Anda di halaman 1dari 10

PERBANDINGAN FUNGSI GASTROINTESTINAL DAN KEJADIAN ILEUS

PADA PASIEN POST-OPERATIF GINEKOLOGI DAN ONKOLOGI

ABSTRAK
 
Latar Belakang: Pembedahan masih menjadi salah satu manajemen utama di bidang ginekologi dan onkologi.
Komplikasi selama operasi dan pasca operasi tetap menjadi beban bagi ahli bedah dan pasien serta keluarga mereka
juga. Ileus adalah salah satunya, terutama di pembedahan pada rongga peritoneum. Keterlambatan dalam pemulihan
motilitas usus dapat menyebabkan ileus. Prosedur sederhana untuk memeriksa pemulihan motilitas usus adalah dengan
memeriksa onset bising usus, flatus dan BAB.
Metode: Kami mencatat secara retrospektif catatan wanita yang menjalani operasi ginekologi mayor (kelompok A) atau
operasi onkologi (kelompok B) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) antara bulan Januari 2015 dan Desember 2016
dan dievaluasi berdasarkan usia dan indikasi operasi. Hasil darah pra operasi, lama operasi, dan komplikasi selama
operasi dicatat. Permulaan bising usus, flatus dan BAB dianalisis dan dibandingkan antara kedua kelompok.
Hasil Diskusi: Sebanyak 889 pasien diteliti. Tidak ada perbedaan antara kelompok usia, kadar hemoglobin serum pra
dan postoperatif, leukosit sebelum dan sesudah operasi, memerlukan transfusi darah (p> 0,05), namun terdapat
perbedaan yang signifikan pada lama operasi. Pada kelompok A, waktu buang air besar pertama (15,6 ± 3,48 jam),
perut kembung (24,4 ± 7,16 jam) dan waktu buang air besar pertama (30,4 ± 8,2 jam) dicatat lebih awal dari kelompok
B (18,3 ± 3,549, 30 ± 5,43 jam dan 32,8 ± 6,32 jam) dan terdapat perbedaan yang signifikan secara klinis (p < 0,0001).
Tidak ada ileus yang didokumentasikan pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Pemulihan motilitas usus lebih awal pada pasien yang menjalani operasi ginekologis dibandingkan
dengan kelompok onkologis baik secara klinis maupun secara statistik.
Kata kunci: motilitas usus, ileus, pasca operasi, ginekologi, onkologi

ABSTRACT

Background: Surgery still one of the main managements in the field of gynecology and oncology. Complications
during operation and postoperatively remain the burden for the surgeon and patients and their relatives as well. Ileus is
one of those, especially those enters the peritoneal cavity. Delay in the recovery of intestinal motility can cause ileus.
Simple procedures to check the recovery of intestinal motility are by checking the onset of bowel sound, flatulence and
return of bowel movement.
Methods: We retrospectively identified records of women who underwent major gynecologic surgery (group A) or
oncologic surgery (group B) in Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) between January 2015 and December 2016. All
patients were evaluated by age, relevant medical history, previous surgery, and indication for operation. Preoperative
blood results, duration of operation, and complication during the operation were noted. Onset of bowel sound,
flatulence and return of bowel movement analyzed and compared between the two groups.
Results: Total of 889 patients were studied. There was no difference between groups in term of age, pre- and
postoperative serum hemoglobin, pre- and postoperative leucocyte, needing blood transfusion and duration of operation
(p>0.05). In group A, time of first bowel sound (15.6 + 3.48 hours), flatulence (24.4 + 7.12 hours) and time of first
bowel movement (30.4 + 8.2 hours) were noted earlier than group B (18.3 + 3.549, 30 + 5.43 hours and 32.8 + 6.32
hours) and the result were very clinically significant (p<0.0001). There was no ileus documented in both groups.
Conclusion: There is earlier recovery of intestinal motility in patients undergone gynecologic surgery compared to
those in the oncologic groups, clinically and statistically significant.
Keywords: intestinal motility, ileus, postoperative, gynecology, oncology
Pendahuluan
Pembedahan merupakan komponen utama manajemen kasus ginekologi dan keganasan yang
lalu diikuti oleh kemoterapi dan radiasi. Pembedahan biasanya dilakukan secara radikal dengan
tingkat komplikasi perioperatif hingga 50%; tergantung lokasi tindakan dan kompleksitas pasien.
Tingkat morbiditas akibat operasi keganasan dan ginekologi mencapai 20-30% dengan tingkat
readmisi pasca operasi primer mencapai 10-15%.1
Komplikasi yang paling sering ditemukan postoperasi adalah infeksi. Pendataan oleh
American College of Surgeon’s National Surgical Quality Improvement Program tahun 2005-2009
menemukan kejadian infeksi pada 2,7% pasien pasca histerektomi.2 Sementara itu, penelitian
Erekson, dkk. menujukkan komplikasi yang paling banyak ditemukan adalah infeksi sistemik
(pneumonia, sepsis, dan syok sepsis), morbiditas luka post-pembedahan, dan kembalinya pasien ke
ruang pembedahan setelah 30 hari pasca operasi.3 Beberapa komplikasi lainnya yang juga sering
ditemui adalah transfusi darah postoperasi, insufisiensi renal progresif, wound dehiscence,
trombosis vena dalam, emboli pulmonal, intubasi yang tidak direncanakan, serta ileus pada operasi-
operasi perabdomen4.2
Angka kejadian ileus postoperative mencapai 10,3% pasca operasi perabdomen. Ileus
postoperatif didefinisikan sebagai tidak kembalinya fungsi usus setelah 3-5 hari pasca operasi yang
ditandai dengan flatus dan defekasi.5 Pada penelitian Abd-El-Maeboud ditemukan rerata waktu
antara selesainya operasi seksio sesarea dan flatus pertama adalah 24,4 jam, sedangkan bising usus
pertama terdengar setelah 30 jam.6 Gejala utama ileus postoperatif adalah muntah, mual, dan nyeri
perut dan ditandai dengan 2 atau lebih dari tanda-tanda berikut: mual/muntah, ketidakmampuan
untuk menerima makanan setelah 24 jam, tidak adanya flatus setelah 24 jam, distensi dan
konfirmasi radiologis pada hari ke-4 atau lebih tanpa perbaikan sebelumnya. Beberapa faktor yang
diketahui memengaruhi kejadian ileus postoperative adalah: blok sinyal respon ekstra serebral
(lokal dan sistemik), efek hormonal, dan gangguan endokrinologikal.4 Untuk mencegah ileus,
beberapa metode telah diajukan, seperti penggunaan analgesic yang tepat, anestesi epidural,
mengunyah permen karet, operasi laparoskopi, penggunaan metoklopramid, eritromisin,
neostigmine, alvimopan, dekompresi nasograstrik, infus cairan intravena, dan mempercepat asupan
enteral.5
Pencegahan ileus postoperatif dan berbagai komplikasi lainnya dapat dilakukan dengan
perbaikan faktor risiko. Beberapa faktor risiko berhubungan dengan komplikasi intra- dan
postoperatif. Prediktor atau faktor risiko yang berpengaruh pada intra- dan postoperative adalah
riwayat operasi perabdomen, diabetes mellitus, kompleksitas operasi, dan diagnosis. Prediktor lain
untuk luaran postoperatif adalah usia, adanya komorbiditas, prosedur operasi, dan durasi operasi.6
Selain data diatas, obesitas juga merupakan salah satu faktor risiko yang sangat berpengaruh. Saat
ini obesitas dialami oleh setidaknya 33,8% warga Amerika Serikat dan merupakan salah satu faktor
penyebab luaran operasi yang lebih buruk, seperti waktu operasi yang lebih panjang dan
peningkatan komplikasi postoperatif, terutama infeksi luka.7 Risiko lainnya sangat bergantung pada
beberapa karakteristik individu, termasuk umur, komorbiditas, dan status fungsional. Beberapa
faktor risiko seperti usia ≥ 80 tahun, status fungsional yang buruk, dan penurunan berat badan yang
tidak diperkirakan berasosiasi dengan morbiditas postoperative.3
Sangat penting untuk dapat mengetahui berbagai informasi yang diperlukan untuk mencegah
atau mengobati komplikasi operasi, termasuk ileus. Komplikasi dan morbiditas yang terjadi dapat
menyebabkan perlambataan pemulihan, penundaan penggunakan adjuvant yang vital, meningkatnya
biaya pengobatan, dan menyebabkan dampak psikososial negative pada pasien dan keluarganya.1
Penelitan mengenai komplikasi pasca operasi onkologi dan ginekologi dapat membantu dunia
kesehatan untuk memberikan penatalaksanaan secepatnya kepada pasien.
Ileus pasca operasi didefinisikan sebagai interval antara operasi dan pasase feses serta
toleransi diet oral. Ileus pasca operasi yang berkepanjangan didefinisikan sebagai “dua atau lebih
mual/muntah, inabilitas untuk mentoleransi diet oral setelah lebih dari 24 jam, ketiadaan flatus
setelah lebih dari 24 jam, distensi dan konfirmasi radiologis pada atau setelah hari keempat pasca
operasi tanpa resolusi sebelumnya. Tingkat kejadian ileus pasca operasi dapat mencapai 10.3%,
terutama pada hari ketiga dan kelima pasca operasi. Ileus pasca operasi dapat terjadi pada sebanyak
14% pasien dan meningkatkan durasi rawat inap selama 3.7 hari.2,4,5,8,9
Ileus biasanya disebabkan oleh operasi abdomen atau prosedur medis per abdomen. Meskipun
demikian, ileus dapat menjadi komplikasi dari operasi apapun, termasuk operasi orthopedik.
Operasi laparotomi terutama dikaitkan dengan penurunan motilitas saluran pencernaan pasca
operasi yang lebih berat dibandingkan dengan operasi laparoskopi. Operasi dengan insisi terbatas
pada kulit tidak memiliki efek terhadap aktivitas kompleks motorik migrasi (MMC), namun operasi
yang membuka peritoneum akan sepenuhnya menghambat aktivitas MMC.10-12
Terdapat beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan ileus pasca operasi. Salah satu
hipotesis menyebutkan bahwa hiperaktivitas simpatetik pada periode pasca operasi meningkatkan
jumlah katekolamin dalam sirkulasi, sehingga menyebabkan ileus. Aktivitas elektrik basal normal
(aktivitas MMC) pada lambung dan usus halus juga terganggu pasca operasi. Secara lebih spesifik,
terdapat pola irregular puncak lambung dan aktivitas gelombang-lambat. Refleks neural yang
mencakup sistem saraf simpatetik juga kemungkinan memainkan peran penting dalam
menyebabkan ileus dengan menghambat motilitas usus. Respon inflamasi terhadap operasi juga
merupakan faktor potensial lainnya dalam pathogenesis ileus. Manipulasi operatif usus dapat
menyebabkan respon inflamasi lokal, yang menyebabkan akumulasi sel inflamasi terutama neutrofil
polimorfonuklear, pada muskularis dan dikaitkan dengan disfungsi otot jejunum yang cukup
signifikan. Sitokin sistemik, termasuk interleukin-1 dan interleukin-6 juga ditemukan meningkat
pada masa pasca operasi. Peningkatan ekspresi COX-2 juga menyebabkan peningkatan serum
prostaglandin pada rongga peritoneum dan sirkulasi sehingga menyebabkan penurunan
kontraktilitas otot sirkular jejunum. Beberapa agen neural dan hormonal juga berperan dalam
memperberat ileus, yaitu termasuk nitrit oksida, peptida usus vasoaktif (VIP), dan substansi P, yang
berperan sebagai neurotransmitter inhibitor pada sistem saraf enterik. Penggunaan anestesi opiate
juga menyebabkan perlambatan pengosongan lambung dan secara keseluruhan menimbulkan efek
inhibitor pada usus halus dan kolon. Pada kolon, morfin ditemukan dapat menurunkan gelombang
peristaltic dan peningkatan tonus kolon, yang menunda transit feses dan meningkatkan absorpsi air,
sehingga terbentuk feses yang lebih kering dan padat.10,11,13,14
Ileus pasca operasi mempengaruhi semua bagian saluran gastrointestinal. Pemulihan tiap
bagian saluran gastrointestinal terjadi dengan kecepatan yang berbeda. Fungsi usus halus kembali
pertama, sekitar 4-8 jam setelah operasi, hingga 24 jam pasca operasi. Pada 24-48 jam, fungsi
lambung kembali. Kolon adalah bagian terakhir saluran gastrointestinal yang kembali menjadi
normal, yaitu sekitar 48-72 jam pasca operasi.13
Terdapat beberapa usaha yang dapat memulihkan motilitas usus pasca ileus. Intubasi
nasogastrik merupakan terapi rutin pada ileus. Namun, penelitian terbaru tidak merekomendasikan
penggunaan terapi ini secara rutin. Meskipun demikian, praktik klinis menemukan beberapa kasus
tertentu dimana pasien mungkin mendapatkan manfaat simtomatik. Pemberian makan enteral dini
pasca operasi via oral atau nasoenterik dianjurkan sebagai metode untuk menurunkan durasi ileus
pasca operasi. Logika dibelakang pemberian makan dini adalah bahwa asupan makan dapat (1)
menstimulasi refleks yang memproduksi aktivitas propulsi terkoordinasi, dan (2) memicu sekresi
hormon gastrointestinal. Prosedur laparoskopik mengurangi trauma jaringan sehingga mempercepat
pemulihan fungsi usus. Prosedur laparoskopik juga dikaitkan dengan tingkat sitokin (interleukin-1B
dan interleukin 6) serta CRP yang lebih rendah. Pemberian NSAID dapat membantu pemulihan
ileus dengan menurunkan jumlah terapi opiod sebanyak 20-30%. Selain itu, NSAID juga memiliki
sifat anti-inflamasi, dan dapat menurunkan mual-muntah. Pemberian prostaglandin dapat
meningkatkan transit usus halus dan kolon dengan menstimulasi pelepasan asetilkolin dari neuron
pleksus mienterik. Pelepasan asetilkolin juga dapat dirangsang oleh cisapride (serotonin agonist).
Pemulihan ileus pasca operasi yang lebih cepat dengan mengunyah permen karet kemungkinan
berkaitan dengan efek pemberian makan palsu. Proses makan palsu menyebabkan stimulasi
kolinergik vagal saluran gastrointestinal dan memicu pelepasan gastrin, polipeptida pankreas, dan
neurotensin, yang mempengaruhi motilitas gastrointestinal. Mobilisasi pasien pasca operasi yang
lebih dini tidak ditemukan dapat memperpendek durasi ileus. Namun, immobilisasi yang
berkepanjangan ditemukan dapat meningkatkan risiko komplikasi pasca operasi lainnya.10,13,14
Atas dasar tinjauan pustaka tersebut maka dapat dibuat beberapa rumusan masalah, yaitu:
1) Bagaimanakah perbandingan rerata waktu munculnya bunyi bising usus pasca-operasi
ginekologi dibandingkan dengan onkologi?
2) Bagaimanakah perbandingan rerata waktu munculnya flatus pasca-operasi ginekologi
dibandingkan dengan onkologi?
3) Bagaimanakah perbandingan rerata waktu terjadinya buang air besar pasca-operasi
ginekologi dibandingkan dengan onkologi?
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Untuk mengidentifikasi perbandingan rerata waktu munculnya bunyi bising usus pasca-
operasi ginekologi dibandingkan dengan onkologi
2) Untuk mengidentifikasi perbandingan rerata waktu munculnya flatus pasca-operasi
ginekologi dibandingkan dengan onkologi
3) Untuk mengidentifikasi perbandingan rerata waktu terjadinya buang air besar pasca-
operasi ginekologi dibandingkan dengan onkologi

Metode
Isi metode kajian adalah desain, tata cara penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data,
cara analisis data, dan uji statistik. Jika menggunakan Reagent Laboratorium, produsen dan nomor
batch harap dicantumkan. Ditulis dengan font Times New Roman 12.
Rancangan penelitian dalam penelitian ini adalah Retrospective Cross-sectional karena
pengambilan data dari Bagian Rekam Medik RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung dari Januari 2015 -
Desember 2016. Penelitian ini merupakan hospital based study yang bersifat analitik karena dalam
penelitian ini hanya dilakukan pengamatan dan mencari hubungan antar-variabel penelitian menurut
keadaan alamiah tanpa melakukan manipulasi atau intervensi. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP
Dr. Hasan Sadikin pada bulan Januari 2015 sampai dengan Desember 2016. Penelitian ini
menggunakan total sampel atau sampel jenuh yaitu seluruh anggota populasi menjadi sampel pada
penelitian ini. Subyek penelitian ini adalah semua pasien yang pernah dirawat dan dilakukan
tindakan operatif ginekologi atau onkologi di bagian Obstetri Ginekologi RSUP Dr. Hasan Sadikin,
Bandung periode 1 Januari 2015 – 31 Desember 2016.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah semua pasien dari seluruh kelompok usia dan pasien
yang telah dilakukan tindakan operatif ginekologi atau onkologi sebagai terapi. Sedangkan kriteria
eksklusi pada penelitian ini adalah pasien yang batal dilakukan tindakan operatif sesuai dengan
yang direncanakan, pasien yang setelah dilakukan operasi mendapatkan intervensi awal seperti
mobilisasi dini dan early feeding serta apabila ditemukan variabel yang tidak lengkap
Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi rekam medis pasien rawat inap, kemudian
dilakukan penelusuran faktor demografi dan klinis berdasarkan diagnosis operasional. Data yang
telah dikumpulkan selanjutnya akan diolah dan hasilnya disajikan secara analitik. Penghitungan
analitik dilakukan menggunakan software IBM SPSS Statictics. Kedua grup dibandingkan dengan
menggunakan two tailed t-test untuk variabel kontinu dan Chi-square atau Fisher’s exact test untuk
variabel kategori. Semua perbandingan akan digunakan p < 0.05 untuk dapat dikatakan signifikan.

Gambar 1. Alur Penelitian

Hasil
Sebanyak total 889 pasien yang menjalani operasi ginekologi dan onkologi di Departemen
Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung sesuai dengan kriteria inklusi dab
dimasukkan ke dalam penelitian ini. Pasien dikelompokkan menjadi dua, kelompok A yaitu pasien
yang menjalani operasi ginekologi dan kelompok B yaitu pasien yang menjalani operasi onkologi.
Tidak terdapat perbedaan antara kedua kelompok penelitian mengenai variabel umur, kadar serum
hemoglobin pre- dan pasca operasi, kadar serum leukosit pre- dan pasca operasi, kebutuhan akan
transfusi darah (p > 0.05), namun terdapat perbedaan yang signifikan pada lama operasi antara
kedua grup tersebut.

Tabel 1. Karakteristik Demografi


Grup A Grup B p value
(n = 483) (n = 406)
Umur 45.61 ± 22.83 43.53 ± 25.77 0.202
Riwayat operasi 33 (6.83) 27 (6.65) 0.914
sebelumnya

Tabel 2. Karakteristik Intra-operatif dan Post-operatif


Grup A Grup B p value
(n = 483) (n = 406)
Adhesi 65 (13.46) 74 (18.27) 0.063
Transfusi darah 33 (6.83) 45 (11.08) 0.099
Lama operasi 167.3 ± 49.5 242.7 ± 72.9 < 0.0001
(menit)
Demam 0 0 -
Distensi 5 (1.03) 7 (1.72) 0.552
abdomen (post -
operatif)
Muntah (post - 8 (1.66) 9 (2.22) 0.717
operatif)
Ileus (post - 0 0 -
operatif)

Tabel 3. Hasil lab pre-operatif dan post-operatif


Grup A Grup B Perbedaan antara p value
(n = 483) (n = 406) mean (CI 95%)
Hemoglobin 11.63 ± 2.95 11.34 ± 1.72 -0.04 - 0.62 0.081
(pre-operatif)
Hemoglobin 8.38 ± 1.22 8.42 ± 1.74 -0.26 - 0.16 0.688
(post-operatif)
Leukosit 8745 ± 3376 8968 ± 2957 -645.2 - 199.2 0.300
(pre-operatif)
Leukosit 11385 ± 3886 10954 ± 3451 -57.63 - 919.63 0.083
(post-operatif)

Pada kelompok A, ditemukan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mendengar bising usus
normal adalah 15.6 ± 3.48 jam, sementara waktu yang dibutuhkan pada kelompok B adalah 18.3 ±
3.55 jam. Hasil penelitian ini menunjukkan waktu yang lebih awal dari hasil penelitian Hardono
yang menemukan bahwa rerata waktu yang dibutuhkan untuk kembalinya motilitas usus seperti
keadaan semula sebelum pembedahan adalah sekitar 25.13 jam. Sementara itu, waktu yang
dibutuhkan untuk mendengar bising usus normal pada penelitian serupa di Mesir pada responden
yang menjalani seksio sesaria adalah sekitar 15.6 ± 3.7 jam. Penelitian lain pada semua pasien
operasi ginekologi dengan berbagai indikasi mendokumentasikan bahwa waktu untuk bising usus
pertama adalah 6.08 ± 1.8 jam.5,15,16

Tabel 4. Hasil penelitian primer


Grup A Grup B Perbedaan antara p value
(n = 483) (n = 406) mean (CI 95%)
Terdengarnya 15.6 ± 3.48 18.3 ± 3.55 2.24 - 3.17 < 0.0001
suara bising usus
Keluar flatus 24.4 ± 7.12 30.0 ± 5.43 4.75 - 6.45 < 0.0001
Keluar BAB 30.4 ± 8.20 32.8 ± 6.32 1.42 - 3.38 < 0.0001
Lama rawat 70.6 ± 8.19 77.8 ± 12.85 5.80 - 8.60 < 0.0001

Rerata waktu untuk pasase flatus pertama pada kelompok A dalam penelitian ini adalah 24.4
± 7.12 jam, sementara waktu yang dibutuhkan pada kelompok B adalah 30 ± 5.43 jam. Penelitian
oleh Abd-El-Maeboud mencatat bahwa rerata waktu untuk pasase flatus pertama pada responden
yang menjalani seksio sesaria adalah 24.4 ± 7.1 jam. Hasil yang juga serupa ditemukan penelitian
lain pada semua pasien operasi ginekologi dengan berbagai indikasi, yaitu 23.5 ± 10.7 jam.
Meskipun demikian, hasil pada penelitian ini menujukkan waktu yang jauh lebih awal dibandingkan
hasil penelitian di Swedia, yang menemukan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk pasase flatus
pertama adalah 5.6 ± 4.4 hari.4,5,15

Diskusi
Secara keseluruhan, waktu yang dibutuhkan untuk mendengar bising usus normal, waktu
untuk pasase flatus pertama, dan waktu hingga defekasi pertama pada kelompok A ditemukan lebih
awal dari kelompok B. Penggunaan anestesi intravena tambahan pasca operasi juga kemungkinan
memengaruhi waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan motilitas usus. Selanjutnya, tipe operasi,
misalnya laparotomi atau laparoskopi juga turut mempengaruhi waktu pemulihan motilitas usus.
Operasi onkologi terutama pada stadium lanjut biasanya membutuhkan tipe operasi eksploratif,
sehingga memperbesar luka operasi dan memperlambat waktu penyembuhan pasca operasi.
Stadium tumor lanjut atau tumor dengan metastasis jauh kemungkinan juga secara keseluruhan
mempengaruhi metabolisme tubuh sehingga menyebabkan pemulihan fungsi usus pada pasien yang
menjalani operasi onkologi juga lebih lambat. Selain itu, pasien onkologi juga umumnya lebih
rentan terhadap penurunan fungsi tubuh dan berat badan yang tidak diharapkan, sehingga juga lebih
rentan mengalami komplikasi lain pasca operasi yang mungkin mempengaruhi pemulihan motilitas
usus.3,4,15,17,18
Temuan pada penelitian ini mengindikasikan adanya pemulihan motilitas usus yang lebih
awal pada pasien yang menjalani operasi ginekologi dibandingkan dengan operasi onkologi;
terdapat perbedaan yang signifikan secara klinis maupun statistik antara keduanya (p < 0.05). Selain
itu, tidak ditemukan adanya ileus pada kedua kelompok.
Kesimpulan
Terdapat pengembalian motilitas usus yang lebih cepat pada pasien yang dilakukan operasi
ginekologis dibandingkan kelompok pasien onkologis, dengan perbedaan yang ditemukan
menunjukkan hasil secara klinis dan statistik yang signifikan.

Daftar Pustaka
1. Doll KM, Snavely AC, Kalinowski A, Irwin DE, Bensen JT, Bae-Jump V, dkk. Preoperative
Quality of Life and Surgical Outcomes in Gynecologic Oncology Patients: A New Predictor
of Operative Risk? Gynecol Oncol. 2014;133(3):546-51.
2. Lachiewicz MP, Moulton LJ, Jaiyeoba O. Pelvic Surgical Site Infections in Gynecologic
Surgery. Infect Dis Obstet Gynecol. 2015;2015:1-8.
3. Erekson EA, Yip SO, Ciarleglio MM, Fried TR. Postoperative Complications After
Gynecologic Surgery. Obstet Gynecol. 2011;118(4):785-93.
4. Anersson T, Bjersa K, Falk K, Olsen MF. Effects of Chewing Gum Against Postoperative
Ileus After Pancreaticoduodenectomy-A Randomized Controlled Trial. BMC Research
Notes. 2015;8(37):1-5.
5. Senol T, Polat M, Ozkaya E, Unver G, Karateke A. Effect of Gum Chewing on Intestinal
Functions after Gynecological Operations: A Randomized Controlled Study. Gynecol Obstet
Reprod Med. 2016;22(3):160-4.
6. Iyer R, Gentry-Maharaj A, Nordin A, Bumell M, Liston R, Manchanda R, dkk. Predictors of
Complications in Gynaecological Oncological Surgery: A Prospective Multicentre Study
(UKGOSOC-UK Gynaecological Oncology Surgical Outcomes and Complications). Br J
Cancer. 2015;112:475-84.
7. Wysham WZ, Kim KH, Roberts JM, Sullivan SA, Campbell SB, Roque DR, dkk. Obesity
and Perioperative Pulmonary Complications in Robotic Gynecologic Surgery. Am J Obstet
Gynecol. 2015;213(33):e1-e7.
8. Jernigan AM, Chen CC, Sewell C. A Randomized Trial of Chewing Gum to Prevent
Postoperative Ileus After Laparotomy for Benign Gynecologic Surgery. Int J Gynaecol
Obstet. 2014;127(3):279-82.
9. Park JY, Kim TJ, Kang HJ, Lee YY, Choi CH, Lee JW, dkk. Laparoendoscopic Single Site
(LESS) Surgery in Benign Gynecology: Perioperative and Late Complications of 515 Cases.
Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2013;167(2):215-8.
10. Behm B, Stollman N. Postoperative Ileus: Etiologies and Interventions. Clin Gastroenterol .
2003;1:71-80.
11. Thompson M, Magnuson B. Management of Postoperative Ileus. Pharmacology Update.
2012;35(3):213-7.
12. Uemura K, Tatewaki M, Harris MB, Ueno T, Mantyh CR, Pappas TN, dkk. Magnitude of
Abdominal Incision Affects the Duration of Postoperative Ileus in Rats. Surg Endosc.
2004;18:606-10.
13. Kehlet H, Holte K. Review of Postoperative Ileus. Am J Surg. 2001;182:3S-10S.
14. Luckey A, Livingston E, Tache Y. Mechanisms and Treatment of Postoperative Ileus. Arch
Surg. 2003;138:206-14.
15. Abd-El-Maeboud KH, Ibrahim MI, Firky MF. Gum Chewing Stimulates Early Return of
Bowel Motility After Caesarean Section. BJOG. 2009;116(10):1334-9.
16. Hardono HR, Somantri I. Pengaruh Mengunyah Permen Karet Terhadap Durasi Waktu
Postoperatif Ileus Pasca Bedah Abdomen. Ilmu Keperawatan Respati. 2015;2(1).
17. Gala RB, Margulies R, Steinberg A, Murphy M, Lukban J, Jeppson P, dkk. Systematic
Review of Robotic Surgery in Gynecology: Robotic Techniques Compared With
Laparoscopy and Laparotomy. J Minim Invasive Gynecol. 2014;21(3):353-61.
18. Vasilios P, Evangelos C, Paraskevi K, Diamanto K, Despina P, Dimitrios-Efthymios V.
Patient Controlled Epidural vs Intravenous Analgesia in Gynecologic Oncology: A
Systematic Review. HJOG. 2016;15(2):34-40.

Anda mungkin juga menyukai