Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ETIKA KONSELING LINTAS BUDAYA

OLEH

Yuli Listyani (1844041008)


Sri Wahyuni M (1844040032)
Andi Nur Azizah Ramlan (1844040008)
A.Muhammad Fadil Gunawan (1844041020)

KELOMPOK 8

Kelas BK. B 2018

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menganugerahkan rahmat dan karunia sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah berjudul “Etika Konseling Lintas Budaya” ini dengan baik dan tepat
waktu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu
dan penyusunan makalah ini. Terutama kepada:
1. Ibu Suciani Latif, S. Pd., M Pd selaku Dosen Pengampuh Mata Kuliah
Konseling Lintas Budaya yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk menyusun makalah ini.
2. Bapak Sahril Bochori, S.Pd., M.Pd selaku Dosen Pendamping Mata
Kuliah Konseling Lintas Budaya yang telah memberikan bimbingan
kepada penulis dalam penyusunan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai makalah Kompetensi Budaya
Konselor. Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini masih
terdapat kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Makassar, 19 April 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ....................................................................................... i
Kata Pengantar .......................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................... 2
Bab II Pembahasan ................................................................................... 3
A. Pengertian Budaya ........................................................................ 3
B. Sifat Budaya .................................................................................. 4
C. Etika Konseling Lintas Budaya .................................................... 5
Bab III Penutup ......................................................................................... 10
A. Kesimpulan .................................................................................. 10
B. Saran ............................................................................................. 10
Daftar Pustaka ........................................................................................... 11

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia untuk memenuhi kehidupanya dengan cara belajar yang semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan
budaya yang khas (unik). Budaya universal mengandung pengertian bahwa
nilai-nilai yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat dan nilai-nilai ini
dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat
manusia yang ada dunia ini memiliki kesamaan nilai-nilai tersebut.
Sedangkan Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki
oleh bangsa tertentu. Lebih dari itu, nilai-nilai ini hanya dimiliki oleh
masyarakat atau suku/ etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dengan
kelompok atau bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk
mengenal bangsa atau kelompok tertentu.
Menurut Pedersen, dkk (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya
memiliki tiga elemen yaitu :
1. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien
2. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor
3. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter,
1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya
adalah
1. Latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor
2. Latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien
3. Asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling

1
4. Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya
kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana
konseling itu dilaksanakan
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka terdapat Rumusan Masalah, yaitu
sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud Budaya?


2. Bagaimana sikap budaya?
3. Bagaimana etika konseling lintas budaya?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masala ditas, maka adapun tujuan dari makalah ini
yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari budaya
2. Untuk mengetahui sikap-sikap budaya
3. Untuk mengetahui etika konseling lintas budaya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Budaya
Budaya berasal dari kata “budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, dengan
“kebudayaan” atau cultuur (bahasa belanda), culture (bahasa inggris), tsaqafah
(bahasa arab) dan berasal dari bahasa latin yaitu colere yang artinya mengelolah,
mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengelolah tanah
atau bertani dari segi arti ini berkembang sebagai daya dan aktivitas manusia
untuk mengelolah dan mengubah alam (Joko, 1998).
Menurut E.B. Tylor dalam bukunya yang berjudul “primitive culture”
bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang didalamnya terkandung
ilmu pengetahuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota
masyarakat. Pada sisi yang agak berbeda, Koentjaningrat (Sukidin,. dkk. 2003)
mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan dan
hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan
belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Dari beberapa
pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi
kehidupanya dengan cara belajar yang semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat.
Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan
mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya).
Dengan demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu akan
dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan
agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih
baik dari "tetangganya".
Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat baik atau buruk,
bagus atau jelek, positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat
dengan keyakinan yang dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait
pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang

3
telah diadopsi tersebut akan ditampakkan dalam wujud perilaku, sikap, ide ide
serta penalaran. Dengan demikian, antara individu yang satu dengan individu
yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar budaya
yang sama.
B. Sifat Budaya
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan
budaya yang khas (unik). Budaya universal mengandung pengertian bahwa nilai-
nilai yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat dan nilai-nilai ini dijunjung
tinggi oleh segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang
ada dunia ini memiliki kesamaan nilai-nilai tersebut. Contoh dari nilai universal
ini antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendiri, manusia anti
dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai
kebebasan dan lain lain.
Nilai budaya yang khas (unik) adalah Nilai budaya yang dianut oleh
masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini
tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka
mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan
panutan dalam menjalani hidup sehari hari. Selain itu, nilai budaya yang diyakini
kebenarannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan
masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada
dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan
permasalahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut.
Kendati kebudayaan dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, seperti
di Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap
kebudayaan memiliki ciri dan sifat yang sma. Sifat tersebut bukan diartikan
secara spesifik, melainkan bersifat universal. Dimana sifat-sifat budaya itu
memilki ciri-ciri yang sama bagi setiap kebudayaan manusia tanpa membedakan
faktor ras, lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki yang berlaku bagi
setiap budaya dimanapun juga.
Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut, antara lain:
1) Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.

4
2) Budaya telah ada terlebih dahulu dari pada lahirnya suatu generasi
tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usua generasi yang
bersangkutan.
3) Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dlam tingkah laku.
4) Budaya mencakup peraturan-peraturan yang berisi kewajiban-kewajiban,
tindakan-tindakan, yang diterima atau ditolak, tindakan-tindakan yang
dilarang, dan tindakan-tindakan yang diijinkan.

Sifat hakiki tersebut menjadi ciri setiap budaya. Akan tetapi, apabila seseorang
atau sekelompok orang yang memahami sifat hakiki yang esensial, terlebih dahulu
ia harus memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada didalamnya.

C. Etika Konseling Lintas Budaya


Para konselor menyadari dan menghormati perbedaan peran, individu, dan
budaya, termasuk yang berdasarkan usia, jenis kelamin, identitas gender, ras,
etnis, budaya, asal-usul kebangsaan, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa,
dan status sosial ekonomi dan mempertimbangkan faktor-faktor ini ketika bekerja
dengan anggota kelompok tersebut. Konselor mencoba menghilangkan efeknya
pada kecenderungan pekerjaan mereka berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan
mereka tanpa sadar berpartisipasi atau membiarkan kegiatan lain berdasarkan
prasangka tersebut.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi para profesional kesehatan
mental adalah memahami peranan keragaman dan kesamaan budaya yang
kompleks dalam pekerjaan mereka. Klien dan konselor menghasilkan berbagai
macam sikap, nilai-nilai, asumsi yang dipelajari secara budaya, kecenderungan,
keyakinan, dan perilaku pada hubungan terapeutik. Bekerja secara efektif
dengan keragaman budaya dalam proses terapeutik merupakan kebutuhan dari
praktik etis yang baik. Pack-Brown, Thomas, dan Seymour (2008) menekankan
tanggung jawab etis konselor dalam memberikan layanan profesional yang
menunjukkan rasa hormat terhadap pandangan dunia, nilai-nilai, dan tradisi
budaya dari klien yang beragam secara kultural. Mereka berpendapat bahwa
“isu-isu budaya memengaruhi semua aspek dari proses konseling, termasuk

5
pertimbangan etis yang muncul dari waktu konselor pertama kali bertemu klien
hingga berakhirnya upaya bantuan”. Karena masing-masing kita adalah unik,
semua interaksi konseling dapat dilihat sebagai peristiwa multicultural
Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien
mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti
mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa
mengenai nilai nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini
muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda.
Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan
layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak
memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang
berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas
dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor
yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang
berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa.
Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan
orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar",
sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang jawa Timur mempunyai nilai-
nilai sendiri yang berhubungan dengan kesopanan, perilaku, pemikiran dan lain
sebagainya dan ini terbungkus dalam satu kata "kasar". Demikian pula individu
yang berasal dari jawa Tengah, tentunya dia akan membawa seperangkat nilai
nilai, ide, pikiran dan perilaku tertentu yang terbungkus dalam satu kata "halus".
Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit sekali untuk disatukan dalam
kehidupan sehari. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri dalam proses
konseling.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien
yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan
mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayitno, 1994). Perbedaan
perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau

6
perasaan perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau
perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah
alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa
mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya. Jika
hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul
hambatan dalam konseling.
Hal lain yang berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah
bagaimana konselor dapat bekerja sama dengan klien. Dalam melakukan
hubungan konseling dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami
klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti konselar harus dapat
memahami budaya spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan
klien dan memahami manusia secara umum/universal.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak akan
terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari
berbagai sumber yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung
terhadap budaya klien. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif
didalam usahanya memahami budaya klien.
Dengan demikian, sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah
konselor sering “turun” untuk mengetahui budaya di sekitar klien. Kemampuan
konselor untuk dapat memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak
langsung akan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuannya yang pada
akhirnya akan mempermudah konselor di dalam memahami.
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai
individu yang selalu berkembang akan membawa nilai nilai sendiri sesuai
dengan tugas perkembangan-nya. Klien selain membawa budaya yang berasal
dari lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa seperangkat nilai nilai
yang sesuai dengan tugas perkembangan.
Sebagai individu yang unik, maka klien akan menentukan sendiri nilai
nilai yang akan dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai nilai yang diyakini
oleh klien ini. bertolak belakang dengan nilai nilai atau budaya yang selama ini
dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor.

7
Karena apapun yang dibicarakan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari
individu itu sendiri.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai-
nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku
di mana saja kita berada. Nilai nilai ini diterima oleh semua masyarakat di dunia
ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup.
Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai nilai ini mutlak dimiliki
oleh semua orang. Nilai-nilai ini akan kita temukan pada saat kita berada di
pedalaman Afrika atau pedalaman Irian, sampai dengan di kota-kota besar
seperti Los Angeles dan Jakarta.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum.
Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada
umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang
sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal
bagi konselor untuk melaksanakan konseling
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas
budaya. Menurut Pedersen, dkk (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas
budaya memiliki tiga elemen yaitu :
1. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat)
klien
2. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat)
konselor
3. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
dan melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter,
1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah
1. Latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor
2. Latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien

8
3. Asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama
konseling
4. Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya
kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana
konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat
mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara
konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri.
Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana
dia berasal, dan klien akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari
lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal
yang penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien
membawa tugas perkembangan masing-masing. Dan kita ketahui bersama
bahwa masing masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu
adalah tidak sama. Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai
dengan usianya. Begitu pula dengan klien, dia akan membawa tugas
perkembangannya sesuai dengan usianya juga.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses
konseling lintas budaya adalah :
1. Keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur, tempat tinggal
2. Variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel
etnografi seperti agama, adat, sistem nilai

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia untuk memenuhi kehidupanya dengan cara belajar yang semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat. Sifat budaya ada dua, yaitu budaya
yang bersifat universal (umum) dan budaya yang khas (unik). Konselor perlu
menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-
nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat
konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan
pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk
melaksanakan konseling
B. Saran
Setelah mengetahui dan memahami mengenai pembahasan diatas penulis
berharap kepada pembaca untuk memberikan saran atau kritik. Dengan
harapan bahwa supaya tidak ada kesalahan penafsiran di dalamnya. Penulis
memohon jika di dalam makalah ini terdapat kekeliruan, untuk diberikan
masukan yang positif untuk perbaikan kedepannya. Dan semoga bisa jadi
referensi bagi pembaca.

10
DAFTAR PUSTAKA

Carter, RT. (1991). Cultural Values: A Review Of Empirical Research And


Implications For Counseling. Journal Of Counseling & Development. 70:
164-173
Joko Tri Prasetyo. (1998). Ilmu Budaya Dasar MKDU. Jakarta: PT.Rineka Cipta
M. M. Supartono Widyosiswoyo. (2004). Ilmu Budaya Dasar Edisi. Jakarta:
Ghalia Indonesia
Pack‐Brown, S. P., Thomas, T. L., & Seymour, J. M. (2008). Infusing
Professional Ethics Into Counselor Education Programs: A
Multicultural/Social Justice Perspective. Journal of Counseling
& Development, 86(3), 296–302
Pedersen, P.B., Juris G. Draguns, Walter J. Lonner and Joseph E. Trimble. (1980).
Counseling Across Cultures, An East-West Culture Learning Institute.
Published for the Easth-West Center by The University of Hawai.
Prayitno. (1994). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka cipta.
Sukidin,. Dkk. (2003). Pengantar Ilmu Budaya. Surabaya: Insan Cendekia

11

Anda mungkin juga menyukai