Anda di halaman 1dari 57

 

 
BAB II
 
TINJAUAN PUSTAKA
 

2.1  Aparat Pengawasan Internal Pemerintah


2.1.1
  Pengertian Aparat Pengawasan Internal Pemerintah
Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) adalah instansi
 
pemerintah yang dibentuk dengan tugas melaksanakan pengawasan internal/audit
 
internal di lingkungan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. Pada Pasal 1
Ayat
  (3) Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
PER/220/M.PAN/7/2008
  Tentang Jabatan Fungsional Auditor Dan Angka
Kreditnya dijelaskan bahwa APIP adalah instansi pemerintah yang dibentuk
 
dengan tugas melaksanakan pengawasan internal di lingkungan pemerintah pusat
dan/atau pemerintah daerah, yang terdiri dari Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Departemen, Inspektorat/unit
pengawasan internal pada Kementerian Negara, Inspektorat Utama/Inspektorat
Lembaga Pemerintah Non Departemen, Inspektorat/ unit pengawasan internal
pada Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara dan Lembaga Negara, Inspektorat
Provinsi/Kabupaten/Kota, dan unit pengawasan internal pada Badan Hukum
Pemerintah lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008, Aparat
Pengawasan Internal Pemerintah terdiri dari :
1. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
BPKP adalah Aparat Pengawasan Internal Pemerintah yang bertanggung
jawab langsung kepada Presiden. BPKP melakukan pengawasan internal terhadap
akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu, meliputi :
a. Kegiatan yang bersifat lintas sektoral;
b. Kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; dan
c. Kegiatan lain berdasarkan penugasan dari presiden.
2. Inspektorat Jenderal Kementerian, Inspektorat/Unit Pengawasan Internal pada
Kementerian Negara, Inspektorat Utama/Inspektorat Lembaga Pemerintah

  II-1
  II-2

 
Non Kementerian, Inspektorat/Unit Pengawasan Internal pada Kesekretariatan
 
Lembaga Tinggi Negara dan Lembaga Negara
  Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan
pengawasan
  internal adalah Aparat Pengawasan Internal Pemerintah yang
bertanggung
  jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga. Inspektorat
Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan
 
internal melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka
 
penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai
dengan
  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
3.  Inspektorat Provinsi
Inspektorat Provinsi adalah Aparat Pengawasan Internal Pemerintah yang
 
bertanggung jawab langsung kepada Gubernur. Inspektorat Provinsi melakukan
pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan
fungsi satuan kerja perangkat daerah provinsi yang didanai dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
4. Inspektorat Kabupaten/Kota
Inspektorat Kabupaten/Kota adalah aparat pengawasan internal pemerintah
yang bertanggung jawab langsung kepada bupati/walikota. Inspektorat
Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka
penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota
yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.
5. Unit Pengawasan Internal pada Badan Hukum Pemerintah Lainnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

2.1.2 Peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah


Peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) secara rinci dan
lengkap dimuat dalam Peraturan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) No. PER.1326/K/LB/2009 tentang Pedoman Teknis
Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah dengan sub unsur
Perwujudan Peran Aparat Pengawasan Internal yang Efektif (Unsur Lingkungan
Pengendalian).

 
  II-3

 
2.1.2.1 Gambaran Umum Peran APIP
 
Peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dalam instansi pemerintah
  adalah melaksanakan fungsi sebagai auditor internal. Definisi auditor internal
  dikembangkan oleh organisasi Internal Auditor International (IIA) adalah
yang
sebagai
  berikut: “Internal auditing is an independent, objectives assurance and
consulting activity designed to add value and improve an organization’s
 
operations. It helps an organization accomplish its objectives by bringing a
 
systematic, diciplined approach to evaluate and improve the effectiveness of risk
management,
  control and governance processes” (IIA, 1999 dalam Rahmat
(2010)).
 
Sesuai definisi tersebut, untuk mewujudkan peran yang efektif, APIP
 
dituntut melakukan pendekatan dan praktik internal auditing yang modern,
berorientasi ke pencapaian tujuan organisasi, melalui kegiatan:
1. Pemberian kepastian, keyakinan, dan penjaminan yang memadai
(assurance) dengan melakukan kegiatan, antara lain audit, reviu, penilaian,
evaluasi, verifikasi, pengujian, dan pemantauan atau monitoring;
2. Konsultasi (consulting) untuk pemberian solusi atas berbagai
permasalahan dalam pencapaian tujuan organisasi, dengan melakukan
kegiatan, antara lain sosialisasi, bimbingan, pendampingan, pemberian
saran/petunjuk (advice)/konsultasi, melakukan pelatihan (training), dan
survei.
Tidak ada perbedaan yang mutlak antara pekerjaan assurance dan
konsultasi, namun keduanya berkaitan erat. Setidaknya pekerjaan assurance
digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan pekerjaan konsultasi sebagai bagian
yang direkomendasikan, sementara pekerjaan konsultasi memberikan kontribusi
atas meningkatnya kepastian-assurance. Organisasi Internal Auditor International
(IIA), menegaskan bahwa dalam melaksanakan penugasan konsultasi, auditor
harus mengupayakan perbaikan melalui pemberian masukan, saran, dan
rekomendasi yang berkualitas (spesifik, dapat diterapkan-applicable, dengan
manfaat yang lebih besar daripada biaya). Namun, hal tersebut tidak boleh
memengaruhi objektivitas dan pengambilan keputusan tetap merupakan fungsi
manajemen.

 
  II-4

 
IIA juga memberikan gambaran perbedaan antara assurance dan
 
consulting sebagai berikut:
  1. Jasa assurance merupakan penilaian yang objektif, untuk memberikan
  pendapat/simpulan yang independen, atas menajamen risiko,

  pengendalian, dan proses tata kelola. Sifat dan lingkup kegiatan assurance
ditentukan oleh internal auditor. Dalam penugasan, assurance umumnya
 
melibatkan tiga pihak, yaitu: seorang atau sekelompok orang yang terlibat
 
secara langsung/pelaku atas suatu proses/sistem/kejadian, seorang atau
  sekelompok internal auditor yang membuat penilaian, dan seorang atau

  sekelompok pengguna jasa penilaian auditor.


2. Jasa-jasa consulting lebih bersifat pemberian saran dan pada umumnya
 
dilakukan berdasarkan permintaan khusus klien. Sifat dan lingkup
penugasan konsultasi bergantung pada perjanjian yang ditugaskan oleh
klien, bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan perbaikan tata
kelola organisasi, manajemen risiko, dan proses pengendalian. Umumnya,
kegiatan consulting melibatkan dua pihak, yaitu internal auditor sebagai
pemberi saran dan klien sebagai penerima saran.
Perwujudan peran APIP yang efektif, merupakan bagian dari
penyelenggaraan SPIP yang dibangun oleh manajemen intansi pemerintah sebagai
unsur lingkungan pengendalian. Dari sudut pandang sistem pengendalian, APIP
membatu manajemen untuk melaksanakan pemantauan atas sistem pengendalian
internal melalui penilaian independen.
Dalam siklus pengendalian internal, manajemen melakukan pemantauan
atas berjalannya seluruh sistem pengendalian intenal, melalui pemantauan
berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit.
Evaluasi terpisah diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian
efektivitas sistem pengendalian internal. Kegiatan evaluasi terpisah tersebut dapat
dilakukan oleh APIP atau pihak eksternal pemerintah. APIP mempunyai fungsi
yang strategis dalam membantu manajemen instansi pemerintah melaksanakan
fungsi penilaian yang independen, melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan
pengawasan lain.

 
  II-5

 
Pada akhirnya, perwujudan peran APIP yang efektif merupakan kewajiban
 
dari pimpinan intansi pemerintah, sebagai bagian dari upaya menciptakan dan
  memelihara lingkungan pengendalian, agar menimbulkan perilaku positif dan
kondusif,
  untuk penerapan sistem pengendalian internal dalam lingkungan
kerjanya.
 
PP No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP, dalam upaya penguatan efektivitas
 
penyelenggaraan SPIP maka menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan
 
bupati/walikota bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan Sistem
Pengendalian
  Internal di lingkungan masing-masing. Untuk memperkuat dan
menunjang
  efektivitas Sistem Pengendalian Internal dilakukan pengawasan
internal atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah termasuk
 
akuntabilitas keuangan negara; dan pembinaan penyelenggaraan SPIP.
Pengawasan internal atas penyelenggaraan tugas dan fungsi intansi pemerintah
dilakukan oleh APIP melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan dan kegiatan
pengawasan lainnya yang diuraikan sebagai berikut:
1. Audit
Audit merupakan proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi bukti
yang dilakukan secara independen, objektif dan profesional berdasarkan
standar audit, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, efektivitas,
efisiensi, dan keandalan informasi pelaksanaan tugas dan fungsi instansi
pemerintah. Pelaksanaan audit terdiri atas audit kinerja dan audit dengan
tujuan tertentu. Audit kinerja merupakan audit atas pengelolaan keuangan
negara dan pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang terdiri atas
aspek kehematan, efisiensi, dan efektivitas sedangkan Audit dengan tujuan
tertentu mencakup audit yang tidak termasuk dalam audit kinerja. Pelaksanaan
audit internal di lingkungan Instansi Pemerintah dilakukan oleh pejabat yang
mempunyai tugas melaksanakan pengawasan dan yang telah memenuhi syarat
kompetensi keahlian sebagai auditor. Syarat kompetensi keahlian sebagai
auditor dipenuhi melalui keikutsertaan dan kelulusan program sertifikasi.
Kebijakan yang berkaitan dengan program sertifikasi ditetapkan oleh instansi
pembina jabatan fungsional sesuai peraturan perundang-undangan. Untuk
menjaga perilaku pejabat, disusun kode etik aparat pengawasan internal

 
  II-6

 
pemerintah. Pejabat wajib menaati kode etik yang disusun oleh organisasi
 
profesi auditor dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan pemerintah.
  Untuk menjaga mutu hasil audit yang dilaksanakan aparat pengawasan
 internal pemerintah, disusun standar audit. Setiap pejabat wajib melaksanakan

 audit sesuai dengan standar audit. Standar audit disusun oleh organisasi
profesi auditor dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh
 
pemerintah.
 
Setelah melaksanakan tugas pengawasan, aparat pengawasan internal
 pemerintah wajib membuat laporan hasil pengawasan dan menyampaikannya

 kepada pimpinan Instansi Pemerintah yang diawasi. Dalam hal BPKP


melaksanakan pengawasan atas kegiatan kebendaharaan umum negara,
 
laporan hasil pengawasan disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara dan kepada pimpinan Instansi Pemerintah yang
diawasi. Secara berkala, berdasarkan laporan hasil pengawasan, BPKP
menyusun dan menyampaikan ikhtisar laporan hasil pengawasan kepada
Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara. Secara berkala, berdasarkan laporan hasil pengawasan, Inspektorat
Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan
intern, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota menyusun dan
menyampaikan ikhtisar laporan hasil pengawasan kepada menteri/pimpinan
lembaga, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan dan
tanggung jawabnya dengan tembusan kepada Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara. Untuk menjaga mutu hasil audit aparat pengawasan internal
pemerintah, secara berkala dilaksanakan telaahan sejawat. Pedoman telaahan
sejawat disusun oleh organisasi profesi auditor. Aparat pengawasan internal
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya harus independen dan obyektif.
2. Reviu
Reviu merupakan penelaahan ulang bukti-bukti suatu kegiatan untuk
memastikan bahwa kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesusai dengan
ketentuan, standar, rencana, atau norma yang telah ditetapkan. Pada Pasal 57
PP No. 60 Tahun 2008 dijelaskan bahwa setiap APIP wajib melakukan reviu
atas laporan keuangan instansi pemerintahan yang diawasi, yaitu :

 
  II-7

 
a. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan
 
pengawasan internal melakukan reviu atas laporan keuangan kementerian
  negara/lembaga sebelum disampaikan menteri/pimpinan lembaga kepada
  Menteri Keuangan.

  b. Inspektorat Provinsi melakukan reviu atas laporan keuangan pemerintah


daerah provinsi sebelum disampaikan gubernur kepada Badan Pemeriksa
 
Keuangan.
 
c. Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan reviu atas laporan keuangan
  pemerintah daerah kabupaten/kota sebelum disampaikan bupati/walikota

  kepada Badan Pemeriksa Keuangan.


d. BPKP melakukan reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
 
sebelum disampaikan Menteri Keuangan kepada Presiden.
e. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menetapkan standar
reviu atas laporan keuangan untuk digunakan sebagai pedoman dalam
pelaksanaan reviu atas laporan keuangan oleh aparat pengawasan internal
pemerintah.
Dalam pelaksanaan reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008
Tentang Pedoman Pelaksanaan Reviu atas LKPD yang bertujuan untuk
memberikan keyakinan terbatas bahwa LKPD disusun berdasarkan Sistem
Pengendalian Internal yang memadai dan disajikan sesuai dengan Standar
Akuntansi Pemerintah (Pasal 4).
3. Evaluasi
Evaluasi merupakan rangkaian kegiatan membandingkan hasil atau
prestasi suatu kegiatan dengan standar, rencana, atau norma yang telah
ditetapkan, dan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
atau kegagalan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan.
4. Pemantauan
Pemantauan merupakan proses penilaian kemajuan suatu program atau
kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

 
  II-8

 
5. Kegiatan Pengawasan Lainnya
 
Kegiatan Pengawasan Lainnya merupakan kegiatan pengawasan, antara
  lain berupa sosialisasi mengenai pengawasan, pendidikan dan pelatihan,
 bimbingan dan konsultasi, pengelolaan hasil pengawasan, dan pemaparan

 hasil pengawasan.
Pada Peraturan Menteri Negara Perdayagunaan Aparatur Negara Nomor:
 
PER/220/M.PAN/7/2008 Tentang Jabatan Fungsional Auditor dan Angka
 
Kreditnya juga dijelaskan bahwa APIP melakukan pengawasan internal di
 lingkungan pemerintah. Pasa Pasal 6 dijelaskan bahwa pengawasan dalam

 konteks pengawasan internal adalah seluruh proses kegiatan audit, evaluasi,


reviu, pemantauan dan kegiatan pengawasan lain, seperti konsultansi
 
(consultancy), sosialisasi, asistensi, terhadap penyelenggaraan tugas dan
fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai
(assurance) bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang
telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam
mewujudkan tata kelola/ kepemerintahan yang baik (good governance).
Dalam malakukan pengawasan internal di instansi pemerintah, maka
dilakukan dengan 5 (lima) tahap yang diuraikan sebagai berikut:
a. Kegiatan Perencanaan Pengawasan, yaitu suatu proses membantu
pimpinan unit pengawasan dalam merancang, menetapkan tujuan dan
sasaran kinerja pengawasan, memutuskan bagaimana mencapainya dan
mengidentifikasi tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencapai
tujuan dan sasaran pengawasan yang telah ditetapkan tersebut.
b. Kegiatan Pengorganisasian Pengawasan, yaitu suatu proses membantu
pimpinan unit pengawasan dalam memilah, merinci, membagi pekerjaan-
pekerjaan pengawasan yang akan dilakukan, mengalokasikan sumber
daya dan mengkoordinasikan hasil kegiatan pengawasan ke pihak-pihak
yang berkepentingan untuk mencapai tujuan dan sasaran pengawasan
yang telah ditetapkan.
c. Kegiatan Pengendalian Pengawasan, yaitu suatu proses membantu
pimpinan unit pengawasan dalam melaksanakan kegiatan pemantauan
atas kinerja pengawasan, membandingkan realisasi kinerja dengan tujuan

 
  II-9

 
dan sasaran yang telah ditetapkan, dan mengambil tindakan-tindakan
 
perbaikan (corrective action) yang diperlukan ke arah pencapaian hasil
  pengawasan yang telah ditetapkan.
  d. Kegiatan Evaluasi Pengawasan, yaitu suatu proses membantu pimpinan

  unit pengawasan untuk membuat penilaian dan keputusan tentang nilai


suatu gagasan, metode atas kegiatan pengawasan dengan menggunakan
 
kriteria tertentu, seperti membuat kritik, membuat penilaian, memberikan
 
argumentasi, dan membuat penafsiran untuk tujuan perbaikan kegiatan
  pengawasan.

  e. Kegiatan Teknis Pengawasan, yaitu melaksanakan kegiatan audit,


evaluasi, reviu, pemantauan, dan pengawasan lain, mulai dari persiapan,
 
perencanaan, pelaksanaan sampai dengan penyusunan laporan.

2.1.2.2 Tujuan dan Manfaat Peran APIP


Tujuan peran APIP yang efektif adalah untuk membantu manajemen di
lingkungan instansi pemerintah mencapai tujuan organisasi secara taat, hemat,
efektif, dan efisien, dengan memberikan nilai tambah dan meningkatkan operasi
organisasi. APIP dengan suatu pendekatan keilmuan yang sistematis, melakukan
evaluasi, dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, serta
proses tata kelola di lingkungan instansi pemerintah.
Perwujudan peran APIP yang efektif tersebut, ditandai dengan
dilaksanakannya masukan, dan/atau saran, hasil pengawasan berkualitas (spesifik,
dapat diterapkan/applicable dengan manfaat yang lebih besar daripada biaya),
yang memberikan peningkatan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan
proses tata kelola, sehingga instansi pemerintah dapat mencapai tujuan organisasi
secara taat, hemat, efektif, dan efisien.
Tujuan perwujudan peran APIP yang efektif tersebut memiliki pengertian
yang sama dengan Internal Auditing, yaitu suatu kegiatan assurance dan
consulting (konsultasi), yang dilaksanakan secara independen dan objektif,
dirancang untuk menambah nilai dan meningkatkan operasi organisasi. Internal
Auditing membantu organisasi mencapai tujuannya, melalui suatu pendekatan

 
  II-10

 
keilmuan yang sistematis, untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas
 
menejemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola.
  Tujuan audit internal tersebut telah sesuai dengan maksud pasal 11
Peraturan
  Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa
perwujudan
  peran APIP yang efektif, sekurang-kurangnya:
1. Memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi,
 
serta efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaran tugas dan fungsi instansi
 
pemerintah;
2.  Memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko,

 dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah;


3. Memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan
 
fungsi instansi pemerintah.
Manfaat yang dapat diperoleh organisasi dengan menerapkan sub unsur
perwujudan peran aparat pengawasan internal pemerintah yang efektif adalah:
1. Dapat memberikan jaminan kualitas (quality assurance) atas akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara kepada pimpinan pemerintah pusat dan daerah.
Untuk itu, peran APIP diharapkan lebih dari sekedar watchdog menjadi jasa
pemberian keyakinan (assurancei) dan konsultasi (consulting) di bidang
manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola atau tugas dan fungsi
instansi pemerintah.
2. Berfungsi sebagai pendorong (trigger) bagi instansi pemerintah dalam
membangun dan mengimplementasikan SPIP secara efektif dan efisien.
3. Memberikan klarifikasi penyeimbang (check and balance) terhadap hasil
pemeriksaan BPK, selaku pemeriksa eksternal pemerintah. APIP diharapkan
dapat berperan sebagai pendamping (counterpart) sekaligus koordinator di
lingkungan instansi pemerintah terkait, dalam menindaklanjuti hasil
pemeriksaan BPK.

2.1.2.3 Peraturan Perundang-undangan Terkait Peran APIP


Beberapa peraturan perundang-undangan yang memengaruhi terwujudnya
peran APIP yang efektif, antara lain:

 
  II-11

 
1. Pasal 48 sampai dengan pasal 57 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
 
2008 tentang Sistem pengendalian Internal Pemerintah.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
  Daerah.

 3. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor


220/M.PAN/7/2008 tentang Jabatan Fungsional Auditor dan Angka
 
Kreditnya.
 
4. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
  05/M.PAN.03/2008 tahun 2008 tentang Standar Audit.

 5. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor


04/M.PAN.03/2008 tahun 2008 Kode Etik APIP.
 

2.1.2.4 Parameter Penerapan Peran APIP


Perwujudan peran APIP yang efektif, pada dasarnya ditandai dengan
adanya pelaksanaan masukan dan/atau saran hasil pengawasan berkualitas
(spesifik, dapat diterapkan/applicable, dengan manfaat yang lebih besar daripada
biaya), yang memberikan peningkatan efektivitas manajemen risiko,
pengendalian, dan proses tata kelola, sehingga instansi pemerintah dapat
mencapai tujuan organisasi secara efektif, efisien, taat dan hemat.
Untuk mewujudkan peran APIP yang efektif, selain mempertimbangkan
daftar uji, pimpinan instansi pemerintah (pusat/daerah atau pimpinan APIP) perlu
mempertimbangkan praktik pengawasan internal yang baik dan berlaku umum,
serta penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, yang
menyatakan bahwa lingkup pengaturan pengawasan internal mencakup
kelembagaan, lingkup tugas, kompetensi sumber daya manusia, kode etik, standar
audit, pelaporan, serta telaahan sejawat, guna memelihara dan meningkatkan
profesionalisme praktik pengawasan internal.
Mengacu pada pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, dan
daftar ujinya, beberapa parameter yang dapat dipergunakan dalam menilai
keberhasilan penerapan perwujudan peran APIP yang efektif antara lain:
1. Di dalam instansi pemerintah, terdapat mekanisme untuk memberikan
kayakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas

 
  II-12

 
pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi Pemerintah. Hal-
 
hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
  a. APIP yang independen, melakukan pengawasan atas kegiatan instansi
  pemerintah.

  b. APIP membuat laporan hasil pengawasan, setelah melaksanakan tugas


pengawasan.
 
c. Untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan APIP, secara berkala
 
dilaksanakan telaah sejawat.
2.  Di dalam instansi pemerintah terdapat mekanisme peringatan dini dan

 peningkatan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan


fungsi instansi pemerintah.
 
3. Di dalam instansi pemerintah, terdapat upaya memelihara dan meningkatkan
kualitas tata kelola penyelenggaraan (good governance) tugas dan fungsi
pemerintah.

2.1.3. Kapabilitas APIP


Untuk mengetahui dengan jelas pengertian kapabilitas, berikut ini akan
dikemukakan penegertian kapabilitas yang diambil dari beberapa sumber.
Pengertian kapabilitas menurut kamus bahasa Indonesia (2014) adalah :
“Kapabilitas, artinya juga sama dengan Kompetensi, yaitu Kemampuan.
Namun pemaknaan kapabilitas tidak sebatas memiliki keterampilan (skill)
saja namun lebih dari itu, yaitu lebih paham secara mendetail sehingga
benar benar menguasai kemampuannya dari titik kelemahan hingga cara
mengatasinya.”

Pengertian kapabilitas menurut Baker dan Sinkula (2005) adalah kapabilitas


adalah kumpulan keterampilan yang lebih spesifik, prosedur, dan proses yang
dapat memanfaatkan sumber daya ke keunggulan kompetitif. Berdasarkan
pengertian kapabilitas yang telah diungkapkan, maka dapat didefinisasikan
sebagai sebuah kemampuan yang memiliki lebih dari hanya keterampilan pada
suatu hal yang menjadi keunggulan bersaing dan menguasai kemampuan dari titik
kelemahan.

 
  II-13

 
2.1.3.1. Model Kapabilitas APIP
 
Suatu kerangka kerja untuk memperkuat atau meningkatkan
  pengawasan internal melalui langkah evolusi kecil. Langkah-langkah yang telah
disusun
  menjadi lima tingkat kemampuan progresif. Model ini menggambarkan

  - tahap kegiatan pengawasan internal yang dilaksanakan. APIP dapat


tahap
berkembang dalam menentukan, menerapkan, mengukur, mengendalikan, dan
 
meningkatkan proses pengawasan.
 
Tabel II.1 Matriks Model Kapabilitas APIP
Peran dan Akuntabilitas Budaya dan
  Pengelolaan Praktik Struktur Tata
Level Layanan dan Manajemen Hubungan
SDM Profesional Kelola
APIP Kinerja Organisasi
Level  5 – APIP diakui  Pimpinan  Praktik Laporan Hubungan Independensi,
Optimizing sebagai APIP Profesional efektivitas APIP berjalan kemampuan,
agen berperan dikembang kepada publik efektif dan dan
  perubahan aktif dalam kan secara terus- kewenangan
organisasi berkelanjut menerus penuh APIP
profesi an
 Proyeksi  APIP
tenaga/tim memiliki
kerja perencanaa
n strategis
Level 4 – Jaminan  APIP Strategi audit Penggabungan Pimpinan  Pengawasa
Managed menyeluruh berkontribu memanfaatkan ukuran kinerja APIP n
atas tata si terhadap manajemen kualitatif dan mampu independen
kelola, pengemban risiko kuantitatif memberikan terhadap
manajemen gan organiasi saran dan kegiatan
risiko, dan manajemen mempengar APIP
pengendalia  APIP uhi  Laporan
n organisasi mendukung manajemen pimpinan
organisasi APIP
profesi kepada
 Perencanaa pimpinan
n tertinggi
tenaga/tim organisasi
kerja
Level 3 –  Layanan  Membangu  Kualitas  Pengukuran  Koordina  Pengawasa
Integrated konsultasi n tim dan kerangka kinerja si dengan n
 Audit kompetensi kerja  Informasi pihak lain manajemen
kinerja/pr nya manajemen biaya yang terhadap
ogram  Pengawal  Perencanaa  Pelaporan memberik kegiatan
evaluasi yang n audit manajemen an saran APIP
berkualifika berbasis APIP dan  Mekanisme
si risiko penjamin pendanaan
profesional an
 Koordinasi  Kompone
tim n
manajeme
n tim
yang
integral
Sumber : Modul Seminar Inspektorat Provinsi Jawa Barat “Integritas – Profesionalisme - Sinergi -
Pelayanan - Kesempurnaan

 
  II-14

 
Tabel II.1 Matriks Model Kapabilitas APIP
  Peran dan Akuntabilitas Budaya dan
Pengelolaan Praktik Struktur Tata
Level Layanan dan Manajemen Hubungan
SDM Profesional Kelola
APIP Kinerja Organisasi
 
Level 2 – Audit  Pengemban  Kerangka  Anggaran Pengelolaan  Akses
Infrastructure ketaatan gan profesi kerja operasional organisasi penuh
  individu praktik kegiatan APIP terhadap
 Identifikasi profesional APIP informasi
  dan dan  Perencanaan organisasi,
rekrutmen prosesnya kegiatan aset dan
SDM yang  Perencanaa APIP SDM
  kompeten n  Hubungan
pengawasan pelaporan
  berdasarkan telah
prioritas terbangun
manajemen/
  pemangku
kepentingan
Level  1 – Ad Hoc dan tidak terstruktur, audit terbatas untuk ketaatan, output tergantung pada keahlian orang
Initial pada posisi tertentu tidak menerapkan praktif profesional secara spesifik selain yang ditetapkan
asosiasi profesional, pendanaan disetujui oleh manajemen sesuia yang diperlukan, tidak adanya
  infrastruktur, auditor diperlakukan sama seperti sebagian benar unit organisasi, tidak ada kapabilitas
yang dibangun, oleh karena itu tidak memiliki area proses kunci yang speksifik.
Sumber : Modul Seminar Inspektorat Provinsi Jawa Barat “Integritas – Profesionalisme - Sinergi -
Pelayanan - Kesempurnaan

2.2 Inspektorat Provinsi


2.2.1 Pengertian Inspektorat Provinsi
Peraturan Gubernur No. 4 Tahun 2016 tentang Kebijakan Pengawasan
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016-2017, menyatakan bahwa
Inspektorat Provinsi adalah Inspektorat Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya, dalam
Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 10 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Pengendalian Internal di Lingkungan Provinsi Jawa Barat menyatakan Inspektorat
Provinsi Jawa Barat adalah inspektorat daerah yang merupakan Aparat
Pengawasan Internal Pemerintah Provinsi yang berada di bawah dan
bertanggungjawab langsung kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008, menyatakan
Inspektorat Provinsi diartikan sebagai Aparat Pengawasan Internal Pemerintah
yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur. Inspektorat Provinsi
melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan
tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah provinsi yang didanai dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.

 
  II-15

 
2.2.2 Tugas dan Fungsi Inspektorat Provinsi Jawa Barat
 
Inspektorat Provinsi Jawa Barat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
  sebagai Aparat Pengawasan Internal Pemerintah diatur dalam Peraturan Gubernur
Jawa
  Barat No. 3 Tahun 2013 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Rincian Tugas Unit
dan  Tata Kerja Inspektorat Provinsi Jawa Barat. Adapun Tugas Pokok dan Fungsi
Inspekorat Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut:
 
1. Tugas Pokok Inspektorat Provinsi Jawa Barat
 
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintah di Daerah,
 pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota

 dan pelaksanaan urusan pemerintah di Kabupaten/Kota, berdasarkan asas


desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
 
2. Fungsi Inspektorat Provinsi Jawa Barat, yaitu:
a. Penyelenggaraan perencanaan program pengawasan;
b. Penyelenggaraan perumusan kebijakan dan fasilitas pengawasan;
c. Penyelenggaraan pemeriksaan, pengusutan, pengujian, monitoring,
evaluasi, review dan penilaian tugas pengawasan; dan
d. Penyelenggaraan tugas lain, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
BPKP (2009) menyatakan bahwa untuk mewujudkan peran Inspektorat
Provinsi sebagai APIP yang efektif, dituntut melakukan pendekatan dan praktik
internal auditing yang modern, berorientasi ke pencapaian tujuan organisasi,
melalui kegiatan:
1. Pemberian kepastian, keyakinan, dan penjaminan yang memadai (assurance)
dengan melakukan kegiatan, antara lain audit, reviu, penilaian, evaluasi,
verifikasi, pengujian, dan pemantauan atau monitoring;
2. Konsultasi (consulting) untuk pemberian solusi atas berbagai permasalahan
dalam pencapaian tujuan organisasi, dengan melakukan kegiatan, antara lain
sosialisasi, bimbingan, pendampingan, pemberian saran/petunjuk
(advice)/konsultasi, melakukan pelatihan (training), dan survei.
Manfaat yang dapat diperoleh organisasi dengan menerapkan perwujudan
peran aparat pengawasan internal pemerintah yang efektif adalah:
1. Dapat memberikan jaminan kualitas (quality assurance) atas akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara kepada pimpinan pemerintah pusat dan daerah.

 
  II-16

 
Untuk itu, peran APIP diharapkan lebih dari sekedar watchdog menjadi jasa
 
pemberian keyakinan (assurance) dan konsultasi (consulting) di bidang
  manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola atau tugas dan fungsi
 instansi pemerintah.
2.  Berfungsi sebagai pendorong (trigger) bagi instansi pemerintah dalam
membangun dan mengimplementasikan SPIP secara efektif dan efisien.
 
3. Memberikan klarifikasi penyeimbang (check and balance) terhadap hasil
 
pemeriksaan BPK, selalu pemeriksa ekstern pemerintah. APIP diharapkan
 dapat berperan sebagai pendamping (counterpart) sekaligus koordinator di

 lingkungan instansi pemerintah terkait, dalam menindaklanjuti hasil


pemeriksaan BPK.
 
Pada Pergub No. 4 Tahun 2016 dijelaskan bahwa ruang lingkup wilayah
pengawasan Inspektorat Provinsi meliputi Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dalam penelitian ini, peneliti akan fokus
pada ruang lingkup pengawasan di Pemerintah Daerah Provinsi.
1. Pembinaan dan Pengawasan yang dilaksanakan terhadap Pemerintah Daerah
Provinsi, terdiri atas:
a. Reviu atas Rencana Kerja dan Anggaran Perangkat Daerah dan Rencana
Kerja dan Anggaran PPKD.
b. Pemeriksaan reguler dilakukan secara berkelanjutan, meliputi:
1) pelaksanaan urusan pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh
Perangkat Daerah sesuai kewenangan atau tugas pokok dan fungsi;
2) pengelolaan Pegawai Daerah.
3) pengelolaan Keuangan Daerah;
4) pengelolaan Barang Daerah; dan
5) pelayanan publik.
c. Pelaksanaan reviu Laporan Kinerja Pemerintah Daerah Provinsi.
d. Evaluasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Perangkat Daerah,
meliputi aspek perencanaan, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja,
evaluasi kinerja, dan capaian kinerja.
e. Reviu atas Laporan Keuangan Daerah Provinsi berbasis akrual, meliputi
laporan realisasi anggaran, laporan perubahan saldo anggaran lebih,

 
  II-17

 
laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, neraca, laporan arus kas,
 
dan catatan atas laporan keuangan.
  f. Pemeriksaan atas pengaduan masyarakat atau audit investigatif.
  g. Pelaksanaan pemeriksaan bersama terkait penyelenggaraan dekonsentrasi

  dan tugas pembantuan dari Kementerian serta Lembaga Pemerintah Non


Kementerian yang ditugaskan atau dilimpahkan kepada Daerah Provinsi.
 
h. Pelaksanaan evaluasi dan monitoring Rencana Aksi Daerah Pencegahan
 
dan Pemberantasan Korupsi;
  i. Monitoring implementasi penguatan Sistem Pengendalian Internal

  Pemerintah;
j. Penilaian mandiri pelaksanaan reformasi birokrasi;
 
k. Pengawasan lainnya (audit on call), meliputi pengawalan, pendampingan,
asistensi, dan fasilitasi program dan kegiatan melalui peran Unit Layanan
Konsultasi, dan
l. Pemantauan pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan aparat pengawas
internal pemerintah dan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.
2. Pelaksanaan
Inspektorat Provinsi melaksanakan pengawasan melalui kegiatan audit
pemeriksaan, reviu, evaluasi, monitoring, dan pendampingan. Pelaksanaan
pengawasan dilakukan oleh Tim, dengan berpedoman pada standar audit, dan
berperilaku sesuai norma dan kode etik. Tim terdiri atas Auditor dan P2UPD.
Dalam pelaksanaan pengawasan, Tim wajib mengkomunikasikan pelaksanaan
pengawasan kepada Inspektur dan menyampaikan hasil pelaksanaan
pengawasan kepada Inspektur, Perangkat Daerah, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota yang diperiksa.
3. Pelaporan
Hasil pengawasan dilaporkan Inspektur kepada Gubernur, untuk
disampaikan lebih lanjut kepada Pemerintah Pusat, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4. Pengendalian
Kepala Perangkat Daerah wajib menindaklanjuti hasil pengawasan. Tindak
lanjut dilaksanakan paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender setelah

 
  II-18

 
tanggal diterimanya laporan hasil pengawasan. Jika terjadi kesalahan yang
 
menimbulkan kerugian keuangan negara, dilakukan pengembalian kerugian
  keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
 diputuskan dan diterbitkannya laporan hasil pengawasan. Dalam hal Perangkat

 Daerah tidak dapat menyelesaikan tindak lanjut hasil pengawasan terkait


keuangan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kalender, Inspektur
 
menyampaikan status tindak lanjut kepada Majelis Tuntutan Perbendaharaan
 
dan Tuntutan Ganti Rugi.
5.  Koordinasi

  Inspektorat Provinsi melaksanakan koordinasi pengawasan di Daerah


Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dalam suatu sistem pengawasan yang
 
terpadu, terkoordinasi, dan terintegrasi. Inspektorat Provinsi dalam
melaksanakan pengawasan wajib berkoordinasi dengan Perangkat Daerah dan
Inspektorat Kabupaten/Kota terkait rencana pelaksanaan pengawasan.
Pada Peraturan Gubernur No. 10 Tahun 2011 dijelaskan bahwa untuk
mencapai pengelolaan keuangan daerah yang efektif, efisien, transparan, dan
akuntabel, Gubernur melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan
Pemerintah Daerah yang dilaksanakan dengan berpedoman pada Sistem
Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP dan peraturan pelaksanaanya. SPIP
bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainnya
efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah,
keandalan palaporan keuangan, pengamanan aset daerah, dan ketaatan terhadap
ketentuan perundang-undangan.
Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah Daerah
(SPIPD) wajib dilakukan di Organisasi Perangkat Daerah di lingkungan
Pemerintah Daerah yang meliputi unsur lingkungan pengendalian, penilaian
risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan
pengendalian internal. Penerapan unsur SPIPD merupakan bagian intergral dari
kegiatan Organisasi Perangkat Daerah. Dalam penyelenggaraan SPIPD, kepala
OPD bertanggungjawab atas efektivitas penyelenggaraan SPIP di lingkungan
OPD masing-masing, untuk menunjang pencapaian efektivitas penyelenggaraan

 
  II-19

 
SPIPD. Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas penyelenggaraan SPIPD
 
dilakukan pengawasan internal atas penyelenggaraan tugas dan fungsi OPD,
  termasuk akuntabilitas keuangan daerah. Pengawasan internal dilakukan oleh
Inspektorat
  Provinsi Jawa Barat sebagai Aparat Pengawasan Internal Pemerintah.
Inspektorat
  Provinsi Jawa Barat melakukan pengawasan melalui pelaksanaan
kegiatan Audit, Reviu, Evaluasi, Pemantauam, dan Kegiatan Pengawasan
 
Lainnya.
 
Dalam upaya meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah daerah,
selain
  melakukan pengawasan internal terhadap penyelenggaraan SPIPD di
lingkungan
  pemerintah daerah, Inspektorat Provinsi sebagai Aparat Pengawasan
Internal Pemerintah juga wajib melakukan reviu atas Laporan Keuangan
 
Pemerintah Daerah (LKPD) sebelum disampaikan Gubernur kepada Badan
Pemeriksa Keuangan (Pasal 57 PP No 60 Tahun 2008). Ketentuan ini juga diatur
dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan
Keuangan dan Kinerja Instansi juga ditegaskan bahwa Aparat Pengawasan
Internal Pemerintah pada pemerintah daerah, dalam hal ini Inspektorat Provinsi
wajib melakukan reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan
Kinerja dalam rangka meyakinkan keandalan informasi yang disajikan sebelum
disampaikan oleh gubernur/bupati/walikota kepada BPK.
Pelaksanaan reviu atas LKPD tersebut diatur dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksaan Reviu atas LKPD.
Dimana, sebelum merencanakan program kerja reviu dilakukan maka APIP
melakukan penilaian atas SPI. Reviu atas LKPD merupakan prosedur penelusuran
angka-angka, permintaan keterangan dan analitis yang harus menjadi dasar
memadai bagi Inspektorat Provinsi untuk memberikan keyakinan terbatas atas
laporan keuangan bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas
laporan keuangan agar laporan keuangan disajikan berdasarkan Sistem
Pengendalian Internal (SPI) yang memadai dan sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintah (SAP). Jika dalam pelaksanaan reviu LKPD ditemukan hal-hal yang
yang tidak sesuai, maka Inspektorat Provinsi memberikan saran perbaikan untuk
segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah sebelum LKPD diserahkan ke
BPK.

 
  II-20

 
2.3 Sistem Pengendalian Internal
 
Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas
  pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah mengatur dan menyelenggarakan
sistem
  pengendalian internal di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.

 
2.3.1 Sistem
 
Menurut Supriatna (2007: 2) sistem adalah seperangkat kumpulan elemen
 
yang saling berhubungan membentuk suatu kesatuan yang terpadu, bekerja
bersama-sama
  untuk mencapai suatu tujuan.

  Sistem menurut Susanto (2013: 22) adalah kumpulan/group dari sub-


sistem/bagian/komponen apapun baik fisik ataupun non fisik yang saling
 
berhubungan satu sama lain dan berkerja bersama-sama secara harmonis untuk
mencapai suatu tujuan tertentu.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa sistem adalah
sekumpulan dari elemen-elemen atau subbagian yang saling berhubungan dan
berkerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.

2.3.2 Pengendalian Internal


Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah pasal 313 ayat 2 menjelaskan bahwa pengendalian internal
merupakan proses yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai
mengenai pencapaian tujuan pemerintah daerah yang tercermin dari keandalan
laporan keuangan, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan
serta dipatuhinya perundang-undangan.
Pengendalian internal adalah penggunaan semua sumber daya perusahaan
untuk meningkatkan, mengarahkan, mengendalikan, dan mengawasi berbagai
kegiatan untuk memastikan tercapainya tujuan perusahaan (Mayangsari dan
Wandanarum, 2013: 59).
Purwono (2004: 121) mendefinisikan pengendalian internal sebagai
seluruh rencana organisasi dan semua metode serta kebijakan yang terkoordinasi
di dalam sebuah perusahaan yang bertujuan untuk mengamankan hartanya, serta
menguji ketepatan dan sejauh mana data akuntansi dapat dipercaya.

 
  II-21

 
Gelinas dalam Supriatna (2007: 109) pengendalian internal adalah sebuah
 
sistem dari elemen-elemen yang terpadu (terdiri dari : manusia, struktur
  organisasi, kebijakan, proses dan prosedur) yang bekerja bersama-sama untuk
memberikan
  jaminan yang layak bahwa sistem organisasi mencapai tujuan sistem
operasi
  dan tujuan sistem informasi.
Selanjutnya, pengertian tersebut di atas dilengkapi oleh definisi dari
 
COSO (1992) dalam Supriatna (2007: 109) yang kemudian menjadi konsep
 
pengendalian internal yang diterima di Indonesia. Menurut Commite of
Sponsoring
  Organizations of the Treadway Commissions (COSO) mendefinisikan
pengendalian
  internal sebagai berikut:
“Pengendalian internal adalah suatu proses, yang dipengaruhi oleh dewan
  direksi perusahaan, manajemen dan pegawai lain, dirancang untuk
memberikan jaminan yang layak berkenaan dengan pencapaian tujuan-
tujuan dalam kategori berikut:
1. Efektivitas dan efisiensi operasi;
2. Dapat dipercayanya pelaporan keuangan;
3. Kepatuhan terhadap peraturan dan hukum yang berlaku.”

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa


pengendalian internal adalah suatu sistem dari elemen-elemen terpadu yang saling
bekerja sama untuk memberikan jaminan yang memadai atas terlaksanannya
kegiatan organisasi yang efektif dan efisien, keamanan harta, pelaporan keuangan
yang andal dan kepatuhan terhadap peraturan pada suatu organisasi dalam
mencapai tujuannya.

2.3.3 Sistem Pengendalian Internal Pemerintah


Gubernur selaku kepada Pemerintah Daerah harus melakukan
pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahannya. Tujuannya adalah
untuk mencapai pengelolaan keuangan daerah yang efektif, efisien, transaparan
dan akuntabel. Pengendalian ini dilaksanakan dengan berpedoman pada Sistem
Pengendalian Internal Pemerintah. Menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun
2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah Pasal 1 ayat (1) butir 1
menyatakan bahwa Sistem Pengendalian Internal (SPI) adalah proses yang
integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh
pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas

 
  II-22

 
tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan
 
pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan
  perundang-undangan. Selanjutnya, pada Pasal 2 ayat (1) butir 2 menyatakan
bahwa
  Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) adalah sistem
pengendalian
  internal yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
 
Hartadi (1999: 3) membagi dua pengertian sistem pengendalian internal,
 
yaitu pengertian dalam arti sempit dan dalam arti luas. Sistem pengendalian
internal
  dalam arti sempit sama dengan internal check yang merupakan prosedur-
prosedur
  untuk memeriksa ketelitian data-data administrasi seperti mencocokkan
penjumlahan mendatar (horizontal) dengan penjumlahan melurus (vertikal).
 
Sedangkan sistem pengendalian internal dalam arti luas ialah suatu sistem sosial
dalam perusahaan yang terdiri dari kebijakan, teknik, prosedur, alat-alat fisik,
dokumentasi, dan orang-orang yang diarahkan untuk melindungi harta, menjamin
ketelitian dan dapat dipercayainya data akuntansi, operasi yang efisien, serta
menjamin ditaatinya kebijakan perusahaan.
Arens dkk. (2013: 346) menyatakan bahwa sistem pengendalian internal
terdiri dari kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk menjamin pihak
manajemen bahwa tujuan perusahaan telah tercapai. Sedangkan Armstrong (2004:
34) mengartikan SPIP sebagai upaya yang dilakukan secara terus-menerus untuk
mengendalikan seluruh unsur organisasi pemerintah daerah untuk mencapai
tujuan organisasi.
Pelaksanaan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah di Pemerintahan
Daerah diatur dengan berpedoman pada PP No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP.
Sistem Pengendalian Internal Pemerintah Daerah (SPIPD) Provinsi Jawa Barat
diatur dalam Peraturan Gubernur No. 10 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Sistem Pengendalian Internal di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
SPIPD didefinisikan sebagai sistem pengendalian pemerintah yang
diselenggarakan secara menyeluruh terhadap proses perancangan dan
pelakasanaan kebijakan serta perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan
anggaran di lingkungan pemerintah daerah.

 
  II-23

 
Dari pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sistem
 
pengendalian internal merupakan seluruh kegiatan dan prosedur yang berdasarkan
  kebijakan dan dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa
tujuan
  organisasi telah tercapai melalui kegiatan yang efektif, efisien, keandalan
pelaporan
  keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan.
 

 
2.3.4 Tujuan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah
  Sistem pengendalian internal bertujuan untuk memberikan keyakinan yang
memadai
  bahwa tujuan organisasi telah tercapai. Menurut Mahmudi (2010: 20)
menyatakan bahwa secara umum tujuan dibangunnya sistem pengendalian
 
internal adalah sebagai berikut :
1. Untuk melindungi aset (termasuk data) negara
2. Untuk memelihara catatan secara rinci dan akurat
3. Untuk menghasilkan informasi keuangan yang akurat, relevan, dan andal
4. Untuk menjamin bahwa laporan keuangan disusun sesuai dengan standar
akuntansi yang berlaku (Standar Akuntansi Pemerintah/SAP)
5. Untuk efisiensi dan efektivitas operasi
6. Untuk menjamin ditaatinya kebijakan manajemen dan peraturan
perundangan yang berlaku.

Sedangkan menurut Hery (2013: 172), tujuan pengendalian internal adalah


untuk memberi jaminan yang memadai bahwa:
1. Aktiva yang dimiliki perusahaan telah diamankan sebagaimana mestinya
dan hanya digunakan untuk kepentingan perusahaan semata, bukan untuk
kepentingan individu tertentu;
2. Informasi akuntansi persediaan tersedua secara akurat dan dapat
diandalkan;
3. Karyawan telah menaati hukum dan peraturan.

COSO (1992) yang dikutip dalam Supriatna (2007: 109) menyebutkan


bahwa tujuan sistem pengendalian internal adalah untuk menjamin efektivitas dan
efisiensi operasi (effectiveness and efficiency of operations), menjamin dapat
dipercayanya laporan keuangan (reliability of financial reporting), dan menjamin
kepatuhan terhadap peraturan dan hukum yang berlaku (compliance with
applicable laws and regulations).

 
  II-24

 
Tujuan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah yang menjadi pedoman
 
pemerintah dalam melaksanakan pengendalian internal dalam penyelenggaraan
  kegiatan pemerintah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
2008
  tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah. Pada Pasal 2 ayat (3)
Peraturan
  Pemerintah ini dijelaskan bahwa sistem pengendalian internal
pemerintah bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi
 
tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan
 
pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara
dan  ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Hal ini juga sesuai dengan
tujuan
  Sistem Pengendalian Internal Pemerintah Daerah (SPIPD) di Provinsi Jawa
Barat yang diatur dalam Pasa 2 ayat 3 Peraturan Gubernur No. 10 Tahun 2011
 
tentang Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Internal di Lingkungan Pemerintah
Provinsi Jawa Barat, yang menjadi pedoman bagi seluruh Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) di Provinsi Jawa Barat dalam melaksanakan sistem pengendalian
internal di masing-masing perangkatnya dalam mencapai tujuan SPIPD yang
diselenggarakan.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan
pengendalian internal adalah untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa
tujuan organisasi/pemerintahan telah tercapai melalui kegiatan yang efektif dan
efisien, laporan keuangan yang andal, pengamanan aset organisasi, dan ketaatan
terhadap perundang-undangan.

2.3.5 Manfaat Pengendalian Internal


Sistem pengendalian internal dapat melindungi organisasi dari berbagai
risiko kesalahan maupun penyimpangan yang dilakukan oleh sumber daya
manusia. Berikut ini merupakan manfaat pengendalian internal menurut Rahayu
dan Suhayati (2010: 223), yaitu:
1. Pemeriksaan dan penelaahan bawaan dalam sistem yang baik memberikan
perlindungan terhadap kelemahan manusia dan mengurangi kemungkinan
kekeliruan dan ketidakberesan yang terjadi;
2. Pengendalian internal yang baik akan mengurangi beban pelaksanaan audit
sehingga dapat mengurangi biaya audit;
3. Digunakan secara efektif untuk mencegah penggelapan maupun
penyimpangan dalam organisasi.

 
  II-25

 
2.3.6 Komponen Sistem Pengendalian Internal Pemerintah
 
Sistem Pengendalian Internal Pemerintah yang dimuat dalam Peraturan
  Pemerintah No. 60 Tahun 2008 mengacu pada unsur SPI yang telah dipratikkan di
lingkungan
  pemerintah di berbagai negara yang merujuk pada konsep
pengendalian
  internal yang dikemukakan oleh COSO (1992) dalam Susanto
(2013: 96) yang terdiri dari 5 (lima) komponen utama yaitu :
 
1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)
  Lingkungan pengendalian adalah bentukan suasana organisasi serta memberi
kesadaran tentang perlunya pengendalian bagi suatu organisasi. Beberapa
 faktor yang mempengaruhi lingkungan pengendalian antara lain integritas dan
nilai etika, komitmen terhadap kompetensi, partisipasi dewan direksi dan tim
 auditor, filosofi dan gaya manajemen, struktur organisasi, pemberian
wewenang dan tanggung jawab serta kebijakan mengenai sumber daya
  manusia dan penerapannya.
2. Penilaian Resiko (Risk Assessment)
Penilaian risiko merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manajemen dalam
mengidentifikasi dan menganalisis risiko yang menghambat perusahaan dalam
mencapai tujuannya. Risiko dapat berasal dari dalam atau luar perusahaan.
Risiko dari dalam perusahaan berkaitan dengan aktivitas tertentu di dalam
organisasi, sedangkan risiko dari luar perusahaan meliputi pesaing, kondisi
ekonomi, kemajuan teknologi, peraturan pemerintah dan bencana alam.
3. Aktivitas Pengendalian (Control Activities)
Pengendalian aktivitas adalah kebijakan dan prosedur yang dimiliki
manajemen untuk memberikan jaminan yang meyakinkan bahwa manajemen
telah dijalankan sebagaimana seharusnya. Pengendalian aktivitas ini harus
memberi jaminan bahwa aktivitas yang dilakukan saat ini adalah untuk
menghindari risiko yang dihadapi.
4. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)
Informasi diperlukan oleh semua tingkatan manajemen organisasi untuk
mengambil keputusan, laporan keuangan dan mengetahui kepatuhan terhadap
kebijakan yang telah ditentukan. Komunikasi harus dapat menyampaikan
pesan dengan jelas dari top manajemen bahwa karyawan harus melakukan
pengendalian internal dengan serius.
5. Pemantauan (Monitoring)
Monitoring merupakan proses penilaian terhadap kualitas kinerja sistem
pengendalian internal. Pengawasan ini membantu manajemen dalam
menentukan perbaikan sistem bagaimana yang diperlukan untuk menghadapi
perubahan keadaan.

Adapun komponen pengendalian internal menurut Rahayu dan Suhayati


(2010: 224) meliputi:
1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)
Lingkungan pengendalian berkenaan dengan tindakan-tindakan, kebijakan-
kebijakan, dan prosedur-prosedur yang merefleksikan keseluruhan sikap

 
  II-26

 
manajemen, dewan komisaris, pemilik, dan pihak lainnya terhadap pentingnya
 pengendalian internal bagi entitas. Faktor-faktor yang membentuk lingkungan
pengendalian antara lain:
  a. Integritas dan nilai etika;
b. Komitmen terhadap kompetensi;
 
c. Partisipasi dewan komisaris dan komite audit;
 
d. Falsafah manajemen dan gaya operasinya;
e. Struktur organisasi;
  f. Penetapan wewenang dan tanggung jawab;
g. Kebijakan dan praktik di bidang sumber daya manusia.
  2. Penentuan Risiko Manajemen (Risk Assessment Management)
Penentuan risiko untuk laporan keuangan mencakup identifikasi, analisis dan
 manajemen risiko yang berkaitan dengan penyiapan laporan keuangan yang
disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
3.  Aktivitas Pengendalian (Control Activities)
Aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang membantu
  menjamin bahwa arahan manajemen dilaksanakan. Aktivitas tersebut
membantu untuk menanggulangi risiko Aktivitas pengendalian meliputi:
pemisahan tugas, pengendalian pengolahan informasi, pengendalian fisik dan
review kinerja.
4. Informasi Dan Komunikasi (Information And Communication)
Untuk berfungsi secara efisien dan efektif, organisasi memerlukan informasi
relevan yang disediakan bagi orang dan pada saat yang tepat. Selain itu
informasi harus pula andal dalam akurasi dan kelengkapannya. Komunikasi
membantu memastikan bahwa penyimpangan dilaporkan dan ditindaklanjuti.
5. Pemantauan (Monitoring)
Pemantauan adalah proses penilaian kualitas kinerja pengendalian internal
sepanjang waktu untuk melihat apakah telah dilaksanakan dengan semestinya.

Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian


Internal Pemerintah pasal 3, pasal 4, pasal 13, pasal 18 dan pasal 41 menguraikan
komponen-komponen pengendalian internal pemerintah, antara lain:
1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)
Lingkungan pengendalian merupakan landasan bagi seluruh komponen
pengendalian internal. Proses pengendalian menyatu pada tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh
pegawai. Oleh karena itu, yang menjadi fondasi dari pengendalian adalah
orang-orang (SDM) di dalam organisasi yang membentuk lingkungan
pengendalian yang baik dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ingin dicapai
instansi pemerintah. Penyelenggaraan unsur lingkungan pengendalian
(delapan sub unsur) yang baik akan meningkatkan suasana lingkungan yang
nyaman yang akan menimbulkan kepedulian dan keikutsertaan seluruh

 
  II-27

 
pegawai. Untuk mewujudkan lingkungan pengendalian yang demikian
 
diperlukan komitmen bersama dalam melaksanakannya. Komitmen ini juga
  merupakan hal yang amat penting bagi terselenggaranya unsur-unsur SPIP
 lainnya.

  Dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 yang menjadi sub unsur pertama dari
lingkungan pengendalian adalah pembangunan integritas dan nilai etika
 
organisasi dengan maksud agar seluruh pegawai mengetahui aturan untuk
 
berintegritas yang baik dan melaksanakan kegiatannya dengan sepenuh hati
 dengan berlandaskan pada nilai etika yang berlaku untuk seluruh pegawai

 tanpa terkecuali. Integritas dan nilai etika tersebut perlu dibudayakan,


sehingga akan menjadi suatu kebutuhan bukan keterpaksaan. Oleh karena itu,
 
budaya kerja yang baik pada instansi pemerintah perlu dilaksanakan secara
terus menerus tanpa henti. Selanjutnya, dibuat pernyataan bersama untuk
melaksanakan integritas dan nilai etika tersebut dengan menuangkannya pada
suatu pernyataan komitmen untuk melaksanakan integritas. Pernyataan ini
berupa pakta (pernyataan tertulis) tentang integritas yang berisikan komitmen
untuk melaksanakannya. Selain itu, kompetensi yang merupakan kewajiban
pegawai di bidangnya masing-masing.
Komitmen yang dilaksanakan secara periodik tersebut perlu dipantau dan
dalam pelaksanaannya perlu diimbangi dengan adanya kepemimpinan yang
kondusif sebagai pemberi teladan untuk dituruti seluruh pegawai. Agar dapat
mendorong terwujudnya hal tersebut, maka diperlukan aturan kepemimpinan
yang baik. Aturan tersebut perlu disosialisasikan kepada seluruh pegawai
untuk diketahui bersama.
Demikian juga, struktur organisasi perlu dirancang sesuai dengan
kebutuhan dengan pemberian tugas dan tanggung jawab kepada pegawai
dengan tepat. Terhadap struktur yang telah ditetapkan, perlu dilakukan analisis
secara berkala tentang bentuk struktur yang tepat. Diperlukan pembinaan
sumber daya yang tepat sehingga tujuan organisasi tercapai. Disamping itu,
keberadaan aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) perlu ditetapkan
dan diberdayakan secara tepat agar dapat berperan secara efektif. Hal lainnya
yang perlu dibangun dalam penyelenggaraan lingkungan pengendalian yang

 
  II-28

 
baik adalah menciptakan hubungan kerja sama yang baik diantara instansi
 
pemerintah yang terkait.
  Untuk membangun kondisi yang nyaman sebagaimana disebutkan di atas,
 maka lingkungan pengendalian yang baik harus memiliki kepemimpinan yang

 kondusif. Kepemimpinan yang kondusif diartikan sebagai situasi dimana


pemimpin selalu mengambil keputusan dengan mendasarkan pada data hasil
 
penilaian risiko. Berdasarkan kepemimpinan yang kondusif inilah, maka
 
muncul kewajiban bagi pimpinan untuk menyelenggarakan penilaian risiko di
 instansinya.
2.  Penilaian Resiko (Risk Assessment)
Resiko adalah suatu konsep yang digunakan untuk mempersiapkan
 
ketidakpastian tentang kejadian dan atau dampaknya yang dapat memiliki efek
atas pencapaian tujuan organisasi. Penilaian resiko adalah suatu proses dalam
mengidentifikasi dan menganalisis resiko yang relevan terhadap pencapaian
tujuan organisasi dan menentukan respon yang sesuai dalam menghadapai
resiko tersebut.
Penilaian risiko dimulai dengan melihat kesesuaian antara tujuan kegiatan
yang dilaksanakan instansi pemerintah dengan tujuan sasarannya, serta
kesesuaian dengan tujuan strategik yang ditetapkan pemerintah. Setelah
penetapan tujuan, instansi pemerintah melakukan identifikasi risiko atas risiko
internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi keberhasilan pencapaian
tujuan tersebut, kemudian menganalisis risiko yang memiliki probability
kejadian dan dampak yang sangat tinggi sampai dengan risiko yang sangat
rendah.
3. Aktivitas Pengendalian (Control Activities)
Berdasarkan hasil penilaian risiko dilakukan respon atas risiko dan
membangun kegiatan pengendalian yang tepat. Dengan kata lain, kegiatan
pengendalian dibangun dengan maksud untuk merespon risiko yang dimiliki
instansi pemerintah dan memastikan bahwa respon tersebut efektif.
Kegiatan pengendalian ialah kebijakan dan prosedur yang membantu
memastikan bahwa arahan manajemen dilaksanakan. Aktivitas tersebut
membantu memastikan bahwa tindakan yang diperlukan untuk mengatasi

 
  II-29

 
resiko dalam mencapai tujuan entitas. Aktivitas pengendalian mempunyai
 
berbagai tujuan dan ditetapkan pada berbagai tingkat organisasi dan fungsi. PP
  No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP menyatakan bahwa kegiatan pengendalian
 diselenggarakan oleh Pimpinan Instansi Pemerintah sesuai dengan ukuran,

 kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi instansi Pemerintah yang
bersangkutan.
 
4. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)
 
Seluruh penyelenggaraan unsur SPIP tersebut haruslah dilaporkan dan
 dikomunikasikan. PP No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP menyatakan bahwa

 pimpinan instansi pemerintah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan


mengkomunikasikan informasi dalam berntuk dan waktu yang tepat.
 
Komunikasi atas informasi wajib diselenggarakan secara efektif. Untuk
menyelenggarakan komunikasi yang efektif, pimpinan Instansi Pemerintah
harus menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana
komunikasi dan mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem
informasi secara terus menerus.
Informasi dan komunikasi penting untuk merealisasikan semua tujuan
sistem pengendalian internal. Salah satu tujuan dari sistem pengendalian
internal misalnya memenuhi kewajiban akuntabilitas publik. Hal ini dapat
dicapai dengan mengembangkan dan memelihara informasi keuangan dan
non-keuangan yang dapat dipercaya dan relevan serta mengkomunikasikan
informasi ini dengan pengungkapan yang wajar dalam laporan yang tepat
waktu. Informasi dan komunikasi adalah komponen sistem pengendalian
internal yang menghubungkan keempat komponen lainnya sehingga kelima
komponen memiliki hubungan yang integral. Dalam hal ini pimpinan instansi
pemerintah harus mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan
informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat secara efektif.
5. Pemantauan (Monitoring)
Seluruh penyelenggaraan unsur SPIP tersebut haruslah dilakukan
pemantauan secara terus-menerus guna perbaikan yang berkesinambungan.
Pemantauan adalah pengawasan oleh manajemen dan pegawai lain yang
ditunjuk atas pelaksanaan tugas sebagai penilaian terhadap kualitas dan

 
  II-30

 
efektivitas sistem pengendalian internal. Monitoring terhadap sistem
 
pengendalian internal bertujuan untuk meyakinkan bahwa pengendalian
  internal telah berjalan sebagaimana yang diharapkan dan diperbaiki sesuai
 dengan kebutuhan.

  Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan pemantauan Sistem


Pengendalian Internal. Pemantauan Sistem Pengendalian Internal
 
dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak
 
lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya. Pemantauan berkelanjutan
 diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan,

 rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas. Evaluasi
terpisah diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian
 
efektivitas Sistem Pengendalian Internal.
Komponen Sistem Pengendalian Internal Pemerintah di daerah Provinsi
Jawa Barat diatur oleh Gubernur dalam bentuk Peraturan Gubernur yang tetap
mengacu pada PP No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP. Penyelenggaraan Sistem
Pengendalian Internal Pemerintah Daerah di Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
dalam lingkungan Pemerintah daerah wajib menerapkan SPIP, yang meliputi
unsur Lingkungan Pengendalian; Penilaian Risiko; Kegiatan Pengendalian;
Informasi dan Komunikasi, dan Pemantauan Pengendalian Internal.
Penerapan unsur Sistem Pengendalian Internal Pemerintah merupakan
bagian integral dari kegiatan OPD. Penyelenggaraan SPIP di lingkungan
Pemerintah Daerah dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah yang berpedoman
pada Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan SPIP yang ditetapkan dalam
Peraturan tersendiri.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa komponen
sistem pengendalian internal terdiri atas lingkungan pengendalian, penilaian
risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi serta pemantauan.
Berdasarkan kelima komponen sistem pengendalian internal tersebut,
komponen lingkungan pengendalian merupakan fondasi untuk keseluruhan
komponen. Sedangkan komponen informasi dan komunikasi merupakan saluran
(channel) terhadap tiga komponen pengendalian lainnya yaitu penilaian resiko,
aktivitas pengendalian dan pemantauan.

 
  II-31

 
2.3.7 Efektivitas Pengendalian Internal
 
Efektivitas adalah ukuran keberhasilan suatu kegiatan atau program yang
  dikaitkan dengan tujuan yang ditetapkan. Suatu pengendalian internal dikatakan
efektif
  apabila memahami tingkat sejauh mana tujuan operasi entitas tercapai,
laporan
  keuangan yang diterbitkan dipersiapkan secara handal, hukum, dan
regulasi yang berlaku dipatuhi.
 
Mardiasmo (2002: 134) menyatakan bahwa pengertian efektivitas adalah
 
ukuran berhasil atau tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu
organisasi
  mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan
efektif.
  Jika dikaitkan dengan penerapan pengendalian internal dapat dikatakan
bahwa tercapainya tujuan suatu organisasi ditetapkan oleh pihak manajemen
 
melalui penerapan sistem pengendalian internal yang efektif.
Tercapaianya pelaksanaan Sistem Pengendalian Internal di Pemerintahan
yang efektif tidak luput dari peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP)
yang melakukan pengawasan internal pada setiap kegiatan pemerintahan. Tujuan
pengawasan internal yang dilakukan oleh APIP atas pelaksanaan SPI di
lingkungan pemerintahan tersebut, agar tidak terjadi penyimpang dari ketetapan
yang sudah dibuat yaitu tujuan organisasi/pemerintah, sehingga dalam setiap
pelaksanaanya dilakukan sejalan dengan tujuan yang diharapkan. Dengan
dilakukannya pengawasan internal yang baik atau memadai atas SPI, maka tujuan
terlaksanannya SPI dapat dicapai oleh organisasi pemerintah yang akhirnya akan
berdampak pada kualitas penyelenggaraan pemerintahan baik dari segi kinerja
maupun pengelolaan keuangan negara/daerah. Tercapainya tujuan SPI apabila SPI
yang telah dilaksanakan mampu memberi keyakinan yang memadai bagi
tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan
pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara,
dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan (PP No. 60 Tahun 2008).

2.3.8 Pihak Yang Bertanggung Jawab Atas Pengendalian Internal


Aribowo (2009) dalam Dharmayantie (2016) menjelaskan bahwa peran
dan tanggung jawab orang-orang dalam organisasi terhadap Sistem Pengendalian
Internal Pemerintah adalah :

 
  II-32

 
1. Manajemen
 
Dalam hal ini adalah Menteri/Pimpinan, Lembaga, Gubernur, dan
  Bupati/Walikota serta jajaran manaejmen di lingkungannya. Para pimpinan
 inilah yang paling bertanggungjawab menyelenggarakan SPIP dilingkungan

 kerjanya. Disamping itu pimpinan memegang peranan penting dalam


penerapan SPIP yang memerlukan keteladanan dari pimpinan yang
 
mempengaruhi integritas, etika, dan faktor lainnya dari lingkungan
 
pengendalian yang positif.
2.  Seluruh Pegawai

 SPIP dengan berbagai tingkatan, menjadi tanggungjawab semua pegawai


dalam suatu instansi dan seharusnya ada dalam uraian pekerjaan setiap
 
pegawai. Setiap pegawai menghasilkan informasi yang digunakan dalam
sistem pengendalian internal atau melakukan tindakan lain yang diperlukan
untuk mempengaruhi pengendalian. Setiap pegawai juga harus bertanggung
jawab untuk mengkomunikasikan masalah dalam pelaksanaan kegiatan
instansi, ketidakpatuhan terhadap aturan perilaku, serta pelanggaran kebijakan
atau tindakan-tindakan yang illegal lainnya.
3. Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP)
Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) memiliki peran yang penting
untuk mengevaluasi efektivitas penerapan SPIP, dan memberikan kontribusi
terhadap efektivitas SPIP yang sedang berlangsung. Karena posisi organisasi
APIP independen dari manajemen serta otoritas yang disandangnya, APIP
sering berperan dalam fungsi pemantauan.
4. Auditor Eksternal dan Pihak Luar Instansi
Sejumlah pihak luar sering memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan
instansi. Auditor eksternal membawa pandangan yang objektif dan
independen, mengkontribusikan langsung melalui pernyataan audit atas
laporan keuangan dan tidak langsung menyediakan informasi penting untuk
manajemen dalam menjalankan tanggung jawabnya termasuk sistem
pengendalian internal.

 
  II-33

 
2.4 Laporan Keuangan Pemerintah
 
Laporan keuangan pemerintah disusun berdasarkan Peraturan Pemerintah
  No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang telah
diterapkan
  secara resmi pada tahun 2015. Laporan keuangan yang disusun harus
memenuhi
  seluruh ketentuan karakteristik kualitatif suatu laporan keuangan, serta
seluruh ketentuan yang ada dalam SAP sehingga informasi dalam laporan
 
keuangan yang dihasilkan berkualitas dan dapat dimanfaatkan untuk mengambil
 
keputusan di bidang keuangan di pemerintahan.
 

2.4.1
  Laporan Keuangan
2.4.1.1 Pengertian Laporan Keuangan
 
Sebuah laporan keuangan merupakan bentuk aktualisasi dari proses
pertanggungjawaban terhadap seluruh sumber daya ekonomi yang ada dan
menjadi milik dari suatu entitas. Laporan Keuangan juga merupakan produk akhir
dari proses akuntansi. Dalam menerbitkan suatu laporan keuangan haruslah
berpedoman pada suatu standar akuntansi atau prinsip akuntansi yang berlaku
umum, sehingga nantinya dapat diperbandingkan untuk evaluasi dalam rangka
memberikan informasi dalam pengambilan keputusan.
Brigham dan Huoston (2010: 84) “laporan keuangan adalah beberapa
lembar kertas dengan angka-angka yang tertulis di atasnya, tetapi penting juga
untuk memikirkan aset-aset nyata yang berada di balik angka tersebut”. Menurut
Ikatan Akuntan Indonesia (2007) “Laporan keuangan merupakan bagian dari
proses pelaporan keuangan yang digunakan untuk menganalisa kekuatan dan
seberapa besar kondisi finansial perusahaan yang berguna untuk mengevaluasi
keadaan finansial pada masa lalu, sekarang, dan memproyeksikan hasil yang akan
datang”. Menurut Baridwan (2005: 17) laporan keuangan adalah ringkasan dari
suatu proses pencatatan transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama dua
tahun buku yang bersangkutan.
Munawir (1995: 2) mendifiniskan laporan keuangan adalah hasil dari
proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengkomunikasikan
data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan. Terdapat pula beberapa definisi
lainnya tentang laporan keuangan, yaitu :

 
  II-34

 
1. A written report which quantitatively describes the financial health of a
  company;
2. A written report of the financial condition of a firm;
  3. Summary report that shows how a firm has used the funds entrusted to it by
its stockholders (shareholders) and lenders, and what is its current
 
financial position;
4.
 
A document reporting business financial performance and resources;
5. A report containing financial information about an organization;
  6. A report of basic accounting data that helps investors understand a firm's
financial history and activities;
  7. The annual statements summarizing a company's activities over the last
year;
8.
  The accounts drawn up by an organisation to report its financial affairs.
Financial statements are often prepared under regulations governing
  matters such as their content and publication.

 
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disarikan bahwa laporan keuangan
adalah suatu laporan yang dibuat oleh suatu entitas kerja/bisnis untuk menyajikan
informasi keuangan yang ditujukan kepada para pihak yang berkepentingan dalam
rangka pengambilan keputusan. Agar laporan keuangan tersebut dapat dimengerti,
dipahami, dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan para pihak yang
berkepentingan, maka harus memenuhi kaidah-kaidah, prinsip, standar yang
ditentukan dalam penyusunannya.
Harahap (2008) menyebutkan bahwa jenis laporan keuangan terdiri dari :
1. Daftar Neraca, yang menggambarkan posisi keuangan perusahaan pada suatu
tanggal tertentu.
2. Perhitungan Laba/Rugi, yang menggambarkan jumlah hasil, biaya dan
laba/rugi perusahaan pada suatu periode tertentu.
3. Laporan Arus Kas, yang menggambarkan sumber dan penggunaan kas dalam
suatu periode.
4. Laporan Perubahan Modal, yang menjelaskan perubahan posisi modal baik
saham dalam perusahaan maupun modal.
5. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana, yang memuat sumber dan
pengeluaran perusahaan selama satu periode.
6. Laporan Laba Ditahan, yang menjelaskan posisi laba ditahan yang tidak
dibagikan kepada pemilik saham.
7. Laporan Harga Pokok Produksi, yang menggambarkan berapa dan unsur apa
yang diperhitungkan dalam harga pokok produksi barang.
8. Laporan Kegiatan Keuangan, yang menggambarkan transaksi laporan
keuangan perusahaan yang mempengaruhi kas atau ekuivalen kas. (Laporan
ini kurang banyak digunakan karena hanya merupakan rekomendasi
Trueblood Committe (1974).

 
  II-35

 
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 1,
 
Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan
  kinerja keuangan suatu entitas. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil
pertanggungjawaban
  manajemen atas penggunaan sumber daya yang
dipercayakan
  kepada mereka. Komponen Laporan Keuangan menurut PSAK
Nomor 1 adalah :
 
1. laporan posisi keuangan pada akhir periode;
  2. laporan laba rugi komprehensif selama periode;
3. laporan perubahan ekuitas selama periode;
  4. laporan arus kas selama periode;
5. catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi
  penting dan informasi penjelasan lainnya; dan
6. laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan
  ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif
atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika
entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.

2.4.1.2 Tujuan Laporan Keuangan


Sesuai dengan informasi yang ada di dalamnya, Laporan Keuangan
bertujuan untuk memberikan informasi yang menyangkut posisi keuangan,
kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat untuk
pengambilan keputusan yang terkait dengan kepentingannya bagi sejumlah besar
pemakai. Dalam Standar Akuntansi Keuangan, sebagaimana dalam PSAK Nomor
1 disebutkan bahwa tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi
mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang
bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan
keputusan ekonomi. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, laporan keuangan
menyajikan informasi mengenai entitas yang meliputi aset, liabilitas, ekuitas,
pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian, kontribusi dari dan
distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik, dan arus kas.
Informasi tersebut, beserta informasi lainnya yang terdapat dalam catatan
atas laporan keuangan, membantu pengguna laporan dalam memprediksi arus kas
masa depan dan, khususnya, dalam hal waktu dan kepastian diperolehnya kas dan
setara kas.

 
  II-36

 
2.4.2 Laporan Keuangan Pemerintah
 
Laporan Keuangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
  merupakan “laporan yang terstruktur mengenai posisi keuangan dan transaksi-
transaksi
  yang dilakukan oleh suatu entitas pelapor”
Menurut
  Erlina (2008: 18)
“Laporan Keuangan adalah produk akhir dari proses akuntansi yang telah
  dilakukan. Laporan Keuangan yang disusun harus memenuhi prinsip-
prinsip yang dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
 
2005. Laporan keuangan adalah suatu hasil dari proses pengidentifikasian,
 
pengukuran,pencatatan,dari transaksi ekonomi (keuangan) dari entitas
pemerintah yang dijadikan sebagai informasi dalam rangka pertanggung
  jawaban pengelolaan keuangan daerah dari pengambilan keputusan
ekonomi oleh pihak-pihak eksternal entitas pemerintah daerah yang
  memerlukannya. Laporan keuangan pemerintah daerah tersebut harus
sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).”

Menurut Nordiawan, dkk. (2007: 294)


“Laporan keuangan merupakan laporan terstruktur mengenai posisi
keuangan dan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas
pelaporan. Tujuan umum pelaporan keuangan adalah menyajikan
informasi mengenai posisi keuangan serta realisasi anggaran,arus kas, dan
kinerja keuangan suatu entitas pelaporan yang bermanfaat bagi pengguna
dalam membuat dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber
daya.”

Dari pengertian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa laporan keuangan


merupakan laporan yang menunjukkan semua aktivitas operasi atau transaksi
yang dilakukan suatu entitas pelaporan keuangan dalam suatu periode tertentu.
Laporan Keuangan yang disajikan harus menyangkut semua informasi yang
terjadi dalam Pemerintah Daerah tersebut sehingga laporan keuangan yang
disajikan tersebut relevan, andal, dapat dipahami, dan dapat dimengerti untuk
tujuan pengambilan keputusan.

2.4.3 Peran Laporan Keuangan Pemerintah


Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 juga menjelaskan mengenai
peranan laporan keuangan pemerintah, dimana setiap entitas mempunyai
kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan serta hasil yang

 
  II-37

 
dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur pada suatu
 
periode pelaporan untuk kepentingan:
  1. Akuntabilitas yaitu mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta
 pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam

 mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik.


2. Manajemen yaitu membantu para pengguna untuk mengevaluasi pelaksanaan
 
kegiatan suatu entitas pelaporan dalam periode pelaporan sehingga
 
memudahkan fungsi perencanaan, pengelolaan dan pengendalian atas seluruh
 aset, kewajiban, dan ekuitas pemerintah untuk kepentingan masyarakat.
3.  Transparansi yaitu memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur
kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki
 
hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas
pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang
dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-
undangan.
4. Keseimbangan Antargenerasi (intergenerational equity) yaitu membantu para
pengguna dalam mengetahui kecukupan penerimaan pemerintah pada periode
pelaporan untuk membiayai seluruh pengeluaran yang dialokasikan dan
apakah generasi yang akan datang diasumsikan akan ikut menanggung beban
pengeluaran tersebut.
5. Evaluasi Kinerja yaitu mengevaluasi kinerja entitas pelaporan, terutama dalam
penggunaan sumber daya ekonomi yang dikelola pemerintah untuk mencapai
kinerja yang direncanakan.

2.4.4 Tujuan Laporan Keuangan Pemerintah


Menurut Governmental Standard Board (GASB,1998) tujuan penyajian
laporan keuangan sektor publik adalah :
1. Untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk menjadi akuntabel secara
publik.
2. Untuk membantu memenuhi kebutuhan para pengguna laporan yang
mempunya keterbatasan kewenangan, keterbatasan kemampuan atau
sumber daya untuk memperoleh informasi dan oleh sebab itu mereka
menyandarkan pada laporan sebagai sumber informasi penting. Untuk
tujuan tersebut, pelaporan keuangan harus mempertimbangkan kebutuhan
para pengguna dan keputusan yang mereka buat.

 
  II-38

 
Tujuan akuntansi dan laporan keuangan menurut Mardiasmo (2002) adalah:
 
1. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi aliran
  kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek unit
pemerintah;
  2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi
kondisi ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahan yang
  terjadi di dalamnya;
3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuaiannya
  dengan peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati, dan
ketentuan lain yang disyaratkan;
  4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk
memprediksi pengaruh akuisisi dan alokasi sumber daya terhadap
  pencapaian tujuan operasional;
5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan
  organisasional :
a. Untuk menentukan biaya program, fungsi, dan aktivitas sehingga
  memudahkan analisis dan melakukan perbandingan dengan kinerja yang
ditetapkan, membandingkan dengan kinerja periode-periode
sebelumnya, dan dengan kinerja unit pemerintah lain;
b. Untuk mengevaluasi tingkat ekonomi dan efisiensi operasi, program,
aktivitas, dan fungsi tertentu di unit pemerintah;
c. Untuk mengevaluasi hasil suatu program, aktivitas, dan fungsi serta
efektivitas terhadap pencapaian tujuan dan target;
d. Untuk mengevaluasi tingkat pemerataan (equally) dan keadilan (equity).

Kasmir (2010) ada beberapa tujuan pembuatan atau penyusunan laporan


keuangan yaitu:
1. Memberikan informasi tentang jenis dan jumlah aktiva (harta) yang
dimiliki perusahaan pada saat ini.
2. Memberikan informasi tentang jenis dan jumlah kewajiban dan modal
yang dimiliki perusahaan pada saat ini.
3. Memberikan informasi tentang jenis dan jumlah pendapatan yang
diperoleh pada suatu periode tertentu.
4. Memberikan informasi tentang jumlah biaya dan jenis biaya yang
dikeluarkan perusahaan dalam suatu periode tertentu.
5. Memberikan informasi tentang perubahan yang terjadi terhadap aktiva,
pasiva, dan modal perusahaan.
6. Memberikan informasi tentang kinerja manajemen perusahaan dalam
suatu periode.
7. Memberikan informasi tentang catatan atas laporan keuangan.
8. Informasi keuangan lainnya

Laporan Keuangan untuk sektor publik menurut International Public Sector


Accounting Standards (IPSAS) dalam Nordiawan (2007) memiliki tujuan :
1. Providing information about the sources, allocation, and use of financial
resources.

 
  II-39

 
2. Providing information about how the entity financed its activities and met its
  cash requirement.
3. Providing information that is useful in evaluating entity’s to finance its
  activities and to meet its liabilities and commitment.
4. Providing information about the financial condition of the entity and the
  changes in it.
5. Providing aggregate information useful in evaluating the entity’s
  performance in term of service cost, efficiency, and accomplishment.

  Secara umum tujuan yang tertuang dalam IPSAS tersebut mengarahkan


  pada bagaimana pentingnya suatu laporan keuangan, untuk itu komponen atau
unsur maupun laporan keuangan sangat mempengaruhi keberadaan dari laporan
 
tersebut. Laporan Keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan
 
mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas
  pelaporan selama satu periode pelaporan. Laporan keuangan terutama digunakan
untuk mengetahui nilai sumber daya ekonomi yang dimanfaatkan untuk
melaksanakan kegiatan operasional pemerintah, menilai kondisi keuangan,
mengevaluasi efektifitas, efesiensi suatu entitas pelaporan, dan membantu
menentukan ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan.
Dalam PP No. 71 Tahun 2010 dijelaskan bahwa pelaporan keuangan
pemerintah seharusnya menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para
pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan baik keputusan
ekonomi, sosial, maupun politik dengan :
1. Menyediakan informasi tentang sumber, alokasi dan penggunaan sumber
daya keuangan;
2. Menyediakan informasi mengenai kecukupan penerimaan periode berjalan
untuk membiayai seluruh pengeluaran;
3. Menyediakan informasi mengenai jumlah sumber daya ekonomi yang
digunakan dalam kegiatan entitas pelaporan serta hasil-hasil yang telah
dicapai;
4. Menyediakan informasi mengenai bagaimana entitas pelaporan mendanai
seluruh kegiatannya dan mencukupi kebutuhan kasnya;
5. Menyediakan informasi mengenai posisi keuangan dan kondisi entitas
pelaporan berkaitan dengan sumber-sumber penerimaannya, baik jangka
pendek maupun jangka panjang, termasuk yang berasal dari pungutan pajak
dan pinjaman;

 
  II-40

 
6. Menyediakan informasi mengenai perubahan posisi keuangan entitas
 
pelaporan, apakah mengalami kenaikan atau penurunan, sebagai akibat
  kegiatan yang dilakukan selama periode pelaporan.
  Dalam LKPD 2015 Provinsi Jawa Barat, menjelaskan bahwa tujuan
penyusunan
  laporan keuangan pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat adalah
sebagai berikut :
 
1. Menyediakan informasi mengenai apakah penerimaan periode berjalan
 
cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran;
2.
  Menyediakan informasi mengenai apakah cara memperoleh sumber saya

  ekonomi dan alokasinya telah sesuai dengan anggaran yang ditetapkan dan
peraturan perundang-undangan;
 
3. Menyediakan informasi mengenai jumlah sumber daya ekonomi yang
digunakan dalam kegiatan pemerintah daerah serta hasil-hasil yang telah
dicapai;
4. Menyediakan informasi mengenai bagaimana pemerintah daerah mendanai
seluruh kegiatannya dalam memcukupi kebutuhan kasnya;
5. Menyediakan informasi mengenai posisi keuangan dan kondisi pemerintah
daerah berkaitan dengan sumber-sumber penerimaanya, baik jangka pendek
maupun jangka panjang, termasuk yang berasal dari pungutan pajak,
retribusi, dan pembiayaan; dan
6. Menyediakan informasi mengenai perubahan posisi keuangan pemerintah
daerah, apakah mengalami kanaikan atau penurunan, sebagai akibat
kegiatan yang dilakukan selama periode pelaporan.
Untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut, laporan keuangan menyediakan
informasi mengenai pendapatan, belanja, transfer, dana cadangan, pembiayaan,
aset, kewajiban, ekuitas dana, dan arus kas suatu entitas.

2.4.5 Komponen Laporan Keuangan Pemerintah


Pada Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah, komponen-komponen yang terdapat dalam satu set laporan keuangan
pokok terdiri dari laporan pelaksanaan anggaran (budgetary reportsi) dan laporan
finansial, sehingga seluruh komponen laporan keuangan antara lain Laporan

 
  II-41

 
Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (Laporan
 
Perubahan SAL), Neraca, Laporan Operasional (LO), Laporan Arus Kas (LAK),
  Laporan Perubahan Ekuitas (LPE) dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
  Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2013 tentang
Penerapan
  Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual pada Pemerintah
Daerah, komponen Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (Provinsi Jawa Barat)
 
sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang disusun oleh OPD
 
Pemerintahan Daerah terdiri dari Neraca; Laporan Realisasi Anggaran (LRA);
Laporan
  Perubahan Saldo Anggaran Lebih (Laporan Perubahan SAL); Laporan
Operasional
  (LO); Laporan Arus Kas (LAK); Laporan Perubahan Ekuitas (LPE);
dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Berikut adalah uraian dari masing-
 
masing komponen laporan keuangan pemerintah yang berlaku di pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah menurut Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
1. Laporan Realisasi Anggaran
Laporan realisasi anggaran pemerintah daerah merupakan laporan yang
menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan pemakaian sumber daya keuangan yang
dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan perbandingan antara
anggaran dan realisasinya dalam satu periode pelaporan. Unsur yang dicakup
secara langsung oleh Laporan Realisasi Anggaran terdiri dari pendapatan-LRA,
belanja, transfer, dan pembiayaan.
a. Pendapatan-LRA
Pendapatan-LRA adalah penerimaan oleh Bendahara Umum
Negara/Bendahara Umum Daerah atau oleh entitas pemerintah lainnya yang
menambah Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembali
oleh pemerintah.
b. Belanja
Belanja adalah semua pengeluaran oleh Bendahara Umum Negara/Bendahara
Umum Daerah yang mengurangi Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun
anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali
oleh pemerintah.

 
  II-42

 
c. Transfer
 
Transfer adalah penerimaan atau pengeluaran uang oleh suatu entitas
  pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lain, termasuk dana perimbangan dan
 dana bagi hasil.
d.  Pembiayaan
Pembiayaan (financing) adalah setiap penerimaan/pengeluaran yang tidak
 
berpengaruh pada kekayaan bersih entitas yang perlu dibayar kembali dan/atau
 
akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun
 tahuntahun anggaran berikutnya, yang dalam penganggaran pemerintah

 terutama dimaksudkan untuk menutup defisit atau memanfaatkan surplus


anggaran. Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman dan
 
hasil investasi. Pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk
pembayaran kembali pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas
lain, dan penyertaan modal oleh pemerintah.
2. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih
Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih menyajikan informasi kenaikan
atau penurunan Saldo Anggaran Lebih tahun pelaporan dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (LP-SAL)
dimaksudkan untuk memberikan ringkasan atas pemanfaatan saldo anggaran dan
pembiayaan pemerintah, sehingga suatu entitas pelaporan harus menyajikan
rincian lebih lanjut dari unsur-unsur yang terdapat dalam LP-SAL dalam Catatan
atas Laporan Keuangan. Struktur LP-SAL baik pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memiliki perbedaan.
3. Neraca
Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai
aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu. Neraca adalah suatu laporan
yang sistematis tentang aktiva (assets), utang (liabilities), dan modal sendiri
(owners’ equity) dari suatu perusahaan pada tanggal tertentu. Biasanya pada saat
buku ditutup yakni akhir bulan, akhir triwulan, atau akhir tahun. Laporan posisi
keuangan, atau disebut juga dengan neraca ataupun laporan aktiva dan kewajiban,
adalah laporan keuangan yang menyajikan posisi aktiva, hutang dan modal
pemilik pada satu saat tertentu (Bastian, 2010). Neraca pemerintah daerah

 
  II-43

 
memberikan informasi bagi pengguna laporan mengenai posisi keuangan berupa
 
asset, kewajiban (utang), dan ekuitas dana pada tanggal neraca tersebut
  dikeluarkan. Aset, kewajiban, dan ekuitas dana merupakan rekening utama
laporan
  yang masih dapat dirinci lagi menjadi subrekening. Neraca
mencantumkan
  pos-pos berikut:
a. Aset
 
Aset yaitu sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh
 
pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat
 ekonomi dan/atau sosial dimasa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh

 pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang,


termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa
 
bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipilih.
Aset diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu : asset lancar dan asset
tidak lancar. Pengakuan Aset Aset diakui pada saat potensi manfaat ekonomi
masa depan diperoleh oleh pemerintah dan mempunyai nilai yang dapat
diukur dengan andal. Aset diakui pada saat diterima atau kepemilikannya
berpindah. Pengukuran Aset Pengukuran aset sebagai berikut:
1) Kas dan piutang dicatat sebesar nilai nominal
2) Investasi jangka pendek dicatat sebagai nilai perolehan
3) Persediaan dicatat sebesar biaya perolehan, biaya standar, dan nilai wajar.
b. Kewajiban
Kewajiban adalah utang yang timbul dari masa lalu yang penyelesaiannya
mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah. Karakteristik
esensial kewajiban adalah bahwa pemerintah mempunyai kewajiban masa kini
yang dalam penyelesaiannya mengakibatkan pengorbanan sumber daya
ekonomi di masa yang akan datang. Kewajiban diklasifikasikan menjadi dua
kelompok, yaitu: Kewajiban Jangka Pendek (utang pemerintah daerah yang
jatuh temponya kurang dari satu tahun) dan Kewajiban Jangka Panjang (utang
pemerintah yang jatuh temponya lebih dari satu tahun/12 bulan setelah tanggal
pelaporan). Kewajiban diakui jika besar kemungkinan bahwa pengeluaran
sumber daya ekonomi akan dilakukan atau telah dilakukan untuk
menyelesaikan kewajiban yang ada sekarang. Kewajiban diakui pada saat

 
  II-44

 
dana pinjaman diterima atau pada saat kewajiban timbul. Kewajiban dicatat
 
sebesar nilai nominal. Kewajiban dalam mata uang asing dijabarkan dan
  dinyatakan dalam mata uang rupiah.
c.  Ekuitas

  Ekuitas adalah kekayaan bersih pemerintah yang merupakan selisih antar


aset dan kewajiban pemerintah pada tanggal pelaporan. Saldo ekuitas di
 
Neraca berasal dari saldo akhir ekuitas pada Laporan perubahan Ekuitas.
 
Ekuitas dana diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
  1) Ekuitas Dana Lancar, yaitu selisih antara asset lancar dengan kewajiban

  jangka pendek.
2) Ekuitas Dana Investasi, yaitu cerminan dari kekayaan pemerintah daerah
 
yang tertanam dalam investasi jangka panjang, asset tetap, dan asset
lainnya yang dikurangi dengan kewajiban jangka panjang.
3) Ekuitas Dana Cadangan, yaitu cerminan dari kekayaan pemerintah daerah
yang dicadangkan untuk tujuan tertentu.
d. Laporan Operasional
Laporan Operasional menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang
menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah
pusat/daerah untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dalam satu
periode pelaporan. Unsur yang dicakup secara langsung dalam Laporan
Operasional terdiri dari pendapatan-LO, beban, transfer, dan pos-pos luar
biasa. Masing masing unsur dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Pendapatan laporan operasional adalah hak pemerintah yang diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
2) Beban adalah kewajiban pemerintah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih.
3) Transfer adalah hak penerimaan atau kewajiban pengeluaran uang
dari/oleh suatu entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lain,
termasuk dana perimbangan dan dana bagi hasil.
4) Pos Luar Biasa adalah pendapatan luar biasa atau beban luar biasa yang
terjadi karena kejadian atau transaksi yang bukan merupakan operasi

 
  II-45

 
biasa,tidak diharapkan sering atau rutin terjadi, dan berada di luar kendali
 
atau pengaruh entitas bersangkutan.
  e. Laporan Arus Kas
  Laporan Arus Kas menyajikan informasi kas sehubungan dengan aktivitas

 operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris yang menggambarkan saldo


awal, penerimaan, pengeluaran, dan saldo akhir kas pemerintah pusat/daerah
 
selama periode tertentu. Laporan arus kas menyajikan informasi mengenai
 
sumber, penggunaan, perubahan kas dan setara kas selama satu periode
 akuntansi, dan saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan (Darise, 2008).

 Unsur yang dicakup dalam Laporan Arus Kas terdiri dari penerimaan dan
pengeluaran kas, yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
 
1) Penerimaan kas adalah semua aliran kas yang masuk ke Bendahara
UmumNegara/Daerah.
2) Pengeluaran kas adalah semua aliran kas yang keluar dari Bendahara
Umum Negara/Daerah.
f. Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan Perubahan Ekuitas menyajikan informasi kenaikan atau
penurunan entitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
g. Catatan atas Laporan Keuangan
Catatan atas Laporan Keuangan meliputi penjelasan naratif atau rincian
dari angka yang tertera dalam Laporan Realisasi Anggaran, Laporan
Perubahan SAL, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Neraca,
dan Laporan Arus Kas. Silaban dan Siallagan (2012) menyatakan bahwa
catatan atas laporan keuangan berisi informasi yang tidak dapat diungkapkan
dalam keempat laporan keuangan, yang mengungkapkan seluruh prinsip,
prosedur, metode, dan teknik yang diterapkan dalam penyusunan laporan
keuangan tersebut. Catatan atas Laporan Keuangan juga mencakup informasi
tentang kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh entitas pelaporan dan
informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan untuk diungkapkan di dalam
Standar Akuntansi Pemerintahan serta ungkapan-ungkapan yang diperlukan
untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar.

 
  II-46

 
Selain laporan keuangan pokok, entitas pelaporan wajib menyajikan
 
laporan lain dan/atau elemen informasi akuntansi yang diwajibkan oleh ketentuan
  peraturan perundang-undangan (statutory reports). Informasi yang disajikan
dalam
  laporan keuangan bertujuan umum untuk memenuhi kebutuhan informasi
dari  semua kelompok pengguna. Dengan demikian, laporan keuangan pemerintah
tidak dirancang untuk memenuhi kebutuhan spesifik dari masing-masing
 
kelompok pengguna. Namun demikian, berhubung laporan keuangan pemerintah
 
berperan sebagai wujud akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, maka
komponen
  laporan yang disajikan setidak-tidaknya mencakup jenis laporan dan
elemen
  informasi yang diharuskan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
(statutory reports).
 

2.4.6 Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan Pemerintah


Untuk mencapai tujuannya dalam rangka memberikan informasi yang
objektif, laporan keuangan harus memiliki karakteristik kualitatif. Menurut PP
No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, karakteristik kualitatif
laporan keuangan adalah ukuran-ukuran normatif yang perlu diwujudkan dalam
informasi akuntansi sehingga dapat memenuhi tujuannya. Keempat karakteristik
berikut ini merupakan prasyarat normatif yang diperlukan agar laporan keuangan
pemerintah dapat memenuhikualitas yang dikehendaki:
1. Relevan. Laporan keuangan bisa dikatakan relevan apabila informasi yang
termuat di dalamnya dapat mempengaruhi keputusan pengguna dengan
membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu atau masa kini, dan
memprediksi masa depan, serta menegaskan atau mengoreksi hasil evaluasi
mereka di masa lalu. Dengan demikian, informasi laporan keuangan yang
relevan dapat dihubungkan dengan maksud penggunaannya.
2. Andal. Informasi dalam laporan keuangan bebas dari pengertian yang
menyesatkan dan kesalahan material, menyajikan setiap fakta secara jujur,
serta dapat diverifikasi. Informasi mungkin relevan, tetapi jika hakikat atau
penyajiannya tidak dapat diandalkan maka penggunaan informasi tersebut
secara potensial dapat menyesatkan.

 
  II-47

 
3. Dapat Dibandingkan. Informasi yang termuat dalam laporan keuangan akan
 
lebih berguna jika dapat dibandingkan dengan laporan keuangan periode
  sebelumnya atau laporan keuangan entitas pelaporan lain pada umumnya.
 Perbandingan dapat dilakukan secara internal dan eksternal. Perbandingan

 secara internal dapat dilakukan bila suatu entitas menerapkan kebijakan


akuntansi yang sama dari tahun ke tahun. Perbandingan secara eksternal dapat
 
dilakukan bila entitas yang diperbandingkan menerapkan kebijakan akuntansi
 
yang sama. Apabila entitas pemerintah menerapkan kebijakan akuntansi yang
 lebih baik daripada kebijakan akuntansi yang sekarang diterapkan, perubahan

 tersebut diungkapkan pada periode terjadinya perubahan.


4. Mudah Dipahami. Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan dapat
 
dipahami oleh pengguna dan dinyatakan dalam bentuk serta istilah yang
disesuaikan dengan batas pemahaman para pengguna. Untuk itu, pengguna
diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai atas kegiatan dan
lingkungan operasi entitas pelaporan, serta adanya kemauan pengguna untuk
mempelajari informasi yang dimaksud.
Menurut Statement of Financial Accounting (SFAC) No. 2 dalam Rahmat
(2010) terdapat karakteristik kualitatif laporan keuangan untuk berbagai
tingkatan kualitas. Tingkatan kualitas pertama (Primary Qualities) mensyaratkan
bahwa laporan keuangan harus memberikan informasi yang memenuhi
persyaratan :
1. Relevance, yaitu informasi yang disajikan harus bermanfaat untuk
pengambilan keputusan sehingga informasi tersebut harus :
a. Tepat waktu (timeliness), yaitu informasi yang siap digunakan para
pemakai sebelum kehilangan makna dan kapasitas dalam pengambilan
keputusan;
b. Memberikan nilai prediktif (predictive value), yaitu informasi dapat
membantu pemakai dalam membuat prediksi tentang hasil akhir dari
kejadian yang lalu, sekarang dan masa depan;
c. Memberikan nilai umpan balik (feedback value), yaitu kualitas informasi
yang memungkinkan pemakai dapat mengkonfirmasikan ekspektasinya
yang telah terjadi di masa lalu.

 
  II-48

 
2. Reliability, yaitu informasi yang disajikan harus dapat diandalkan,
 
berkualitas, dijamin bebas dari kesalahan dan penyimpangan atau bias serta
  telah dinilai dan disajikan secara layak sesuai dengan tujuannya.
  Karakteristik yang harus dipenuhi agar memenuhi syarat kehandalan adalah :

  a. Kejujuran dalam penyajian (representation faithfulness), yaitu adanya


kesesuaian penyajian informasi baik dalam bentuk angka maupun
 
diskripsi serta sumber-sumbernya;
 
b. Dapat diuji (veriviability), yaitu informasi yang disajikan adalah
  obyektif, dan apabila diuji oleh beberapa orang memberikan kesimpulan

  yang sama;
c. Netralitas (neutrality), yaitu informasi yang disajikan mengacu pada
 
prinsip-prinsip akuntansi dan praktik yang berlaku umum (Generally
Accepted Accounting Principles) dan tidak bias.
Sedangkan pada tingkatan kualitas sekunder (Secondary Qualities),
Laporan Keuangan harus memenuhi karakteristik sebagai berikut :
1. Dapat diperbandingkan (Comparability), yaitu bahwa informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan dapat diperbandingkan dengan setiap
entitas yang melaksanakan kegiatan sejenis (perusahaan/industri) karena
menggunakan prinsip-prinsip dan praktik akuntansi yang diterima secara
umum;
2. Konsisten (Consistency), yaitu bahwa informasi yang disajikan dalam laporan
keuangan konsisten, yaitu menggunakan prinsip atau praktik akuntansi yang
sama dari satu periode ke periode lainnya.
Disamping ukuran kualitas laporan keuangan yang telah disebutkan di
atas, ukuran lain yang dapat dijadikan patokan untuk menentukan kualitas laporan
keuangan adalah dari opini hasil pemeriksaan. Untuk laporan keuangan sektor
publik, hasil pemeriksaan BPK berupa opini menentukan sejauh mana kualitas
laporan keuangan yang disajikan. Menurut Sukrisno Agoes (2007) dalam Rahmat
(2010), terdapat 4 (empat) jenis opini atas hasil pemeriksaan laporan keuangan,
yaitu :
1. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yaitu opini diberikan dalam hal
auditor telah melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan standar auditing, telah

 
  II-49

 
mengumpulkan bahan-bahan pembuktian yang cukup untuk mendukung
 
opininya, serta tidak menemukan adanya kesalahan material atas
  penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum;
2.  Wajar Tanpa Pengecualian dengan Bahasa Penjelasan yang ditambahkan

 dalam Laporan Audit Bentuk Baku (WTP DPP) yaitu pemberian opini ini
dilakukan dalam hal jika terdapat keadaan tertentu yang mengharuskan auditor
 
menambahkan paragraf penjelasan (atau bahasa penjelasan lain) dalam
 
laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa
 pengecualian yang dinyatakan oleh auditor;
3.  Wajar Dengan Pengecualian (WDP) yaitu opini ini diberikan apabila laporan
keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi
 
keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas dan arus kas sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum, kecuali untuk dampak hal yang berkaitan
dengan yang dikecualikan.
4. Tidak Wajar (TW) yaitu opini diberikan dalam hal laporan keuangan tidak
menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas dan
arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum;
5. Tidak Memberikan Pendapat (TMP) yaitu pemberian opini dilaksanakan
apabila auditor tidak melaksanakan audit yang lingkupnya memadai untuk
memungkinkannya memberikan pendapat atas laporan keuangan. Alasan
auditor tidak melaksanakan audit yang lingkupnya memadai adalah apabila
ada pembatasan lingkup audit.
Boynton dan Johnson (2006) menyatakan bahwa pemberian opini no (3)
sampai dengan (5) adalah sebagai akibat menyimpang dari prinsip akuntansi yang
berlaku umum, dengan kondisi sebagai berikut:
1. Laporan keuangan mengandung penyimpangan dari prinsip akuntansi yang
berlaku umum yang bersifat material;
2. Auditor tidak dapat memperoleh data yang cukup kompeten untuk mendukung
laporan manajemen sehingga tidak ada alasan untuk memberikan opini Wajar
Tanpa Pengecualian pada laporan keuangan secara keseluruhan.

 
  II-50

 
2.4.7 Prinsip Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah
 
Prinsip akuntansi dan pelaporan keuangan dimaksudkan sebagai ketentuan
  yang dipahami dan ditaati oleh pembuat standar dalam menyusun standar,
penyelenggara
  akuntansi dan pelaporan keuangan dalam melakukan kegiatannya,
serta  pengguna laporan keuangan dalam memahami laporan keuangan yang
disajikan. Menurut SAP Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, Berikut ini
 
adalah delapan prinsip yang digunakan dalam akuntansi dan pelaporan keuangan
 
pemerintah:
1.  Basis Akuntansi

  Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah


adalah basisi akrual, untuk pengakuan pendapatan laporan operasional,beban,
 
aset, kewajiban, dan ekuitas. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan
mewajibkan disajikannya laporan keuangan dengan basis kas, maka entitas
menyajikan laporan demikian. Basis akrual untuk laporan operasional berarti
bahwa pendapatan diakui pada saat hak untuk memperoleh pendapatan telah
terpenuhi walaupun kas belum diterima di Rekening Kas UmumNegara/Daerah
atau oleh entitas pelaporan dan beban diakui pada saat kewajiban yang
mengakibatkan penurunan nilai kekayaan bersih telah terpenuhi walaupun kas
belum dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau entitas
pelaporan. Pendapatan seperti seperti bantuan pihak luar/asing dalam bentuk jasa
disajikan pula pada Laporan Operasional.
Dalam hal anggaran disusun dan dilaksanakan berdasar basis kas, maka
laporan realisasi anggaran anggaran yang selanjutnya disebut LRA disusun
berdasarkan basis kas, berarti bahwa pendapatan penerimaan pembiayaan diakui
pada saat kas diterima di Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau oleh entitas
pelaporan, serta belanja, transfer dan pengeluaran pembiayaan diakui pada saat
kas dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah. Namun, demikian
bilamana anggaran disusun dan dilaksanakan berdasarkan basis akrual, maka LRA
disusun berdasarkan basis akrual. Basis akrual untuk Neraca berarti bahwa aset ,
kewajiban, dan ekuitas diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi, atau pada
saat kejadian atau kondisi lingkungan berpengaruh pada keuangan pemerintahan,
tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar.

 
  II-51

 
2. Nilai Historis (Historical Cost)
 
Aset dicatat sebesar pengeluaran kas dan setara kas yang dibayar atau
  sebesar nilai wajar dari imbalan (consideration) untuk memperoleh aset tersebut
pada  saat perolehan. Kewajiban dicatat sebesar jumlah kas dan setara kas yang
diharapkan
  akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban di masa akan datang
dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah. Nilai historis lebih dapat diandalkan
 
daripada penilaian yang lain karena lebih obyektif dan dapat diverifikasi. Dalam
 
hal tidak terdapat nilai historis, dapat digunakan nilai wajar aset atau kewajiban
terkait.
 
3.  Realisasi (Realization)
Bagi pemerintah, pendapatan basis kas yang tersedia yang telah
 
diotorisasikan melalui anggaran pemerintah suatu periode akuntansi akan
digunakan untuk membayar utang dan belanja dalam periode tersebut. Mengingat
LRA masih merupakan laporan wajib disusun, maka pendapatan atau belanja
basis kas diakui setelah diotoritaskan melalui anggaran dan telah menambah atau
mengurangi kas. Prinsip layak temu biaya – pendapatan (matching-cost against
revenue priciple) dalam akuntansi pemerintahan tidak mendapat penekanan
sebagaimana dipraktekkan dalam akuntansi komersial.
4. Substansi Mengungguli Bentuk Formal (Substance Over Form)
Informasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan wajar transaksi atau
peristiwa lain yang seharusnya disajikan, maka transaksi atau persitiwa lain
tersebut perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi,
dan bukan hanya aspek formalitasnya. Apabila substansi transaksi atau peristiwa
lain tidak konsisten/berbeda dengan aspek formalitasnya, maka hal tersebut harus
diungkapkan dengan jelas dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
5. Periodisitas (Periodicity)
Kegiatan akuntansi dan laporan keuangan entitas pelaporan dibagi menjadi
periode-periode pelaporan sehingga kinerja entitas dapat diukur dan posisi sumber
daya yang dimilikinya dapat ditentukan. Periode utama yang digunakan adalah
tahunan. Namun, periode bulanan, triwulan, dan semesteran juga dianjurkan.

 
  II-52

 
6. Konsistensi (Consitency)
 
Perlakuan akuntansi yang sama diterapkan pada kejadian yang serupa dari
  periode ke periode oleh seatu entitas pelaporan (prinsip konsistensi internal). Hal
ini tidak
  berarti bahwa tidak boleh terjadi perubahan dari suatu metode akuntansi
ke  metode akuntansi yang lain. Metode akuntansi yang dipakai dapat diubah
dengan syarat bahwa metode yang baru diterapkan mampu memberikan informasi
 
yang lebih baik dibanding metode lama. Pengaruh atas perubahan penerapan
 
metode ini diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
7.  Pengungkapan Lengkap (Full Disclosure)

  Laporan keuangan menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan


oleh pengguna. Informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan dapat
 
ditempatkan di lembar muka (on the face) laporan keuangan atau Catatan atas
Laporan Keuangan.
8. Penyajian Wajar (Fair Presentation)
Laporan keuangan menyajikan dengan wajar laporan Realisasi Anggaran.
Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Neraca, Laporan Perubahan Ekuitas,
dan Catatan atas Laporan Keuangan. Dalam rangka penyajian wajar, faktor
pertimbangan sehat diperlukan bagi penyusun laporan keuangan ketika
menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan tertentu. Ketidakpastian seperti
itu diakui dengan mengungkapkan hakikat serta tingkatnya dengan menggunakan
pertimbangan sehat dalam penyusunan laporan keuangan. Pertimbangan sehat
mengandung unsur kehati-hatian pada saat melakukan perkiraan dalam kondisi
ketidakpasitan sehingga aset atau pendapatan tidak dinyatakan terlalu tinggi dan
kewajiban tidak dinyatakan terlalu rendah.
Namun demikian, penggunaan pertimbangan sehat tidak
memperkenankan, misalnya, pembentukan cadangan tersembunyi, sengaja
menetapkan aset atau pendapatan yang terlampau rendah, atau sengaja mencatat
kewajiban atau belanja yang terlampu tinggi, sehingga laporan keuangan menjadi
tidak netral dan tidak andal. Kendala informasi akuntansi dan laporan keuangan
adalah setiap keadaan yang tidak memungkinkan terwujudnya kondisi yang ideal
dalam mewujudkan informasi akuntansi dan laporan keuangan yang revan dan
andal akibat keterbatasan atau karena alasan-alasan kepraktisan.

 
  II-53

 
Tiga hal yang menimbulkan kendala dalam informasi akuntansi dan
 
laporan keuangan pemerintahan daerah, yaitu :
  1. Materialitas. Walaupun idealnya membuat segala informasi, laporan
  keuangan pemerintahan hanya diharuskan memuat informasi yang memenuhi

  kriteria materialitas. Informasi dipandang material apabila kelalaian untuk


mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat informasi tersebut dapat
 
mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna uang diambil atas dasar laporan
 
keuangan.
2.   Pertimbangan biaya dan manfaat. Manfaat yang dihasilkan informasi

  seharusnya melebihi biaya penyusunannya. Oleh karena itu, laporan


keuangan pemerintah tidak semestinya menyajikan segala informasi yang
 
manfaatnya lebih kecil dari biaya penyusunannya. Namun demikian, evaluasi
biaya dan manfaat merupakan proses pertimbangan yang substansial. Biaya
itu juga tidak harus dipikul oleh pengguna informasi yang menikmati
manfaat. Manfaat mungkin juga dinikmati oleh pengguna lain disamping
mereka yang menjadi tujuan informasi, misalnya penyediaan informasi
lanjutan kepada kreditor mungkin akan mengurangi biaya yang dipikul oleh
suatu entitas pelaporan.
3. Keseimbangan antar karakteristik kualitatif. Keseimbangan antar karakteristik
kualitatif diperlukan untuk mencapai suatu keseimbangan yang tepat diantara
berbagai tujuan normatif yang diharapkan dipenuhi oleh laporan keuangan
pemerintah. Kepentingan relatif antar karakteristik dalam berbagai kasus
berbeda, terutama antar relevansi dan keandalan. Penentuan tingkat
kepentingan antara dua karakteristik kualitatif tersebut merupakan masalah
pertimbangan profesional.

2.5 Penelitian Terdahulu


Penelitian mengenai peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintahan
terhadap peningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah telah dilakukan oleh
beberapa penelitian terdahulu. Adapun perbedaan dengan penelitian terdahulu
akan di uraikan pada Tabel II.2 di bawah ini.

 
  II-54

 
Tabel II.2 Penelitian Terdahulu
Peneliti
  Judul Hasil Penelitian Perbedaan
Sentot Peranan Inspektorat Sebagai Aparat Pengawasan Perbedaan dengan
  Rahmat Jenderal sebagai Internal, Inspektorat Jenderal peneliti yaitu subjek
(2010) Aparat Pengawasan Kementerian keuangan telah penelitian yaitu
  Internal mulai menjalankan fungsinya Inspektorat Provinsi
Kementerian/Lemb sebagaimana fungsi Jawa Barat dengan
  aga Dalam pengawasan internal dengan fokus penelitian
Meningkatkan paradigma baru yaitu memberi pada peran
  Kualitas Laporan nilai tambah dan membantu Inspektorat Provinsi
Keuangan pancapaian tujuan organisasi melalui pembinaan
  Kementerian/Lemb dengan menjalankan fungsinya dan pengawasan
aga dengan Studi sebagai pemberi assurance dan dalam meningkatkan
  Kasus pada advisory consulting. Hal ini kualitas laporan
Kementerian memberikan hasil yang cukup keuangan
  Keuangan signifikan dalam pemerintah daerah
meningkatkan kualitas laporan Provinsi Jawa Barat.
  keuangan.
Denis Analisis Peranan Peran Inspektorat Kabupaten Perbedaan dengan
Dimas Inspektorat sebagai Wonosobo dalam peneliti yaitu subjek
Permana Auditor Internal meningkatkan kualitas LKPD penelitian yaitu
(2013) Pemerintah dalam dan pengelolaan keuangan Inspektorat Provinsi
Meningkatkan pemerintah daerah masih Jawa Barat dengan
Kualitas Laporan lemah, dimana masih belum tujuan penelitian
Keuangan adanya sinergisasi, koordinasi untuk mengetahui
Pemerintah Daerah dan komunikasi yang baik peran Inspektorat
dengan Studi Kasus dengan instansi lain (Dinas) Provinsi Jawa Barat
di Kabupaten agar permasalahan dalam sebagai APIP dalam
Wonosobo penyusunan laporan keuangan meningkatkan
dapat teratasi, terlebih dengan kualitas LKPD
keterbatasan sumber daya melalui pengawalan
pemerintah daerah. Apabila penyelenggaraan
peran inspektorat hanya SPIP yang efektif di
sekedar mencari kesalahan OPD sebagai upaya
SKPD tanpa kemudian adanya meminimalisir
perbaikan, maka eksistensi dan temuan kelemahan
efektivitas Inspektorat SPIP oleh BPK atas
Kabupaten Wonosobo dalam LKPD.
Sistem Pengendalian Internal
pemerintah akan terus
dipertanyakan.
Lusiana Peran APIP Akuntabilitas merupakan salah Perbedaan dengan
(2016) Mengawal satu aspek penting dalam peneliti yaitu fokus
Akuntabilitas mewujudkan suatu tata kelola penelitian terhadap
Keuangan Negara pemerintahan yang baik yang peran Inspektorat
Melalui Reviu Dan salah satunya tercermin Provinsi Jawa Barat
Implementasi SPIP melalui Laporan Keuangan. sebagai APIP dalam
Oleh sebab itu pemerintah meningkatkan
dalam rangka untuk kualitas LKPD
meningkatkan kualitas laporan melalui perannya
keuangan, memaksimalkan mengawal OPD
kinerjanya melalui keterlibatan dalam menerapkan

 
  II-55

 
APIP dalam melakukan reviu SPIP melalui
  atas laporan keuangan dan kegiatan pembinaan
pengimplementasian SPIP di dan pengawasan.
  lingkungan pemerintahan.

 
2.6 Kerangka Pikir Penelitian
  Untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien,
  transparan, dan akuntabel maka Gubernur wajib melakukan pengendalian atas

  penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang dilaksanakan dengan berpedoman


pada Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP). Dengan pelaksanaan
 
Sistem Pengendalian Internal (SPI) dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka
 
akan dapat memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan pemerintah
  melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan,
pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan
(PP No. 60 Tahun 2008).
Dalam mewujudkan pelaksanaan sistem pengendalian internal yang efektif
di lingkungan Pemerintah, maka dilakukan pengawasan internal atas
penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi, termasuk akuntabilitas keuangan
negara, dan dilakukan pembinaan penyelenggaraan SPIP. Pengawasan internal
dilakukan oleh aparat pengawasan internal pemerintah melalui audit, reviu,
evaluasi, pemantauan dan kegiatan pengawasan lainnya yang merupakan bagian
dari implementasi SPIP yang berkaitan langsung dengan penjaminan (assurance)
dan konsultasi (consulting) untuk pemberi solusi. Aparat Pengawasan Internal
Pemerintah (APIP) terdiri dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,
Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melakukan
pengawasan internal, Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota.
Laporan keuangan pemerintah daerah yang andal akan dihasilkan melalui
pelaksanaan Sistem Pengendalian Internal yang efektif dalam proses penyusunan
pelaporan keuangan (PP No. 60 Tahun 2008). Dimana, suatu penyelenggaraan
sistem pengendalian internal dapat berjalan dengan baik sehingga terlaksana
dengan efektif jika didukung oleh peran Inspektorat Daerah sebagai Aparat
Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) yaitu melalui pengawasan internal.
Pengawasan internal yang dilakukan berkaitan langsung dalam penjaminan

 
  II-56

 
(assurance) dan konsultasi (consulting) untuk pemberi solusi bagi instansi
 
pemerintah (BPKP, 2009).
  Selain pengawasan internal terkait penyelenggaraan SPIP agar
menghasilkan
  Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang andal, Inspektorat
Provinsi
  sebagai APIP juga diwajibkan untuk melakukan reviu atas Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah dalam rangka memberikan keyakinan yang
 
memadai bahwa LKPD telah disusun sesuai dengan Standar Akuntansi
 
Pemerintah dan berdasarkan Sistem Pengendalian Internal yang memadai (PP No.
60  Tahun 2008 tentang SPIP). Pelaksanaan reviu atas LKPD diatur dalam
Permendagri
  No. 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan reviu atas LKPD.
Pelaksanaan Reviu atas LKPD dilakukan sebelum LKPD diberikan ke BPK untuk
 
di audit. LKPD di reviu oleh Inspektorat Provinsi dan memberikan perbaikan pada
setiap pos laporan keuangan yang bermasalah dalam penyajiannya berupa jurnal
koreksi dan rekonsiliasi yang dimuat dalam suatu Laporan Hasil Reviu (LHR).
Saran perbaikan yang ada dalam LHR harus segera ditindak lanjuti oleh
Pemerintah Daerah sebelum LKPD diserahkan ke BPK. Selain untuk menyajikan
LKPD yang wajar, juga diharapkan dapat menyajikan laporan yang andal
berdasarkan pelaksanaan SPI yang efektif di lingkungan Pemerintah Daerah.
Keterlibatan Inspektorat Daerah sebagai APIP dalam meningkatkan
kualitas LKPD dibuktikan dengan beberapa hasil penelitian terdahulu dengan
hasil penelitian yang menyatakan bahwa Inspektorat sebagai Aparat Pengawasan
Internal Pemerintah memiliki peran yang cukup besar dalam meningkatkan
kualitas laporan keuangan pemerintah. Perannya dalam upaya meningkatkan
kualitas laporan keuangan dapat dilihat dari tugas dan fungsi dari inspektorat yaitu
pelaksanaan pengawasan internal berkaitan dengan pemberian assurance dan
advisory consulting (Rahmat, 2010), melalui pelaksanaan pengawasan internal
terhadap penyelenggaraan Sistem Pengendalian Internal di lingkungan pemerintah
(Permana, 2013), serta keterlibatan Aparat Pengawasan Internal dalam
meningkatkan kualitas laporan keuangan melalui pelaksanaan reviu atas laporan
keuangan dan pengimplementasian SPIP di lingkungan pemeirntah yang menjadi
kewajibannya sesuai dengan Pasal 57 PP No. 60 Tahun 2008 (Lusiana, 2016).
Selanjutnya, Kuswarini (2010) menyatakan bahwa peran pengawasan yang

 
  II-57

 
optimal turut menentukan keberhasilan dalam pencapaian prinsip-prinsip tata
 
kelola yang baik dan bersih pada instansi pemerintah, terutama dalam
  mempercepat tidak lanjut pemeriksaan yang ditemukan BPK.
  Adapun yang menjadi kerangka pikir dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut
  :

  Pengawasan Internal oleh Kualitas Laporan Keuangan


Inspektorat Provinsi sebagai APIP Pemerintah Daerah (LKPD)
  (PP No. 60 Tahun 2008) (PP No. 70 Tahun 2010)

 
Pembinaan dan Pengawasan Opini
Penyelenggaraan SPIP Kualitas LKPD :
  Kewajaran
1. Relevan
(Pergub No. 3 Tahun 2013) LKPD
2. Andal
1. WTP
3. Dapat
2. WDP
Dibandingkan
3. TP
4. Mudah
4. TW
Dipahami
Tujuan SPIP : Efisiensi dan
Efektivitas Operasi, Keandalan
Laporan Keuangan, Keamanan
Aset Negara, dan Ketaatan
terhadap Undang-Undang
Tujuan Reviu SPI LKPD: LKPD
disajikan sesuai SAP dan SPIP

Analisis Peran Inspektorat Daerah Sebagai Aparat Pengawasan Internal


Pemerintah dalam Meningkatkan Kualitas Laporan keuangan Pemerintah Daerah

Gambar II.1 Kerangka Pikir Penelitian

Anda mungkin juga menyukai