Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN TUGAS PASCA UJIAN

PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN


OLEH: RETNANING KURNIAWATI / 1206218751
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN, UNIVERSITAS INDONESIA

1. Bagaimana kompensasi neurohormonal saat terjadinya syok hipovolemik?


 Pelepasan katekolamin endogen akan meningkatkan tahanan vaskular perifer. Hal
ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan menurunkan tekanan nadi tetapi
hanya sedikit meningkatkan perfusi organ.
 Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan
pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur
oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke
otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus
gastrointestinal.
 Sistem renalis berespon terhadap syok hipovolemik dengan peningkatan sekresi
renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen
menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di
paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya
membantu perbaikan keadaan pada syok hipovolemik, yaitu vasokonstriksi arteriol
otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan
retensi air.
 Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hipovolemik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula
pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh
baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh
osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi
air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
2. Apakah tujuan dilakukannya Allen test?
Allen Test digunakan untuk menentukan apakah patensi dari arteri radialis atau ulnaris
normal atau tidak. Hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko iskemia ke tangan
akibat trombosis yang muncul akibat prosedur pengambilan darah.

3. Bagaimana mekanisme resusitasi pada kasus syok hipovolemik?


Sebelum memberikan cairan resusitasi, pasang 2 buah IV Line menggunakan kateter
yang pendek dengan diameter besar. Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan
isotonik NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat
sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian
cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan
hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan hemodinamik, maka pemberian kristaloid
terus dilanjutnya. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan volume
darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena istribusi cairan kristaloid lebih cepat
berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial. Jika tidak terjadi perbaikan
hemodinamik maka pilihannya adalah dengan pemberian koloid, dan dipersiapkan
pemberian darah segera.

4. Apakah perbedaan cairan kristaloid dan cairan koloid?


 Cairan kristaloid
Cairan yang mengandung zat dengan berat molekul rendah ( <8000 Dalton )
dengan atau tanpa glukosa. Contoh kristaloid adalah Ringer laktat, NaCl 0,9%,
Ringer Asetat, dll. Cairan ini memiliki sifat tekanan onkotik rendah sehingga cepat
terdistribusi ke seluruh ruang ekstraseluler sehingga volume yang diberikan harus
lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang. Cairan ini mempunyai
masa paruh intravascular 20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruangan intravascular
ke interstisial berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar
dalam 24-48 jam sebagai urine. Secara umum kristaloid digunakan untuk
meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel.
 Cairan koloid
Cairan yang mengandung zat dengan berat molekul tinggi ( >8000 Dalton )
misalnya albumin, HES, dekstran. Cairan ini memiliki sifat tekanan onkotik tinggi
sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di ruang intravascular. Waktu paruh
koloid intravascular adalah 3-6 jam, sehingga volume yang diberikan adalah sama
dengan volume darah yang hilang.

5. Kapan pasien diberikan PRC dan kapan pasien diberikan WB?


 Darah lengkap mempunyai komponen utama yaitu eritrosit, darah
lengkap jugamempunyai kandungan trombosit dan faktor pembekuan labil (V,
VIII). Volume darah sesuaikantong darah yang dipakai yaitu antara lain 250 ml,
350 ml, 450 ml. Dapat bertahan dalamsuhu 4°±2°C. Darah lengkap berguna untuk
meningkatkan jumlah eritrosit dan plasma secara bersamaan. Hb meningkat
0,9±0,12 g/dl dan Ht meningkat 3-4 % post transfusi 450 ml darah lengkap.
Tranfusi darah lengkap hanya untuk mengatasi perdarahan akut dan
masif, meningkatkan dan mempertahankan proses pembekuan. Darah lengkap
diberikan dengan golongan ABO dan Rh yang diketahui. Indikasi pemberian
adalah untuk penggantian volume pada pasien dengan syok hemoragi, trauma atau
luka bakar, serta pasien dengan perdarahan masif dan telah kehilangan lebih dari
25% dari volume darah total.
 PRC berasal dari darah lengkap yang disedimentasikan selama
penyimpanan, atau dengan sentrifugasi putaran tinggi. Sebagian besar (2/3)
dari plasma dibuang. 1 unit PRC dari 500 ml darah lengkap
volumenya 200-250 ml, dan volume antikoagulan 10-15 ml. Mempunyai daya
pembawa oksigen dua kali lebih besar dari 1 unit darah lengkap. Waktu
penyimpanannya sama dengan darah lengkap, yaitu disimpan pada suhu 20–600C
hingga 21 hari (dengan CPD) dan hingga 35 hari (dengan CPDA). Secara umum
pemakaian PRC ini dipakai pada pasien dengan anemia yang tidak disertai dengan
penurunan volume darah, misalnya pasien dengan anemia hemolitik, anemia
hioplastik kronik, leukimi akut, leukimia kronik, penyakit keganasan, talasemia,
gagal ginjal kronis, dan perdarahan-perdarahan kronis yang ada tanda-tanda seperti
rasa sesak, mata berkunang, palpitasi,pusing, dan gelisah. PRC diberikan sampai
tanda tanda-tanda tersebut hilang, biasanya pada Hb8-10 gr/dl. Untuk menaikkan
kadar HB sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4 ml/kgBB atau 1 unit dapat
menaikkan kadar hematokrit 3-5 %. Keuntungan transfusi PRC dibanding Whole
Blood adalah :
1. Memungkinkakn overload sirkulasi menjadi minimal
2. Reaksi transfusi akibat komponen plasma menjadi minimal
3. Reaksi transfusi akibat antibodi donor menjadi minimal
4. Efek samping akibat volume antikoagulan yang berlebihan menjadi minimal
5. Meningkatnya daya guna pemakaian darah karena sisa plasma dapat dibuat
menjadikomponen-komponen yang lain

6. Apakah maksud dari pulsasi lemah?


Pulsasi nadi adalah sensasi denyutan seperti gelombang yang dapat dirasakan/
dipalpasi di arteri perifer, terjadi karena gerakan atau aliran darah ketika kontraksi
jantung. Kuat lemahnya palpasi dipengaruhi oleh tegangan nadi, isi nadi, gelombang
nadi, irama, dan frekuensi. Tegangan nadi biasanya di pengaruhi oleh tekanan darah.
Isi Nadi tergantung pada curah jantung (cardiac output) dan keadaan pembuluh darah.
Saat terjadi syok hipovolemik, maka tekanan darah akan menurun, sehingga tegangan
nadi tuga menurun. Selain itu, darah yang keluar dari vaskuler akan menurunkan
cardiac output yang memperngaruhi isi nadi. Penurunan tegangan nadi dan isi nadi
menyebabkan gelombang yang dirasakan saat palpasi nadi perifer menjadi terasa
lemah dan dalam, sehingga pemeriksa harus mempalpasi dg penekanan yang lebih
kuat agar dapat menemukan sensasi denyutan nadi.

7. Mengapa pasien dengan sirosis hepatis dapat mengalami penurunan kesadaran?


Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat menyebabkan
menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting portosistemik
yang membawa darah yang mengandung amonia masuk ke aliran sistemik tanpa
melalui hati. Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan risiko toksisitas
amonia. Meningkatnya permebialitas sawar darah otak untuk amonia pada pasien
sirosis menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi
melakukan metabolisme amonia melalui kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi
neurologis yang ditimbulkan pada Ensefalopati Hepatikum (EH) terjadi akibat edema
serebri, dimana glutamin merupakan molekul osmotik sehingga menyebabkan
pembengkakan astrosit. Amonia secara langsung juga merangsang stres oksidatif dan
nitrosatif pada astrosit melalu peningkatan kalsium intraselular yang menyebabkan
disfungsi mitokondria dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-
pori transisi mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA danaktivasi
protein kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas
sitokin dan repso inflamasi sehingga mengganggu aktivitas pensignalan intraselular.
Ensefalopati hepatik menghasilkan suatu spektrum luas manifestasi neurologis dan
psikiatrik nonspesifik. Pada tahap yang paling ringan, EH memperlihatkan gangguan
pada tes psikometrik terkait dengan atensi, memori jangka pendek dan kemampua
visuospasial. Dengan berjalannya penyakit, pasien EH mulai memperlihatkan
perubahan tingkah laku dan kepribaan seperti apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta
perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang nyata. Selain itu, gangguan pola tidur
semakin sering ditemukan. Pasien dapat memperlihatkan disorientasi waktu dan ruang
yang progresif, tingkah laku yang tidak sesuai dan fase kebingungan akut dengan
agitasi atau somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam koma.

Referensi

Brunner & Suddarth. (2010). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical Nursing
12th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Eliastam, Michael. (2008). Manual of Emergency Medicine 5th Ed. Terjemahan. Jakarta:
EGC.
Hardisman. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update dan
Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2 (3).
Sabiston, David C. (2007). Sabiston’s Essentials Surgery. Terjemahan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai