Dosen Pengampu :
Disusun Oleh:
Alhamdulillah segala puji dan puji syukur bagi Allah SWT yang
melimpahkan karunia, rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya. Sehingga penulis dapat
menyesuaikan makalah ini dengan sebaik – baiknya.
Atas izin Allah lah serta taufiq, Hidayah-Nya, makalah ini bisa
terselasaikan dengan lancar. Semoga makalah ini bisa membawa manfaat bagi
kita semua Aamiin.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB 1
PENDAHULUAN......................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................................3
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................................................4
2.1 Pengertian Tahammul dan Ada’ al Hadits.......................................................................4
2.1.1 Tahammul Hadits (Penerimaan Hadits).....................................................................4
2.1.2 Ada’ul Hadits (Penyampain Hadits)..........................................................................5
2.2 Sighot-Sighot Tahammul Wa Ada’ul Hadits dan Implikasinya Terhadap Persambungan
Sanad......................................................................................................................................6
2.3 Pengertian Hadits Muan’an Dan Muannan Dan Implikasinya Terhadap Persambungan
Sanad......................................................................................................................................8
BAB III
PENUTUP................................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................11
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Keterangan dalam bab ini lihat pada fathul mughits 4-17. Darul kutub ilmiah. As Sakhowi. Manhaj Dzawin
Nadzhor 115-116. Al Haromain. at Turmusyi. Ushulul Hadits 227-229. Darul Fikr. Ajjaj Khotib
2
Al Asqoni Fathul Bari dlm al Adzan, bab al jahru fil maghribi. 4/155-156.Maktabah Kulliyat Azhariyah.
Pemberian batas usia 5 tahun, menurut Ibnu Sholah merupakan penetapan yang
dilakukan oleh ahli hadits muta’akhirin. Ini karena, mereka dalam mencatat daftar hadir bagi
anak yang berusia 5 tahun keatas, ketika mengikuti pengajian hadits, menggunakan istilah
sami’a (ia mendengar),sementara bagi anak yang berusia dibawah 5 tahun menggunakan
istilah hadhoroh (ia hadir) atau uhdhiro (ia diajak menghadiri) yang benar, bahwa tolak ukur
keabsahan seorang anak dapat menerima hadits tidaklah dibatasi dengan usia tertentu,
melainkan dengan tercapainya sifat tamyiz, yakni kemampuan seseorang untuk mebedakan
sesuatu atau memahami apa yang didengar, mampu berdialog dengan baik yang semisalnya.
Jadi, meskipun usia anak masih dibwah 5 tahun, transfer haditsnya bisa dianggap sah, ketika
telah memiliki tamyiz. Sebaliknya, tidak dapat diakatakan sah penerimaan haditsnya ketika ia
belum tamyiz, meski telah berusia 10 tahun atau bahkan 50 tahun.3
1) ‘Adil,dan
2) Dhobith (cermat /kuat hafalan).
Ini merupakan dua syarat pokok yang di sepakati para imam hadits dan fiqh. Yang mereka
kehendaki dengan syarat ‘adil disini ialah meliputi perowi yang muslim, baligh, berakal
terbebas dari kefasikan dan hal-hal yang bisa merusak harga diri. Sementara yang dimaksud
dengan dhobith ialah perowi yang tidak buruk hafalan, tidak sering salah atau lupa, serta
riwayatnya tidak bertentangan dengan para perowi fiqoh lain. Namun, belakangan banyak
ahli hadits memeandang perlu untuk mencantumkan syarat-syarat itu secara menyendiri.
dengan demikian, dapat kita sebutkan bahwa seorang perowi hadits haruslah memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
1. Islam
Para ulama mengsyaratkan bahwa seorang perowi hadits haruslah muslim, karena
masalah periwayatan ini berkaitan erat dengan masalah agama.
2. Baligh (Dewasa) dan Berakal Sehat
Sifat ini harus dimiliki oleh seorang perowi agar ia dapat berlaku jujur dan berbicara
tepat. Orang yang menyampaikan hadits disyaratkan sudah baligh, karena pada usia
itulah taklif digantungkan, sebagaimana orang yang tidak dalam keadaan gila.
3. Adil
Al ‘Adalah (sifat adil) ialah sifat yang tertanam kuat pada diri seseorang, yang bisa
mengarahkannya untuk berlaku taqwa, menjauhi perbuatan munkar, dan segala
sesuatu yang bisa merusak harga diri (muru’ah).
4. Dhobith (kuat hafalan/cermat)
Yang dikehendaki dengan dhobith oleh muhaddisin ialah sikap penuh kesadaran dan
tidak lalai, kuat hafalan bila hadits yang disampaikan berdasarkan hafalannya tepat
tulisan bila hadits yang diriwayatkan berdasarkan kitabnya.
ada 2 kategori dhobith bagi seorang perowi, yaitu:
Dhobthus Sodri
3
Mukoddimah Ibnu Sholah.dalam kitab syarahnya at Taqyid wal Idhoh.210. Maktabah Tijariyah.
Yakni Kemampuan seorang perowi menghafal dengan sempurna apa yang ia
dengar, tanpa ada penambahan atau pengurangan, dan mampu
mempertahankannya secara utuh mulai dari saat mendengar sampai waktu
menyampaikan. Jadi, diperlukan ingatan yang kuat dan penngamatan yang jernih
untuk hal itu, sehingga kapanpun dibutuhkan ia akan dapat menyampaikannya.
Dhobthul Kitab
Yakni terpelihara dan terjaganya kitab seorang perowi dari segala bentuk
perubahan, sehingga kitab itu dinyatakan aman dari hal-hal yang dimaksud, mulai
dari saat menerima hingga penyampaianya.
Para Ulama telah mengidentifikasi cara-cara pengambilan serta penyampaian hadits oleh
para periwayatnya itu, menjadi 8 macam bentuk yaitu :
1. Sama’ (mendengar)
Metode ini bisa berupa penyampaian dari guru dan hafalan, pembacaan dari
kitab, berdialog, atau secara dikte. Semua bentuk tersebut oleh muhaddisin
dikategorikan sebagai sama’. Pembacaan oleh guru kepada murid dinilai jumhur
ulama sebagi cara terbaik dan memiliki derajat paling tinggi diantara bentuk-bentuk
penerimaan hadits lain, sebab dengan cara inilah para perowi generasi pertama
mendapatkan hadits dari nabi saw, dan ketika mereka meriwayatkan hadis pada
generasi selanjutnya juga menggunakan cara yang sama.
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk menyampaikan hadits yang diterima melalui
cara sama’ bisa berupa :
ْتُ َس ِمعatau ( َس ِم ْعنَاAku/Kami telah mendengar)
َح َّدثَنِيatau ( َح َّدثَنَاMenceritakan kepadaku/kami), dalam kitab hadits kadang kurang
lafadz ini ditulis dengan singkatan, seperti “ “ ثَنَاatau “ “ نَا.
2. Al-Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh)
Al-Qira’ah disebut juga al-‘Ardlu memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi
membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam
sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits,
sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang
hafal hadits yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar
pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel. Akan tetapi jika syeikh tidak hafal
hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini
menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian
yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’
ynag berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung
hadits adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan
cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.
3. Al-Ijazah (pemberian izin)
Salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang
guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang
ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau
mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan
menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin,
namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat
dalam polimik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat
masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak,
penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan,
sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh
dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan memiliki
pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi dengan demikian kehawatiran golongan
pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat dibenarkan.
4. Al-Munawalah (pemberian)
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar
disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam
bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan
riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi
menjadi beberapa macam,
• Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku
ijazahkan ia kepada mu”.
• Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada
muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada
ku”.
• Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan
berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan
ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan
berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk
meriwayatkan.
5. Al-Mukatabah (menulis).
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru
menuliskan hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian
diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang
berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua
macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang
masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga
menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan
dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat فالن إلي كتب.
6. Al-I’lam as-Syaikh (memberitahukan seorang guru).
Al-I’lam as-Syaikh adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan
kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang
dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk
dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits
riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya
diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan
salah satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya.
Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara
ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat
singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali
dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.
7. Al-Washiyat.
Al-Washiyat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam
masa-masa sakaratul maut; yaitu washiyat kepada seseorang tentang kitab tertentu
yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang
diperoleh dengan cara washiyat. Washiyat hadits menurut mereka sama dengan
pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada
muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Sekalipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa
riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan
I’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang
yang menerima hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus
terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut
diterima dengan washiyat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا , karena dalam
kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah
ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits
dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.
8. Al-Wijadah (penemuan)
Dari segi bahasa al Wijadahmerupakan bentuk masdar dari kata wajada-
yajidu, sebuah kata jadian yang bukan lahir dari lughot arab.wijadal oleh para ahli
hadits digunakan sebagai istilah bagi sebuah metode pengambilan ilmu dari shohifah,
bukan dengan cara mendengar, ijazah maupun munawalah (pemberian). Misalnya
seseorang menemukan kitab hadis daro seorang guru yang semasa dengannya dan ia
tahu benar bahwa kitab itu memang dari tulisannya, baik ia pernah bertemu atu tidak.
Atau kitab itu bukan dari orang yang semasa dengannya, akan tetapi ia yakin betul
bahwa kitab itu memang asli miliknya, berdasarkan ketenaran kitab atau
pengarangnya.
Hadits mu’an’an dapat dikategorikan shohih, hasan, atau dhoif, tergantung apakah sanad
hadits bersangkutan teranggap putus ataukah bersambung, juga apakah perowinya tergolong
tsiqoh atau tidak dan seterusnya. Teramat banyak contoh yang termasuk dalam jenis hadits
ini. Disini kami ketengahkan satu contoh yang berkualitas dhoif saja. Misalnya:
(ص ُّي َح َّدثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ ال َولِ ْي ِد ع َْن ُمبَ ِّش ِر بْنُ ُح َم ْي ٍد ع َْن زَ ْي ِد بْنُ أَ ْسلَ َم ع َْن َع ْب ِدهللا بْنُ ُع َمرْ )ابن ماجه
ِ صفَّى ال ِحم
َ َح َّدثَنَا ُم َح َّمد بْنُ ال ُم
ْ
َ ِليُ َغسِّلْ َموْ تَا ُك ْم اَ ْل َمأ ُمنُون: قَا َل َرسُو ُل هللا صلى هللا عليه وسلّ َم: قَا َل.
“(Ibnu majah) Menceritakan kepada kami Muhammad bin mushoffa al Hamshi menceritakan
kepada kami Baqiyyah bin Walid dari Mubasysyir bin Humaidi dari Zaid bin Aslam dari
Abdulloh bin Umar ra berkata, Rosululloh berkata saw bersabda: Hendaklah yang
memandikan orang yang meninggal adalah orang –orang terpercaya”
pada sanad hadits ini, perowi yang dalam menginformasikan haditsnya memakai metode
‘an’anah ialah baqiyyah bin walid, Mubassyyir bin Humaid dan Zaid bin Aslam. Namun
yang menjadid permasalahn disitu adalah Baqiyyah bin Walid tercatat sebagai perowi
muddalis, sehingga teransfer hadits dengan cara diatas mubassyir bin humaid, selaku
personalia sanad didalamnya, adalah perowi lemah yang tertolak riwayatnya. Menurut Imam
Ahmad “Hadits-hadits mubassyir adalah bohong dan maudu’ (palsu)”. Imam Bukhori juga
menilai Mubassyir sebagai munkarul hadits (diingkari haditsnya), sementara ad daruquthni
mengatakan “Matrukul Hadits (ditinngalkan haditsnya/tidak dapat dipakai), ia pemalsu hadits
dan pendusta”.6
4
Ahmad Umar Hasyim Qowa’idu Ushulul Hadits 171 Darul Fikr.
5
Al Iroqi. At Taqyid wal Idhoh 83 maktabah at Tijariyah.
6
Syarah Sunan Ibnu Majah tahqiq al busyiri pada bab MA Ja a fi Huslil Mayit 1/462. Darul Fikr
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
At Tahammul adalah istilah yang biasa digunakan muhaddisin ayas penerimaan
sebuah hadits, yakni ketika seseorang mendengar atau menerima hadits dari seorang guru
dengan menggunakan salah satu metode penerimaan hadits. Sementara meriwayatkan atau
menyampaikan hadits itu pada orang lain, lazim disebut dengan “Al Ada”.
Para Ulama telah mengidentifikasi cara-cara pengambilan serta penyampaian hadits
oleh para periwayatnya itu, menjadi 8 macam bentuk yaitu :
1. Sama’ (mendengar)
2. Al-Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh
3.
Al-Ijazah (pemberian izin)
4.
Al-Munawalah (pemberian)
5.
Al-Mukatabah (menulis).
6.
Al-I’lam as-Syaikh (memberitahukan seorang guru).
7.
Al-Washiyat.
8.
Al-Wijadah (penemuan)
Hadits mun’an’an – sebagaimana tersirat dari namanya adalah hadits yang disanadnya
dikatakan “ ‘an Fulan” (dari fulan),tanpa ada penjelasan tahdis (menceritakan), sama’
(menedengar) atau ikhbar (mengabarkan). Bentuk periwayatan hadits seperti ini ‘an’anah
sementara perowinya dinamakan mu’an’in.7 Jumhur ahli hadits, fiqih dan ushul berpendapat
bahwa hadits mu’an’an termasuk hadits yang bersanad muttashil, dengan catatan :
Perowinya adil dan terbebas dari tadlis.
Adanya kepastian pernah bertatap muka antara penerima (mu’an’in) dan pemberi
hadits (mu’an’an ‘anhu)
7
Ahmad Umar Hasyim Qowa’idu Ushulul Hadits 171 Darul Fikr.
DAFTAR PUSTAKA