Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

DASAR-DASAR EPISTEMOLOGI

Dosen Pengampu : Yusuf Muhajir Ilallah ,M.pd

Disusun Oleh :
1. Dewi Oktafia Irayati (20.21.00213)
2. Ali Andre Yusuf (20.21.00304)

INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Jika mempelajari filsafat ilmu, kita pasti menjumpai istilah
“Epistemologi”. Yang merupakan salah satu cabang ilmu filsafat. Dan
karena Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan
ilmiah). Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang
terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,
batas-batas dan metode, dan kesahihan pengetahuan. sehingga dalam
kesempatan kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sumber-sumber
epistemologi. Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari
kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada,
tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya
dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap
jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus
mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang
dimaksud disini bukanlah kebenaran yang bersifat semu, tetapi
kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur
dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini,
tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru
sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari dan
mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada
sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori
sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan
penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari
setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak
kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus
berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa
keingintahuannya terhadap dunianya.

B. Rumusan Masalah
Masalah dan topik pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Bagaimana pengertian epistemologi?
2. Bagaimana sejarah epistemologi?
3. Bagaimana metode memperoleh pengetahuan?

C. Tujuan
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui pengertian epistemologi
2. Mengetahui sejarah epistemologi
3. Mengetahui metode memperoleh pengetahuan
1.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Mukhtalif Hadis


Epistomologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-
pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu:
kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori,
uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang
pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of
knowledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori
pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat
pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori mengenai
hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh
pengetahuan, Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan
berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan
epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan
manusia mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi
epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan
yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang
dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam
epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat
membedakan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
B. Sejarah Perkembangan
Pranarka menyatakan bahwa sejarah epistemologi dimulai pada
zaman Yunani kuno, ketika orang mulai mempertanyakan secara sadar
mengenai pengetahuan dan merasakan bahwa pengetahuan merupakan
faktor yang amat penting yang dapat menentukan hidup dan kehidupan
manusia. Pandangan itu merupakan tradisi masyarakat dan kebudayaan
Athena. Tradisi dan kebudayaan Spharta, lebih melihat kemauan dan
kekuatan sebagai satu-satunya faktor. Athena mungkin dapat dipandang
sebagai basisnya intelektualisme dan Spharta merupakan basisnya
voluntarisme.
Zaman Romawi tidak begitu banyak menunjukkan perkembangan
pemikiran mendasar sistematik mengenai pengetahuan. Hal itu terjadi
karena alam pikiran Romawi adalah alam pikiran yang sifatnya lebih
pragmatis dan ideologis.
Masuknya agama Nasrani ke Eropa memacu perkembangan
epistemologi lebih lanjut, khususnya karena terdapat masalah hubungan
antara pengetahuan samawi dan pengetahuan manusiawi, pengetahuan
supranatural dan pengetahuan rasional-natural-intelektual, antara iman
dan akal. Kaum agama di satu pihak mengatakan bahwa pengetahuan
manusiawi harus disempurnakan dengan pengetahuan fides, sedang
kaum intelektual mengemukakan bahwa iman adalah omong kosong
kalau tidak terbuktikan oleh akal. Situasi ini menimbulkan tumbuhnya
aliran Skolastik yang cukup banyak perhatiannya pada masalah
epistemologi, karena berusaha untuk menjalin paduan sistematik antara
pengetahuan dan ajaran samawi di satu pihak, dengan pengetahuan dan
ajaran manusiawi intelektual-rasional di lain pihak. Pada fase inilah
terjadi pertemuan dan sekaligus juga pergumulan antara Hellenisme dan
Semitisme. Kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang selama
abad pertengahan Eropa tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi
Semitik di atas alam pikiran Hellenistik. Di lain pihak, orang merasa dapat
memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi intelektual dengan
ajaran agama yang bersifat samawi-supernatural. Dari sinilah tumbuh
Rasionalisme, Empirisme, Idelisme, dan Positivisme yang kesemuanya
memberikan perhatian yang amat besar terhadap problem pengetahuan.
Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini telah
membangkitkan gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini
bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia secara natural akan mampu
membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme yang kelewat dari
Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam
aliran sebagai akibat dari pergumulan epistemologi modern yang menjadi
multiplikatif telah menghasilkan suasana krisi budaya.
Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan epistemologi
tampaknya berjalan di dalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola
relativisasi, di mana lahir aliran-aliran dasar seperti skeptisisme,
dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di samping itu, tumbuh
pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan
manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang
mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan
kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia.
Terjadinya Pengetahuan
Vauger menyatakan bahwa titik tolak penyelidikan epistemologi
adalah situasi kita, yaitu kejadian. Kita sadar bahwa kita mempunyai
pengetahuan lalu kita berusaha untuk memahami, menghayati dan pada
saatnya kita harus memberikan pengetahuan dengan menerangkan dan
mempertanggung jawabkan apakah pengetahuan kita benar dalam arti
mempunyai isi dan arti.
Bertumpu pada situasi kita sendiri itulah sedikitnya kita dapat
memperhatikan perbuatan-perbuatan mengetahui yang menyebabkan
pengetahuan itu. Berdasar pada penghayatan dan pemahaman kita dan
situasi kita itulah, kita berusaha untuk mengungkapkan perbuatan-
perbuatan mengenal sehingga terjadi pengetahuan.
Akal sehat dan cara mencoba-coba mempunyai peranan penting
dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagi
gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat sebab tidak
mempunyai landasan lain untuk berpijak. Tiap peradaban betapapun
primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat.
Randall dan Buchlar mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang
diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis
dan kebetulan. Sedangkan karakteristik akal sehat, menurut Titus, adalah
(1). Karena landasannya yang berakar pada adat dan tradisi maka akal
sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan pengulangan, (2). Karena
landasannya yang berakar kurang kuat maka akal sehat cenderung untuk
bersifat kabur dan samar, dan (3). Karena kesimpulan yang ditariknya
sering berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut maka akal sehat
lebih merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang
secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos.
Menurut Popper, tahapan ini adalah penting dalam sejarah berpikir
manusia yang menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat
dogmatik yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin dan
digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk yang masing-masing
mencoba menemukan kebenaran secara analisis yang bersifat kritis.
Dengan demikian berkembanglah metode eksperimen yang
merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam
rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Metode ini
dikembangkan lebih lanjut oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad
keemasan Islam. Semangat untuk mencari kebenaran yang dimulai oleh
para pemikir Yunani dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. Dalam
perjalanan sejarah, lewat orang-orang Muslimlah, dunia modern sekarang
ini mendapatkan cahaya dan kekuatannya. Pengembangan metode
eksperimen yang berasal dari Timur ini mempunyai pengaruh penting
terhadap cara berpikir manusia, sebab dengan demikian berbagai
penjelasan teoritis dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris
atau tidak. Dengan demikian berkembanglah metode ilmiah yang
menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif.

C. Metode Memperoleh Pengetahuan


1. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang
mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui
pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan
bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis
catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah
dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh
sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta
memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta
refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ia
memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara
pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua
pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai
kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang
dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek
material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali
secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya
bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
2. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada
akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman,
melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis
perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa
kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di
dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna
mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan,
maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya
dapat diperoleh dengan akal budi saja.
3. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian
tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam
dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal
kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis
dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai
pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri,
melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada
kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa
semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman-meskipun benar
hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar,
karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang
sesuatu serta pengalaman.
4. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui
secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang
diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan
hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme
Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk
pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera.
Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan
tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan
oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan
bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan
demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi
maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman
inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya.
Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya
mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui
intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi
sebagian saja-yang diberikan oleh analisis. Ada yang berpendirian
bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak
belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu
kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah
merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya
intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang
senyatanya.
5. Dialektis
Yaitu tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode
penuturan serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai
apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari
dialektika berarti kecakapan untuk melekukan perdebatan. Dalam
teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak
tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam
percakapan, bertolak paling kurang dua kutub
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian mengenai sumber-sumber epistemologi tersebut
maka dapat disimpulkan, bahwa epistemologi adalah teori pengetahuan
yang merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan
ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-
dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai
pengetahuan yang dimiliki. Dengan adanya penjelasan mengenai
epistemologi, maka akan diketahui asal mulanya pengetahuan, terjadinya
pengetahuan, dan sumber-sumber pengetahuan. Sehingga kita
mengetahui dengan jelas dari mana kita mendapatkan pengetahuan dan
cara memperolehnya.
Sumber-sumber pengetahuan tersebut antara lain adalah alam, akal,
hati, pengalaman indera, sejarah, intuisi, keyakinan, dan lainnya.
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indra, dan sumber-
sumber tersebut mempunyai metode tersendiri dalam pengetahuan
tersebut. Dan tanpa sumber-sumber tersebut maka kita tidak tahu
darimana pengetahuan itu berasal.

B. SARAN
Demikianlah makalah yang telah penulis buat, penulis sadar makalah
ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran demi kebaikan makalah selanjutnya. Namun, penulis tetap
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
\DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, M.A. Pengantar Filsafat Islam, cet.V. Jakarta: PT Bulan


Bintang, 1991.

Amsal Bakhtiar. Filsafat Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Jujun S.Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, cet.18.


Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi


Islam. Bandung: Mizan, 2003

Muhammad Baqir Ash-Shadr. Falsafatuna. Cet.VI. Bandung: Mizan, 1998

Muthahhari, Murtadha. Mengenal Epistemologi: Sebuah Pembuktian


Terhadap Rapuhnya Pemikiran Asing Dan Kokohnya Pemikiran
Islam. Jakarta: Lentera, 2001.

Surajiyo, Filsafat Ilmu Dan Perkembangannya di Indonesia:


SuatuPengantar.ed.I,cet.3. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Yazdi,M.Taqi Mishbah. Buku Daras Filsafat Islam, cet.1. Bandung: Mizan,


2003.

Anda mungkin juga menyukai