118 205 1 PB

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Bioproses Komoditas Tropis

Vol. 1 No. 2, Agustus 2013

Karakteristik Tape Ubi Kayu (Manihot utilissima) Melalui Proses


Pematangan Dengan Penggunaan Pengontrol Suhu
Characteristics Maturation Process of Cassava Tape (Manihot utilissima)
Through the Use of Temperature Control
Muhammad Asnawi*, Sumardi Hadi Sumarlan, Mochamad Bagus Hermanto

Jurusan Keteknikan Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang


Jl. Veteran - Malang 65145, Indonesia - Telp. (0341) 551611
*Penulis Korespondensi, Email : m_asnawi24@yahoo.co.id

Abstrak

Tape merupakan suatu produk fermentasi dari bahan-bahan sumber pati seperti ketela pohon,
ketan dan sebagainya dengan melibatkan ragi di dalam proses pembuatannya. Pengendalian pada proses
fermentasi dilakukan dengan mengatur kondisi optimal untuk pertumbuhan khamir dan kapang. Tujuan
dari penelitian ini adalah merancang bangun sistem pengontrol suhu dengan sensor suhu LM 35 dengan
mikrokontroler ATmega8 untuk proses pematangan (fermentasi) ubi kayu, membandingkan waktu
fermentasi secara alami dan dengan suhu terkontrol, mengetahui perbedaan sifat fisik dan kimia tape
fermentasi secara alami dan dengan suhu terkontrol. Dari penelitian diperoleh hasil yang menunjukkan
bahwa suhu tertinggi tercapai pada perlakuan dengan suhu terkontrol antara 27-30°C suhu tertinggi yaitu
29.5°C terjadi pada hari ke 2 pukul 12.00 sedangkan suhu terendah yaitu 27°C terjadi setiap hari selama
proses fermentasi berlangsung. Data hasil penghitungan didapatkan bahwa kadar air pada proses
fermentasi dengan suhu terkontrol 27-30°C hari ke-1 adalah 23.422%, hari ke-2 adalah 43.887%, hari
ketiga 46.223 %. Berdasarkan analisa tekstur maka diketahui bahwa tape ubi kayu dengan perlakuan suhu
32-35°C memiliki tekstur yang jauh lebih lunak dibandingkan dengan tape ubi kayu dengan perlakuan
suhu 27-30°C dan perlakuan secara alami. Total gula tape ubi kayu paling tinggi terjadi pada hari ke-2
fermentasi dengan perlakuan suhu 32-35°C yaitu 38.27%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan
adanya pengontrolan suhu yang dilakukan dalam proses feremntasi tape, maka akan meningkatkan
kualitas tape yang dihasilkan.

Kata Kunci: Tape, pematangan ,pengontrol, suhu

Abstract

Tape is a fermentation product from starch sources such as cassava and glutinous. Controlling
fermentation process can be done by setting the optimal conditions for the growth of yeasts and molds.
The aims of this research are to design the system of temperature controller with temperature sensor LM
35 with ATmega8 microcontroller, to compare the maturation time of tape that produce by uncontrolled
and controlled temperature, and to compare the physical and chemical properties of the product. The
results showed that highest temperatures reached at the second day that was 29.5° C, for the treatments
with controlled temperature between 27-30°.C, while the lowest temperature at 27 ° C occurrs every day
during the fermentation process. The water content of product that fermented at temperature 27-30° C on
the first day until third day are 23.422%, 43. 887%, 46.223% respectively. The temperature treatment of
32-35 ° C produce the product that softer than it with fermentation temperature of 27-30 ° C and natural
treatments. The highest total sugar tape cassava is reach on the second day with the fermentation
temperature of 32-35 ° C that is 38.27%. It can be concluded that the controlling temperature during
fermentation will improve the quality of the tape.

Keywords: Tape, maturation, controller, temperature

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara agraris, kehidupan sebagian besar masyarakat ditopang oleh hasil-
hasil pertanian. Proses pembangunan di Indonesia mendorong tumbuhnya industri-industri yang berbahan
baku hasil pertanian (agroindustri). Bahan baku hasil industri pertanian ini diantaranya adalah umbi ketela

56
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 2, Agustus 2013

pohon (Manihot utilissima) yang dapat diolah menjadi suatu produk untuk berbagai macam keperluan
antara lain industri makanan, industri tekstil, industi kertas dan untuk pembuatan energi alternatif
terbarukan. Sebagai bahan baku industri pangan yang salah satu bentuk pengolahannya adalah tape.
Tape adalah suatu produk fermentasi dari bahan-bahan sumber pati seperti ketela pohon, ketan
dan sebagainya dengan melibatkan ragi di dalam proses pembuatannya. Tape ubi kayu merupakan produk
pangan olahan tradisional yang sudah menjadi makanan khas Indonesia. Tape ubi kayu sudah banyak
diproduksi di beberapa tempat di Indonesia, di Jawa Barat dikenal dengan nama peuyeum dengan
karakteristiknya yang tidak berair dan lebih manis, di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikenal dengan nama
tape dengan karakteristiknya yang berair serta lebih alkoholik dan agak asam.
Usaha penganekaragaman pangan sangat penting artinya sebagai usaha untuk mengatasi masalah
ketergantungan pada satu bahan pangan pokok saja. Misalnya dengan mengolah serealia dan umbi-
umbian menjadi berbagai bentuk awetan yang mempunyai rasa khas salah satunya adalah tape. Hal ini
sesuai dengan program pemerintah khususnya dalam mengatasi masalah kebutuhan bahan pangan,
terutama non-beras.
Pada saat ini, tape masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena
dalam proses pembuatannya masih dilakukan secara tradisional dan prosesnya cukup lama yaitu 2-3 hari.
Tape sendiri mempunyai keunggulan yaitu meningkatkan kandungan Vitamin B1 (tiamina) hingga tiga
kali lipat. Vitamin ini diperlukan oleh sistem saraf, sel otot, dan sistem pencernaan agar dapat berfungsi
dengan baik. Karena mengandung berbagai macam bakteri baik yang aman dikonsumsi, tape dapat
digolongkan sebagai sumber probiotik bagi tubuh. Cairan tape dan tape ketan diketahui mengandung
bakteri asam laktat sebanyak ± 1 juta per mililiter atau gramnya. Produk fermentasi ini diyakini dapat
memberikan efek menyehatkan tubuh, terutama sistem pencernaan, karena meningkatkan jumlah bakteri
baik dalam tubuh dan mengurangi jumlah bakteri jahat. Kelebihan lain dari tape adalah kemampuannya
mengikat dan mengeluarkan aflatoksin dari tubuh. Aflaktosin merupakan zat toksik atau racun yang
dihasilkan oleh kapang, terutama Aspergillus flavus. Toksik ini banyak kita jumpai dalam kebutuhan
pangan sehari-hari, seperti kecap. Konsumsi tape dalam batas normal diharapkan dapat mereduksi
aflatoksin tersebut. Di beberapa negara tropis yang mengkonsumsi singkong sebagai karbohidrat utama,
penduduknya rentan menderita anemia. Hal ini dikarenakan singkong mengandung sianida yang bersifat
toksik dalam tubuh manusia. Konsumsi tape dapat mencegah terjadinya anemia karena mikroorganisme
yang berperan dalam fermentasinya mampu menghasilkan vitamin B 12.
Menurut Zubaidah (1998), pengendalian pada proses fermentasi dilakukan dengan mengatur
kondisi optimal untuk pertumbuhan khamir dan kapang. Khamir dapat hidup pada bahan pangan yang
mempunyai kadar air yang cukup. Pada awal fermentasi khamir bersifat aerobik dan pada akhir proses
fermentasi bersifat anaerobik dengan menghasilkan alkohol dan bersifat fermentatif. Kapang dapat
tumbuh optimum pada bahan pangan dengan aw 15% dengan suhu 25-27°C.
Salah satu upaya untuk mempercepat proses fermentasi ubi kayu adalah dengan menjaga
kestabilan suhu optimum pada saat proses dengan menggunakan sistem pengontrol suhu. Diharapkan
dengan perlakuan tersebut proses fermentasi ubi kayu yang secara alami membutuhkan waktu antara 2-3
hari bisa lebih dipersingkat. Pada penelitian ini alat pengontrol suhu adalah dengan menggunakan sensor
LM 35 dan Mikrokontroler ATmega8.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Alat dan Bahan


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ubi kayu, ragi tape merk NKL, box plastik,
sensor suhu LM35, mikrokontroler Atmega8, PCB (printed circuit board), relay.Multimeter, bor listrik,
power suply, solder listrik, timbangan digital tipe Mettler PM 460, pH meter, oven tipe Heraeus T 5050,
tensile strength tipe ZP-200 N, dan color reader tipe RGB 2

Metode.
Metode penelitian yang diterapkan adalah metode eksperimental deskriptif, yaitu dengan
melakukan percobaan secara langsung. Pada tahap ini dilakukan persiapan bahan, perlakuan proses
fermentasi, dan pengukuran faktor fisik selama proses fermentasi berlangsung. Percobaan terdiri dari 3
perlakuan yaitu perlakuan pertama dengan kondisi suhu terkontrol menggunakan kisaran suhu 27-30°C,
perlakuan kedua dengan kondisi suhu terkontrol menggunakan kisaran suhu 32-35°C dan perlakuan yang
ketiga dengan kondisi konvensional/fermentasi dengan kisaran suhu 26°C

57
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 2, Agustus 2013

Rancangan Struktural Box Fermentasi


Box kotak yang digunakan sebagai tempat berlangsungnya proses fermentasi ubi kayu ini
mempunyai ukuran 50 cm x 30 cm x 20 cm dengan desain seperti terlihat pada Gambar 1. Kotak terbuat
dari bahan plastik tembus pandang. Sumber panas yang digunakan berasal dari lampu yang diletakkan
pada sisi atas box dengan daya 10 Watt sebanyak satu buah. Sedangkan untuk menurunkan suhu di dalam
ruangan fermentasi digunakan kipas DC 12 Volt 0.18 Ampere yang diletakkan pada bagian kiri box.
Sensor suhu menggunakan sensor LM35 sebanyak 1 buah diletakkan pada sisi kanan box. Lubang
ventilasi sebagai sirkulasi udara terdapat pada bagian bawah box, dengan diameter lubang 0.5 cm
sebanyak 5 buah lubang. Sisi atas box dapat dilepas sebagai bukaan pintu.

Gambar 1. Box fermentasi suhu terkontrol

Mekanisme Kerja Alat


Sistem Pengontrol Suhu Box 1 dan Box 2 terdapat pada Gambar 2 dan 3, sedangkan diagram alir
penelitian terdapat pada Gambar 4..

Gambar 2. Diagram Alir Sistem Pengontrol Suhu Box 1

58
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 2, Agustus 2013

Gambar 3. Diagram Alir Sistem Pengontrol Suhu Box 2

59
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 2, Agustus 2013

Gambar 4. Diagram Alir Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu
Proses fermentasi ubi kayu umumnya membutuhkan waktu selama 3 hari. Hasil dari penelitian
yang dilaksanakan menunjukkan bahwa pada perlakuan dengan suhu terkontrol antara 27-30°C suhu
tertinggi yaitu 29.5°C terjadi pada hari ke 2 pukul 12.00 sedangkan suhu terendah yaitu 27°C terjadi
setiap hari selama proses fermentasi berlangsung sebagaimana terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik Suhu Harian Perlakuan Suhu Terkontrol 27-30°C

60
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 2, Agustus 2013

Gambar 6 memperlihatkan suhu harian pada perlakuan dengan suhu terkontrol 32-35°C suhu
tertinggi yaitu 34.5°C terjadi pada hari ke 2 fermentasi pukul 12.00, sedangkan suhu terendah yaitu 30°C
terjadi pada hari pertama dan kedua fermentasi.

Gambar 6. Grafik Suhu Harian Perlakuan Suhu Terkontrol 32-35°C

Suhu tertinggi pada perlakuan tanpa penggunaan pengontrol suhu yaitu 28.5°C terjadi pada hari
ke 2 proses fermentasi pukul 15.00 sedangkan suhu terendah yaitu 25°C terjadi setiap hari selama proses
fermentasi berlangsung, seperti terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik Suhu Harian Perlakuan Tanpa Pengontrol Suhu

Analisa Suhu Terhadap Sifat Fisik Tape


Pengamatan suhu dilakukan setiap hari selama proses fermentasi berlangsung, dengan interval 3
jam setiap harinya. Pengamatan pertama dilakukan pada proses fermentasi dengan suhu terkontrol antara
27-30°C. Proses fermentasi dengan cara ini pada hari ke-1 (selama 24 jam) sudah dapat dikatakan jadi,
hal tersebut ditandai dengan tekstur ubi kayu yang sudah lunak. Aroma dari tape yang sudah keluar yaitu
aroma alkoholik, hal ini juga ditandai dengan berairnya tape. Pada tahap awal fermentasi ini bagian yang
berperan adalah kapang, dalam hal ini kapang berperan memecah molekul-molekul pati menjadi dekstrin
dan gula-gula sederhana, proses ini merupakan hidrolisa enzimatis. Tampilan Tape pada perlakuan ini
terdapat pada Gambar 8.

(a) (b) (c)


Gambar 8. Tape Dengan Suhu Terkontrol 27-30°C
(a) hari ke-1, (b) hari ke-2, (c) hari ke-3

61
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 2, Agustus 2013

Pengamatan kedua dilakukan pada proses fermentasi dengan suhu terkontrol antara 32-35°C
yang memberikan hasil seperti pada Gambar 9. Proses fermentasi dengan cara ini pada hari ke-1 (selama
24 jam) sudah dapat dikatakan jadi, hal tersebut ditandai dengan tekstur ubi kayu yang sudah sangat lunak
dibandingkan dengan tape hasil dari proses fermentasi dengan suhu terkontrol 27-30°C dan tape hasil dari
proses fermentasi secara alami. Aroma dari tape yang sudah keluar yaitu aroma alkoholik, hal ini juga
ditandai dengan berairnya tape. Hal ini disebabkan oleh kapang yang berperan pada tahap awal fermentasi
ini yaitu Amylomyces rouxii dan Aspergillus sp. bekerja sacara maksimal,karena sesuai dengan kondisi
optimum suhu pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan Fardiaz (1996), kebanyakan kapang bersifat
mesofilik yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang
adalah 25-30°C. Tetapi beberapa dapat tumbuh pada suhu 35-37°C (misalnyaAspergillus sp).

(a) (b) (c)


Gambar 9. TapeDengan Suhu Terkontrol 32-35°C
(a) hari ke-1, (b) hari ke-2, (c) hari ke-3

Pengamatan ketiga dilakukan pada proses fermentasi secara alami atau tanpa penggunaan
pengontrol suhu, dengan hasil seperti pada Gambar 10. Proses fermentasi dengan cara ini pada hari ke-1
(selama 24 jam) tape belum matang, hal tersebut ditandai dengan tekstur ubi kayu yang masih keras
dibandingkan dengan tape hasil dari proses fermentasi dengan suhu terkontrol 27-30°C dan tape hasil dari
proses fermentasi dengan suhu terkontrol 32-35°C. Aroma dari tape yang belum keluar yaitu aroma
alkoholik, juga ditandai dengan belum berairnya tape.

(a) (b) (c)


Gambar 10. Tape Dengan Proses Fermentasi Secara Alami
(a) hari ke-1, (b) hari ke-2, (c) hari ke-3

Analisa Kadar Air Tape


Kadar air tape yang dihasilkan dari perlakuan seperti terdapat pada Gambar 11.

Gambar 11. Grafik Perbandingan Kadar Air Masing-Masing Perlakuan

62
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 2, Agustus 2013

Berdasarkan Gambar 11 dapat diketahui bahwa semakin lama waktu fermentasi maka kadar air
tape ubi kayu akan semakin meningkat. Hal ini terjadi baik pada perlakuan dengan suhu 27-30°C, 32-
35°C maupun secara alami. Secara umum tape ubi kayu dengan perlakuan suhu 32-35°C memiliki kadar
air paling tinggi kemudian diikuti tape ubi kayu dengan perlakuan suhu 27-30°C, sedangkan tape ubi
kayu secara alami secara umum memiliki kadar air yang paling rendah. Hal ini disebabkan karena tape
ubi kayu dengan perlakuan 32-35°C menggunakan suhu yang lebih tinggi daripada kedua perlakuan yang
lain. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka reaksi enzimatis akan berlangsung lebih cepat, sehingga
pati yang terpecah menjadi alkohol, asam asetat dan air semakin banyak pula. Hal ini sesuai dengan
Winarno dan Fardiaz (1982), yang menyatakan bahwa suhu mempengaruhi aktifitas enzim, makin tinggi
suhu maka aktifitas enzim makin cepat. Apabila suhu terlalu tinggi maka enzim mengalami denaturasi.

Analisa Kekerasan Tape

Kekerasan tape terdapat pada Gambar 12. Gambar 12 memperlihatkian bahwa secara umum semakin
lama waktu fermentasi maka kekerasan tape tape ubi kayu akan semakin kecil. Perbedaan kekerasan tape
ubi kayu terlihat signifikan setelah fermentasi 24 jam pertama. Tape ubi kayu dengan perlakuan suhu 32-
35°C memiliki kekerasan tape yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan tape ubi kayu dengan
perlakuan suhu 27-30°C dan perlakuan secara alami.

Gambar 12. Grafik perbandingan kekerasan tape pada masing-masing perlakuan

Penurunan nilai kekerasan tape ubi kayu tersebut telah sesuai dengan pendapat Steinkraus
(1983), yang mengemukakan bahwa fermentasi tape yang lebih lanjut akan menyebabkan produk menjadi
lunak dan berair. Hal itu juga didukung oleh Winarno (1982), bahwa semakin lama fermentasi terjadi
perombakan senyawa bermolekul besar menjadi komponen yang lebih sederhana dan menghasilkan
sejumlah air dan energi. Menurut Winarno (1992), kadar air suatu bahan pangan sangat berpengaruh
terhadap tekstur, bila kadar air pada bahan tinggi maka tekstur semakin lunak dan jika kadar air pada
bahan menurun maka tekstur akan mengeras. Dari hasil analisa menunjukkan bahwa semakin besar nilai
N maka tingkat kekerasan tape semakin besar, dalam hal ini gaya (F) yang diberikan kepada bahan
semakin besar.

Total Gula
Hasil analisa total gula terhadap tape, didapatkan hasil dengan penggunaan suhu terkontrol 32-
35°C, total gulanya adalah 26.68% (Gambar 13). Hasil ini lebih besar dibandingkan dengan penggunaan
suhu terkontrol 27-30°C yaitu sebesar 17.79% dan proses fermentasi secara alami dimana total gulanya
16.72%. Menurut Desrosier (1988), fermentasi merupakan proses perombakan bahan-bahan yang
mengandung karbohidrat menjadi monosakarida, alkohol, asam asetat, karbondioksida, air, dan senyawa
lainnya. Pada proses fermentasi, pati terlebih dahulu diubah menjadi sukrosa (maltosa), kemudian
dirombak menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa), kemudian diubah menjadi alkohol, asam asetat,
karbondioksida, air, dan senyawa lainnya.

63
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 2, Agustus 2013

Gambar 13. Grafik Perbandingan Total Gula Pada Masing-Masing Perlakuan

Berdasarkan Gambar 13 diketahui bahwa semakin lama waktu fermentasi maka total gula tape ubi kayu
dengan perlakuan suhu 27-30°C dan secara alami makin meningkat. Peningkatan total gula disebabkan
karena enzim yang dihasilkan oleh mikroba pada ragi telah mulai aktif dan merombak pati ubi kayu
menjadi gula-gula yang lebih sederhana. Menurut Zubaidah (1998), selama proses fermentasi,
pembentukan gula sederhana akan meningkat setelah 24 jam kedua dan akan menurun setelah 24 jam
ketiga. Jika proses fermentasi terus berlanjut maka bakteri asam laktat dan amilolitik akan merombak
alkohol menjadi asam organik.
Berbeda dengan tape ubi kayu dengan perlakuan 27-30°C dan secara alami yang total gulanya
terus meningkat hingga 24 jam ketiga, total gula pada ubi kayu dengan perlakuan suhu 32-35°C
meningkat hingga 24 jam kedua kemudian mulai menurun. Hal ini diduga karena tape ubi kayu ini
menggunakan suhu yang lebih tinggi daripada dua perlakuan yang lain, sehingga reaksi pemecahan pati
menjadi gula sederhana lebih cepat dan pada 24 jam kedua gula sederhana tersebut sudah mulai diubah
menjadi alkohol dan asam-asam organik. Sehingga total gula mengalami penurunan setelah 24 jam kedua.

Total Asam
Total asam pada produk hasil penelitian terdapat pada Gambar 14.

Gambar 14. Grafik Perbandingan Total Asam Masing-Masing Perlakuan

Berdasarkan Gambar 14 perlakuan dengan suhu terkontrol 27-30°C, hari ke-1 didapatkan hasil
total asam adalah 0.41%, hari ke-2 adalah 0.55 %, hari ke-3 adalah 0.80 %. Perlakuan dengan suhu
terkontrol 32-35°C didapatkan hasil total asam pada hari ke-1 adalah 0.49 %, hari ke-2 adalah 0.55 %,
hari ke-3 adalah 0.96 %. Perlakuan secara alami didapatkan hasil pada hari ke-1 adalah 0.20 %, hari ke-2
adalah 0.28%, hari ke-3 adalah 0.41%. Semakin lama fermentasi nilai total asam semakin meningkat dan
semakin tinggi suhu yang digunakan maka nilai total asam tape ubi kayu semakin tinggi. Peningkatan
total asam dikarenakan pada proses fermentasi yang lebih lanjut, alkohol yang terbentuk akan dirombak

64
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 2, Agustus 2013

menjadi asam-asam organik oleh bakteri-bakteri pembentuk asam asetat. Menurut Fardiaz (1996), asam
piruvat adalah produk antara yang terbentuk pada hidrolisa gula menjadi ethanol. Asam piruvat dapat
diubah menjadi ethanol dan asam laktat.

pH

Tingkat keasaman produk dipengaruhi oleh lama fermentasi

Gambar 15. Grafik Perbandingan pH Masing-Masing Perlakuan

Berdasarkan Gambar 15 diketahui bahwa semakin lama proses fermentasi maka pH tape ubi
kayu akan semakin menurun. Penurunan nilai pH diduga disebabkan karena peningkatan jumlah asam
hasil degradasi dari gula-gula sederhana. Hari ke-1 proses fermentasi tape ubi kayu dengan perlakuan
suhu 27-30°C didapatkan pH 5.75, hari ke-2 adalah 5.69, hari ke-3 adalah 5.56. Perlakuan dengan suhu
terkontrol 32-35°C pada hari ke-1 didapatkan hasil pH adalah 5.69, hari ke-2 adalah 5.59, hari ke-3
adalah 5.19. Perlakuan proses fermentasi secara alami hari ke-1 adalah 5.93, hari ke-2 adalah 5.84, dan
hari ke-3 adalah 5.73. Menurut Kuswanto dan Sudarmadji (1987), degradasi terhadap pati oleh bakteri,
jamur dan khamir akan menghasilkan asam organik, sehingga mengakibatkan derajat keasaman (pH)
menurun.

Uji Organoleptik Rasa


Hasil dari uji organoleptik terhadap rasa ubi kayu skor kesukaan panelis antara 2 (tidak
menyukai) sampai dengan 6 (menyukai). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai
rasa tape dengan perlakuan fermentasi secara alami yang memiliki kadar total gula sebesar 18.2% dan
kadar total asam sebesar 0.28%. Rasa yang ada pada tape disebabkan karena adanya aktifitas dari
mikroorganisme yang terkandung dalam ragi. Ragi dalam inokulum dalam pembuatan tape yang berupa
kultur campuran dari beberapa mikroorganisme yang masing-masing memberi kontribusi dalam
pembuatan produk (Supriyanto, 1995). Selain itu, proses fermentasi juga turut menciptakan rasa tape
yang khas. Menurut Harris dan Karmas (1989), fermentasi menimbulkan perubahan tekstur, cita rasa,
aroma, nilai cerna dan nilai gizi. Ditambahkan pula menurut Winarno (1982), pada proses fermentasi
tape, gula diubah menjadi alkohol, asam-asam organik, gliserol, dan gas CO2. Esterifikasi antara asam
dan alkohol menghasilkan ester yang membentuk cita rasa khas tape.

Uji Organoleptik Warna


Hasil dari uji organoleptik terhadap warna tape ubi kayu skor kesukaan panelis antara 3 (agak
tidak menyukai) sampai dengan 6 (menyukai). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa panelis lebih
menyukai warna tape dengan perlakuan suhu secara alami yang mempunyai nilai L* 63.3. Nilai L*
menyatakan tingkat gelap terang, dengan kisaran nilai 0-100. Nilai 0 menyatakan kecendrungan warna
hitam atau sangat gelap, sedangkan nilai 100 menyatakan kecendrungan warna putih cerah.

Uji Organoleptik Aroma


Hasil dari uji organoleptik terhadap aroma tape ubi kayu skor kesukaan panelis antara 3 (agak tidak
menyukai) sampai dengan 6 (menyukai). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai
aroma tape dengan perlakuan suhu 27-30°C yang memiliki kadar total asam sebesar 0.41%.

65
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 2, Agustus 2013

Menurut Suliantari dan Rahayu (1990), asam dan alkohol yang terbentuk dapat bereaksi
membentuk ester yaitu senyawa pembentuk aroma. Aroma yang timbul pada tape ubi kayu meskipun
tidak begitu terasa disebabkan karena aktifitas dari mikroorganisme yang ada pada ragi yaitu hansenulla,
seperti yang telah dikemukakan oleh Steinkraus (1983) bahwa hansenulla dapat mengesterifikasi alkohol
dan asam menghasilkan aroma tape.

Uji Organoleptik Tekstur


Hasil dari uji organoleptik terhadap tekstur tape ubi kayu skor kesukaan panelis antara 2 (tidak
menyukai) sampai dengan 6 (menyukai). Berdasarkan hasil uji Freidman pada menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan suhu terhadap tekstur tape ubi kayu yang dihasilkan. Hal
ini menunjukkan bahwa tiap panelis memberikan respon yang berbeda-beda untuk tiap perlakuan dalam
hal ini perlakuan suhu yang digunakan. Dari uji Friedman juga dapat diketahui bahwa perbedaan
perlakuan suhu yang digunakan mempengaruhi tekstur dari produk akhir. Tekstur dari tape dipengaruhi
oleh proses pengukusan dan lamanya fermentasi, dimana lama proses pengukusan adalah sama dan lama
fermentasi yang dilakukan adalah berbeda. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa panelis lebih
menyukai tekstur tape dengan perlakuan fermentasi alami yang memiliki nilai tekstur sebesar 14.5 N. Hal
ini menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai tape dengan tekstur yang paling keras.

KESIMPULAN

Pembuatan tape ubi kayu dengan menggunakan fermentor dengan pengendali suhu memberikan
hasil yang lebih baik. Perlakuan suhu 32 – 35 oC memberikan total gula dan total asam yang tinggi
(38.27% dan 0.96%) serta pH yang paling rendah (5.19). Berdasarkan uji Friedman dapat diketahui
bahwa ada perbedaan yang nyata antara perlakuan suhu terhadap rasa, warna, aroma, dan tekstur tape ubi
kayu

DAFTAR PUSTAKA

Desrosier. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah M. Muljohardjo. UI-Press. Jakarta

Fardiaz, S. 1996. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Harris, R. H. and Karms, E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Pangan. Penerbit ITB. Bogor

Kuswanto, K.R. dan S. Sudarmadji. 1987. Proses-Proses Mikrobiologi Pangan. PAU pangan dan Gizi
UGM. Yogyakarta

Steinkraus, K. H. 1983. Handbook of Indegenous Fermented Foods. Market Dekker Inc. New York

Suliantari dan P.W. Rahayu. 1990. Teknologi Fermentasi Biji dan Umbi-Umbian. PAU Pangan dan
Gizi IPB. Bogor

Supriyanto. 1995. Mikroorganisme dalam Ragi Untuk Fermentasi Tape. Prosiding Seminar
Bioteknologi Biomassa, BPPT, pp. 85-96

Winarno, D. dan S. Fardiaz. 1982. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta

------------. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta

Zubaidah, E. 1998. Teknologi Pangan Fermentasi. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.
Malang

66

Anda mungkin juga menyukai