Narasi 2 - Ringkasan Kasus
Narasi 2 - Ringkasan Kasus
Fakta menggambarkan bahwa perlindungan laut lepas sangat lah minim. Terbukti hingga
tahun 2016, hanya 3% wilayah dari laut lepas dunia yang diatur dalam hukum internasional dan
hanya 1% yang benar-benar dilindungi secara kuat dengan dijadikan sebagai suaka laut,
meskipun laut lepas memiliki luas 64% dari total luas lautan di seluruh dunia. Laut lepas berada
di luar batas yurisdiksi nasional dan diatur oleh UN Law of the Sea Convention (UNCLOS) yang
masih mengutamakan hak kebebasan untuk mengakses dan memanfaatkan sumber daya laut
lepas untuk semua negara. Oleh karena itu negara bebas untuk melakukan navigasi, mengadakan
penelitian, menangkap ikan, memasang kabel dan pipa bawah laut, hingga membuat instalasi lain
seperti kilang pengeboran dan bahkan pulau-pulau buatan.
Atas dasar inilah Greenpeace berupaya untuk mendorong Majelis Umum PBB untuk
membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement pada periode 2006- 2015. Upaya Greenpeace
untuk mendorong negara-negara Majelis Umum PBB, dimulai dari pertemuan pertama dari Ad
Hoc Open-ended Informal Working Group Biodiversity on Beyond National Jurisdiction (BBNJ)
pada tahun 2006, yang dibentuk melalui Resolusi MU 59/24 Tahun 2004 (A/RES/59/24), hingga
persetujuan MU PBB terhadap rekomendasi dari Kelompok Kerja BBNJ melalui Resolusi
Majelis Umum PBB 69/292 Tahun 2015 (A/RES/69/292). .
Greenpeace baik secara mandiri maupun kolektif dengan aliansi antar-NGO lingkungan
lainnya selalu aktif menghadiri pertemuan Kelompok Kerja BBNJ serta konferensi PBB lainnya
yang membahas tentang isu kelautan dan aktif melobi negara-negara anggota Majelis Umum
PBB untuk membuat UN Ocean Biodiversity Agreement untuk melindungi laut lepas.
Greenpeace tercatat telah mengirimkan delegasinya untuk menghadiri dan berperan aktif
mendorong negara-negara yang hadir dalam pertemuan Kelompok Kerja BBNJ sejak pertemuan
pertama yang diselenggarakan pada 13-17 Februari 2006 hingga pertemuan kesembilan
Kelompok Kerja BBNJ yang diselenggarakan pada 20-23 Januari 2015. Dari kesembilan
pertemuan tersebut, Kelompok Kerja BBNJ telah menghasilkan konsensus untuk menghasilkan
rekomendasi kepada Majelis Umum PBB yang diadopsi pada sidang Majelis Umum PBB ke-69
untuk mengembangkan intrumen internasional yang mengikat secara hukum di bawah UNCLOS.
Meskipun begitu, di dalam proses perundingan pada Kelompok Kerja BBNJ maupun pada forum
internasional lainnya, Greenpeace menghadapi berbagai penolakan dari negara-negara yang
memiliki kepentingan di laut lepas.
Isu lain yang muncul selama diskusi adalah "kesenjangan implementasi," yaitu belum
memadainya pelaksanaan perjanjian dan mekanisme yang telah ada dan kontraposisi atau
koeksistensi terhadap "kesenjangan tata kelola" yang menggambarkan kebutuhan
dibentuknya instrumen internasional baru untuk mengatur isu-isu yang belum diatur.
Di awal pertemuan keempat ini, para delegasi menyampaikan masukan mereka pada
unsur-unsur substantif yang diperlukan untuk memastikan konservasi dan pemanfaatan
berkelanjutan BBNJ, yang menyajikan ide-ide baru dan mengungkapkan kemauan bersama
untuk menyepakati perlunya “pedoman, aturan, atau mekanisme,” seperti yang ditegaskan
oleh Selandia Baru akan pentingnya kerjasama di antara anggota pertemuan tersebut. Akan
tetapi, negara-negara seperti Jepang, Islandia, AS, Kanada dan Rusia tetap menentang
perjanjian pelaksanaan baru dan gagasan untuk membatasi penelitian ilmiah kelautan (MSR)
dengan membentuk rezim akses dan pembagian keuntungan (ABS).