Anda di halaman 1dari 12

Iklan politik bagi pemilih pemula dan faktor yang mempengaruhi para

pemilih pemula
(Kajian terhadap pemilih pemula)

Bagasta kurniawan
Geovani albert s
Fakulty of communication study universty of Riau

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh terpaan media iklan politik, pesan iklan
politik, serta terpaan media iklan politik dan pesan iklan politik terhadap perilaku pemilih
pemula. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perilaku memilih dari para pemilih pemula
nyata dipengaruhi (P<0,05) oleh terpaan media iklan politik, pesan iklan politik, serta oleh
terpaan media iklan politik dan pesan iklan politik. Pemilih pemula yang gampang untuk di
pengaruhi memelaui iklan untuk pencoblosan. Dan banyak cara untuk membuat iklan politik
mulai dari karikatur dll.
Kata kunci: iklan politik, pemilih pemula, perilaku memilih.

Introduction
Setiap menjelang pemilihan umum (Pemilu), baik Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden maupun Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daera,(Pemilukada), iklan
politik dapat ditemui di berbagai lokasi dimana meningkatkan popularitas dan kepercayaan
masyarakat terhadap dirinya dibandingkan dengan media komunikasi lainnya.
Iklan (advertisement) menurut Dunn & Barban (Widyatama, 2008) adalah bentuk kegiatan
komunikasi non personal yang disampaikan lewat media dengan “membayar ruang” yang
dipakainya untuk menyampaikan pesan yang bersifat membujuk (persuasif) kepada
konsumen oleh perusahaan, lembaga non-komersial, maupun pribadi yang berkepentingan.
Wright sebagaimana dikutip oleh Alo Liliweri (dalam Widyatama, 2008),menuliskan bahwa
iklan merupakan suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan sangat penting sebagai
alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan, serta gagasan atau ide-
ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif. Sedangkan iklan politik
sebagaimana dikemukakan Wiryanto (2000) adalah sebuah iklan sosialisasi khalayak yang
bertujuan mempengaruhi khalayak dalam menentukan pilihan politiknya. Model ini
mengemukakan adanya sejumlah variabel penerus dalam arus komunikasi massa dari sumber
media massa kepada khalayak luas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa dalam model ini
banyaknya tahap tidak penting, yang utama adalah bagaimana menyebarkan pesan-pesan
media kepada mass audience. Pada model ini ada beberapa variabel yang bekerja di antara
media dengan audiens yang berfungsi untuk meneruskan dari yang satu kepada yang lain.
Beberapa anggota audiens ada yang menerima langsung dari media, tetapi yang lain
menerimanya dari tangan kedua, ketiga dan seterusnya (Wiryanto 2000).
Periklanan dipandang sebagai media yang paling lazim digunakan perusahaan untuk
mengarahkan komunikasi yang persuasif kepada, konsumen. “iklan ditujukan untuk
mempengaruhi perasaan, pengetahuan, makna, kepercayaan, sikap dan citra konsumen yang
berkaitan dengan suatu produk atau merek” (Durianto, 2003, p.2).
Berdasarkan hal diatas, kita dapat mendefinisikan iklan sebagai berikut :
a. “iklan adalah kandungan utama dari
menajemen promosi yang menggunakan ruang media bayaran-televisi, radio, surat kabar,
majalah guna menyampaikan pesan” (Lwin, 2005, p.15).
b. “periklanan adalah segala bentuk penyajian dan promosi ide, barang
atau jasa secara non-personal oleh suatu sponsor tertentu yang memerlukan pembayaran”
(Kotler, 2002, p.658).
c. “periklanan merupakan suatu proses kegiatan komunikasi yang melibatkan pihak-pihak
sponsor (pemasang iklan), media massa, dan agen periklanan (biro iklan)” (Suhandang, 2004,
p.91). Pengertian ini yang menjadi acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian.
Pola pikir masyarakat diarahkan atau dibentuk oleh ranah visual periklanan. Kode-kode
kultural dihubung-hubungkan untuk menciptakan persepsi visual masyarakat, sebagaimana
yang diharapkan. Pada gilirannya, realitas yang dimiliki masyarakat (konsumen) adalah
realitas yang dibentuk oleh periklanan. Bahkan realitas ini melebihi dari realitas yang
sebenarnya. Inilah yang disebut dengan hiperrealitas. Baudrillard mendefinisikan jagat
hiperrealitas sebagai model-model dan kode-kode yang menentukan pemikiran dan tingkah
laku. Hal ini memperlihatkan bahwa media hiburan, informasi, serta komunikasi memberikan
pengalaman yang lebih kuat dan melibatkan daripada adegan-adegan kehidupan sehari-hari
yang dangkal (Kellner, 2010:403). Kebiasaan-kebiasaan yang dikonsumsi masyarakat inilah
yang akan men-jadikannya sebagai mitos. Dalam dunia politik, mitos kerap dijadikan alat
untuk menyembunyikan maksud-maksud yang sebenarnya, yaitu membuka jalan,
mengadakan taktik untuk mendapatkan kekuasaan dalam masyarakat yang bersangkutan
dengan “melegali-sasikan” sikap dan jalan anti sosialnya (Sobur, 2004:223).
Bahasa gambar karikatur Iklan Politik Media Luar Ruang HH memiliki kontruksi pesan
verbal dan non verbal Istana Negara, Gedung DPR RI , Caleg Honda Hendarto DPRD II
dengan pola gambar : kepala lebih besar dari badan ,menggunakan pakaian ronda, baju warna
putih, celana warna hitam, slempang sarung, tangan kanan, gesture tangan, tangan kiri
membawa kucing dalam karung ada silang merah , angka 2019, dalam plakat tertulis jangan
membeli kucing dalam karung, orang kerdil, pagar tanaman di depan Istana Negara, dan
pesan verbal peribahasa Jangan Membeli Kucing dalam Karung. Bahasa gambar karikatur
menarik untuk diteliti, karena karikatur termasuk media komunikasi visual yang sering
digunakan untuk mengkritisi penguasa, menggambarkan keresahan masyarakat terhadap
permasalahan sosial, politik, hukum dan ekonomi yang berkaitan dengan kesenjangan
ekonomi, kemiskinan, korupsi, pengangguran, pemerintahan tangan besi, dampak teknologi,
hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, politik uang dan lain-lain. Bahasa karikatur
diciptakan untuk mengkritik, menyindir, meremehkan, mengejek obyek yang dituju yang
bertujuan untuk mengingatkan dan memberikan pembelajaran dengan kalimat yang
menggugah hati. Seperti disampaikan oleh (Waluyanto, 2000: 128–134), “Karikatur adalah
salah satu bentuk komunikasi visual yang digunakan untuk menyampaikan kritik sosial.
Karikatur yang baik mengandung unsur pemikiran kritis, kecerdasan, ketajaman, serta
ekspresif dalam menanggapi kehidupan publik dan bersifat aktual.
Hasil-hasil penelitian yang sejenis diantaranya, penelitian Valentino (2004) yang melakukan
pengukuran terhadap dampak iklan politik terhadap pengetahuan, pencarian informasi dari
internet, dan preferensi calon presiden. Penelitian itu menghasilkan kesimpulan bahwa dalam
bentuk efek informasi yang sifatnya langsung dan sederhana, iklan politik memberi
keuntungan bagi warga negara, khususnya ketika ketersediaan informasi sangat kurang; dan
penelitian yang dilakukan oleh Alfisyahr dengan judul Analisa pengaruh iklan calon presiden
terhadap pembentukan brand attitude dan intention to vote (studi komparasi berdasarkan
iklan politik Prabowo Subianto dan Rizal Mallarangeng). Tujuan umum dari penelitian ini
adalah untuk mengukur hubungan antara tingkat kognisi dan sikap politik pemilih pemula
terhadap iklan politik kandidat presiden Republik Indonesia tahun 2014 di media massa
dengan menelaah seluruh iklan politik melalui media massa khususnya Televisi.

Theoretical Framework
Studi Semiotika
Studi-studi tentang semiotika banyak dilakukan oleh para pakar seperti menganalisis foto,
iklan, film, novel, dan lain sebagainya. Roland Barthes adalah salah satu tokoh yang
menganalisis sebuah iklan. Iklan yang dipilih berasal dari sebuah majalah Prancis untuk satu
merek makanan Italia (pasta, saus, dan aneka keju) yang dijual sebagai “Panzani”. Iklan
tersebut memperlihatkan sekumpulan keranjang belanja berisi paket-paket pasta Panzani,
saus, dan keju Parmesan, juga produk-produk segar (tomat, merica hijau, bawang, dan
jamur). Barthes menarik keluar beragam makna iklan tersebut yaitu dengan cara mencari
makna literal atau denotasinya, kemudian makna konotasinya. Iklan Panzani mengonotasikan
“ke-italian” (“italianicity”) seperti pasta dan produk untuk membuat saus; nama perusahaan
yang khas Italia; produk berwarna merah, kuning, dan hijau yang mengulang-ulang gagasan
Italia melalui rujukan pada bendera nasional italia. Barthes meneliti hubungan antara kode
linguistik dengan citra atau gambarnya (Stokes, 2007:77). Menurut Barthes, dalam imaji
denotatif, karakteristik pesan literal tidak dapat bersifat substansial atau tetap, melainkan
bersifat relasional atau terbentuk karena keterhubungannya dengan yang lain. Pesan literal
merupakan pesan yang lahir dari pelucutan atau merupakan elemen sisa ketika tanda-tanda
konotasi dilucuti dari imaji. Keadaan telanjang (eviktif) pesan literal ini merupakan
kekosongan yang mengandung banyak makna. Selain itu, pesan literal ini bersifat utuh karena
sekurang-kurangnya memiliki satu makna pada tahap identifikasi terhadap scene yang
direpresentasikan. Oleh karena itu, bagi Barthes, imaji denotatif dapat dikatakan sebagai
keadaan paling sempurna dari imaji. Jika ditanggalkan unsur-unsur konotasinya, imaji dapat
menjadi sangat objektif dan telanjang (Barthes,2010:30).Di Indonesia, Sumbo Tinarbuko
menganalisis iklan politik berupa reklame yang memadati pinggir-pinggir jalan seperti iklan
partai politik dan calon legislatif yang dikemas dalam karyanya Iklan Politik dalam Realitas
Media (2009). Hasilnya dapat diungkapkan makna-makna terkandung di dalamnya serta
dialog antara tanda dengan sistem budaya yang lebih luas.
Iklan Politik
Iklan politik termasuk iklan nonkomersial. Menurut Dan Nimmo (2004:135) kendati ada
kemiripan dengan iklan komersial, iklan politik memiliki sedikit perbedaan. Iklan komersial
hanya mempromosikan penjualan barang dan jasa. Sedangkan iklan nonkomersial, terutama
iklan politik, mempromosikan citra yaitu imbauan yang ditujukan untuk membina reputasi
pejabat pemerintah atau yang menghendaki menjadi pejabat pemerintah, member informasi
kepada khalayak tentang kualifikasi, pengalaman, latar belakang, dan kepribadian seorang
politikus, dan meningkatkan prospek pemilihan kandidat atau mempromosikan program dan
kebijakan tertentu. Karakter periklanan, termasuk periklanan politik merupakan bagian dari
fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan atau partai politik yang ingin maju dan
memenangkan kompetisi bisnis atau pemilu tanpa mengandalkan iklan Karena itu, selain
merupakan kegiatan pemasaran, periklanan juga merupakan kegiatan komunikasi. Pada level
ini, rekayasa unsur pesan sangat bergantung pada siapa khalayak sasaran yang dituju dan
melalui media apa iklan politik tersebut sebaiknya disosialisasikan (Tinarbuko:2009:1).
Pawito (2009:239) menyebut periklanan merupakan suatu strategi yang sangt penting dalam
kampanye dan pemasaran politik modern. Partai politik atau kandidat pemasang iklan
biasanya memberikan kontrol yang nyaris sempurna terhadap iklan mereka. Akan tetapi
karakter penyampaian pesar secara sangat masif dan menjangkau publik yang sangat luas
dengan menggunakan media masa menandai kelebihan dari periklanan. Menurut Pawito,
periklanan dalam konteks kampanye pemilihan membutuhkan kecermatan dalam banyak hal.
Perumusan isu atau pesan-pesan dan penggunaan strategi atau teknik-teknik tertentu dalam
penyampaian pesan harus cermat.
Simbol
Barthes menegaskan bahwa sebuah objek menjadi simbol tatkala simbol itu berdasarkan
konvensi dan penggunaan, maknanya mampu untuk menunjuk sesuatu yang lain (Fiske,
2007:126). Simbol adalah bentuk menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk
simbolik itu sendiri. Simbol tidak dapat disikapi secara isolative, terpisah dari hubungan
asosiatifnya dengan simbol lainnya. Simbol berbeda dengan bunyi, ia telah memiliki kesatuan
bentuk dan makna. Simbol juga berbeda dengan tanda (sign), simbol merupkan kata atau
sesuatu yang bisa dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan (1) penafsiran pemakai
(2) kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, dan (3) kreasi pemberian makna sesuai
dengan itensi pemakainya (Sobur,2004:156). Setiap simbol berdiri untuk sesuatu yang lain
dari dirinya. Lebih dari itu, simbol juga dapat berwujud artefak dan mentifak yang lebih
kompleks dan beroperasi pada level yang lebih luas dari budaya sastra dan visual. Charles
Sanders Pierce berpendapat bahwa makna yang dihasilkan simbol murni berasal dari konotasi
kultural yang dipahami bersama (Hartley, 2010:280).Istilah Kelas istilah kelas (class) terkait
dengan cara untuk memahami pemisahan ekonomi dan budaya yang ada di antara individu
dan masyarakat. Dalam penggunaannya, kelas mengartikulasikan posisi sosial hingga
ekonomi. Orang dibagi menjadi kelompok-kelompok dengan basis faktor ekonomi (pendapat
dan kemakmuran), tetapi kelompok kelas kemudian dibuat untuk menjelaskan hal eksternal
dari ekonomi, termasuk di dalamnya nilai sosial, politik, kepercayaan, dan budaya (Hartley,
2010:142). Namun Weber berargumen bahwa kelas yang mendapat hak istimewa dapat
dipecah-pecah menjadi beberapa bagian yang memiliki status yang jelas daripada hanya
sekadar kepemilikan. Manajer, kaum intelektual, dan jurnalis merupa-kan kelas dengan hak
istimewa jika dibandingkan dengan pelbagai macam tipe pekerja dengan kemampuan yang
mampu ditawarkan oleh pasar. Dalam analisis Weber, hal ini relevan untuk memasukkan
perbedaan seperti pendidikan dan ras dalam analisis konstruksi ideologis kelas (Hartley,
2010:143).Menurut Asean Devolepment Bank (ADB) dalam laporannya bertajuk Key
Indicator for Asia and The Pacific 2010, kelas menengah di bagi menjadi tiga kelompok
berdasarkan biaya pengeluaran perkapita per hari. Kelompk pertama yaitu kelas menengah
terendah dengan pengeluaran sebesar US$2-4 per kapita per hari, kelas menengah tengah
dengan pengeluaran US$4-10 per kapita per hari, dan kelas menengah ke atas dengan
pengeluaran sebesar US$10-20 per kapita per hari. Secara keseluruhan, kelompok ini
meningkat lima kali lipat dari 0,4 juta pada 1999 menjadi 2,23 juta jiwa pada 2009. Secara
keseluruhan masyarakat kelas menengah Indonesia banyak berasal dari kawasan perkotaan
yaitu 63, 6 juta orang. Sementara yang tinggal di pedesaan berjumlah 29,7 orang
(vivanews.com diakses 22 September 2011).Menurut pengamat ekonomi dari UI, Faisal
Basri, pembengkakan strata kelompok ini menjadi incaran produsen mancanegara. Sebab,
kelompok ini haus mengkonsumsi apa saja. Basri menyebut, masyarakat kelas menengah ke
atas mampu berobat dan menyekolahkan anak ke luar negeri, serta membeli mobil sedan
(disputatio.posterous. com diakses 19 Oktober 2011).
Mitos
Mitos dalam kajian komunikasi adalah alat untuk menyamarkan atau menutupi ambiguitas
dalam suatu budaya. Beberapa perluasan perannya dipahami sebagai sesuatu yang ideologis.
Pemahaman mitos dari segi semiotik menurut Barthes, adalah satu mode penandaan. Ia
berpendapat bahwa dalam mitos terdapat hubungan antara penanda dan petanda yang
memiliki tujuan. Jadi, tanda yang terkonstruksi secara budaya menjadi penanda, kemudian
memungkinkan petanda untuk dinaturalisasi. Misalnya, nama Nike menandakan tingkah laku,
status, dan kelas melampaui apa yang ditandai oleh produk perlengkapan olahraga (pada
praktiknya tidak sama sekali). Artinya, mitos bekerja untuk menutupi kontradiksi yang
sebenarnya melingkupinya. Dalam contoh kasus ini, sebagian besar harga sepatu olahraga
dalam perbandingan dengan nilai orang yang seharusnya memakainya. Mitos bekerja untuk
menaturalisasi kontradiksi seperti ini dan berniat untuk mengubah sesuatu yang bersifat
kultural (sepatu) menjadi sesuatu yang natural (just doing it) (Hartley, 2010:194). Mitos
dalam budaya massa akan dikomunikasikan produsen dengan sengaja lewat berbagai
komunikasi pemasaran seperti iklan atau desain produk dalam cara pengemasan atau bentuk
produk yang dihasilkan (Harland, 2006:78).

Methodology
Penelitian ini merupakan penelitian survai korelasional yang didukung oleh alat bantu
kuesioner. Penelitian ini berlokasi di SMA Negeri 1 Parungkuda Kabupaten Sukabumi, pada
bulan Maret-Mei 2010. Populasi penelitian adalah pelajar Kelas XII SMA Negeri 1
Parungkuda Kabupaten Sukabumi, yang berusia antara 17 sampai dengan 18 tahun dan baru
pertama kali menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, yang berjumlah 237 siswa.
Besarnya ukuran sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin untuk tingkat
kesalahan (sampling error) 0,05%, yaitu sebanyak 121 orang diambil dengan metode simple
random sampling. Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif koralesional dengan uji
korelasi pearson’s product moment dan regresi berganda (multiple regression) menggunakan
alat bantu software SPSS 16,0 for Windows.

Experiment result
Identitas dan sosial-psikologis pemilih pemula meliputi 1) umur, 2) jenis kelamin, 3)
ketertarikan terhadap partai politik, 4) pekerjaan orang tua, 5) keterlibatan orang tua dalam
partai politik, 6) hubungan orang tua dengan salah satu pasangan calon, terdistribusi
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1, menunjukkan bahwa karakteristik pemilih pemula sebagian besar terdistribusi pada
usia 17 dan 18 tahun, dan sebagian besar diantaranya adalah perempuan, karena populasi
pelajar SMAN 1 Parungkuda lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Pemilih
pemula ini dapat diduga baru menggunakan hak pilihnya pertama kali pada saat Pemilihan
Umum Bupati dan Wakil Bupati Sukabumi, 27 Mei 2010. Secara sosio-psikologis, sebagian
besar pemilih pemula memiliki ketertarikan terhadap partai politik (78%), dengan alasan
kesesuaian ideologi, agama atau aliran politik (57%), ketertarikan terhadap ketokohan
pimpinan parpol (30%), karena Parpol pilihan orang tua/keluarga (7%) dan Parpol yang
dipilih kebanyakan tetangga (5%). Hal ini menandakan bahwa alasan rasional lebih dominan
dalam mengidentifikasikan dirinya terhadap parpol dibandingkan faktor keluarga dan
lingkungan sosial politik. Berdasarkan jenis pekerjaan orang tua pemilih pemula, sebagian
besar adalah wiraswasta (44%), PNS (24%), karyawan swasta (11%), dan selebihnya adalah
buruh, TNI/Polri dan jenis pekerjaan lainnya. Sebagian besar orang tua mereka tidak
memiliki keterlibatan dengan partai politik (65%), pendukung setia tetapi bukan anggota
parpol dan simpatisan parpol (masing-masing 14%), sedangkan yang menyatakan orang
tuanya sebagai aktivis/anggota parpol dan pengurus parpol masing-masing hanya 6% dan 1%.
Hal ini menunjukkan bahwa hubungan pemilih pemula dengan partai politik tidak banyak
dipengaruhi oleh identitas parpol yang diwarisi dari orang tua, pekerjaan orang tua dan
lingkungan sosialnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilih pemula memiliki
kecenderungan untuk bersikap rasional dalam.
Distribusi Variabel Terpaan Media Iklan
Politik Untuk mengetahui berbagai bentuk komunikasi dan frekuensi serta jenis media yang
menerpa pemilih selama masa kampanye, maka variabel terpaan media iklan politik (media
luar ruang) dikategorikan berdasarkan frekuensi terpaan, durasi, dan atensi.
Tabel 2, menunjukkan bahwa sebagian besar pemilih pemula mendapat terpaan dari berbagai
bentuk media luar ruang. Hal ini dapat diasumsikan bahwa bentuk-bentuk media tersebut
masih cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan kampanye terhadap kha-layak
sasarannya.

Tabel 2. Terpaan media iklan politik (n=121)


Indikator 0 1-3 4-6 7-9 ≥10
Frekuensi
Baliho 9% 29% 29% 17% 16%
Spanduk 2% 36% 29% 17% 16%
Poster 6% 18% 33% 20% 23%
Indikator
Durasi <10” 10”-30” 30”-1’ 1’-3’ >3’
Baliho 45% 30% 14% 7% 4%
Spanduk 41% 31% 17% 6% 5%
Poster 36% 32% 22% 4% 6%
Media yang paling sering dilihat oleh pemilih pemula, secara berturut-turut adalah poster (4-
10 kali), spanduk dan baliho (1-6 kali). Poster walaupun ukurannya relatif lebih kecil
dibandingkan baliho dan spanduk tetapi karena poster jumlah penyebarannya lebih banyak,
sehingga lebih sering dilihat orang. Durasi waktu yang digunakan untuk melihat iklan politik
media luar ruang sebagian besar kurang dari satu menit atau hanya selintas saja (1-6 kali).
Namun meskipun hanya selintas karena iklan politik lebih banyak menampilkan gambar yang
menarik dan pesan-pesan singkat yang berupa slogan sehingga mudah diingat.

Tabel 3. Atensi terhadap terpaan media iklan politik (n=121)


Indikator Kategori %
Atensi
Waktu yang Menggunakan waktu 2
digunakan khusus (sengaja) 51
untuk melihat Saat menunggu: 21
iklan politik angkot, menyebrang 17
jalan, berbelanja dsb. 9
Saat jalan-jalan
Saat berkendaraan
dan lalu lintas macet
Saat bekendaraan dan
lalu-lintas lancar

Tabel 3, menunjukkan bahwa perhatian pemilih pemula terhadap media iklan politik
pasangan calon sebagian besar berlangsung pada saat menunggu angkot, menyebrang atau
saat berbelanja (51%), saat jalan-jalan (21%) dan saat berkendaraan atau lalu lintas macet.
Hal ini menunjukkan bahwa penempatan media luar ruang pada tempat-tempat strategis
seperti shelter (tempat menunggu angkutan), terminal, tempat penyebrangan, pusat
perbelanjaan, dan pada jalur-jalur lalu lintas padat (macet) cukup efektif untuk mengambil
perhatian pemilih pemula

Distribusi Variabel Pesan Media Iklan

Politik Pada hakekatnya efektivitas pesan kampanye dipengaruhi oleh (1) sejauhmana
responden mendapat informasi yang dapat dipercaya tentang kredibilitas calon dan program
yang ditawarkannya, (2) seberapa besar keyakinan pemilih terhadap kemungkinan
direalisasikannya janji-janji kampanye, dan (3) seberapa besar pesan kampanye tersebut
dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pemilih. Untuk mengetahui kekuatan pesan
yang, diterima pemilih pemula, dianalisis berdasarkan unsur-unsur pesan sebagai berikut 1)
struktur pesan, 2) gaya pesan, dan 3) daya tarik (appeals) pesan.

Tabel 4. Struktur Pesan Media Iklan Politik


(n=121)

Tabel 4 dibawah ini, menunjukkan bahwa sebagian besar pemilih pemula memiliki tanggapan
bahwa media iklan politik (poster, spanduk dan baliho) gambar dan pesannya dapat dilihat
dengan jelas. Slogan dan janji kampanyenya mudah dimengerti serta mudah diingat. Namun
demikian sebagian besar pemilih pemula merasa ragu-ragu bahwa slogan dan janji-janji
kampanye pasangan calon dapat dipercaya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka belum
merasa yakin pasangan calon yang terpilih akan merealisasikan janji-janji politiknya dan
mereka nampaknya masih meragukan kredibilitas (kualitas kepribadian) dan kapabilitas
(kemampuan) masing-masing pasangan calon peserta Pemilukada.
Kategori SS S R TS STS
%
Gambar
dan pesan
dapat
dibaca
dengan
jelas:
Baliho 1 5 1 4 2
Spanduk 9 9 6 4 2
Poster 1 5 2 6 3
2 8 3
8 6 2
Pernyataan 0 3
slogan
dan janji-
janji
kampanye
mudah
dimengerti:
Baliho
Spanduk
Poster 1
3 5 2 1 2
Gambar 1 1 2 2 1
dan slogan 2 5 2 9 1
dalam 1 1 6 9
iklan 1 5 2
pasangan
0 6
calon
mudah
diingat:
Baliho
Spanduk
Poster

Slogan dan
janji-janji 1
kampanye 6
dapat 4 2 2 2
1
dipercaya: 4 9 9 1
2
Baliho 4 2 2 2
9
Spanduk 6 8 8
Poster 5 2 2
0 5 5

7
8
7
7
6
7
2 4 1
8 1 6
2 4 1
6 9 2
2 4 1
6 8 3
Conclusions

1. Hubungan antara terpaan media iklan politik dengan perilaku pemilih pemula dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Pemilih pemula yang banyak menerima terpaan iklan politik melalui media poster
cenderung menentukan pilihan politiknya berdasarkan pertimbangan program
pasangan calon dan partai politik pengusul.
b. Pemilih pemula yang hanya memberikan atensi (perhatian) terhadap parpol
pendukung pasangan calon menentukan pilihan politiknya berdasarkan preferensi
partai politik yang mengusulkan pasangan calon.
c. Pemilih pemula yang hanya memberikan atensi (perhatian) terhadap parpol
pendukung pasangan calon menentukan pilihan politiknya berdasarkan preferensi
partai politik yang mengusulkan pasangan calon.
2. Hubungan antara pesan media iklan politik dengan perilaku pemilih pemula dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Bentuk penyajian pesan pada media iklan politik (struktur, gaya dan appeals
pesan) memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pengambilan
keputusan pemilih pemula dalam menentukan pilihan politiknya berdasarkan
pertimbangan program pasangan calon dan partai politik yang mengusulkannya.
b. Pemilih pemula yang lebih menitik beratkan perhatiannya pada gaya penyajian
pesan (baliho dan spanduk) serta appeals figur dan partai politik pengusul
pasangan calon memiliki kecenderungan untuk menentukan pilihan politiknya
berdasarkan alasan pertimbangan figur pasangan calon.

3. Terpaan dan pesan iklan politik media luar ruang berpengaruh positif dan signifikan
terhadap perilaku pemilih pemula walaupun tidak cukup kuat (10,9%). Semakin
meningkatya terpaan media iklan politik dengan penyajian pesan politik yang jelas
dan menarik akan semakin rasional pemilih pemula dalam menentukan pilihan
politiknya.
References
Book dan Internet
Halim SH. 2009. Hubungan Terpaan Iklan Politik Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di
Televisi dengan Sikap Pemilih Pemula Surabaya, Skripsi, Universitas Kristen Petra Surabaya.
Diunduh tanggal 16 Pebruari 2010 dari http://digilibpetra.ac.id/.../jiunkpe-ns-s1-2009-51405105-
gerindra-chapter2.pdf
Widyatama R. 2008. Pengantar Periklanan, Yogyakarta, Pustaka Book Publisher.
Danial A. (2009). Iklan Politik Televisi: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru. Jakarta:
Grahamedia.
Kompas, 20 Juli 2008. Iklan Politik di Media Massa Lebih Efektif. Edisi, 25 Maret 2008 (online).
(http://www.kompas.com, diakses, 20 Februari 2014).
Liliweri A. (2011). Komunikasi: Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Cangara H. (2011). Komunikasi Politik; Konsep, Teori, dan Strategi. Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali
Pers.
Cangara, Hafied. (2009). Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Nimmo, Dan. (2001). Komunikas Politik; Khalayak dan Efek. Bandung: Remaja Rosdakarya
Pawito. (2009). Komunikasi Politik Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta & Bandung:
Jalasutra
Subiakto, Henry. Studi efek media massa dalam komunikasi politik . Jakarta. 1996
Tinarbuko, S. (2009). Iklan Politik dalam Realitas Media. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra
http://nottheotherscom.blogspot.com (diakses 20 September 2011)
Haryatmoko. (2007). Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta:
Kanisius.
Waluyanto, H. D. (2000). Karikatur Sebagai Karya Komunikasi Visual Dalam Penyampaian Kritik
Sosial. Jurnal desain komunikasi visual Nirmana, 2(2), 128–134. https://doi.org/10.9744/nirmana.2.2
Jefkins, P. & Olso, J.C. (2009). Periklanan. Edisi 3. Terjemahan oleh Damos Sihombing. Jakarta:
Erlangga.
Jurnal
Jurnal Sosial Humaniora ISSN 2087-4928 Volume 2 Nomor 2, Oktober 2011
Jurnal Imu Komunikasi Vol. 7 No. 2 Oktober 2015
JURNAL INTERAKSI, Vol II No. 1, Januari 2013: 62-69
Jurnal Desain Komunikasi Visual Nirmana, Vol. 14, No. 1, Januari 2012: 1-10
Vol.12/No.1 / April 2019 - Profetik Jurnal Komunikasi
Jurnal Komunikasi KAREBA Vol. 3, No. 4 Oktober – Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai