Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Isolai Sosial


1. Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama
sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa tidak
diterima dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).

Isolasi sosial adalah keadaan ketika individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak
mampu berinteraksi dengan orang lain dan sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak,dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. ( Keliat,dkk.2009)

Isolasi sosial merupakan pertahanan diri seseorang terhadap orang lain maupun lingkungan yang
menyebabkan kecemasan pada diri sendiri dengan cara menarik diri secara fisik maupun psikis.
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan mekanisme individu terhadap
sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan
lingkungan. Isolasi sosial merupakan upaya mengindari komunikasi dengan orang lain karena
merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran
dan kegagalan (Rusdi,2013).

2. Rentan Respon Sosial

Rentang Respon Sosial

Respon adaptif Respon Maladaftif

Solitud Menarik diri Respon Maladaftif


Otonomi Kesepian Manipulasi
Kebersamaan Ketergantungan Narkisisme
Saling Ketergantungan

Respon ini meliputi :


1) Solitude atau menyendiri
Merupakan respon yang dilakukan individu untuk apa yang telah terjadi atau dilakukan

dan suatu cara mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-rencana (Riyadi & Purwanto,

2009).

2) Otonomi

Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide, pikiran,

perasaan dalam hubungan sosial. Individu mampu menetapkan diri untuk interdependen

dan pengaturan diri (Riyadi &

Purwanto, 2009).
3) Kebersamaan

Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian, saling memberi, dan

menerima dalam hubungan interpersonal (Riyadi &

Purwanto, 2009).
4) Interdependen (Saling Ketergantungan)

Merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung antar individu

dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal


(Riyadi & Purwanto, 2009).
5) Kesepian

Merupakan kondisi dimana individu merasa sendiri dan terasing dari lingkungannya.

(Damaiyanti, 2012)

6) Menarik diri

Seseorang yang mengalami mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara

terbuka dengan orang lain. (Yosep, 2011)

7) Manipulasi

Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan orang lain sebagai objek,

hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain dan individu cenderung

berorientasi pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan sebagai pertahanan

terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat untuk berkuasa pada orang lain

(Riyadi &

Purwanto, 2009).
8) Impulsif
Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subjek yang tidak dapat

diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan, tidak mampu untuk belajar

dari pengalaman dan miskin penilaian (Riyadi & Purwanto, 2009).

9) Narkisisme

Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku egosentris, harga diri yang

rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan mudah marah jika tidak

mendapat dukungan dari orang lain (Riyadi

& Purwanto, 2009).


10) Isolasi Sosial

Keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak

mampu berikteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak,

tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan

orang lain. (Riyadi &

Purwanto, 2009)
3. Perkembangan Hubungan Sosial
Pada dasarnya kemampuan hubungan sosial berkembang sesuai dengan proses tumbuh kembang
individu mulai dari bayi sampai dengan dewasa lanjut, untuk mngembangkan hubungan sosial
yang positif,setiap tugas perkembangan sepanjang daur kehidupan diharapkan dilalui dengan
sukses.

Kemampuan berperan serta dalam proses hubungan diawali dengan kemampuan tergantung pada
masa bayi dan berkembang pada masa dewasa dengan kemampuan saling tergantung (tergantung
dan mandiri), mengenai tahap perkembangan tersebut akan diuraikan secara rinci setiap tahap
perkembangan.
a) Masa Bayi
Bayi sangat tergantung pada orang lain dalam pemenuhan kebutuhan biologis dan
psikologisnya. Bayi umumnya menggunakan yang sangat sederhana dalam menyampaikan akan
kebutuhannya, misalnya menangis untuk semua kebutuhannya. Respon lingkungan (ibu atau
pengasuh) terhadap kebutuhan bayi harus sesuai agar berkembang rasa percaya diri bayi akan
respon atau perilakunya dan rasa percaya bayi terhadap orang lain. Kegalalan pemenuhan
kebutuhan bayi melalui ketergantungan pada orang lain akan mengakibatkan rasa tidak percaya
diri sendiri dan orang lain, serta menarik diri.
b) Masa prasekolah
Anak prasekolah mulai memperluas hubungan sosialnya diluar lingkungan khususnya ibu atau
pengasuh. Anak menggunakan kemampuan
berhubungan yang telah dimiliki untuk berhubungan dengan lingkungan diluar keluarga. Dalam
hal ini anak membutuhkan dukungan dan bantuan dari keluarga khususnya pemberian
pengakuan yang positif terhadap perilaku anak yang adaptif. Hal ini merupakan dasar rasa
otonomi yang berguna untuk mngembangkan kemampuan interdependen.
Kegagalan anak dalam berhubungan dengan lingkungan diseratai respon keluarga yang negatif
akan mengakibatkan anak menjadi tidak mampu mengontrol diri, tidak mandiri (tergantung),
ragu, menarik diri dari lingkungan, kurang percaya diri, pesimis,takut perilakunya salah.
c) Masa Sekolah
Anak mulai mengenal hubungan yang lebih luas khususnya lingkungan sekolah pada usia ini
anak mulai mngenal bekerja sama, kompetisi, kompromi. Konflik sering terjadi dengan orang
tua karena pembatasan dan dukungan yang tidak konsisten, teman dengan orang dewasa diluar
keluarga (guru,orang tua,teman) merupakan sumber pendukung yang penting bagi anak.
Kegagalan dalam membaca hubungan dengan teman di sekolah, kurangnya dukungan guru dari
pembatasan serta dukungan yang tidak konsisten dari orang tua mengakibatkan anak frustasi
terhadap kemampuannya,putus asa,merasa tidak mampu dan menarik diri dari lingkungan.
d) Masa Remaja
Pada usia ini anak mengembangkan hubungan intim dengan teman sebaya dan sejenis dan
umumnya mempunyai sahabat karib. Hubungan dengan teman sangat tergantung, sedangkan
hubungan dengan orang tua mulai independent. Kegagalan membina hubungan dengan teman
dan kurangnya dukungan orang tua, akan mengakibatkan keraguan akan identitas,
ketidakmampuan mengidentifikasi karir dan rasa percaya diri kurang.
e) Masa Dewasa Muda
Pada usia ini individu mempertaahankan hubungan interdependen dengan orang tua dan teman
sebaya, individu belajar mengambil keputrusan dengan memperhatkan saran dan pendapat
orang lain seperti memilih pekerjaan, memilih karir,melangsungkan perkawinan.
Kegagalan individu dalam melanjutkan sekolah, pekerjaan,perkawinan akan mengakibatkan
individu menghindari hubungan intim, menjauhi
orang lain, putus asa akan karir.
f) Masa Dewasa Tengah
Individu pada usia dewasa tengah umumnya telah pisah tempat tinggal dengan orang tua ,
khusunya individu yang telah menikah. Jika ia telah menikah maka peran menjadi orang tua dan
mempunya hubungan antar orang dewasa merupakan situasi tempat menguji kemampuan
hubungan interdependen. Individu yang perkembangannya baik akan dapat mengembangkan
hubungan dan dukungan yangbaru.
Kegagalan pisah tempat dengan orang tua, membina hubungan yang baru, dan mendapatkan
dukungan dari orang dewasa lain akan mengakibatkan perhatian hanya tertuju pada diri sendiri,
produktifitas dan kreatifitas berkurang,perhatian pada oran lain berkurang.

g) Masa Dewasa Lanjut


Pada masa ini individu akan mengalami kehilangan baik itu kehilangan fungsi fisik, kegiatan,
pekerjaan, teman hidup (teman sebaya dan pasangan),anggota keluarga (kematian orang tua).
Indiviidu tetap memerlukan hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Individu yang
mengalami perkembangan yang baik dapat menerima kehilangan yang terjadi dalam
kehidupannya dan megakui bahwa dukungan orang lain dapat membantu dalam menghadapi
kehilangannya.
Kegagalan individu untuk mnerima kehilangan yan terjadi pada kehidupan serta menolak
bantuan yang disediakan untuk membantu akan
mengakibatkan perilaku menarik diri.

4. Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi


Menurut Pusdiklatnakes (2012) kegagalan-kegagalan yang terjadi sepanjang daur kehidupan dapat
mengakibatkan perilaku menarik diri:
a) Faktor Predisposisi
1) Faktor Biologis
Adanya faktor herediter yang mengalami gangguan jiwa,adanya resiko, riwayat penyakit
trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA.
2) Faktor Psikologis
Ditemukan pengalaman negatif klien terhadap gambaran diri, tidak jelasnya atau
berlebihnya peran yang dimiliki, kegagalan dalam mencapai harapan atau cita-cita, krisis
identitas dan kurangnya penghargaan baik dari diri sendiri maupun lingkungan,yang dapat
menyebabkan gangguan dalam berinteraksi dengan orang lain,dan akhirnya menjadi
masalah isolasi sosial.
3) Faktor Sosial Budaya
Pada klien isolasi sosial biasanya ditemukan dari kalangan ekonomi rendah,riwayat
penolakan lingkungan pada usia perkembangan anak,tingkat penididikan rendah dan
kegegalan dalam berhubungan
sosial.
b) Faktor Presipitasi
Biasanya ditemukan riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis,atau kelaianan struktur
otak,kekerasan dalam keluarga,kegagalan dalam hidup, kemiskinan, atau adanya tuntutan di
keluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan klien,konflik antar masyarakat.
Faktor pencetus pada umumnya mencakup kejadian kehidupan yang penuh stress seperti
kehilangan, yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain
dan menyebabkan ansietas.

Faktor pencetus dapat dikelompokkan dalam kategori :


1) Faktor sosiokultural.
Stres dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit keluarga, dan berpisah dari orang
yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah sakit.
2) Faktor psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan
untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang
lain untuk memenuhi kebutuhan untuk ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tinggi
(Stuart, 2006).

5. Tanda dan gejala


Menurut Pusdiklatnakes (2012) tanda dan gejala isolasi sosial dapat dinilai dari ungkapan klien
yang menunjukkan penilaian negatif tentang hubungan sosial dan didukung dengan data
observasi :
a) Data subjektif
Pasien mengungkapkan tentang :
1) Perasaan sepi
2) Perasaan tidak aman
3) Perasaan bosan dan waktu terasa lambat
4) Ketidakmampuan berkonsentrasi
5) Perasan ditolak

b) Data objektif
1) Banyak diam
2) Tidak mau bicara
3) Menyendiri
4) Tidak mau berinteraksi
5) Tampak sedih
6) Kontak mata kurang
7) Muka datar
6. Mekanisme koping
Individu yang mengalami respon sosial maladiptif menggunakan berbagai mekanisme dalam
upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah
hubungan yang spesifik (gall,W Stuart 2006). Koping yang berhubungan dengan gangguan
kepribadian antisosial antara lain proyeksi, spliting dan merendahkan orang lain, koping yang
berhubungan dengan gangguan kepribadian ambang spliting, formasi reaksi, proyeksi, isolasi,
idealisasi orang lain, merendahkan orang lain dan
identifikasi proyektif.

Menurut Gall W. Stuart (2006), sumber koping yaang berhubungan dengan respon sosial
maladaptif meliputi keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luasan teman, hubungan dengan
hewan peliharaan dan penggunaan kreatifitas untuk mengekspresikan stress interpersonal
misalnya kesenian, musik atau
tulisan.

7. Sumber Koping
Contoh sumber koping yang berhungan dengan respon maladaptif menurut Stuart, (2006) meliputi
:
a) Keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luas dan teman.
b) Hubungan dengan hewan peliharaan.
c) Penggunaan kreativitas untuk mengekspresikan stres interpersonal (misalkan: kesenian, musik
atau tulisan).
8. Komplikasi
Klien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku yang tidak
sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi resiko gangguan sensori persepsi:
halusinasi, mencederai diri sendiri, orang lain serta lingkungan dan penurunan aktifitas sehingga
dapat menyebabkan defisit perawatan diri (Dalami,2009)

9. Penataklaksanaan.
a. Terapi Medis
Berupa Therapy farmakologi
(1) Clorpromazine (CPZ)
a) Indikasi: Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai
realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan tilik diri terganggu,
berdaya berat dalam fungsi fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan
perilaku yang aneh atau, tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan
sehari -hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
b) Efek samping: Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi,
antikolinergik/ parasimpatik,mulut kering, kesulitan dalam miksi, dan defikasi, hidung
tersumbat,mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama
jantung),gangguan ekstra piramidal (distonia akut, akatshia,
sindromaparkinson/tremor, bradikinesia rigiditas), gangguan endokrin, metabolik,
hematologik, agranulosis, biasanya untuk pemakaian jangka panjang.

(2) Haloperidol (HLD)


a) Indikasi : Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi netral serta
dalam fungsi kehidupan sehari –hari.

b) Efek samping : Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otonomik (hipotensi,


antikolinergik /parasimpatik, mulut kering, kesulitan miksi dan defikasi, hidung
tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).
(3) Trihexy phenidyl (THP)
a) Indikasi:Segala jenis penyakit parkinson,termasuk paska ensepalitis dan
idiopatik,sindrom parkinson akibat obat misalnya reserpin dan fenotiazine.
b) Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor Gangguan otonomik (hypertensi, anti
kolinergik/ parasimpatik, mulut kering, hidung tersumbat, mata kabur,gangguan
irama jantung).

b. Electro convulsif therapi


Electro convulsif therapi (ECT) atau yang lebih dikenal dengan elektroshock adalah suatu
terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya
ECT ditujukan untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak berespon kepada obat psikiatri
pada dosis terapinya. ECT pertama kali diperkenalkan oleh 2 orang neurologist Italia Ugo
Cerlitti dan Lucio Bini pada tahun 1930. Diperkirakan hampir 1 juta orang didunia mendapat
terapi ECT setiap tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu.

ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi efek terapi
(Therapeutic Clonic Seizure) setidaknya selama 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu
kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang
mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan
memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar
serum Brain-Derived Neurotrophic Faktor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak responsif
terhadap terapi farmakologi.
c. Therapy kelompok
Therapy kelompok merupakan suatu psikotherapy yang dilakukan sekelompok pasien bersama-
sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang
therapist atau petugas kesehatan jiwa. Therapy ini bertujuan memberi stimulus bagi klien
dengan gangguan interpersonal.

Terapi aktivitas kelompok yang dapat dilakukan untuk pasien dengan


isolasi sosial adalah :
1) Sesi 1 : kemampuan memperkenalkan diri
2) Sesi 2 : kemampuan berkenalan
3) Sesi 3 : kemampuan bercakap-cakap
4) Sesi 4 : kemampuan bercakap-cakap topik tertentu
5) Sesi 5 : kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi
6) Sesi 6 : kemampuan bekerjasama
7) Sesi 7 : evaluasi kemampuan sosialisasi
d. Therapy Individu
Menurut Pusdiklatnakes (2012)tindakan keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan
(SP) pada pasien dapat dilakukan sebagai berikut :
a) Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada pasien :
Pengkajian Isolasi sosial, dan melatih bercakap-cakap antara pasien dan keluarga.
(1) Membina hubungan saling percaya
(2) Membantu pasien menyadari masalah isolasi sosial
(3) Melatih bercakap-cakap secara bertahap antara pasien dan anggota keluarga
b) Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 2 orang lain), latihan bercakap-
cakap saat melakukan 2 kegiatan harian.

(1) Mengevaluasi tanda dan gejala isolasi sosial


(2) Memvalidasi kemampuan berkenalan (berapa orang)
(3) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (latih 2 kegiatan)
(4) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan berkenalan 2-3 orang
c) Strategi pelaksanaan pertemuan 3 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 4-5 orang), latihan bercakap-
cakap saat melakukan 2 kegiatan harian baru.
(1) Evaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
(2) Validasi kemampuan berkenalan (berapa orang) dan bicara saat melakukan dua kegiatan
harian
(3) Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
(4) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian
(latih 2 kegiatan baru)
(5) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan 4-5 orang

d) Strategi pelaksanaan pertemuan 4 pada pasien :


Mengevaluasi kemampuan berinteraksi, melatih cara bicara saat melakukan kegiatan sosial
(1) Evaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
(2) Validasi kemampuan berkenalan (beberapa orang) dan bicara saat melakukan empat
kegiatan harian
(3) Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
(4) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan sosial
e. Therapy Lingkungan
Menurut Rusdi (2013), manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek
lingkungan harus mendapatkan perhatian khusus dalam kaitannya untuk menjaga dan
memelihara kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan erat dengan stimulus psikologi
seseorang yang akan berdampak pada kesembuhan,karena lingkungan tersebut akan
memberikan dampak baik pada kondisi fisik maupun kondisi psikologis seseorang.

B. Asuhan Keperawatan Pada Klien Isolasi Sosial

1. Deskripsi
Tanggapan atau deskripsi tentang isolasi yaitu suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (towsend,
1998).Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan orang lain.

2. Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor presipitasi, penilaian stressor ,
suberkoping yang dimiliki klien. Setiap melakukan pengajian ,tulis tempat klien dirawat dan
tanggal dirawat isi pengkajian meliputi :
a) Identitas Klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama, tangggal MRS ,
informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan
alamat klien.
b) Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau tidak
ada , berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang lain ,tidak melakukan kegiatan
sehari – hari , dependen

3. Faktor predisposisi
Kehilangan,perpisahan , penolakan orang tua ,harapan orang tua yang tidak realistis
,kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial.Terjadi
trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi , kecelakaan dicerai suami , putus sekolah ,PHK,
perasaan malu karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan , tituduh kkn, dipenjara tiba – tiba)
perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang
berlangsung lama.

4. Aspek fisik / biologis


Hasil pengukuran tada vital (TD,Nadi, suhu,Pernapasan,TB,BB) dan keluhan fisik yang dialami
oleh klien.
5. Aspek Psikososial
Genogram yang menggambarkan tiga generasi
Konsep diri
a) Citra tubuh :
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak menerima perubahan
tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh , persepsi
negatip tentang tubuh . Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang , mengungkapkan keputus
asaan, mengungkapkan ketakutan.
b) Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri , sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil
keputusan .
c) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit , proses menua , putus sekolah,
PHK.
d) Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya : mengungkapkan
keinginan yang terlalu tinggi.
e) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri , gangguan hubungan
sosial , merendahkan martabat , mencederai diri, dan kurang percaya diri. Klien mempunyai
gangguan/hambatan dalam melakukan hubunga social dengan orang lain terdekat dalam
kehidupan, kelempok yang diikuti dalam masyarakat. Keyakinan klien terhadap

Tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual)

6. Status Mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata , kurang dapat memulai
pembicaraan , klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan dengan orang lain , Adanya
perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.

7. Kebutuhan persiapan pulang.


a) Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
b) Klien mampuBAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan
WC, membersikan dan merapikan pakaian.
c) Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
d) Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan diluar rumah
e) Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.

8. Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada orang orang
lain( lebih sering menggunakan koping menarik diri).

9. Aspek Medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT, Psikomotor, therapy
okopasional, TAK , dan rehabilitas.

10. Mekanisme Koping


Biasanya data yang didapat melalui wawancara pada pasien/keluarga, bagaimana cara pasien
mengendalikan diri ketika menghadapi masalah koping adaptif dan maladaptif.

11. Masalah Psikososial dan Lingkungan


Biasanya pasien dengan Isolasi Sosial memiliki masalah dengan psikososial dan lingkungannya,
seperti pasien yang tidak dapat berinteraksi dengan keluarga atau masyarakat karena merasa takut,
tidak berguna dll.
12. Daftar Diagnosa Keperawatan
a) Isolasi Sosial
b) Harga diri rendah
c) Halusinasi

C. Pohon masalah

Resiko gangguan Persepsi Sensori :

Halusinasi

Isolasi sosial : Menarik diri Core Problem

Harga Diri Rendah


C. Rencana Tindakan Asuhan Keperawatan

Menurut Pusdiklatnakes (2012) tindakan keperawatan isolasi sosial pada klien dan keluarga yaitu :
a. Isolasi sosial
1) Tindakan Keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP) pada pasien
a) Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada pasien :
Pengkajian Isolasi sosial, dan melatih bercakap-cakap antara pasien dan keluarga.
(1) Membina hubungan saling percaya
(2) Membantu pasien menyadari masalah isolasi sosial
(3) Melatih bercakap-cakap secara bertahap antara pasien dan anggota keluarga
b) Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 2 orang lain), latihan bercakap-
cakap saat melakukan 2 kegiatan harian.
(1) Mengevaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
(2) Memvalidasi kemampuan berkenalan (berapa orang)
(3) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (latih 2 kegiatan)
(4) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihanberkenalan 2-3 orang
c) Strategi pelaksanaan pertemuan 3 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 4-5 orang), latihan bercakap-
cakap saat melakukan 2 kegiatan harian baru.
(1) Evaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
(2) Validasi kemampuan berkenalan (berapa orang) dan bicara saat melakukan dua
kegiatan harian
(3) Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
(4) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian
(latih 2 kegiatan baru)
(5) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan 4-5 orang
d) Strategi pelaksanaan pertemuan 4 pada pasien :
Mengevaluasi kemampuan berinteraksi, melatih cara bicara saat melakukan kegiatan sosial
(1) Evaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
(2) Validasi kemampuan berkenalan (berapa orang) dan bicara saat melakukan empat
kegiatan harian
(3) Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
(4) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatansocial
2) Tindakan Keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP) pada keluarga
a) Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada keluarga :
Mengenal masalah dalam merawat pasien isolasi sosial, berkenalan dan berkomunikasi saat
melakukan kegiatan harian.
(1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.
(2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial,
yangdialami klien beserta proses terjadinya.
(3) Memberi kesempatan keluarga untuk memutuskan perawatan pasien
(4) Menjelaskan cara merawat isolasi sosial dan melatih dua cara merawat : berkenalan
dan melakukan kegiatan harian

b) Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada keluarga :


Latihan merawat : melibatkan pasien dalam kegiatan rumah tangga sekaligus melatih bicara
pada kegiatan tersebut

(1) Evaluasi kemampuan keluarga mengenal gejala isolasi sosial


(2) Validasi kemampuan keluarga melatih pasien berkenalan dan berbicara saat
melakukan kegiatan harian
(3) Beri pujian pada keluarga
(4) Menjelaskan kegiatan rumah tangga yang dapat melibatkan pasien berbicara (makan,
sholat bersama)
(5) Latih cara berbimbing pasien berbicara dan memberi pujian
(6) Anjurkan keluarga membantu pasien melakukan kegiatan bercakap-cakap sesuai
jadwal

c) Strategi pelaksanaan 3 untuk keluarga :


Melatih cara merawat dengan melatih berkomunikasi saat melakukan kegiatan sosial
(1) Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala isolasi sosial
(2) Validasi kemampuan keluarga dalam merawat atau melatih berkenalan
(3) Berbicara saat melakukan kegiatan harian dan rumah tangga
(4) Menjelaskan cara melatih pasien bercakap-cakap dalam melakukan kegiatan sosial
berbelanja, dan melatih keluarga mendampingi pasien berbelanja
(5) Menganjurkan keluarga membantu melakukan kegiatan sosial sesuai jadwal dan
berikan pujian
d) Strategi pelaksanaan 4 untuk keluarga :
Melatih keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk follow up pasien isolasi sosial
(1) Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala isolasi
sosial
(2) Validasi kemampuan keluarga dalam merawat/melatih pasien
(3) Berikan pujian atas upaya yang telah dilakukan keluarga
(4) Jelaskan follow up ke pelayanan kesehatan masyarakat, tanda kambuh, dan rujuk
pasien segera

(5) Anjurkan keluarga membantu pasien melakukan kegiatan sesuai jadwal dan berikan
pujian

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahapan ketika perawat mengaplikasikan ke dalam bentuk intervensi
keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah di tetapkan. Implementasi tindakan
keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan
yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat, apakah rencana tindakan
masih sesuai dan dibutuhkan oleh klien saat ini (Keliat dkk, 2005).
E. Evaluasi
Menurut Rusdi (2013), dokumentasi asuhan keperawatan dilakukan pada setiap tahap proses
keperawatan yang meliputi dokumentasi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,
implementasi tindakan keperawatan dan evaluasi.

Anda mungkin juga menyukai