Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH DEMOKRASI DAN PERS

Disusun oleh:

M. Iqbal Bahy Saputra (199110036)

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.

Salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita nabi
Muhammad SAW yang telah menjadi guru terbaik dan menjadi suri tauladan bagi
umat islam diseluruh dunia. makalah ini penulis susun untuk memenuhi syarat
penilaian pada mata kuliah yang bersangkutan.

Dan penulis harap makalah ini dapat bermanfaat, baik untuk penulis
maupun peserta didik lainnya. Dalam menyusun makalah ini pula, penulis
berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan sumber- sumber dan informasi.
Terima kasih kepada dosen pengajar yang telah membimbing dalam
menyelesaikan makalah ini.

Untuk itu saran dan kritik penulis harapkan berkenaan dengan pembuatan
makalah ini, demi kesempurnaanya. Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima
kasih.

Pekanbaru, 31 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

BAB II PEMBAHASAN

A. Negara

B. Ideologi Negara

C. Demokrasi

D. Pers Pilar Demokrasi

E. Kebebasan Pers

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pers, sebagai pilar keempat demokrasi di samping legislatif, eksekutif, dan


yudikatif memegang peranan penting dalam berjalannya kehidupan bernegara.
Pers berperan untuk menjaga keseimbangan antara pilar-pilar penyelenggaraan
negara, serta menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengawasi jalannya
pemerintahan yang telah mereka mandatkan pada para penyelenggara negara.
Wajah pers Indonesia sendiri mengalami pergantian dari waktu ke waktu.

Pada Masa Orde Lama, tepatnya pada tahun 1960, pers diwajibkan
mendukung dan membela Manifesto Politik RI, Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Demokrasi Terpimpin, serta kebijakan-kebijkana lain yang ditetapkan pemerintah.
Sejak lahirnya UU Pokok Pers tahun 1966, terdapat sebuah kemajuan dalam hal
kebebasan pers berupa ditiadakannya sensor dan pembredelan. Namun, ketentuan
ini “dimandulkan” dengan adanya pasal dalam undang-undang yang sama yang
menyatakan masih diperlukannya Surat Izin Terbit atau SIT (Swantoro dan
Atmakusumah dalam Surjomiharjo.

Pada masa Orde Baru, pers Indonesia sempat mengalami dua kondisi yang
bertolak belakang. Menurut para jurnalis senior seperti Mochtar Lubis dan
Rosihan Anwar, peristiwa Malari yang terjadi pada tahun 1974 merupakan titik
balik pers Indonesia masa Orde Baru.

Memasuki era reformasi, di tengah eforia dan tuntutan dari masyarakat


akan perbaikan di segala bidang termasuk mengenai regulasi, pada 23 September
1999 lahirlah Undang-Undang Pokok Pers baru yang menggantikan regulasi
setingkat UU yang sebelumnya berlaku. Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999
Tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pokok Pers tahun 1999) merupakan
regulasi pada tingkat undang-undang yang pertama kali dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang mengatur mengenai dunia
pers di Indonesia dalam era reformasi. Sebelumnya, negara menggunakan
Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana
Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967. Produk legislasi era
Orde Baru inidinilai merupakan cara pemerintah untuk mengekang kebebasan
pers, membenarkan pembredelan terhadap media massa, serta mendominasi
sumber dan arah penyebaran informasi kepada masyarakat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Negara

Lahirnya negara, seperti halnya yang terjadi pada era kemerdekaan


Indonesia. Definisi negara tidak bisa hanya didefinisikan pada sebuah ikatan
perjanjian oleh masyarakat. Definisi negara pada era kemerdekaan membutuhkan
bukan hanya perjanjian, akan tetapi juga pengakuan negara lain kejelasan dalam
wilayah negara, adanya penduduk dan legitimasi pemerintahan. Di sini jelas sekali
bahwa berkenaan dengan definisi negara memang seharusnya setiap masa terdapat
penyesuaian dengan kebutuhan sesuai kondisi dan kebutuhan.

Model dan bentuk pengertian negara yang demikian kemudian melahirkan


adanya definisi Negara yang akan berubah-ubah setiap masa. Perubahan tersebut
nantinya juga dapat terjadi pada masa yang akan datang. Pada masa yang akan
datang, pengertian Negara tidak hanya yang penulis definisikan yaitu suatu
wilayah dengan penduduk yang memiliki kesamaan paham untuk membentuk
pemerintahan dengan didukung pengakuan dari negara lain, akan tetapi bisa juga
ditambah lagi dengan adanya istilah pengakuan dari lembaga internasional (seperti
contohnya Perserikatan Bangsa-Bangsa). [ CITATION Jun16 \l 1057 ]

Definisi Negara yang pada prinsipnya bersifat dinamis bertolak belakang


dengan pengertian ilmu Negara yang bersifat statis. Ilmu Negara lebih cenderung
di artikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok,
pengertian-pengertian pokok dan masalah-masalah yang berhubungan dengan
negara.

B. Ideologi Negara
Kata ‘idea’ berasal dari kata bahasa Yunani‘eidos’ yang artinya ‘bentuk’.
Disamping itu masihdiketemukan katalain yakni ‘idein’ yang berarti‘melihat’.
Dengan demikian secara harafiah ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-
ide, atauajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Dalampengertian sehari-hari,
‘idea’ disamakan dengancita-cita, yakni cita-cita yang bersifat tetap, yangharus
dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat tetapitu sekaligus merupakan dasar,
pandangan ataufaham.

Menurut Notonagoro ideologi negara se-bagai cita-cita negara, atau cita-


cita yang menjadibasis bagi suatu teori atau sistem kenegaraanuntuk seluruh
rakyat dan bangsa yang bersangkut-an yang pada hakeketnya merupakan asas
kero-khanian yang antara lain memiliki ciri sebagai berikut:

a. Mempunyai derajat yang tertinggi sebagainilai hidup kebangsaan dan


kenegaraan;
b. Oleh karena itu mewujudkan suatu asas kero-khanian, pandangan dunia,
pandangan hidup,pedoman hidup, pegangan hidup yang dipe-lihara,
dikembangkan, diamalkan, dilestarikankepada generasi berikutnya,
diperjuangkandan dipertahankan dengan kesediaan ber-korban.

Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negaraIndonesia bukanlah hasil dari


olah fikir perse-orangan yang kemudian dinobatkan menjadisebuah ideologi.
Soekarno mengatakan bahwa Pan-casila digali dari bumi pertiwi, dan bumi
Indone-sia sendiri, artinya bahwa Pancasila berisi nilai-nilai, moral dan budaya
bangsa Indonesia yangsudah ada sejak bangsa Indonesia ada dan bukan ideologi
yang dipaksakan dari luar. Nilai-nilai itu-pun tidak serta merta diberlakukan
begitu saja,tetapi melalui sebuah proses panjang yang terbukadan demokratis yang
pada akhirnya perbedaan-perbedaan yang ada dapat dikompromikan dalamsebuah
kesepakatan bersama. Ini berarti sebagaiideologi, Pancasila tidak bersifat tertutup
melain-kan menempatkan diri sebagai ideologi terbuka.[ CITATION Mus16 \l 1057 ]

Ideologi terbuka tidak hanya dapat dibe-narkan, melainkan dibutuhkan.


Oleh karena ituideologi terbuka adalah milik seluruh rakyat,sehingga masyarakat
dapat menemukan dirinya,kepribadiannya di dalam ideologi tersebut.Ideologi
terbuka ini berisi nilai-nilai dasar, dalamteori stuffen dari Hans Kelsen berada
pada posisiyang tertinggi sehingga isinya tidak operasional.Nilai-nilai itu baru
dapat dioperasionalkan ketikasudah dijabarkan dalam keputusan-keputusanyang
sudah diberi bentuk berupa konstitusi atauperaturan perundang-undangan yang
lainnya.

Ideologi Pancasila yang bersifat aktual, dina-mis, antisipatif, dan


senantiasa mampu menyesuai-kan dengan perkembangan zaman. Sebagai
ideologiterbuka maka Pancasila memiliki dimensi sebagaiberikut:

a) Dimensi idealis, yaitu nilai-nilai dasar yangterkandung dalam Pancasila


yang bersifatsistematis dan rasional yaitu hakikat nilai-nilaiyang
terkandung dalam lima sila: ketuhanan,kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dankeadilan, maka dimensi idealis Pancasila ber-sumber pada
nilai-nilai filosofis yaitu filsafat Pancasila. Oleh karena itu dalam setiap
ideo-logi bersumber dari pandangan hidup nilai-nilai filosofis;
b) Dimensi normatif, nilai-nilai yang terkandungdalam Pancasila perlu
dijabarkan dalam suatusistem norma, sebagaimana terkandung
dalamPembukaan UUD NKRI 1945 yang memilikikedudukan tertinggi
dalam tertib hukum In-donesia.

Dalam pengertian ini maka Pem-bukaan yang di dalamnya memuat


Pancasiladalam alinea IV, berkedudukan sebagai ‘staatsfundamental norm’, agar
ideologi mampudijabarkan ke dalam langkah operasioanalperlu memiliki norma
yang jelas (Poespowar-doyo dalam Kaelan, 2016, 117).c. Dimensi realistis, suatu
ideologi harus mampumencermnkan realitas yang hidup dan ber-kembang dalam
masyarakat oleh karena ituPancasila selain memiliki dimensi nilai-nilaiideal
normatif, maka Pancasila harus dijabarkan dalam kehidupan nyata sehari-hari
baikdalam kaitannya bermasyarakat maupun dalamsegala aspek penyelenggaraan
negara.
Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi terbukatidak bersifat
‘utopis’yang hanya berisi ide-ide yang mengawang, namun bersifat realistis
artinya mampu dijabarkan dalam kehidupanyang nyata dalam berbagai bidang.

C. Demokrasi

"Demokrasi" adalah sebuah kata yang begitu sering diucapkan. Namun,


makin banyak ia dibahas makin terasa betapa sulit mencari contoh tentang negara
yang memenuhi tatanan demokrasi secara sempurna. Di Indonesia, pencarian
terhadap sosok demokrasi pun terus digelar, baik pada aras praktik sistem politik
maupun kajian akademik. Dalam aras akademik, sejumlah makalah dikupas habis-
habisan dalam berbagai seminar. Sementara itu, sejumlah buku, artikel pidato para
pakar dan politisi, telah pula diterbitkan dalam jurnal ilmiah, koran dan majalah.

Tetapi, berbeda dengan di negara-negara berkembang lainnya, semaraknya


perbincangan tentang sistem demokrasi di Indonesia bukan karena bangsa atau
pemerintahan di negeri ini tidak mengenal sistem demokrasi. Justru sebaliknya,
bangsa Indonesia pada aras implementasi sistem politik telah banyak memahami
varian-varian demokrasi di dunia. Beberapa di antaranya bahkan telah
diujicobakan di negeri ini: demokrasi liberal, demokrasi parlementer, dan
demokrasi Pancasila. Namun berbagai varian demokrasi ini gagal memberikan
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-benar berbasis pada nilai-
nilai dan kaidah demokrasi dalam arti yang sebenar-benarnya. [ CITATION Pur04 \l
1057 ]

Ketika era reformasi berkembang menyeruak dalam tatanan kehidupan


politik Indonesia, sebagian besar masyarakat berharap akan lahirnya tatanan dan
sistem perpolitikan yang benarbenar demokratis. Namun, setelah hampir lima
tahun berjalan, praktik-praktik politik dan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang demokratis belum menampakkan arah yang sesuai dengan kehendak
reformasi. Demokrasi pun kemudian dipertanyakan dan digugat ketika sejumlah
praktik politik yang mengatasnamakan demokrasi seringkali justru menunjukkan
paradoks dan ironi. Gugatan terhadap demokrasi ini sesungguhnya memiliki
relevansi yang kuat dalam akar sejarah dan sosiologi politik bangsa Indonesia.
Dalam konteks itulah, tulisan ini hendak melihat bagaimana perjalanan demokrasi
di negeri ini, yang kemudian akan dianalisis guna membaca prospek demokrasi
Indonesia di masa depan dengan mengambil contoh kasus Pemilu dan Pilkada.

D. Pers Pilar Demokrasi

Ide mengenai prasyarat minimal demokrasi, yaitu proses elektoral, telah


mendapat cukup banyak koreksi dari para ahli. Mekanisme elektoral dianggap
tidak lagi cukup menjadi jaminan dipraktikkannya demokrasi dalam masyarakat.
Tahapan tersebut memang dianggap menjadi cerminan kedaulatan rakyat,
bagaimana rakyat bisa mengontrol pemerintahan, menjatuhkan penilaian dan
penghakiman terhadap kinerja para wakilnya. Namun mekanisme kontrol tersebut
diyakini tidak bisa berlangsung secara berkesinambungan mengingat hanya bisa
diadakan satu kali setiap beberapa tahun. Perlu ada variabel lain yang bisa
mengindikasikan secara lebih baik aspek demokrasi yang terinstalasi pada sebuah
bangsa. [ CITATION Ind15 \l 1057 ]

Wolfgang Merkel (2004) menjelaskan demokrasi secara lebih utuh lewat


konsep embedded democracy. Selain prosesi elektoral melalui pemilu, demokrasi
adanya jaminan bahwa secara prinsip demokrasi itu sendiri dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari. Kemudian, pemerintahan yang terpilih bisa menjalankan
pemerintahannya secara riil dan efektif. Terdapat lima rezim dalam demokrasi
yang bisa menjadi indikator. Pertama, rezim elektoral yang berbicara mengenai
tahapan pemilu yang menjadi prasyarat dalam penentuan pemimpin, yang harus
dilaksanakan secara terbuka, jujur, dan adil. Kedua, hak politik, sebuah prasyarat
yang menuntut adanya ruang publik yang fair selain pemilu. Pers dan kebebasan
berpendapat menjadi aspek di dalamnya. Ketiga, hak sipil yang menekankan pada
praktek rule of law. Rezim keempat adalah pembagian kekuasaan dan
akuntabilitas horizontal, yaitu pengawasan antar lembaga pemerintahan. Kelima,
kekuatan efektif untuk memerintah yang berada di pihak yang telah dinyatakan
sah untuk menguasai lewat mekanisme pemilu tadi. Simpul komponen-komponen
tersebut juga dilingkupi sejumlah variabel eksternal yaitu konteks sosio ekonomi,
civil society, serta situasi internasional dan regional.

Tulisan ini akan mengelaborasi performa pers dalam mendukung


demokrasi. Konteksnya menyempit pada lokus pemerintahan daerah di Indonesia
pasca Orde Baru. Media massa dilihat sebagai satu komponen yang memega ng
peran penting dalam konsolidasi demokrasi seiring distribusi kekuasaan yang
semakin dipertegas. Dalam penjelasan embedded democracy di atas, pers berada
di posisi untuk menyiapkan prasyarat hak politik. Pers menjadi mekanisme bagi
masyarakat untuk mengontrol dan memberikan reward-punishment bagi
pemerintahnya secara simultan dan berlangsung daily basis, bukan lagi terbatas
setiap lima tahun sekali. Kontes pertarungan kepentingan bisa berlangsung setiap
saat. Pers memungkinkan dibentuknya ruang publik yang bisa menjadi saluran
penyampaian aspirasi dalam kerangka informal dan memicu sensitifitas institusi
negara terhadap kepentingan dan preferensi masyarakatnya. Bersama rezim
elektoral, hak sipil memungkinkan kontrol terhadap pemerintah; satu lewat proses
pemilu, lainnya menggunakan cara yang lain yang lebih halus namun berlangsung
terus menerus. [ CITATION Ind15 \l 1057 ]

Distribusi ke pemerintahan level daerah berarti harus disertai kesiapan


instrumen-instrumen pendukung demokrasi pula. Dengan logika tersebut,
jalannya pemerintahan di daerah dalam pola desentralisasi harus pula mendapat
pengawasan dari media yang berbasis pada daerah yang bersangkutan. Dengan
demikian, demokrasi di daerah juga berdiri di atas empat pilar. Sesuai tujuan pers
membuka ruang publik dan pengawasan untuk mendorong akuntabilitas, maka
kehadiran pers lokal yang sehat dapat memaksa pemerintah lokal menerapkan
good governance sebaik mungkin. Perlu dicatat, asas desentralisasi tidak serta
merta menjamin pemerintah di daerah siap dengan segala konsekuensi untuk
mewujudkan demokrasi. Proses tersebut harus terus menerus dikawal, apalagi
dalam situasi Indonesia di mana selama puluhan tahun pemerintah daerah terbiasa
dengan gaya top-down dan gemar menanti instruksi pusat.
E. Kebebasan Pers

Pers mempunyai kewenangan untuk mengadakan komentar terhadap


jalannya peradilan, tetapi pemberitaan itu harus dengan penuh tanggung jawab
dan mengedepankan azas praduga tak bersalah sehingga pemberitaan itu tidak
merupakan rintangan bagi jalannya peradilan yang fairdan objektif. Kebebasan
dalam pemberitaan adalah kebebasan yang limitatif, yang dapat diwujudkan
dalam ketentuan hukum, maupun yang merupakan suatu Zelf-oplegging,berupa
moral/etika. [ CITATION Ari10 \l 1057 ]

Kebebasan ini tidak boleh mempengaruhi the fair administration of justice.


Dalam beberapa pemberitaan terhadap perbuatan pidana, seharusnya dibuktikan
terlebih dahulu di pengadilan, namun sebelum masuk dalam persidangan, perlu
dicatat besarnya liputan media massa. Mereka berlomba-lomba melakukan
blocking coverage atau dalam khazanah pers di Indonesia dikenal dengan
terminologi Blow Up. Blow up dalam liputan media massa terhadap suatu
peristiwa besar karena ketokohan dan daya tarik peristiwa, adalah wajar saja.
Dengan peliputan yang bersifat blow up, diharapkan fakta-fakta yang terungkap
dan disampaikan kepada publik bersifat menyeluruh sehingga akurasinya lebih
baik. Persoalannya, liputan yang di-blow up dalam perkara tindak pidana tidak
sepenuhnya berstandard pada dua realitas dalam porsi yang sama besar.

Kesimbangan antara liputan bersandar pada realitas empiris dan realitas


wacana. Realitas empiris adalah kumpulan atau penelusuran fakta-fakta melalui
pelacakan di lapangan untuk memperoleh temuan informatif yang dilakukan pers.
Misalnya, melalui pelacakan bukti-bukti di lapangan, penelusuran di instansi
terkait, dan investigasi di sejumlah tempat yang diduga mengetahui suatu
peristiwa.

Adapun realitas wacana adalah pengumpulan fakta-fakta yang hanya


besumber pada pernyataan, retorika dan wawancara dengan tokoh-tokoh yang
dianggap terkait atau berkompeten mengenai peristiwa itu. Pers besar dalam
menyajikan pemberitaan berkaitan dengan terjadinya tindak pidana sangat
timpang. Mereka masih berorientasi pada liputan yang bersumber pada realitas
wacana. Kalaupun tidak berasal dari jaksa, mereka adalah orang-orang dekat atau
penasehat hukum terdakwa yang berposisi membela, bahkan ada kecenderungan
pemberitaan oleh pers lebih kepada mencari profit dari pada mencari kebenaran.

Hal itu dapat dilihat dari menjamurnya media massa yang memberitakan
tentang gosip-gosip selebritis, seperti perselingkuhan dan lain-lain. Sampai
sekarang, tidak ada jaminan bahwa realitas empiris lebih benar daripada realitas
wacana. Belum tentu pengumpulan fakta-fakta yang bersandar pada realitas
empiris lebih benar daripada pengumpulan fakta-fakta yang bersandar pada
realitas wacana. Namun demikian, menurut konsepsi jurnalisme, liputan pers dan
media massa berorientasi pada liputan di medan peristiwa. Fakta-fakta yang bisa
ditunjukkan parameternya, bisa diukur dan diamati dan diasumsikan punya
akurasi lebih tinggi. Liputan pers yang bersandar pada realitas empiris dianggap
mendekati kebenaran faktual.

Karena itu, semakin besar blow up yang digunakan oleh pers dan media
massa dengan orientasi realitas wacana (beritanya berasal dari wawancara dengan
jaksa, LSM tanpa melakukan penelusuran bukti di lapangan dan pengumpulan
fakta di lapangan dan mengkumpulkan fakta melalui investigasi) semakin besar
juga terjadi trial by the pers. Sekurangkurangnya, dengan kecenderungan liputan
seperti itu, pers turut menciptakan opini publik agar hakim hanya satu pilihan
vonis, yaitu bersalah terhadap terdakwa. [ CITATION Ari10 \l 1057 ]

Trial by the court tidak boleh menjadi trial by the perss karena
pemberitaan yang cenderung memberikan opini terhadap bersalahnya seorang
tersangka, di samping melanggar asas utama dari suatu negara hukum, yakni
kebebasan kehakiman, juga merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, yaitu
mengurangi hak untuk membela diri secara yuridis. Adapun yang dimaksud
membela secara yuridis adalah hak seseorang ketika diduga melakukan tindak
pidana. Dia berhak untuk mendapat proses peradilan yang bebas, dan dia tidak
bisa dikatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.

Hal ini dapat dilihat dalam pasal 24 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman menurut Undang-undang, maka tidak ada pemberian kekuasaan di luar
kehakiman dalam menghakimi seseorang. Dengan demikian, penghakiman oleh
pers merupakan perbuatan yang melanggar konstitusi yaitu pasal 24 UUD 1945,
dan hakim yang profesional tidak akan terpengaruh oleh tanggapan pers yang
bebas.

Kemerdekaan pers merupakan sarana terpenuhinya hak azasi manusia


untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Dalam mewujudkan
kemerdekaan pers, wartawan Indonesia menyadari adanya tanggung jawab sosial
serta keberagaman masyarakat. Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta
terpenuhinya hak-hak masyarakat diperlukan suatu landasan/moral/etika profesi
yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan
profesionalitas wartawan. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan kode
etik. [ CITATION Ari10 \l 1057 ]

1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh


informasi yang benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan
menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber
informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak
mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti
kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta,
fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban
kejahatan susila.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahgunakan
profesi. 6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan
embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
6. Wartawan Indonesia segera mencabut dan merelat kekeliruan dalam
pemberitaan serta melayani hak jawab.

Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik ini


sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang
dibentuk untuk itu. Setiap kebebasan pers, jurnalis selalu mendasarkan pada kode
etik wartawan Indonesia. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa Undang-undang
pidana positif harus dipandang sebagai pembatasan yang sah terhadap kebebasan
pers yang secara limitatif dan enumeratif dapat diterapkan bagi mereka yang
menyalahgunakan kebebasan itu.

Oleh karena itu, penggunaan ketentuan KUHP sama sekali bukan


pemasangan atau pengekangan (ongebreided)terhadap kebebaan pers karena
aneka ketentuan itu hanya sarana yang digunakan untuk secara limitatif
melakukan pengujian terhadap proses bekerjanya pers. Pengujian itu dapat
dilakukan dengan menggunakan parameter tertentu sebagaimana diatur dalam
convention on the freedom of information. Misalnya, pers tidak dapat dituntut
hukum pidana positif, kecuali bila melakukan hal-hal seperti penghinaan
(fegamation), hasutan (incitement to violence and crime), blasphemy, pornografi,
berita bohong, mengganggu national security dan public order dan pernyataan
yang menghambat jalannya peradilan (impede the fair administration of justice).
[ CITATION Ari10 \l 1057 ]
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Definisi negara tidak bisa hanya didefinisikan pada sebuah ikatan


perjanjian oleh masyarakat. Definisi negara pada era kemerdekaan membutuhkan
bukan hanya perjanjian, akan tetapi juga pengakuan negara lain kejelasan dalam
wilayah negara, adanya penduduk dan legitimasi pemerintahan. Di sini jelas sekali
bahwa berkenaan dengan definisi negara memang seharusnya setiap masa terdapat
penyesuaian dengan kebutuhan sesuai kondisi dan kebutuhan.

Definisi Negara yang pada prinsipnya bersifat dinamis bertolak belakang


dengan pengertian ilmu Negara yang bersifat statis. Ilmu Negara lebih cenderung
di artikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok,
pengertian-pengertian pokok dan masalah-masalah yang berhubungan dengan
negara.

Ideologi terbuka tidak hanya dapat dibe-narkan, melainkan dibutuhkan.


Oleh karena ituideologi terbuka adalah milik seluruh rakyat,sehingga masyarakat
dapat menemukan dirinya,kepribadiannya di dalam ideologi tersebut.Ideologi
terbuka ini berisi nilai-nilai dasar, dalamteori stuffen dari Hans Kelsen berada
pada posisiyang tertinggi sehingga isinya tidak operasional.Nilai-nilai itu baru
dapat dioperasionalkan ketikasudah dijabarkan dalam keputusan-keputusanyang
sudah diberi bentuk berupa konstitusi atauperaturan perundang-undangan yang
lainn"Demokrasi" adalah sebuah kata yang begitu sering diucapkan. Namun,
makin banyak ia dibahas makin terasa betapa sulit mencari contoh tentang negara
yang memenuhi tatanan demokrasi secara sempurna. Di Indonesia, pencarian
terhadap sosok demokrasi pun terus digelar, baik pada aras praktik sistem politik
maupun kajian akademik. Dalam aras akademik, sejumlah makalah dikupas habis-
habisan dalam berbagai seminar. Sementara itu, sejumlah buku, artikel pidato para
pakar dan politisi, telah pula diterbitkan dalam jurnal ilmiah, koran dan majalah.

Terdapat lima rezim dalam demokrasi yang bisa menjadi indikator.

 Pertama, rezim elektoral yang berbicara mengenai tahapan pemilu yang


menjadi prasyarat dalam penentuan pemimpin, yang harus dilaksanakan
secara terbuka, jujur, dan adil.
 Kedua, hak politik, sebuah prasyarat yang menuntut adanya ruang publik
yang fair selain pemilu. Pers dan kebebasan berpendapat menjadi aspek di
dalamnya.
 Ketiga, hak sipil yang menekankan pada praktek rule of law.
 Rezim keempat adalah pembagian kekuasaan dan akuntabilitas horizontal,
yaitu pengawasan antar lembaga pemerintahan.
 Kelima, kekuatan efektif untuk memerintah yang berada di pihak yang
telah dinyatakan sah untuk menguasai lewat mekanisme pemilu tadi.

Pers mempunyai kewenangan untuk mengadakan komentar terhadap


jalannya peradilan, tetapi pemberitaan itu harus dengan penuh tanggung jawab
dan mengedepankan azas praduga tak bersalah sehingga pemberitaan itu tidak
merupakan rintangan bagi jalannya peradilan yang fairdan objektif. Kebebasan
dalam pemberitaan adalah kebebasan yang limitatif, yang dapat diwujudkan
dalam ketentuan hukum, maupun yang merupakan suatu Zelf-oplegging,berupa
moral/etika

Kebebasan ini tidak boleh mempengaruhi the fair administration of justice.


Dalam beberapa pemberitaan terhadap perbuatan pidana, seharusnya dibuktikan
terlebih dahulu di pengadilan, namun sebelum masuk dalam persidangan, perlu
dicatat besarnya liputan media massa. Mereka berlomba-lomba melakukan
blocking coverage atau dalam khazanah pers di Indonesia dikenal dengan
terminologi Blow Up. Blow up dalam liputan media massa terhadap suatu
peristiwa besar karena ketokohan dan daya tarik peristiwa, adalah wajar saja.
Dengan peliputan yang bersifat blow up, diharapkan fakta-fakta yang terungkap
dan disampaikan kepada publik bersifat menyeluruh sehingga akurasinya lebih
baik. Persoalannya, liputan yang di-blow up dalam perkara tindak pidana tidak
sepenuhnya berstandard pada dua realitas dalam porsi yang sama besar.

B. Saran

Menyimak permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan, banyak


sekali upaya yang harus segera dilaksanakan apabila kita ingin menyaksikan
bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat. Upaya-
upaya tersebut antara lain mencakup :

1. Melakukan lagi amandemen terhadap BAB XA i.c Pasal 28 UUD 1945


dengan tambahan perumusan yang bersifat negatif, berisi larangan
terhadap pembuat undang-undang agar tidak menciptakan peraturan
perundang-undangan yang membatasi, mengurangi atau meniadakan
kebebasan informasi.
2. Karena bertentangan dengan konsepsi kemerdekaan pers yang dikandung
UUD 1945 maka harus disesuaikan/diganti peraturan perundang-undangan
: x Pasal 154-157 dan 207 KUH Pidana x UU No.32/2002 tentang
Penyiaran x UU No.36/1999 tentang Telekomunikasi x UU No.1/1995
3. Menghadapi tibanya era Cyber Communication akibat kemajuan
Tekhnologi di bidang komunikasi yang dramatis, pembuat undang-undang
harus menyiapkan peraturan perundang-undangan yang bersifat direktif
dan non repressif.
DAFTAR PUSTAKA

Junaidi, 2016, Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum, Malang, Setara Press

Muslimin, 2016, Tantangan Terhadap Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar


Negara Pasca Reformasi, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.7, No.1, hal 32-34

Purnawen, 2004, Demokrasi Indonesia: Dari Masa ke Masa, Jurnal Administrasi


Publik, Vol. 3, No.2, hal 118-119

Indrakista, 2015, Pers Mengawal Demokrasi Daerah:Analisis Pemberitaan


Implementasi Dana Keistimewaan di Harian Tribun Jogja, Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Vol.18, No.3, hal 198-199

Ariyanti, 2010, Kebebasan Pers Dalam Perspektf Peradilan Pidana, Jurnal


Dakwah dan Komunikasi, Vol.4, No.1, hal 1-13

Anda mungkin juga menyukai