Anda di halaman 1dari 7

PEMANFAATAN FESES BURUNG PUYUH DALAM PEMBUATAN KOMPOS

Poltje D. Rumajar
Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Manado

Abstract: Stool pigeons and organic waste is organic material that can cause environmental pollution
and and can have an impact on human health. The purpose of this study was to determine the role of
quail faeces as activator in composting. Therefore it is used to produce compost. This type of research is
an experimental study where researchers wanted to test the quail faeces in composting. This study was
conducted over 21 days, with the measurement of temperature, humidity and pH. Maturity compost seen
from the color, smell, as well as the structure of the material. From these results it can be seen that the
mixing of stool pigeons and successful organic waste into compost. It can be seen from the color, smell,
as well as the loose structure (materials become soft, shrink and does not clot) and the value of the
temperature, humidity and pH optimum until the last day so that decay very quickly.

Keywords: Feces Quail, Composting

ABSTRAK : Feses burung puyuh dan sampah organik adalah bahan-bahan organik yang dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan dan dan dapat menimbulkan dampak bagi kesehatan manusia.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui peranan feses burung puyuh sebagai aktifator dalam
pembuatan kompos. Oleh sebab itu dimanfaatkan untuk dijadikan kompos. Jenis penelitian ini
merupakan penelitian eksperimen dimana peneliti ingin menguji coba feses burung puyuh dalam
pembuatan kompos. Penelitian ini dilakukan selama 21 hari, dengan pengukuran suhu, kelembaban dan
pH. Kematangan kompos dilihat dari warna, bau, serta struktur bahan. Dari hasil penelitian ini dapat
dilihat bahwa pencampuran feses burung puyuh dan sampah organik berhasil menjadi kompos. Hal ini
dapat dilihat dari warna, bau, serta struktur yang gembur (bahan menjadi lunak, menyusut dan tidak
menggumpal) dan nilai suhu, kelembaban dan pH yang optimal sampai pada hari terakhir sehingga
penguraiannya sangat cepat.

Kata Kunci : Feses Burung Puyuh, Pembuatan Kompos

Menurut Undang-undang Nomor 18 tahun sampah berpotensi melepas gas metan (CH4)
2008 tentang pengolahan sampah bahwa yang dapat meningkatkan emisi gas rumah
sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari kaca dan memberikan konstribusi terhadap
manusia dan atau proses alam yang berbentuk pemanasan global (Salemba, 2014)
padat. Jumlah penduduk Indonesia yang besar Kecenderungan selama ini petani
dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi hanya bergantung pada pupuk anorganik atau
mengakibatkan bertambahnya volume sampah pupuk kimia untuk mendukung usaha taninya.
(Wahyono dan Sudarno, 2012). Disamping itu Ketergantungan ini disebabkan oleh faktor
pola konsumsi masyarakat memberikan yang berkaitan dengan karakteristik pupuk
konstribusi dalam menimbulkan jenis sampah anorganik, antara lain kandungan unsur hara
yang semakin beragam. Selama ini sebagian yang relatif praktis, meskipun sebenarnya
masyarakat masih memandang sampah petani menyadari harga pupuk anorganik lebih
sebagai barang sisa yang tidak berguna, bukan mahal (Depkes, 1987). Kondisi ini semakin
sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. terasa dengan semakin naiknya harga sarana
Masyarakat dalam mengelola sampah masih produksi pertanian, terutama pupuk organik.
bertumpu pada pendekatan akhir (end-of-pipe) Namun proses pengomposan secara alami
yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan untuk mendapatkan pupuk organik
dibuang ketempat pemprosesan akhir sampah memerlukan waktu yang cukup lama dan
padahal timbunan sampah dengan volume dianggap kurang dapat mengimbangi
yang besar dilokasi tempat pemprosesan akhir kebutuhan yang terus meningkat. Untuk
1
mengantisipasi terjadinya kekosongan pupuk Kompos merupakan pupuk organik
organik kini ditemukan beberapa aktifator yang berasal dari sisa tumbuhan dan kotoran
yang dapat mempercepat proses pengomposan hewan yang telah mengalami proses
sehingga kontinuitas produksi pupuk organik dekomposisi atau pelapukan. Selama ini sisa
lebih terjamin (Warsana, 2009). tumbuhan dan kotoran hewan belum
Burung puyuh merupakan salah satu sepenuhnya dimanfaatkan sebagai pengganti
aneka ternak yang mulai digemari masyarakat pupuk buatan (Yenie, 2010). Kompos yang
karena mampu memenuhi kebutuhan gizi baik adalah yang sudah cukup mengalami
masyarakat. Burung puyuh dapat pelapukan dan dicirikan oleh warna yang
dimanfaatkan sebagai penghasil daging dan sudah berbeda dengan warna pembentuknya,
serta kotorannya dapat dimanfaatkan sebagai tidak berbau, kadar air rendah dan sesuai suhu
pupuk kandang. Kandungan gizi daging ruang (Yovita, 2013). Proses pembuatan dan
burung puyuh tidak kalah dengan daging sapi pemanfaatan kompos dirasa masih perlu
maupun unggas, dimana daging burung puyuh ditingkatkan agar dapat dimanfaatkan secara
mengandung 21,10% protein dan kadar lemak lebih efektif, dan menambah pendapatan
yang rendah yaitu 7,7%. Manfaat dan perternak dan mengatasi pencemaran
keunggulan lainnya yaitu kotoran burung lingkungan.Proses pengomposan adalah proses
puyuh dapat dimanfaatkan kembali sebagai menurunkan C/N bahan organik hingga sama
pakan ternak, cara pemeliharaan yang mudah, dengan C/N tanah (<20). Selama proses
tidak harus menggeluarkan modal yang besar pengomposan, terjadi perubahan-perubahan
apabila diternakkan secara intensif, unsur kimia yaitu : 1) karbohidrat selulosa,
mempunyai daya tahan ysng tinggi terhadap hemiselulosa, lemak lilin dan lilin menjadi
penyakit, dan dapat diternakkan bersama CO2 dan H2O. 2) penguraian senyawa organik
hewan lain. Faktor yang terpenting dalam menjadi senyawa yang diserap
pemeliharaan burung puyuh adalah pakan, tanaman.Kompos merupakan salah satu
sebab 80 % biaya yang dikeluarkan peternak komponen untuk meningkatkan kesuburan
digunakan untuk pembelian pakan. Zat-zat gizi tanah dengan memperbaiki kerusakan fisik
yang dibutuhkan harus terdapat dalam pakan, tanah akibat pemakaian pupuk anorganik
kekurangan salah satu zat gizi yang diperlukan (kimia) pada tanah secara berlebihan yang
akan memberikan dampak buruk (Listiyowati berakibat rusaknya struktur tanah dalam
dan Kinati, dalam Putri 2009). jangka waktu yang lama (Prihandini dan
Banyaknya peternak burung puyuh Purwanto, 2007).
yang ada di Sonder dan fesesnya tidak Penggunaan kompos sebagai sumber
dimanfaatkan oleh peternak hanya dibuang nutrisi tanaman merupakan salah satu program
begitu saja, maka peneliti ingin melakukan bebas bahan kimia, walaupun kompos
penelitian pembuatan kompos untuk tergolong miskin unsur hara jika dibandingkan
memanfaatkan feses burung puyuh sebagai dengan pupuk kimia. Namun, karena bahan-
aktifator yang akan dicampurkan dengan bahan penyusun kompos cukup melimpah
sampah organik yang diambil dari pasar maka potensi kompos sebagai penyedia unsure
Sonder. hara kemungkinan dapat menggantikan posisi
Pengomposan adalah proses degradasi pupuk kimia, meskipun dosis pemberian
bahan organik secara aerob. Mikroba aerob kompos menjadi lebih besar dari pada pupuk
memerlukan kondisi lingkungan yang cocok kimia, sebagai penyetaraan terhadap dosis
untuk tumbuh dan memperbanyak diri selama pupuk kimia (Sulistyawati. 2007).
degradasi bahan organik. Teknologi Pemupukkan dengan pemberian
pengomposan saat ini mensyaratkan kompos juga mempunyai maksud mencapai
penambahan bioaktifator agar pengomposan kondisi dimana tanah memungkinkan tanaman
berlangsung lebih cepat dari pada metode tumbuh dengan sebaik-baiknya. Keadaan
tradisional yang memerlukan 3 (tiga) bulan tanah yang baik berarti pula, bahwa tanaman
(Murbandono, 2008). dapat dengan mudah menyerap makanan
melalui akarnya yang kuat, dibanding dengan
2
jika pertumbuhannya kurang baik maka dipasar Sonder, dan Feses burung puyuh yang
pemberian kompos dalam pemupukan dengan diambil dari peternak burung puyuh di Sonder.
sendirinya akan memberikan hasil yang baik. Sampel sebanyak 20 kg sampah organik dan
Berdasarkan latar belakang tersebut maka 30 kg feses burung puyuh yang akan dipakai
penulis tertarik melakukan penelitian dengan dalam proses pengomposan oleh peneliti.
judul pemanfaatan feses burung puyuh sebagai
aktifator dalam pembuatan kompos. Tujuan HASIL DAN PEMBAHASAN
penelitian yaitu untuk mengetahui feses Hasil
burung puyuh dapat berperan dalam Sesuai dengan hasil penelitian yang
pembuatan kompos. dilakukan selama 21 hari, dengan memakai
campuran 30 kg feses burung puyuh dan 20 kg
METODE sampah organik. Berdasarkan hasil
Jenis penelitian ini merupakan penelitian pengukuran dan pengamatan dari tempat
eksperimen dimana peneliti ingin menguji pembuatan adalah sebagai berikut:
coba untuk memanfaatkan feses burung puyuh 1. Pengukuran Suhu
dalam pembuatan kompos. Data nilai suhu dengan menggunakan
Populasi dalam penelitian ini yaitu semua alat thermometer yang diambil dari tempat
sampah organik yang masih baru dan segar pembuatan dapat dilihat pada gambar 1.

Suhu
100 48 48
35 40 40 45
50 30 30
Suhu
0
1 3 6 9 12 15 18 21
Hari

Gambar 1.Hasil pengukuran suhu pada saat pembuatan kompos

Temperatur pengukuran berkisar antara 30- kembali normal pada hari kedua belas sampai
500C dengan nilai yang optimum menunjukkan hari kedua puluh satu.
aktivitas pengomposan yang cepat. Tabel 2. Pengukuran Kelembaban
diatas menunjukkan dimana pada hari pertama Data nilai kelembaban dengan
sampai hari keenam memiliki nilai yang menggunakan alat hygrometer yang diambil
optimum, tetapi pada hari kesembilan dari tempat pembuatan dapat dilihat pada
mengalami penurunan suhu, kemudian gambar 2.

3
Kelembaban
55
52 52 52
50 50 50
48
45 46 Kelembaban45
40
1 3 6 9 12 15 18 21
Hari

Gambar 2.Hasil pengukuran kelembaban pada saat pembuatan kompos


Nilai kelembaban juga sangat mempengaruhi hari ketiga mengalami peningkatan, pada hari
keberhasilan proses pengomposan. Apabila keenam dan hari kedua belas mengalami
kelembaban dibawah 40% dan lebih besar dari penurunan, kemudian nilai kelembaban
60%, maka akan mengakibatkan aktivitas kembali optimum pada hari kelima belas
mikroba mengalami penurunan dan volume sampai hari kedua puluh satu.
udara akan berkurang dan terjadi fermentasi 3. Pengukuran pH
anaerob yang menimbulkan bau tidak sedap.
Hasil pengukuran kelembaban pada tabel Hasil pengukuran pH pada proses
diatas menunjukkan pada hari pertama sampai pengomposan mulai pada hari pertama sampai
hari kedua puluh dapat dilihat pada gambar 3.

pH
7.5
7 7 7 7 7
7
6.5
6 6 6 pH
6
5.5
1 3 6 9 12 15 18 21
Hari

4
Gambar 3. Hasil pengukuran pH pada saat pembuatan kompos

Nilai pH pada tempat pencampuran antara organik tersebut. Apabila kondisinya kurang
feses burung puyuh dan sampah organik sesuai atau tidak sesuai maka organisme
dengan perbandingan 30 kg feses burung tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain,
puyuh dan 20 kg sampah organik, yang diukur atau bahkan akan mati. Faktor-faktor seperti
dengan menggunakan kertas lakmus pH. C/N, pH, suhu dan kelembaban harus dijaga
Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos seoptimal mungkin agar proses kompos
juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. berjalan dengan baik.
Kisaran pH yang baik sekitar 6-8. Selama Aktivitas mikroba berada diantara
tahap awal proses dekomposisi, akan terbentuk permukaan area dan udara. Permukaan area
asam–asam organik. Kondisi asam ini akan yang luas akan meningkatkan kontak antara
mendorong pertumbuhan jamur dan akan mikroba dengan bahan dan proses
mendekomposisi lignin dan selulosa pada dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Untuk
bahan kompos. Dari data tabel diatas, nilai pH menciptakan area atau rongga diantara bahan,
pada hari pertama, hari ketiga dan hari maka dalam penelitian ini bahan sayuran
kesembilan bersifat asam, tetapi hari keenam, dipotong-potong dengan ukuran yang
hari kedua belas sampai hari kedua puluh satu, bervariasi mulai dari 1 cm hingga 3 cm,
menjadi normal kembali. tujuannya adalah untuk mempercepat kontak
antara bakteri dengan bahan kompos.
Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian, maka
Bahan yang digunakan dalam penulis akan menguraikan tentang
penelitian ini adalah feses burung puyuh yang pencampuran feses burung puyuh dan sampah
tidak dimanfaatkan oleh peternak hanya organik dalam pembuatan kompos.
dibuang begitu saja dan sampah organik yang Berdasarkan dalam waktu yang telah
merupakan sisa–sisa makanan dan tidak ditentukan yaitu dalam kurun waktu 3 minggu,
digunakan lagi. variabel perlakuan dilakukan pengukuran untuk hari pertama dan
dengan mencampurkan kedua bahan tersebut selanjutnya diukur setiap tiga hari sekali dalam
dengan perbandingan campuran 30 kg feses seminggu.
burung puyuh dan 20 kg sampah organik. Pada
tahap pengomposan ini variabel yang perlu Suhu
dikontrol adalah suhu, pH dan kelembaban Temperatur atau suhu yaitu panas yang
yang diukur setiap tiga hari sekali serta dihasilkan mikroba. Ada hubungan langsung
perubahan fisik kompos sampai proses antara peningkatan suhu dengan konsumsi
pengomposan selesai. oksigen. Semakin tinggi temperatur akan
Setiap organisme pendegradasi bahan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan
organik membutuhkan kondisi lingkungan dan semakin cepat pula proses dekomposisi.
bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat
sesuai, maka dekomposer tersebut akan pada tumpukan kompos. Temperatur yang
bekerja giat untuk mendokomposisi bahan berkisar antara300C – 500C nilai yang
5
optimum menunjukkan aktivitas pengomposan penguraian yang cepat dihubungkan juga
cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 500C akan dengan kondisi lingkungan yang memiliki
membunuh sebagian mikroba dan hanya nilai kelembaban dan suhu yang optimal,
mikroba thermofilik saja yang akan tetap kemudian pada hari kesembilan nilai pHnya
bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan kembali asam (6) yang mengartikan adanya
membunuh mikroba-mikroba pathogen proses penguraian menjadi lambat. Kemudian
tananam dan benih-benih gulma. pada hari kedua belas sampai hari terakhir
kembali ke pH normal yaitu 7, yang
Kelembaban menyebabkan pencampuran tersebut dengan
Kelembaban memegang peranan yang proses penguraian berlangsung cepat dengan
sangat penting dalam proses metabolisme nilai suhu dan kelembaban yang optimal
mikroba dan secara tidak langsung sehingga pada hari kedua puluh sudah menjadi
berpengaruh pada suplai oksigen. Kelembaban kompos. Hasil pengukuran pH, suhu dan
40–60 % adalah kisaran optimum untuk kelembaban di tempat pencampuran secara
metabolisme mikroba. Apabila kelembaban umum cukup bervariasi, yaitu pH 6-7, suhu
dibawah 40 %, aktivitas mikroba akan 300C – 500C, kelembaban 40% - 50% tetapi
mengalami penurunan dan akan lebih rendah nilai pada ketiga parameter ini masih berada
lagi pada kelembaban 15 %. Apabila pada batas ketentuan atau optimum dimana
kelembaban lebih besar 60 %, volume udara mikroba itu hidup dan melakukan proses
akan berkurang, akibatnya aktifitas mikroba dekomposisi.
akan menurun dan akan terjadi fermentasi Hasil penelitian ini sejalan dengan
anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. Yenie (2010). Dapat disimpulkan bahwa hasil
Pada timbunan kompos panas tertinggi terletak kompos kotoran ternak memiliki suhu stabil,
dibagian tengah akibatnya mikroorganisme kelembaban dan pH optimum setelah melalui
pada bagian tengah lebih aktif sehingga proses pengomposan di atas 14 hari dengan
penguapan hebat terjadi pada timbunan ini. melakukan perlakuan selama proses
pengomposan berlangsung. Perlakuan yang
pH dilakukan dalam penelitian ini adalah
pH adalah derajat keasaman yang pembalikan dan penyiraman bahan kompos
digunakan untuk menyatakan tingkat setiap 3 hari sebelum dilakukan pengukuran
keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suhu, kelembaban dan pH pada bahan kompos.
suatu larutan. pH kompos berperan sebagai Hasil kompos dalam penelitian ini
indicator proses dekomposisi kompos. dapat diamati dari warna hitam kecoklatan
Mikroba dalam kompos akan bekerja pada yang menyerupai tanah dan berbentuk gembur,
keadaan pH netral. pH yang optimum untuk bahan menjadi lapuk, menyusut dan tidak
proses pengomposan berkisar antara 6.5 mengumpal. Menurut Endah (2007). Hasil
sampai 7.5 pH. Proses pengomposan sendiri pengomposan berbahan baku sampah
akan menyebabkan perubahan pada bahan dinyatakan aman untuk digunakan bila sampah
organik dan pH bahan itu sendiri. organik telah dikomposkan dengan sempurna.
Pada tempat pencampuran feses Salah satu indikasinya terlihat dari
burung puyuh dan sampah organik, hasil kematangan kompos yang meliputi
pengukuran pH pada hari pertama dan ketiga karakteristik fisik (bau, warna, dan tekstur
memiliki nilai 6 yang sifatnya asam, dan yang telah menyerupai tanah, penyusutan berat
kemudian diukur nilai suhu dan kelembaban mencapai 60 %, pH netral, suhu stabil).
pada hari pertama dan ketiga, yang memiliki
nilai suhu yaitu 300C – 350C, kemudian KESIMPULAN DAN SARAN
kelembaban 48% - 52%, mempengaruhi Kesimpulan
pertumbuhan bakteri untuk dapat berinteraksi Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dengan pencampuran tersebut, kemudian pada dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan
hari keenam nilai pH naik menjadi 7 sifatnya bahwa feses burung puyuh dapat dimanfaatkan
normal yang mengakibatkan terjadinya untuk pembuatan kompos, dapat dilihat dari
6
hasil kompos memiliki suhu rata-rata selama Pembuatan Kompos. Politeknik
proses pengomposan adalah 39,50C, Kesehatan Kementerian Kesehatan.
kelembaban nilai rata-ratanya adalah 49,3 % Manado
dan pH 6,6. Sulistyawati, E., 2007. Pengaruh Agen
Saran Dekomposer Terhadap Kualitas Hasil
1. Disarankan kepada peternak burung puyuh Pengomposan Sampah Oraganik Rumah
yang ada di Sonder dapat memanfaatkan Tangga. Jurnal Penelitian Sains &
feses burung puyuh untuk diolah dan Teknologi, Bandung, Institut Teknologi
dijadikan aktifator dalam pembuatan Bandung.
kompos. Undang-Undang RI. No 18 Tahun 2008
2. Campuran feses burung puyuh, dan sampah Tentang Pengolahan Sampah. Jakarta
organik dapat diperkenalkan kepada Wahyono, E. H., dan Sudarno, N., 2012.
masyarakat untuk membantu memperoleh Pengelolaan Sampah Plastik: Aneka
pupuk kompos yang mudah dan cepat Kerajinan dari Sampah Plastik. Yapeka.
mendapatkannya untuk keperluan pertanian Bogor
sehingga tidak mencemari lingkungan. Warsana, 2009. Kompos Cacing Tanah
3. Dengan pemanfaatan feses burung puyuh (CASTING).WWW.Litbang.Pertanian.go
dan sampah organik ini maka akan .id/artikel/ one/231/pdf/Kompos Cacing
mengurangi pencemaran lingkungan. Tanah(Casting).pdf. (Diakses tangal 12
Januari 2015)
DAFTAR PUSTAKA Yenie, E. (2010). Kelembapan Bahan dan
Departemen Kesehatan R.I Pembuangan Suhu Kompos Sebagai Parameter Yang
Sampah, Proyek Pengembangan Mempunyai Proses Pengomposan Pada
Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat, Unit Pengomposan Rumbai. Jurnal
1987. Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Listiyowati, E dan Kinanti, R., 2005. Puyuh : Universitas Riau, Pekanbaru.
Tata Laksana Budi Daya Secara Yovita, H. I., 2013. Membuat kompos secara
Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta. kilat. Penebar Swadaya. Jakarta
Murbandono, H. L., 2008. Membuat Kompos. Yulianto, Adi Budi., Ahmand Ariesta., Dimas
Penebar Swadaya. Jakarta Purwo Anggoro., Heru Haryadi.,
Prihandini, P, W dan Purwanto, T., 2007. Muhammad Bahrudin., Giomo Santoso
Petunjuk Teknis Pembuatan Kompos (2010). Bukupedoman Pengolahan
Berbahan Kotoran Sapi. Pusat Penelitian Sampah Terpadu : Konversi Sampah
dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Pasar Menjadi Kompos Berkualitas
Salemba., Y., 2014. Efektifitas Lindi dan Tinggi. Jakarta.
Efektif Mikroorganisme (EM4) Dalam

Anda mungkin juga menyukai