USHULUL FIQH
Di Susun
Oleh:
WAHYUDI (200202023)
E. Hadist Qudst
Hadiś Qudsi ialah perkataan-perkataan yang disabdakan Nabi Muhammad
saw. dengan mengatakan bahwa “Allah berfirman …”, atau setiap Hadiś yang
Rasul menyandarkan perkataan (Hadiś) itu kepada Allah, dan beliau
meriwayatkan dari Allah swt.
Jumlah Hadiś Qudsi ini menurut Shihab al-Din Ibn Hajar Al-Haitami dalam
kitab Sharah Arba'in al-Nawawiyah" tidak lebih dari seratus Hadiś. Ciri Hadiś
Qudsi adalah:
a. ada redaksi Hadiś qala/yaqulu Allah
b. ada redaksi fima rawa/yarwihi 'anillahi tabaraka wa ta'ala
Di samping itu Al-Shafi'i memberikan syarat dalam menerima hadis
mursal, yaitu apabila yang meriwayatkan seorang tabi‟in besar, orang
kepercayaan lain juga meriwayatkannya. Terdapat hadis mursal yang lain
yang sama, ada perkataan sahabat yang sesuai dengan itu dan hadis mursal itu
sesuai pula dengan fatwa sebagian besar ahli ilmu. Apabila nama perawi yang
ditinggalkan, diketahui namanya bukan disebut majhul, akan tetapi,
bagaimanapun hadis mursal tidaklah mempunyai kekuatan yang sama dengan
hadis musnad. Hadis munqati' ialah hadis yang seorang perawinya yang bukan
sahabat tidak disebutkan. Hadis ini tidak menjadi hujjah. Hadis mu'dhal ialah
hadis yang dua orang perawinya yang bukan sahabat tidak disebut. Hadis ini
tidak dapat menjadi hujjah. Hadis mu 'allaq ialah hadis yang tidak disebutkan
atau dibuang permulaan sanadnya, sanad permulaan atau terakhir dihilangkan.
Hadis ini dha‟if kecuali apabila diriwayatkan dengan cara yang pasti dan
mantap, maka ia meningkat dan menjadi sama dengan hadis sahih. Hadis
ma'lul ialah hadis yang mempunyai cacat dan dapat diketahui dari berbagai
pemeriksaan dengan berbagai jalan atau memang ada qarinah yang
menunjukkan demikian. Mengetahui cacat dan cela hadis ('illat) amatlah
penting. Hal ini untuk mengetahui kedudukan sesuatu hadis.
A. Al –Ijma‟
1. Pengertian Ijma'
Ijma' menurut bahasa Arab berarti: kesepakatan atau konsensus
sesuatu hal.Seperti perkataan seseorang: “ajma‟ al-qaum kadha”, berarti:
kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang hal itu.Menurut istilah ijma', ialah
”kesepakatan mujtahid umat Islam tentang hukum shara' dari suatu peristiwa
yang terjadi setelah Nabi Saw. meninggal dunia”.Sebagai contoh: setelah Nabi
Saw.
a. Al-Qur‟an
Perkataan al-amri yang terdapat pada ayat di atas berarti: hal, keadaan atau
urusan/perkara yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan
agama. Ulial-amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin
atau penguasa;sedang uli al-amri dalam urusan agama ialah para mujtahid,
atau fuqaha.
b. Al-Hadis
Para mujtahid telah melakukan Ijma‟ tentang hukum (shara‟) dari suatu
peristiwa atau kejadian, maka ijma‟ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak
mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan, apalagi
kemaksiatan, dosa dan dusta.
2. Akal Pikiran/Nalar Sehat
Setiap ijma' yang dilakukan terhadap hukum shara', hendaklah
dilakukan dan dibangun dengan prinsip pokok ajaran Islam. Karena setiap
mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran
Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta ketentuan
hukum yang telah ditetapkan.
3. Rukun-Rukun Ijma'
Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama usul menetapkan
rukunrukun ijma' sebagai berikut:
B. Al- Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut mazhab empat
sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah
dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam.
Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar zan (dugaan keras), dan
illat-nya pun ditetapkan berdasarkan dengan keras pula. Sedang Allah Swt.
melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu yang zan, Berdasarkan
keterangan di atas maka tidak diperbolehkan menetapkan hukum dengan
qiyas.
4. Rukun al-Qiyas. Rukun al-Qiyas ada empat, yaitu:Asal, berarti pokok, dasar
yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nass.
Asal disebut juga maqis „alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah
bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan).
A. Al- Istihsan
1. Pengertian
Istihsan menurut bahasa berarti: menganggap baik atau hal yang baik.
Menurut istilah ulama usul fiqh, ialah meninggalkan hukum suatu peristiwa
atau kejadian yang telah ditetapkan berdasarkan dalil shara', menuju ketetapan
hukum peristiwa atau kejadian lain, karena ada suatu dalil shara‟ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil shara‟ terakhir ini disebut
sebagai sandaran istihsan. Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas terdapat
dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nass yang dapat dijadikan dasarnya. Menetapkan
hukumnya dicari peristiwa atau kejadian lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nass dan mempunyai persamaan illat dengan peristiwa pertama.
Berdasarkan persamaan illat itu ditetapkan hukum peristiwa pertama
sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedangkan pada istihsan hanya ada satu
peristiwa atau kejadian. Awal mula peristiwa atau kejadian itu telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nass. Kemudian ditemukan nass lain yang
mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang
telah ditetapkan itu, untuk pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama
dianggap kuat, tetapi kepentingan hukum menghendaki perpindahan hukum
itu. Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dari seorang mujtahid ialah
persamaan illat dari dua peristiwa itu, sedang istihsan yang dicari ialah dalil
mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari suatu
peristiwa tersebut.
2. Dasar Hukum Istihsan.
Mazhab yang berpegang dengan dalil istihsan ialah mazhab Hanafi.
Menurut mereka, istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan
qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa
atau kejadian berdasarkan ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena
ada suatu kepentingan yang memperbolehkannya. Menurut mereka jika
diperbolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat
almursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakikatnya
adalah sama.
B. Al-Maslahat Al-Mursalah
1. Pengertian
Al-Maslahat al-mursallah ialah suatu kemaslahatan yang tidak
dibicarakan oleh Shara‟ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang
memerintahkan untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Jika hal itu
dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Al-
Maslahat al-mursallah ini disebut juga maslahat yang mutlak. Hal ini karena
tidak ada dalil yang mengakui kekeliruannya.
Pembentukan hukum dengan cara al-maslahat al-mursalah untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia, untuk mendatangkan manfaat dan
menolak kemudaratan dan kerusakan bagi manusia. Kemaslahatan manusia itu
mempunyai tingkatan-tingkatan. Tingkat yang pertama lebih utama dari
tingkat kedua dan tingkat kedua lebih utama dari yang ketiga. Tingkatan itu,
ialah: Tingkat pertama yaitu tingkat al-daruri, tingkat yang wajib
direalisasikan, ini harus ada. Tingkat ini terdiri atas lima tingkat pula, tingkat
pertama lebih utama dari yang kedua, yang kedua lebih utama dari yang
ketiga dan seterusnya. Tingkat-tingkat itu ialah:
1) Memelihara agama
2) Memelihara jiwa
3) Memelihara akal
4) Memelihara keturunan harta
5) Tingkat kedua ialah tingkat al-hajji
6) Tingkat ketiga, ialah tingkat al-tahsini
Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang
sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju ke arah perbuatan-
perbuatan maksiat itu.
Dasar Hukum Sadd al-Dhari „ah Dasar hukum dari sadd al-dahriah
ialah Al-Qur'an dan Hadis, yaitu: