Anda di halaman 1dari 10

MUQARRANAH MAZAHIB FIL JINAYAH

Definisi Had Al-Baghy, Hukum, Syarat Dan ketentuan Al-Baghy

DOSEN PENGAMPUH:

Bitoh Purnomo, LI.M

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 2

Lina Ralita (1820102025)


Dina Anggraini Ritonga (1810102004)
Diva Anggraini (1820102019)
Desti Afriyani (1820102017)
Pepi Ashari (1730102114)

PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADENFATAH PALEMBANG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam hukum pidana Islam yang dikatakan pemberontak adalah alBaghyu


yaitu keluar dari kepemimpinan negara dengan cara melakukan perlawanan.
Dengan demikian, dalam tindak pidana pemberontakan terdapat tiga rukun
penting yaitu; dalam memberontak terhadap pemimpin yang sah serta berdaulat,
dilakukan secara demonstratif, dan termasuk tindakan pidana. Makar atau bugāt
adalah bentuk kejahatan atau tindak pidana yang ditujukan terhadap kekuasaan
negara dan digolongkan sebagai kejahatan politik, serta menurut hukum pidana
positif dan hukum pidana Islam percobaan dan permufakatan untuk melakukan
kejahatan makar tetap dapat dipidana. Adapun perbedaannya adalah bahwa dalam
hukum pidana positif seseorang yang tidak memenuhi program pemerintah tidak
dianggap makar. Sementara itu, menurut hukum pidana Islam, yang disebut makar
ialah umat muslim yang hendak mencopot pemimpin negara dengan tidak
melaksanakan kewajiban untuk setia dan tunduk kepada penguasa tertinggi.1

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu definisi Al-Baghy?
2. Bagaimana hukum, syarat, dan ketentuan Al-Baghy yang pelakunya
dihukum had beserta dalil?
3. Apa saja permasalahan had Al-Baghy yang terjadi perselisihan antara
mazhab?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi Al-Baghy.
2. Untuk mengetahui hukum, syarat, dan ketentuan Al-Baghy yang
pelakunya dihukum had beserta dalil.
3. Untuk mengetahui permasalahan had Al-Baghy yang terjadi
perselisihan antara mazhab.

1
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm.111
BAB II

PEMBAHASAN

1. DEFINISI AL-BAGHYU (PEMBERONTAKAN)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan pemberontakan


adalah proses, cara, perbuatan memberontak, penentangan terhadap kekuasaan
yang sah dan pelaku yang melakukan tindakan tersebut disebut
pemberontak. Sedangkan pemberontakan dalam istilah islam disebut AL-
BAGHYU  yang menurut arti etimologi (bahasa) adalah ‫طَلَبُ الَ َّش ْي ِء‬   “mencari atau
menuntut sesuatu”, pengertian tersebut kemudian menjadi populer untuk mencari
dan menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa maupun kezaliman 2. Hal
ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah surat Al-A’raaf ayat 33 :
Katakanlah :”Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar...” (QS. Al-A’raaf ; 33)
Dalam pengertian istilah (terminologi) para mujtahid berbeda pendapat, yakni :
1. Malikiyah
‫ اإلمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغاته ولو تأويال‬: ‫البغي‬
Pemberontakan adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang
kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara
menggulingkannya, dengan menggunakan alasan.
            Dari defenisi tersebut, malikiyah mengartikan bughot atau pemberontak
sebagai berikut.
ّ ‫ فرقة من المسلمين خالفت اإلمام األعظم او نائبه لمنع ح‬: ‫البغاة‬
‫ق وجب عليها او لخلعه‬
2. Pemberontak adalah sekelompok kaum muslimin yang bersebrangan dengan
al-imam Al-a’zham (kepala negara) atau wakilnya, dengan menolak hak dan
kewajiban atau bermaksud menggulingkannya. Hanafiyah
‫ الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق‬: ‫البغي‬
Pemberontakan adalah keluar dari ketaatan kepada imam (kepala negara)
yang benar (sah) dengan cara yang tidak benar (sah).
2
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:sinar grafika, 2007) 73.
3. Syafi’iyah dan Hanabilah
‫فالبغي هو خروج جماعة ذات شوكة ورئيس مطاع عن طاعة اإلمام بتأويل فاسد‬
Pemberontakan adalah keluarnya kelompok yang memiliki kekuatan dan
pimimpin yang ditaati, dari kepatuhan kepada kepala negara (imam), dengan
menggunakan alasan (ta’wil) yang benar.

2. HUKUM, SYARAT DAN KETENTUAN AL BAGHYU YANG


PELAKUNYA DIHUKUM HAD BESERTA DALIL.
Hukuman Tindak Pidana Pemberontakan (al-Bagyu) Ulama fiqih mengatakan
bahwa al-Bagyu merupakan salah satu tindak pidana berat yang termasuk tindak
pidana hudud (tindak pidana yang jenis, bentuk, dan ukuran hukumannya
ditentukan syara’ tidak boleh diubah, dikurangi, dan ditambah). Dalam
menentukan hukuman terhadap para pemberontak, ulama fikih membagi
pemberontakan itu menjadi dua bentuk.
a. Para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan persenjataan dan tidak
menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka. Untuk pemberontak
seperti ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa pemerintah yang sah
boleh menangkap dan memenjarakan mereka sampai mereka sadar dan
tobat.
b. Pemberontakan yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan
bersenjata. Terhadap para pemberontak seperti ini, pihak pemerintah
pertama sekali harus menghimbau mereka untuk mematuhi segala
peraturan yang berlaku serta mengakui kepemimpinan yang sah . apabila
usaha pemerintah ini disambut dengan gerakan senjata, maka pemerintah
dapat memerangi mereka. Alasan yang dikemukakan adalah firman Allah
SWT dalam QS. al-Hujurat (49) ayat 9 : artinya :3
“Dan apabila ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang,
maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan lain, maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah

3
Al Qur’an Surah Al Hujarat ayat 9 (Al Qur’an dan Terjemahan)
Allah), maka damaikanlah dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Sekalipun ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa para pemberontak yang
melakukan penyerangan bersenjata boleh diperangi dan dibunuh pihak
pemerintah, tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa harta benda yang
mereka tinggalkan tidak boleh dirampas. Bahkan sebaliknya, pemerintah
berkewajiban memelihara harta tersebut dan mengembalikannya kepada
mereka ketika sudah sadar atas kesalahan mereka jika mereka masih hidup
dan kepada ahli waris mereka jika mereka terbunuh.4

Unsur-Unsur Jarimah Al-Baghyu

a. Memberontak terhadap Pemimpin Negara yang Sah dan Berdaulat.


b. Dilakukan Secara Demonstratif Maksudnya adalah didukung oleh
kekuatan bersenjata.Oleh sebab itu menurut ulama fiqh, sikap sekadar
menolak kepala negara yang telah diangkat secara aklamasi, tidak
dinamakan al-baghyu.
c. Termasuk Perbuatan Pidana Tindakan atau usaha untuk menggulingkan
pemerintahan yang sah dan berdaulat dengan mengacu ketertiban umum.5

3. PERMASALAHAN HAD AL-BAGHY YANG TERJADI PERSELIHAN


ANTARA MAZHAB.
Dari Segi Hukuman Kelompok Pemberontak.
1. Memerangi mereka dan meminta untuk bertobat. Apabila kelompok
pemberontak sudah tidak memiliki pertahanan dan kekuatan, Ulil
Amri menangkap dan memenjarakan hingga mereka bertobat. Apabila
mereka memiliki pertahanan dan kekuatan dalam kondisi siap
berperang, maka pemerintah harus mengambil langkah-langkah
persuasif untuk mengajak kembali patuh kepada Ulil Amri. Apabila
tidak dihiraukan maka boleh diperangi sampai mereka kalah, dan
4
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ictiar barun Van Hoeve, 2016). Hlm
173
5
Nurul Ifran dan Masyorofah, Fiqh Jinayah,(Jakarta:Sinar Grafika Offsete, 2014) hlm. 63
boleh membunuh para anggota kelompok pemberontak yang sudah
melarikan diri. Persenjataan dan kuda milik pemberontak boleh di sita
dan dirampas untuk digunakan jika memang kaum Muslim
membutuhkanya. Seorang imam boleh melakukan hal itu terhadap
harta orang yang adil (patuh kepada pemimpin dan pemerintah) jika
memang kondisi yang ada membutuhkan hal itu, maka secara prioritas
hal ini tentunya juga boleh dilakukan terhadap pemberontak. Adapun
harta benda pemberontak, maka Imam menahan dan menyitanya dari
tangan pemberontak hingga pemberontak tidak lagi melakukan
pemberontakan. Apabila pemberontak sudah tidak bersikap
memberontak lagi, maka harta para pemberontak itu baru bisa
dikembalikan lagi. Harta benda pemberontak tidak bisa dimiliki
dengan berdasarkan penundukkan terhadap mereka, karena mereka
adalah orang-orang Islam.6
2. Apakah mereka dikenai sanski denda ganti rugi dan tuntutan
pertanggung jawaban atas jiwa dan harta yang mereka rusak.
Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iah dan Hanabilah mereka
menyatakan bahwa kelompok pemberontak yang melandaskan sikap
pemberontakkannya pada suatu pemahaman dan interprestasi. Mereka
tidak dikenai denda ganti rugi dan tuntutan pertanggungjawaban atas
jiwa dan harta benda yang mereka rusak saat berkecamuknya perang.
3. Hukuman untuk berbagai kejahatan yang dilakukan oleh kelompok
pemberontak.
Apabila kelompok pemberontak melakukan pencegatan dan
pembegalan terhadap aḥlu ‘adli yang sedang melakukan perjalanan,
mereka tidak dikenai hukuman ḥadd. Karena mereka memiliki suatu
pemahaman interprestasi, yang berdasarkan hal itu, mereka
menganggap bahwa harta benda aḥlul ‘adli adalah halal bagi mereka
dan mereka memiliki kekuatan dan tempat yang menjadi markas
6
Wahabah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid VII, (terj: Abdul Hayyie alKattani, dkk),
(Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 426.
pertahanan mereka. Seandainya ada seorang anggota pemberontak
melakukan pencurian terhadap harta salah seorang aḥlul ‘adhli, imam
tidak bisa menjatuhinya hukuman potong tangan, karena imam tidak
memiliki kekuasaan dan kewenangan atas dārul baghyi (kawasan yang
dikuasai oleh kelompok pemberontak) Secara garis besar bisa
dikatakan, menurut ulama Hanafiyah, hukuman ḥadd tidak bisa
ditegakkan terhadap kelompok pemberontak, karena imam tidak
memiliki kekuasaan dan kewenagan atas dārul baghyi. Ulama
Malikiyah dan ulama Hanabilah sependapat dengan ulama Hanafiyah
dalam hal bahwa kelompok pemberontak tidak menanggung denda
atas jiwa dan harta benda yang mereka rusakkan di tengah-tengah
berkecamuknya konflik, dan mereka tidak dikenai hukuman ḥadd.
Sementara itu, Imam Syafi’i mengatakan, seorang anggota
pemberontak apabila mereka mengambil sesuatu dari harta kaum
Muslimin, maka ia dikenai hukuman potong tangan, meskipun itu ia
lakukan di kawasan kekuasaan kelompok pemberontak. Karena berarti
ia adalah orang yang melakukan kejahatan, sehingga sama saja apakah
ia memiliki kawasan yang menjadi markas pertahanan dan
perlindungan maupun tidak. Karena seorang pelaku kejahatan
seharusnya berhak untuk diperberat, bukan justru diberi keringanan.
Apabila seorang pemberontak mencuri harta orang adil (orang yang
patuh kepada pemimpin atau pemerintah Islam yang sah) di kawasan
dārul Islam, maka ia dipotong tangannya, meskipun ia memiliki
pandangan dan asumsi bahwa harta orang tersebut adalah halal
baginya, karena dalam kondisi seperti ini, berarti ia tidak berada
dalam tempat berlindung dan tempat pertahanannya. Secara garis
besar bisa dikatakan bahwa menurut ulama Syafi”iyah, dalam masalah
tanggungan terhadap jiwa dan harta benda serta dalam masalah
hukuman ḥadd, dalam selain kondisi berkecamuknya konflik dan
perang, status pemberontak sama seperti aḥlul ‘adli. Apabila seorang
pemberontak melakukan kejahatan pembunuhan, maka pendapat yang
sahih menurut ulama Syafi’iyah adalah, ia tidak lantas harus dihukum
bunuh, akan tetapi boleh memberinya ampunan. Hal ini berdasarkan
perkataan Ali Ibnu Abi Thalib r.a. setelah ia terluka akibat serangan
Ibnu Muljim, “Berilah ia makan, minum, dan penjarakanlah ia.
Apabila aku masih diberi kesempatan hidup, aku adalah wali
darahnya. Jika mau aku akan memberi ampunan, dan jika mau, aku
akan meng-qishas-nya (membalasnya dengan sesuatu yang sama
dengan yang dilakukan).7

BAB III

7
Ibid, hlm 428
PENUTUP

KESIMPULAN

1. Pengertian pemberontakan (Al-Baghyu) menurut bahasa adalah Tholab


As-Syaii yang artinya mencari sesuatu sedangkan arti secara istilah para
mujtahid berbeda pendapat, yakni :
a. Menurut imam maliki Pemberontakan adalah menolak untuk tunduk
dan taat kepada orang yang kepemimpinannya telah tetap dan
tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara menggulingkannya,
dengan menggunakan alasan.
b. Menurut imam hanafi Pemberontakan adalah keluar dari ketaatan
kepada imam (kepala negara) yang benar (sah) dengan cara yang tidak
benar (sah).
c. Menurut imam syafi’i  dan imam hambali Pemberontakan adalah
keluarnya kelompok yang memiliki kekuatan dan pimimpin yang
ditaati, dari kepatuhan kepada kepala negara (imam), dengan
menggunakan alasan (ta’wil) yang benar.
2. Memerangi mereka dan meminta untuk bertobat. Apabila kelompok
pemberontak sudah tidak memiliki pertahanan dan kekuatan, Ulil Amri
menangkap dan memenjarakan hingga mereka bertobat. Hukuman untuk
berbagai kejahatan yang dilakukan oleh kelompok pemberontak. Apabila
kelompok pemberontak melakukan pencegatan dan pembegalan terhadap
aḥlu ‘adli yang sedang melakukan perjalanan, mereka tidak dikenai
hukuman ḥadd.

DAFTAR PUSTAKA
Aziz Dahlan, Abdul. 2016. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ictiar
barun Van Hoeve.

Ali, Zainuddin. 2007.  Hukum Pidana Islam. Jakarta:sinar grafika.

az-Zuhaili. Wahabah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid VII. Jakarta:


Gema Insani.

Nurul Ifran dan Masyorofah. 2014. Fiqh Jinayah. Jakarta:Sinar Grafika


Offsete.

Wardi Muslich. Ahmad. 2005. Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar


Grafika.

Anda mungkin juga menyukai