Disusun oleh:
T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
Salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita nabi
Muhammad SAW yang telah menjadi guru terbaik dan menjadi suri tauladan bagi
umat islam diseluruh dunia. makalah ini penulis susun untuk memenuhi syarat
penilaian pada mata kuliah yang bersangkutan.
Dan penulis harap makalah ini dapat bermanfaat, baik untuk penulis
maupun peserta didik lainnya. Dalam menyusun makalah ini pula, penulis
berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan sumber- sumber dan informasi.
Terima kasih kepada dosen pengajar yang telah membimbing dalam
menyelesaikan makalah ini.
Untuk itu saran dan kritik penulis harapkan berkenaan dengan pembuatan
makalah ini, demi kesempurnaanya. Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima
kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
A. Negara
B. Ideologi Negara
C. Demokrasi
E. Kebebasan Pers
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada Masa Orde Lama, tepatnya pada tahun 1960, pers diwajibkan
mendukung dan membela Manifesto Politik RI, Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Demokrasi Terpimpin, serta kebijakan-kebijkana lain yang ditetapkan pemerintah.
Sejak lahirnya UU Pokok Pers tahun 1966, terdapat sebuah kemajuan dalam hal
kebebasan pers berupa ditiadakannya sensor dan pembredelan. Namun, ketentuan
ini “dimandulkan” dengan adanya pasal dalam undang-undang yang sama yang
menyatakan masih diperlukannya Surat Izin Terbit atau SIT (Swantoro dan
Atmakusumah dalam Surjomiharjo.
Pada masa Orde Baru, pers Indonesia sempat mengalami dua kondisi yang
bertolak belakang. Menurut para jurnalis senior seperti Mochtar Lubis dan
Rosihan Anwar, peristiwa Malari yang terjadi pada tahun 1974 merupakan titik
balik pers Indonesia masa Orde Baru.
PEMBAHASAN
A. Negara
B. Ideologi Negara
Kata ‘idea’ berasal dari kata bahasa Yunani‘eidos’ yang artinya ‘bentuk’.
Disamping itu masihdiketemukan katalain yakni ‘idein’ yang berarti‘melihat’.
Dengan demikian secara harafiah ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-
ide, atauajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Dalampengertian sehari-hari,
‘idea’ disamakan dengancita-cita, yakni cita-cita yang bersifat tetap, yangharus
dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat tetapitu sekaligus merupakan dasar,
pandangan ataufaham.
C. Demokrasi
Hal itu dapat dilihat dari menjamurnya media massa yang memberitakan
tentang gosip-gosip selebritis, seperti perselingkuhan dan lain-lain. Sampai
sekarang, tidak ada jaminan bahwa realitas empiris lebih benar daripada realitas
wacana. Belum tentu pengumpulan fakta-fakta yang bersandar pada realitas
empiris lebih benar daripada pengumpulan fakta-fakta yang bersandar pada
realitas wacana. Namun demikian, menurut konsepsi jurnalisme, liputan pers dan
media massa berorientasi pada liputan di medan peristiwa. Fakta-fakta yang bisa
ditunjukkan parameternya, bisa diukur dan diamati dan diasumsikan punya
akurasi lebih tinggi. Liputan pers yang bersandar pada realitas empiris dianggap
mendekati kebenaran faktual.
Karena itu, semakin besar blow up yang digunakan oleh pers dan media
massa dengan orientasi realitas wacana (beritanya berasal dari wawancara dengan
jaksa, LSM tanpa melakukan penelusuran bukti di lapangan dan pengumpulan
fakta di lapangan dan mengkumpulkan fakta melalui investigasi) semakin besar
juga terjadi trial by the pers. Sekurangkurangnya, dengan kecenderungan liputan
seperti itu, pers turut menciptakan opini publik agar hakim hanya satu pilihan
vonis, yaitu bersalah terhadap terdakwa. [ CITATION Ari10 \l 1057 ]
Trial by the court tidak boleh menjadi trial by the perss karena
pemberitaan yang cenderung memberikan opini terhadap bersalahnya seorang
tersangka, di samping melanggar asas utama dari suatu negara hukum, yakni
kebebasan kehakiman, juga merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, yaitu
mengurangi hak untuk membela diri secara yuridis. Adapun yang dimaksud
membela secara yuridis adalah hak seseorang ketika diduga melakukan tindak
pidana. Dia berhak untuk mendapat proses peradilan yang bebas, dan dia tidak
bisa dikatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Hal ini dapat dilihat dalam pasal 24 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman menurut Undang-undang, maka tidak ada pemberian kekuasaan di luar
kehakiman dalam menghakimi seseorang. Dengan demikian, penghakiman oleh
pers merupakan perbuatan yang melanggar konstitusi yaitu pasal 24 UUD 1945,
dan hakim yang profesional tidak akan terpengaruh oleh tanggapan pers yang
bebas.
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Junaidi, 2016, Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum, Malang, Setara Press