Anda di halaman 1dari 9

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menggunakan sampel feses
kerbau rawa dari peternakan kerbau rawa berdasarkan varian warna dan usia di
Desa Sejaro Sakti, Indralaya, tercantum pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Pravalensi Parasit Cacing Berdasarkan Varian Warna Dan Usia.

Lokasi Varian Usia Jenis Parasit Jumlah Prevalensi


Warna Cacing
M1 M2 M1 M2
K1 0-6 bln Fasciola hepatica 25 1 78,12 3,12

KH 1-3 thn Fasciola hepatica 10 - 31,25 -

4 thn Fasciola hepatica 5 5 15,62 15,62


0-6 bln Fasciola hepatica 20 2 62,5 46,87
Strongyloides sp 15 13 46.87 40,62
KA
1-3 thn Fasciola hepatica 7 10 21,87 31,25
Strongyloides sp 18 2 56,25 62,5

4 thn Fasciola hepatica 18 - 56,25 -

Lokas Varian Usia Jenis Parasit Jumlah Prevalensi


i Warna Cacing (%)
M1 M2 M1 M2
K2 0-6 bln Fasciola hepatica 35 10 93,75 31,25
KH
1-3 thn Fasciola hepatica - 16 - 5
Strongyloides sp 2 8 62,5 2,5

Universitas Sriwijaya
4 thn Fasciola hepatica 7 - 21,87 -
0-6 bln Fasciola hepatica 182 10 5,68 31,25

KA 1-3 thn Strongyloides sp 12 100 37,5 3,12

4 thn Fasciola hepatica 105 85 3,28 2,65


Strongyloides sp 60 52 1,87 1,62

Berdasarkan hasil 4.1. didapatkan hasil tingkatan pravalensi tertinggi pada


kandang 1 jenis kerbau rawa hitam usia 0 sampai dengan 6 bulan pravalensi 78,2
% diminggu ke 2 mengalami penurunan 3,12 % dikarenakan oleh frekuensi pakan
rumput pada usia anakan lebih rendah dibandingkan usia dewasa sehingga
kemungkinan terinfeksi metaserkaria akan lebih kecil. Ruminansia yang sudah
dewasa pernah mengalami infeksi sebelumnya maka rumennya akan kebal
terhadap infeksi parasit baru. Menurut Darmin (2014), menjelaskan bahwa
prevalensi paramphistomiasis lebih rendah pada ternak anakan karena disebabkan
oleh frekuensi pemberian pakan rumput pada ternak anakan lebih rendah
dibandingkan ternak dewasa sehingga kemungkinan terinfeksi metaserkaria akan
lebih kecil. Ternak ruminansia yang sudah dewasa atau pernah mengalami infeksi
sebelumnya, maka rumennya akan kebal terhadap infeksi baru. Ruminansia
tersebut belajar mengobati diri sendiri terhadap gastrointestinal dengan
meningkatkan konsumsi senyawa sekunder dari tanaman sekitarnya.
Kerbau rawa usia dewasa didapatkan pravalensi sama dengan perolehan nilai
15,62% dikarenakan usia dewasa minggu pertama dan minggu kedua teknik
pengembalaan masih tradisional dan kondisi kandang 1 pada saat dilapangan
berlumpur, terdapat banyaknya feses dan terdapat genangan air. Bentuk kandang
di desa Sejaro ini masih dikategorikan kandang tradisional karena memiliki pagar
kandang yang berduri, memiliki kawat sebagai pengunci agar pintu pagar kandang
tidak terbuka, dan bangunan terbuka atau tidak memiliki dinding. Menurut Sari
dan Abdullah (2020), perkandangan merupakan suatu fasilitas yang sangat
berperan penting dalam pemeliharaan ternak kerbau. Umumnya peternak di
Kabupaten Gayo Lues, Aceh sebagai salah satu contohnya membangun kandang

Universitas Sriwijaya
kerbau secara sederhana yaitu areal kandang hanya dipagari kawat berduri dan
bambu serta didalam areal dipagari tersebut kandang terbuka tanpa dinding,
atapnya sebagian berbahan dari daun rumbia dan seng.
Prevalensi keempat jenis cacing tersebut masih dipengaruhi juga oleh beberapa
faktor lain,seperti kebersihan dan sistem kandang. Fasciola hepatica termasuk
jenis cacing parasit yang banyak dijumpai dan terinfeksi oleh kerbau rawa dan
hewan ternak lainnya. Menurut Saputra. et al (2020), prevalensi yang rendah pada
jenis cacing parasit tersebut berkaitan dengan siklus hidupnya. Jenis cacing parasit
tersebut membutuhkan hospes intermediet untuk menyempurnakan siklus
hidupnya. Fasciola hepatica membutuhkan hospes intermediet dari jenis siput
famili Lymnaeidae dan Planorbidae. Sistem peternakan secara tradisional
menunjukkan tingkat prevalensi yang lebih besar.
Pravalensi parasit cacing kerbau albino tertinggi minggu 1 kandang 1 anakan
dengan perolehan angka 61,5%. Ditemukan jenis parasit cacing Fasciola hepatica
yang paling banyak ditemukan pada usia anakan, sedangkan pada usia 1 sampai 3
tahun dan usia dewasa 4 tahun perolehan nilai pravalensi terendah 56,5%
ditemukan parasit cacing Strongyloides stercoralis, pada minggu ke dua tertinggi
usia 1 sampai dengan 3 tahun 62,5% parasit cacing Strongyloides stercoralis.
penyebab tingginya prevalensi Strongyloides stercoralis dikarenakan kandang
kerbau yang berada di daerah Desa Sejaro Sakti, Tanjung Senai masih tradisional.
Larva infektif Strongyloides stercoralis menginfeksi ruminansia dengan cara
menembus kulit dan memiliki periode prepaten yang sangat singkat.
Menurut Baihaqi. et al (2015), dinding kandang di kecamatan Sambelia hanya
terbuat dari susunan kayu yang disusun vertikal dan tidak diberi atap. Lantai
kandang masih berupa tanah tanpa lapisan apapun yang bercampur dengan feses
sehingga kerbau dibiarkan begitu saja tidur bersama feses. Hal tersebut
memperkuat faktor tingginya prevalensi infeksi Strongyloides stercoralis pada
kerbau di kecamatan Sambelia.
Kerbau hitam kandang kedua minggu pertama memiliki tingkat pravalensi
tertinggi pada usia anakan 0 sampai dengan 6 bulan 97,75% dan mengalami
penurunan di minggu kedua 31,35% dikarenakan pada minggu kedua kondisi
kandang di lapangan bersih, kering, dan tidak adanya genangan air dan kondisi

Universitas Sriwijaya
anakan sehat. Jenis cacing yang didapatkan jenis cacing Fasciola hepatica.
Menurut Sudono (2003), kandang hewan ternak yang baik adalah kandang
yang sesuai dan memenuhi persyaratan kebutuhan dan kesehatan hewan ternak.
Persyaratan umum kandang untuk hewan ternak yaitu sirkulasi udara cukup
dan mendapat sinar matahari sehingga kandang tidak lembab kelembaban ideal
60% sampai dengan 70%. Lantai kandang selalu kering, tempat pakan yang lebar
dan tempat air dibuat agar air selalu tersedia sepanjang hari.

4.2. Pravalensi Parasit Cacing Berdasarkan Jenis Kelamin Kerbau Rawa

Lokasi Jenis Kelamin Jenis Parasit Jumlah Prevalensi


Cacing
M1 M2 M1 M2
K1 Jantan Fasciola hepatica 40 20 1,25 62,5

Betina Fasciola hepatica 100 82 3,12 26,24


Strongyloides sp 20 15 62,5 46,87

K2 Jantan Fasciola hepatica 30 50 93,75 1,56


Strongyloides sp 80 60 2,5 1,87

Betina Strongyloides sp 20 25 62,5 78,1

Keterangan :
K1 = Kandang 1
K2 = Kandang 2
M1 = Minggu 1
M2 = Minggu 2

Berdasarkan hasil data tabel 4.2. yang didapatkan bahwa tingkat prevalensi
tertinggi pada kerbau betina kandang 1 dengan perolehan prevalensi 62,5%,
sedangkan minggu kedua mengalami penurunan 46,87% paling banyak ditemukan
jenis parasit Strongyloides stercoralis dikarenakan pada minggu kedua kondisi
kandang dilapangan kering, bersih, dan tidak adanya genangan air, tingkatan

Universitas Sriwijaya
pravalensi terendah pada kerbau kelamin jantan pada minggu pertama 1,25%
mengalami kenaikan tingkatan pravalensi 62,5% hal ini dikarenakan kerbau jantan
minggu kedua lebih sering dimanfaatkan pengembala untuk keluar mencari
makanan rumput rawa yang terdapat adanya metaserkaria di dalam rumput.
Parasit cacing yang ditemukan paling banyak adalah jenis cacing Strongyloides
stercoralis dengan peroleh 78,1 %.
Menurut Nurhidayah. et al (2019), sebagian besar kerbau lumpur di lokasi
studi dipelihara secara semi intensif oleh peternak yang juga berprofesi sebagai
petani sawah tadah hujan. Peternak bekerja sekaligus mencari pakan hijauan di
sawah saat pagi hari, lalu menggembalakan ternaknya pada pagi menjelang siang
hingga sore hari ke dalam kawasan hutan. Kerbau betina kandang 2 pada minggu
pertama nilai pravalensi tertinggi dengan perolehan 93,75% lebih mudah
terinfeksi parasit cacing berdasarkan fisiologi haemaglobin pada kerbau betina
kadar eritrosit atau sel darah merah keerbau betina lebih rendah mengakibatkan
Hb atau Haemoglobin menurun dan apabila Hb rendah akan lebih mudah
terinfeksi parasit.
Menurut Adam et al (2015), perbedaan jenis kelamin pada hewan mamalia
memengaruhi jumlah eritrosit. Hewan jantan memiliki jumlah eritrosit yang lebih
tinggi dibandingkan hewan betina.
Kerbau betina yang terinfeksi parasit akan mengakibatkan meningkatnya
jumlah leukosit atau sel darah putih dibandingkan kerbau jantan. Semakin
meningkat jumlah leukosit pada kerbau betina maka kerbau betina mudah
terinfeksi parasit cacing dan sistem kekebalan tubuh kerbau betina mudah sakit.
Menurut Anaeto et al (2013), rataan kadar leukosit darah kerbau Lumpur hasil
penelitian ini adalah 7.95 (106/µl) dan hasil ini masih dalam batas standar darah
yang normal yaitu 7.60-13.10 (106/µl). Leukosit merupakan unit yang aktif dari
sistim pertahanan tubuh, fungsinya kebanyakan ditransport ke darah yang
terinfeksi mengalami peradangan serius, sehingga sel-sel tersebut dapat
menyediakan pertahanan terhadap semua hal yang terinfeksi.
Tingginya prevalensi pada kerbau rawa diakibatkan karena kerbau di kawasan
Desa Sejaro Sakti tidak pernah diberikan obat cacing yang berguna untuk
mencegah terjadinya parasit cacing yang ada di dalam tubuh kerbau rawa.

Universitas Sriwijaya
Menurut Handayani et al (2015), tingginya infestasi di Desa Panggung Rejo Utara
kemungkinan karena hewan ternak di desa tersebut tidak pernah diberikan obat
cacing. Pemberiaan obat cacing berguna sebagai pemberantasan cacing tidak
dilakukan, ditunjang dengan tidak adanya tindakan pencegahan.
Tingginya tingkatan pravalensi pada kerbau rawa diakibatkan karena
kurangnya sanitasi pada kandang kerbau dan kurangnya kualitas kebersihan
kandang di Desa Sejaro Sakti tidak diperhatikan. Menurut Baihaqi et al (2015),
prevalensi cacing nematoda tipe strongil pada kerbau di Pakistan sebesar
46,6%. Perbedaan angka prevalensi di kedua daerah ini mungkin
disebabkan oleh pola pemeliharaan, jenis kerbau, umur, dan lingkungan
yang berbeda. Pola pemeliharaan kerbau di kecamatan Sambelia masih
sangat tradisional. Sanitasi tidak mendapat perhatian sehingga tingkat prevalensi
infeksi cacing menjadi sangat tinggi.
Risiko kejadian penyakit parasit dipengaruhi oleh tiga faktor yang saling
terkait yakni agen penyebab, inang (host), dan faktor lingkungan yaitu kondisi di
luar tubuh inang yang mendukung terhadap munculnya kasus cacingan. Faktor
pertama munculnya kasus kecacingan pada hewan ternak dengan agen penyakit
yaitu cacing. Menurut Kusumamihardja (1992), cacing parasit gastrointestinal
yang umum ditemukan di usus halus dan usus besar. Cacing ini hanya dapat
menginfestasi inang dalam bentuk larva infektif (L3). Oleh karena itu, peluang
banyaknya kasus kecacingan yang muncul berbanding lurus dengan banyaknya
jumlah larva infektif di lingkungan tempat inang berada. Artinya semakin banyak
jumlah larva infektif maka peluang munculnya kasus kecacingan juga akan
semakin besar dan begitu sebaliknya.
Faktor kedua penyebab munculnya kasus kecacingan terkait dengan host
yaitu Kerbau rawa. Teknik pengembalaan di Desa Sejaro Sakti masih dalam
bentuk pola semi intensif di pagi hari kerbau dikerluarkan dan di sore hari kerbau
rawa di masukkan kembali ke dalam kandang. Menurut Love dan Hutchinson
(2007), pada umumnya hewan yang mempunyai daya resistensi tubuh lebih
rendah memiliki peluang yang lebih besar terinfestasi oleh penyakit. Sebaliknya,
pada hewan yang resistensi tubuhnya tinggi memiliki peluang yang lebih kecil
terinfestasi oleh penyakit. Jenis hewan ternak diduga dapat mempengaruhi

Universitas Sriwijaya
ketahanan terhadap infeksi. Variasi genetik dalam suatu jenis hewan akan dapat
mempengaruhi ketahanannya terhadap infeksi parasit. Pola beternak atau sistem
pemeliharaan (ekstensif dan intensif) dapat mempengaruhi terinfeksinya ternak
oleh cacing.
Faktor ketiga penyebab munculnya kasus kecacingan terkait dengan
lingkungan tempat inang berada, bila kerbau rawa ditempatkan di lingkungan
yang tidak sehat dan tidak terawat akan menyebabkan parasit cacing akan semakin
banyak timbul. Menurut Reinecke (1983), kondisi lingkungan di luar tubuh inang
sangat mempengaruhi munculnya kasus kecacingan antara lain mencakup
kesesuaian suhu dan kelembaban serta ketersediaan oksigen. Lingkungan yang
sesuai memungkinkan telur-telur cacing yang keluar bersama feses menetas dan
berkembang menjadi larva infektif yang akan menginfestasi inang baru. Hal ini
berarti bahwa semakin ideal kondisi lingkungan, peluang munculnya kasus
kecacingan akan semakin besar. Untuk itu perlu diperhatikan juga tentang
sanitasi.
Cara mengatasi kerbau rawa tidak terinfeksi parasit cacing dengan menjaga
kebersihan makanan dan minuman yang kerbau konsumsi, salinitas makanan dan
minuman tetap diawasi dengan benar. Menurut Fahrur et al (2015), pencegahan
terhadap manifestasi parasit cacing dilakukan dengan menggunakan molluscida
untuk membasmi siput, pengaturan air minum yang baik agar hewan tidak minum
sembarangan atau secara alami yang kemungkinan airnya tercemar oleh siput dan
dengan menggembalakan ternak di dataran yang lebih tinggi atau menggunakan
padang pengembalaan yang berrotasi. Kerbau rawa di Desa Sejaro Sakti peternak
kerbau membiarkan kerbau rawa makan rumput rawa yang terkontaminasi oleh
cacing Fasciola hepatica. Infeksi pada hewan ruminansia memiliki peluang yang
sangat tinggi dikarenakan faktor makanan.
Kondisi kandang yang berada di peternakan kerbau Desa Sejaro Sakti,
Indralaya masih dikategorikan sebagai kandang tradisional yang kualitas
kerbersihannya masih belum bersih ditemukan adanya lumpur dan adanya feses
kerbau dan kandang di Desa Sejaro Sakti tidak terdapat adanya tempat
penampungan makanan dan minum. Menurut Isnaini dan Fajrien (2020),
kebersihan kandang harus diperhatikan untuk selalu menjaga kondisi kerbau rawa

Universitas Sriwijaya
tetap baik selama pemeliharaan dan kerbau rawa tetap sehat dan terbebas dari
parasit cacing. Kandang harus dilengkapi dengan tempat makan dan tempat
minum yang mudah diakses bagi ternak maupun petugas pemeliharaan. Tempat
makan dan minum harus selalu dibersihkan dari sisa pakan dan sisa air minum,
sisa pakan yang menumpuk dan dibiarkan akan menimbulkan jamur yang
berbahaya apabila termakan oleh ternak.
Jenis pakan yang dimakan kerbau rawa di Tanjung Senai berupa rumput gajah
berukuran kecil, rumput rawa, dan rumput lapangan yang terkontaminasi oleh
metaserkaria parasit cacing. Menurut Widnyana (2013), usaha peternakan,
pemberian pakan termasuk didalamnya adalah penyediaan air minum yang bersih
merupakan sumber energi utama untuk pertumbuhan dan pembangkit tenaga.
Untuk itu setiap sapi membutuhkan makanan berupa hijauan segar seperti rumput
lapangan, rumput gajah, rumput benggala, daun turi dan daun lamtoro. Perlu
diketahui mutu pakan seperti ini harus selalu diperhatikan dengan baik. Kesalahan
pemberian pakan mengakibatkan ternak tidak napsu makan sehingga dengan
mudah dapat terserang penyakit.
Kondisi kandang kerbau rawa minggu pertama mengalami musim hujan
observasi lapangan langsung bahwa kebersihan kandang menjadi berlumpur, dan
menjadi tempat tinggal parasit cacing di kerbau rawa karena tempat kandang
lembab dan kandang terdapat lumpur dan genangan air.
Menurut Handayani. et al (2015), musim hujan juga diduga menjadi penyebab
infestasi cacing saluran pencernaan pada hewan ternak dikarenakan keadaan
lingkungan yang semakin lembab sehingga penunjang perkembangan cacing di
saluran pencernaan. Musim hujan, kelembaban udara yang tinggi, dan temperatur
yang rendah adalah kondisi yang disukai oleh cacing parasit untuk berkembang
biak.
Kerbau rawa di Tanjung Senai terdapat adanya parasit cacing dikarenakan
kurangnya pemberian obat cacing sebagai tindakan pencegahan untuk kerbau
rawa secara rutin dan belum dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Menurut Ginting. et al (2019), pengendalian penyakit yang disebabkan oleh
parasit sebagian dari peternak mencegahnya dengan memberikan obat
cacingdan vitamin. Pemberian obat cacing yang diberikan belum tepat

Universitas Sriwijaya
sasaran dan belum dilakukan sesuai aturan yang berlaku. Masih banyak ternak
yang dimiliki anggota kelompok menderita penyakit cacing.

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai