Tatalaksana Nutrisi Pada Pasien Kanker Serviks Yang Menjalani Terapi Radiasi
Tatalaksana Nutrisi Pada Pasien Kanker Serviks Yang Menjalani Terapi Radiasi
SERIAL KASUS
1106142601
SERIAL KASUS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Gizi Klinik
1106142601
Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yesus atas berkat dan campur
tanganNya sehingga laporan serial kasus yang berjudul Tatalaksana Nutrisi
pada Pasien Kanker Serviks yang Menjalani Terapi Radiasi ini dapat
terselesaikan. Laporan serial kasus ini disusun sebagai tugas akhir dalam
menempuh Program Studi Ilmu Gizi Klinik, Program Pendidikan Dokter
Spesialis-1, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada ibunda
terkasih Ny.L.E.Siagian untuk segala dukungan doa yang tiada putus-putusnya
hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Pada kesempatan ini penulis
juga mengingat untuk ayahanda tercinta, Alm.Marsekal Pertama (Pur) L.E.Siagian
untuk semua hal terbaik yang pernah diberikan dalam kehidupan penulis.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis haturkan kepada
Dr.dr. Inge Permadhi, MS, SpGK selaku pembimbing akademik atas bimbingan,
perhatian dan dukungan yang diberikan dalam menempuh masa-masa sulit selama
masa pendidikan ini. Kiranya Tuhan yang membalaskan segala kebaikan yang
telah diberikan.
Kepada Dr.dr. Fiastuti Witjaksono, MSc, MS, SpGK selaku kepala
departemen Ilmu Gizi FKUI, dr. Sri Sukmaniah, MSc, SpGK selaku ketua
program studi PPDS-1 IGK FKUI, Dr.dr. Johana Titus, MS, SpGK sebagai
sekretaris program studi PPDS-1 IGK FKUI, seluruh dosen pembimbing di
RSCM, rumah sakit jejaring di RSUD Tangerang, RS Sumber Waras, dan RSAB
Harapan Kita, terima kasih atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan selama
penulis menjalani pendidikan.
Terima kasih yang tulus juga untuk orang-orang tercinta, suami, inang
mertua, kakak-kakak dan adik-adik atas segala pengertian dan dukungan yang
diberikan selama masa pendidikan ini. Terima kasih juga kepada teman-teman
peserta PPDS-1 IGK FKUI angkatan ketiga sampai angkatan keenam, atas segala
kekompakan, saling berbagi, saling menguatkan, selama menjalani proses
pendidikan, kiranya persaudaraan kita tetap berlanjut.
iv
Penulis
Cervical cancer is malignant disease associated with nutrition problem. Tumor mass can
lead to metabolic changes in the body and affect nutritional intake, so that patients can
fall in malnutrition. Side effects of radiotherapy and chemotherapy are nausea, vomiting
and diarrhea which can further worsen the nutritional status of patients. Nutrition
management for cervical cancer patients in radiotherapy and chemotherapy are to
maintain or increase nutritional status, improve quality of life and prolong survival of
patients. Management of nutrients provision include to provide macronutrients,
micronutrients, specific nutrients, counseling and education.
Patients age in this case series were between 42 to 52 years with a different stage
of cervical cancer. All patient underwent radiotherapy, in which one patient underwent
radiotherapy and chemotherapy. All patients had a screening score ≥2 using a
malnutrition screening tool (MST). Monitoring included subjective complaints, clinical
condition, vital signs, anthropometric, functional capacity and intake analysis.
The results of monitoring for all patients were nutritional support could increase
intake and weight gain in the first patients, for second, third and fourth patients minimize
weight loss. Functional capacity of all patients did not decline and quality of life all
patients are increasing.
ix Universitas Indonesia
3. KASUS ............................................................................................................. 47
3.1. Kasus 1 ................................................................................................... 47
3.2. Kasus 2 ................................................................................................... 56
3.3. Kasus 3 ................................................................................................... 64
3.4. Kasus 4 ................................................................................................... 72
4. PEMBAHASAN ............................................................................................... 80
5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 90
x Universitas Indonesia
Tabel 2.1 Kandungan Omega-3 dan Omega-6 dalam Ikan dan Makanan Laut
yang Dikonsumsi Masyarakat Indonesia .......................................... 38
Tabel 2.2. Risiko Terjadinya Efek Samping dari Asupan Omega-3 .................. 41
Tabel 3.2. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan ....... 49
Tabel 3.3. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Pertama Selama
Pemantauan ...................................................................................... 50
Tabel 3.5. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan .......... 58
Tabel 3.6. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Kedua Selama
Pemantauan ...................................................................................... 58
Tabel 3.7. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Kedua Selama
Pemantauan ...................................................................................... 59
Tabel 3.8. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan ........... 66
Tabel 3.9. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Ketiga Selama
Pemantauan ...................................................................................... 67
Tabel 3.10. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Ketiga Selama
Terapi Radiasi .................................................................................. 67
Tabel 3.11. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan ...... 74
Tabel 3.12. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Keempat Selama
Pemantauan ...................................................................................... 74
xi Universitas Indonesia
Gambar 2.5. Pengaruh Keadaan Hipoksia pada Penggunaan Glukosa oleh Sel
Kanker........................................................................................... 17
Gambar 2.8. Peran AARC Melalui Jalur Signaling Sel pada Sel Kanker .......... 35
Gambar 2.9. Jalur Metabolisme Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 ............. 37
Gambar 3.6. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan 55
Gambar 3.13. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan . 63
Gambar 3.20. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan .. 71
xv Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Universitas Indonesia
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Memberikan tatalaksana nutrisi yang tepat pada pasien kanker serviks agar dapat
meningkatkan atau mempertahankan status gizi, menurunkan angka morbiditas
dan lama rawat di rumah sakit serta dapat meningkatkan kualitas hidup.
1.3. Manfaat
1. Manfaat bagi pasien:
1
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
HPV
E6 E7
p53 Cdk-cyclin E2 F pRb-E2F
E6-p53
C-myc, N-myc
G1 S
M G2
Proses karsinogenesis awal atau lesi pra kanker servik adalah lesi sebelum kanker
disebut juga lesi intraepithel serviks/cervical intraepithelial neoplasia (CIN I),
lesi ini merupakan awal dari perubahan menuju kanker serviks. Diawali dengan
CIN I yang secara klasik dinyatakan dapat berkembang menjadi CIN II dan
kemudian menjadi CIN III, kemudian berkembang menjadi kanker serviks. Tidak
semua lesi pra kanker akan berkembang menjadi lesi invasif, karena masih banyak
faktor yang dapat mempengaruhi. Infeksi HPV yang berisiko terjadinya CIN
adalah infeksi HPV persistent.7,8
Untuk memudahkan penilaian sitologi, klasifikasi Bethesda
memperkenalkan dua kategori untuk menilai derajat lesi prakanker yaitu lesi
derajat rendah (low grade squamous epithelial lesion) dan lesi derajat tinggi (high
grade squamous epithelial lesion). Lesi derajat rendah setara dengan CIN I,
sedangkan lesi derajat tinggi setara dengan CIN II dan CIN III. Kategori derajat
rendah oleh karena CIN I hanya 12% saja yang berkembang ke derajat yang lebih
berat, sedangkan CIN II dan CIN III mempunyai risiko menjadi kanker invasif
yang lebih besar bila tidak mendapat pengobatan.4,8
Universitas Indonesia
2.3. Epidemiologi
Kanker serviks merupakan kanker yang menduduki urutan pertama dari kejadian
kanker pada wanita di negara berkembang. Di negara maju, angka kejadian dan
angka kematian kanker serviks telah menurun karena suksesnya program deteksi
dini. Akan tetapi, kanker ini masih menempati posisi kedua terbanyak di seluruh
dunia untuk keganasan pada wanita (setelah kanker payudara) dan diperkirakan
diderita oleh 500.000 wanita tiap tahunnya dengan angka kematian 27.000
orang.4,5
Apabila terdeteksi pada stadium awal, kanker serviks merupakan kanker
yang paling berhasil diterapi dengan 5 years survival rate sebesar 92% untuk
kanker lokal. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang
lemah, status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan
sarana, dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam
menentukan prognosis dari penderita.5
2.4. Etiologi
Hampir seluruh kanker serviks (99,7%) disebabkan oleh infeksi HPV. Virus ini
bersifat spesifik dan hanya tumbuh di dalam sel manusia, terutama pada sel-sel
lapisan permukaan serviks.5 HPV merupakan virus deoxyribose nucleic acid
(DNA) dengan diameter kurang lebih 55 nm, genomnya terbentuk oleh dua rantai
(double stranded) DNA yang terdiri dari kurang lebih 8000 pasang basa. Ukuran
HPV sangat kecil, virus ini bisa menular melalui mikro lesi atau sel abnormal di
vagina.4,8
Human papilloma virus dibagi menurut risikonya dalam menimbulkan
kanker serviks, yaitu risiko tinggi dan risiko rendah, yang tergolong risiko rendah
yaitu tipe 6,11, 42, 43, 44, 54, 61, 72, 81 disebut tipe non-onkogen. Jika terinfeksi,
hanya menimbulkan lesi jinak, misalnya kutil dan jengger ayam, sedangkan untuk
risiko tinggi yaitu tipe 16, 18, 31, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 82 disebut tipe
onkogenik. Jika terinfeksi dan tidak diketahui ataupun tidak diobati, bisa menjadi
kanker. Virus tipe ini ditemukan pada hampir semua kasus kanker serviks
(99%).8,9
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Merokok juga merupakan penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok
dengan kanker sel skuamosa pada serviks telah terbukti dari berbagai penelitian.
Mekanisme kerjanya dapat langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah
ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari rokok. 2,9
Faktor risiko yang masih diperkirakan yaitu kontrasepsi hormonal.
Lamanya penggunaan kontrasepsi hormonal akan meningkatkan risiko menderita
kanker serviks, kesimpulan tersebut diperoleh berdasarkan penelitian meta-
analisis. Penggunaan sampai dengan 10 tahun kontrasepsi oral, meningkatkan
risiko sampai dua kali. Paparan bahan tertentu dari suatu pekerjaan seperti debu,
logam, bahan kimia, tar, oli mesin diperkirakan dapat menjadi risiko terkena
kanker serviks, sedangkan dari segi etnis dan faktor sosial didapatkan bahwa
wanita kelas sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor risiko lima kali
lebih besar terkena kanker serviks daripada wanita di kelas sosioekonomi yang
paling tinggi.1,9
Universitas Indonesia
2.7. Staging9
Penentuan stadium kanker serviks menurut International Federation of Gynecolog
and Obstetric (FIGO) masih berdasarkan pada pemeriksaan klinis pra operatif
ditambah dengan foto toraks serta sitoskopi dan rektoskopi. Stadium kanker
serviks menurut FIGO 2000 adalah :
Stadium 0 Karsinoma insitu, karsinoma intra epithelial
Stadium I Karsinoma masih terbatas di serviks (penyebaran ke korpus uteri
diabaikan)
Stadium Ia Invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara mikroskopik,
lesi yang dapat dilihat secara langsung walau dengan invasi yang
sangat superfisial dikelompokkan sebagai stadium Ib. Kedalaman
invasi ke stroma tidak lebih dari 5 mm dan lebarnya lesi tidak lebih
dari 7 mm.
Stadium Ia1 Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm dan
lebar tidak lebih dari 7 mm.
Stadium Ia2 Invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3 mm tapi kurang
dari 5 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm.
Stadium Ib Lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari Ia.
Stadium Ib1 Besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kanker kaheksia dibagi dalam tiga tahap yaitu prekaheksia, kaheksia dan
refractory cachexia. Pada tahap prekaheksia ditandai dengan gejala klinis dan
perubahan metabolisme seperti anoreksia dan toleransi glukosa terganggu yang
menyebabkan penurunan BB tanpa disadari ≤5%. Tahap kaheksia terjadi
penurunan BB ≥5% dalam waktu enam bulan terakhir atau IMT <20 kg/m 2 dan
penurunan BB yang sedang berlangsung >2%, atau sarkopenia. Sedangkan pada
tahap refractory cachexia, ditandai dengan progresivitas kanker yang cepat dan
tidak respon dengan terapi anti kanker. Pada tahap ini harapan hidup kurang dari
tiga bulan.12
Kriteria diagnosis sindrom kanker kaheksia ditegakkan apabila memenuhi
kriteria penurunan BB minimal 5% dalam 12 bulan atau kurang (atau IMT <20
kg/m2) ditambah dengan tiga dari lima gejala yaitu penurunan kekuatan otot,
fatigue, anoreksia, indeks massa bebas lemak yang rendah dan peningkatan
parameter biokimia (C-reactive protein/CRP atau interleukin/IL-6), anemia
dengan Hb <12 g/dL dan albumin serum yang rendah <3,2 mg/dL).12,13
Gejala klinis kanker kaheksia antara lain mual, muntah, perubahan rasa,
diare, yang dapat timbul akibat gangguan metabolisme atau karena efek samping
terapi. Anoreksia pada kanker disebabkan oleh ketidakseimbangan antara sinyal
oreksigenik seperti neuropeptida Y (NPY) yang merangsang asupan makan dan
anoreksigenik seperti proopiomelanokortin (POMC) yang menghambat asupan
makan di hipotalamus.13
Neuropeptida Y merangsang nafsu makan melalui pelepasan protein
oreksigenik yang meningkatkan agouti related protein (AgRP). AgRP ini akan
menetralkan kerja protein perangsang melanocortine 4 receptor (MC4R) yang
dapat meningkatkan nafsu makan, sedangkan POMC merupakan neuron yang
melepaskan α-melanocyte stimulating hormone (α-MSH) melalui sinyal pada
reseptor MC3R dan MC4R. Pelepasan hormon ini akan menghasilkan penurunan
nafsu makan, penurunan massa otot dan peningkatan basal metabolic rate
(BMR).13
Sitokin pro inflamasi memegang peranan pada perubahan rasa lapar dan
kenyang, beberapa sitokin yang dihasilkan oleh sel tumor atau oleh respon tubuh
terhadap adanya tumor seperti interleukin-1 (IL-1β), IL-6, tumour necrosis factor
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
KANKER
Gangguan absorpsi
Enteropati eksudatif
KAHEKSIA
Universitas Indonesia
akan diubah menjadi laktat oleh laktat dehidrogenase (LDH).13 Kondisi hipoksia
pada sel kanker yang mempengaruhi penggunaan glukosa digambarkan pada
gambar 2.5.
Perubahan glukosa menjadi laktat merupakan suatu proses yang tidak efisien,
dimana untuk pertumbuhannya sel tumor membutuhkan 40 kali glukosa lebih
banyak dibandingkan dengan oksidasi melalui siklus asam trikarboksilat. Laktat
yang dihasilkan dari sel tumor selanjutnya akan dibawa ke hati dimana
selanjutnya akan disintesis kembali menjadi glukosa. Proses ini disebut siklus
Cori yang juga merupakan proses yang tidak efisien energi karena membutuhkan
6 mol ATP untuk menghasilkan 1 mol glukosa dari 2 mol asam laktat. Siklus Cori
ini menyebabkan kehilangan energi pada pasien kanker sekitar 300 kkal perhari. 13
Universitas Indonesia
di hati. Pada pasien kanker, asam amino tidak disimpan sehingga terjadi deplesi
dari massa otot dan pada sebagian pasien terjadi atrofi otot yang berat.16
Kehilangan massa otot merupakan akibat dari peningkatan degradasi protein
dan penurunan sintesis protein karena terpakai untuk pembentukan protein fase
akut dan glukoneogenesis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa asam amino
rantai cabang (AARC) dapat meregulasi sintesis protein secara langsung dengan
memodulasi translasi mRNA.16
Proteolysis-inducing factor (PIF) merupakan glikoprotein sulfat yang dapat
mengaktivasi jalur proteolisis. Kehilangan massa otot pada pasien kanker dan
hewan coba dengan kaheksia menunjukkan korelasi dengan adanya PIF di dalam
serum yang mampu menginduksi secara seimbang degradasi protein dan
penghambatan sintesis protein. PIF dihasilkan khususnya pada pasien kanker
kaheksia, dimana di dalam urin pasien kanker kaheksia dapat ditemukan adanya
PIF, sedangkan pada urin pasien dengan kondisi kehilangan BB seperti luka
bakar, multiple injuries, pasien bedah dengan katabolisme berat dan pada sepsis,
PIF tidak ditemukan.13,14
Pada kanker terjadi ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi seperti
TNF-α, IL-1, IL-2, IL-6, interferon-γ dan sitokin antiinflamasi seperti IL-4, IL-12,
IL-15. Aktivasi sitokin proinflamasi akan mengaktivasi nuclear transcripsi factor-
κB (NF-кB) sehingga terjadi inhibisi sintesis protein otot dan penurunan protein
Myo D, suatu faktor transkripsi yang berperan dalam modulasi jalur signaling
dalam perkembangan otot. Sitokin proinflamasi juga mengaktivasi proteolisis
melalui jalur ubiquitin.12,14
Ubiquitin menghambat sintesis protein dan meningkatkan proteolisis
secara tidak langsung, dengan cara menghambat inhibitory KB-protein (IKB)
yang merupakan inhibitor kuat NF-кB. Selain itu, aktivasi kortisol dan pelepasan
katekolamin juga meningkatkan aktivitas proteolisis ubiquitin. 14
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Efek tidak langsung terjadi melalui kerusakan DNA yang disebabkan oleh radiasi
bebas toksik yang dihasilkan dari ionisasi molekul air (H20) oleh radiasi pengion.
Radikal bebas ini yang akan menimbulkan reaksi kimiawi yang mengakibatkan
putusnya rantai DNA secara permanen (gambar 2.6).19,20
Efek tidak
langsung
Efek
langsung
2.10.2.2 Brakiterapi
Radiasi dalam atau brakiterapi adalah pengobatan radiasi dengan mendekatkan
sumber radiasi ke tumor primer. Terapi ini merupakan periode radiasi singkat
yang diberikan melalui serviks ke dalam kavum intrauterin. Tehnik brakiterapi
diberikan dengan menempatkan aplikator intravaginal sebagai tempat radioaktif,
untuk mendapatkan dosis yang optimal. Prinsip brakiterapi ini adalah memberikan
radiasi dosis tinggi pada tumor primer serviks, serta menghindarkan jaringan sehat
atau organ lain (rektosigmoid dan kandung kemih) dari efek radiasi.19
Kelebihan brakiterapi adalah tumor akan mendapat dosis yang besar
dengan menjaga jaringan sehat dari dosis yang berlebihan. Selain itu tehnik ini
bermanfaat untuk tumor yang bersifat hipotoksik atau memiliki daya proliferasi
Universitas Indonesia
lambat karena radiasi diberikan secara terus menerus. Kekurangannya adalah letak
tumor harus dapat dijangkau dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal
pada tumor dengan risiko adanya keterlibatan kelenjar getah bening regional,
selain itu diperlukan suatu keterampilan khusus dan perencanaan terapi yang
baik.20
2.10.2.3. Intravena
Terapi ini dilakukan dengan memasukkan larutan radioisotop ke dalam vena, yang
kemudian akan diserap oleh jaringan tertentu, misalnya 131I untuk terapi kanker
tiroid dan 32P untuk terapi mieloma.20
2.10.3. Kemoterapi1
Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan menggunakan obat-obatan
atau hormon. Tujuan penggunaan obat kemoterapi terhadap kanker adalah
mencegah atau menghambat multiplikasi sel kanker, menghambat invasi serta
menghambat metastase.
Kemoterapi harus mempunyai efek menghambat yang maksimal terhadap
pertumbuhan sel kanker, tetapi mempunyai efek yang minimal terhadap sel-sel
jaringan tubuh yang normal. Obat sitotoksik umumnya mempunyai efek yang
utama pada proses sintesis DNA, RNA atau protein. Proses ini dapat
menimbulkan kematian sel. Kemoterapi dilakukan pada pasien stadium IIb
sampai IVa. Regimen yang mengandung cisplatin umumnya diberikan selama
lima minggu dan memberikan angka survival yang bagus.
Universitas Indonesia
Gejala-gejala ini disebabkan oleh pelepasan sitokin pro inflamasi akibat radiasi.
Hal ini juga yang mengakibatkan kerusakan pada mukosa usus halus oleh karena
penurunan aliran darah ke sel-sel epitel usus halus yang menyebabkan atrofi.
Gejala-gejala ini umumnya membaik kurang lebih tiga minggu pasca radiasi. Pada
kasus yang lebih berat, dapat terjadi malabsorpsi zat gizi dan kehilangan cairan
akibat diare, sehingga diperlukan dukungan nutrisi untuk mencegah terjadinya
defisiensi nutrisi dan penurunan BB.22,23
Komplikasi radiasi seperti diare dan/atau keram perut, proktitis (gangguan
pada daerah anorektal, tenesmus, perdarahan rektum) dan sistouretritis (nyeri
BAK, BAK sering, dan/atau BAK malam hari), dapat membaik dengan terapi
yang tepat. Efek samping jangka panjang antara lain stenosis vagina yang dapat
diterapi dengan dilator vagina. Ulserasi vagina atau nekrosis terjadi pada kurang
lebih 7% pasien, umumnya terjadi enam sampai 12 bulan pasca terapi radiasi,
namun umumnya gejala sudah mulai terlihat sejak satu sampai enam bulan pasca
radiasi. Komplikasi lain pada daerah gastrointestinal, umumnya terjadi setelah 19
bulan pasca radiasi, sedangkan komplikasi genitourinari dapat terjadi setelah dua
tahun pasca radiasi.22
Kemoterapi dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau terapi adjuvan
kombinasi operasi atau radioterapi. Efek kemoterapi bersifat sistemik sehingga
dapat mempengaruhi seluruh tubuh, di antaranya fungsi gastrointestinal karena
kerusakan sel saluran cerna akibat pelepasan sitokin pro inflamasi. Efek samping
kemoterapi antara lain adalah mual, muntah, diare dan gangguan motilitas
lambung.22
Tingkat keparahan diare menurut National Cancer Institute Common
Toxicity Criteria (NCI CTC) versi 2.0. Grade 0 = tidak ada diare, grade 1 =
peningkatan diare <4 kali/hari selama pra-perawatan, grade 2 = peningkatan 4–6
kali/hari, atau pada malam hari, grade 3 = peningkatan ≥7 kali/hari atau
inkontinensia/butuh dukungan parenteral untuk dehidrasi, grade 4 =
membutuhkan perawatan intensif.24
Terapi radiasi radikal pada keganasan daerah panggul dapat membawa
risiko komplikasi untuk jaringan normal di sekitar tumor. Komplikasi akut yang
mempengaruhi saluran pencernaan terjadi pada sekitar 80% pasien, tetapi pada
Universitas Indonesia
2.11.1. Skrining
Skrining nutrisi dibuat untuk mengevaluasi atau mengidentifikasi sejak awal
pasien yang berisiko tinggi mengalami malnutrisi berat. Metode skrining ini
dibuat untuk menskrining secara cepat dan tepat pada pasien yang membutuhkan
dukungan nutrisi. Parameter skrining umumnya termasuk BB, tinggi badan,
perubahan BB, dan perubahan kemampuan untuk makan.26
Malnutrition screening tool (MST) merupakan perangkat skrining yang
telah tervalidasi untuk mengidentifikasi risiko nutrisi pada pasien kanker.
Perangkat ini terdiri dari dua pertanyaan yang berhubungan dengan penurunan BB
dan selera makan. Skrining MST dapat dilakukan dengan mudah dan dalam waktu
singkat oleh perawat.27
Hasil skor skrining MST terbagi menjadi dua kelompok yaitu skor 0–1,
dan ≥2. Skor 0–1 menunjukkan tidak berisiko malnutrisi, skor ≥2 memiliki risiko
Universitas Indonesia
malnutrisi. Apabila pasien berada pada skor 0–1 maka dilakukan skrining ulang
pada pasien dua minggu kemudian atau pada konsultasi berikutnya, apabila skor
= 2 maka dilakukan pemantauan setiap dua minggu dengan menilai asupan dan
BB serta memberikan intervensi diet, sedangkan bila skor 3–5 pemantauan
dilakukan setiap minggu.27
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Penelitian oleh Wedlake dkk.34 pada penderita tumor daerah pelvis (48% urologi,
32% gastrointestinal, 20% ginekologi) yang mendapat terapi radiasi, diberikan
diet yang mengandung rendah lemak, normal lemak dan modified lemak. Rendah
lemak terdiri dari 20% long chain trigliseride (LCT), normal lemak terdiri dari
40% LCT dan modified lemak terdiri dari 20% LCT dan 20% medium chain
trigliseride (MCT). Hasil penelitian ini ternyata pada kelompok yang diberikan
rendah lemak dan modified lemak tidak memperbaiki skor gejala gastrointestinal
akibat terapi radiasi dibandingkan dengan kelompok yang mendapat normal
lemak.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa diet ketogenik berupa diet tinggi
lemak, rendah karbohidrat dan protein adekuat, lebih baik daripada diet standar
dengan jumlah lemak 25% dari KET. Pemberian lemak pada diet ketogenik
didasarkan pada pemakaian glukosa sebagai sumber energi bagi sel kanker. Diet
ketogenik menekankan pada konsumsi lemak karena lemak tidak memiliki efek
pada kadar gula darah dan kadar insulin secara bermakna. Asupan KH dan protein
yang rendah akan meningkatkan konsumsi lemak yang akan menghambat
pertumbuhan sel kanker.35
Sel kanker tumbuh pada kadar glukosa yang tinggi dan tergantung pada
kadar insulin yang tinggi untuk memperoleh glukosa. Kadar insulin yang tinggi
meningkatkan produksi hormon yang meningkatkan kondisi metabolik. Diet
ketogenik akan menyebabkan terjadinya ketosis, inhibisi fatty acid synthase,
penurunan kadar insulin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan sitokin pro
inlamasi. Kadar insulin dan kadar IGF-1 yang rendah akan menghambat tumor
angiogenesis factor substansi yang dihasilkan oleh sel kanker yang merangsang
pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran darah ke dalam sel
kanker. Keadaan hipoglikemia dan inhibisi fatty acid synthase, juga akan memicu
terjadinya apoptosis.35
Pada diet ketogenik, rasio lemak : protein atau karbohidrat = 4:1.36 Namun
penelitian oleh Ho37 menyatakan bahwa asupan rendah karbohidrat dapat
meningkatkan pertumbuhan dan progresivitas sel tumor.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
larut seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin sedangkan serat larut seperti gums,
psyllium, β-glukan, inulin, wheat dextrin, dan pektin.43
Rekomendasi kebutuhan serat untuk usia 19–50 tahun adalah 25 g/hari
untuk perempuan dan 38 g/hari untuk laki-laki yang merupakan adekuat intake
untuk serat atau dapat menggunakan pemberian serat sebesar 14 g/1000 kal.38
Sedangkan rekomendasi dari American Cancer Society (ACS) adalah pemberian
diet rendah serat pada pasien kanker yang mengalami masalah gastrointestinal.
Diet rendah serat tersebut masih mengandung sedikit serat larut yang bersifat
tidak mengiritasi saluran cerna.44 Suatu systematic review mengenai pemberian
serat pada pasien kanker dengan radioterapi daerah pelvis didapatkan hasil yang
tidak konsisten dalam pemberian diet rendah atau tinggi serat. 34
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dewasa tanpa adanya kelainan ginjal adalah 30–35 ml/kgBB/hari atau cairan dapat
diberikan sebesar 1 ml untuk setiap 1 kalori (kal) kebutuhan energi.
Universitas Indonesia
Pada keadaan normal, oksidasi AARC di otot skelet menghasilkan 6–7% dari
energi total, namun pada keadaan katabolik, dapat mencapai 20% dari energi total.
Pada keadaan stress yang singkat, konsentrasi protein intraselular otot dan
glutamin menurun, sedangkan konsentrasi AARC intrasel otot meningkat, hal ini
menunjukkan peningkatan proteolisis yang menghasilkan AARC untuk
meningkatkan sintesis glutamin. Glutamin yang baru disintesis membantu
mempertahankan konsentrasi plasma dan memenuhi kebutuhan glutamin yang
meningkat. Pada keadaan stress berat dalam waktu yang berkepanjangan,
penggunaan glutamin meningkat melebihi kapasitas tubuh untuk mensintesis
sehingga terjadi deplesi berat glutamin otot. Bila keadaan hipermetabolik
berlanjut, cadangan protein otot dan AARC akan berkurang dan terjadi kerusakan
yang ireversibel. Kemampuan absorbsi AARC intestinal juga meningkat pada
keadaan stres.49
Pada pasien kanker, umumnya juga terjadi anoreksia yang disebabkan efek
dari radiasi, kemoterapi atau efek dari tumor itu sendiri. Sistem serotoninergik
berperan pada patogenesis terjadinya anoreksia pada pasien kanker. Selama masa
pertumbuhan tumor, kadar triptofan bebas dalam plasma (yang juga
menggambarkan kadar triptofan di otak) dan sintesis serotonin meningkat.
Triptofan memasuki sawar darah otak diatur oleh suatu sistem transport yang
berkompetisi dengan LNAA (AARC, fenilalanin, metionin, tirosin), kemungkinan
dengan masuknya triptofan ke otak akan menurunkan kadar plasma
kompetitornya.51
Universitas Indonesia
Berdasarkan hal itu, dapat diduga bahwa pemberian AARC secara oral dapat
menurunkan anoreksia pasien kanker dengan menurunkan kadar triptofan otak
dan menurunkan kadar serotoninergik sehingga dapat meningkatkan asupan
makanan. Belum ada rekomendasi yang jelas untuk pemberian AARC pada pasien
kanker. Perbandingan kadar triptofan bebas dalam plasma dengan LNAA,
meningkat pada kelompok pasien kanker dengan anoreksia, dibandingkan pasien
sehat atau pasien kanker tanpa anoreksia. Peningkatan ini berhubungan langsung
dengan peningkatan kadar triptofan dalam cairan serebrospinal. 51
Pada penelitian lain, pada hewan coba tikus yang menderita tumor, terlihat
bahwa penurunan kadar serotonin ternyata tidak berpengaruh pada kebiasaan
makan hewan tersebut. Hal ini adalah karena pengaruh sitokin TNF-α, IL-1,
neuropeptida Y, ammonia atau hormon lain yang mungkin dapat berpengaruh. 52
Asam amino rantai cabang berperan pada pencegahan muscle wasting
yang umumnya terjadi pada pasien kanker melalui jalur metabolik. Pada keadaan
dimana asupan protein meningkat maka akan dideteksi oleh nutrient sensitive
kinase mammalian target of rapamycin complex I (mTORC I) yang merupakan
regulator utama pada sintesis protein, sintesis lipid, jalur transkripsi gen dan
autophagi.51
Aktivasi mTORC1 tergantung pada ketersediaan yang cukup dari asam
amino, terutama AARC. Aktivasi mTORC1 dimodulasi oleh tiga jalur utama
seperti terlihat pada gambar 2.9. Salah satu jalur melibatkan faktor pertumbuhan
seperti insulin dan insulin-like growth factor 1 (IGF-1) yang akan mengaktifkan
protein kinase PI3K/Akt kompleks dan menyebabkan fosforilasi protein sclerosis
tuberous 2 (TSC2) yang dapat menurunkan fungsi inhibisi dari kompleks
TSC1/TSC2. Inhibisi ini menyebabkan pengaktifan guanine triphosphate
hydrolysis enzymes (GTPase) kecil, ras homolog enriched in brain (Rheb), yang
selanjutnya akan mengaktifkan mTORC1.51
Ada tiga faktor penting yang berkontribusi terhadap proliferasi sel melalui
jalur mTORC1, yaitu aktivasi protein ribosom S6 kinase 1 (S6K1) yang mengarah
ke sintesis protein, aktivasi sterol regulatory element-binding protein (SREBP)
yang menyebabkan peningkatan sintesis lipid dan inhibisi eukaryotic translation
initiation factor 4E binding protein 1 (4EBP1) untuk proses transkripsi. Aktivasi
Universitas Indonesia
S6K1 juga menghasilkan umpan balik negatif pada substrat reseptor insulin-1
(IRS-1) yang menyebabkan sensitivitas insulin menurun.51
Kadar glukosa juga berdampak pada aktivitas mTORC1 melalui jalur
adenosine mono phosphate (AMP) kinase (AMPK). Apabila kadar glukosa tinggi,
kadar adenosine triphosphate (ATP) meningkat dan kadar AMP menurun, yang
menyebabkan inaktivasi AMPK. Seperti kompleks protein kinase PI3K/Atk,
AMPK juga berinteraksi dengan kompleks TSC1/TSC2 yang selanjutnya
mengaktivasi mTORC1. Apabila AMPK tidak aktif, maka fungsi inhibisi
TCS1/TSC2 kompleks juga akan menurun sehingga menyebabkan aktivasi
mTORC1 dan terjadinya resistensi insulin.51
Beberapa penelitian menyatakan bahwa leusin lebih berperan dalam
sintesis protein dibanding isoleusin dan valin. Leusin dikaitkan dengan stimulasi
sintesis protein otot melalui jalur mTORC1 dan juga dapat menyebabkan
translokasi aktif mTORC1 ke lisosom. Studi pada sel mamalia telah menunjukkan
bahwa kekurangan asam amino dapat dengan cepat meniadakan aktivitas
mTORC.51
Universitas Indonesia
Gambar 2.8. Peran AARC Melalui Jalur Signaling Sel pada Sel Kanker
Sumber: daftar referensi no.51
Keterangan :
AMP:adenosine monophosphate; AMPK:adenosine monophosphate kinase; ATP:adenosine
triphosphate; BCAA:branched chain amino acid; 4EBP:eukaryotic translation initiation factor 4E
binding protein 1; Gln:Glutamin; GLUT:glucose transport protein; IGF-1:insulin-like growth
factor 1; IR:insulin receptor; IRS-1:insulin receptor substrate-1; LAT1:L-type amino acid
transporter; mTORC1 : mammalian target of rapamycin complex 1; PI3K : phosphatidy linosotide
3-kinases; Rag GTPases:Rag guanine triphosphate hydrolysis enzymes; Rheb:Ras homolog
enriched in brain. S6K1:ribosomal protein S6 kinase; SREBP:sterol regulatory element-binding
protein; TSC1/TSC2:complex of tuberous sclerosis proteins 1/2.
Universitas Indonesia
Umumnya EPA dan DHA ditemukan pada lemak ikan sedangkan ALA dapat
ditemukan pada flaxseed, walnuts dan kacang kedelai. Tubuh manusia tidak dapat
mensintesis ALA, sedangkan ALA yang akan diubah menjadi EPA dan DHA di
dalam tubuh hanya terbatas, kurang lebih 5% ALA akan diubah menjadi EPA dan
kurang dari 0,5% akan diubah menjadi DHA.52
Asam lemak omega-3 dan omega-6 akan membentuk membran sel
fosfolipid dan berperan penting dalam metabolisme eikosanoid. Yang termasuk
dalam eikosanoid adalah prostaglandin (PG), tromboxan (TX), leukotrin (LT).
Eikosanoid yang berasal dari asam lemak omega-6 bersifat proinflamasi dan
angiogenesis, sedangkan omega-3 bersifat anti-inflamasi dan tidak merangsang
angiogenesis. Asam arakidonat merupakan turunan dari asam lemak omega-6
yang berkompetisi dengan EPA pada jalur metabolik yang sama, yaitu melalui
enzim cyclooxygenase (COX) dan lipooxygenase (LOX) sehingga apabila asupan
yang berasal dari diet mengandung banyak EPA, maka akan menurunkan kadar
asam arakidonat, demikian pula sebaliknya. Jalur metabolisme asam lemak
omega-3 dan omega-6 dapat dilihat pada gambar 2.10.53,54
Universitas Indonesia
Omega-3 Omega-6
Pro-angiogenesis/
eikosanoid
Asam eikosapentaenoat pro-inflamatori Asam arakidonat
Anti-angiogenesis/
eikosanoid
anti-inflamatori
Asam lemak omega-6 dapat diperoleh dari minyak tumbuhan seperti safflower,
minyak jagung, soybean oil dan jaringan lemak mamalia, sedangkan asam lemak
omega-3 umumnya terdapat pada ikan laut dalam. Di Indonesia terdapat beberapa
jenis ikan dan makanan laut yang mengandung omega-3, walaupun kadarnya tidak
sebanyak ikan yang berasal dari laut dalam.55 Kandungan omega-3 dan omega-6
pada beberapa ikan dan makanan laut yang ada di Indonesia, dapat dilihat pada
tabel 2.1.
Universitas Indonesia
Tabel 2.1. Kandungan Omega-3 dan Omega-6 dalam Ikan dan Makanan Laut
yang Dikonsumsi Masyarakat Indonesia
Polyunsaturated fatty acids pada awalnya tidak dianggap memiliki aktivitas anti
kanker, namun selanjutnya diketahui bahwa insiden kanker yang rendah
dilaporkan di daerah seperti Jepang dan Mediterania, dimana penggunaan omega-
3 tinggi dalam diet. Sifat anti-inflamasi dari eikosanoid pada metabolisme EPA
kemungkinan memiliki efek anti kanker. Eikosanoid dapat mengurangi kerusakan
yang disebabkan oleh stres oksidatif dan menghambat jalur inflamasi COX.
Pemberian EPA juga terbukti meningkatkan massa otot pada pasien kanker. 54
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suplementasi omega-3
khususnya EPA dan DHA dapat menghambat pertumbuhan sel tumor melalui
mekanisme apoptosis, penghambatan angiogenesis dan perubahan pada sinyal sel.
Suplementasi EPA dan DHA juga menghambat pelepasan sitokin pro inflamasi
TNF-α, IL-1 dan IL-6.54
Beberapa mekanisme asam lemak omega-3 dalam memodulasi sistem
imun, antara lain dengan menempel pada membran fosfolipid, meningkatkan
fluiditas membran sel, dan mempengaruhi struktur dan fungsi reseptor, transporter
dan enzim yang berhubungan. Adanya pengaruh dari phospholipase A2
menyebabkan omega-3 dilepaskan dari membran sel, kemudian digunakan
sebagai substrat untuk sintesis eikosanoid anti-inflamatori.54
Omega-3 yang dilepaskan dari membran fosfolipid, juga berperan dalam
menghambat transkripsi sitokin pro-inflamatori oleh karena diaktivasi oleh
peroxisome-proliferator activated receptors (PPAR), selanjutnya PPAR akan
berperan dalam menginhibisi NF-κB yang berperan dalam proses transkripsi
sitokin. Omega-3 memiliki derajat unsaturated yang tinggi sehingga
Universitas Indonesia
Sitoplasma Nukleus
Omega-6
Sinyal
aktivasi
Sitoplasma
Omega-3
Nukleus
Rangsangan eksogen
Endotel dengan leukosit
Progresi inflamasi
Keterangan :
PUFA:polyunsaturated fatty acids, PG:prostaglandin; TX:tromboksan, LT:leukotrin;
IL:interleukin, TNF:tumor necrosis factor, COX:cyclooxygenase, LOX: lipooxigenase;
PLA:phospholipase, PPAR:peroxisome-proliferator activated receptors, NF-κB:nuclear
transcription factor κB.
Universitas Indonesia
Asam amino
Degradasi protein Degradasi otot
Universitas Indonesia
Murphy dkk.59 melakukan penelitian pada pasien kanker paru yang sedang
menjalani kemoterapi, yang diberikan suplementasi minyak ikan mengandung
EPA sebanyak 2,2 g. Pada penelitian ini terlihat bahwa pemberian intervensi
suplementasi EPA 2,2 g/hari pada pasien stadium awal penyakit kanker paru,
dapat mencegah terjadinya kehilangan massa otot dibandingkan dengan
pemberian pada pasien dengan stadium lanjut. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Luis dkk.60 memperlihatkan bahwa pemberian EPA pada pasien kanker kepala
dan leher yang diberi EPA sebanyak 1,5 g dan 1,6 g, selama tiga bulan, terbukti
dapat mempertahankan BB pasien.
Beberapa teori menyatakan bahwa asam lemak omega-3 dapat
menyebabkan perdarahan dengan menghambat jalur asam arakidonat, namun efek
ini sangat minimal. Pada uji klinis pasien yang menjalani operasi bypass arteri
koronaria dan mendapat terapi aspirin atau warfarin, ternyata waktu perdarahan
dan episode terjadinya perdarahan tidak lebih tinggi dibandingkan pada kelompok
yang mendapat asam lemak omega-3 sebanyak 4 g per hari.52 Beberapa efek
samping yang ditimbulkan akibat mengonsumsi asam lemak omega-3 tergambar
dalam tabel 2.2.
Pada saat ini belum ada rekomendasi pasti kebutuhan asam lemak omega-3. Asam
lemak omega-3 juga tidak memiliki RDA, namun memiliki acceptable intake (AI)
Universitas Indonesia
di mana AI untuk laki-laki adalah 1,6 g/hari, sedangkan untuk perempuan sebesar
1,1 g.hari.62
Universitas Indonesia
Peran imunomodulasi probiotik adalah melalui interaksi dengan sel epitel mukosa
usus, sel M, atau sel dendritik yang menyebabkan terjadinya internalisasi
probiotik atau komponenya. Interaksi ini menstimulasi penglepasan IL-6 oleh sel
epitel usus yang selanjutnya mempengaruhi makrofag dan sel dendritik untuk
menghasilkan TNF-α serta IFN-γ, selain itu juga menyebabkan sel mast
menghasilkan IL-4. Sitokin-sitokin tersebut kemudian akan menginduksi produksi
IgA oleh sel B, selanjutnya sel Th1 akan memproduksi IFN-γ, TNF-α, dan IL-2
yang menstimulasi fagositosis dan destruksi mikroba patogen, serta menginduksi
makrofag, sel NK, sel T sitotoksik untuk membunuh virus dan tumor. 66 Sumber
utama probiotik adalah dari yogurt, cultured buttermilk, keju dan kefir.67
Prebiotik bersifat resisten terhadap asam lambung serta hidrolisis
enzimatik, dan tidak dapat diabsorpsi oleh saluran cerna. Selain itu prebiotik dapat
difermentasi oleh mikroflora kolon dan secara selektif menstimulasi pertumbuhan
atau aktivitas mikroflora tersebut yang berkontribusi terhadap kesehatan. 43 Jenis-
jenis prebiotik meliputi oligofruktosa, inulin, galaktooligosakarida, dan
laktulosa.63 Mikroflora kolon`menghidrolisis karbohidrat yang tidak dapat dicerna
tersebut dan dihasilkan hidrogen, metana, CO2, laktat, dan SCFA yaitu asetat,
propionat serta butirat. Prebiotik berperan meningkatkan massa mikroflora kolon
dan massa fecal sehingga memiliki efek bulking. Sebanyak 30 g mikroflora kolon
dihasilkan dari fermentasi 100 g prebiotik.43
Butirat merupakan sumber energi utama bagi kolonosit, dan SCFA lainnya
yaitu asetat dimetabolisme oleh otak serta otot. Propionat dibawa ke hati dan
dapat berperan menurunkan produksi kolesterol hepatik dengan mempengaruhi
sintesisnya. Pemanfaatan SCFA oleh otak, otot, hati, dan jaringan perifer lainnya
berkontribusi sebesar 7–8% dari kebutuhan energi harian. Fermentasi SCFA juga
menghambat pertumbuhan organisme patogen melalui penurunan pH luminal dan
fecal. Penurunan pH intraluminal berperan pada peningkatan absorpsi kalsium,
magnesium, seng, dan zat besi. Pemberian prebiotik meningkatkan solubilitas dan
bioavailabilitas kalsium di kolon, sehingga meningkatkan absorpsi sebesar 20%.
Selain itu SCFA menyebabkan penurunan resistensi listrik mukosa dan
meningkatkan permeabilitas paraseluler mineral. Produksi SCFA juga
menstimulasi flux Mg2+ melalui aktivasi Mg2+/H+ antiport.43
Universitas Indonesia
Kolonisasi flora usus dapat terganggu akibat paparan dari terapi radiasi, sehingga
kondisi ini menimbulkan permasalahan saluran cerna seperti enteritis dan kolitis.
Radiasi dapat menyebabkan perubahan bakteri usus, permeabilitas pembuluh
darah dari sel-sel mukosa usus dan motilitas. Penelitian oleh Chitapanarux dkk.24
dilakukan pada 63 pasien kanker serviks stadium IIb dan IIIb yang sedang
menjalani terapi radiasi dan mendapat kemoterapi Cisplatin. Pasien diberi
probiotik Acidophilus lactobacillus ditambah Bifidobacterium bifidum dengan
dosis 2 x 109 unit sehari sebelum makan (pagi dan sore), dimulai sejak tujuh hari
sebelum terapi dan selama menjalani terapi radiasi. Hasil penelitian didapatkan
pada kelompok kontrol, kejadian diare sebesar 45% dibandingkan hanya 9% pada
kelompok perlakuan (p=0,002). Penggunaan obat antidiare lebih sedikit pada
kelompok perlakuan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,03), dan
perbaikan konsistensi feses lebih baik pada kelompok perlakuan (p<0,001).
Urbancsek dkk.68 melakukan penelitian RCT pada 206 pasien kanker yang
mengalami diare setelah terapi radiasi selama empat minggu. Pasien dibagi dalam
dua kelompok yaitu kelompok perlakuan yang mendapatkan Lactobacillus
rhamnosus 1,5 x 109 colony forming unit (CFU), dan kelompok plasebo
mendapatkan corn starch selama satu minggu. Pada hasil penelitian didapatkan,
pasien pada kelompok perlakuan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam
konsistensi feses (p <0,05). Penelitian lain oleh Giralt dkk.69 dilakukan pada 85
pasien kanker dengan radioterapi pelvis dan kemoterapi cisplatin. Pasien dibagi
menjadi dua kelompok, dan kelompok perlakuan mendapatkan Lactobacillus
casei DN-114001 108 CFU/g dalam bentuk yogurt, sedangkan kelompok kontrol
mendapatkan plasebo. Pada penelitian ini didapatkan pemberian probiotik tidak
mengurangi insiden diare, tetapi terdapat perbaikan dalam konsistensi feses
menggunakan skala Bristol.
Pemberian probiotik untuk mengurangi toksisitas saluran cerna pada
pasien kanker dengan terapi radiasi dan kemoterapi daerah pelvis pada beberapa
penelitian memperlihatkan hasil yang baik. Permasalahan pada penggunaannya
adalah mengenai komposisi strains dan jumlah yang digunakan masih terbatas dan
dosis sangat individual. Penggunaannya pada pasien-pasien dengan kondisi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.13.2. Ondansetron
Ondansetron merupakan antiemetik yang dapat menekan mual dan muntah karena
sitostatika cisplatin dan radiasi. Ondansetron dapat mempercepat pengosongan
lambung tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi
konstipasi dan gangguan saluran cerna.71
2.13.3. Ultracet
Ultracet merupakan analgetik untuk nyeri akut sedang sampai berat. Analgesia
timbul dalam satu jam setelah penggunaan, dengan lama analgesia sekitar enam
jam. Efek samping yang ditimbulkan mual, muntah dan mulut kering. 71,72
2.13.5. Lansoperazol
Obat ini bekerja menekan produksi asam lambung. Efek samping yang dihasilkan
mual, nyeri perut, konstipasi flatulence dan diare.71
2.13.6. Loperamid
Obat ini memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot
sirkuler dan longitudinal usus. Efek samping yang ditimbulkan adalah kolik
abdomen, sedangkan konstipasi sangat jarang.71
Universitas Indonesia
BAB 3
KASUS
Kriteria pengambilan pasien pada kasus serial ini adalah usia minimal 18 tahun,
menderita penyakit keganasan di daerah serviks, terdapat penurunan selera makan,
terdapat penurunan BB minimal 1–5 kg dalam waktu tiga sampai enam bulan
terakhir dan sedang menjalani radioterapi di Departemen Radioterapi RSCM.
Berdasarkan kriteria di atas, didapatkan empat orang pasien wanita dengan
karakteristik yang tertera pada tabel 3.1.
3.1. Kasus 1
Pasien Ny. L berusia 51 tahun, beragama Islam, menikah, bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Pasien ini didiagnosis sebagai penderita kanker serviks stadium IIb
dan sedang menjalani terapi radiasi eksterna ke-16 di poliklinik radioterapi
RSCM. Pasien menikah satu kali pada usia 24 tahun dan memiliki empat orang
anak yang semuanya lahir normal ditolong oleh bidan.
47
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
bagian bawah. Pasien masih dapat makan melalui oral, buang air besar (BAB)
teratur satu kali per hari, namun kadang-kadang mengalami diare satu sampai dua
hari lamanya dengan frekuensi dua sampai tiga kali sehari, tidak berlendir,
sedangkan buang air kecil (BAK) tidak ada gangguan.
Pasien direncanakan untuk mendapat terapi radiasi eksterna sebanyak 25
kali dan brakiterapi sebanyak tiga kali setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu.
Selama menjalani terapi, pasien melakukan kontrol ke poliklinik radioterapi dan
konsultasi gizi setiap menyelesaikan lima kali radiasi. Keluhan subyektif yang
dialami pasien selama menjalani terapi terlihat sebagai berikut (tabel 3.2.) :
Universitas Indonesia
Tabel 3.3. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Pertama Selama
Pemantauan
Kontrol ke 1 2 3 4 5 6 7 8
BB (kg) 45,0 46,0 44,9 45,0 46,0 46,3 46.7 47,1
2
IMT (kg/m ) 20,5 21,0 20,5 20,5 21,0 21,1 21,3 21,5
Tabel 3.4. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Pertama Selama
Terapi Radiasi
Kontrol 1 2(pra (pasca 3 4 5 6
transfusi) transfusi)
Hb (g/dL) 10,1 8,8 11,912,7 12,0 11,8 11,9
MCV (fL) 75,2 76,5 78,879,0 - - -
MCH (pg) 24,1 24,0 25,525,7 - - -
MCHC (g/dL) 32,1 31,4 32,432,5 - - -
Ht (%) 31,5 28 36,739,1 36,8 36,9 37,9
Leuko (µ/L) 10.030 8260 5.000
5.090 5.950 6.560 6.820
Trombo (µ/L) 364.000 355.000 301.000
308.000 277.000 289.000 321.000
Ur (mg/dL) 18 - - 16 - - -
Kr (mg/dL) 0,6 - - 0,6 - - -
SGOT (U/L) 16 - - 19 - - -
SGPT (U/L) 7 - - 13 - - -
GDS (mg/dL) - - - 120 - - -
Na (mEq/L) - - - 142 - - -
K (mEq/L) - - - 4,21 - - -
Cl (mEq/L) - - - 98,7 - - -
LED (mm) 97 - - 40 - - -
Keterangan :
Hb:hemoglobin; Ht:hematokrit; Leuko:leukosit; Trombo:trombosit; Ur:ureum; Kr:Kreatinin;
MCV:mean corpuscular volume; MCH:mean corpuscular hemoglobin; MCHC:mean corpuscular
hemoglobin consentration; Na:natrium; K:kalium; Cl:chlor; GDS:gula darah sewaktu; LED:laju
endap darah
Universitas Indonesia
(KET) sebesar 1700 kkal. Komposisi makronutrien yang akan diberikan terdiri
dari protein 68 g (1,5 g/kg BB atau 16% KET), lemak 47 g (25% KET) dan KH
sebesar 251 g (59% KET). Pada saat pasien mengalami kenaikan atau penurunan
BB, maka dilakukan penghitungan ulang untuk kebutuhan energi dan
makronutrien.
Asupan makan pasien sebelum sakit kurang lebih 1780 kkal, dengan
protein 51 g, lemak 66 g dan KH 259 g, berupa sarapan pagi nasi goreng satu
centong dan satu butir telur ceplok, makanan selingan pagi berupa kue nagasari
dua buah. Makan siang dan malam masing-masing berupa nasi putih satu centong,
sayur lima hingga enam sendok makan, lauk hewani satu potong sedang, lauk
nabati satu potong sedang dan buah satu potong. Makanan selingan sore berupa
tahu isi atau pisang goreng sebanyak dua potong.
Pemberian nutrisi dilakukan dengan memperhitungkan analisis asupan
pasien, dinaikkan bertahap sesuai toleransi pasien hingga tercapai KET. Bentuk
makanan yang dianjurkan berupa kombinasi makanan biasa dan diet cair. Analisis
asupan energi dan makronutrien rata-rata pasien dalam seminggu, terlihat pada
gambar 3.1 dan gambar 3.2. Pada saat kontrol pertama dan ketiga terlihat asupan
pasien belum mencapai kebutuhan total karena efek mual yang dialami pasien.
Universitas Indonesia
2500
2000
1500
kkal
1000
500
0
SS KET K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Energi 1780 1700 1437 1732 1147 1826 1936 2148 1820 1918
350
300
250
200
Gram
150
100
50
0
SS KT K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Protein 51 68 52 62 69 66 70 96 78 80
Lemak 66 47 41 56 62 89 67 69 79 79
KH 259 251 188 257 145 299 274 302 212 242
Universitas Indonesia
0.9
0.8
0.7
0.6
gram
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pasien 1 0.3 0.2 0.6 0.4 0.7 0.4 0.7 0.3
RDA 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
Universitas Indonesia
300
250
200
Gram
150
100
50
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pasien 1 32.4 130 108 30.9 220. 109 242 229
RDA 100 100 100 100 100 100 100 100
30
25
20
Gram
15
10
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pasien 1 3.9 8.9 17.4 3.1 9.3 8.2 26.9 8.9
RDA 12 12 12 12 12 12 12 12
Gambar 3.5. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Pertama Selama
Pemantauan
Keterangan:
RDA: Recommended Dietary Allowances
K : kontrol
Universitas Indonesia
1.8
1.6
1.4
1.2
Gram
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pasien 1 0 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.4 1.7
Target 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5
Universitas Indonesia
3.2. Kasus 2
Pasien Ny.I berusia 43 tahun, beragama Kristen, menikah, bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Pasien baru mulai menjalani terapi radiasi eksterna di poliklinik
radioterapi RSCM. Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh jaminan kesehatan
daerah (Jamkesda).
Riwayat perjalanan penyakit sudah mulai dirasakan oleh pasien sejak lima
bulan yang lalu (bulan Juli 2013) pasien mengeluh keluar bercak darah setelah
berhubungan dengan suami. Satu bulan kemudian pasien juga mengeluh adanya
keputihan sedikit, cair, berwarna putih bercampur warna kekuningan dan
kehijauan. Keputihan awalnya tidak berbau, namun lama kelamaan dirasakan
pasien berbau tidak sedap.
Pasien kemudian berobat ke bidan tempat pasien biasa melakukan suntik
KB setiap tiga bulan sekali, dan dikatakan bahwa hal itu disebabkan karena efek
dari suntik KB dan pasien dianjurkan untuk berhenti menjalani suntik KB. Pasien
kemudian berkonsultasi ke bidan lain dan dianjurkan untuk berkonsultasi ke
dokter kandungan. Selanjutnya di dokter kandungan, dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi (USG) abdomen dan dikatakan tidak ada kelainan, namun ketika
dilakukan pemeriksaan dalam, didapatkan adanya benjolan di leher rahim. Pasien
kemudian dirujuk ke RSU Tangerang untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Pasien memperoleh pemeriksaan lanjutan berupa computed tomography
scan (CT scan), pemeriksaan darah dan USG, dari hasil pemeriksaan tersebut,
pasien didiagnosis menderita kanker serviks stadium IIb. Pasien selanjutnya
disarankan untuk dilakukan histerektomi, dan pasien menyetujui, namun pada saat
operasi ternyata didapatkan bahwa kanker serviks pasien sudah masuk stadium
IIIb sehingga tidak jadi dilakukan histerektomi, hanya dilakukan ovoreksi
ovarium kanan. Dua minggu pasca operasi, pasien dirujuk ke departemen
radioterapi RSCM untuk dilakukan terapi radiasi.
Pasien menyangkal pernah menderita penyakit darah tinggi, kencing manis
maupun penyakit keganasan lainnya. Pasien tidak merokok dan mengonsumsi
alkohol. Pasien juga tidak pernah melakukan seks bebas. Suami pasien merokok
namun tidak di dalam rumah. Pasien merupakan anak pertama dari empat
Universitas Indonesia
bersaudara yang semuanya sehat, orang tua pasien juga sehat, tidak memiliki
riwayat penyakit keganasan.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap pasien
pada tanggal 20 Desember 2013, didapatkan adanya keluhan mual yang semakin
memberat dan juga nafsu makan yang menurun. Nyeri perut bagian bawah
dirasakan pasien hilang timbul, namun nyeri tersebut tidak terlalu mengganggu.
Keluhan ini dirasakan pasien semenjak timbul gejala. Pasien dapat makan melalui
oral, BAB teratur satu kali per hari, tetapi pasien kadang-kadang mengalami diare
satu sampai dua hari lamanya dengan frekuensi dua sampai tiga kali sehari, tidak
berlendir, BAK tidak ada gangguan.
Pada pemeriksaan antropometri didapatkan BB 45,5 kg, TB 145 cm
dengan IMT 21,6 kg/m2, pasien masuk dalam status gizi BB normal. Pasien
didiagnosis kanker serviks stadium IIIb, BB normal berisiko malnutrisi,
hipermetabolisme sedang, anemia.
Pasien direncanakan untuk mendapat terapi radiasi eksterna sebanyak 25
kali dan brakiterapi sebanyak tiga kali setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu.
Pasien juga melakukan kontrol ke poli radioterapi setiap satu minggu sekali atau
setelah lima kali dilakukan radiasi, untuk melihat kemajuan atau efek dari
penyinaran.
Pemantauan pasien dilakukan pada saat pasien kontrol ke poli radioterapi
selama masa penyinaran, yaitu sebanyak sembilan kali. BB pasien sebelum sakit
adalah 50 kg, dan mengalami penurunan sebanyak 5 kg dimulai sejak tiga bulan
sebelum radiasi. Pada pemantauan hingga radiasi selesai, pasien mengalami
penurunan dan peningkatan BB. Berat badan pada awal penyinaran 45,5 kg,
setelah selesai penyinaran menjadi 45 kg. Selama menjalani terapi, pasien
melakukan kontrol ke poliklinik radioterapi dan konsultasi gizi setiap
menyelesaikan lima kali radiasi. Keluhan subyektif yang dialami pasien selama
menjalani terapi terlihat dalam berikut (tabel 3.5):
Universitas Indonesia
Tabel 3.6. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Kedua Selama
Pemantauan
Kontrol ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
BB (kg) 45,5 45,4 45,3 43,6 43,8 43,6 45 45,1 44,6 44,7 45
2
IMT(kg/m ) 21,6 21,6 21,4 20,7 20,8 20,7 21,4 21,5 21,2 21,3 21,4
Universitas Indonesia
Tabel 3.7. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Kedua Selama
Pemantauan
Kontrol 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Hb (g/dL) 11,0 9,6 11,5 11,5 11,2 11,9 11,2 10,8 11.9
Ht (%) 33,1 28,8 34,5 34,8 34,1 36,0 34,8 33,7 36,5
Leko (µ/L) 12.940 11.260 9.920 11.350 8.370 6,260 6.560 7.510 6.320
Trom (µ/L) 414.000 387.000 345.000 342.000 301.000 278.000 240.000 216.000 285.000
MCV (fL) 83,8 83,0 82,5 82,9 84,0 82,8 84,9 86,6 82,5
MCH (pg) 27,8 27,7 27,5 27,4 27,6 27,4 27,3 27,8 27,5
MCHC (g/dL) 33,2 33,3 33,3 33,0 32,8 33,1 32,2 32,0 33,3
Ur (mg/dL) 12 - - - - 15 - - -
Kr (mg/dL) 0,6 - - - - 0,6 - - -
SGOT (U/L) - - - - - 16 - - -
SGPT (U/L) - - - - - 9 - - -
LED (mm) - 120 125 118 - 120 - - 125
GDS(mg/dL) - - - - - 104 - - -
Na (mEq/L) - - - - - 143 - - -
K (mEq/L) - - - - - 4,26 - - -
Cl (mEq/L) - - - - - 102 - - -
Keterangan :
Hb:hemoglobin; Ht:hematokrit; Leuko:leukosit; Trom:trombosit; Ur:ureum; Kr:Kreatinin; MCV:
mean corpuscular volume; MCH:mean corpuscular hemoglobin; MCHC:mean corpuscular
hemoglobin consentration; Na:natrium; K:kalium; Cl:chlor; GDS:gula darah sewaktu; LED:laju
endap darah,
Setiap kali pasien kontrol, dilakukan analisis asupan satu minggu terakhir dengan
menggunakan food record. Pada pasien ini, perhitungan kebutuhan energy
berdasarkan persamaan Harris-Benedict diperoleh KEB sebesar 1155 kkal dengan
faktor stres 1,5 didapatkan KET sebesar 1700 kkal. Komposisi makronutrien yang
akan diberikan terdiri dari protein 68 g (1,5 g/kg BB atau 16% KET), lemak 47 g
(25% KET) dan KH sebesar 251 g (59% KET). Perencanaan pemberian nutrisi
disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan BB pasien.
Analisis asupan pasien sebelum sakit kurang lebih sebesar 1329 kkal
dengan komposisi makronutrien protein 39 g, lemak 67 g, dan KH 149 g, berupa
sarapan pagi nasi uduk satu centong, tempe orek tiga hingga empat sendok makan,
bihun goreng tiga hingga empat sendok makan, lauk nabati satu potong sedang,
sedangkan makanan selingan pagi berupa kue satu potong. Makan siang berupa
Universitas Indonesia
nasi putih satu centong, lauk hewani satu potong sedang, lauk nabati satu potong
sedang dan sayur lima sampai enam sendok makan, sedangkan makanan selingan
berupa kue satu buah dan pisang kepok rebus satu buah. Makan malam berupa
nasi goreng satu centong dan telur ceplok satu butir. Pasien jarang mengonsumsi
buah.
Pemberian nutrisi dilakukan dengan memperhitungkan analisis asupan
pasien. Peningkatan asupan dilakukan bertahap sesuai dengan toleransi pasien
berupa kombinasi makanan biasa dan diet cair Analisis asupan energi dan
makronutrien rata-rata pasien dalam seminggu, terlihat pada gambar 3.8 dan
gambar 3.9. Selama pemantauan terlihat asupan pasien belum pernah mencapai
kebutuhan total.
1800
1600
1400
1200
Gram
1000
800
600
400
200
0
SS KET K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
Energi 1329 1700 496 537 1027 512 1057 1132 1314 1603 1075
Universitas Indonesia
300
250
200
Gram
150
100
50
0
SS KT K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
Protein 39 68 15 23 62 34 59 51 77 72 64
Lemak 67 47 16 14 36 13 36 40 37 39 39
KH 149 251 77 86 118 65 126 144 167 250 91
Medikamentosa yang diberikan selama pasien menjalani terapi radiasi berupa obat
anti nyeri Ultracet 3 x 1 tablet, Ondansetron 2 x 1 tablet yang diberikan pada saat
pasien mengalami mual dan Loperamid 2 x 1 tablet diberikan pada saat pasien
mengalami diare.
Pemberian mikronutrien berupa multivitamin dan mineral diberikan sesuai
RDA, terutama pada saat asupan pasien tidak mencukupi kebutuhan, diutamakan
dari bahan makanan sumber. Analisis asupan vitamin A, vitamin C dan vitamin E
masih ada yang belum mencapai RDA seperti terlihat pada gambar 3.10, gambar
3.11 dan gambar 3.12, sehingga pada pasien ini diberikan suplementasi
multivitamin yang diberikan yang mengandung vitamin A, vitamin B komplek,
vitamin C, vitamin D, asam folat, selenium dan seng dengan dosis sesuai RDA.
Universitas Indonesia
300
250
200
Gram
150
100
50
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
Pasien 2 33 52 198 68 63.3 45.2 15.9 243 11.4
RDA 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Universitas Indonesia
14
12
10
Gram
8
6
4
2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
Pasien 2 1.8 5.5 8.1 1.3 1 4.5 0.3 7.1 0.8
RDA 12 12 12 12 12 12 12 12 12
1.6
1.4
1.2
1
Gram
0.8
0.6
0.4
0.2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
Pasien 2 0 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.4 1.3
Target 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5
Universitas Indonesia
18
16
14
12
Gram
10
8
6
4
2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
Pasien 2 3.9 8.5 11.7 6.1 10.5 9.9 9.4 16.5 7.3
Target 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4
3.3. Kasus 3
Pasien Ny. S berusia 52 tahun, beragama Islam, menikah, bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Pasien baru mulai menjalani terapi radiasi eksterna di poliklinik
radioterapi RSCM. Pembayaran biaya pengobatan menggunakan jamkesda.
Penurunan BB sebanyak 10,8 kg dialami pasien dalam waktu lima bulan
sebelumnya, saat ini BB pasien adalah 62,1 kg.
Riwayat perjalanan penyakit sudah mulai dirasakan oleh pasien sejak
bulan Januari tahun 2013. Pasien mengeluh keluar mengeluh adanya perdarahan
pervaginam seperti haid yang hilang timbul. Perdarahan kadang kala banyak,
kadang sedikit seperti bercak. Lama perdarahan tidak menentu, kadang hanya satu
sampai dua hari, kadangkala hingga dua minggu. Pasien kemudian berobat ke
bidan tempat pasien melakukan suntik KB, dikatakan pasien sudah mulai
memasuki masa menopause. Pasien selama ini menggunakan KB suntik sejak
lima tahun yang lalu.
Pada bulan Juli 2013 pasien memutuskan berobat ke dokter kandungan
karena merasa perdarahan tidak kunjung berhenti. Dokter kandungan merujuk ke
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
seminggu sekali dan brakiterapi sebanyak tiga kali dengan jarak seminggu. Pasien
juga melakukan kontrol ke poli radioterapi setiap satu minggu sekali atau setelah
lima kali dilakukan radiasi, untuk melihat kemajuan atau efek dari radioterapi.
Pemantauan pasien dilakukan pada saat pasien kontrol ke poli radioterapi
selama masa penyinaran, yaitu sebanyak enam kali, sebab pasien tidak
meneruskan dengan brakiterapi. BB pasien sebelum sakit adalah 78 kg dan
mengalami penurunan sebanyak 15,9 kg dimulai sejak timbulnya gejala (bulan
Januari 2013). Pada pemantauan sejak dimulai radiasi hingga radiasi selesai,
pasien mengalami penurunan BB sebanyak 5,8 kg. BB pada awal penyinaran 62,1
kg, setelah selesai penyinaran menjadi 56,3 kg. Keluhan subyektif yang dialami
pasien selama pemantauan terlhat pada tabel 3.8.
Pasien dilakukan radiasi dan kemoterapi selama empat kali dengan jarak satu
minggu, dimulai pada radiasi ke 10. Selama kontrol ke poliklinik radioterapi,
dilakukan pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan
dan suhu setiap pasien kontrol berada dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik
juga dalam batas normal, pada konjungtiva tidak ditemukan adanya anemia.
Penilaian kapasitas fungsional pasien menggunakan KPS bernilai 90%,
cenderung tidak menunjukkan peningkatan sampai akhir radiasi. Pemeriksaan
antropometri dengan mengukur TB dengan alat pengukur TB dan mengukur BB
menggunakan timbangan digital yang sama. Pengukuran BB dilakukan setiap
pasien kontrol ke poliklinik radioterapi. Hasil pengukuran TB didapatkan sebesar
145 cm. Hasil pemeriksaan BB dan IMT terlihat pada tabel 3.9.
Universitas Indonesia
Tabel 3.9. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Ketiga Selama
Pemantauan
Kontrol ke 1 2 3 4 5 6
BB (kg) 62,1 61,2 59,3 58,1 57,9 56,3
IMT (kg/m2) 29,6 29,1 28,2 27,6 27,5 26,8
Tabel 3.10. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Ketiga Selama
Terapi Radiasi
Kontrol 1 2 3 4 5 6
Hb (g/dL) 10,8 10,5 10,8 10,9 11,3 10,6
Ht (%) 33,2 32,6 32,3 32,7 33,0 30,2
Leko (µ/L) 14.040 10.130 6.960 3.640 4.580 1.880
Trombo (µ/L) 478.000 486.000 335.000 292.000 194.000 135.000
MCV (fL) 77,9 79,1 79,8 80,5 79,7 -
MCH (pg) 25,4 25,5 26,7 26,8 27,3 -
MCHC (g/dL) 32,5 32,2 33,4 33,3 34,2 -
Ur (mg/dL) 30 14 9 15 20 20
Kr (mg/dL) 0,7 0,7 0,8 0,9 0,5 1,0
SGOT (U/L) - 16 - - - -
SGPT (U/L) - 5 - - - -
LED - 90 - 90 - -
Keterangan :
Hb:hemoglobin; Ht:hematokrit; Leko:lekosit; Trombo:trombosit; Ur:ureum; Kr:Kreatinin; MCV:
mean corpuscular volume; MCH:mean corpuscular hemoglobin; MCHC:mean corpuscular
hemoglobin consentration; SGOT: serum glutamic oxaloacetic transferase, SGPT: serum glutamic
piruvic transaminase, Na:natrium; K:kalium; Cl:chlor; GDS:gula darah sewaktu; LED:laju endap
darah
Analisis asupan pasien dilakukan menggunakan food record dan dilakukan setiap
kali pasien kontrol ke poliklinik radioterapi. Pemberian nutrisi pada pasien ini
dihitung berdasarkan persamaan Harris-Benedict diperoleh KEB sebesar 1155
kkal dengan faktor stres 1,5 didapatkan KET sebesar 1700 kkal. Komposisi
makronutrien yang akan diberikan terdiri dari protein 68 g (1,5 g/kg BB atau 16%
KET), lemak 47 g (25% KET) dan KH sebesar 251 g (59% KET). Pada saat
Universitas Indonesia
2500
2000
1500
kkal
1000
500
0
SS
Energi 2054 KET
1700 K1
502 K2
370 K3
975 K4
1486 K5
1205 K6
850
Universitas Indonesia
300
250
200
150
Gram
100
50
0
SS KT K1 K2 K3 K4 K5 K6
Protein 67 68 17 36 50 50 50 39
Lemak 83 47 23 12 31 42 42 25
KH 266 251 61 27 126 234 291 135
Universitas Indonesia
1
0.9
0.8
0.7
0.6
Gram
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Pasien 3 0.1 0.2 0.6 0.9 0.5 0.3
RDA 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
Gambar 3.17. Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Ketiga Selama
Pemantauan
Keterangan:
RDA: Recommended Dietary Allowances
K : kontrol
120
100
80
Gram
60
40
20
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Pasien 3 65 0 97 95.9 24.9 40.7
RDA 100 100 100 100 100 100
Universitas Indonesia
14
12
10
8
Gram
6
4
2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Pasien 3 3.7 2.3 4.1 2.8 4.3 1
RDA 12 12 12 12 12 12
1.6
1.4
1.2
1
Gram
0.8
0.6
0.4
0.2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Pasien 3 0 1.1 1.3 1.1 1.3 1.1
Target 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5
Analisis asupan AARC pada pasien selama pemantauan, sebagian besar belum
mencapai target sebesar 14,4 g, namun pasien berusaha meningkatkan asupan
AARC dari putih telur dan lauk hewani, terlihat pada gambar 3.21.
Universitas Indonesia
16
14
12
10
Gram
8
6
4
2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Pasien 3 3.4 6.2 3.5 9.3 10.6 6.1
Target 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4
3.4. Kasus 4
Pasien Ny. A berusia 44 tahun, beragama Islam, menikah, bekerja sebagai
pedagang baju di pasar. Pasien ini didiagnosis sebagai penderita kanker serviks
stadium IIIb. Pembiayaan pengobatan pasien menggunakan ASKES yang berasal
dari suami pasien. Pasien sedang menjalani terapi radiasi eksterna ke-11 di
poliklinik radioterapi RSCM. Sejak didiagnosis dengan kanker serviks, pasien
menalami penurunan BB sebanyak 5 kg dialami pasien dalam waktu lima bulan,
BB pasien saat ini adalah 57,5 kg.
Riwayat perjalanan penyakit dimulai sejak bulan Pebruari 2014 pasien
mulai merasakan haid dengan jarak yang pendek sekitar satu sampai dua minggu,
selama ini jarak haid pasien cenderung teratur sekitar 25–27 hari, disertai
keputihan yang encer dan tidak berbau. Haid yang dialami pasien tidak terlalu
banyak, hanya menghabiskan satu pembalut setiap hari. Kondisi ini berlangsung
selama kurang lebih empat bulan, namun pasien tidak berobat. Pasien juga
merasakan nyeri perut bawah sampai ke bokong yang hilang timbul. Pasien
kemudian merasakan perdarahan menjadi bertambah banyak, bergumpal, dan
tidak berhenti selama satu bulan. Pasien kemudian berobat ke bidan, dan oleh
bidan dirujuk ke RSU Karawang, pasien kemudian dirawat selama dua hari dan
dilakukan pemeriksaan USG dan biopsi serviks. Hasil biopsi menyimpulkan
Universitas Indonesia
adanya keganasan pada daerah serviks sehingga pasien dirujuk ke RSCM. Pasien
selanjutnya menjalani beberapa pemeriksaan di RSCM dan dirujuk ke
Departemen Radioterapi untuk terapi radiasi.
Riwayat penyakit sebelumnya, pasien menyangkal pernah menderita
penyakit darah tinggi, kencing manis maupun penyakit keganasan lainnya. Pasien
tidak pernah merokok dan mengonsumsi alkohol, namun suami pasien perokok,
sejak menikah pasien selalu menghirup asap rokok dari suami pasien.
Pasien tidak pernah melakukan hubungan seks bebas. Pasien dua kali
menikah, usia pernikahan pertama adalah 16 tahun dan dikaruniai satu orang anak,
pasien kemudian menikah lagi pada usia 25 tahun dan dikaruniai dua orang anak.
Semua persalinan pasien ditolong oleh bidan. Pasien menggunakan KB suntik tiga
bulan hanya tiga kali, selain itu pasien tidak pernah menggunakan kontrasepsi
hormonal lainnya. Pasien merupakan anak kedua dari enam bersaudara yang
semuanya sehat namun ibu pasien memiliki penyakit keganasan payudara.
Semenjak dilakukan radiasi pasien mengeluh mual, nyeri perut bawah
yang hilang timbul dan nafsu makan menurun. Pasien selama ini BAB secara
teratur satu kali per hari, selama menjalani radiasi pasien kadang-kadang
mengalami diare satu sampai dua hari lamanya dengan frekuensi dua sampai tiga
kali sehari, tidak berlendir, sedangkan BAK tidak ada gangguan. Kapasitas
fungsional berdasarkan KPS bernilai 90%.
Pasien melakukan kontrol ke poliklinik radioterapi secara teratur dan
konsultasi gizi setiap menyelesaikan lima kali radiasi. Keluhan subyektif yang
dialami pasien selama menjalani terapi terlihat dalam berikut (tabel 3.11) :
Universitas Indonesia
Pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan dan
suhu setiap pasien kontrol berada dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik
juga dalam batas normal, pada konjungtiva tidak ditemukan adanya anemia.
Penilaian kapasitas fungsional pasien menggunakan KPS bernilai 90% Selama
pasien kontrol ke poliklinik, KPS pasien bernilai 90%, cenderung tidak
menunjukkan peningkatan sampai akhir radiasi.
Pemeriksaan antropometri dilakukan setiap kali pasien kontrol dengan
mengukur TB dengan alat pengukur TB dan mengukur BB menggunakan
timbangan digital yang sama. Status gizi pasien tergolong obes I. Hasil
pengukuran TB didapatkan sebesar 148 cm. Hasil pemeriksaan BB dan IMT
terlihat pada tabel 3.12.
Tabel 3.12. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Keempat Selama
Pemantauan
Kontrol ke 1 2 3 4 5 6 7
BB (kg) 57,5 57,0 58,0 57,5 56,0 57,0 56,2
IMT (kg/m2) 26,3 26,0 26,5 26,3 25,6 26,0 25,7
Universitas Indonesia
Setiap kali pasien kontrol, dilakukan analisis asupan satu minggu terakhir dengan
menggunakan food record. Pada pasien ini, perhitungan kebutuhan energi
berdasarkan persamaan Harris-Benedict diperoleh KEB sebesar 1175 kkal dengan
faktor stres 1,5 didapatkan KET sebesar 1800 kkal. Komposisi makronutrien yang
akan diberikan terdiri dari protein 72 g (1,5 g/kg BB atau 16% KET), lemak 50 g
(25% KET) dan KH sebesar 266 g (59% KET). Perencanaan pemberian nutrisi
disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan BB pasien.
Analisis asupan pasien sebelum sakit kurang lebih sebesar 1740 kkal
dengan komposisi makronutrien protein 63 g, lemak 83 g, dan KH 193 g, terdiri
dari sarapan pagi roti manis satu buah dan susu kental manis satu sachet. Makan
siang berupa nasi putih satu centong, ikan asin kurang lebih seperempat potong,
lauk nabati satu potong sedang, sayur lima sampai enam sendok makan dan buah
satu potong. Makan malam berupa nasi putih satu centong, lauk hewani satu
potong sedang, lauk nabati satu potong sedang dan buah satu potong, sedangkan
makanan selingan berupa gorengan dua potong sedang.
Pemberian nutrisi dilakukan dengan memperhitungkan analisis asupan
pasien. Peningkatan asupan dilakukan bertahap sesuai dengan toleransi pasien
berupa kombinasi makanan biasa dan diet cair. Analisis asupan pasien dilakukan
setiap kali pasien kontrol dengan menggunakan food record. Hasil analisis asupan
energi dan makronutrien pasien terlihat pada gambar 3.22. dan gambar 3.23,
terlihat pada kontrol ke tujuh, asupan sudah mencapai KET.
Universitas Indonesia
2000
1800
1600
1400
1200
kkal
1000
800
600
400
200
0
SS KET K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Energi 1740 1800 1487 1527 1619 1116 1410 1872 1716
300
250
200
Gram
150
100
50
0
SS KT K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Protein 63 72 69 65 72 57 65 77 73
Lemak 83 50 56 80 81 45 48 71 74
KH 193 266 183 151 156 123 168 244 190
Universitas Indonesia
Multivitamin dan mineral diberikan terutama pada saat asupan pasien tidak
mencukupi kebutuhan. Pada pasien ini selama menjalani terapi radiasi asupan
rata-rata vitamin tidak mencapai kebutuhan seperti terlihat pada gambar 3.24,
gambar 3.25 dan gambar 3.26. Suplementasi multivitamin yang diberikan yang
mengandung vitamin A, vitamin B komplek, vitamin C, vitamin D, asam folat,
selenium dan seng. Dosis yang diberikan adalah sesuai dengan RDA.
2.5
1.5
Gram
0.5
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Pasien 4 0.8 0.3 0.4 0.8 0.6 0.8 2
RDA 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
180
160
140
120
Gram
100
80
60
40
20
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Pasien 4 157 70.8 20 144 54.4 90 73
RDA
Gambar 100 Asupan
3.25. Analisis 100 Vitamin
100 C Pasien
100 Kasus
100Keempat
100 Selama
100
Pemantauan
Keterangan:
RDA: Recommended Dietary Allowances
K : kontrol
Universitas Indonesia
18
16
14
12
Gram 10
8
6
4
2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Pasien 4 8 8.3 10.5 5 5.7 17.1 14.9
RDA 12 12 12 12 12 12 12
Gambar 3.26. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Keempat Selama
Pemantauan
Keterangan:
RDA: Recommended Dietary Allowances
K : kontrol
1.6
1.4
1.2
1
Gram
0.8
0.6
0.4
0.2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Pasien 4 0.3 0.5 0.5 0.5 1.3 0.5 0.9
Target 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5
Universitas Indonesia
Analisis asupan AARC pada pasien selama pemantauan, sebagian besar belum
mencapai target sebesar 14,4 g, namun pasien berusaha meningkatkan asupan
AARC dari putih telur dan lauk hewani, terlihat pada gambar 3.28. terdapat
peningkatan asupan dibandingkan pada awal pemantauan.
16
14
12
10
Gram
8
6
4
2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Pasien 4 7.6 12.1 9.5 9.1 14.9 12.4 13.5
Target 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4
Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN
Pasien pada serial kasus ini adalah pasien kanker serviks dengan stadium yang
berbeda dan rentang usia pasien antara 43 tahun sampai 52 tahun dimana pasien
pada rentang usia ini termasuk berisiko tinggi terkena kanker serviks. Pada
penelitian di Indonesia, pasien kanker serviks terbanyak menyerang wanita pada
usia produktif 30–50 tahun.4
Teori menyatakan bahwa peningkatan usia seseorang selalu diiringi
dengan penurunan kinerja organ-organ dan kekebalan tubuhnya sehingga relatif
mudah terkena berbagai infeksi. Telah banyak penelitian menemukan bahwa
insiden kanker serviks pada usia tua yang semakin meningkat, dan proliferasi
tumor terlihat lebih agresif. Pada analisis retrospektif terhadap 2.628 pasien,
penderita kanker serviks pada kelompok umur 30–39 tahun dan kelompok umur
60–69 tahun, memiliki jumlah yang sama banyaknya. 4
Berbagai faktor risiko berperan terhadap angka kejadian kanker serviks,
diantaranya kontrasepsi hormonal, merokok, wanita yang berganti-ganti pasangan,
wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda, hamil di usia muda,
jumlah persalinan banyak dan manajemen persalinan yang tidak tepat. Faktor
risiko merokok terdapat pada semua pasien, dimana semua pasien merupakan
perokok pasif.
Sebuah meta-analisis menyatakan bahwa risiko terjadinya kanker serviks
sel skuamous meningkat 50% pada wanita perokok. Meta-analisis lain pada pasien
kanker serviks menyatakan bahwa pada wanita yang tidak pernah merokok tapi
terpapar oleh asap rokok mengalami risiko terkena kanker serviks sebanyak 73%
dibandingkan dengan wanita yang tidak terpapar asap rokok. 73
Asap rokok yang mengandung zat karsinogenik menyebabkan gangguan
pada proses metabolik yang dikatalisis oleh enzim sitokrom P450. Hal ini
menyebabkan terbentuknya DNA adduct yang dapat menyebabkan terjadinya
kesalahan coding pada saat sel melakukan replikasi sehingga proses yang dibantu
enzim DNA polimerase tersebut berjalan tidak normal. Hal ini berakibat
terjadinya mutasi gen, yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi pertumbuhan
80
Universitas Indonesia
sel normal melalui berbagai jalur transduksi sinyal, sehingga terjadi instabilitas
genomik, selanjutnya menjadi sel kanker.74
Faktor risiko kontrasepsi hormonal terdapat pada pasien kedua dan pasien
ketiga. Pasien kedua telah menggunakan KB suntik selama 13 tahun dan berhenti
setelah terdiagnosis kanker serviks, sedangkan pasien ketiga menggunakan KB
suntik selama lima tahun dan baru berhenti juga setelah terdiagnosis kanker
serviks. Pemakaian kontrasepsi hormonal injeksi dalam jangka waktu lama (lebih
dari 10 tahun) berhubungan dengan angka kejadian kanker serviks, sedangkan
angka kejadian kanker serviks yang rendah juga berhubungan dengan pemakaian
kontrasepsi hormonal injeksi dalam jangka waktu pendek (kurang dari lima
tahun).75
Pemakaian kontrasepsi hormonal diduga akan membuat perubahan pada
kekentalan lendir pada leher rahim. Kekentalan lendir tersebut, akan memperlama
keberadaan suatu agen karsinogenik di leher rahim, yang terbawa melalui
hubungan seksual, termasuk adanya virus HPV. Hormon estrogen juga memiliki
efek anti apoptosis pada virus HPV sehingga dapat menyebabkan proliferasi sel. 75
Menikah di usia kurang dari 16 tahun memiliki resiko terkena kanker
serviks 10–12 kali lebih besar dibandingkan dengan yang menikah di atas 20
tahun sebab pada usia tersebut rentan terhadap stimulus karsinogenik karena
terdapat metaplasia yang aktif. Kondisi tersebut dapat mengarah pada kelainan sel
dan pertumbuhan abnormal yang menginisiasi suatu proses CIN yang merupakan
prainvasif dari kanker serviks. Semua pasien ini menikah pada usia 16 tahun ke
atas sehingga tidak memiliki faktor risiko ini.76
Perilaku seksual yang berganti-ganti pasangan meningkatkan risiko
terkena kanker serviks karena memperbesar kemungkinan terinfeksi HPV. Wanita
yang sering melahirkan, juga berisiko terkena kanker serviks, disebabkan karena
perlukaan dan trauma akibat proses melahirkan dapat menyebabkan perubahan sel
abnormal dan kemungkinan terinfeksi HPV. Untuk kategori paritas yang berisiko
tinggi, sampai saat ini belum ada keseragaman, namun para ahli memberikan
batasan antara 3–5 kali melahirkan. Pada semua pasien ini, menurut pasien, tidak
memiliki riwayat berganti-ganti pasangan, sedangkan riwayat paritas lebih dari
tiga orang terdapat pada pasien pertama dan pasien keempat. Untuk riwayat
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
anemia defisiensi besi, sedangkan pada anemia pada penyakit kronis, kadarnya
rendah. Kadar serum feritin pada anemia defisiensi besi menurun, sedangkan pada
anemia pada penyakit kronis meningkat. Kadar zat besi dan saturasi transferin
menurun pada kedua jenis anemia ini.79
Pada semua pasien tidak dilakukan pemeriksaan zat besi, TIBC, serum
feritin dan saturasi transferin, sehingga tidak dapat dipastikan jenis anemianya.
Penyebab anemia defisiensi besi diantaranya peningkatan penggunaan zat besi
untuk meningkatkan pertumbuhan pada bayi dan remaja, kehilangan darah
fisiologik pada saat menstruasi, melahirkan dan kehamilan, kehilangan darah
patologis misalnya perdarahan saluran cerna, adanya penurunan absorpsi zat besi
pada keadaan dimana asupan zat besi menurun, kondisi malabsorpsi dan pada
pasien geriatri. Gejala klinis pada defisiensi zat besi diantaranya adanya glositis,
stomatitis, koilonikia, palpitasi, sesak dan rasa lelah. Gejala-gejala tersebut tidak
dijumpai pada semua pasien ini.80
Bahan makanan sumber zat besi diantaranya daging, ayam, ikan, telur,
sayuran dan kacang-kacangan. Berdasarkan rata-rata analisis asupan pasien,
asupan zat besi dari bahan makanan sumber sudah hampir memenuhi kebutuhan.
Pada pasien dengan penyakit kronis, anemia disebabkan karena proses
inflamasinya sehingga pemberian suplementasi zat besi tidak dianjurkan. Anemia
dapat diatasi dengan mengatasi masalah inflamasinya.
Pada pasien kanker, absorpsi zat besi akan terhambat karena adanya
hepsidin sehingga supplementasi zat besi tidak diperlukan. Pemberian zat besi
pada keadaan inflamasi dapat memicu terjadinya radikal bebas. Kurang lebih 90%
asupan zat besi tidak dapat diabsorpsi melalui usus yang mengalami inflamasi,
dan menyebabkan terjadinya stres oksidatif melalui reaksi Fenton.80 Pada pasien
kedua terdapat anemia normokrom normositik, dimana anemia jenis ini juga
merupakan anemia yang terjadi pada keganasan.
Trombositosis terjadi pada 10–57% dari pasien kanker, namun tergantung
dari jenis kankernya. Trombositosis berhubungan dengan prognosis buruk dari
keganxasan. Trombosit digunakan oleh sel tumor agar dapat memicu proliferasi
sel endotel dan angiogenesis dengan pelepasan sitokin dan enzim proteolitik.
Universitas Indonesia
Perlekatan antara sel tumor dan trombosit membentuk coating sehingga tidak
dapat terdeteksi oleh sistem imun.81
Pada pasien kanker juga dapat terjadi trombositopenia karena efek obat
anti-kanker yang dapat menyebabkan mielosupresif atau obat golongan H2
antagonis.81 Pasien kedua terlihat adanya trombositopenia, pasien ini sering
mengonsumsi obat H2 antagonis karena kerap mengalami dispepsia.
Kemoterapi bekerja dengan membunuh secara cepat sel-sel yang
membelah termasuk sel kanker serta sel sehat yang pembelahannya cepat seperti
sel tulang, saluran pencernaan, sistem reproduksi dan folikel rambut. Kemoterapi
dapat menimbulkan berbagai efek antara lain anemia, leukopenia dan
trombositopenia. Supresi sumsum tulang akibat kemoterapi disebut juga dengan
myelosupresion. Pasien yang menjalani kemoterapi hanya pasien ketiga, dari hasil
pemeriksaan laboratorium, pasien ini juga mengalami leukopenia.82
Skrining yang digunakan pada pasien ini adalah MST yang merupakan
skrining untuk mengidentifikasi risiko malnutrisi pada pasien kanker dan dapat
dilakukan dengan mudah dan dalam waktu singkat oleh perawat. Skrining lain
dengan metode khusus yang digunakan untuk pasien kanker adalah PG-SGA.
Metode ini menggambarkan status nutrisi berdasarkan riwayat medis (perubahan
BB, perubahan asupan, adanya gangguan yang berhubungan dengan nutrisi yang
telah berlangsung lebih dari dua minggu, kapasitas fungsional) dan penilaian fisik
(kehilangan lemak subkutan, muscle wasting, edema, asites).26,27
Sistem skoring PG-SGA berkorelasi dengan beberapa parameter seperti
persentase kehilangan BB, IMT, usia harapan hidup, lama rawat di RS dan
kualitas hidup. Skrining PG-SGA ini memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang
tinggi dibandingkan dengan metode skrining lainnya yang telah divalidasi.
Skrining ini juga melibatkan partisipasi dari pasien dan keluarga namun
membutuhkan waktu 10–15 menit untuk melengkapi data skrining tersebut. Hal
ini sulit dilakukan pada semua pasien kanker secara teratur sehingga pada pasien
ini dipilih skrining yang menggunakan metode MST.26,27 Semua pasien ini
memiliki skor ≥2 yang menunjukkan berisiko malnutrisi dan membutuhkan
penanganan tim terapi gizi. Penurunan BB terjadi pada semua pasien, dimana
penurunan BB sudah mulai terjadi sebelum dilakukan terapi radiasi. Pada pasien
Universitas Indonesia
pertama terjadi penurunan BB 5 kg (10%) dalam waktu lima bulan, pasien kedua
terjadi penurunan BB 4,5 kg (9%) dalam lima bulan, pasien ketiga 10,9 kg (15%)
dalam waktu lima bulan dan pasien keempat 17,5 kg (23%) dalam waktu lima
bulan.
Selama pemantauan terlihat BB pasien mengalami peningkatan dan
penurunan. Pada pasien pertama, selama pemantauan terlihat peningkatan BB
sebanyak 2,1 kg, pasien kedua mengalami penurunan BB sebanyak 0,5 kg, pasien
ketiga juga mengalami penurunan BB sebanyak 5,8 kg, sedangkan pasien keempat
mengalami penurunan BB sebanyak 1,3 kg.
Pada sel kanker, sitokin yang dilepaskan akan melewati sawar darah otak
dan berinteraksi dengan sel pada permukaan endotel otak dan kemudian
melepaskan substansi yang mempengaruhi selera makan akibat pelepasan sitokon
akan menyebabkan terjadinya respon sinyal oreksigenik dan anoreksigenik.
Neuropeptida Y (NPY) bersifat oreksigenik, sedangkan proopiomelanokortin
(POMC) bersifat anoreksigenik. Neuron NPY akan meningkatkan aktivitas
parasimpatis sehingga akan menurunkan REE, demikian sebaliknya pada neuron
POMC. Semua pasien ini mengalami anoreksia.
Radiasi daerah pelvis memberikan efek terhadap saluran cerna karena
pengaruh dari sitokin pro inflamasi yang mengakibatkan kerusakan dan atrofi
pada mukosa usus halus yang dapat menyebabkan mual, muntah dan diare. Pada
keempat pasien ini ditemukan adanya mual dan muntah, sedangkan diare hanya
ditemukan pada pasien pertama, kedua dan ketiga.
Pada keempat pasien diedukasi untuk mengatasi mual muntah dengan
mengonsumsi minuman dalam jumlah kecil dan dalam suhu yang hangat,
mengonsumsi jahe dalam bentuk kue, minuman atau permen. Beberapa penelitian
pada pasien kanker menunjukkan bahwa jahe dapat menurunkan rasa mual.
Makan dalam porsi kecil dan sering 6–8 kali/hari, juga disarankan makan
makanan dengan tekstur yang lembut seperti es krim, jelly atau yoghurt. Hindari
makanan yang berminyak, pedas, manis dan berbumbu keras.30
Untuk mengatasi diare, pasien disarankan untuk mengonsumsi makanan
yang rendah serat dan mengandung serat larut seperti apel, pisang, wortel, sayur
berdaun, banyak minum air putih. Pemberian serat pada pasien kanker yang
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB dan jumlah obat antidiare yang digunakan pada ketiga kelompok tersebut.
Hasil tidak bermakna ini dapat disebabkan oleh angka drop out pada penelitian
mencapai 17%.39
Penelitian prospektif lain pada pasien keganasan ginekologi yang
mendapatkan terapi radiasi daerah pelvis, adalah dengan pemberian diet rendah
laktosa dan diet rendah lemak dibandingkan dengan kelompok kontrol yang
mendapatkan diet reguler. Penelitian dilakukan pada 143 pasien dan didapatkan
hasil berkurangnya frekuensi diare pada kelompok perlakukan dibandingkan
dengan kelompok kontrol (p<0,01).40 Sedangkan rekomendasi dari National
Cancer Institute (NCI) adalah pemberian diet rendah laktosa, rendah lemak, dan
rendah serat untuk mengurangi keluhan gastrointestinal pasien. 41
Status gizi pasien pertama dan kedua adalah normoweight, pasien ketiga
obes 2 sedangkan pasien ketiga obes 1. Obesitas merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya kanker. Berdasarkan teori dijelaskan bahwa jaringan lemak
menghasilkan hormon polipeptida adipokin, leptin dan adiponektin yang berperan
dalam perkembangan kanker.84
Leptin berkorelasi dengan simpanan lemak dalam tubuh dan merupakan
mediator potensial yang dapat menginduksi progresivitas kanker melalui aktivasi
jalur PI3K, MAPK dan STAT3. Jaringan lemak juga dapat meningkatkan sitokin
pro inflamasi termasuk PGE2, TNF-α, IL-1, IL-8, IL-10 dan MCP-1 yang dapat
merangsang pertumbuhan sel kanker melalui jalur inflamasi yang diaktivasi oleh
NF-κB.84
Kebutuhan energi basal pasien dihitung berdasarkan rumus Harris-
Benedict selanjutnya dikalikan faktor stres 1,5 untuk mendapatkan KET.
Berdasarkan analisis asupan selama pemantauan dari keempat pasien didapatkan
peningkaatan asupan secara bertahap. Pasien pertama dan ketiga sudah mencapai
KET sedangkan pasien kedua belum mencapai KET namun cenderung meningkat.
Pasien keempat terlihat belum mencapai KET, ada peningkatan dan penurunan
asupan. Penurunan asupan terutama saat dilakukan kemoterapi. Pada pasien ini
diberikan edukasi untuk mengonsumsi makanan dalam porsi kecil dan sering,
mengonsumsi makanan ringan yang mengandung karbohidrat,makanan dengan
tekstur yang lembut, suhu yang hangat dan tidak berbumbu keras.
Universitas Indonesia
Penelitian pada pasien menderita kanker serviks didapatkan kadar yang rendah
dari β-karoten, vitamin A, vitamin C, dan vitamin E. Pemberian suplementasi
vitamin dan mineral pada pasien kanker direkomendasikan bila pasien tidak dapat
memenuhi kebutuhan tersebut melalui asupan sehari-hari atau didapatkan adanya
efek samping dari terapi yang mempengaruhi asupan pasien.
Pada keempat pasien ini terlihat asupan vitamin A, vitamin C dan vitamin
E ada yang mencapai RDA, namun terlihat juga yang masih di bawah RDA. Hal
ini tergantung kondisi klinis pasien, akibat asupan pasien yang tidak mencukupi
sehingga multivitamin perlu diberikan yang sesuai dengan jumlah yang di
rekomendasikan yaitu 100% RDA. Beberapa penelitian menyatakan pemberian
vitamin dan mineral dapat mengurangi efektivitas radioterapi atau kemoterapi,
namun berdasarkan AIRC, pemberian multivitamin dan mineral dengan dosis
yang sesuai dengan RDA, aman diberikan untuk pasien kanker yang sedang
menjalani radioterapi atau kemoterapi.45
Pemberian AARC pada pasien kanker bertujuan untuk mencegah
terjadinya proteolisis dan mengurangi anoreksia dengan cara menurunkan kadar
triptofan di otak dan menurunkan kadar serotonin. Belum ada rekomendasi yang
pasti untuk pemberian AARC pada pasien kanker namun pada penelitian oleh
Cangiano dkk.32 memperlihatkan bahwa pemberian AARC 4,8 g sebanyak tiga
kali sehari selama tujuh hari berturut-turut pada pasien kanker, dapat menurunkan
kadar triptofan di otak dan menurunkan anoreksia secara bermakna dibandingkan
pasien yang hanya mendapat plasebo.
Pada keempat pasien terlihat pada awalnya terdapat asupan AARC yang
rendah dan pada pemantauan selanjutnya terdapat peningkatan. Pada pasien
pertama terlihat asupan AARC relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
lainnya, dan pada pasien pertama didapatkan efek mual yang lebih jarang
dibandingkan pasien lainnya. Pada pasien ketiga terlihat asupan AARC paling
rendah di antara pasien lainnya, dan pada pasien ini, terjadinya mual dan muntah
cukup sering. Namun hal ini bisa juga tergantung efek radiasi dan kemoterapi
yang diterima pasien.
Pemberian EPA pada pasien kanker memiliki efek anti kanker oleh karena
sifat anti-inflamasi dari eikosanoid pada metabolisme EPA. Eikosanoid dapat
Universitas Indonesia
mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh stres oksidatif dan menghambat jalur
inflamasi COX. Pemberian EPA juga terbukti meningkatkan massa otot pada
pasien kanker.54 Penelitian lain yang memperlihatkan bahwa pemberian EPA pada
pasien kanker kepala dan leher yang diberi EPA sebanyak 1,5 g dan 1,6 g, selama
tiga bulan, terbukti dapat mempertahankan BB pasien. 85
Asupan makanan yang mengandung EPA seperti dari ikan laut dalam
sangat jarang didapat, sedangkan ikan yang ada di Indonesia mengandung EPA
yang sangat kecil sehingga pemberian suplementasi sangat diperlukan. Pada 1 g
kapsul omega-3 umumnya mengandung 180 mg EPA, dan untuk memperoleh 1,5
g EPA dibutuhkan sekitar delapan kapsul omega-3. Pada ketiga pasien diberikan
suplementasi kapsul asam lemak omega-3 sebanyak enam kapsul setiap hari, dan
sisanya dipenuhi dari bahan makanan sumber. Kapsul asam lemak omega-3 dapat
memberikan efek samping yang minimal pada gastrointestinal, seperti rasa tidak
nyaman pada perut dan fishy aftertaste, salah satu cara untuk mengatasi hal
tersebut adalah dengan memberikan edukasi kepada pasien untuk
mengonsumsinya bersama dengan makanan dan pada waktu sebelum tidur.
Pada pasien keempat terkadang mengalami perdarahan pervaginam,
sehingga pemberian kasul omega-3 diberikan sebanyak tiga kapsul perhari. Sebab
berdasarkan penelitian Penny dkk.61 pemberian 1 g omega-3 dapat memberikan
efek perdarahan yang minimal, sehingga omega-3 yang diberikan jumlahnya
dibawah 1 g.
Pasca dilakukan radioterapi dan brakiterapi, kapasitas fungsional
berdasarkan KPS pada pasien pertama dan kedua meningkat menjadi 100%,
sedangkan pasien ketiga dan keempat tetap 90%. Kualitas hidup keempat pasien
menjadi lebih baik, pasien pertama sudah dapat menjadi motivator bagi sesama
penderita kanker serviks dan sudah dapat memberikan ceramah mengenai kanker
serviks pada kelompok ibu-ibu di lingkungan tempat tinggal pasien.
Pasien kedua sudah dapat mengikuti kegiatan kerohanian yang rutin
dilakukan di lingkungan tempat tinggal pasien. Pada pasien ketiga dapat
melakukan pekerjaan rumah tangga yang ringan, sedangkan pasien keempat sudah
mulai melaksanakan aktivitasnya sebagai pedagang baju di pasar dan perdarahan
pervaginamnya sudah berhenti.
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pada pemberian tatalaksana nutrisi pada pasien kanker serviks yang menjalani
radioterapi dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada pasien kanker serviks terjadi perubahan metabolisme protein, lemak dan
karbohidrat yang dapat mempengaruhi status gizi pasien.
2. Pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi memiliki permasalahan
dalam asupan nutrisi akibat efek samping radiasi yang diterima berupa mual,
muntah, anoreksia dan diare. Tatalaksana nutrisi yang diberikan kepada pasien
bermanfaat untuk meningkatkan asupan pasien, mempertahankan atau
meningkatkan status gizi dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
3. Tatalaksana nutrisi yang diberikan meliputi pemberian makronutrien,
mikronutrien dan nutrient spesifik yang sesuai dengan kebutuhan pasien serta
pemberian konseling dan edukasi.
4. Monitoring dan evaluasi sangat diperlukan untuk memantau pencapaian target
nutrisi yang diharapkan. Selama pemantauan, pada pasien pertama terjadi
peningkatan BB, sedangkan pada pasien kedua dan keempat terjadi penurunan
BB yang minimal. Pada pasien ketiga terjadi penurunan BB yang cukup
banyak karena efek kemoterapi yang diterima membuat rasa mual yang berat
disertai muntah.
5.2. Saran
1. Dukungan nutrisi sebaiknya diberikan sebelum pasien menjalani radioterapi
sehingga dapat meningkatkan pencapaian target nutrisi dengan meminimalkan
efek samping radioterapi dan kemoterapi serta dapat meningkatkan kualitas
hidup.
2. Pemberian nutrient spesifik sebaiknya terus diberikan secara rutin sesuai
dengan kebutuhan pasien dan untuk mencapai terapi nutrisi yang optimal.
3. Monitoring dan evaluasi sebaiknya rutin dilakukan untuk memantau kondisi,
toleransi asupan dan pencapaian target nutrisi.
90 Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
9. Schorge JO, Schaffer JI, Molvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD,
Cunningham FG. William’s Gynecology. St. Louis: Mc Graw Hill, Co. Hal.
1285–1322.
10. Gordon JN, Green SR, Goggin PM. Cancer cachexia. Q J Med 2005;98:779–
88.
12. Fearon K, Strasser F, Anker SD, Bosaeus I, Bruera E, Fainsinger RL, et al.
Definition and classification of cancer cachexia an international consensus.
Lancet Oncol 2011;12:489-95.
13. Donohoe CL, Ryan AM, Reynolds JV. Cancer cachexia: mechanisms and
clinical implications. Gastroenterol Res Pract 2011; 601434, 2011.
Universitas Indonesia
16. Nitenberg G, Raynard BB. Nutritional support of cancer patients: issues and
dilemmas. Crit Rev Oncol Hematol 2000;34,137–68.
21. Havrika C, Reed PW, Mack D. Medical radiation oncology. Dalam: Marian
M, Roberts S, ed. Clinical Nutrition for Oncology Patients. Boston: Jones
and Bartlett publishers, 2010. Hal.65–100.
23. Shadad AK, Sullivan FJ, Martin JD, Egan LJ. Gastrointestinal radiation
injury: symptoms, risk factors and mechanism. World J Gastroenterol 2013
January 14; 19(2): 185–98.
25. Cohen DA. Neoplastic disease. Dalam: Nelms M, Sucher K, Lacey K, Roth
SL, editor. Nutrition Therapy and Pathophysiology. Edisi ke-2. Belmont:
Wadsworth Cencage Learning, 2011.Hal.702–34.
27. Bauer J. Nutritional management and dietary guidelines for cancer cachexia.
Eur Oncol Dis 2007;1(2) :12–4.
Universitas Indonesia
30. Grant BL, Hamilton KK. Medical nutrition therapy for cancer prevention,
treatment, and recovery. In: Mahan LK, Escott-Stump S, Raymond JL, eds.
Krause's Food and the Nutrition Care Process. 13 ed. Missouri: Elsevier;
2012:832-63.
33. Hurst JD, Gallagher AL. Energy, macronutrient, micronutrient, and fluid
requirements. In: Elliott L, Molseed LL, McCallum PD, Grant B, eds. The
Clinical Guide to Oncology Nutrition. USA: American Dietetic Association;
2006:54-68.
34. Wedlake L.J., McGough C., Shaw C., Klopper T., Thomas K., Lalji A.,
Dearnaley D.P., Blake P., Tait D., Khoo V.S. & Andreyev H.J.N. Clinical
trial: efficacy of a low or modified fat diet for the prevention of
gastrointestinal toxicity in patients receiving radiotherapy treatment for pelvic
malignancies. J Hum Nutr Diet 2012;25,247–259.
36. Remig VM. Medical Therapy for neurologic disorders. In Mahan LK, Escott
Stump S. Krausse’s food & nutrition therapy. Edisi 12. 2008. Hal.1091.
37. Ho VW, Leung K, Hsu A. A Low carbohydrate, high protein diet slows
tumor growth and prevents cancer initiation. Cancer Res 2011;71:4484–93.
38. American Society for Nutrition. Dietary fiber. Adv Nutr 2011;2:151–2.
40. Bye A, Kaasa S, Ose T,Sundfør K, Tropé C. The influence of low fat, low
lactose diet on diarrhoea during pelvic radiotherapy Clin Nutr 1992;11:147–
53.
Universitas Indonesia
43. Slavin J. Review: fiber and prebiotics mechanisms and health benefits
Nutrients 2013;5:1417–35.
44. http://www.cancer.org/treatment/survivorshipduringandaftertreatment/nutritio
nforpeoplewithcancer/low-fiber-foods diunduh 23 Juni 2013
46. Lee GJ, Chung HW, Lee KH, Ahn HS. Antioxidant vitamins and lipid
peroxidation in patients with cervicalintraepithelial neoplasia. J Korean Med
Sci 2005;20:267–72.
47. Myung SK, Ju W, Kim SC, Kim H. Vitamin or antioxidant intake (or serum
level) and risk of cervical neoplasm: a meta-analysis. BJOG 2011;118:1285–
91.
48. Palan PR, Mikhail MS, Goldberg GL, Basu J, Runowicz CD, Romney SL.
Plasma level of β-carotene, lycopene, canthaxantin, retinol, α– dan γ–
tocoferol cervical intraepithelial neoplasia and cancer. Clin Cancer Res
1996;2:181–5.
49. Choudry HA, Pan M, Karinch AM, Souba WW. Branched-chain amino acid-
enriched nutritional support in surgical and cancer patients. J Nutr 2006;136:
314S– 318S.
50. Nicastro H, da Luz CR, Chaves DFS, Bechara LRG, Voltarelli VA, Rogero
MM and Lancha AH Jr. Does branched-chain amino acids supplementation
modulate skeletal muscle remodeling through inflammation modulation
possible mechanisms of action. J Nutr Metabolism. Vol. 2012. Article ID
136937.
51. O’Connell TM. The complex role of branched chain amino acids in diabetes
and cancer. Metabolites 2013, 3, 931–45.
52. Cho L, Chan EJ. What can we expect from omega-3 fatty acid? Cleve Clin J
Med April 2009; Vol. 76, 4: 245–51.
53. Chalder PC. Omega-3 Fatty acids and inflammatory processes. Nutrients
2010;2,355–374.
Universitas Indonesia
54. Vaughan VC, Hassing M-R , Lewandowski PA. Marine polyunsaturated fatty
acid and cancer therapy. Br J Cancer 2013;108,486–92.
55. Kris-Etherton PM, Harris WS, Appel LJ. Fish consumption, fish oil, omega 3
fatty acids, and cardiovascular disease. Circulation 2002;106:2747–57.
57. Waitzberg DL, Torrinhas RS. Fish oil lipid emulsions and immune response:
What clinicians need to know. Nut in Clin Pract August/September 2009;
Vol. 24, No.4.
62. Institute of Medicine of the National Academies. Food and Nutrition Board.
2005.
Universitas Indonesia
74. Hecht SS. Cigarette smoking: cancer risks, carcinogens, and mechanism.
Langenbeecks Arch Surg 2006; 391603–13.
75. Herrero R, Brinton LA, Reeves WC, Brenes MM, de Britton RC, Tenorio F,
Gaitan E. Injectable contraceptives and risk of invasive cervical cancer:
evidence of an association. Int J Cancer 1990; 46, 5–7.
76. www.pps.unud.ac.id?thesis/pdf-thesis/unud-291-1009483473babi,ii,iii,iv.pdf
diunduh 26 Juni 2014
79. Ahmad H, Asdie (ed). Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol.4.
Edisi 13. EGC: Jakarta. 2000. Hal. 1920–30.
Universitas Indonesia
81. Bambace NM & Holmes CE. The platelet contribution to cancer progression.
J Thromb Haemost 2011;9: 237–49.
82. Hadi SH, Iskandar TM. Hubungan anemia dan transfusi darah terhadap
respons kemoradiasi pada karsinoma serviks uteri stadium IIb–IIIb. Med
Hosp 2012; vol.1 (1):32–36.
84. Vucenik I, Stains JP. Obesity and cancer risk: evidence, mechanism, and
recommendations. Ann NY Acad Sci 2012; 1271,37–43.
85. Luis DA, Izaola O, Aller R, Cuellar L, Terroba MC and Martin T.A
randomized clinical trial with two omega 3 fatty acid enhanced oral
supplements in head and neck cancer ambulatory patients. Eur Rev Med
Pharmacol Sci 2008;12:177–81.
Universitas Indonesia
O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 110/80 mmHg, N 72 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 120/80 mmHg, N 84 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Laboratorium :
Laboratorium : Hb 8 g/dL, Ht 28%, leukosit 8.260/µL, trombosit Hb 12,7 g/dL, Ht 39,1%, leukosit 5.090/µL,
Hb 10,1 g/dL, Ht 31,5%, leukosit 10.031/µL, 355.000/µL trombosit 308.000/µL,ureum 16, kreatinin 0,6
trombosit 364.000/µL, LED 97, SGOT 16, SGPT
7, ureum 18, kreatinin 0,6. Terapi DPJP : Terapi DPJP :
Loperamid 2 x 1 Ultracet 3 x 1
Terapi DPJP: Ondansetron 3 x 1
Ondansetron 3 x 1
Antropometri : TB 148 cm, BB 46 kg, IMT= 21,0 Antropometri : TB 148 cm, BB 44,9 kg, IMT= 20,5
Antropometri : TB 148 cm, BB 45 kg, IMT= 20,5 kg/m2 kg/m2
kg/m2
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 110/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 120/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Laboratorium : Laboratorium : Laboratorium :
Hb 12,0 g/dL, Ht 36,8%, leukosit 5.950/µL, Hb 11,8 g/dL, Ht 36,9%, leukosit 6.560/µL, trombosit Hb 11,9 g/dL, Ht 37,9 leukosit 6.820/µL, trombosit
trombosit 277.000/µL. 289.000/µL 321.000/µL
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 110/80 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 100%
Kapasitas fungsional : KPS 100%
Antropometri : TB 148 cm, BB 47,1 kg, IMT= 21,5
Antropometri : TB 148 cm, BB 46,7 kg, IMT= 21,3 kg/m2
kg/m2
Universitas Indonesia
Monitoring : Monitoring :
Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap
setiap satu minggu sekali satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Nutrisi diberikan dimulai dari 900 kal, P 45 g, L 25 Nutrisi diberikan 900 kal, P 45 g, L 25 g, KH 127 g Nutrisi diberikan akan dinaikkan 1200 kal, P 59 g, L 33
g, KH 127 g Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial g, KH 167 g
Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial polimerik Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik
Jalur : per oral
Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, Jalur : per oral
Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet,
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul
Monitoring :
Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Monitoring :
Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Analisis asupan setiap hari
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap
setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali
O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 120/80 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 110/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Kapasitas fungsional : KPS 90%
Laboratorium : Laboratorium :
Laboratorium : Hb 11,0 g/dL, Ht 33,1%, leukosit 12.940/µL, trombosit Hb 11,9 g/dL, Ht 36,0%, leukosit 6.260/µL, trombosit
Hb 11,5 g/dL, Ht 34,8%, leukosit 11.350/µL, 414.000/µL. 278.000/µL.
trombosit 342.000/µL.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik polimerik
Universitas Indonesia
O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 110/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 110/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 120/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Kapasitas fungsional : KPS 90%
Laboratorium : Laboratorium :
Laboratorium : Hb 10,5 g/dL, Ht 32,6%, leukosit 10.130/µL, trombosit Hb 10,8 g/dL, Ht 32,3%, leukosit 6.960/µL, trombosit
Hb 10,8 g/dL, Ht 33,2%, leukosit 14.040/µL, 486.000/µL, ureum 14 mg/dL, kreatinin 0,7 mg/dL, 335.000/µL, ureum 9 mg/dL, kreatinin 0,8 mg/dL.
trombosit 478.000/µL, ureum 30 mg/dL, kreatinin SGOT 16 U/L, SGPT 5 U/L.
0,7 mg/dL.
Terapi DPJP : Terapi DPJP :
Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Ondansetron 3 x 1
Ondansetron 3 x 1 Lansoperazol 1 x 1
Lansoperazol 1 x 1
Antropometri : TB 145 cm, BB 61,2 kg, IMT= 29,1 Antropometri : TB 145 cm, BB 59,3 kg, IMT= 28,2
Antropometri : TB 145 cm, BB 62,1 kg, IMT= 29,6 kg/m2 kg/m2
kg/m2
Universitas Indonesia
KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5)
Nutrisi ditberikan sebesar 900 kal, P 45 g, L 25 g, Nutrisi diberikan sebesar 900 kal, P 45 g, L 25 g, KH Nutrisi dinaikkan menjadi 1500 kal, P 68 g, L 42 g,
KH 127 g 127 g KH 213 g
Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik polimerik
Jalur : per oral
Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 Jalur : per oral Jalur : per oral
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet,
minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul
Monitoring :
Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Monitoring : Monitoring :
Analisis asupan setiap hari Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari
setiap satu minggu sekali Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap
Antropometri 1 minggu sekali setiap satu minggu sekali satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali
O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 120/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran CM
TD 120/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 130/80 mmHg, N 80 x/menit, P 20 x/menit, Sb
afebris afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Abdomen : BU (+) normal
Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Laboratorium :
Laboratorium : Hb 11,0 g/dL, Ht 32,3%, leukosit 9.654/µL, trombosit Laboratorium :
Hb 10,6 g/dL, Ht 32,4%, leukosit 9.340/µL, 300.000/µL Hb 10,9 g/dL, Ht 32,2%, leukosit 10.370/µL, trombosit
trombosit 369.000/µL. 353.000/µL
Terapi DPJP :
Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Terapi DPJP :
Ondansetron 3 x 1 Loperamid 2 x 1 Ondansetron 3 x 1
Antropometri : TB 148 cm, BB 57,5 kg, IMT= Antropometri : TB 148 cm, BB 57,0 kg, IMT= 26,0 Antropometri : TB 148 cm, BB 58,0 kg, IMT= 26,5
26,3 kg/m2 kg/m2 kg/m2
Universitas Indonesia
KET = 1800 kkal (FS 1,5) KET = 1800 kkal (FS 1,5) KET = 1800 kkal (FS 1,5)
Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH
KH 266 g 266 g 266 g
Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik polimerik
O Tampak sakit sedang, kesadaran CM Tampak sakit sedang, kesadaran CM Tampak sakit sedang, kesadaran CM
TD 110/70 mmHg, N 80 x/menit, P 16 x/menit, Sb TD 110/70 mmHg, N 83 x/menit, P 18 x/menit, Sb TD 120/70 mmHg, N 80 x/menit, P 16 x/menit, Sb
afebris afebris afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Universitas Indonesia
Hb 12,7 g/dL, Ht 39,1%, leukosit 5.090/µL, Hb 10,3 g/dL, Ht 32,4%, leukosit 8.300/µL, trombosit Hb 10,0 g/dL, Ht 31,8%, leukosit 7.150/µL, trombosit
trombosit 308.000/µL. 335.000/µL. 362.000/µL.
Terapi DPJP : Terapi DPJP : Terapi DPJP :
Ondansetron 3 x 1 Ondansetron 3 x 1 Ondansetron 3 x 1
Antropometri : TB 148 cm, BB 57,5 kg, IMT= 26,3 Antropometri : TB 148 cm, BB 56,0 kg, IMT= 25,6 Antropometri : TB 148 cm, BB 57,0 kg, IMT= 26,0
kg/m2 kg/m2 kg/m2
Nutrisi diberikan sebesar 1500 kal, P 72 g, L 50 g, Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH
KH 191 g 266 g 266 g
Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik polimerik
Universitas Indonesia
Kontrol 7 (Brakiterapi ke 3)
S Mual berkurang, perdarahan per vaginam
berkurang, keputihan
O Tampak sakit sedang, kesadaran CM
TD 110/70 mmHg, N 80 x/menit, P 16 x/menit, Sb
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Abdomen : BU (+) normal
Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 90%
Laboratorium :
Hb 11,0 g/dL, Ht 33,3%, leukosit 9.740/µL,
trombosit 428.000/µL.
Terapi DPJP :
Ondansetron 3 x 1
Analisis asupan :
E (kal) P (g) L (g) KH (g)
Makanan 1716 73 74 190
biasa
A Kanker serviks IIIb, obes I, anemia, trombositosis
P KEB = 1175,4 kkal
KET = 1800 kkal (FS 1,5)
Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g,
KH 266 g
Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
Universitas Indonesia
polimerik
Jalur : per oral
Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul
Monitoring :
Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Analisis asupan setiap hari
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional
setiap satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali
Universitas Indonesia