Anda di halaman 1dari 106

LEMBAR PENGESAHAN

“KONFIGURASI SISTEM PROTEKSI SETELAH PENAMBAHAN


PEMBANGKIT TERSEBAR PADA JARINGAN DISTRIBUSI”

Lulus Sidang Sarjana: 13 April 2017

Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh:

Pembimbing Tugas Akhir

Dr. Adrianti
NIP. 19711028199803 2 001

Mengetahui
Ketua Jurusan Teknik Elektro
Fakultas Teknik Universitas Andalas

Ariadi Hazmi, Dr. Eng


NIP. 19750314199903 1 003
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu strategi untuk memenuhi kebutuhan energi listrik yang terus

meningkat adalah dengan menggunakan Pembangkit Tersebar. Strategi ini

memungkinkan tiap-tiap kawasan daerah yang memiliki potensi untuk memenuhi

kebutuhan listriknya sendiri dengan memanfaatkan sumber energi yang ada pada

masing-masing daerah [1].

Pembangkit Tersebar dapat didefinisikan sebagai pembangkit tenaga

listrik pada jaringan distribusi atau pada sisi jaringan pelanggan [2]. Kelebihan

sistem ini dibanding sistem kelistrikan yang terpusat (konvensional) adalah dapat

beroperasi secara independen, tidak memerlukan wilayah pengoperasian yang

besar dan rumit, jaringan transmisi pendek dan dapat menggunakan sumber energi

pembangkitan yang bersesuaian dengan kawasan yang akan dilistriki.

Pembangkitan terdistribusi dapat mengurangi rugi-rugi energi pada transmisi

listrik karena pemasangannya dekat dengan pengguna [3].

Sebuah jaringan distribusi radial dirancang dengan asumsi bahwa arah

aliran arus listrik dimulai dari sumber pembangkit (grid) menuju ke bagian hilir

jaringan. Instalasi pembangkit tersebar (PT) dapat mengubah arah aliran arus jika

output melebihi permintaan lokal. PT akan mengekspor listrik ke bagian hulu

jaringan atau bahkan ke grid. Akibatnya, relai akan membaca arus dari PT

melebihi arus settingnya, sehingga relai tersebut akan beroperasi meskipun

gangguan tidak terjadi di daerah perlindungannya. Perubahan tersebut yang


mempengaruhi sistem proteksi yang sudah terpasang. sehingga sistem proteksi

tidak bekerja seperti yang diharapkan setelah pemasangan PT [4].

Pada penelitian sebelumnya, telah dilakukan pembahasan mengenai

rekomendasi penempatan pembangkit tersebar dan kapasitas maksimumnya pada

sistem tenaga listrik Gardu Hubung Tanjung Ampalu Sijunjung. Penempatan

dilakukan tanpa mengubah sistem proteksi yang telah ada [5], sehingga pada

lokasi yang tidak sesuai, dianjurkan untuk tidak ditempatkan pembangkit tersebar.

Pada penelitian tersebut [5], dilakukan beberapa skenario penempatan PT

di berbagai bus sistem. Semakin ke hilir dari sumber pembangkit, maka semakin

kecil kemungkinan penempatan PT pada jaringan distribusi diakibatkan karena

maloperasi pada sistem proteksi. Hal ini dikarenakan penambahan PT pada sistem

ini dapat menyebabkan naiknya arus kondisi normal yang dirasakan oleh relai,

sebab titik lokasi penempatan serta kapasitas yang dipakai sudah melebihi daya

yang dibutuhkan beban. Sehingga arus dari PT disuplai ke sistem distribusi. dan

relai merasakan arus kondisi normal yang lebih besar dari pada setting. Oleh

karena itu, diperlukan analisa perbaikan sistem proteksi setelah penempatan PT di

hilir grid.

Maloperasi pada penelitian sebelumnya dapat dilihat pada lampiran 1

sampai lampiran 4. Lampiran 1 menunjukkan saat gangguan pada saluran ke T1,

relai yang terlebih dahulu beroperasi adalah relai 3 padahal yang seharusnya

beroperasi terlebih dahulu adalah relai 10. Begitupun pada lampiran 2, saat

gangguan di Bus 5, relai 3 ikut beroperasi meskipun gangguan bukan terjadi di

daerah perlindungannya.
Pada penelitian ini, permasalahan proteksi yang maloperasi akibat

penempatan pembangkit tersebar (PT) akan dicari solusinya. Dengan

menggunakan sistem distribusi yang sama pada penelitian sebelumnya,

diupayakan penambahan relai dan perbaikan setting relai yang sudah ada.

Tipe Pembangkit Tersebar yang digunakan pada penelitian ini

menggunakan generator sinkron. Berdasarkan kurva kontribusi hubung singkat,

pada sinkron mencapai tahap steady state, sedangkan induksi hanya sampai tahap

subtransien, sehingga sinkron menyuplai arus gangguan yang lebih besar ke

jaringan ketika terjadi gangguan pada sistem distribusi dibandingkan dengan

generator induksi [4]. Hal ini disebabkan karena reaktansi generator sinkron lebih

kecil daripada induksi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan

permasalahan yang akan dibahas dalam Tugas Akhir ini.

1. Relai yang ada tidak dapat mengamankan sistem setelah penempatan PT,

karena itu, perlu dikaji di titik mana saja perlu ditambahkan relai dan apa

jenis relai yang sesuai?

2. Bagaimana koordinasi relai yang paling baik agar sistem dapat terlindungi

dengan tepat saat terjadi gangguan hubung singkat?

3. Apakah rekonfigurasi proteksi (penambahan relai dan setting ulang) yang

dilakukan dapat bekerja dengan tepat untuk berbagai kondisi output dari

PT?
1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuat konfigurasi sistem proteksi yang

tepat setelah penempatan Pembangkit Tersebar (PT) pada jaringan distribusi.

Konfigurasi tersebut terdiri atas dua bagian yaitu penambahan relai baru dan

setting ulang untuk semua relai di sistem distribusi yang dikaji

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu:

1. Sistem proteksi mampu mengamankan jaringan distribusi saat terjadi

gangguan hubung singkat setelah penempatan PT

2. Relai bekerja dengan tepat setelah penempatan PT, tanpa adanya

maloperasi pada jaringan distribusi.

3. Mendukung pemanfaatan PT di jaringan distribusi.

1.5 Batasan Masalah

Penelitian ini dilakukan dengan batasan masalah sebagai berikut:

1. Relai proteksi yang digunakan yaitu relai arus lebih (OCR) dan relai arus

lebih berarah (DOCR) dengan karakteristik normal invers.

2. Hanya membahas jenis PT yang menggunakan generator sinkron,

sehingga, suplai arus gangguan dari PT memiliki efek yang signifikan.

3. Kondisi islanding (grid terputus dari sistem distribusi) tidak dibahas dalam

penelitian ini.

4. PT yang ditempatkan di hilir grid dengan 3 variasi keluaran, yaitu 1000

dan 2000 dan 0 kW.


5. Perhitungan mengandalkan software Electric Transient and Analysis

Program (ETAP) Power Station 12.6 dengan analisa Star-Protective

Device Coordination

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tugas akhir ini adalah

Bab I Pendahuluan

Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Membahas tentang teori yang melandasi tugas akhir ini.

Bab III Metodologi Penelitian

Terdiri dari tahapan penelitian dan langkah-langkah yang

diperlukan dalam melakukan analisa proteksi.

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Membahas perbaikan sistem proteksi yang mampu

mengamankan jaringan distribusi setelah penempatan PT.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Terdiri dari simpulan hasil penelitian dan saran bagi peneliti

selanjutnya demi kesempurnaan penelitian ini.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Hubung Singkat

Gangguan hubung singkat merupakan gangguan yang paling sering terjadi

pada sistem tenaga listrik yang menyebabkan arus yang mengalir menjadi besar,

sehingga dapat merusak peralatan bila sistem proteksi tidak bekerja dengan tepat.

Menurut Stevenson Jr. jenis gangguan hubung singkat berdasarkan bentuknya

terdiri dari 2, yaitu gangguan simetris dan gangguan tak simetris [6].

2.1.1 Gangguan simetris (gangguan hubung singkat tiga-fasa)

Gangguan simetris adalah gangguan yang terjadi akibat hubung singkat

pada setiap fasanya, sehingga arus dan tegangan masing-masing fasa tetap

seimbang setelah gangguan terjadi. Gangguan hubung singkat tiga-fasa dapat

dianalisa hanya dari komponen urutan positifnya saja karena besar arus gangguan

hubung singkat tiga fasa sama dengan besar arus urutan positif [6] sebagaimana

terlihat pada Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2. 1 Rangkaian hubung singkat tiga fasa

Vf
Ia 
Z1 (2.1)
Dimana:

Ia = arus gangguan fasa a

Vf = tegangan di titik gangguan

Z1 = Impedansi urutan positif (Z1 eq)

2.1.2 Gangguan tak simetris

Gangguan tak simetris adalah gangguan yang terjadi akibat hubung

singkat pada satu atau dua fasa pada sistem kelistrikan tiga-fasa, karena itu

gangguan ini menyebabkan sistem menjadi tidak simetris. Gangguan tak simetris

dapat berupa gangguan satu-fasa ke-tanah, gangguan dua-fasa ke-tanah dan

gangguan antar fasa.

2.1.2.1 Gangguan satu-fasa ke-tanah

Gangguan satu fasa ke tanah merupakan gangguan yang terjadi akibat

hubung singkat pada salah satu fasa saluran ke tanah. Gangguan satu fasa ke tanah

direpresentasikan dalam rangkaian urutan yang diperlihatkan pada Gambar 2.2.

Persamaan arus gangguan hubung singkat satu fasa ke tanah diperoleh:

Vf
Ia 
Z1  Z 2  Z 0 (2.2)

V a 0=−Z 0 I a 1 (2.3)

V a 1=V f −Z 1 I a 1 (2.4)

V a 2=−Z 2 I a 1 (2.5)

1
Ia0 =Ia1=Ia 2= Ia (2.6)
3
Gambar 2. 2 Rangkaian hubung singkat satu fasa ke tanah

(gangguan di fasa a)

Dimana :

Vf = Tegangan di titik gangguan.

Z0 = Impendansi urutan nol.

Z1 = Impendansi urutan positif.

Z2 = Impendansi urutan negatif.

Ia0 = Arus fasa a urutan nol

Ia1 = Arus fasa a urutan positif

Ia2 = Arus fasa a urutan negatif


2.1.2.2 Gangguan antar fasa

Gangguan antar fasa merupakan gangguan yang terjadi akibat adanya

hubung singkat antara dua fasa saluran penghantar pada sistem kelistrikan tiga

fasa. Representasi gangguan antar fasa dalam rangkaian urutan diperlihatkan pada

gambar 2.3 berikut:

Gambar 2. 3 Rangkaian hubung singkat antar fasa (gangguan di fasa a)

Berikut persamaan umum pada gangguan hubung singkat dua fasa:

Vf
I a1 
Z1  Z 2 (2.7)

Dimana :

Vf = Tegangan di titik gangguan

Z1 = Impendansi urutan positif

Z2 = Impendansi urutan negatif

Ia1 = Arus yang mengalir di fasa a urutan positif

Pada gangguan hubung singkat fasa ke fasa, arus saluran tidak mengandung

komponen urutan nol dikarenakan tidak ada gangguan yang terhubung ke tanah

[6].
2.1.2.3 Gangguan antar fasa ke tanah

Gangguan antar fasa ke tanah merupakan gangguan yang terjadi akibat

adanya hubung singkat antara dua fasa saluran penghantar ke tanah. Gangguan

antar fasa ke tanah direpresentasikan dalam rangkaian urutan yang diperlihatkan

pada Gambar 2.4 berikut:

Gambar 2. 4 Gangguan antar fasa ke tanah (gangguan antara

fasa a ke tanah)

Persamaan arus gangguan antar fasa ke tanah adalah sebagai berikut [5]:

VF
I a1 =
ZZ
Z1 + 0 2
Z2 +Z0 ` (2.8)

Keterangan :

Vf = Tegangan di titik gangguan

Z0 = Impendansi urutan nol

Z1 = Impendansi urutan positif

Z2 = Impendansi urutan negatif


2.2 Sistem Proteksi

Sistem proteksi tenaga listrik memiliki peran penting untuk menjaga

keamanan penyaluran tenaga listrik yang kontinu. Selektifitas dan sensitifitas

yang tinggi adalah salah satu syarat wajib yang harus dipenuhi oleh suatu proteksi

dalam sistem tenaga listrik. Peralatan proteksi harus dapat bekerja secara cepat

dan tepat untuk semua keadaan operasi dari sistem.

Sistem proteksi bertujuan untuk mengidentifikasikan gangguan dan

memisahkan bagian yang terganggu dari bagian lain yang belum terkena

gangguan sekaligus mengamankan bagian tersebut dari kerusakan atau kerugian

yang lebih besar. Untuk efektifitas dan efisiensi, maka setiap peralatan proteksi

yang dipasang harus disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat resiko peralatan

yang dilindungi sehingga peralatan proteksi digunakan sebagai jaminan pengaman

[7].

Tipe proteksi terdiri atas 3 kategori [8], yaitu:

1. Proteksi Utama (Main Protection)

Proteksi utama adalah pertahanan utama sekaligus proteksi yang akan

membebaskan gangguan pada bagian yang diproteksi secepat mungkin.

2. Proteksi Cadangan (Back-Up Protection)

Proteksi cadangan bekerja bila relai utama gagal dan proteksi ini berada

dilokasi yang lebih jauh dari gangguan, sehingga daerah yang diputuskan

menjadi lebih luas. Waktu operasi lebih lambat dari pada relai utamanya.

3. Proteksi Cadangan Lokal ( Local Back-Up Protection)

Proteksi utama dan cadangan lokal menggunakan circuit breaker yang

berbeda, akan tetapi berada pada lokasi yang sama.


2.2.1 Persyaratan Sistem Proteksi

Berikut adalah persyaratan penting yang harus dimiliki oleh sistem

proteksi, antara lain [9]:

2.2.1.1 Kepekaan (sensitivity)

Sensitifitas adalah kepekaan sistem proteksi terhadap segala macam

gangguan dengan tepat yakni gangguan yang terjadi di daerah perlindungannya.

Kepekaan suatu sistem proteksi ditentukan oleh nilai terkecil dari besaran

penggerak saat peralatan proteksi mulai beroperasi. Nilai terkecil besaran

penggerak berhubungan dengan nilai minimum arus gangguan dalam daerah yang

dilindunginya.

2.2.1.2 Selektifitas dan diskriminatif

Selektif berarti suatu sistem proteksi harus dapat memilih bagian sistem

yang harus diisolir apabila relai proteksi mendeteksi gangguan. Bagian yang

dipisahkan dari sistem yang sehat sebisanya adalah bagian yang terganggu saja.

Diskriminatif berarti suatu sistem proteksi harus mampu membedakan antara

kondisi normal dan kondisi abnormal. Ataupun membedakan apakah kondisi

abnormal tersebut terjadi di dalam atau di luar daerah proteksinya. Dengan

demikian, segala tindakannya akan tepat dan akibat gangguan dapat dieliminir

menjadi sekecil mungkin.

2.2.1.3 Kecepatan

Sistem proteksi perlu memiliki tingkat kecepatan sebagaimana ditentukan

sehingga meningkatkan mutu pelayanan, keamanan manusia, peralatan dan

stabilitas operasi. Mengingat suatu sistem tenaga mempunyai batas-batas stabilitas

serta kadang- kadang gangguan sistem bersifat sementara, maka relai yang
semestinya bereaksi dengan cepat kerjanya perlu diperlambat (time delay), seperti

yang ditunjukkan persamaan [9] :

t op=t p+ t cb (2.9)

Keterangan :

top = total waktu yang dipergunakan untuk memutuskan hubungan;

tp = waktu bereaksinya unit relai;

tcb = waktu yang dipergunakan untuk pelepasan C.B.

2.2.1.4 Keandalan

Suatu sistem proteksi dapat dikatakan andal jika selalu berfungsi

sebagaimana yang diharapkan. Sistem proteksi disebut tidak andal bila gagal

bekerja pada saat dibutuhkan atau bekerja pada saat proteksi itu tidak seharusnya

bekerja. Keandalan relai dikatakan cukup baik bila mempunyai harga 90-99 %.

Keandalan dapat di bagi 2 macam, yaitu :

a. Dependability : relai harus dapat diandalkan setiap saat.

b. Security : tidak boleh salah kerja / tidak boleh bekerja saat tidak terjadi

gangguan di daerah yang dilindunginya

Sebagai contoh, dalam satu tahun terjadi gangguan sebanyak 27 kali dan relai

dapat bekerja dengan sempurna sebanyak 25 kali, maka :

25
Keandalan relai = x 100 %=92.6 %
27

2.2.1.5 Ekonomis

Suatu relai yang digunakan hendaknya memiki kemampuan proteksi

maksimum dengan harga yang minimum. Sehingga, tetap ekonomis dengan tidak

mengesampingkan fungsi dan keandalannya


2.2.2 Jenis Relai Proteksi

Relai proteksi adalah peralatan pengaman yang dapat merasakan atau

mengukur adanya gangguan sistem yang kemudian secara otomatis dapat

memberikan respon berupa sinyal perintah untuk menggerakkan sistem

mekanisme pemutus tenaga guna memisahkan bagian yang terganggu sehingga

bagian lainnya dapat beroperasi secara normal [10].

Ada berbagai jenis relai proteksi. Berikut ini akan dibahas jenis-jenis relai

proteksi yang umum dipakai.

2.2.2.1 Relai Arus Lebih (Over-Current Relay)

Relai arus lebih adalah jenis relai yang beroperasi berdasarkan arus yang

melewatinya, ia akan bekerja bila arus yang mengalir melebihi nilai settingnya (I

set). Relai arus lebih memiliki kemampuan untuk memonitor arus yang mengalir

di daerah proteksinya.

Relai arus lebih diaplikasikan untuk mengamankan gangguan hubung

singkat dan dapat digunakan sebagai pengaman beban lebih (overload). Selain itu

juga berfungsi sebagai pengaman utama pada jaringan distribusi dan sub transmisi

radial dan pengamanan cadangan untuk generator, trafo tenaga dan saluran

transmisi [10].

Dalam hubungannya dengan waktu, relai arus lebih terdiri atas 3

karakteristik, yaitu:

 Relai arus lebih waktu seketika (Instantaneous Overcurrent relay)

 Relai arus lebih waktu tertentu (definite time Overcurrent relay)

 Relai arus lebih waktu terbalik (inverse time Overcurrent relay)


2.2.2.1.1 Relai arus lebih seketika (Instantaneous Overcurrent relay)

Relai ini bekerja seketika ketika arus yang mengalir melebihi nilai

settingnya, relai akan bekerja dalam waktu beberapa mili detik (10 – 20 ms) yaitu

tanpa penundaan waktu. Relai ini pada umumnya dikombinasikan dengan relai

arus lebih dengan karakteristik waktu tertentu (definite time) atau waktu terbalik

(inverse time). Berikut gambar rangkaian dan kurva karakteristik yang

ditunjukkan pada gambar 2.5 dibawah ini.

Gambar 2. 5 Karakteristik Instantaneous Overcurrent relay [10]

Keterangan:
BB = Bus-bar A = Tanda bahaya (Alarm)
PMT = Pemutus (Circuit Breaker) R = Relay arus lebih seketika
TC = Kumparan pemutus (Triping Coil) DC = Sumber arus searah
- = Polaritas negatif sumber arus searah I = Arus beban
+ = Polaritas positif sumber arus searah CT = Transformator arus
Ir = Arus yang melewati kumparan relai
2.2.2.1.2 Relai arus lebih waktu tertentu (definite time Overcurrent relay)

Relai ini akan memberikan perintah trip pada PMT pada saat terjadi

gangguan hubung singkat dan besarnya arus gangguan melampaui arus settingnya

(Is). Pada relai arus lebih waktu tertentu, jangka waktu kerja relai tidak

bergantung pada besarnya arus.

Gambar 2. 6 Karakteristik Definite Time Overcurrent relay [12]

2.2.2.1.3 Relai arus lebih waktu terbalik (inverse time relay)

Relai ini akan bekerja dengan waktu relai mulai pick-up sampai dengan

selesainya kerja relai tergantung dari besarnya arus yang melewatinya. Semakin

besar arus gangguan yang mengalir, maka semakin cepat waktu kerja relai.

Gambar 2. 7 Kurva Karakteristik inverse time Overcurrent relay [10]


Berdasarkan Arus / waktu trip yang bervariasi, inverse time Overcurrent relay

menurut IEC 60255 mendefinisikan sejumlah karakteristik standar sebagai

berikut:

 Standard Inverse (SI)

Tipe relai ini memberikan karakteristik waktu invers normal pada arus

gangguan yang rendah untuk koordinasi antar relai dimana kapasitas hubung

singkat diberbagai lokasi cukup signifikan.

 Very Inverse (VI)

Very inverse-time overcurrent relay memberikan kurva karakteristik

invers lebih curam dibandingkan dengan standard inverse untuk koordinasi

beberapa relai, perbedaan kapasitas hubung singkat diantara lokasi relai dan

pengurangan arus gangguan yang berasal dari tanah.

 Extremely Inverse (EI)

Jenis karakteristik ini memiliki kurva yang lebih curam dibandingkan very

inverse. Ketika very inverse relay gagal dalam hal selektivitas, extremely inverse

relay digunakan. Karakteristik ini sangat cocok untuk proteksi mesin-mesin

melawan overheating.

Sedangkan lamanya waktu kerja relai inverse, very inverse dan extremely

inverse menurut IEC 60255 dapat dilihat pada persamaan dibawah ini:

0.14 xTMS
top 
Standard Inverse PSM 0.02  1 (2.10)

13.5 xTMS
top 
Very Inverse PSM  1 (2.11)
80 xTMS
top 
Extremely Inverse PSM 2  1 (2.12)

Dimana: TMS : Faktor pengali waktu (Time Multiple Setting)


PSM : perbandingan arus gangguan dengan arus setting
top : waktu kerja relai
Berikut adalah bentuk kurva dari masing-masing karakteristik relai [11].

Gambar 2. 8 Kurva Karakteristik relai arus lebih terbalik

Setelan waktu kerja relai arus lebih didapat dengan menggunakan rumus kurva

waktu dan arus pada masing-masing karakteristik. Rumus ini bermacam-macam

sesuai design pabrik pembuat relai.


Setting arus pick up pada relai bergantung pada nilai arus nominal dan

rating transformator arus (Current Transformer). Sedangkan pada setting time

dial didapat berdasarkan persamaan karakteristik relai.

Arus nominal ditentukan berdasarkan beban maksimum dan arus

gangguan ditentukan berdasarkan analisa hubung singkat pada masing-masing

lokasi gangguan. Berikut persamaan untuk menghitung setting arus dan time dial

pada masing-masing relai dengan karakteristik waktu standard inverse.

Iset = 1.1 x In (2.13)

sek CT
Ipick-up= Iset x (2.14)
prim CT

If 0.02
Td =
ts x [( ) ]
Iset
−1
(2.15)
0.14

Dimana:

Iset = arus setting relai


In = arus nominal
Ipick-up = I sekunder = arus pick up
Td = Time Dial = TMS
If = arus gangguan
Ts = top = waktu setting

2.2.2.2 Relai Arus Lebih Berarah (Directional Over-Current Relay)

Directional Over-Current Relay (DOCR) merupakan relai arus lebih yang

bekerja berdasarkan arah arus yang sudah diset. Arah arus ini dapat dideteksi oleh

relai karena adanya input tegangan yang dapat memberikan torka hanya untuk

arah arus gangguan tertentu. Relai ini berfungsi untuk mengamankan peralatan

listrik akibat adanya gangguan antarfasa maupun gangguan fasa ke tanah.


Relai arus lebih berarah akan beroperasi jika kondisi berikut terpenuhi,

1. Arus yang melewati relai lebih besar dari arus setting.

2. Arah arus gangguan sesuai dengan arah arus yang disetting.

DOCR ini mempunyai dua buah parameter ukur yaitu tegangan dan arus

yang masuk ke dalam relai untuk membedakan arah arus ke depan atau ke

belakang. Untuk membedakan arah arus tersebut, salah satu fasa dari arus harus

dibandingkan dengan tegangan pada fasa yang lain [13].

Pada relai arus lebih berarah, tegangan masukan pada relai menimbulkan

arus IV yang tertinggal terhadap tegangan sebesar α yang menghasilkan fluksi φ V.

sedangkan arus masukan pada relai menghasilkan fluksi φi yang tertinggal dari

tegangan sebesar sudut φ [18]. Kedua fluksi akan menghasilkan torsi maksimum

jika φi dan φV membentuk sudut 90o.

Gambar 2. 9 Relay Maximum Torque Angle [13]

2.2.2.3 Relai Gangguan Tanah (Ground Fault Relay)


Jenis relai ini memiliki prinsip kerja yang sama dengan relai arus kebih

(OCR) dalam mendeteksi gangguan. Tetapi, memiliki perbedaan pada jenis

gangguan yang dideteksinya. OCR berfungsi untuk mendeteksi gangguan hubung

singkat antar fasa sedangkan GFR mendeteksi gangguan hubung singkat ke tanah

[5].

2.3 Pembangkit Tersebar (PT)

Pembangkit Tersebar (PT) merupakan suatu pembangkit sisipan dengan

skala kecil (<10 MW) yang diletakkan dekat area beban. Pemasangannya pada

jaringan distribusi dapat memberikan dampak yang positif dan negatif terhadap

karakteristik sistem. PT memberikan pengaruh penurunan nilai drop tegangan dan

rugi-rugi daya sistem distribusi. tetapi dapat menyebabkan koordinasi sistem

proteksi pada jaringan terganggu [14].

Pembangkit Tersebar dapat diinterkoneksikan dengan jaringan distribusi

atau dioperasikan secara terpisah, sehingga tidak memerlukan saluran–saluran

transmisi yang panjang dan gardu induk berkapasitas besar dan dapat mencegah

pengeluaran biaya investasi untuk pembangunan dan pemeliharaan saluran

transmisi dan gardu induk tersebut [13].

Besarnya tenaga air yang tersedia dari suatu sumber air bergantung pada

tinggi dan debit air. Sehingga, total energi yang tersedia dari suatu reservoir air

merupakan energi potensial air. Dengan demikian, potensi daya air yang tersedia

berdasarkan energi potensial dapat ditulis dalam bentuk persamaan berikut [15] :

PG=ρ x g x Q x Hg (2.16)
Dimana :

PG = potensi daya (kW)

ρ = massa jenis (kg/m3)

Q = debit aliran air (m3/s)

Hg = tinggi air secara kotor (m)

g = percepatan gravitasi (9,81 m/det2)

Sedangkan Potensi daya listrik yang dapat dibangkitkan adalah :

P= ρ x g x Q x He x Eff (2.17)

Dimana :

P = daya listrik yang keluar dari generator (kW)

He = tinggi air efektif (m)

Eff = efisiensi

Pembangkit minihidro ini mempunyai efisiensi 90%. Turbin yang

digunakan harus memiliki perawatan yang maksimal karena beberapa turbin

beroperasi secara efisien selama rentang aliran tertentu (misalnya turbin propeller

dengan pisau tetap dan turbin Francis) [15].

2.4 Pengaruh Pembangkit Tersebar (PT) terhadap sistem proteksi

Penempatan pembangkit tersebar (PT) di jaringan distribusi sering kali

mengubah arah dan besar arus baik saat kondisi normal maupun kondisi gangguan

[4]. Perubahan tersebut bisa mempengaruhi sistem proteksi yang sudah terpasang,
sehingga sistem proteksi tersebut mungkin tidak bekerja seperti yang diharapkan

setelah pemasangan PT.

2.4.1 Pengaruh Pembangkit Tersebar terhadap aliran arus normal pada

jaringan

Sebuah jaringan distribusi radial dirancang dengan asumsi bahwa arah

aliran arus listrik dimulai dari sumber pembangkit (grid) menuju ke bagian hilir

jaringan. Instalasi Pembangkit Tersebar (PT) dapat mengubah arah aliran arus jika

outputnya melebihi permintaan lokal [4]. Untuk kondisi ini, PT mengekspor listrik

ke bagian atas jaringan atau bahkan ke grid.

Pada umumnya peralatan sistem proteksi di jaringan distribusi berdasarkan

pada besarnya arus, seperti: relai arus lebih, fuse dan recloser. Jika Pembangkit

Tersebar mengekspor energi yang relatif tinggi dalam jaringan distribusi, maka

arus yang terbaca oleh relai lebih besar daripada arus yang disetting pada relai,

sehingga sistem proteksi akan beroperasi pada kondisi tidak adanya gangguan [4].

Relai arus lebih disetting lebih besar dari arus normal maksimum dalam

saluran distribusi, rumusnya dapat dilihat pada persamaan (2.18) berikut. Oleh

karena itu, relai akan beroperasi ketika arus yang mengalir pada saluran melebihi

arus yang disetting pada relai.

I set   xI max [4]

(2.18)

Keterangan:
𝐼𝑠𝑒𝑡 = setting arus primer pada relai arus lebih
𝐼𝑚𝑎𝑥 = arus pada beban maksimum di saluran
𝛽 = margin = 1.05 – 1.3
Kondisi ini dapat diatasi dengan menaikkan setting relai atau mengganti

jenis relai menjadi relai arus lebih berarah. Rancangan ini akan memberikan

pengaruh pada koordinasi relai yang lain, oleh karena itu, dibutuhkan setting

ulang relai secara keseluruhan pada jaringan untuk menentukan koordinasi relai

yang baru.

2.4.2 Pengaruh Pembangkit Tersebar terhadap besar arus gangguan pada

jaringan

Pembangkit Tersebar yang menggunakan mesin sinkron akan menyuplai

arus gangguan ke jaringan ketika terjadi gangguan pada sistem distribusi. Oleh

karena itu, digunakan mesin sinkron yang terkoneksi ke jaringan distribusi,

sehingga arus gangguan di titik gangguan akan meningkat [4].

Meskipun menyebabkan arus gangguan di titik gangguan meningkat, arus

gangguan yang terbaca oleh relai proteksi pada jaringan bisa meningkat ataupun

menurun tergantung pada posisi Pembangkit Tersebar dan bagian yang terganggu

[4]. Perubahan arus gangguan yang terbaca oleh relai bisa menyebabkan

kegagalan operasi pada relai atau bahkan operasi yang tak diinginkan untuk

gangguan yang terjadi diluar daerah perlindungannya.

Secara umum, pengaruh Pembangkit Tersebar terhadap arus gangguan

yang terbaca oleh relai berdasarkan pada lokasi penempatannya sebagai berikut:

1. Lokasi Pembangkit Tersebar (PT) berada di bagian hilir relai dan gangguan

yang terjadi di bagian hilir PT seperti pada gambar 2.10 berikut. Arus

gangguan tambahan disuplai oleh PT disamping suplai arus gangguan dari

grid. Untuk kondisi ini, relai yang berada di bagian hulu PT akan membaca
arus gangguan yang lebih kecil dibanding pada saat PT tidak ada. Hal ini akan

dapat menyebabkan relai gagal beroperasi.

Gambar 2. 10 Pembangkit Tersebar dan gangguan di bagian hilir relai [4]

2. Lokasi Pembangkit Tersebar (PT) di saluran yang berdekatan dengan bagian

yang mengalami gangguan seperti pada gambar 2.11 berikut. Untuk kondisi

ini, relai R2 harus beroperasi. Namun, karena PT menyuplai arus gangguan ke

bagian yang terganggu, relai R1 membaca arus yang mengalir melebihi arus

settingnya, sehingga R1 juga akan beroperasi.

Gambar 2. 11 gangguan yang terjadi berdekatan dengan Pembangkit Tersebar [4]


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Umum

Langkah-langkah penelitian tugas akhir disajikan pada gambar 3.1.

dibawah ini :

Mulai x

kumpulkan data
dan literatur beri gangguan pada titik yang
telah ditenukan

Dengan menggunakan
software etap, gambar
single line diagram dan tidak
Apakah setting rele
beri penambahan relai arah bekerja dengan baik
di titik-titik yang
diperlukan disekitar
pembangkit tersebar Ya

Simulasikan aliran daya dan


hubung sngkat setelah adanya Sudah
Apakah semua
Pembangkit Tersebar
Variasi telah di
analisa

Belum

Setting relai arus lebih


Variasikan ouput Selesai
Pembangkit
Tersebar (0, 1000
dan 2000 kW)
x A

Gambar 3. 1 Flowchart Penelitian


3.2 Single line diagram sebelum penempatan Pembangkit Tersebar

Gambar 3. 2 Single line diagram sebelum penempatan Pembangkit Tersebar [4]

3.3 Alat peneltian

1. Sebuah Laptop (PC) Core i3 Processor, Memori 2 GB, 2.3 GHz, 500 GB,

2. Software Microsoft Office 2010.

3. Software ETAP 12.6

Electrical Transient Analysis Program (ETAP)

Electrical Transient Analysis Program (ETAP) merupakan perangkat

lunak yang mendukung analisa sistem tenaga listrik. Perangkat ini mampu bekerja

dalam keadaan offline untuk simulasi tenaga listrik, online untuk pengelolaan data

real-time atau digunakan untuk mengendalikan sistem secara real-time [16].


Berikut fitur-fitur yang terdapat pada ETAP untuk menganalisa sistem tenaga

listrik, antara lain:

1. Load Flow Analysis

2. Short-Circuit Analysis

3. Motor Acceleration Analysis

4. Harmonic Analysis

5. Transient Stability Analysis

6. Star-Protective Device Coordination

7. DC Load Flow Analysis

8. DC Short-Circuit Analysis

9. Battery Discharge Sizing

10. Unbalanced Load Flow Analysis

11. Optimal Power Flow Analysis

12. Reliability Assessment

13. Optimal Capacitor Placement

14. Switching sequence management

ETAP 12.6 dirancang untuk memudahkan dalam perhitungan dan analisa

sistem tenaga listrik. Sehingga, dapat melakukan simulasi pada jaringan distribusi

yang rumit dan menganalisa sistem dengan lebih mudah.ETAP memungkinkan

pengguna untuk bekerja secara langsung dengan tampilan gambar single line

diagram (diagram satu garis).


3.4 Metode Penelitian

Secara rinci langkah-langkah dalam melakukan penelitian tugas akhir ini

adalah :

1. Pengumpulan data dan literatur

Sebelum melakukan peneltian, terlebih dahulu dilakukan pengumpulan

data sistem yang akan diteliti beserta literatur-literatur yang mendukung penelitian

tersebut.

2. Dengan menggunakan software ETAP 12.6, dilakukan pemodelan

single line diagram sistem dan penambahan relai arah

Setelah data sistem dikumpulkan selanjutnya dilakukan pemodelan sistem

tenaga listrik berupa single line diagram pada software ETAP 12.6 dan

penambahan relai arus lebih berarah (DOCR) di saluran yang dekat dengan

penempatan Pembangkit tersebar.

3. Simulasi aliran daya dan hubung singkat ketika ditempatkan

pembangkit tersebar

Selanjutnya dilakukan simulasi aliran daya (Load Flow Analysis) dan

simulasi gangguan hubung singkat (Short Circuit Analysis) pada berbagai titik

gangguan untuk mengetahui arus nominal dan arus gangguan hubung singkat

yang terlihat oleh masing-masing relai.

4. Setting relai arus lebih

Setting dan koordinasi relai proteksi dihitung menggunakan rumus sebagai

berikut:

I set =1.1 x arus nominal( I n )

sekunder CT
I pick up=I set x
primer CT
I fault
PSM =
I pickup

β
t op=TMS ×
[ ( PSM )α −1 ]
Kecuali untuk relai yang berada di area pembangkit tersebar (PT), arus pick up

dihitung berdasarkan simulasi gangguan hubung singkat pada berbagai titik

gangguan di titik lain yang bukan daerah operasi relai tersebut (gangguan

eksternal) dengan nilai arus gangguan terbesar yang dibaca relai sebagai arus pick

up.

5. Pemberian gangguan pada lokasi yang ditentukan untuk pengecekan

setting relai

Gangguan ditempatkan di terminal Pembangkit Tersebar (PT), feeder 3

kumanis, bus 6, bus 5, bus 4, bus 10, bus 3, dan bus 2. Pemberian gangguan

dilakukan untuk mengecek hasil setting dan koordinasi relai,

6. Kondisi setting relai dan koordinasi relai setelah penempatan PT

apakah bekerja dengan baik.

Setelah ditempatkan Pembangkit Tersebar (PT), sistem diberi gangguan

pada titik-titik tertentu, kemudian dilihat koordinasi masing-masing relai. apakah

relai bekerja dengan baik? Jika ya, kapasitas divariasikan. Jika tidak, perlu

dilakukan analisa hubung singkat dan setting ulang relai proteksi yang

bermasalah.

7. Kapasitas Pembangkit Tersebar divariasikan

Setelah dilakukan koordinasi relai yang paling baik untuk mengamankan

sistem, kapasitas divariasikan untuk menganalisa pengaruh perubahan kapasitas

terhadap koordinasi masing-masing relai.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pendahuluan

Pada bab ini membahas mengenai data sistem distribusi, hasil pengujian

dan perbaikan koordinasi proteksi pada sistem distribusi setelah penambahan

Pembangkit Tersebar dengan menggunakan perangkat lunak Electrical Transient

Analisys Program 12.6 (ETAP. 12.6). Untuk studi kasus yang dipilih yaitu pada

sistem tenaga listrik Gardu Hubung Tanjung Ampalu Sijunjung.

4.2. Data Penelitian

Data Gardu Hubung Tanjung Ampalu Siijunjung 150/20 kV diambil dari

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Data-datanya sebagai berikut:[4]

4.2.1 Data Sumber

GI Salak dengan data sebagai berikut :

Tegangan : 20 kV

MVA SC 3ph : 2476,633 MVA

MVA SC 1ph : 408,718 MVA

4.2.2 Data Trafo Tenaga di Gardu Induk Salak

Merk : PASTI

Kapasitas : 20 MVA

Tegangan : 150 / 20 kV
Inominal 20 kV : 577,35

Impedansi Trafo : 12,131 %

Pentanahan (20 kV) : 40 Ω

Ratio CT : 1000 / 5

4.2.3 Single Line Diagram Gardu Hubung Tanjung Ampalu Sijunjung

setelah penambahan PT

Gambar 4. 1 Single line diagram GH Tanjung Ampalu Sijunjung setelah

penambahan PT
4.2.4 Data penyulang

Tabel 4. 1 Data Penyulang IV incoming Sijunjung

Penyulang IV Incoming Sijunjung


Nama Sijunjuang
Arus Beban Maks 165 A
Jenis Kabel AAAC
Penampang 150 mm2
Impedansi (SPLN 64:1985)
Z1 / km 0.2162 + j 0.3305 Ohm
Z2 / km 0.2162 + j 0.3305 Ohm
Z0 / km 0.3631 + j 1.6180 Ohm
Z1 total 2.2204 + j 3.3942 Ohm
Z2 total 2.2204 + j 3.3942 Ohm
Z0 total 3.7290 + j 16.6169 Ohm
Panjang Saluran 10.270 Km
Ratio CT 400/5 A

Tabel 4.1 merupakan data penyulang IV incoming sijunjung dengan

tegangan 20 kV pada bus. Arus beban maks yang mengalir pada penyulang

incoming sijunjung 165 A dengan jenis kabel AAAC 150 mm2, dengan panjang

saluran 10.270 Km dengan rasio CT 400/5 yang berguna untuk studi kasus setting

relai.

Tabel 4. 2 Data Penyulang Outgoing feeder 1 Palangki

Outgoing Feeder I Palangki


Nama Palangki
Arus Beban Maks 72 A
Jenis Kabel AAAC
Penampang 150 mm2
Impedansi (SPLN 64:1985)
Z1 / km 0.2162 + j 0.3305 Ohm
Z2 / km 0.2162 + j 0.3305 Ohm
Z0 / km 0.3631 + j 1.6180 Ohm
Z1 total 3.2819 + j 5.0170 Ohm
Z2 total 3.2819 + j 5.0170 Ohm
Z0 total 5.5119 + j 24.5612 Ohm
Panjang Saluran 15.180 Km
Ratio CT 100/5 A
Tabel 4.2 merupakan data penyulang outgoing feeder 1 palangki dengan

tegangan 20 kV pada bus . Arus beban maks yang mengalir pada penyulang

incoming sijunjung 72 A dengan jenis kabel AAAC 150 mm2, dengan panjang

saluran 15.180 Km dengan rasio CT 100/5 yang berguna untuk studi kasus setting

relai.

Tabel 4. 3 Data Penyulang Outgoing feeder II Muaro

Outgoing feeder II Muaro


Nama Muaro
Arus Beban Maks 57 A
Jenis Kabel AAAC
Penampang 150 mm2
Impedansi (SPLN 64:1985)
Z1 / km 0.2162 + j 0.3305 Ohm
Z2 / km 0.2162 + j 0.3305 Ohm
Z0 / km 0.3631 + j 1.6180 Ohm
Z1 total 5.2969 + j 8.0973 Ohm
Z2 total 5.2969 + j 8.0973 Ohm
Z0 total 8.8960 + j 39.6410 Ohm
Panjang Saluran 24.5 Km
Ratio CT 100/5 A

Tabel 4. 4 Data Penyulang Outgoing feeder III Kumanis


Outgoing Feeder III Kumanis
Nama Kumanis
Arus Beban Maks 21 A
Jenis Kabel AAAC
Penampang 70 mm2
Impedansi (SPLN 64:1985)
Z1 / km 0.4608 + j 0.3572 Ohm
Z2 / km 0.4608 + j 0.3572 Ohm
Z0 / km 0.6088 + j 1.6447 Ohm
Z1 total 34.5600 + j 26.7900 Ohm
Z2 total 34.5600 + j 26.7900 Ohm
Z0 total 45.6600 + j 123.3525 Ohm
Panjang Saluran 75 Km
Ratio CT 60/5 A
Tabel 4.3 merupakan data penyulang outgoing feeder II Muaro dengan

tegangan 20 kV pada bus . Arus beban maks yang mengalir pada penyulang

incoming sijunjung 52 A dengan jenis kabel AAAC 150 mm2, dengan panjang

saluran 24.5 Km dengan rasio CT 100/5 yang berguna untuk studi kasus setting

relai.

Tabel 4.4 merupakan data penyulang outgoing feeder III Kumanis dengan

tegangan 20 kV pada bus . Arus beban maks yang mengalir pada penyulang

incoming sijunjung 21 A dengan jenis kabel AAAC 70 mm2, dengan panjang

saluran 75 Km dengan rasio CT 60/5 yang berguna untuk studi kasus setting relai.

Tabel 4. 5 Data Penyulang Outgoing feeder IV Tanjuang


Outgoing Feeder IV Tanjung
Nama Tanjung
Arus Beban maks
Tegangan 20 kV / 0.4 kV
Ratio CT

Tabel 4.5 merupakan data penyulang dengan tegangan 20 kV / 0.4 kV

yang digunakan untuk penerangan pada GI tersebut.

4.2.5 Data Pembangkit Tersebar (PT)

Jenis PT yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu berupa generator

sinkron, karena pada saat gangguan generator sinkron menyuplai arus gangguan

yang menyebabkan arus gangguan bertambah besar pada sistem.


4.3 Konfigurasi Sistem proteksi setelah penambahan Pembangkit Tersebar

(PT)

Single line diagram Gardu Induk Salak setelah penambahan PT dengan

variasi output 2000 kW ditunjukkan pada gambar 4.2.


Gambar 4. 2 Single line diagram gardu induk Salak setelah penambahan PT

Penambahan PT di bagian paling hilir grid (di bus 6) memerlukan sistem

proteksi pada terminal PT dengan pemasangan CB 8 dan relai 13. Selanjutnya

dibagian hilir saluran dari bus 3 ke bus 6 dipasang relai 12 untuk membaca arus

dari PT, sehingga relai tersebut yang akan mengamankan daerah yang terganggu

tanpa harus memutus sistem proteksi pada saluran ke PT. Relai 12 bertugas untuk

membaca arus dari PT, oleh sebab itu diperlukan jenis relai arah pada jaringan

distribusi ini. Untuk memutus arus gangguan yang berasal dari grid, ditempatkan

relai arus lebih berarah (relai 3) dibagian hulu saluran yang sama.

Penentukan setting relai membutuhkan hasil aliran daya dan hubung

singkat pada sistem. Aliran daya diperlukan untuk melihat arus nominal pada
masing-masing saluran, sedangkan hasil analisa hubung singkat diperlukan untuk

menentukan arus gangguan hubung singkatnya. Setelah dilakukan perhitungan

setting relai, data yang diperoleh di-inputkan ke dalam running Star-Protective

Device Coordination pada software ETAP 12.6. kemudian dilakukan pengecekan

koordinasi relai.

4.3.1 Simulasi Aliran daya

Simulasi aliran daya diperlukan untuk mengetahui arus nominal yang

melewati masing-masing relai. Arus nominal tersebut dilihat berdasarkan pada 3

kondisi, yaitu; besar beban minimum, beban maksimum dan nilai arus nominal

ketika PT terputus dari jaringan. Selanjutnya, dilihat nilai arus nominal yang

paling besar pada masing-masing kondisi sebagai arus nominal untuk setting relai.

Gambar 4.3 memperlihatkan hasil simulasi aliran daya pada ETAP 12.6. dengan

variasi output PT 2000 kW untuk kondisi beban minimum.


Gambar 4. 3 Tampilan aliran daya kondisi beban minimum

Hasil simulasi aliran daya berdasarkan pada gambar 4.3 disajikan dalam

tabel 4.6.

Tabel 4. 6 Tampilan aliran daya kondisi beban minimum


ID MW Mvar Amp Nominal
kV
Bus 6 0.4 0.266 13.87 20
Bus 5 0.561 0.348 19.63 20
Bus 4 0.609 0.378 21.22 20
Bus 2 incoming 1.117 0.695 38.12 20
Bus 3 Outgoing 1.18 0.741 40.86 20
Bus 1 1.117 0.704 5.082 150
Gambar 4.4. menunjukkan hasil aliran daya dengan variasi output 2000

kW untuk kondisi beban maksimum.

Gambar 4. 4 Tampilan aliran daya kondisi beban maksimum

Hasil simulasi aliran daya berdasarkan single line diagram pada gambar

4.4 disajikan dalam tabel 4.7.

Tabel 4. 7 Tampilan aliran daya kondisi beban maksimum


ID MW Mvar Amp Nominal
kV
Bus 6 0.4 0.4 16.45 20
Bus 5 0.733 0.454 25.93 20
Bus 4 0.799 0.495 28.05 20
Bus 2 incoming 1.596 0.875 52.81 20
Bus 3 Outgoing 1.55 0.978 53.98 20
Bus 1 1.597 0.892 7.041 150
Gambar 4.5 memperlihatkan hasil aliran daya dengan variasi output 2000

kW untuk kondisi PT terputus dari jaringan (PT mengalami gangguan atau

mengalami kerusakan).

Gambar 4. 5 Tampilan aliran daya ketika PT terputus dari jaringan

Hasil simulasi aliran daya berdasarkan single line diagram pada gambar

4.5 disajikan dalam tabel 4.8

Tabel 4. 8 Tampilan aliran daya ketika PT terputus dari jaringan


ID MW Mvar Amp Nominal
kV
Bus 6 0.33 0.204 12.06 20
Bus 5 0.723 0.448 25.74 20
Bus 4 0.787 0.488 28.05 20
Bus 2 incoming 1.949 1.258 67.44 20
Bus 3 Outgoing 1.871 1.179 65.64 20
Bus 1 1.951 1.286 8.992 150
4.3.2 Hasil perhitungan hubung singkat

Analisa hubung singkat pada ETAP memperlihatkan besar arus gangguan

hubung singkat yang melewati masing-masing relai. Untuk relai yang berada di

dekat lokasi penempatan PT, simulasi arus gangguan hubung singkat dilakukan di

berbagai titik diluar daerah proteksinya kemudian dilihat nilai arus gangguan

terbesar yang melewati masing-masing relai untuk digunakan sebagai setting relai

tersebut. Hasil perhitungan hubung singkat secara keseluruhan pada ETAP 12.6

disajikan pada gambar 4.6 berikut.

Gambar 4. 6 Hasil running hubung singkat setelah penempatan PT


4.3.2.1 Perhitungan hubung singkat di lokasi gangguan pada bus 5

Gambar 4. 7 Hasil running hubung singkat setelah penempatan PT

Hasil running hubung singkat ketika diberi gangguan di bus 5 pada

gambar 4.7 diatas memperlihatkan bahwa arus gangguan hubung singkat yang

melewati relai 2 sebesar 823 A. Untuk kondisi ini, relai 2 disetting dengan besar

arus gangguan yaitu 823 A. Selanjutnya menentukan time dial dengan arus

gangguan hubung singkat tersebut.


4.3.2.2 Perhitungan hubung singkat di lokasi gangguan pada bus 4

Gambar 4. 8 Hasil running hubung singkat setelah penempatan PT

Hasil running hubung singkat ketika diberi gangguan di bus 4 pada

gambar 4.8 diatas memperlihatkan bahwa arus gangguan hubung singkat yang

melewati relai 1 sebesar 1070 A. Untuk kondisi ini, relai 1 disetting dengan besar

arus gangguan yaitu 1070 A. Selanjutnya menentukan time dial dengan arus

gangguan hubung singkat tersebut.


4.3.2.3 Perhitungan hubung singkat di lokasi gangguan pada saluran ke T1

Gambar 4. 9 Hasil running hubung singkat setelah penempatan PT

Hasil running hubung singkat ketika diberi gangguan di saluran ke Trafo 1

pada gambar 4.9 diatas memperlihatkan bahwa arus gangguan hubung singkat

yang melewati relai 10 sebesar 4880 A. Untuk kondisi ini, relai 10 disetting

dengan besar arus gangguan yaitu 4880 A. Selanjutnya menentukan time dial

dengan arus gangguan hubung singkat tersebut.


4.3.2.4 Perhitungan hubung singkat di lokasi gangguan pangkal saluran 2

Gambar 4. 10 Hasil running hubung singkat setelah penempatan PT

Hasil running hubung singkat ketika diberi gangguan di pangkal saluran 2

pada gambar 4.10 diatas memperlihatkan bahwa arus gangguan hubung singkat

yang melewati relai 1 sebesar 2130 A. Relai 4 berkoordinasi dengan relai

dibawahnya (relai 1, relai 2 dan relai 3). Oleh karena nilai Td (Time dial) pada

relai 1 paling besar diantara relai 2 dan relai 3, maka relai 4 di setting dengan

besar arus gangguan pada kondisi ini yaitu 2130 A.


4.3.2.5 Perhitungan hubung singkat di lokasi gangguan pangkal saluran 1

Gambar 4. 11 Hasil running hubung singkat setelah penempatan PT

Hasil running hubung singkat ketika diberi gangguan di pangkal saluran 1

pada gambar 4.11 diatas memperlihatkan bahwa arus gangguan hubung singkat

yang melewati relai 5 sebesar 632 A. Relai 5 berkoordinasi dengan relai 4 dan

relai 10. Oleh karena relai 4 memiliki nilai Td yang paling besar, maka untuk

kondisi ini, relai 5 disetting dengan besar arus gangguan yaitu 632 A. Selanjutnya

menentukan time dial dengan arus gangguan hubung singkat tersebut.

.
4.3.2.6 Perhitungan hubung singkat di lokasi gangguan pada bus 6

Gambar 4. 12 Hasil running hubung singkat setelah penempatan PT

Hasil running hubung singkat ketika diberi gangguan di bus 6 pada

gambar 4.12 diatas memperlihatkan bahwa arus gangguan hubung singkat yang

melewati relai 3 sebesar 264 A. Untuk kondisi ini, relai 3 disetting dengan besar

arus gangguan yaitu 264 A. Selanjutnya menentukan time dial dengan arus

gangguan hubung singkat tersebut. Sedangkan arus gangguan hubung singkat

yang melewati relai 14, relai 13 dan relai 12 sebesar 303 A. Untuk kondisi ini,

relai 14, relai 13 dan relai 12 disetting dengan besar arus gangguan yaitu 303 A.

Selanjutnya menentukan time dial masing-masing relai dengan arus gangguan

hubung singkat tersebut.


Besar arus gangguan hubung singkat berdasarkan lokasi gangguan untuk

masing-masing relai dapat disajikan dalam tabel 4.9 berikut.

Tabel 4. 9 Besar arus gangguan hubung singkat pada masing-masing relai


Nama Besar gangguan hubung singkat (A)
relai lokasi gangguan
Bus 5 Bus 4 Saluran Pangka Pangka Bus 6
ke T1 l l
saluran saluran
2 1
Relai 14  64  83  157 165   157  303
Relai 13  64  83  157  165  157  303
Relai 12  64  83  157  165  157  303
Relai 3  759  992  -  1960  -  264
Relai 2  823  0  0  1960  0  0
Relai 1  0  1070  0  2130  0  0
Relai 10  0  0  4880  0  4740  0
Relai 4  759  992  4740  1960  4740  264
Relai 5  101  132  632  262  632  35

Pada tabel 4.9 memperlihatkan besar arus gangguan hubung singkat di

berbagai lokasi gangguan pada masing-masing relai. Dari hasil analisa hubung

singkat inilah kemudian dapat ditentukan setting masing-masing relai.

4.3.3 Perhitungan setting relai

Untuk dapat mengamankan jaringan, variasi output PT yang dipilih adalah

nilai yang paling besar untuk setting koordinasi proteksinya.

 Relai 14

Hasil dari simulasi ETAP di dapat hasil aliran daya dan hubung singkat sebagai

berikut:

Inom = 12.9 A

Ifault = 0.303 kA

Ts = 0.1 s

I set =1.1 x 12.9 A

¿ 14.19 A
Maka diperoleh nilai pick-up yaitu:

Sekunder CT
I sekunder =I set x
Primer CT

5
¿ 14.19 A x
100

¿ 1.1825 A

if α

Td=
Ts x [( ) ]
Iset
−1

Keterangan:
Td = time dial
Ts = waktu setting
If = arus hubung singkat
Iset = arus setting
α, β = konstanta

0.02
393

Td=
0.1 x [( ) ]
14.19
−1

0.14

¿ 0.109 s

 Relai 12

Hasil dari simulasi ETAP di dapat hasil aliran daya dan hubung singkat sebagai

berikut:

Inom = 4.9 A

Ifault = 0.303 kA

Ts = 0.1 s

I set =1.1 x 4.9 A

¿ 5.39 A
Maka diperoleh nilai pick-up yaitu:

Sekunder CT
I sekunder =I set x
Primer CT

5
¿ 5.39 A x
60

¿ 0.449 A

if α

Td=
Ts x [( ) ]
Iset
−1

0.02
303

Td=
0.1 x [( ) ]
5.39
−1

0.14

¿ 0.445 s

Untuk hasil perhitungan dengan menggunakan arus nominal dari simulasi aliran

daya, relai 12 mengalami maloperasi pada gangguan 3 phasa di bus 4. Oleh sebab

itu, arus setting relai 12 ditentukan dari analisa hubung singkat saat lokasi

gangguan di bus 4 yaitu 93 A. Arus setting pada relai 12 diasumsikan lebih besar

dari 93 A untuk menghindari terjadinya maloperasi. Sehingga setting relai 12

adalah:

Ifault = 0.303 kA

Ts = 0.1 s

I set =94.92 A

Maka diperoleh nilai pick-up yaitu:

Sekunder CT
I sekunder =I set x
Primer CT

5
¿ 94.92 A x ¿ 7.91 A
60
if α

Td=
Ts x [( ) ]
Iset
−1

0.02
393

Td=
0.1 x [( ) ]
94.92
−1

0.14

¿ 0.05 s

 Relai 13

Hasil dari simulasi ETAP di dapat hasil aliran daya dan hubung singkat sebagai

berikut:

Inom = 16.4 A

Ifault = 0.303 kA

Ts = Ts R12 + 0.5 s = 0.6 s

I set =1.1 x 16.4 A

¿ 18.04 A

Maka diperoleh nilai pick-up yaitu:

Sekunder CT
I sekunder =I set x
Primer CT

5
¿ 18.04 A x
60

¿ 1.503 A

if α

Td=
Ts x [( ) ]
Iset
−1

0.02
393

Td=
0.6 x [( ) ]
18.04
−1

0.14

¿ 0.1 s
Untuk hasil perhitungan dengan menggunakan arus nominal dari simulasi aliran

daya, relai 13 mengalami maloperasi pada gangguan 3 phasa di bus 4. Oleh sebab

itu, arus setting relai 13 ditentukan dari analisa hubung singkat saat lokasi

gangguan di bus 4 yaitu 93 A. Arus setting pada relai 13 diasumsikan lebih besar

dari 93 A untuk menghindari terjadinya maloperasi. Sehingga setting relai 13

adalah:

Ifault = 0.303 kA

Ts = Ts R12 + 0.5 s = 0.6 s

I set =94.92 A

Maka diperoleh nilai pick-up yaitu:

Sekunder CT
I sekunder =I set x
Primer CT

5
¿ 94.92 A x
60

¿ 7.91 A

if α

Td=
Ts x [( ) ]
Iset
−1

0.02
303

Td=
0.6 x [( ) ]
94.92
−1

0.14

¿ 0.124 s

 Relai 3

Hasil dari simulasi ETAP di dapat hasil aliran daya dan hubung singkat sebagai

berikut:

Inom = 12.1 A
Ifault = 0.264 kA

Ts = Ts R14 + 0.5 s = 0.6 s

I set =1.1 x 12.1 A

¿ 13.31 A

Maka diperoleh nilai pick-up yaitu:

Sekunder CT
I sekunder =I set x
Primer CT

5
¿ 13.31 A x
60

¿ 1.1092 A

if α

Td=
Ts x [( ) ]
Iset
−1

0.02
264

Td=
0.6 x [( ) ]
13.31
−1

0.14

¿ 0.264 s

 Relai 2

Hasil dari simulasi ETAP di dapat hasil aliran daya dan hubung singkat sebagai

berikut:

Inom = 25.9 A

Ifault = 0.823 kA

Ts = Ts R14 + 0.5 s = 0.6 s

Saat Ts= 0.6 s, relai 2 mengalami maloperasi ketika gangguan di bus 5. Relai 2

gagal beroperasi, sehingga relai 12 terlebih dahulu trip. Oleh karena itu, Ts R2

dibuat lebih kecil dari Ts R12 yaitu 0.5 s.

Ts = 0.5 s
I set =1.1 x 25.9 A ¿ 28.49 A

Maka diperoleh nilai pick-up yaitu:

Sekunder CT
I sekunder =I set x
Primer CT

5
¿ 28.49 A x
100

¿ 1.4245 A

if α

Td=
Ts x [( ) ]
Iset
−1

0.02
823

Td=
0.6 x [( ) ]
28.49
−1

0.14

¿ 0.248 s

 Relai 1

Hasil dari simulasi ETAP di dapat data aliran daya dan hubung singkat sebagai

berikut:

Inom = 28.1 A

Ifault = 1.07 kA

Ts = Ts R14 + 0.5 s = 0.6 s

Saat Ts= 0.6 s, relai 1 mengalami maloperasi ketika gangguan di bus 5. Relai 1

gagal beroperasi, sehingga relai 12 terlebih dahulu trip. Oleh karena itu, Ts R1

dibuat lebih kecil dari Ts R12 yaitu 0.5 s.

Ts = 0.5 s

I set =1.1 x 28.1 A

¿ 30.91 A

Maka diperoleh nilai pick-up yaitu:


Sekunder CT
I sekunder =I set x
Primer CT

5
I sekunder =30.91 A x
100

¿ 1.5455 A

if α

Td=
Ts x [( ) ]
Iset
−1

0.02
1070

Td=
0.6 x
30.91 [( ) ] −1

0.14

¿ 0.262 s

 Relai 4

Hasil dari simulasi ETAP di dapat data aliran daya dan hubung singkat sebagai

berikut:

Inom = 65.6 A

Ifault = 2.13 kA

Ts = Ts R1 + 0.5 s

0.14 0.14
0.02 0.02
Ts R1 = Td R1 x If 2 = 0.262 x 2130 = 0.41 s
[( ) ]
I set
−1 [( ) ]
30.91
−1

Dimana:
If2 = arus gangguan di pangkal saluran relai 1
I set = arus setting relai 1

Ts = 0.41 s + 0.5 s = 0.91 s

I set =1.1 x 65.6 A

¿ 72.16 A

Maka diperoleh nilai pick-up yaitu:


Sekunder CT
I sekunder =I set x
Primer CT

5
¿ 72.16 A x ¿ 0.902 A
400

if α

Td=
Ts x [( ) ]
Iset
−1

0.02
2130

Td=
0.91 x [( ) ]
72.16
−1

0.14

¿ 0.458 s

 Relai 10

Hasil dari simulasi ETAP di dapat data aliran daya dan hubung singkat sebagai

berikut:

Inom = 1.8 A

Ifault = 4.88 kA

Ts = 0.1 s

I set =1.1 x 1.8 A

¿ 1.98 A

Maka diperoleh nilai pick-up yaitu:

Sekunder CT
I sekunder =I set x
Primer CT

5
¿ 1.98 A x
100

¿ 0.099 A

if α

Td=
Ts x [( ) ]
Iset
−1

β
0.02
4880

Td=
1.1 x [( ) ]
1.98
−1

0.14

¿ 0.121 s

 Relai 5

Hasil dari simulasi ETAP di dapat data aliran daya dan hubung singkat sebagai

berikut:

Inom =9A

Ifault = 0.632 kA

Ts = Ts R1 + 0.5 s

0.14 0.14
0.02 0.02
Ts R4 = Td R4 x If 2 = 0.458 x 4740 = 0.73 s
[( )
I set
−1 ] [(72.16 ) −1 ]
Dimana:
If2 = arus gangguan di pangkal saluran relai 4
I set = arus setting relai 4

Ts = 0.73 s + 0.5 s = 1.23 s

I set =1.1 x 9 A ¿ 9.9 A

Maka diperoleh nilai pick-up yaitu:

Sekunder CT
I sekunder =I set x
Primer CT

5
¿ 9.9 A x
400

¿ 0.1237 A

if α

Td=
Ts x [( ) ]
Iset
−1

β
0.02
632

Td=
1.23 x [( ) ]
9.9
−1

0.14

¿ 0.764 s

4.4 Pengujian koordinasi sistem proteksi

Setelah dihitung setting masing-masing relai, selanjutnya dilakukan

pengujian koordinasi sistem proteksi. Pengujian tersebut bertujuan untuk

mengecek, apakah masing-masing relai dapat beroperasi sesuai yang diharapkan

atau tidak setelah penempatan PT. Pada pengujian koordinasi, jaringan distribusi

setelah penambahan PT diberi gangguan di beberapa lokasi untuk melihat

koordinasi masing-masing relai.

4.4.1 Variasi output PT 2000 kW

Pengaruh penambahan PT dengan variasi output 2000 kW pada kondisi

normal dapat diperlihatkan oleh hasil running aliran daya pada gambar 4.13

berikut.
Gambar 4. 13 Tampilan Hasil running aliran daya kondisi normal dengan

penambahan PT 2000 kW

Pada gambar 4.13 menunjukkan PT menyuplai arus ke sistem distribusi

sebesar 16.4 A atau daya sebesar 566 kVA. Berdasarkan hasil running aliran

daya, arus yang mengalir ke feeder 3 sebesar 12.9 A, pada feeder 2 sebesar 25.9

A, dan arus yang mengalir pada feeder 1 sebesar 28.1 A. Pada feeder 4, besar arus

yang mengalir yaitu 89.9 A dan arus yang mengalir pada bus 2 sebesar 61 A.
4.4.1.1 Lokasi gangguan di F3 Kumanis

Gambar 4.14 menunjukkan single line diagram dengan variasi output PT

2000 kW lokasi gangguan di F3 Kumanis.

Gambar 4. 14 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 2000 kW

(gangguan di F3 Kumanis)

Pada kondisi diberi gangguan 3 fasa pada saluran F3 Kumanis, maka CB 9 yang

akan mengamankan gangguan terlebih dahulu seperti gambar 4.14. Apabila CB 9

gagal bekerja, maka CB 3 akan trip untuk memutus arus gangguan yang berasal

dari grid. Jika CB 3 gagal, maka CB 4 yang akan trip. Untuk memutus arus

gangguan yang berasal dari PT, CB 8 yang akan trip untuk mengamankan

gangguan. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting relai teruji dengan
baik untuk penempatan PT 2000 kW. Saat gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah

pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa.

Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat mengamankan

jaringan.

4.4.1.2 Lokasi gangguan di Bus 6

Gambar 4.15 menunjukkan single line diagram dengan variasi output PT

2000 kW lokasi gangguan di Bus 6.

Gambar 4. 15 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 2000 kW

(gangguan di bus 6)

Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 6, maka CB 3 akan bekerja

untuk memutus arus gangguan dari grid dan CB 8 trip untuk memutus arus
gangguan yang berasal dari PT seperti gambar 4.15. Apabila CB 3 gagal bekerja,

maka CB 4 akan trip. Tetapi jika CB 4 gagal, maka CB 6 yang akan trip untuk

mengamankan gangguan. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting relai

teruji dengan baik untuk penempatan PT 2000 kW. Saat gangguan 2 phasa dan 1

phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi

gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat

mengamankan jaringan.

4.4.1.3 Lokasi gangguan di ujung saluran 10

Gambar 4.16 menunjukkan single line diagram dengan variasi output PT

2000 kW lokasi gangguan di ujung saluran 10.

Gambar 4. 16 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 2000 kW

(gangguan di ujung saluran 10)


Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada ujung saluran 10, maka CB 7 akan

bekerja untuk memutus arus gangguan dari PT dan CB 3 trip untuk memutus arus

gangguan yang berasal dari grid seperti gambar 4.16. Apabila CB 7 gagal bekerja,

maka CB 8 akan trip. Sedangkan, jika CB 3 yang gagal, maka CB 4 yang akan

trip untuk mengamankan gangguan. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan

setting relai teruji dengan baik untuk penempatan PT 2000 kW. Saat gangguan 2

phasa dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat

diberi gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih

dapat mengamankan jaringan.

4.4.1.4 Lokasi gangguan di bus 5

Gambar 4. 17 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 2000 kW

(gangguan di bus 5)
Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 5, maka CB 2 yang akan

mengamankan gangguan terlebih dahulu seperti gambar 4.17. Apabila CB 2 gagal

bekerja, maka CB 4 akan trip. Tetapi jika CB 4 gagal, maka CB 6 yang akan trip

untuk mengamankan gangguan. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting

relai teruji dengan baik untuk penempatan PT 2000 kW. Saat gangguan 2 phasa

dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi

gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat

mengamankan jaringan.

4.4.1.5 Lokasi gangguan di bus 4

Gambar 4.18 menunjukkan single line diagram dengan variasi output PT

2000 kW di lokasi gangguan pada bus 4.

Gambar 4. 18 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 2000 kW

(gangguan di bus 4)
Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 4, maka CB 1 yang akan

mengamankan gangguan terlebih dahulu. Apabila CB 1 gagal bekerja, maka CB 4

akan trip. Tetapi jika CB 4 gagal, maka CB 6 yang akan trip untuk mengamankan

gangguan seperti gambar 4.18. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting

relai teruji dengan baik untuk penempatan PT 2000 kW. Saat gangguan 2 phasa

dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi

gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat

mengamankan jaringan.

4.4.1.6 Lokasi gangguan di bus 3

Gambar 4. 19 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 2000 kW

(gangguan di bus 3)
Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 3, maka CB 7 akan

bekerja untuk memutus arus gangguan dari PT dan CB 4 akan trip untuk memutus

arus gangguan yang berasal dari grid seperti gambar 4.19. Apabila CB 7 gagal

bekerja, maka CB 8 akan trip. Sedangkan, jika CB 4 yang gagal, maka CB 6 yang

akan trip untuk mengamankan gangguan. Koordinasi relai bekerja dengan benar

dan setting relai teruji dengan baik untuk penempatan PT 2000 kW. Saat

gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai

sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk

kondisi ini masih dapat mengamankan jaringan.

4.4.1.7 Lokasi gangguan di bus 2

Gambar 4. 20 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 2000 kW

(gangguan di bus 2)
Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 2, maka CB 7 akan

bekerja untuk memutus arus gangguan dari PT dan CB 6 akan trip untuk memutus

arus gangguan yang berasal dari grid seperti gambar 4.20. Apabila CB 7 gagal

bekerja, maka CB 8 akan trip. Sedangkan, jika CB 6 yang gagal, maka CB 4 yang

akan trip untuk mengamankan gangguan. Koordinasi relai bekerja dengan benar

dan setting relai teruji dengan baik untuk penempatan PT 2000 kW. Saat

gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai

sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk

kondisi ini masih dapat mengamankan jaringan.

4.4.1.8 Lokasi gangguan dari Bus 2 ke Bus 10

Gambar 4. 21 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 2000 kW

(gangguan dari bus 2 ke bus 10)


Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa antara bus 2 ke bus 10, maka CB 5

akan bekerja untuk memutus arus gangguan dari grid dan CB 7 akan trip untuk

memutus arus gangguan yang berasal dari PT seperti gambar 4.21. Apabila CB 5

gagal bekerja, maka CB 6 akan trip. Sedangkan, jika CB 7 yang gagal, maka CB 8

yang akan trip untuk mengamankan gangguan. Koordinasi relai bekerja dengan

benar dan setting relai teruji dengan baik untuk penempatan PT 2000 kW. Saat

gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai

sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk

kondisi ini masih dapat mengamankan jaringan.

4.4.1.9 Lokasi gangguan dari Bus 2 ke Bus 3

Gambar 4. 22 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 2000 kW

(gangguan dari bus 2 ke bus 3)


Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa bus 2 ke bus 3, maka CB 4 akan

bekerja untuk memutus arus gangguan dari grid dan CB 7 akan trip untuk

memutus arus gangguan yang berasal dari PT seperti gambar 4.22. Apabila CB 4

gagal bekerja, maka CB 6 akan trip. Sedangkan, jika CB 7 yang gagal, maka CB 8

yang akan trip untuk mengamankan gangguan. Koordinasi relai bekerja dengan

benar dan setting relai teruji dengan baik untuk penempatan PT 2000 kW. Saat

gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai

sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk

kondisi ini masih dapat mengamankan jaringan.

4.4.2 Variasi output PT 1000 kW

Pengaruh penambahan PT dengan variasi output 1000 kW pada kondisi

normal dapat diperlihatkan oleh hasil running aliran daya pada gambar 4.23

berikut.
Gambar 4. 23 Tampilan Hasil running aliran daya kondisi normal dengan

penambahan PT 1000 kW

Pada gambar 4.23 menunjukkan PT menyuplai arus ke sistem distribusi

sebesar 16.4 A atau daya sebesar 566 kVA. Berdasarkan hasil running aliran

daya, arus yang mengalir ke feeder 3 sebesar 12.9 A, pada feeder 2 sebesar 25.9

A, dan arus yang mengalir pada feeder 1 sebesar 28.1 A. Pada feeder 4, besar arus

yang mengalir yaitu 89.9 A dan arus yang mengalir pada bus 2 sebesar 51 A.

4.4.2.1 Lokasi gangguan di F3 Kumanis

Gambar 4.24 menunjukkan single line diagram dengan variasi output PT

2000 kW pada lokasi gangguan di F3 Kumanis


Gambar 4. 24 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 1000 kW

(gangguan di F3 Kumanis)

Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada F3 Kumanis, maka CB 9

akan bekerja untuk memutus arus gangguan dari grid dan CB 8 akan trip untuk

memutus arus gangguan yang berasal dari PT seperti gambar 4.24. Apabila CB 9

gagal bekerja, maka CB 3 akan trip. Jika CB 3 gagal, maka CB 4 yang akan

bekerja. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting relai teruji dengan baik

untuk penempatan PT 1000 kW. Saat gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah

pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa.

Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat mengamankan

jaringan.
4.4.2.2 Lokasi gangguan di bus 6

Gambar 4. 25 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 1000 kW

(gangguan di bus 6)

Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 6, maka CB 3 akan

bekerja untuk memutus arus gangguan dari grid dan CB 8 akan trip untuk

memutus arus gangguan yang berasal dari PT seperti gambar 4.25. Apabila CB 3

gagal bekerja, maka CB 4 akan trip. Jika CB 4 gagal, maka CB 6 yang akan

bekerja. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting relai teruji dengan baik

untuk penempatan PT 1000 kW. Saat gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah

pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa.

Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat mengamankan

jaringan.
4.4.2.3 Lokasi gangguan di ujung saluran 10

Gambar 4. 26 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 1000 kW

(gangguan di ujung saluran 10)

Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada ujung saluran 10, maka CB 3

akan bekerja untuk memutus arus gangguan dari grid dan CB 7 akan trip untuk

memutus arus gangguan yang berasal dari PT seperti gambar 4.26. Apabila CB 3

gagal bekerja, maka CB 4 akan trip. Sedangkan, jika CB 7 yang gagal, maka CB 8

yang akan trip untuk mengamankan gangguan. Koordinasi relai bekerja dengan

benar dan setting relai teruji dengan baik untuk penempatan PT 1000 kW. Saat

gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai

sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk

kondisi ini masih dapat mengamankan jaringan.


4.4.2.4 Lokasi gangguan di Bus 5

Gambar 4.27 menunjukkan single line diagram dengan variasi output PT

1000 kW di lokasi gangguan pada bus 5.

Gambar 4. 27 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 1000 kW

(gangguan di bus 5)

Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada Bus 5, maka CB 2 yang akan

mengamankan gangguan terlebih dahulu. Apabila CB 2 gagal bekerja, maka CB 4

akan trip. Jika CB 4 gagal, maka CB 6 yang akan trip seperti gambar 4.27.

Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting relai teruji dengan baik untuk

penempatan PT 1000 kW. Saat gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah pada bus

yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa. Oleh sebab

itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat mengamankan jaringan.


4.4.2.5 Lokasi gangguan di Bus 4

Gambar 4.28 menunjukkan single line diagram dengan variasi output PT

1000 kW di lokasi gangguan pada bus 4.

Gambar 4. 28 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 1000 kW

(gangguan di bus 4)

Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 4, maka CB 1 yang akan

mengamankan gangguan terlebih dahulu. Apabila CB 1 gagal bekerja, maka CB 4

akan trip. Jika CB 4 gagal, maka CB 6 seperti gambar 4.28. Koordinasi relai

bekerja dengan benar dan setting relai teruji dengan baik untuk penempatan PT

1000 kW. Saat gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama,

koordinasi relai sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu,

penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat mengamankan jaringan.


4.4.2.6 Lokasi gangguan di bus 3

Gambar 4. 29 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 1000 kW

(gangguan di bus 3)

Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 3, maka CB 4 akan

bekerja untuk memutus arus gangguan dari grid dan CB 7 akan trip untuk

memutus arus gangguan yang berasal dari PT seperti gambar 4.29. Apabila CB 4

gagal bekerja, maka CB 6 akan trip. Sedangkan, jika CB 7 yang gagal, maka CB 8

yang akan trip untuk mengamankan gangguan. Koordinasi relai bekerja dengan

benar dan setting relai teruji dengan baik untuk penempatan PT 1000 kW. Saat

gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai

sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk

kondisi ini masih dapat mengamankan jaringan.


4.4.2.7 Lokasi gangguan di bus 2

Gambar 4. 30 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 1000 kW

(gangguan di bus 2)

Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 2, maka CB 6 akan

bekerja untuk memutus arus gangguan dari grid dan CB 7 akan trip untuk

memutus arus gangguan yang berasal dari PT seperti gambar 4.30. Apabila CB 6

gagal bekerja, maka CB 4 akan trip. Sedangkan, jika CB 7 yang gagal, maka CB 8

yang akan trip untuk mengamankan gangguan. Koordinasi relai bekerja dengan

benar dan setting relai teruji dengan baik untuk penempatan PT 1000 kW. Saat

gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai

sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk

kondisi ini masih dapat mengamankan jaringan.


4.4.2.8 Lokasi gangguan dari bus 2 ke bus 10

Gambar 4. 31 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 1000 kW

(gangguan dari bus 2 ke bus 10)

Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa dari bus 2 ke bus 10, maka CB 5

akan bekerja untuk memutus arus gangguan dari grid dan CB 7 akan trip untuk

memutus arus gangguan yang berasal dari PT seperti gambar 4.31. Apabila CB 5

gagal bekerja, maka CB 6 akan trip. Sedangkan, jika CB 7 yang gagal, maka CB 8

yang akan trip untuk mengamankan gangguan. Koordinasi relai bekerja dengan

benar dan setting relai teruji dengan baik untuk penempatan PT 1000 kW. Saat

gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai

sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk

kondisi ini masih dapat mengamankan jaringan.


4.4.2.9 Lokasi gangguan dari bus 2 ke bus 3

Gambar 4. 32 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 1000 kW

(gangguan dari bus 2 ke bus 3)

Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa dari bus 2 ke bus 3, maka CB 4

akan bekerja untuk memutus arus gangguan dari grid dan CB 7 akan trip untuk

memutus arus gangguan yang berasal dari PT seperti gambar 4.32. Apabila CB 4

gagal bekerja, maka CB 6 akan trip. Sedangkan, jika CB 7 yang gagal, maka CB 8

yang akan trip untuk mengamankan gangguan. Koordinasi relai bekerja dengan

benar dan setting relai teruji dengan baik untuk penempatan PT 1000 kW. Saat

gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai

sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk

kondisi ini masih dapat mengamankan jaringan.


4.4.3 Variasi output PT 0 kW

Pengaruh penambahan PT dengan variasi output 0 kW (kondisi PT

terputus dari jaringan) pada kondisi normal dapat diperlihatkan oleh hasil running

aliran daya pada gambar 4.33 berikut.

Gambar 4. 33 Tampilan Hasil running aliran daya kondisi normal saat PT

terputus dari jaringan

Pada gambar 4.33 menunjukkan PT tidak menyuplai arus ke sistem

distribusi. Berdasarkan hasil running aliran daya, arus yang mengalir pada feeder

3 sebesar 12.1 A, pada feeder 2 sebesar 25.7 A, dan arus yang mengalir pada

feeder 1 sebesar 27.8 A. Pada feeder 4, besar arus yang mengalir yaitu 89.7 A dan

arus yang mengalir pada bus 2 sebesar 65.6 A.


4.4.3.1 Lokasi gangguan di F3 Kumanis

Gambar 4.34 menunjukkan single line diagram kondisi PT terputus dari

jaringan pada lokasi gangguan di F3 Kumanis.

Gambar 4. 34 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 0 kW

(gangguan di F3 Kumanis)

Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada F3 Kumanis, maka CB 9

yang akan mengamankan gangguan. Jika CB 9 gagal, maka CB 3 akan trip.

Apabila CB 3 gagal bekerja, maka CB 4 akan trip. Jika CB 4 gagal, maka CB 6

akan trip seperti gambar 4.34. Sedangkan, pada CB 7 dan CB 8 tidak bekerja

karena tidak ada arus yang mengalir dari PT. Koordinasi relai bekerja dengan

benar dan setting relai teruji dengan baik pada saat PT terputus dari jaringan. Saat

gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai
sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, pada kondisi ini masih

dapat mengamankan jaringan.

4.4.3.2 Lokasi gangguan di bus 6

Gambar 4.35 menunjukkan single line diagram kondisi PT terputus dari

jaringan pada lokasi gangguan di bus 6.

Gambar 4. 35 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 0 kW

(gangguan di bus 6)

Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 6, maka CB 3 yang akan

mengamankan gangguan. Apabila CB 3 gagal bekerja, maka CB 4 akan trip. Jika

CB 4 gagal, maka CB 6 yang akan trip untuk mengamankan gangguan seperti

gambar 4.35. Sedangkan, pada CB 8 tidak bekerja karena tidak ada arus yang

mengalir dari PT. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting relai teruji
dengan baik pada saat PT terputus dari jaringan. Saat gangguan 2 phasa dan 1

phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi

gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, pada kondisi ini masih dapat mengamankan

jaringan.

4.4.3.3 Lokasi gangguan di ujung saluran 10

Gambar 4.36 menunjukkan single line diagram kondisi PT terputus dari

jaringan pada lokasi gangguan di ujung saluran 10.

Gambar 4. 36 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 0 kW

(gangguan di ujung saluran 10)

Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada ujung saluran 10, maka CB 3

yang akan mengamankan gangguan. Apabila CB 3 gagal bekerja, maka CB 4 akan


trip. Jika CB 4 gagal, maka CB 6 yang akan trip untuk mengamankan gangguan

seperti gambar 4.36. Sedangkan, pada CB 7 dan CB 8 tidak bekerja karena tidak

ada arus yang mengalir dari PT. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting

relai teruji dengan baik kondisi PT terputus dari jaringan. Saat gangguan 2 phasa

dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi

gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat

mengamankan jaringan.

4.4.3.4 Lokasi gangguan di bus 5

Gambar 4.37 menunjukkan single line diagram kondisi PT terputus dari

jaringan pada lokasi gangguan di bus 5.

Gambar 4. 37 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 0 kW

(gangguan di bus 5)
Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 5, maka CB 2 yang akan

mengamankan gangguan terlebih dahulu. Apabila CB 2 gagal bekerja, maka CB 4

akan trip. Jika CB 4 gagal, maka CB 6 yang akan trip untuk mengamankan

gangguan seperti gambar 4.37. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting

relai sesuai saat PT terputus dari jaringan. Saat gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke

tanah pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi gangguan 3

phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat

mengamankan jaringan.

4.4.3.5 Lokasi gangguan di bus 4

Gambar 4. 38 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 0 kW

(gangguan di bus 4)
Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 4, maka CB 1 yang akan

mengamankan gangguan terlebih dahulu. Apabila CB 1 gagal bekerja, maka CB 4

akan trip. Jika CB 4 gagal, maka CB 6 yang akan trip untuk mengamankan

gangguan seperti gambar 4.38. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting

relai sesuai saat PT terputus dari jaringan. Saat gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke

tanah pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi gangguan 3

phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat

mengamankan jaringan.

4.4.3.6 Lokasi gangguan di bus 3

Gambar 4. 39 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 0 kW

(gangguan di bus 3)
Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 3, maka CB 4 yang akan

mengamankan gangguan terlebih dahulu. Apabila CB 4 gagal bekerja, maka CB 6

akan trip seperti gambar 4.39. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting

relai teruji dengan baik kondisi PT terputus dari jaringan. Saat gangguan 2 phasa

dan 1 phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi

gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat

mengamankan jaringan.

4.4.3.7 Lokasi gangguan di bus 2

Gambar 4.40 menunjukkan single line diagram kondisi PT terputus dari

jaringan pada lokasi gangguan di bus 2.

Gambar 4. 40 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 0 kW

(gangguan di bus 2)
Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa pada bus 2, maka CB 6 yang akan

mengamankan gangguan seperti gambar 4.40. Sedangkan, CB yang lainnya tidak

bekerja karena tidak adanya arus gangguan yang melewati masing-masing relai

kecuali relai 5. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting relai teruji

kondisi PT terputus dari jaringan. Saat gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah

pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa.

Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat mengamankan

jaringan.

4.4.3.8 Lokasi gangguan dari bus 2 ke bus 10

Gambar 4. 41 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 0 kW

(gangguan dari bus 2 ke bus 10)


Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa dari bus 2 ke bus 10, maka CB 5

yang akan mengamankan gangguan seperti gambar 4.41. jika CB 5 gagal, maka

CB 6 yang akan trip. Sedangkan, CB yang lainnya tidak bekerja karena tidak

adanya arus gangguan yang melewati masing-masing relai kecuali relai 10 dan

relai 5. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting relai teruji dengan baik

kondisi PT terputus dari jaringan. Saat gangguan 2 phasa dan 1 phasa ke tanah

pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi gangguan 3 phasa.

Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat mengamankan

jaringan.

4.4.3.9 Lokasi gangguan dari bus 2 ke bus 3

Gambar 4. 42 Koordinasi sistem proteksi dengan variasi output PT 0 kW

(gangguan dari bus 2 ke bus 3)


Pada kondisi ini diberi gangguan 3 fasa dari bus 2 ke bus 3, maka CB 4

yang akan mengamankan gangguan terlebih dahulu. Apabila CB 4 gagal bekerja,

maka CB 6 akan trip seperti gambar 4.42. Sedangkan, CB yang lainnya tidak

bekerja karena tidak adanya arus gangguan yang melewati masing-masing relai

kecuali relai 4 dan relai 5. Koordinasi relai bekerja dengan benar dan setting relai

teruji dengan baik kondisi PT terputus dari jaringan. Saat gangguan 2 phasa dan 1

phasa ke tanah pada bus yang sama, koordinasi relai sama seperti saat diberi

gangguan 3 phasa. Oleh sebab itu, penambahan PT untuk kondisi ini masih dapat

mengamankan jaringan.

4.5 Rekapitulasi penempatan PT dengan variasi keluaran di berbagai lokasi

gangguan

4.5.1 Variasi output PT 2000 kW

Hasil pengujian koordinasi dari masing-masing relai berdasarkan urutan

CB yang trip pada variasi output PT 2000 kW, ditunjukkan pada tabel 4.10. Dapat

dilihat kondisi gangguan di Bus 2, CB 7 akan memutus arus gangguan dari PT

sedangkan CB 4 memutus arus gangguan yang berasal dari grid.

Dari tabel 4.10 menunjukkan bahwa, ketika variasi output PT 2000 kW,

koordinasi proteksi pada jaringan tidak terganggu. Dapat dilihat dari simulasi

yang dilakukan sesuai dengan yang diharapkan.


Tabel 4. 10 Urutan CB yang trip dengan variasi output PT 2000 kW

Proteksi Proteksi
Lokasi Proteksi
Cadanga Cadangan Keterangan
gangguan Utama
n1 2
F3 Kumanis CB 9 CB 3 CB 4 Sesuai
    CB 8   Sesuai
 
Bus 6 CB 3 CB 4 CB 6 Sesuai
  CB 8     Sesuai
 
Ujung CB 7
CB 8 Sesuai
saluran 10
CB 3 CB 4   Sesuai
 
Bus 5 CB 2 CB 4 CB 6 Sesuai
 
Bus 4 CB 1 CB 4 CB 6 Sesuai
 
Bus 3 CB 7 CB 8   Sesuai
  CB 4 CB 6   Sesuai
 
Bus 2 CB 7 CB 8   Sesuai
  CB 6 CB 4   Sesuai
 
Bus 2 ke CB 5
CB 6   Sesuai
Bus 10
    CB 7 CB 8 Sesuai
 
Bus 2 ke CB 7
CB 8   Sesuai
Bus 3
  CB 4 CB 6   Sesuai
 

4.5.2 Variasi output PT 1000 kW

Hasil pengujian koordinasi dari masing-masing relai berdasarkan urutan

CB yang trip pada variasi output PT 1000 kW, ditunjukkan pada tabel 4.11. Dapat

dilihat kondisi gangguan dari Bus 2 ke Bus 10, CB 5 yang akan mengamankan

gangguan terlebih dahulu. Jika gagal, CB 6 akan memutus arus gangguan dari grid
sedangkan CB 7 memutus arus gangguan yang berasal dari PT. jika CB 7 gagal,

CB 8 yang trip.

Tabel 4. 11 Urutan CB yang trip dengan variasi output PT 1000 kW


Proteksi Proteksi
Lokasi Proteksi
Cadanga Cadangan Keterangan
gangguan Utama
n1 2
F3 Kumanis CB 9 CB 3 CB 4 Sesuai
    CB 8   Sesuai
 
Bus 6 CB 3 CB 4 CB 6 Sesuai
  CB 8     Sesuai
 
Ujung CB 3
CB 4   Sesuai
saluran 10
CB 7 CB 8   Sesuai
 
Bus 5 CB 2 CB 4 CB 6 Sesuai
 
Bus 4 CB 1 CB 4 CB 6 Sesuai
 
Bus 3 CB 4 CB 6   Sesuai
  CB 7 CB 8   Sesuai
 
Bus 2 CB 6 CB 4   Sesuai
  CB 7 CB 8   Sesuai
 
Bus 2 ke CB 5
CB 6   Sesuai
Bus 10
    CB 7 CB 8 Sesuai
 
Bus 2 ke CB 4
CB 6   Sesuai
Bus 3
  CB 7 CB 8 Sesuai
 

Dari tabel 4.11 dapat disimpulkan bahwa, ketika variasi output PT 1000

kW, koordinasi proteksi pada jaringan tidak terganggu. Dapat dilihat dari simulasi

yang dilakukan sesuai dengan yang diharapkan.


4.5.3 Variasi output PT 0 kW (PT terputus dari jaringan)

Hasil pengujian koordinasi dari masing-masing relai berdasarkan urutan

CB yang trip untuk kondisi PT terputus dari jaringan, ditunjukkan pada tabel 4.12.

Dapat dilihat kondisi gangguan di Bus 2 ke Bus 3, CB 4 akan memutus arus

gangguan terlebih dahulu. Jika gagal, maka CB 6 yang akan trip untuk

mengamankan jaringan.

Tabel 4. 12 Urutan CB yang trip kondisi PT terputus dari jaringan

Proteksi Proteksi Proteksi


Lokasi Proteksi Keteranga
Cadanga Cadangan Cadanga
gangguan Utama n
n1 2 n3
F3 Kumanis CB 9 CB 3 CB 4 CB 6 Sesuai
          Sesuai
 
Bus 6 CB 3 CB 4 CB 6   Sesuai
           

Ujung CB 3 CB 4
CB 6  
saluran 10  
         
 
Bus 5 CB 2 CB 4 CB 6 Sesuai
 
Bus 4 CB 1 CB 4 CB 6 Sesuai
 
Bus 3 CB 4 CB 6   Sesuai
           
 
Bus 2 CB 6     Sesuai
           
 
Bus 2 ke CB 5
CB 6   Sesuai
Bus 10
           
 
Bus 2 ke CB 4
CB 6   Sesuai
Bus 3
         
 
Dari tabel 4.12 dapat disimpulkan bahwa ketika PT terputus dari jaringan,

koordinasi proteksi pada jaringan tidak terganggu. Dapat dilihat dari simulasi

yang dilakukan sesuai dengan yang diharapkan.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil simulasi dan analisa yang dilakukan dalam Tugas Akhir ini,

dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. Konfigurasi sistem proteksi dengan penambahan 2 unit relai arus lebih

berarah dan 1 unit relai arus lebih dapat mengamankan jaringan distribusi

dengan Pembangkit Tersebar (PT) saat terjadi gangguan dan mencegah

maloperasi saat terjadi gangguan di luar daerah proteksinya. Satu unit relai

berarah memerintahkan CB untuk memutus arus gangguan yang berasal

dari PT dan yang lainnya memutuskan arus gangguan yang berasal dari

grid.

2. Koordinasi proteksi saat penambahan PT dengan variasi output 2000 kW,

1000 kW dan kondisi PT terputus dari jaringan, sudah bekerja dengan

baik. Hal ini ditandai dengan kesesuaian antara hasil simulasi koordinasi

relai yang dilakukan dengan koordinasi yang diharapkan.

5.2. Saran

Pada penelitian selanjutnya, disarankan agar dapat membahas skema

proteksi pada kondisi islanding di jaringan distribusi.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Nizam, Muhammad. 2008. Pembangkit Listrik Terdistribusi (Distributed

Generation) Sebagai Upaya Pemenuhan Kebutuhan Energi

Listrik Di Indonesia. Jurnal Kanika. Vol: 7, No. 1, September

2008. Surakarta: UNS

[2] Ackermann, T., G. Andersson, dan L. Söder. 2000. Distributed Generation: a

Definition. Electric Power System Research Journal. 57, 195–204.

Sweden: Royal Institute of Technology.

[3] Putra, Rizky Pratama. Ontoseno Penangsang, dan Adi Soeprijanto. 2012.

Analisa Penempatan Distributed Generation pada Jaringan

Distribusi 20kV. Jurnal Teknik ITS. Vol: 1, No. 1, September

2012. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

[4] Adrianti, dan Rudy Prasetya. 2016. Maximum Capacities Of Distibuted

Generations In Order To Avoid Failures Of The Overcurrent

Relay Coordination On A Distribution Network. Jurnal Teknik

Elektro. Vol 5, No 3, November 2016. Padang: Universitas

Andalas.

[5] Prasetya, Rudy. 2016. Rekomendasi Penempatan Distributed Generation

(DG) dengan Kapasitas yang Aman terhadap Koordinasi Proteksi

yang Sudah Ada. Tugas Akhit Teknik Elektro. Padang:

Universitas Andalas.

[6] Stevenson. W. D. Jr. 1990. Analisis Sistem Tenaga Listrik edisi keempat.

Jakarta: Erlangga.
[7] Badruzzaman, Yusnan, dan Rizki Liddinillah. 2013. Kinerja Ground Fault

Relay (Rele Gangguan Tanah) pada Penyulang 4 dan Penyulang

6 Gardu Induk Srondol. Jurnal Teknik Elektro. Vol: 2, No. 3,

Desember 2013. Semarang: Politeknik Negeri Semarang.

[8] Aryanto, Tofan, Sutarno, Said Sunardiyo. 2013. Frekuensi Gangguan

Terhadap Kinerja Sistem Proteksi di Gardu Induk 150 KV Jepara.

Jurnal Teknik Elektro. Vol: 5, No. 2, Juli - Desember 2013.

Semarang: Universitas Negeri Semarang.

[9] Alawiy, Muhammad Taqiyyuddin. 2006. Proteksi Sistem Tenaga Listrik Seri

Relay Elektromagnetis. Malang: Universitas Islam Malang.

[10] Sistem Tenaga Listrik. Diakses Tanggal 27 Febuari 2017 pukul 21.30 WIB.

http://eprints.polsri.ac.id/435/3/BAB%20II.pdf

[11] Rush, Peter. 2005. Network Protection & Automation Guide. London: Areva.

[12] Syarat-syarat Relay Proteksi. Diakses pada 27 Febuari 2017 pukul 22.00

http://www.scribd.com/doc/239483176/Syarat-syarat-Relay-

Proteksi#scribd.

[13] Hartono, Bambang Prio. Eko Nurcahyo, Teguh Herbasuki. 2017. Analisis

Sistem Proteksi Directional Over Current Relays (DOCR)

Dengan Interkoneksi Distributed Generation (DG) Pada

Penyulang Jolotundo. Laporan Hasil Penelitian Lembaga

Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Malang: Institut

Teknologi Nasional.
[14] Permana, Surya Fajar. 2016. Analisis Pengaruh Pemasangan Distributed

Generation Pada Jaringan Distribusi Pusdiklat Migas Cepu.

Jurnal Teknik Elektro UMS. Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

[15] Siregar, Donal. 2011. Studi Pemanfaatan Distributed Generation (DG) pada

Jaringan Distribusi. Tugas Akhir Teknik Elektro USU. Medan:

Universitas Sumatera Utara.

[16] Pengenalan Electrical Transient Analysis Program (ETAP). Diakses pada

pada 27 febuari 2017 pukul 0.46. http://lstde blogspot.co.id.


Lampiran 1

Lampiran 1. Lokasi gangguan dari bus 2 ke bus 10

(gangguan di pangkal saluran ke T1)


Lampiran 2

Lampiran 2. Lokasi gangguan di Bus 2


Lampiran 3

Lampiran 3. Lokasi gangguan di Bus 5


Lampiran 4

Lampiran 4. Lokasi gangguan di Bus 4

Anda mungkin juga menyukai