Lahan rawa pasang surut air tawar berada pada posisi Zona
II (lihat Gambar 1). Di wilayah ini, kekuatan arus air pasang
dari laut sedikit lebih besar atau sama dengan kekuatan
arus/dorongan air dari hulu sungai. Oleh karena energi arus
pasang dari laut masih sedikit lebih besar dari pada sungai,
lahan rawa zona ini masih dipengaruhi pasang surut harian,
namun air asin/ payau tidak lagi berpengaruh. Makin jauh ke
pedalaman, kekuatan arus pasang makin melemah.
Kedalaman luapan air pasang juga makin berkurang, dan
akhirnya air pasang tidak menyebabkan terjadinya genangan
lagi. Tanda adanya pasang surut terlihat pada gerakan naik
- Aluvial/fluviatil
- Gambut
Pengaruh Rawa Pasang Surut
pasang surut ZONA-II Air Tawar
harian air Fisiografi utama:
tawar
Pengaruh - Aluvial/fluviatil
pasang surut - Gambut
harian air - Marin
payau/asin ZONA-1
Rawa Pasang Surut
Air Payau/Salin
Fisiografi utama:
LAUT - Gambut
- Marin
Gambar 1. Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai bagian
bawah dan tengah (Subagjo, 1998)
Tipe
Uraian
Luapan
A Lahan rawa di bagian terendah, yang selalu terluapi air pasang
harian, baik pasang besar mapun pasang kecil, selama musim hujan
dan kemarau.
B Lahan rawa di bagian yang agak lebih tinggi (ke arah tanggul sungai
atau ke arah kubah gambut), hanya terluapi oleh air pasang besar
saja, tetapi tidak terluapi oleh pasang kecil atau pasang harian. Pada
musim hujan dapat terluapi oleh air hujan atau air yang berasal dari
wilayah hutan (kubah) gambut.
C Lahan rawa yang relatif kering (di daerah tanggul sungai dan di
bagian berlereng tengah dari kubah gambut), dan tidak pernah
terluapi walaupun oleh pasang besar. Namun air pasang
berpengaruh melalui air tanah. Kedalaman air tanah kurang dari 50
cm dari permukaan tanah.
D Lahan rawa (di bagian lereng atas dan puncak kubah gambut) yang
paling kering, tidak pernah terluapi oleh air pasang besar dan kecil
dengan kedalaman air tanah lebih dari 50 cm dari permukaan tanah.
Catatan : Direktorat Rawa (1984) menggunakan istilah lahan Kategori I untuk Tipe A,
Kategori II untuk Tipe B, Kategori III untuk Tipe C, dan Kategori IV untuk
Tipe D
Sumber : Noorsyamsi et al., 1984 dalam Widjaja-Adhi, 1986a; Subagjo dan Widjaja-
Adhi, 1998
C
B A B C D
(III)
(II) (I) (II) (III) (IV)
Fakultas Teknik Universitas Achmad Yani 16
Dr. Ir. H. Ferry Juniansyah, MT
Pasang
maks m dpl
50 cm
PB PK MH
MK
0
1 2 3 4 5 6
Gambar 2. Hubungan bentuk lahan dengan keempat tipe luapan (Subagjo, 1998)
Lahan rawa non pasang surut, atau sering disebut rawa lebak,
memiliki kekuatan arus pasang dari laut jauh lebih kecil (atau
bahkan sudah tidak tampak sama sekali) daripada kekuatan arus
dari hulu sungai. Tipe ini menduduki posisi pada Zona III (lihat
Gambar 1). Pada zona ini, pengaruh kekuatan arus sungai jauh
lebih dominan. Tanda pasang surut harian yang biasanya tampak
sebagai gerakan naik turunnya air sungai, sudah tidak nampak
lagi. Sejak batas dimana gerak naik turunnya air tanah tidak
terlihat lagi, maka lahan rawa pada lokasi ini termasuk sebagai
rawa non pasang surut atau lahan rawa lebak. Rawa lebak
merupakan istilah lain dari rawa non pasang surut di daerah
Sumatera Selatan. Di tempat lain disebut rawa payo (Jambi),
rawa rintak atau surung (Kalimantan Selatan), rawa rapak atau
kelan (Kalimantan Timur), dan rawa pedalaman atau rawa
monoton.
Ciri khas yang membedakan antara lahan rawa pasang surut dan
lebak adalah tutupan vegetasi alami yang tumbuh di atasnya.
Lahan rawa pasang surut air salin umumnya ditumbuhi dengan
tanaman jenis mangrove, Nipah, Galam dan lain-lain. Sedangkan
lahan rawa lebak sering ditumbuhi dengan jenis tanaman rawa
seperti Pule, Nibung, Serdang, Nyatoh, Putat, Meranti, Belangiran,
dan Kapor naga.
Tabel 3. Penggunaan vegetasi sebagai indikator ekosistem lahan rawa
Kualitas
Ekosistem Komunitas Vegetasi
Air
- 60-80% species mangrove (didominasi
Rawa pantai oleh species Rhizophora)
(dangkal) - 5-15% species palma (Palmae)
- Komunitas vegetasi hampir seragam
Air asin
- 40-60% species mangrove (didominasi oleh
Delta, species Rhizophora)
Estuarin - 15-35% species palma (Palmae)
- Komunitas vegetasi hampir seragam
- 90% species mangrove (didominasi oleh
species Rhizopora)
Rawa payau
- <5% species palma (Palmae)
Air payau - Komunitas vegetasi hampir seragam
- Didominasi oleh species palma
Transisi
(didominasi oleh species Oncosperma)
payau - tawar
- Komunitas vegetasi hampir seragam
- Umumnya didominasi oleh species
Rubiaceae, Euphorbiaceae, Pandanus,
Rawa
Eugenia dan Gramineae
pedalaman
- Komunitas/jenis vegetasi bervariasi
Air tawar - Jarang dijumpai mangrove dan Palma
- Umumnya didominasi oleh species Ilex,
Rawa gambut Stemonurus, Campnosperma
- Komunitas/jenis vegetasi sangat bervariasi
50
100
50
Lahan Potensial - 1 Lahan Potensial - 2 Sulfat Masam Sulfat Masam Gambut Dangkal Gambut Sedang (101 -
(LP-1) (LP-2) Potensial (SMP) Aktual (SMA) (50 - 100 cm) 200 cm)
Tanah Gleihumus
Lahan Gambut
SMA-3: menunjukan adanya horison sulfurik, dengan lapisan pirit >100 cm. #
diukur mulai dari permukaan tanah mineral;
Sumber: Widjaya-Adhi (1995).
Berdasarkan ketebalan gambut, lahan gambut dibedakan atas
empat kelas (Widjaja-Adhi, 1995), yaitu gambut dangkal (50 –
100 cm), gambut sedang (100 – 200 cm), gambut dalam (200 –
300 cm), dan gambut sangat dalam (>300 cm). Tanah dengan
ketebalan lapisan gambut 0 - 50 cm, dikelompokkan sebagai
lahan bergambut (peaty soils).
Lahan Bergambut
Lahan rawa yang tidak memiliki lapisan tanah gambut dan tidak
memiliki lapisan pirit, atau memiliki lapisan pirit pada kedalaman
lebih dari 50 cm disebut sebagai lahan rawa potensial. Lahan
ini merupakan rawa paling subur dan potensial untuk pertanian.
Tanah yang mendominasi lahan rawa tersebut adalah tanah aluvial
hasil pengendapan yang dibawa oleh air hujan, air sungai, atau air
laut.
Lahan rawa yang tidak memiliki tanah gambut dan kedalaman lapisan piritnya
kurang dari 50 cm disebut sebagai lahan aluvial bersulfida dangkal atau sering
disebut lahan sulfat masam potesial. Apabila lahan aluvial bersulfida memiliki
lapisan gambut dengan ketebalan kurang dari 50 cm disebut lahan aluvial
bersulfida bergambut (Tabel 4). Lahan yang lapisan piritnya sudah teroksidasi
sering disebut sebagai lahan bersulfat atau lahan sulfat masam aktual. Lahan
seperti ini tidak direkomendasikan untuk budi daya pertanian.
Gambar 4. Pola penggunaan lahan di daerah rawa. Gambaran secara hipotetik (Widjaja-
Adhi, 1992)
Sepintas Tentang Pirit
Pirit yang telah teroksidasi berwarna kuning jerami, di bongkahan gambut (kiri)
dan tanggul saluran (kanan)
FeS 2 + 14/4O
2 + 7/22 H O ——> Fe (OH)
3 + 4 2(SO )2- + 4 H+ I)
Pirit Oksigen Besi-III Asam Sulfat
Akibat melimpahnya ion Al3+ dan besi Ferro (Fe 2+) di dalam
larutan tanah, maka setiap ion fosfat yang tersedia, baik sebagai (H
PO )1- maupun (HPO )2, 2 4 4
akan bereaksi atau diikat kuat oleh ion Al3+ dan Fe2+. Akibatnya, terjadi
defisiensi atau kahat P di dalam tanah.
Pada kondisi Al3+ dan Fe2+ yang melimpah, kompleks pertukaran
liat dan humus akan dijenuhi oleh kedua ion tersebut. Ion-ion
basa lain (K, Ca, Mg dan Na) tercuci keluar dan hanyut terbawa air
mengalir, sehingga kandungan basa-basa tanah (sebagai hara)
menjadi sangat berkurang. Tanah sulfat masam yang mengalami
proses pencucian dalam waktu lama, akan mengalami defisiensi
atau kahat hara tanah. Bloomfield dan Coulter (1973) melaporkan
bahwa telah terjadi defisiensi Ca, Mg, K, Mn, Zn, Cu dan Mo pada
berbagai tanah sulfat masam di daerah tropis.