Anda di halaman 1dari 12

A.

Problem Konseptual Teoretik Pendidikan Islam


1. System pendekatan orientasi

Ditengah gelombang krisis nilai-nilai cultural berkat pengaruh ilmu dan


teknologi yang berdampak pada perubahan social. Pendidikan Islam masa kini
dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih berat dari tantangan yang dihadapi pada
masa permulaan penyebaran Islam.Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan
idealitas umat manusia yang serba multiinteres yang berdimensi nilai ganda dengan
tuntutan hidup yang simplisistis, melainkan sangat kompleks. Akibat permintaan yang
bertambah manusia semakin kompleks pula, hidup kejiwaannya semakin tidak mudah
jiwa manusia itu diberi nafas Agama.

2. Pelembagaan proses kependidikan islam.

Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari system masyarakat


atau bangsa. Dalam operasionalisasinya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan
perkembangan masyarakat.Disamping itu pergeseran idealitas masyarakat yang menuju
kearah pola pikir rasional teknologis yang cenderung melepaskan diri dari
tradisionalisme cultural-edukatif makin membengkak. Apalagi bila diingat bahwa misi
pendidikan Islam lebih berorientasi kepada nilai-nilai luhur dari Tuhanyang harus
diinternalisasikan kedalam lubuk hati tiap pribadi manusia melalui bidang-bidang
kehidupan manusia.

3. Pengaruh sains dan teknologi canggih

Sebagaimana kita ketahui bahwa dampak poditif dari kemajuan teknologi


sampai kini adalah bersifat fasilitatis,(memudahkan). Memudahkan kehidupan manusia
yang sehari-hari sibuk dengan berbagai problema yang semakin rumuit.Dampak
negative dari teknologi modern telah mulai menampakkan diri didepan mata kita. Pada
prinsipnya berkekuatan melemahkan daya mental spiritual atau jiwa yang sedang
tumbuh berkembang dalam berbagai bentuk penampilan dan gaya-gayanya.
Permasalahan baru yang harus dipecahkan oleh pendidikan Islam khususnya adalah
dehumanisasi pendidikan, netralisasi nilai-nilai agama, atau upaya pengendalian dan
mengarahkan nilai-nilai tradisional kepada individu atau social.
4. Krisis pendidikan islam

Beberapa ahli perencanaan kependidikan masa depan telah mengidentifikasikan


krisis pendidikan yang bersumber dari krisis orientasi masyarakat masa kini, dapat pula
dijadikan wawasan perubahan system pendidikan Islam, yang mencakup fenomena-
fenomena antara lain :

a. Krisis nilai-nilai. Sikap penilaian yang dahulu ditetapkan sebagai “benar, baik,


sopan atau salah, buruk tak sopan”, mengalami perubahan drastic menjadi
ditoleransi sekurang-kurangnya tak diacuhkan orang.
b. Krisis konsep tentang kesepakatan arti hidup yang baik. Masyarakat mulai
mengubah pandangan tentang cara hidup bermasyarakat yang baik dalam bidang
ekonomi., politik, kemayarakatan dan implikasinya terhadap kehidupan social.
c. Kurangnya sikap idealism dan citra remaja kita tentang perasaannya di masa
depanbangsa. Sekolah dituntut untuk mengembangkan idealisme generasi muda
untuk berwawasan masa depan yang realistik.
d. Makin bergesarnya sikap manusia kearah pragmatisme yang pada gilirannya
membawa kearah materialism dan individualism. Hubungan antar manusia
bukan lagi berdasarkan sambung rasa, tetapi berdasarkan hubungan keuntungan
materill dan status.
B. Problematika Pendidikan Islam Di Era Kontemporer

Dalam analisis Fazkur Rahman dinyatakan bahwa semenjak masa klasik (850
M-1200 M), umat islam memiliki kekanyaan ilmu dan pengetahuan. Akan tetapi
memasuki abad pertengahan sampai ahkir abad ke-19 M, umat islam mengalami
kemunduran khususnya dalam bidang pendidikan.[3]Pendidikan Islam diakui
keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga
hal. Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga
pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua,Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran
diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada
tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga,Pendidikan Islam sebagai nilai (value)
yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan. Walaupun demikian,
pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul di era global ini. Terdapat
dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal

Faktor Internal

a. Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam.


b. Masalah Kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen yang
dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot.
c.  Pendekatan/Metode Pembelajaran.
d. Profesionalitas dan Kualitas SDM.
e.  Biaya Pendidikan.

 Faktor Eksternal

a. Dichotomic.
b.  To General Knowledge.
c. Lack of Spirit of Inquiry.
d.  Memorisasi.
e.  Certificate Oriented.
C. Problema Pendidikan Islam dalam Dinamika Masyarakat
1. Menghadapi tantangan dampak-dampak IPTEK modern.

Strategi pendidikan Islam dalam mengantisipasi kemajuan IPTEK modern,


adalah terletak pada kemampuan mengkonfigurasikan sistem nilai Islami yang
akomodatif terhadap aspirasi umat Islam untuk berpacu dalam kompetisi bidang IPTEK
di satu pihak dan lain pihak kemampuan psikolis serta pedagogis yang berdaya kreatif
untuk mentransfer IPTEK modern itu sendiri. Imilah program minimal Islam yang perlu
kita rencanakan dan laksanakan saat ini.

2. Krisis nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat.

 Manusia mengalami krisis kepercayaan pada kemampuan diri sendiri, yang


menjadi gejala-gejala transisi yang sangat rentan (sensitive) terhadap penyusupan nilai-
nilai asing yang negative.Krisis nilai demikian demikian mempunyai ruang lingkup
yang menyentuh masalah kehidupan masyarakat, yaitu menyangkut nilai suatu
perbuatan “baik” dan “buruk”, bermoral atau amoral, social atau asocial, pantas atau
tidak pantas dan bobot benar dan tidak benar, serta perilaku lainnya.

3. Sistem pendidikan modern dan pergeseran nilai-nilai.

Posisi lembaga pendidikan kita saat ini sedang berada dalam arena konflik nilai-
nilai yang membawa kepada transisi nilai kehidupan. Nilai spiritual maupun moral etik,
yang amat sensitive terhadap sentuhan-sentuhan nilai hedonistic (kenikmatan hidup)
materiil dari kemajuan iptek. Sekolah dalam posisi seperti ini, perlu bersikap dalam
pelaksanaan tugas pokoknya, yaitu membudayakan umat manusia dengan nilai-nilai
ideal. Sehingga mampu menjadi pondasi moral dan spiritual bagi tegaknya masyarakat
yang adil dan makmur, sejahtera, bahagia rohaniah dan jasmaniah.

4. Sistem dan metode pendidikan islam dalam meningkatkan kualitas hidup umat
islam Indonesia.

Agama Islam yang ajarannya berorientasi kepada kesejahteraan duniaw-ukhtiaw


sebagai kesinambungan tujuan hidup manusia, meletakkan iman dan taqwa kepada
Allah SWT sebagai landasan kehidupan umat manusia. Pendidikan merupakan proses
budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia dan berlangsung sepanjang
hayat, dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Pendidikan yang dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah perlu disesuaikan dengan
perkembangan tuntutan pembangunan yang memerlukan bergagai jenis keterampilan
dan keahlian di segala bidang.

5. Sistem dan metode pendidikan islam yang seharusnya.

Strategi pengelolaan system pengelolaan Islam seharusnya bertumpu pada


antisipasi terhadap timbulnya fenomena kehidupan yang condong kearah
mengutamakan sikap dan perilaku yang pragmatisme., dan matrealisme serta
individualisme-egoisme. Arah perkembangan yang semakin jauh dalam pendidikan
Islam, harus dipandang sesuai tantangan yang penuh perjuangan. Karena itu perlu
perencanakan kegiatan pendidikan yang strategis pengembangannya. Strategi tersebut
diwujudkan dalam program pendidikan (seperti konsepsi Muhammad Abduh),
mengintregasikan pendidikan Agama dengan pendidikan Ilmu pengetahuan umum
(duniawi) atau member nafas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah pada setiap bidang
studi pendidikan umum disemua jenjang sekolah dan madrasah kita.

D. Solusi Problematika Pendidikan Islam di Era Global

Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak


mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini.
Dalam menuju era globalisasi, indonesia harus melakukan reformasi dalam proses
pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif,
dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan
masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa
yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara
alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab.
Disamping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami
masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun
penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu
alternatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan
global.

Selain itu, program pendidikan harus diperbaharui, dibangun kembali atau


dimoderenisasi sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan
kepadanya. Sedangkan solusi pokok menurut Rahman adalah pengembangan wawasan
intelektual yang kreatif dan dinamis dalam sinaran dan terintegrasi dengan Islam harus
segera dipercepat prosesnya. Sementara itu, menurut Tibi, solusi pokoknya
adalahsecularization, yaitu industrialisasi sebuah masyarakat yang berarti diferensiasi
fungsional dari struktur sosial dan system keagamaannya

Berbagai macam tantangan tersebut menuntut para penglola lembaga pendidikan,


terutama lembaga pendidikan Islam untuk melakukan nazhar atau perenungan dan
penelitian kembali apa yang harus diperbuat dalam mengantisipasi tantangan tersebut,
model-model pendidikan Islam seperti apa yang perlu ditawarkan di masa depan, yang
sekiranya mampu mencegah dan atau mengatasi tantangan tersebut.
Melakukan nazhardapat berarti at-taammul wa al’fahsh, yakni melakukan perenungan
atau menguji dan memeriksanya secara cermat dan mendalam, dan bias berarti taqlib
al-bashar wa al-bashirah li idrak al-syai’ wa ru’yatihi, yakni melakukan perubahan
pandangan (cara pandang) dan cara penalaran (kerangka pikir) untuk menangkap dan
melihat sesuatu, termasuk di dalamnya adalah berpikir dan berpandangan alternatif serta
mengkaji ide-ide dan rencana kerja yang telah dibuat dari berbagai perspektif guna
mengantisipasi masa depan yang lebih baik.

B. SOLUSI PENGELOLAAN SEKOLAH ELIT ISLAM

Pengembangan Sistem Penyelengggaraan Madrasah dan Sekolah Islam


Unggulan

Di Indonesia, dari sisi ukuran muatan keunggulan, sekolah unggulan di


Indonesia juga kurang memenuhi syarat. Sekolah unggulan di Indonesia hanya
mengukur sebagian kemampuan akademis. Dalam konsep yang sesungguhnya, sekolah
unggul adalah sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kinerjanya dan
menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuh-
kembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan hanya prestasi akademis
saja yang ditumbuh-kembangkan, melainkan potensi psikis, fisik, etik, moral, religi,
emosi, spirit, adversity dan intelegensi.

Keunggulan sekolah terletak pada bagaimana cara sekolah merancang-bangun


sekolah sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana struktur organisasi pada
sekolah itu disusun, bagaimana warga sekolah berpartisipasi, bagaimana setiap orang
memiliki peran dan tanggung jawab yang sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan
dan pendelegasian wewenang yang disertai tangung jawab. Semua itu bermuara kepada
kunci utama sekolah unggul adalah keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan
memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Program kelas unggulan di
Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah
malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas
unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan
akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan siswa ke dalam kelas-
kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di
masyarakat. Kehidupan di masyarakat tak ada yang memiliki karakteristik homogen.

Bila boleh mengkritisi, pelaksanaan sekolah unggulan di Indonesia memiliki


banyak kelemahan. Pertama, sekolah unggulan di sini membutuhkan legitimasi dari
pemerintah bukan atas inisiatif masyarakat atau pengakuan masyarakat. Sehingga
penetapan sekolah unggulan cenderung bermuatan politis dari pada muatan edukatifnya.
Apabila sekolah unggulan didasari atas pengakuan masyarakat maka pemerintah tidak
perlu mengucurkan dana lebih kepada sekolah unggulan, karena masyarakat akan
menanggung semua biaya atas keunggulan sekolah itu.

Kedua, sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya, sementara itu golongan
miskin tidak mungkin mampu mengikuti sekolah unggulan walaupun secara akademis
memenuhi syarat. Untuk mengikuti kelas unggulan, selain harus memiliki kemampuan
akademis tinggi juga harus menyediakan uang jutaan rupiah. Artinya penyelenggaraan
sekolah unggulan bertentangan dengan prinsip equity yaitu terbukanya akses dan
kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati pendidikan yang baik.
Keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan ini amat penting agar kelak melahirkan
manusia-manusia unggul yang memiliki hati nurani yang berkeadilan.

Ketiga, profil sekolah unggulan kita hanya dilihat dari karakteristik prestasi yang tinggi
berupa NEM, input siswa yang memiliki NEM tinggi, ketenagaan berkualitas, sarana
prasarana yang lengkap, dana sekolah yang besar, kegiatan belajar mengajar dan
pengelolaan sekolah yang kesemuanya sudah unggul. Wajar saja bila bahan
masukannya bagus, diproses di tempat yang baik dan dengan cara yang baik pula maka
keluarannya otomatis bagus. Yang seharusnya disebut unggul adalah apabila masukan
biasa-biasa saja atau kurang baik tetapi diproses ditempat yang baik dengan cara yang
baik pula sehingga keluarannya bagus.Oleh karena itu penyelenggaraan sekolah
unggulan harus segera direstrukturisasi agar benar-benar bisa melahirkan manusia
unggul yang bermanfaat bagi negeri ini.
Maka konsep sekolah unggulan yang tidak unggul ini harus segera direstrukturisasi.
Restrukrutisasi sekolah unggulan yang ditawarkan adalah sebagai berikut:

Pertama, program sekolah unggulan tidak perlu memisahkan antara anak yang memiliki
bakat keunggulan dengan anak yang tidak memiliki bakat keunggulan. Kelas harus
dibuat heterogen sehingga anak yang memiliki bakat keunggulan bisa bergaul dan
bersosialisasi dengan semua orang dari tingkatan dan latar berlakang yang beraneka
ragam. Pelaksanaan pembelajaran harus menyatu dengan kelas biasa, hanya saja siswa
yang memiliki bakat keunggulan tertentu disalurkan dan dikembangkan bersama-sama
dengan anak yang memiliki bakat keunggulan serupa. Misalnya anak yang memiliki
bakat keunggulan seni tetap masuk dalam kelas reguler, namun diberi pengayaan
pelajaran seni.

Kedua, dasar pemilihan keunggulan tidak hanya didasarkan pada kemampuan


intelegensi dalam lingkup sempit yang berupa kemampuan logika-matematika seperti
yang diwujudkan dalam test IQ. Keunggulan seseorang dapat dijaring melalui berbagai
keberbakatan seperti yang hingga kini dikenal adanya 8 macam kecerdasan (multiple
itegensies).

Ketiga, sekolah unggulan jangan hanya menjaring anak yang kaya saja tetapi menjaring
semua anak yang memiliki bakat keunggulan dari semua kalangan. Berbagai sekolah
unggulan yang dikembangkan di Amerika justru untuk membela kalangan miskin.
Misalnya Effectif School  yang dikembangkan awal 1980-an oleh Ronald Edmonds di
Harvard University adalah untuk membela anak dari kalangan miskin karena
prestasinya tak kalah dengan anak kaya. Demikian pula dengan School
Development Program yang dikembangkan oleh James Comer ditujukan untuk
meningkatkan pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin. Accellerated
School  yang diciptakan oleh Henry Levin dari Standford University juga memfokuskan
untuk memacu prestasi yang tinggi pada siswa kurang beruntung atau siswa
beresiko. Essential school yang diciptakan oleh Theodore Sizer dari Brown University,
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan siswa kurang mampu.
Keempat, Madrasah/sekolah Islam unggulan harus memiliki model manajemen yang
unggul yaitu yang melibatkan partisipasi semua stakeholder sekolah, memiliki
kepemimpinan yang kuat, memiliki budaya sekolah yang kuat, mengutamakan
pelayanan pada siswa, menghargasi prestasi setiap siswa berdasar kondisinya masing-
masing, terpenuhinya harapan siswa dan berbagai pihak terkait dengan memuaskan.

Saat ini amat tepat untuk mengembangkan madrasah/sekolah unggulan karena


terdapat dua suprastruktur yang mendukung. Pertama, UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dimana pendidikan termasuk salah satu bidang yang
didesentralisasikan. Dengan adanya kedekatan birokrasi antara sekolah dengan
Kabupaten/Kota diharapkan perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan
sekolah unggulan semakin serius. Kedua, adanya UU No. 25 tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang didalamnya memuat bahwa
salah satu program pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar dan pendidikan menengah
adalah terwujudnya pendidikan berbasis masyarakat/sekolah. Melalui pendidikan
berbasis masyarakat/sekolah inilah warga sekolah akan memiliki kekuasaan penuh
dalam mengelola sekolah. Setiap sekolah akan menjadi sekolah unggulan apabila diberi
wewenang untuk mengelola dirinya sendiri dan diberi tanggung jawab penuh. Selama
sekolah-sekolah hanya dijadikan alat oleh birokrasi di atasnya maka sekolah tidak akan
pernah menjadi sekolah unggul. Bisa saja semua sekolah menjadi sekolah unggul yang
berbeda-beda berdasarkan pontensi dan kebutuhan warganya. Apabila semua sekolah
telah menjadi sekolah unggul maka tidak sulit bagi negeri ini untuk bangkit dari
keterpurukannya.

Ketika mengamati madrasah mencatat empat persoalan umum yang menjadi


penurunan kualitas madrasah seperti yang diungkapkan oleh Malik Fadjar (1998) yaitu
(1) kualitas dan kuantitas guru yang belum memadai; (2) sarana fisik dan fasilitas
pendidikan yang minim; (3) manajemen non profesional; (4) jumlah murid yang sedikit
dan berasal dari kalangan menengah ke bawah. kesimpulan Fajar ini relevan  dengan
hasil evaluasi Dirjen Bimbagais (1997) tentang penerapan kurikulum 1994 yang masih
lemah pada tiga unsur pokok dalam proses pembelajaran yaitu (1) kurikulum yang
dinilai yang terlalu sarat, kurang fungsional dan kurang proporsional; (2) sumberdaya
pendidikan yang lemah di bidang sumberdaya manusia sarana prasarana dan
pembiayaan/dana; (3) rendahnya kualitas pembelajaran disebabkan kurangnya
penerapan metodologi dan teknologi pengajaran, motivasi dan semangat, serta
pengembangan kreativitas guru yang belum kondusif.

Banyak tantangan yang mesti dihadapi madrasah. Pertama, selama


ini image masyarakat tentang madrasah masih kurang baik. Produk madrasah masih
dianggap kurang berkualitas, khususnya dalam ilmu pengetahuan umum. Hal ini
mengharuskan madrasah tetap komitmen memperbaiki mutu pendidikan khususnya
pendidikan umum tersebut.

Kedua, masih adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum (atau pemikiran
dokmatis), sehingga  terjadi istilah-istilah dan praktek pendidikan sebagai berikut:
konsep ’abdullah lebih dominan ketimbang kholifatullah, sekolah lebih menampakkan
praktek punishment dari pada reward, lebih berorientasi kepada hablum minallah dari
pada hablum minannas, lebih dominannya budaya kata (bil maqol) dari pada
perbuatan (bil hal), berpikir rasional lebih dikalahkan oleh pendekatan emosional,
penemuan empiris dibatalkan oleh ramalan-ramalan, etos seringkali dikalahkan oleh
mitos, masih ada kebiasaan memisah dunia dan akhirat, antara wahyu dan akal.

Ketiga, diberlakukannya UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas yang telah menempatkan


posisi madrah ekuivalen dengan kelembagaan pendidikan nasional pada umumnya
(SMP umum dan SMA), menempatkan kedudukan madrasah sebagai sekolah umum
(yang berciri khas Islam). Hal ini mengandung arti bahwa peserta didik madrasah
sederajat dengan peserta didik di SMP dan SMU umum. Kondisi ini mengharuskan
madrasah menghasilkan produk yang cerdas, terampil, dan bertaqwa.

Keempat, diberlakukannya kurikulum baru tahun 2006 (KTSP), yang memberlakukan


standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa Madrasah secara
keseluruhan, baik untuk mata pelajaran umum maupun mata pelajaran agama, telah
disamakan dengan siswa SMP dan SMU umum. Di mana alokasi jumlah jam untuk
mata pelajaran agama di madrasah pun berkurang. Hal ini mengkhawatirkan guru-guru
madrasah tidak dapat memberikan layanan maksimal dalam pengajaran bidang ilmu-
agama. Kondisi tersebut mengharuskan madrasah mencari solusi yang tepat agar dapat
menghasilkan produk yang unggul dalam ilmu-ilmu agama.

Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ace Suryadi, H.A.R. Tilaar, bahwa
pendidikan dipandang sebagai bentuk investasi, baik modal maupun manusia (human
and capital investmen) untuk membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan
sekaligus mempunyai kemampuan produktif di masa depan yang diukur dari tingkat
penghasilan yang diperolehnya. Pergeseran tersebut mengarah
pada; Pertama, terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya loncatan
revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, kecenderungan perilaku
masyarakat yang lebih fungsional, dimana hubungan sosial hanya dilihat dari sudut
kegunaan dan kepentingan semata, ketiga, masyarakat padat informasi,
dan keempat, kehidupan yang makin sistemik dan terbuka, yakni masyarakat yang
sepenuhnya berjalan dan diatur oleh sistem yang terbuka (open sistem).

Usaha pengembangan sekolah model ini penting dilakukan, seyampang tidak


meninggalkan aspek-aspek peningkatan mutu pendidikan. Misalnya: (1) pembinaan
prestasi akademik harus selalu ditingkatkan dengan memberikan jadwal remedial secara
kolektif atau secara individu bagi anak-anak yang kurang mampu dalam mengikuti
pelajaran di kelas, sehingga anak benar-benar sangat menguasai pelajaran, (2)
pembinaan prestasi non akademik melalui berbagai kegiatan ekstra kurikuler harus terus
ditingkatkan. Seluruh potensi siswa sebisa mungkin dapat digali dan disalurkan serta
diasah sehingga kelak setiap siswa dapat mempunyai bidang ketrampilan (bekal hidup)
yang ditekuni secara profesional sesuai minat dan bakatnya, (3) peningkatan mutu dan
kualitas tenaga pengajar, sarana prasarana belajar termasuk perpustakaan dan
laboratorium serta sumber-sumber belajar lainnya, (4) memberikan teladan dalam
melaksakan school culture sehingga siswa memiliki karakter yang tangguh dalam
menjalankan keyakinan agamanya, dan (5) menjalin kerjasama antara sekolah dan
masyarakat dalam meningkatkan mutu sekolah.

Jika dilihat dari kecenderungan atau gejala sosial baru yang terjadi di masyarakat akhir-
akhir ini yang berimplikasi pada tuntutan dan harapan tentang model pendidikan yang
mereka harapkan, maka sebenarnya madrasah memiliki potensi dan peluang besar untuk
menjadi alternatif pendidikan masa depan. Kecenderungan tersebut antara lain sebagai
berikut ;

Pertama, terjadinya mobilitas sosial yakni munculnya masyarakat menengah baru


terutama kaum intelektual yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan pesat. Kelas
menengah baru senantiasa memiliki peran besar dalam proses transformasi sosial, di
bidang pendidikan misalnya akan berimplikasi pada tuntutan terhadap fasilitas
pendidikan yang sesuai dengan aspirasinya baik cita-citanya maupun status sosialnya.
Karena itu lembaga pendidikan yang mampu merespon dan mengapresiasi tuntutan
masyarakat tersebut secara cepat dan cerdas akan menjadi pilihan masyarakat ini.

Kedua, munculnya kesadaran baru dalam beragama (“santrinisasi”), terutama pada


masyarakat perkotaan kelompok masyarakat menengah atas, sebagai akibat dari proses
re-Islamisasi yang dilakukan secara intens oleh organisasi-organisasi keagamaan,
lembaga-lembaga dakwah atau yang dilakukan secara perorangan. Terjadinya
santrinisasi masyarakat elit tersebut akan berimplikasi pada tuntutan dan harapan akan
pendidikan yang mengaspirasikan status sosial dan keagamaannya. Sebab itu pemilihan
lembaga pendidikan didasarkan minimal pada dua hal tersebut, yakni status sosial dan
agama.

Ketiga, arus globalisasi dan modernisasi yang demikian cepat perlu disikapi secara arif.
Modernisasi dengan berbagai macam dampaknya perlu disiapkan manusia-manusia
yang memiliki dua kompetensi sekaligus; yakni Ilmu Pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) dan nilai-nilai spiritualitas keagamaan (IMTAQ). Kelemahan di salah satu
kompetensi tersebut menjadikan perkembangan anak tidak seimbang, yang pada
akhirnya akan menciptakan pribadi  yang pincang (split personality). Arus globalisasi
dan modernisasi tersebut akhirnya berimplikasi pada tuntutan dan harapan masyarakat
terhadap pendidikan yang disamping dapat mengembangkan potensi-potensi akademik
ilmu pengetahuan dan teknologi juga internalisasi nilai-nilai riligiusitas.

Anda mungkin juga menyukai