Anda di halaman 1dari 20

GENDER DAN PEMBANGUNAN

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK IV

NAMA : DEWIKA HALAWA

GLORY CHRIS M. TELAUMBANUA

PANDU ELISARO ZEBUA

BOY SANDY ZALUKHU

SEMESTER :IV (EMPAT)

` KELAS :A

MATAKULIAH : HUKUM ADAT

DOSEN PENGAMPU:

Dr. ANUGRAH T. HAREFA, S.H., MA

PROGRAM PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn)

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) GUNUNGSITOLI

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (FPIPS)

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa , karena atas berkat dan
rahmatNya kami dapat menyelesaikan makalah kami. Makalah ini untuk memenuhi tugas
matakuliah Hukum Adat dengan judul GENDER DAN PEMBANGUNAN.

Tak lupa saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam menyelesaikan makalah, terutama kepada dosen saya bapak Dr. Anugrah T. Harefa,
S.H., MA, selaku sebagai dosen pengampu matakuliah Hukum Adat yang telah membimbing
dalam pelaksanaan tugas ini. Terlepas dari itu semua, kami meyakini bahwa tugas ini masih jauh
dari kata sempurna, oleh karena itu saya memohon maaf sebesar-besarnya apabila ada kesalahan
baik dari susunan kalimat, kajian teoritas dan tata bahasa.Maka itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk perbaikan tugas ini kedepannya agar lebih baik lagi. Kami
berharap semoga makalah ini dapat memberi manfaat kepada seluruh pembaca.

Akhir kata kami ucapkan terimakasih.

Penyusun,

Kelompok IV

i
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR...........................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................1

 Latar Belakang............................................................................1

 Rumusan Masalah.......................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................3

BAB III PENUTUP...............................................................................16

 Kesimpulan..................................................................................16

 Saran............................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA............................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan merupakan isu penting yang tidak pernah berhenti dibahas baik di
Negara terbelakang, Negara berkembang sampai dengan negara maju. Walaupun konteks yang
dibicarakan dan cara yang digunakanmerekaberbeda-beda, akantetapi pada dasarnya tujuan
yang diharapkan semua sama, yakni membawa negaranya masing-masing dari keadaan
sebenarnya saat ini menuju keadaan normative yang dianggap lebih baik. Hal ini seperti
pendapat Kantz (1971), pembangunan merupakan suatu proses perubahan pokok pada
masyarakat dari suatu keadaan nasional tertentu menuju kekeadaan lain yang dianggap lebih
bernilai.
Dalam hal pembangunan sering sekali dibahas mengenai persamaan gender dalam
pembangunan, dimana focus utama yang dimaksudkan adalah bagaimana melibatkan
perempuan di dalam pembangunan sebagaimana laki-laki. Permasalahan ini menurut kaum
feminis disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia perempuan itu sendiri, tentu
saja rendahnya sumber daya ini juga karena kurang terbukanya akses perempuan dalam hal
perbaikan sumber daya, hal ini menyebabkan kaum perempuan tidak dapat bersaing dengan
kaum laki-laki di dalam pembangunan.
Dengan adanya banyak fenomena yang muncul terkait dengan masalah gender dan
munculnya dua kubu yang sangat menghendaki adanya persamaan dan keadilan gender, untuk
titik ekstrim disebut sebagai kaum feminis, dan kaum yang berkehendak untuk tetap
membedakan gender antara laki-laki dengan perempuan, untuk titik ekstrim mereka disebut
sebagai kaum anti-feminisme.
Pembangunan negara dilakukan oleh semua warga negara tanpa terkecuali. Akan
tetapi, sampai saat ini masih dirasakan adanya ketidakseimbangan pembagian peran dalam
pembangunan negara tersebut, dalam hal ini adalah pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan. Banyak beranggapan bahwa wanita terlalu diberi porsi yang sangat kecil dan
termarginalkan karena kemampuannya cenderung untuk diragukan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gender?
2. Apa perbedaan gender laki-laki dan perempuan?
3. Bagaimana implikasi perbedaan gender pada perempuan?
4. Bagaimana hubungan gender dengan pembangunan?
5. Apa yang menjadi permasalahan gender dalam pembangunan?
6. Bagaimana solusi pemecahan masalah gender dalam pembangunan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian gender.
2. Untuk mengetahui perbedaan gender laki-laki dan perempuan.
3. Untuk mengetahui implikasi perbedaan gender pada perempuan.
4. Untuk mengetahui hubungan gender dengan pembangunan.
5. Untuk mengetahui permasalahan gender dalam pembangunan.
6. Untuk mengetahui solusi pemecahan masalah gender dalam pembangunan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gender
Istilah “gender” dikemukakan oleh para ilmuwan sosial dengan maksud untuk
menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang mempunyai sifat dasar yang diciptakan
dan berasal dariTuhan dan bentukan budaya (konstruksisosial). Seringkali orang mencampur-
adukkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati (tidak berubah) dengan yang bersifat non-
kodrati (gender) yang bisa berubah dan diubah. Perbedaan peran gender ini juga menjadikan
orang berpikir Kembali tentang pembagian peran yang dianggap telah melekat, baik pada
perempuan maupun laki-laki.
Istilah “gender” pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk
memisahkan pencirian manusia yang didasari pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya
dengan ciri-ciri fisik biologis. Gender disini yaitu memberikan Batasan dan membedakan laki-
laki dan perempuan dan ciri-cirifisik dan biologisnya dengan laki-laki dan perempuan dari
aspek kaitannya dengan sosial budaya.
Dalam sejarah ilmu sosial tokoh yang paling berjasa dalam mengembangkan istilah
dan pengertian Gender adalah Ann Oakley (1972) yang mengartikan gender sebagai
konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan
manusia. Sedangkan menurut BKKBN (Badan KoordinasiKeluargaBerencana Nasional) :
2007 Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan
perkembangan jaman.
Jadi secara singkat, Gender adalah perbedaan mengenai fungsi dan peran sosial laki-
laki dan perempuan yang dibentuk oleh lingkungan tempat kita berada. Gender lebih berkaitan
dengan anggapan dan kebiasaan yang berlaku di suatu tempat tentang bagaimana laki-laki dan
perempuan dianggap sesuai atau tidak sesuai (tidak lumrah) dengan tata nilai sosial dan
budaya setempat. Dengan demikian, gender dapat berbeda dari satu tempat ketempat lainnya
dan dapat berubah dari waktu kewaktu.
Masih banyak terjadi ketidakjelasan Batasan antara gender dan kodrat, sebagai contoh
apabila perempuan mengerjakan pekerjaan yang dianggap merupakan pekerjaan laki-laki,
maka dianggap menyalahi “kodrat”. Sebenarnya, hals eperti itu kurang tepat karena yang

3
dimaksud kodrat itu sendiri merupakan sifat biologis yang berasal dari Tuhan, bukan hasil
bentukan sosial dari lingkungan seperti halnya pekerjaan. Kodrat sifatnya tetap dan tidak bisa
berubah-ubah, wanita kodratnya melahirkan, mempunyai Rahim, dan perbedaan fisik biologis
lainnya yang sudah menjadi ciri seorang wanita, dan laki-laki kodratnya mempunyai jakun,
dan sebagainya, adapun kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan, hak memilih
pekerjaan, tempat dan jenis pekerjaan itu berkaitan dengan gender.
Ketidakjelasan batasan makna atas istilah gender tersebut telah mengakibatkan
perjuangan gender menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari kaum laki-laki
yang merasa terancam “hegemoni kekuasaannya” tapi juga datang dari kaum perempuan
sendiri yang tidak paham akan apa yang sesungguhnya dipermasalahkan oleh perjuangan
gender itu.
Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang
tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari seginilai dan tingkah laku. Dalam sebuah
literature disebutkan bahwa : “Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum
dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminine atau
maskulin”. Perangkat perilaku khusus ini yang mencakup penampilan, pakaian, sikap,
kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggungjawab keluarga
dan sebagainya secara bersama-sama memoles “peran gender” kita.
Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa “gender” adalah pembagian peran
sosial dalam satu lingkup masyarakat tertentu berdasarkan persepsi yang berlaku dalam
lingkup tersebut. Atau secara sederhana gender juga dapat diartikan pembagian peran dan
tingkah laku (feminin dan maskulin) berdasarkan nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan “sex” atau jenis kelamin adalah pembagian
manusia berdasarkan ciri-cirifisik dengan fungsi biologis yang dimilikinya. Ciri-ciri tersebut
seperti kumis, jenggot, penis, dan suara yang besar bagi laki-laki dan payudara, vagina, dan
suara kecil bagi perempuan.
Untuk lebih memperjelas perbedaan antara gender dan jenis kelamin, berikut adalah
tabel perbedaan antara gender dan jenis kelamin.

No Aspek Gender Jenis Kelamin


1 Dasar Konstruksisosial Takdir
2 Pencirian Persepsi kultur Biologis
Status yang dibentuk Feminin, maskulin Perempuan, laki-
3
laki
4
Jangkauan Kelompoksosialtertentu Universal, seluruh
4
dunia

B. Perbedaan Gender Antara Laki-Laki dan Perempuan


Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa gender tidaklah sama dengan jenis kelamin.
Jenis kelamin lebih bersifat kodrati sedangkan gender lebih memfokuskan pada pembagian
peranan dimana suatu peran cenderung bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan suatu
masyarakat. Akan tetapi walaupun keduanya adalah dua hal yang berbeda namun gender dan
jenis kelamin mempunyai suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Gender mempunyai
focus pada pembagian peranan berdasarkan jenis kelamin sehingga munculah peran yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang dalam hal ini muncul porsi peranan dua jenis
kelamin yang berbeda atau ketimpangan gender.
Perbedaan peranan sosial antara dua jenis kelamin ini mulai dibentuk sejak dini oleh
dua faktor penentu. Pertama adalah dari diri masing-masing individu yang berdasar jenis
kelamin yaitu perbedaan kadar hormonal. Perbedaan hormonal merupakan bawaan sejak lahir
dan akan nampak dengan sendirinya. Sebagai contoh pada laki-laki cenderung bersifat keras,
kasar, macho, melindungi, sedangkan pada perempuan lebih feminin seperti lemah lembut,
penyayang, lebih pasif, juga penuh rasa iba. Kedua yaitu faktor lingkungan. Pengaruh
lingkungan dapat menyebabkan penetapan sifat-sifat khas tersebut atau sebaliknya malah
menghilangkannya. Misal seorang anak perempuan yang sejak kecil bergaul dengan kelompok
anak laki-laki di kompleksnya, hingga ia tumbuh besar menjadi seorang yang tomboi.
Terdapatempatmacamperbedaanperan gender antaraperempuan dan laki-lakimenurut
Linda Sudiono, yaitu :
1. Pekerjaan. Laki-laki dianggap merupakan pekerja yang produktif, sedangkan perempuan
lebih bersifat reproduktif. Produktif disini mengandung arti lebih memberikan nilai
tambah suatu barang, erat kaitanya dengan pekerjaan yang membutuhkan kerja keras,
sedangkan reproduktif berarti kelangsungan atau pengelolaan suatu produksi. Contohnya
perempuan yang bekerja sebagai kuli pecah batu dianggap tabu karena biasanya pekerjaan
tersebut dilakoni para laki-laki.
2. Wilayah kerja. Laki-laki dianggap sebagai pekerja publik, sedangkan perempuan lebih
kepada sektor domestik. Biasanya orang mengartikan seorang perempuan wilayah
kerjanya di dapur, sumur, kasur.

5
3. Status. Laki-laki dianggap mempunyai status yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki dianggap sebagai aktor utama, berbeda dengan
perempuan yang dianggap sebagai aktor tambahan.
4. Sifat laki-laki erat kaitannya dengan maskulin seperti kuat, gagah, berani, tegas,
sedangkan perempuan kaitannya dengan feminin seperti lemah lembut, penyayang, juga
anggun.
Dalam konteks gender, terdapat tiga teori yang melihat perbedaan gender tersebut. Masing-
masing teori mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam melihat perbedaan gender, yaitu
feminisme kultural, teori peran institusional, dan teori yang didasarkan pada filsafat
eksistensial atau fenomenologis
1. Feminisme Kultural
Pada teori ini memusatkan pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat
secara kultural, atau bagaimana perempuan berbeda dari laki-laki. Teori ini memandang
perbedaan gender berdasarkan karakter dari jenis kelamin. Misalnya saja pada laki-laki lebih
bersifat maskulin sedangkan perempuan lebih ke feminin.

2. Peran Institusional
Teori ini mengemukakan bahwa perbedaan gender berasal dari perbedaan peran antara
laki-laki dan perempuan dalam berbagai latar institusional. Dalam teori ini yang paling
menentukan adalah pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Seperti diketahui kebanyakan
laki-laki diasumsikan sebagai pekerja kasar, sedangkan perempuan biasanya berada di
lingkungan rumah tangga.
3. Analisis Eksistensial dan Fenomenologis
Dalam teori ini perempuan dianggap sebagai objek sedangkan laki-laki sebagai
subjek, atau laki-laki dijadikan sebagai aktor utama sedangkan perempuan aktor tambahan,
sehingga muncullah perbedaan gender diantara keduanya. Teori ini lebih memarginalkan
perempuan sehingga derajatnya lebih rendah daripada laki-laki. Helene dan Irigaray
mengungkapkan bahwa pembebasan perempuan sebagai orang kedua akan datang apabila
mereka sanggup mengembangkan kesadaran dan kebudayaan yang unik dalam diri mereka.
C. Implikasi Perbedaan Gender pada Perempuan
eperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bagaimana perbedaan gender dengan sex
(jenis kelamin), letak sudut pandang yang sangat memegang peran, ketika berbicara gender

6
maka akan menghadirkan proses sosial ataupun kultural yang berlaku sedangkan jenis kelamin
merupakan kodrat tuhan yang didapat dari mulai lahir dalam bentuk ciri biologis. Ketika jenis
kelamin berbeda, maka antara laki – laki dengan perempuan kemudian akan mengakibatkan
perbedaan sikap dan peran yang disebut sebagai perbedaan gender.
Perbedaan gender hadir karena banyak faktor, di antaranya dibentuk, disosialisasikan,
diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan
maupun negara[9]. Perbedaan ini dalam masyarakat tidak terlalu diperhatikan sepanjang
perbedaan tersebut tidak menimbulkan diskriminasi. Akan tetapi, pada kenyataannya
perbedaan gender yang berkembang pada saat ini melahirkan banyak permasalahan.
Permasalahan paling utama yang ditimbulkan yaitu mengakibatkan ketidakadilan gender
(gender inequalities). Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk
ketidakadilan, mulai dari marjinalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan
tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif,
kekerasan (violence), beban kerja lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran
gender.
Marjinalisasi di sini diartikan sebagai suatu proses peminggiran akibat perbedaan
jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Marjinalisasi memberikan batasan kepada
perempuan dengan adanya peminggiran peran perempuan sehingga perempuan tidak lagi bisa
berbuat banyak dan beraktifitas ataupun berperan penting pada bagian masalah atau urusan
tertentu. Sebagai contoh, adanya peraturan adat bahwa anak perempuan tidak berhak
mendapatkan warisan, sehingga menimbulkan ketidakadilan dalam urusan pembagian harta.
Subordinasi berarti suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan
oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Kaum perempuan yang telah terkena
penilaian atau anggapan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki membuat perempuan
selalu memiliki kasta lebih rendah dari laki-laki, baik disisi pendidikan, pekerjaan, dan lain-
lain, sedangkan laki-laki lebih diutamakan dalam hal menuntut ilmu, pekerjaan, pembagian
peran, dan lain sebagainya.
Permasalahan lain adalah pemberian stereotipe terhadap kaum wanita. Sterotipe
berarti pemberian citra baku atau label/tanda kepada seseorang atau kelompok yang
didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Ketika citra buruk yang dibuat oleh
masyarakat tentang perempuan hadir, maka sering label tersebut memberikan dampak buruk
terhadap para perempuan. Dampak tersebut separti keyakinan bahwa faktor pendorong

7
terjadinya pemerkosaan karena memang sikap perempuan yang memancing kaum pria, tidak
ada dukungan untuk si perempuan sebagai korban justru tekanan karena diberi label
memancing hasrat laki-laki. Contoh lain adalah peran perempuan sebagai istri hanya sebagai
pelayan suami, jadi cukup di rumah saja.
Kemudian kekerasan (violence), artinya serangan atau invasi (assault) terhadap fisik
maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang dialami wanita dapat
berbentuk fisik maupun psikis. Pada umumnya kekerasan yang dimaksud adalah kekerasan
fisik. Padahal pada kenyataannya, baik kekerasan fisik maupun kekerasan mental tersebut
sebenarnya sama-sama berbahaya karena kekerasan secara fisik akan menimbulkan sakit atau
di tubuh yang juga membekas secara mental, sedangkan kekerasan psikis akan selalu
memberikan bayangan buruk pada seseorang hingga tidak berani melakukan apapun.
Ketidakadilan yang sangat umum terjadi namun kurang begitu disadari adalah beban
ganda (double burden). Artinya, beban pekerjaan yang diterima oleh satu pemeran gender
dengan yang lain memiliki porsi lebih banyak dan tida seimbang. Ketidakadilan gender dalam
bentuk peran ganda ini berlaku ketika seorang wanita bekerja dan memiliki karir tertentu.
Perempuan yang memiliki peran karir atau kerja juga diwajibkan mengurus rumah, bila tidak
maka dipandang tidak wajar, sehingga peran mereka menjadi ganda. Hal tersebut tentu saja
memberikan dampak memberatkan bagi pihak wanita yang terkadang hal tersebut juga
menekan pikiran pihak perempuan.
Hal yag berlaku dalam mayarakatn masyarakat, meskipun perbedaan gender sudah
dianggap sebagai hal yang wajar, tetapi terkadang tetap saja memberi kerugian kepada satu
pihak tertentu. Contoh yang sering terjadi adalah bahwa perempuan selalu dianggap cengeng,
emosional, perempuan tempatnya didapur, lemah, dan oleh sebab itu sering terjadi kekerasan
terhadap perempuan terutama di dalam lingkungan rumah tangga. Jika perempuan bekerja,
maka itu ditujukan hanya untuk mencari nafkah tambahan, karena laki – laki dipandang
sebagai pencari nafkah utama. Debgan demikian terjadilah penanggunganganda sekaligus,
yakni beban bekerja dan beban urusan rumah tangga. Perempuan memikul beban berlipat,
meski mereka bekerja disektor publik, tetapi pekerjaan mereka dalam keseharian tidak
berkurang, inilah yang menyebabkan beban ganda pada perempuan. Perempuan juga sering
kali menjadi objek ‘keisengan’ lelaki hidung belang, sehingga tak jarang terjadi pelecehan
seksual terhadap perempuan.

8
D. Hubungan Gender dengan Pembangunan
1. Isu Gender dalam Pembangunan
Walaupun mencuatnya isu gender lebih disebabkan kerena gertakan dari kaum
feminisme, namun pembangunan tetaplah hal yang universal. Oleh karena itu, bila tuntutan
tersebut hanya mengacu pada substansi perempuan, maka akan menjadi pertanyaan balik
bagi kaum laki-laki, kaum laki-laki akan menuntut hal yang sama. Oleh karena itu, maka
gender merupakan suatu hal yang harus dipandang secara keseluruhan dalam pembangunan
Apabila dibayangkan, hubungan antara gender dengan pembangunan terasa masih
membingungkan. Padahal, bagaimanapun metode dan konsep pembangunan pasti akan
diikuti atau berpengaruh pada kehidupan baik spesifik pada laki-laki, perempuan, atau
keduanya. Oleh karena itu, pembahasan gender dengan pembangunan bukanlah hal yang
dapat diapresiasi dengan sikap skeptis. Isu gender merupakan suatu isu yang menuntut
keadilan konstruksi sosial maupun kultural antara kaum laki-laki dengan perempuan.
Dalam tuntutan konstruksi ini, keseimbangan fungsi, status, dan hakekat antar jenis kelamin
diharapkan dapat direalisasikan. Sebaliknya, pembangunan merupakan suatu konstruksi
perubahan yang terjadi di masyarakat dari kondisi sosio-kultural tertentu menuju ke arah
sesuatu yang dianggap lebih bernilai[17]. Selain itu dapat juga diartikan sebagai usaha
pengentasan keterbelakangan. Oleh karena itu semua, gender dan pembangunan adalah
suatu korelasi timbal balik antara satu dengan yang lain.
Kesejahteraan merupakan tujuan utama dari adanya pembangunan. Substansi dari
kesejahteraan salah satunya dengan adanya keadilan. keadilan sendiri bukanlah hal yang
dapat dengan mudah diperhitungkan secara matematis. Keadilan dalam ekonomi belum
dapat dikatakan sebagai kesimpulan keadilan, melainkan baru sebatas substansi keadilan.
Untuk itu, aspek manusia tidak dapat diabaikan, karena sudah hakekat manusia sebagai
homo politicus. Lantas, pertanyaan yang muncul adalah tentang bagaimana cara
pembenahan bila dari segi manusia dalam bersosial tidak ada kesejahteraan?. Mencoba
mendalami isu ini, maka muncul pertanyaan baru, yakni apakah pembangunan yang tujuan
utamanya untuk mencapai kesejahteraan mengabaikan atau hanya sekilas mengintip
masalah gender?. Inilah yang selalu dipertanyakan dan dituntut oleh para aktivis gender,
khususnya kaum feminisme.
Melihat fakta yang ada selama ini ada, memang dapat dirasakan bahwa pembangunan yang
dilakukan hanyalah mekanisme yang dilakukan oleh pihak kapitalis. Kesejahteraan yang

9
menjadi tujuan utama dari pembangunan dirubah menjadi unsur pembangunan. Pembangunan
sampai dewasa ini lebih meningkatkan dari segi infrastruktur dan ekonomi. Sektor
keseimbangan dalam hal ini gender kurang diperhatikan. Hal ini disebabkan bahwa terdapat
suatu penyimpangan dalam konsep pembangunan. Pembangunan yang terjadi hanya sedikit
yang berlandaskan untuk kesejahteraan dan kebanyakan pembangunan akan tersus
digencarkan guna mengikuti dan menyamai perkembangan zaman oleh bangsa-bangsa dunia
ketiga kepada bangsa-bangsa maju. Mungkin, logika seperti ini dapat menjadi salah satu
kritik atas pembangunan pada dunia ketiga.

2. Bias Gender dalam Partisipasi Pembangunan


Tindakan yang bersinggungan pada orang lain adalah partisipasi. Sedemikian
sederhana inti dari partisipasi. Namun demikian, hal tersebut akan bertambah rumit dan
kompleks bila sudah tercampur urusan serba politik. Gambaran politik di sini bukan
dipandang dari sudut tata pemerintahan dan kenegaraan, melainkan lebih pada wacana
mengenai kekuasaan, kewenangan, dan pengaruh. Gender sebagaimana realita di lapangan,
terlintas bayangan gelap atas diskriminasi. Diskriminasi gender dalam partisipasi lebih
banyak dirasakan oleh kam feminis.
Terdapat banyak perdebatan gender mengenai siapa yang salah dan siapa yang
menjadi kawan atau lawan dalam hal partisipasi pembangunan. Pertama adalah pendapat
feminisme liberalis, mereka menganggap bahwa partisipasi dalam pembangunan
seharusnya mengikuti pada konsep struktur fungsionalisme. Para kaum liberalis
menganggap bahwa dalam pembangunan harus ada keharmonisan dan saling melengkapi
antara satu dengan yang lain. Jadi, dari kacamata feminisme liberalis partisipasi
pembangunan seharusnya dan sudah memakai aturan yang sedemikian rupa. Apabila ia
merasa terdiskriminasikan maka itu merupakan kesalahan yang ia lakukan sendiri. Artinya,
adanya partisipasi adalah hasil dari kemauan dari seorang partisipan sendiri, bukan dari
pihak lain yang menyuruh atau menghalangi berpartisipasi.
Pendapat kedua bersal dari Feminisme Radikalis. Kaum ini tersirat hanya berfikir
pragmatis dalam menghadapi suatu masalah. Terbukti dalam melihat partisipasi dalam
pembangunan yang mana kebanyakan kaum perempuan (feminis) lebih banyak
terpinggirkan, semua kesalahan dan penyebab diletakan pada faktor seks. Kesalahan mutlak

10
dibebankan pada laki-laki. Oleh karena itu, prinsip yang mereka ajukan dalam
berpartisipasi pembangunan adalah dengan menghancurkan hegemoni patriokal.
Setelah radikalis, muncul aliran baru yang mana pendapat ini lebih banyak diterima
yakni feminisme sosialis. Mereka memang secara sadar juga meletakan faktor hegemoni
patriokal sebagai suatu penyebab yang mana dikawinkan dengan analisi kelas dari teori
marxis[19]. Menyinggung kembali mengenai hegemoni patriokal, dalam pandangan sosialis
memang hal tersebut sepatutnya diredam. Namn demikian tidak secara ekstrim seperti
radikalis, sosialis lebih menuntut pada mekanisme struktur yang mna seharsnya ada suat
keterbukaan yang harus disediakan bagi kaum feminis. Terlebih konsep struktur yang
mereka ambil dari paham marxisme, yakni suatu dominasi kapitalis sebaiknya tidak ada
dan yang ada adalah suatu hidup bersama tanpa ada dominasi.

Lantas, dilain pihak bagaiman dengan kam masklinisme?. Secara posisi mereka
lebih diuntungkan dari pada pihak perempuan. Banyak dan mudah mereka menembus
mekanisme pembangunan. Namun demikian, secara tersirat ada suatu beban yang terus
membayanginya. Beban tersebut dirasa ketika mereka ditntut untuk dapat produktif demi
memenhi kebutuhan hidup. Perasaan itu muncul ketika ia tertekan bahwa seharusnya
kaum merekalah yang harus bekerja untuk mencari nafkah dari pada kaum perempuan.
Oleh karena itu, diskriminasi gender merupakan hal yang merugikan kedua belah pihak,
baik laki-laki maupn perempuan. Demikianlah pendapat mengenai konsep partisipasi
yang harus dibedayakan gender dalam pembangunan dan masih banyak pendapat lain
diluar sana mengenai konteks gender dan pembangunan.
Lalu, partisipasi seperti apa yang seharusnya diungkit dalam pembangunan.
Pembangunan merupakan suatu konstruksi yang mengarah pada satu kehidupan yang
lebih maju. Dalam menuju proses kemajuan tersebut harus melihat pada satu aspek yang
sangat penting, yaitu keseimbangan. Dengan mengembalikan pada aspek keadilan
tentunya keseimbangan akan terwujud. Karena adanya diskriminasi gender yang terjadi
dan hal itu telah menjadi suatu label dalam hidup, maka cara yang dilakukan untuk
melakukan bias gender dengan mengubah cara pandang pada suatu isu. Tidak perlu
muluk-muluk, perubahan cukup pada suatu penghayatan dan kepercayaan sifat dan fungsi
gender. Maksudnya, antara kaum maskulin dan feminis terbelah bukan karena ada suatu
identifikasi kelompok, namun lebih pada siapa yang saling cukup mencukupi antara satu

11
dengan yang lain. Maka dari itu, konsep partisipasi pembangunan adalah dengan
melimpahkan pembangunan pada suatu kebutuhan dari masing-masing gender yang mana
dapat terakmlasi pada suatu program. Dengan demikian pembangunan untuk
kesejahteraan dapat terlaksana karena memang bertujuan kesejahteraan dan bukan untuk
mengejar idealitas bangsa maju. Satu hal penting, bahwa idealitas maju bukan merupakan
koreksi, proyeksi, diukur dan dibandingkan dengan negara lain, melainkan hasil kepuasan
tersendiri dari suatu negara atas kesejahteraan yang rasional. Maksudnya, ada kalanya
penafsiran kesejahteraan atas dasar skeptis terhadap lingkungan dan merasa dirinya sudah
tercukupi walau menyimpang dari konteks kesejahteraan lingkungan.
E. Permasalahan Gender dalam Pembangunan
Pembangunan tidak hanya menjadi isu hak asasi manusia ataupun keadilan saja,
melainkan juga menjadi isu kesejahteraan untuk memperoleh keadilan. Dalam permasalahan
gender dan pembangunan banyak aktivis pembangunan melihat orang sebagai sebuah
sekelompok sasaran yang tidak mencoba untuk memahami realitas yang berbeda dari
kehidupan laki-laki dan dari kehidupan perempuan, yang mengakibatkan adanya hubungan
permasalahan dalam gender dan pembangunan. Permasalahan-permasalahan tersebut
misalnya:
 Perempuan dan Pendidikan
Banyak sebagian anak perempuan yang sama sekali tidak bersekolah, dimana pada
saat itu orangtua masih mempunyai pandangan bahwa anak laki-laki lebih kuat dari pada
perempuan. Anak laki-laki lebih bisa diandalkan dari pada anak perempuan. Sehingga
mereka memiliki keinginan untuk mempunyai keturunan laki-laki saja daripada mempunyai
keturunan perempuan. Dikarenakan anak laki-laki dianggap dapat memikul tanggungjawab
dan dapat melanjutkan usaha-usaha misalnya mengurus ladang yang di garap oleh
orangtuanya tersebut, serta membantu orangtua apabila orangtua mereka sudah terlalu tua
dan tidak dapat bekerja untuk mengurusi ladangnya, sehingga anak laki-lakinya dapat
meneruskan untuk membantu orangtuanya mengurus ladang mereka, sedangkan anak
perempuan kelak jika ia dewasa hanya akan diam di dapur setelah itu menikah, berbeda
dengan anak laki-laki meskipun kelak dewasa dan mereka akan menikah tetapi
tanggungjawabnya tetap akan ia jalankan.
 Perempuan dan Bekerja

12
Perempuan memiliki tingkat pengangguran lebih tinggi dari pada laki-laki.
Perempuan bekerja hanya dalam kategori yang paling dieksploitasi seperti pertanian dan
ibu rumah tangga. Padahal perempuan mampu untuk bekerja keras dalam kinerjanya,
namun untuk bekerja saja perempuan hanya mendapatkan upah yang sangat rendah dari
pada laki-laki, meskipun beban yang ia tanggung sama-sama berat dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh laki-laki. Ilustrasinya adalah sebagai berikut:

Sebuah proyek pembangunan pedesaan di negara Afrika memberikan pinjaman


yang tersedia untuk laki-laki sebagai kepala rumah tangga untuk mengembangkan pertanian
kecil. Ini merupakan tanggapan atas penilaian kebutuhan yang menemukan bahwa
pertanian di daerah yang dibutuhkan beberapa penanaman modal untuk menjadi produktif.
Ketika sebagian besar proyek-proyek ini gagal, penyandang dana menyelidiki dan
menemukan bahwa pinjaman tersebut tidak digunakan untuk pertanian, atau jika digunakan
itu untuk hal-hal yang tidak pantas. Mereka juga menemukan pertanian yang sebenarnya
dilakukan oleh perempuan dan sebagian besar orang pergi untuk bekerja di kota-kota.
Namun pinjaman tersebut dibuat untuk para pria dan, karena peran tradisional mereka
sebagai kepala keluarga, mereka bisa membuat keputusan tentang bagaimana menggunakan
uang.

Sebuah analisis gender dilakukan dan mengatasi masalah – menjadi jelas bahwa
perempuan petani, memiliki sedikit suara dalam rumah tangga atau masyarakat. Pinjaman
kepada perempuan, layanan dukungan dan forum untuk membuat keputusan kolektif
didirikan dan uang itu digunakan untuk menghidupkan petani miskin yang hampir tidak
selamat menjadi lebih produktif.

F. Solusi Pemecahan Masalah Gender dalam Pembangunan


Seperti yang telah dijelaskan bahwa ada beberapa hubungan antara masalah gender dan
pembangunan seperti masalah perempuan dengan pendidikan serta masalah perempuan
dengan lapangan pekerjaan. Dari masalah gender tersebut dapat kita lihat bahwa pada
kenyataannya, peran dan kesempatan perempuan dalam memperoleh pendidikan dan
memperoleh pekerjaan masih sangat minim jika dibandingkan dengan kaum pria. Sehingga
partisipasi perempuan dalam pembangunan juga masih kurang.

13
Permasalahan gender tersebut memang telah ada sejak zaman dahulu, namun, bukan
berarti permasalahan kesetaraan gender tidak dapat terselesaikan. Terdapat beberapa solusi
yang dapat menjadi alternative untuk menyelesaikan masalah gender ini yaitu salah satunya
dengan melibatkan pemerintah/negara dalam menyeleasiakan masalah gender itu sendiri,
yakni:
1. Peran pemerintah dalam permasalahan perempuan dan pendidikan.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di suatu Negara, tentunya
mempunyai tanggung jawab yang besar untuk mewujudkan kesetaraan gender di Negara
yang dipimpinnya. Bentuk peran pemerintah dalam masalah ini dapat berupa intervensi
publik seperti mengontrol dan mengawasi, mensubsidi, mendorong dan mengatur,
melarang dan menghukum serta menyediakan layanan.
Sedangkan di dunia pendidikan pemerintah bisa melakukan investasi atau
memberikan subsidi dan mengajak pihak lain untuk melakukan investasi dibidang
pendidikan khususnya yang berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan perempuan.
Misalnya pemerintah memberikan subsidi kepada sekolah khusus perempuan dan
lembaga pelatihan keterampilan khusus perempuan agar tercipta kesetaraan gender
dimasyarakat. Karena secara tidak langsung, bila mutu pendidikan dan keterampilan
perempuan semakin ditingkatkan maka para perempuan yang telah mendapatkan
pendidikan dan keterampilan tersebut dapat berkerja sesuai keterampilan yang mereka
dapatkan. Dan dengan begitu tingkat partisipasi perempuan didalam pembangunan akan
meningkat dan diharapkan akan tercipta kesetaraan gender antara perempuan dan laki-
laki.
2. Peran pemerintah dalam permasalahan perempuan dan bekerja
Kasus permasalahan gender yang terjadi di Afrika merupakan contoh kecil dari
permasalahan gender dibidang pekerjaan yang sedang terjadi di dunia saat ini. Di
Indonesia sendiri kasus gender dibidang pekerjaan sangatlah bervariatif diantranya yaitu
besarnya tingkat pengangguran perempuan dibandingkan pengangguran laki-laki serta
upah buruh perempuan yang lebih kecil dibandingkan upah buruh laki-laki.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka sangat dibutuhkan intervensi dari
pemerintah. Karena dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah maka pemerintah
dapat membuat UU yang mengatur tentang ketentuan kriteria pekerjaan berdasarkan pada
keterampilan bukan berdasarkan pada jenis kelamin selain itu pemerintah juga dapat

14
menentukan standar upah berdasarkan tingkat pekerjaan yang dilakukan bukan
berdasarkan jenis kelamin. Peraturan tersebut tentunya ditunjukan kepada pihak
perusahaan baik milik swasta ataupu milik Negara. Dengan begitu, pemerintah
mempunyai kewenangan untuk memberikan hukuman kepada perusahaan yang
melanggar UU tersebut. Bila UU ini dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin maka
dapat dipastikan kesetaraan gender di bidang tenaga kerja akan terwujud dengan
sendirinya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

15
Gender yang terkait dengan tingkah laku dan pembagian fungsi ke dalam bentuk
feminin dan maskulin berbeda dengan jenis kelamin yang lebih mengklasifikasikan manusia
berdasarkan struktur dan ciri biologis. Akan tetapi walaupun keduaya adalah dua hal yang
berbeda, namun gender dan jenis kelamin mempunyai suatu hubungan yang tidak dapat
dipisahkan. Gender mempunyai fokus pada pembagian peranan berdasarkan jenis kelamin
sehingga munculah peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang dalam hal ini
muncul porsi peranan dua jenis kelamin yang berbeda atau ketimpangan gender.
Di seluruh belahan penjuru dunia manapun masih banyak sekali permasalahan
persamaan dan keadilan gender dan pihak yang dirugikan selalu saja perempuan. Bentuk
permasalahan tersebut seperti marjinalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau
anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui
pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih banyak (burden), serta sosialisasi
ideologi nilai peran gender. Oleh karena itu muncullah keum feminis yang berusaha untuk
mensejajarkan peran perempuan dengan peran laki-laki.
Persamaan gender dalam pembangunan adalah suatu hal yang sangat penting dalam
keberlangsungan hidup suatu Negara. Hal ini terjadi karena bagaimanapun juga pembangunan
Negara adalah hak dan tanggung jawab setiap warganya tanpa terkecuali, baik laki-laki maupun
perempuan. Jadi, jika selama ini banyak anggapan bahwa kaum wanita yang memiliki peran
feminin itu tidak penting dalam pembangunan suatu Negara adalah suatu pandangan yang keliru.
Bahkan dalam agama Islam diajarkan bahwa wanita adalah tiang Negara yang mana menentukan
tegak-rubuhnya Negara tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan dalam
pembangunan sangatlah penting bahkan lebih penting daripada laki-laki karena perempuanlah
pihak yang melahirkan serta mendidik generasi-generasi pembangun Negara.

B. Saran
Didalam pembuatan makalah ini ada banyak kesalahan dan kekurangan untuk itu
kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini dan juga presentasi kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

16
Fakih, Mansour. 1996. “Menuju Dunia yang Lebih Adil MelaluiPerspektif
Gender: SebuahPengantar“ dalamMosse, Julia Cleves.1996. . Gender dan Pembangunan (versi
Indonesia darijudulasli Half The World, Half a Chance). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

             . 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

https://arifcintaselvia.wordpress.com/kuliah/teori-pembangunan/gender-dan-
pembangunan/diakses pada tanggal 24 Mei 2021

17

Anda mungkin juga menyukai