen R2 and R2 in ironoverloaded
patients with sickle cell disease and thalassemia major. J Magn Reson Imag
2009;29:357–64.
3. Amer J, Ghoti H, Rachmilewitz E, Koren A, Levin C, Fibach E. Red blood
cells, platelets and polymorph nuclear neutrophils of patients with sickle cell
disease exhibit oxidative stress that can be ameliorated by antioxidants. Br J
Haematol 2006;132:108–13.
4. Segal JB, Miller III ER, Brereton NH, Resar LM.
Concentrations of B vitamins and homocysteine in children with sickle cell
anemia. South Med J 2004;97:149–55.
5. Marwah SS, Blann AD, Rea C, Philips JD, Wright J, Bareford D. Reduced
vitamin E antioxidant capacity in sickle cell diseases related to transfusion
status but not to sickle crisis. Am J Hematol 2002;69:144–6.
6. Nur E, Brandjes DP, Teerlink T, Otten HM, Oude Elferink RP, Muskiet F, et al.
CURAMA study group. N-acetylcysteine reduces oxidative stress in sickle
cell patients. Ann Hematol 2012;91(7):1097–105.
7. Das N, Chowdhury TD, Chattopadhyay A, Datta. Attenuation of oxidation
stress – induced changes in thalassemic erythrocytes by vitamin E. Pol J
Pharmocol 2004;56:85–96.
8. El-Ghamrawy MK, Hanna WM, Abdel-Salam A, El-Sonbaty MM, Youness
ER, Adel A. Oxidant-antioxidant status in Egyptian children with sickle cell
anemia: a single center based study. J Pediatr 2014;90(3):286–92.
9. Halliwell B. Oxidative stress and cancer: have we moved forward? Biochem J
2007;401(1):1–11.
10. Arinola OG, Olaniyisa SA, Akibinu MO. Evaluation of antioxidant levels and
trace elements status in Nigerian sickle cell disease patients with plasmodium
parasitae-mia. Pak J Nut 2008;7:766–9.
11. Foluke F, Kayode A, Johan A, Modupe K. Total anti-oxidant status in sickle
cell disease patients in steady state. J Natl Med Assoc 2008;100:891–4.
12. Rayman MP. Selenium and human health. Lancet 2012;379: 1256–68.
13. Hercberg S, Galan P, Preziosi P, Bertrais S, Mennen L, Malvy D, et al. The
SU.VI.MAX study: a randomized, placebocontrolled trial of the health effects
of antioxidant vitamins and minerals. Arch Intern Med 2004;164(21):2335–42.
14. Hercberg S, Kesse-Guyot E, Druesne-Pecollo N, Touvier M, Favier A, Latino-
Martel P, et al. Incidence of cancers, ischemic cardiovascular diseases and
mortality during 5-year follow-up after stopping antioxidant vitamins and
minerals supplements: a postintervention follow-up in the SU. VI. MAX
Study. Int J Cancer 2010;127:1875–81.
15. Stranges S, Marshall JR, Trevisan M, Natarajan R, Donahue RP, Combs GF, et
al. Effects of selenium supplementation on cardiovascular disease incidence
and mortality: secondary analyses in a randomized clinical trial. Am J
Epidemiol 2006;163(8):694–9.
16. Sunde RA. Selenium. In: Ross AC, Caballero B, Cousins RJ, Tucker KL,
Ziegler TR, editors. Modern nutrition in health and disease. Philadelphia, PA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2012. p. 225–37.
17. Nasr MR, Ali S, Shaker M, Elgabry E. Antioxidant micronutrients in children
with thalassaemia in Egypt. Eastern Mediterr Health J 2002;8(4–5):490–5.
18. Bartfay WJ, Bartfay E. Selenium and glutathione peroxidase with beta-
thalassemia major. Nurs Res 2001;50(3):178–83.
19. Claster S, Wood JC, Noetzli L, Carson SM, Hofstra TC, Khanna R, et al.
Nutritional deficiencies in iron overloaded patients with hemoglobinopathies.
Am J Hematol 2009;84:344–8.
20. Aydinok Y. Thalassemia. Hematology 2012;17(s1):s28–31.
21. Kate SL. Health problems of tribal population groups from state of
Maharashtra. Ind J Med Sci 2001;5(2):99–108.
22. Hazirolan T, Eldem G, Unal S, Akpinar B, Gu¨ mru¨ k F, Alibek S, et al. Dual-
echo TFE MRI for the assessment of myocardial iron overload in beta-
thalassemia major patients. Diagn Interv Radiol 2010;16(1):59–62.
23. Shah N, Mishra A, Chauhan D, Vora C. Study on effectiveness of transfusion
program in thalassemia major patients receiving multiple blood transfusions at
a transfusion centre in Western India. Asian J Transfus Sci 2010;4:94–8.
24. Fung EB, Harmatz PR, Lee PD, Milet M, Bellevue R, Jeng MR, et al.
Increased prevalence of iron-overload associated endocrinopathy in
thalassaemia versus sickle-cell disease. Br J Haematol 2006;135(4):574–82.
25. Wood JC, Tyszka JM, Carson S, Nelson MD, Coates TD. Myocardial iron
loading in transfusion-dependent thalassemia and sickle-cell disease. Blood
2004;103(5):1934–6.
26. Harmatz P, Heyman MB, Cunningham J, Lee PDK, Styles L, Quirolo K, et al.
Effects of red blood cell transfusion on resting energy expenditure in
adolescents with sickle cell anemia. J Ped Gastroenterol Nutr 1999;29:127–31.
27. Barden EM, Zemel BS, Kawchak DA, Goran MI, OheneFrempong K, et al.
Total and resting energy expenditure in children with sickle cell disease. J
Pediatr 2000;136:73–9.
28. Ragab LA, Hamdy MM, Shaheen IA, Yassin RN. Blood transfusion among
thalassemia patients: a single Egyptian center experience. Asian J Transfus Sci
2013;7:33–6.
29. Cario H, Stahnke K, Kohne E. Beta-thalassemia in Germany. Results of
cooperative beta-thalassemia study. Klin Padiatr 1999;211:431–7.
30. Khan PN, Nair RJ, Olivares J, Tingle LE, Li Z.
Postsplenectomy reactive thrombocytosis. Proc (Bayl Univ Med Cent)
2009;22(1):9–12.
31. Dame C, Sutor AH. Primary and secondary thrombocytosis in childhood. Br J
Haematol 2009;129(2):165–77.
32. Gattermann N. Guidelines on iron chelation therapy in patients with
myelodysplastic syndromes and transfusion iron overload. Leuk Res
2007;S3:S10–5.
33. Thalassemia International Federation. Guidelines for the clinical management
of thalassemia. <http://www.thalassaemia.org.cy/ Publications.htm>; 2011.
34. Maioli M, Vigna G, Tonolo G, Brizzi P, Ciccarese M, Donega` P, et al. Plasma
lipoprotein composition, apolipoprotein(a) concentration and isoforms in beta-
thalassemia. Atherosclerosis 1997;131(1):127–33.
35. Chrysohoou C, Panagiotakos DB, Pitsavos C, Kosma K, Barbetseas J,
Karagiorga M, et al. Distribution of serum lipids and lipoproteins in patients
with beta thalassaemia major; an epidemiological study in young adults from
Greece. Lipids Health Dis 2004;3:3.
36. Amendola G, Danise P, Todisco N, D’Urzo G, Di Palma A, Di Concilio R.
Lipid profile in beta-thalassemia intermedia patients: correlation with
erythroid bone marrow activity. Int J Lab Hematol 2007;29(3):172–6.
37. Haghpanaha S, Davania M, Samadia B, Ashrafia A, Karimi M. Serum lipid
profiles in patients with beta-thalassemia major and intermedia in southern
Iran. JRMS 2010;15(3):150–4.
38. VanderJagt DJ, Shores J, Okorodudu A, Okolo SN, Glew RH.
Hypocholesterolemia in Nigerian children with sickle cell disease. J Trop
Pediatr 2002;48(3):156–61.

Anda mungkin juga menyukai