Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam suatu perkara, apabila  penggugat  telah memasukkan gugatan
dalam daftar pada Kepaniteraan Pengadilan dan melunasi biaya perkara, maka
ia tinggal menunggu pemberitahuan hari sidang. Gugatan itu tidak akan
didaftar apabila biaya perkara belum dibayar (Pasal 121 ayat 4 HIR, 145 ayat 4
Rbg). Oleh sebab itu, setelah gugatan didaftarkan dan dibagikan dengan surat
penetapan penunjukan, maka akan dilakukan pemeriksaan di persidangan.
Untuk itu, penulis ingin membahas tentang tahap-tahap dalam persidangan,
pencabutan dan perubahan gugatan serta perdamaian.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pra peradilan?
2. Apa yang dimaksud dengan perkara biasa, singkat dan cepat
3. Apa yang dimaksud dengan perkara koneksitas?
4. Bagaimana surat penetapan ketua pengadilan negeri menunjukkan hakim?
5. Bagaimana surat penetapan persidangan oleh ketua majelis hakim?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui pra peradilan
2. Untuk mengetahui perkara biasa, singkat dan cepat
3. Untuk mengetahui perkara koneksitas
4. Untuk mengetahui surat penetapan ketua pengadilan negeri menunjukkan
hakim
5. Untuk mengetahui surat penetapan persidangan oleh ketua majelis hakim

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pra Peradilan
Praperadilan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Indonesia, Pasal 1 butir 10 adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk
memeriksa dan memutus tentang:
 Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka;
 Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
 Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan
ke pengadilan.1

B. Perkara Biasa, Singkat dan Cepat


Pemeriksaan dengan acara biasa, acara cepat, dan acara singkat ini
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (“UU 5/1986”) sebagaimana yang terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (“UU 51/2009”).
1. Pemeriksaan dengan Acara Biasa
Philipus (hal. 331) menjelaskan bahwa pemeriksaan dengan acara
biasa diawali dengan pemeriksaan persiapan. Pengadilan memeriksa dan
memutus sengketa dengan 3 (tiga) orang hakim.  
Philipus menambahkan, dalam acara biasa, tahapan penanganan
sengketa adalah: 2

1 Arto, Mukti. 2011. Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.h.21
2 Soeroso, R. 2011. Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses
Persidangan. Jakarta: Sinar Grafika.h.23

2
a. Prosedur dismisal
Pemeriksaan administratif untuk menetapkan apakah suatu gugatan dapat
diterima atau tidak dapat diterima.
b. Pemeriksaan persiapan
Tahap ini dimaksudkan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
c. Pemeriksaan di sidang pengadilan
2. Pemeriksaan dengan Acara Cepat
Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan apabila terdapat
kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat
disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam
gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan
sengketa dipercepat. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan
Hakim Tunggal.
Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
setelah diterimanya permohonan pemeriksaan acara cepat,
mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya
permohonan tersebut.
Terhadap penetapan tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum.
Dalam hal permohonan pemeriksaan dengan acara cepat dikabulkan,
Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah
dikeluarkannya penetapan menentukan hari, tempat, dan waktu sidang
tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan. Tenggang waktu untuk
jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing
ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari.3  
3. Pemeriksaan dengan Acara Singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat dilakukan terhadap perlawanan.
Perlawanan tersebut diajukan terhadap penetapan dari prosedur dismisal
dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah penetapan diucapkan.

3 Latif, M. Djamil. 1983. Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di


Indonesia. Jakarta: N.V. Bulan Bintang.h.43

3
Pemeriksaan singkat dilakukan karena adanya perlawanan
penggugat tentang gugatannya yang tidak diterima atau tidak
berdasar. Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan,
maka penetapan tersebut gugur demi hukum dan pokok gugatan akan
diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusan
mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.
Perbedaan Acara Biasa, Acara Cepat dan Acara Singkat
Philipus (hal. 331 - 332) memberikan perbedaan antara acara biasa,
acara cepat, dan acara singkat sebagai berikut:
 Acara Biasa Acara Cepat Acara Singkat
1.    Diawali dengan 1. Dilakukan karena 1. Dilakukan terhadap
pemeriksaan persiapan kepentingan perlawanan
dengan majelis hakim 3 mendesak dengan  
orang hakim tunggal 2. Penundaan
2.    Tahapan penanganan 2. Dalam hal pelaksanaan
sengketa: permohonan TUN ,tidak untuk
a.    Prosedur dikabulkan, menyelesaikan
dismisal pemeriksaan pokok sengketa
b.    Pemeriksaan acara cepat 3.    Bentuk akhir:
persiapan dilakukan tanpa penetapan
c.    Pemeriksaan di melalui prosedur  
sidang pemeriksaan
pengadilan persiapan.[19]
3.    Bentuk akhir: putusan 3.    Bentuk akhir:
(vonis) putusan (vonis)
 

C. Perkara Koneksitas
1. Badan Peradilan yang Berhak Dalam Mengadili Perkara Koneksitas
Perkara koneksitas merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan
bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum
dan lingkungan peradilan militer, artinya para pihak berasal dari
lingkungan peradilan yang berbeda, sebab dalam ketentuan pasal 10 ayat
(2) Undang-Undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
dikenal empat lingkungan peradilan yang berada dalam lingkungan
Mahkamah Agung, yang mana masing-masing lembaga peradilan

4
memiliki kompetensi dan kewenangan yang berbeda dalam mengadili,
Kewenangan masing-masing lingkungan peradilan bersifat absolut dan
tidak bisa dicampuri oleh lingkungan peradilan lain.4
Suatu perkara koneksitas diperiksa dalam lingkungan peradilan militer
hanya apabila terdapat 2 hal yaitu :

a. Jika ada keputusan Menteri Pertahanan yang mengharuskan perkara


koneksitas ini diperiksa dan diadili oleh lingkungan Peradilan Militer.

b. Keputusan Menteri Pertahanan tersebut telah mendapat persetujuan dari


Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa perkara koneksitas
itu diperiksa dan diadili oleh oleh lingkungan Peradilan Militer. ( pasal 89
kuhap)
Lebih jelasnya lagi dalam pasal 24 uu no 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman mengatakan “tindak pidana yang dilakukan bersama-
sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan
peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan
mahkamah agung perkara tersebut harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer.
Dalam penjelasan pasal ini menjelaskan yang dimaksud dalam
“keadaan tertentu” adalah dilihat dari titik berat kerugian yang ditimbulkan
oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat kerugian terletak pada kepentingan
militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan
militer, sedangkan Jika titik berat kerugian terletak pada kepentingan umum,
maka perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Berdasarkan hal inilah jelas bahwa terlebih dahulu harus ada kajian
untuk menentukan peradilan mana yang lebih kompeten dalam mengadili
perkara tersebut. Dalam pasal 90 ayat 1 kuhap dikatakan , untuk menetapkan
apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam

4 Manan, Abdul. 2008. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan


Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.h.98

5
lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 89 ayat 1, diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau
jaksa tinggi dan oditur militer oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan
tim tersebut pada pasal 89 ayat 2,

2. Proses Pemeriksaan Perkara koneksitas


a. Penyidikan perkara koneksitas
Pasal 89 (2) KUHAP telah menentukan cara dan aparat yang berwenang dalam
melakukan penyidikan terhadap perkara koneksitas. Aparat penyidik perkara
koneksitas terdiri dari suatu tim tetap, yang terdiri dari unsur :
a. Penyidik Polri;
b. Polisi Militer;
c. Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi
Cara bekerja tim disesuaikan dengan kewenangan yang ada pada masing-masing
unsur tim. Bila dilihat dari segi wewenang masing-masing unsur tim, maka :
a. tersangka pelaku sipil diperiksa oleh unsur penyidik Polri.
b. Sedangkan tersangka pelaku anggota TNI/Polri diperiksa oleh penyidik dari
Polisi Militer dan Oditur Militer.
a. Susunan Majelis Peradilan koneksitas
Susunan Majelis hukum peradilan perkara koneksitas disesuaikan dengan
lingkungan peradilan yang mengadili perkara tersebut. Apabila perkara koneksitas
diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum, maka susunan Majelis
Hakimnya adalah :
- Sekurang-kurangnya Majelis Hakim terdiri dari tiga orang.
- Hakim Ketua diambil dari Hakim Peradilan Umum (Pengadilan Negeri).
- Hakim Anggota ditentukan secara berimbang antara lingkungan peradilan umum
dengan lingkungan peradilan militer.
Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan Peradilan
Militer, maka susunan Majelis Hakimnya adalah :
- Hakim Ketua dari lingkungan Peradilan Militer.
- Hakim Anggota diambil secara berimbang dari hakim Peradilan Umum dan

6
Peradilan Militer.5
- Hakim Anggota yang berasal dari lingkungan Peradilan Umum diberi pangkat
militer “tituler”.
- Yang mengusulkan Hakim Anggota adalah Menteri hukum dan Hak Asasi
Manusia bersama dengan Menteri Pertahanan.
Susunan ini juga berlaku pada susunan Majelis Hakim pada tingkat Banding.

3. Hambatan Penanganan Perkara Koneksitas


a. KUHAP tidak memuat aturan mengenai kepangkatan dalam perkara koneksitas.
Persidangan kasus dugaan korupsi Badan Pengelola Tabungan Wajib Perumahan
(BPTWP) TNI AD beberapa waktu yang lalu di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan (PN Jaksel). Ketua PN Jaksel Andi Samsan Nganro menginformasikan
majelis hakim yang menangani perkara tersebut telah dibentuk.
Sebagaimana diketahui, kasus ini melibatkan dua tersangka sipil dan satu
tersangka militer. Dari sipil, tersangkanya adalah Pemilik Yayasan Mahaneim
Samuel Kristanto dan seorang pengusaha bernama Dedy Budiman Garna.
Sementara, dari militer adalah Kepala BPTWP TNI AD Kolonel Ngadimin
Darmosujono. Ini akan disidangkan secara koneksitas karena perbuatannya
dilakukan bersama-sama oleh sipil dan militer.
Dengan pertimbangan perkara ini adalah perkara koneksitas, maka susunan
majelisnya pun terdiri dari hakim peradilan umum dan hakim peradilan militer.
PN Jaksel menyumbang dua nama, yakni Soedarmadji sebagai ketua majelis dan
Wahjono sebagai anggota majelis. Sementara, satu hakim lainnya berasal dari
militer adalah Mayor CHK Budi Purnomo.
Jika kita melihat susunan majelis yang dipaparkan Ketua PN Jaksel, uniknya
hakim militer yang ditugaskan menangani perkara ini hanya berpangkat mayor.
Padahal, berdasarkan tata urutan kepangkatan militer mayor berkedudukan lebih
rendah dibandingkan kolonel. Artinya, pangkat hakim militer yang menangani
perkara ini lebih rendah dari terdakwa. Hal ini tentu tidak sesuai dengan pasal 16

5 Mertokusumo, Sudikno. 2010. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:


Universitas Atmajaya.h.65

7
ayat 5 uu 31 tahun 1997 tentang pengadilan militer, dimana ditentukan jika
terdakwanya berpangkat kolonel setidaknya hakim yang menangani perkara itu
harus setingkat dengan pangkat terdakwa.
Dalam hal ini, KUHAP tidak memberikan pengaturan yang jelas tentang
kepangkatan dalam perkara koneksitas, sehinggga perlu adanya revisi, setidaknya
memberikan penjelasan atau pengecualian dalam uu pengadilan militer.
b. Adanya Penghapusan Perkara Koneksitas dalam RUU Pengadilan Militer
Menurut Mayjen TNI Burhan Dahlan, Dalam draft RUU Peradilan Militer yang
saat ini dibahas bahwa judul bagian kelima Bab IV telah dihapus, begitu juga
ketentuan Pasal 198 s.d. 203 dihapus, sehingga tidak terdapat lagi ketentuan
pemeriksaan koneksitas. Kenyataannya Pasal 24 Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 jo Pasal 16 Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman mengatur pemeriksaan koneksitas, yakni untuk memeriksa dan
mengadili tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer.
Pemeriksaan dilakukan oleh peradilan umum tapi juga dapat diperintahkan untuk
diperiksa oleh peradilan militer.
Berdasarkan hal ini beliau menyarankan dalam draft RUU Peradilan Militer perlu
untuk mencantumkan tentang pemeriksaan perkara koneksitas sesuai ketentuan
Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman yang ada saat ini.
c. Perkara Koneksitas Memakan Waktu yang Lama
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, suatu perkara hanya bisa disidangkan
sebagai perkara koneksitas jika ada keputusan dari Menteri Pertahanan dan telah
disejui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Belum lagi menunggu hasil
pengkajian dari tim penyidik yang dibentuk untuk menentukan apakah perkara
masuk lingkungan peradilan umum atau militer, sehingga dapat kita bayangkan
waktu yang akan diperlukan untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Hal ini pernah menjadi alasan dari brigadir Jenderal Soenarko GA, selaku
komandan polisi angkatan laut dalam kasus pembunuhan Direktur PT Asaba
Budyarto Angsono tahun 2004 silam. Ketika itu pengacara Gunawan Santosa
meminta untuk menyidangkan kasus tersebut secara koneksitas, karena sesuai

8
dengan dugaan awal terdakwa Gamawan dibantu oleh 4 orang marinir.
Seharusnya masalah ini juga perlu untuk diperhatikan agar prinsip-prinsip
pengadilan yang cepat. Tepat dan murah dapat terwujud tanpa menyampingkan
nilai-nilai keadilan yang sesunggunya.6

D. Penetapan Penunjukan Majelis


Hakim                                                                                   A.1
(Ps. 11 UU No. 48 Tahun 2009)
PENETAPAN
No: 3629/Pdt.G/2016/PA.Cms
 
Ketua Pengadilan Agama Ciamis telah membaca surat gugatan tertanggal 17
Oktober 2016 yang telah terdaftar register nomor : 3629 tanggal : ….
Menimbang bahwa untuk memeriksa mengadili dan memutus perkara tersebut
perlu di tetapkan majlis hakim yang susunannya tersebut di bawah ini :
Mengingat pasal 11 ( ayat 1 dan 2 ) UU no. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman jo. Pasal 93 dan 94 UU no 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama
sebagaimana telah di ubah dengan UU no 3 tahun 2006 dan terakhir dengan UU
no 50 Tahun 2009.
Menetapkan
Menununjuk :
1. Alis Abdul Mukhlis, S.H., M.H. Sebagai Ketua Majlis;
2. Edis Sudrajat, S.H., M.H.             Sebagai Hakim anggota;
3. Hendri Permana, S.H., M.H.                        Sebagai Hakim anggota;
untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut diatas.
Ditetapkan di                                   : Ciamis
Pada Tanggal                                   : ………………
Ketua
  
1. Iqbal Muhajir, S.H., M.H.
NIP. 0000000000001890

6 Rasyid, Roihan A. 2005. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.h.61

9
E. Surat Penetapan Hari sidang
SURAT PENETAPAN HARI SIDANG
Nomor: 02/2013/PTUN/Banda Aceh
PENETAPAN
            Kami selaku Panitera Muda Pengadilan PTUN Banda Aceh,  mengingat
perkara No.03/G/ 2013 / PTUN- BNA, manyatakan penetapan hari sidang antara :
CUT JULIANA                    PENGGUGAT,
melawan
T. ABDUL HALIM                          TERGUGAT I
ZAHRATUL FAJRI                                    TERGUGAT II
            Menimbang, bahwa untuk memeriksa perkarat tersebut perlu ditentukan
hari persidangan, pada hari mana kedua belah pihak harus hadir guna didengar
keterangan masing-masing; Mengingat pasal-pasal dari undang-undang yang
bersangkutan;
MENETAPKAN:
Persidangan dalam perkara tersebut pada hari Selasa, tanggal  9 April 2013, jam
10.00 WIB; Memerintahkan untuk memanggil kedua belah pihak pada hari
persidangan, dengan Agenda Pemeriksaan Identitas Para Pihak, baik pihak
penggugat maupun Tergugat.Menetapkan bahwa tenggang antara hari panggilan
dan hari persidangan sekurang-kurangnya tiga hari;
            Demikian ditetapkan di Banda Aceh, pada tanggal 5 April 2013.                 

                                                              Panitera Pengadilan Negeri Banda Aceh

( Putri Sri Wahyuni)

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seiring dengan perkembangan yang ada, perkara-perkara koneksitas
telah sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, untuk mengatasi hal ini
dibutuhkan perhatian khusus dari pemerintah. Dengan adanya pembentukan
sikap, karakter prajurit merupakan langkah yang paling tepat untuk dilakukan,
dan tak kalah penting adanya pembenahan hukum terkait perkara koneksitas
dalam mengantisipasi jika hal-hal seperti ini terjadi. Dan pada akhirnya biarlah
hukum terus kita ditegakkan, fiat justitia raut caelum.
Perkara koneksitas merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan
bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan
lingkungan peradilan militer, artinya para pihak berasal dari lingkungan
peradilan yang berbeda, sebab dalam ketentuan pasal 10 ayat (2) Undang-
Undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dikenal empat
lingkungan peradilan yang berada dalam lingkungan Mahkamah Agung, yang
mana masing-masing lembaga peradilan memiliki kompetensi dan kewenangan
yang berbeda dalam mengadili, Kewenangan masing-masing lingkungan
peradilan bersifat absolut dan tidak bisa dicampuri oleh lingkungan peradilan
lain.

B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, mudah-mudahan dengan adanya
makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat bagi kita semua.
Untuk kesempurnaan makalah ini, kami selaku pemakalah bersedia menerima
kritik dan saran yang membangun untuk menuju yang lebih baik nantinya.
untuk perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

11
DAFTAR PUSTAKA

Arto, Mukti. 2011. Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Latif, M. Djamil. 1983. Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di


Indonesia.  Jakarta: N.V. Bulan Bintang.

Manan, Abdul. 2008. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan


Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mertokusumo, Sudikno. 2010. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:


Universitas Atmajaya.

Rasyid, Roihan A. 2005. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada.

Soeroso, R. 2011. Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses


Persidangan. Jakarta: Sinar Grafika.

Subekti, R dan Tjitrosudibio. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Tim Nuansa Aulia. 2011. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Nuansa Aulia.

12
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Tahap Penyidangan” Tanpa
pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikannya
dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya kami ucapkan terima kasih kepada Bapak dosen yang telah
berkenan membimbing kami dalam mata kuliah “Hukum Acara Pidana ” yang
telah membantu. Oleh karenanya kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan dan terlebih dahulu kami ucapkan terima kasih.
Demikian makalah ini kami sajikan semoga bermanfaat bagi kami dan
pembaca.

Ujung Gading, 2020


Penulis,

i 13
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pra peradilan............................................................. 2
B. Perkara biasa, singkat dan cepat............................... 2
C. Perkara koneksitas.................................................... 4
D. Surat penetapan ketua pengadilan negeri menunjukkan
Hakim....................................................................... 9
E. Surat penetapan persidangan oleh ketua majelis hakim 10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................ 11
B. Saran.......................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA

ii 14

Anda mungkin juga menyukai