Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

MENGUJI KEMUTTASILAN SANAD-SANAD HADITS


Di ajukan untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Study Hadits

Dosen Pengampu :

Hj. Ainun Na'imah, S.HI.,M.Pd.I

Disusun Oleh:

1. Alifah Ayu Setyaningsih


2. Dewi Lestari
3. Khusnul Istiqomah
4. Nur Kumalasari
5. Sintia Rahma

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


AL-URWATUL WUTSQO JOMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Asaalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Alhamdulillah segala puji dan puji syukur bagi Allah SWT yang
melimpahkan karunia, rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya. Sehingga penulis dapat
menyesuaikan makalah ini dengan sebaik – baiknya.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi sebagaimana tugas mata kuliah


“Study Hadits” Di dalam makalah ini penulis mencoba menyampaikan
penjelasan mengenai “ Mengenai ke muttasilan sanad-sanad hadits” dan
menyusun dalam bentuk makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini tentulah jauh dari


sempurna, dengan tegur sapa kritik yang membangun dan saran-saran dari
pembaca yang sangat penulis harapkan, agar dapat memperbaiki makalah ini.

Atas izin Allah lah serta taufiq, Hidayah-Nya, makalah ini bisa
terselasaikan dengan lancar. Semoga makalah ini bisa membawa manfaat bagi
kita semua Aamiin.

Wasaalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Jombang, 27 Februari 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB 1
PENDAHULUAN......................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................................3
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................................................4
2.1 Pengertian Tahammul dan Ada’ al Hadits.......................................................................4
2.1.1 Tahammul Hadits (Penerimaan Hadits).....................................................................4
2.1.2 Ada’ul Hadits (Penyampain Hadits)..........................................................................5
2.2 Sighot-Sighot Tahammul Wa Ada’ul Hadits dan Implikasinya Terhadap Persambungan
Sanad......................................................................................................................................6
2.3 Pengertian Hadits Muan’an Dan Muannan Dan Implikasinya Terhadap Persambungan
Sanad......................................................................................................................................8
BAB III
PENUTUP................................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................11
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para pendahulu selalu
menjaga Al-Quran dan Al-Hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan
memegang janji sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap al-Quran dan
ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam
pengetahuan. Seseorang yang telah mempelajari hadits dengan sungguh-sungguh dengan cara
yang benar memiliki beberapa kode etik yang harus dia jaga dan dia pelihara, baik ketika
masih menjadi pelajar itu sendiri atau ketika dia sudah mengajarkannya kepada orang lain
kelak.
Para ulama hadis telah bersusah payah mengusahakan adanya ilmu hadis ini, lalu
mereka membikin beberapa kaidah (batasan-batasan) dan berbagai syarat dengan berbagai
bentuk yang cermat dan banyak sekali. Mereka telah mengidentifikasin antara 'tahammul
hadis' selanjutnya mereka menjadikannya beberapa tingkatan, dimana bagian satu dengan
yang lain tidaklah sama artinya ada yang lebih kuat, hal itu merupakan penguat dari mereka
untuk memelihara hadis Rasulullah Saw dan memindahkan dengan baik dari seseorang
kepada orang lain. Disamping itu mereka yakin bahwa cara yang seperi ini adalah cara yang
paling selamat dan cara yang paling cermat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Menjelaskan pengertian Tahammul dan Ada’ al Hadits?
2. Menjelaskan sighot-sighot tahammul wa ada’ul hadits dan implikasinya tetrhadap
persambungan sanad?
3. Menjelaskan pengertian hadits muan’ dan muannan dan implikasinya terhadap
persambungan sanad!

1.3 Tujuan Penulisan


Agar kita dapat mengetahui pengertian dari tahammul wa ada’al hadits serta sighot-
sighotnya, terhadap persambungan sanad dan pengertian dari muan’ dan muannan dan
implikasi terhadap persambungan sanadnya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tahammul dan Ada’ al Hadits


At Tahammul adalah istilah yang biasa digunakan muhaddisin ayas penerimaan
sebuah hadits, yakni ketika seseorang mendengar atau menerima hadits dari seorang guru
dengan menggunakan salah satu metode penerimaan hadits. Sementara meriwayatkan atau
menyampaikan hadits itu pada orang lain, lazim disebut dengan “Al Ada”.

2.1.1 Tahammul Hadits (Penerimaan Hadits)


Antara Tahammul Hadits (penerimaan hadits) dengan Adaul Hadits(penyampaian
hadits) memiliki syarat dan ketentuan yang berbeda. Dalam penerimaan hadits tidak
disyaratkan seseorang harus sudah dewasa atau baligh, dalam keadaan muslim atau memiliki
sifat adil. Orang yang menerima hadits sewaktu kecil atau masih dalam keadaan kafir atau
fasik, oleh para ulama transfer haditsnya dinyatakan sah, Sehingga riwatnya tetap dapat
diterima bila hadits tersebut disampaikan setelah masing-masing dewasa/baligh, memeluk
islam dan bertaubat. Demikian versi jumhur muhaddisin.1
Hadits riwayat jubair bin muth’im, sebagaimna di takhrij oleh al bukhori berikut ini,
dapat di jadikan sebagai hujjah keabsahan hadits yang di terima seorang perowi sebelum
masuk islam:
(‫ْت َرسُو َل )البخاري‬ ْ ‫ب ع َْن ُم َح َّم ِد ْب ِن ُجبَي ِْر ْب ِن ُم‬
ُ ‫ط ِع ٍم ع َْن أَبِ ْي ِه قَا َل َس ِمع‬ ٌ ِ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هللاِ بْنُ يُو ُسفُ قَا َل أَ ْخبَ َرنَا َمال‬
ٍ ‫ك ع َْن ابْنُ ِشهَا‬
‫ور‬ ُّ ِ‫ب ب‬
ِ ‫الط‬ ِ ‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَ َرأَ فِي ْال َم ْغ ِر‬
َّ ‫صل‬
َ ِ‫هللا‬
“Bercerita pada kami Abdulloh bin Yusuf yang berkata, mengkhabarkan kepada kami Malik
dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari Bapaknya (Jubair bin
Muth’im) berkata: Aku mendengar Rosululloh saw membaca surat “ath –Thur” dalam
sholat maghrib”
Jubair bin Muth’immendengar bacaan Rosululloh saw tersebut, ketika ia tiba di madinah
unruk menyelesaikan masalah tawanan perang badar, disaat ia masih keadaan kafi. Disebut
dalam riwayat lain bahwa bacaan Rosululloh saw itulah yang kemudian menggugah hatinya
untuk masukn islam. Al Hafidz Ibnu Hajar menambahkan, apabila penerimaan hadits orang
kafir dinyatakan sah asalkan disampaikan setelah ia masuk islam, maka hadits yang diterima
oleh orang fasiq dan diriwayatkat setelah ia bertobat sersta telah diakui keadilannya, tentu
lebih bisa diterima.2 Para ulama baik dari kalangan sahabat, Tabi’in serta para ahli ilmu
setelah mereka, telah menerima dan tidak mebeda-bedakan antara hadits yang diterima oleh
para sahabat sebelum dan sesudah mereka baligh. Itulah alasan jumhur mengesahkan
penerimaan hadits oleh anak kecil. Sebab banyak dari para sahabat yang telah menerima atau
belajar hadits disaat mereka belum menginjak usia baligh, seperti al Hasan dan al Husein,
Abdulloh bin Zubair, Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Abi Said al Khudri dan lain-lain. Akan
tetapi mereka yang tidak mempermasalahkan penerimaan hadits bagi anak kecil diatas, masih
berbeda pendapat tentang batas minimal usia anak yang dianggap sah penerimaan haditsnya.
Sebagian muhadditsin membatasi minimal usia anak adalah 5 tahun (lima) banyak ulama
yang mendukung pendapat ini, sebagian lagi berpendapat minimal 10 (sepuluh) tahun, yang
lain mengatakan 15 tahun, dan sebagainya.

1
Keterangan dalam bab ini lihat pada fathul mughits 4-17. Darul kutub ilmiah. As Sakhowi. Manhaj Dzawin
Nadzhor 115-116. Al Haromain. at Turmusyi. Ushulul Hadits 227-229. Darul Fikr. Ajjaj Khotib
2
Al Asqoni Fathul Bari dlm al Adzan, bab al jahru fil maghribi. 4/155-156.Maktabah Kulliyat Azhariyah.
Pemberian batas usia 5 tahun, menurut Ibnu Sholah merupakan penetapan yang
dilakukan oleh ahli hadits muta’akhirin. Ini karena, mereka dalam mencatat daftar hadir bagi
anak yang berusia 5 tahun keatas, ketika mengikuti pengajian hadits, menggunakan istilah
sami’a (ia mendengar),sementara bagi anak yang berusia dibawah 5 tahun menggunakan
istilah hadhoroh (ia hadir) atau uhdhiro (ia diajak menghadiri) yang benar, bahwa tolak ukur
keabsahan seorang anak dapat menerima hadits tidaklah dibatasi dengan usia tertentu,
melainkan dengan tercapainya sifat tamyiz, yakni kemampuan seseorang untuk mebedakan
sesuatu atau memahami apa yang didengar, mampu berdialog dengan baik yang semisalnya.
Jadi, meskipun usia anak masih dibwah 5 tahun, transfer haditsnya bisa dianggap sah, ketika
telah memiliki tamyiz. Sebaliknya, tidak dapat diakatakan sah penerimaan haditsnya ketika ia
belum tamyiz, meski telah berusia 10 tahun atau bahkan 50 tahun.3

2.1.2 Ada’ul Hadits (Penyampain Hadits)


Agar hadits yang disampaikan dapat diterima, ada beberapa syarat yang haris dipenuhi
oleh seorang perawi. Apabila ia tidak memenuhi seluruh atau sebagian dari kriteria-kriteria
itu maka dengan sendirinya riwatnya tertolak dan haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah.
Ada 2 hal penting yang harus dipenuhi seorang perawi agar riwatnya bisa di buat hujjah,
yakni:

1) ‘Adil,dan
2) Dhobith (cermat /kuat hafalan).

Ini merupakan dua syarat pokok yang di sepakati para imam hadits dan fiqh. Yang mereka
kehendaki dengan syarat ‘adil disini ialah meliputi perowi yang muslim, baligh, berakal
terbebas dari kefasikan dan hal-hal yang bisa merusak harga diri. Sementara yang dimaksud
dengan dhobith ialah perowi yang tidak buruk hafalan, tidak sering salah atau lupa, serta
riwayatnya tidak bertentangan dengan para perowi fiqoh lain. Namun, belakangan banyak
ahli hadits memeandang perlu untuk mencantumkan syarat-syarat itu secara menyendiri.
dengan demikian, dapat kita sebutkan bahwa seorang perowi hadits haruslah memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
1. Islam
Para ulama mengsyaratkan bahwa seorang perowi hadits haruslah muslim, karena
masalah periwayatan ini berkaitan erat dengan masalah agama.
2. Baligh (Dewasa) dan Berakal Sehat
Sifat ini harus dimiliki oleh seorang perowi agar ia dapat berlaku jujur dan berbicara
tepat. Orang yang menyampaikan hadits disyaratkan sudah baligh, karena pada usia
itulah taklif digantungkan, sebagaimana orang yang tidak dalam keadaan gila.
3. Adil
Al ‘Adalah (sifat adil) ialah sifat yang tertanam kuat pada diri seseorang, yang bisa
mengarahkannya untuk berlaku taqwa, menjauhi perbuatan munkar, dan segala
sesuatu yang bisa merusak harga diri (muru’ah).
4. Dhobith (kuat hafalan/cermat)
Yang dikehendaki dengan dhobith oleh muhaddisin ialah sikap penuh kesadaran dan
tidak lalai, kuat hafalan bila hadits yang disampaikan berdasarkan hafalannya tepat
tulisan bila hadits yang diriwayatkan berdasarkan kitabnya.
ada 2 kategori dhobith bagi seorang perowi, yaitu:
 Dhobthus Sodri

3
Mukoddimah Ibnu Sholah.dalam kitab syarahnya at Taqyid wal Idhoh.210. Maktabah Tijariyah.
Yakni Kemampuan seorang perowi menghafal dengan sempurna apa yang ia
dengar, tanpa ada penambahan atau pengurangan, dan mampu
mempertahankannya secara utuh mulai dari saat mendengar sampai waktu
menyampaikan. Jadi, diperlukan ingatan yang kuat dan penngamatan yang jernih
untuk hal itu, sehingga kapanpun dibutuhkan ia akan dapat menyampaikannya.
 Dhobthul Kitab
Yakni terpelihara dan terjaganya kitab seorang perowi dari segala bentuk
perubahan, sehingga kitab itu dinyatakan aman dari hal-hal yang dimaksud, mulai
dari saat menerima hingga penyampaianya.

2.2 Sighot-Sighot Tahammul Wa Ada’ul Hadits dan Implikasinya Terhadap


Persambungan Sanad

Para Ulama telah mengidentifikasi cara-cara pengambilan serta penyampaian hadits oleh
para periwayatnya itu, menjadi 8 macam bentuk yaitu :
1. Sama’ (mendengar)
Metode ini bisa berupa penyampaian dari guru dan hafalan, pembacaan dari
kitab, berdialog, atau secara dikte. Semua bentuk tersebut oleh muhaddisin
dikategorikan sebagai sama’. Pembacaan oleh guru kepada murid dinilai jumhur
ulama sebagi cara terbaik dan memiliki derajat paling tinggi diantara bentuk-bentuk
penerimaan hadits lain, sebab dengan cara inilah para perowi generasi pertama
mendapatkan hadits dari nabi saw, dan ketika mereka meriwayatkan hadis pada
generasi selanjutnya juga menggunakan cara yang sama.
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk menyampaikan hadits yang diterima melalui
cara sama’ bisa berupa :
 ‫ْت‬ُ ‫ َس ِمع‬atau ‫( َس ِم ْعنَا‬Aku/Kami telah mendengar)
 ‫ َح َّدثَنِي‬atau ‫( َح َّدثَنَا‬Menceritakan kepadaku/kami), dalam kitab hadits kadang kurang
lafadz ini ditulis dengan singkatan, seperti “‫ “ ثَنَا‬atau “ ‫“ نَا‬.
2. Al-Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh)
Al-Qira’ah disebut juga al-‘Ardlu memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi
membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam
sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits,
sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang
hafal hadits yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar
pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel. Akan tetapi jika syeikh tidak hafal
hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini
menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian
yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’
ynag berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung
hadits adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan
cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.
3. Al-Ijazah (pemberian izin)
Salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang
guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang
ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau
mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan
menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin,
namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat
dalam polimik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat
masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak,
penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan,
sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh
dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan memiliki
pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi dengan demikian kehawatiran golongan
pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat dibenarkan.
4. Al-Munawalah (pemberian)
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar
disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam
bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan
riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi
menjadi beberapa macam,
•       Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku
ijazahkan ia kepada mu”.
•       Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada
muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada
ku”.
•       Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan
berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan
ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan
berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk
meriwayatkan.
5. Al-Mukatabah (menulis).
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru
menuliskan hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian
diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang
berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua
macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang
masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga
menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan
dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat ‫فالن‬ ‫إلي‬ ‫كتب‬.
6. Al-I’lam as-Syaikh (memberitahukan seorang guru).
Al-I’lam as-Syaikh adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan
kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang
dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk
dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits
riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya
diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan
salah satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya.
Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara
ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat
singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali
dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.
7. Al-Washiyat.
Al-Washiyat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam
masa-masa sakaratul maut; yaitu washiyat kepada seseorang tentang kitab tertentu
yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang
diperoleh dengan cara washiyat. Washiyat hadits menurut mereka sama dengan
pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada
muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Sekalipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa
riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan
I’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang
yang menerima hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus
terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut
diterima dengan washiyat, serta tidak boleh menggunakan lafat ‫حدثنا‬ , karena dalam
kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah
ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits
dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.
8. Al-Wijadah (penemuan)
Dari segi bahasa al Wijadahmerupakan bentuk masdar dari kata wajada-
yajidu, sebuah kata jadian yang bukan lahir dari lughot arab.wijadal oleh para ahli
hadits digunakan sebagai istilah bagi sebuah metode pengambilan ilmu dari shohifah,
bukan dengan cara mendengar, ijazah maupun munawalah (pemberian). Misalnya
seseorang menemukan kitab hadis daro seorang guru yang semasa dengannya dan ia
tahu benar bahwa kitab itu memang dari tulisannya, baik ia pernah bertemu atu tidak.
Atau kitab itu bukan dari orang yang semasa dengannya, akan tetapi ia yakin betul
bahwa kitab itu memang asli miliknya, berdasarkan ketenaran kitab atau
pengarangnya.

2.3 Pengertian Hadits Muan’an Dan Muannan Dan Implikasinya Terhadap


Persambungan Sanad
Hadits mun’an’an – sebagaimana tersirat dari namanya adalah hadits yang disanadnya
dikatakan “ ‘an Fulan” (dari fulan),tanpa ada penjelasan tahdis (menceritakan), sama’
(menedengar) atau ikhbar (mengabarkan). Bentuk periwayatan hadits seperti ini
‘an’anah sementara perowinya dinamakan mu’an’in.4 Jumhur ahli hadits, fiqih dan ushul
berpendapat bahwa hadits mu’an’an termasuk hadits yang bersanad muttashil, dengan
catatan :
 Perowinya adil dan terbebas dari tadlis.
Sehingga perwayat ‘an’anah dari seorang mudallis meskipun adil, hukumnya ditolah
sebelum ada keterangan ia mendengar.
 Adanya kepastian pernah bertatap muka antara penerima (mu’an’in) dan pemberi
hadits (mu’an’an ‘anhu), demikian versi imam bukhori, ali bin al madini, dan imam-
imam hadits lain. sementara imam muslim hanya mensyaratkan antara penerima dan
pemberi hadits harus hidup semasa, tidak disyaratkan harus ada bukti otentik mereka
pernah bertemu.5

Hadits mu’an’an dapat dikategorikan shohih, hasan, atau dhoif, tergantung apakah sanad
hadits bersangkutan teranggap putus ataukah bersambung, juga apakah perowinya tergolong
tsiqoh atau tidak dan seterusnya. Teramat banyak contoh yang termasuk dalam jenis hadits
ini. Disini kami ketengahkan satu contoh yang berkualitas dhoif saja. Misalnya:
(‫ص ُّي َح َّدثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ ال َولِ ْي ِد ع َْن ُمبَ ِّش ِر بْنُ ُح َم ْي ٍد ع َْن زَ ْي ِد بْنُ أَ ْسلَ َم ع َْن َع ْب ِدهللا بْنُ ُع َمرْ )ابن ماجه‬
ِ ‫صفَّى ال ِحم‬
َ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّمد بْنُ ال ُم‬
ْ
َ‫ ِليُ َغسِّلْ َموْ تَا ُك ْم اَ ْل َمأ ُمنُون‬: ‫ قَا َل َرسُو ُل هللا صلى هللا عليه وسلّ َم‬: ‫قَا َل‬.
“(Ibnu majah) Menceritakan kepada kami Muhammad bin mushoffa al Hamshi menceritakan
kepada kami Baqiyyah bin Walid dari Mubasysyir bin Humaidi dari Zaid bin Aslam dari
Abdulloh bin Umar ra berkata, Rosululloh berkata saw bersabda: Hendaklah yang
memandikan orang yang meninggal adalah orang –orang terpercaya”

pada sanad hadits ini, perowi yang dalam menginformasikan haditsnya memakai metode
‘an’anah ialah baqiyyah bin walid, Mubassyyir bin Humaid dan Zaid bin Aslam. Namun
yang menjadid permasalahn disitu adalah Baqiyyah bin Walid tercatat sebagai perowi
muddalis, sehingga teransfer hadits dengan cara diatas mubassyir bin humaid, selaku
personalia sanad didalamnya, adalah perowi lemah yang tertolak riwayatnya. Menurut Imam
Ahmad “Hadits-hadits mubassyir adalah bohong dan maudu’ (palsu)”. Imam Bukhori juga
menilai Mubassyir sebagai munkarul hadits (diingkari haditsnya), sementara ad daruquthni
mengatakan “Matrukul Hadits (ditinngalkan haditsnya/tidak dapat dipakai), ia pemalsu hadits
dan pendusta”.6

4
Ahmad Umar Hasyim Qowa’idu Ushulul Hadits 171 Darul Fikr.
5
Al Iroqi. At Taqyid wal Idhoh 83 maktabah at Tijariyah.
6
Syarah Sunan Ibnu Majah tahqiq al busyiri pada bab MA Ja a fi Huslil Mayit 1/462. Darul Fikr
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
At Tahammul adalah istilah yang biasa digunakan muhaddisin ayas penerimaan
sebuah hadits, yakni ketika seseorang mendengar atau menerima hadits dari seorang guru
dengan menggunakan salah satu metode penerimaan hadits. Sementara meriwayatkan atau
menyampaikan hadits itu pada orang lain, lazim disebut dengan “Al Ada”.
Para Ulama telah mengidentifikasi cara-cara pengambilan serta penyampaian hadits
oleh para periwayatnya itu, menjadi 8 macam bentuk yaitu :
1. Sama’ (mendengar)
2. Al-Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh
3.
Al-Ijazah (pemberian izin)
4.
Al-Munawalah (pemberian)
5.
Al-Mukatabah (menulis).
6.
Al-I’lam as-Syaikh (memberitahukan seorang guru).
7.
Al-Washiyat.
8.
Al-Wijadah (penemuan)
Hadits mun’an’an – sebagaimana tersirat dari namanya adalah hadits yang disanadnya
dikatakan “ ‘an Fulan” (dari fulan),tanpa ada penjelasan tahdis (menceritakan), sama’
(menedengar) atau ikhbar (mengabarkan). Bentuk periwayatan hadits seperti ini ‘an’anah
sementara perowinya dinamakan mu’an’in.7 Jumhur ahli hadits, fiqih dan ushul berpendapat
bahwa hadits mu’an’an termasuk hadits yang bersanad muttashil, dengan catatan :
 Perowinya adil dan terbebas dari tadlis.
 Adanya kepastian pernah bertatap muka antara penerima (mu’an’in) dan pemberi
hadits (mu’an’an ‘anhu)

7
Ahmad Umar Hasyim Qowa’idu Ushulul Hadits 171 Darul Fikr.
DAFTAR PUSTAKA

Misbah A.B, Mutiara Ilmu Hadits. 2010 M


http://tohircell.blogspot.com/2019/03/makalah-mampu-menguji-kemutashilan.html?m=1s
2021

Anda mungkin juga menyukai