Anda di halaman 1dari 5

Hari Ke-3

Seperti biasa hari ini kelas terasa sunyi yang bisa kudengar hanyalah bangku tua berdecit
yang kududuki saat ini dan suara ranting yang mengetuk-ngetuk jendela, aku bisa melihat
kegaduhan seisi kelas tapi aku tak mendengar apa-apa, rasanya seperti berada di dasar laut,
begitu gelap dan sunyi. Bangku ini terasa dingin, sinar matarahari tak mampu menjangkau
sampai ke pojokan sini, yang bisa kurasakan hanyalah lembabnya dinding, bukan aku yang mau
duduk di sini, tapi keadaan yang membawaku ke sini. Ini hari pertamaku di semester ke-3, tidak
heran di kelas baru ini aku tidak mendapatkan teman sebangku, mungkin karena jumlah murid di
sini ganjil, tapi bukan itu alasannya.

Semua berawal ketika pertama kali masuk SMA ini, semua tampak begitu normal,
berkenalan, dapat teman baru. Sampai hal tak terduga terjadi, teman sebangkuku meninggal di
hari ke-3 awal masuk sekolah, ia mati karena terjatuh dari ruang laboratorium biologi di lantai 2
saat hendak mengambil sebuah bola sepak yang menyangkut. Bukan jatuh dari ketinggian yang
membuatnya mati, tapi ia jatuh tepat mengenai pagar besi runcing yang tertancap di atas dinding
pembatas sekolah, pagar itu yang mencegah siswa bolos dan pagar itu pula yang menembus
perutnya, suara sobekan perutnya tak bisa kulupakan, karena ia jatuh tepat di depan mataku,
tetesan darah mengalir begitu deras seperti cat warna merah yang luntur di atas lukisan, aku bisa
melihat organ dalamnya yang mencuat keluar, sebagian bahkan ada yang jatuh berserakan.
Teriakan keras terdengar dari murid lain yang juga melihatnya, sebagian histeris, ada juga yang
jatuh pingsan. Padahal aku baru mengenalnya kurang dari 3 hari, tapi dia sudah keluar lebih dulu
dari sekolah ini. minggu berikutnya kelas kembali normal, tapi kini aku duduk sendiri di bangku
depan meja guru hingga pertengahan semerter seorang murid pindahan datang dan duduk satu
meja denganku, melewati semester pertama dengan penuh canda tawa dan pertemanan
bersamanya.

Sampai akhirnya, tepat di hari ke-3 semester kedua, teman sebangkuku kini juga
meninggal. Ia mati karena sebuah kecelakaan, ia jatuh saat mengendarai sepeda motor kemudian
truk yang berjalan berlawanan melindas tepat pada kepalanya. Aku juga ada saat itu terjadi dan
tak bisa melupakan apa yang kulihat saat itu, kepalanya hancur berkeping-keping, tulang
tengkoraknya berserakan kemana-mana bercampur dengan otaknya yang lebur seperti bubur,
darah menutupi seisi jalan, bola matanya terlempar hingga jatuh diatas kakiku. Keadaan menjadi
sangat kacau, jalanan macet karena orang-orang yang ingin tahu, sebagian mereka justru sibuk
dengan hp masing-masing. Aku juga baru mengenalnya kurang dari 3 hari, tapi dia sudah keluar
dari sekolah ini.

Pada akhirnya di semester kedua ini seisi sekolah menganggapku pembawa sial, mereka
enggan berbicara denganku, bahkan menjailiku saja mereka tak mau. Kemudian wali kelasku
datang menemuiku dan membujukku agar aku pindah tempat duduk dari depan meja guru ke
belakang pojok kelas, ia berkata bahwa aku adalah aib bagi sekolah, ia bilang murid lain
mungkin akan terganggu dengan keberadaanku di kelas, hingga akhirnya ia memberiku dua
pilihan, duduk di pojok dan jangan pernah bergaul dengan siapapun atau keluar dari sekolah ini.
Dimulai hari itulah kelas terasa jauh berbeda, aku seperti hidup di dasar laut begitu sunyi dan
dingin. Kelas masih terus berlanjut, tapi sebagian guru enggan berbicara kepadaku bahkan
bertatapan mata pun tidak.

Musim berganti tahun, di semester ketiga ini kuharap tidak akan ada hal buruk yang
terjadi, aku sungguh berharap. Hari ini adalah hari ke-3, kelas hampir kosong, hari ini yang hadir
hanya ada 3 temanku yang sekelas denganku di tiap semester, mungkin mereka tidak takut
karena sudah terbiasa sekelas denganku, salah satunya Reina. Dia adalah siswi yang berani
berbicara denganku selain kakak kelasku di ekskul robotik dan pak satpam, ia sangat terkenal di
sekolah ini karena paras cantik dan tubuh atletisnya, tingganya mungkin sama denganku sekitar
176 cm, dia orang baik. Setidaknya aku masih bersyukur masih ada yang mau bicara denganku
di sekolah ini. Terpaksa, kelas hari ini diliburkan karena jumlah murid terlalu sedikit, sebelum
pulang seniorku di ekskul robotik datang menemuiku.

“Yo… aku mencarimu dikelas, tapi kelasmu sudah kosong” bicaranya sambil menghela
napas kecapekan.

“Kelasku pulang lebih cepat hari ini”

“Ohhh… ok. Aku hanya ingin menitipkan kunci ruangan robotik kepadamu, sebab timku
akan mengikuti lomba untuk dua hari kedepan, jadi kalau ada yang perlu sesuatu tolong kamu
yang urus.” Katanya sambil sibuk mencari kunci di tas.

“Ok”

“Ini kuncinya. Kalau begitu tolong sekalian kamu cek lagi disana sepertinya aku lupa
mematikan lampu. Ya sip! Aku buru-buru.” Ia langsung pergi seketika.

Hari ini nampaknya berjalanan dengan normal tidak ada apapun yang terjadi, aku harap
pandangan orang terhadapku bisa berubah, setelah mematikan lampu aku langsung menggembok
ruang robotik dan pergi meninggalkan sekolah, sore harinya aku menyaksikan pertandingan
futsal antar kelas, berharap bisa ikut bermain walau hanya sebentar, aku benar-benar menyukai
olahraga ini rasanya kaki ini begitu gatal melihat rumput sintetis lapangan, pertandingan
seharusnya diadakan di sekolah tapi hujan deras ini membuat seluruh lapangan tergenang air.

Perasaan gelisah terus kurasakan hingga hari berikutnya berharap tak ada yang akan
terjadi dan ini semua bukanlah sebuah kutukan, aku ingin membuktikan bahwa aku juga murid
yang sama seperti yang lain, bukan pembawa sial. Di hari ke-4 semester ketiga ini semuanya
terlihat baik-baik saja hampir semua orang mulai kembali bersekolah tapi orang-orang masih
tidak mau mendekatiku, dan kata-kata yang kudengar dari mereka “Untung tidak ada yang duduk
disebelahnya. Jika ada mungkin bakalan mati.” Kukira hari ini akan berubah, tapi nyatanya aku
masih berada di dasar laut. Dan seharian ini hanya duduk termenung, sementara murid lain sibuk
dengan tugas kelompok biologi, aku hanya bisa menyaksikan, lagi pula aku tidak terlalu tertarik
dengan masalah pertumbuhan kecambah.

Gerbang sekolah mulai ditutup tapi aku masih melamun di sini, di atas genteng ruang
gudang alat olahraga. Hingga akhirnya aku tertidur dan terperangah saat melihat jam, ini hampir
tengah malam, aku harus cepat pulang. Keadaan sekolah terlihat berbeda saat malam, terutama di
lorong kelas 2 ini, aku seperti merasakan keberadaan seseorang saat berjalan melewati lorong ini.
nampaknya semua kelas sudah terkunci tapi tidak dengan kelasku, pintunya masih terbuka kukira
pak satpam melewatkannya, biar aku yang tutup. Tapi, aku tidak berani menutupnya, secepatnya
langsung lari meninggalkan sekolah, jantung ini berdetak tidak karuan, gemetar dikakiku tidak
mau hilang, nafasku terisak-isak, aku melihat sosok perempuan di depan meja guru.

Hari ke-5 semester tiga, selama ini ternyata bukan aku yang menyebabkan kematian
melainkan ada sesuatu yang lain kebetulan duduk di sebelah bangkuku. Hari ini aku berusaha
menjelaskan pada seisi kelas, tapi tetap saja mereka tidak mau mendengarkanku. Aku berusaha
berbicara dengan Reina dan dia masih mau mendengarku dia juga terkejut saat mendengarnya,
aku bersyukur setidaknya masih ada orang yang mau mendengarkan perkataanku ini. Hari jumat
ini pelajaran pertama adalah olahraga, seperti biasa aku tidak diperbolehkan mengikutinya,
selama 2 jam ini aku hanya menatap layar laptop hingga pak satpam memanggilku, ia ingin aku
meminjamkan obeng kecil di ruang robotik. Ketika aku membuka gembok kemudian mendorong
pintu kedepan, sejenak aku dan pak satpam terdiam melihat seorang siswi tergeletak di lantai
penuh darah dan luka tusukan.

Bau bangkai mengisi seluruh ruangan, perempuan itu sudah mati. Pak satpam kemudian
melintirkan lenganku dan menjatuhkanku ke tanah.

“Apa ini perbuatanmu ?” tanyanya sambil berbicara dengan satpam lain di walky talky.

“Aku tidak tahu, sungguh.”

Aku tidak tahu bagaimana mungkin seseorang bisa masuk ke dalam ruangan robotik
padahal kuncinya ada padaku dan tidak ada duplikatnya sama sekali. Karena alasan itulah yang
akhirnya seisi sekolah menganggapku sebagai seorang pembunuh, mereka juga beranggapan
bahwa aku yang membunuh kedua orang temanku di semester yang lalu. Kemudian aku ditahan
untuk sementara di kantor polisi dan diintrogasi oleh mereka, aku menjelaskan bahwa aku tidak
tahu apa-apa tapi mereka juga tidak mau percaya sampai hasil otopsi keluar.

Hingga akhirnya hasil otopsi menunjukan bahwa perempuan itu bunuh diri 40 jam
sebelum mayatnya ditemukan karena tidak ada dna orang lain pada pisau melainkan hanya
dirinya sendiri. Kemudian aku dibebaskan atas tuduhan pembunuhan, polisi mengira perempuan
itu masuk ke dalam ruangan tanpaku sadari dan bunuh diri. Pembuktian ini tidak mengubah
apapun tentangku, celaka sudah aku, dicap sebagai pembawa sial, semua yang berhubungan
denganku pasti mati. Apa aku juga harus mati ?
Hari ini aku tidak ingin mengikuti kelas, kelas hanya akan memperburukku. Seperti biasa
aku duduk di atas genteng ruang gudang, melihat hamparan sawah dan pekarangan pinggir
sekolah. Tiba-tiba Reina datang menghampiriku dan ia mencoba menghiburku, syukur aku masih
punya teman di dasar laut ini. dia membalas semua perkataanku di atas genteng ini.

“Kamu tidak kelas ?” tanyaku.

“bosen, lagi cari angin”. Jawabnya sambil tersenyum padaku.

Aku langsung terdiam malu, untuk sesaat keaadan seperti hening dan tak ada lagi topik
pembicaraan.

“Nghh… futsal kemarin kacau yah”. Aku berusaha membuat percakapan.

“Eh ? kelas kita kalah ?” tanyanya.

“kamu gak nonton ?”

“Nghh… aku lagi nyiram kecambah tugas biologi di taman”. Jawabnya dengan senyum.

Setelah percakapan itulah aku menyadari bahwa ada sesuatu yang ganjil. Ia berkata tidak
bisa menonton pertandingan futsal karena harus menyiram tanaman, sedangkan pertandingan
futsal dialihkan tempatnya karena hujan, lalu apa yang ia siram ditengah hujan ? jika aku ingat-
ingat hasil otopsi menunjukan perempuan itu mati 40 jam sebelum ditemukan dan waktu
ditemukan mayatnya adalah jumat jam 8 pagi, berarti dia mati rabu jam 4 sore tepat saat
pertandingan futsal berlangsung.

Kecurigaanku sedikit demi sedikit mulai muncul, jika kupikir-pikir terakhir kali aku
masuk keruangan sekitar jam 8 pagi rabu kemarin dan kematiannya jam 4 sore, lantas apa yang
perempuan itu lakukan dalam waktu 8 jam, jika ia berniat bunuh diri saat menyelinap masuk
keruangan lalu kenapa ia harus menunggu selama 8 jam untuk bunuh diri ? dengan kata lain dia
tidak bunuh diri, tapi dibunuh.

Kecurigaanku menjadi nyata saat kulihat isi tas seseorang, dan aku menunggu orang itu
sendirian untuk bertanya.

“Kamukan yang membunuhnya ?” tanyaku seakan tak percaya.

“Sepertinya kamu tahu banyak”. Jawaban Reina.

“Dan orang yang aku lihat dikelas saat tengah malam itu juga kamu ?” tanyaku lagi.

“Hoh jadi kamu yang ada disekolah malam-malam, wow kamu berani banget”. Katanya
sambil tersenyum kepadaku.
“Jadi… apa.. apa mungkin kamu juga yang membuat temanku terbunuh semester lalu ?”
kataku sambil menggertakan gigi. Aku menyadari hal ini, karena dia selama 3 semester ini terus
sekelas denganku.

“Yap… semester pertama aku mendorong temanmu diatas genteng laboratorium biologi,
aku tak mengira bisa suskses direncana pertama. Dan di semester kedua aku sedikit kesulitan
mengatur rencanaku, beberapa kali gagal, hingga akhirnya temanmu jatuh dari motor saat aku
menjatuhkan uang seratus ribu keluar mobil, ia berusaha menangkapnya tapi malah terjatuh dan
terlindas truk, nyawanya hanya seharga seratus ribu”. Aku merinding mendengar penjelasan
darinya.

“Lalu di semester ketiga ini kau membunuhnya secara langsung ?” tanyaku lagi.

“Yap… dia tidak memiliki banyak kegiatan jadi aku mengajaknya bermain dan
membuatnya pingsan, kau bisa menebak cerita berikutnya.” Ujarnya

“ketika aku berada di dalam untuk mematikan lampu kau menukar gembok ruangan
robotik dengan gembok yang sama persis, aku tidak menyadari itu karena saat menutup gembok,
kunci tidak diperlukan. Ketika jam 4 sore, kau masuk membawa perempuan itu yang pingsan ke
dalam ruangan, kau bisa membukanya karena gembok yang terpasang dipintu adalah gembok
milikmu, kemudian kau membunuhnya. Dan terakhir, kau menukar kembali gemboknya dengan
gembok yang asli.”

“Wow… apa kau seorang dukun ? Yap. semuanya benar, aku sedikit memakan waktu
disana.” Katanya sambil terus mendekat kepadaku.

“Tapi bagaimana bisa tidak ada dna-mu disana ?”

“Kamu pikir aku baru sekali melakukannya ?”

“Jadi aku bukanlah pembawa sial.”

“Yap, kau pembawa keberuntungan, aku beruntung bisa melimpahkan semua padamu.
Dan sepertinya kamu sudah tahu cukup banyak, mungkin semester berikutnya adalah giliranmu”.

Anda mungkin juga menyukai