Anda di halaman 1dari 20

I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Kabupaten Ogan Ilir adalah suatu kabupaten di provinsi Sumatera Selatan yang
berada di jalur lintas timur Sumatera. Kabupaten Ogan Ilir ini merupakan pemekaran
dari Kabupaten Ogan Ilir yang salah satu wilayahnya memiliki potensi sebagai lahan
rawa lebak. Kabupaten Ogan Ilir mempunyai luasan lahan yang digunakan sebagai mata
pencaharian penduduknya untuk beternak kerbau dan sapi. Potensi lahan rawa lebak di
Sumatera Selatan mempunyai luasan sekitar 2,0 juta hektar, dimana seluas 79,200
hektar di antaranya terdapat di Kabupaten Ogan Ilir atau OKI. Luasan rawa lebak di
Sumatera Selatan dimanfaatkan masyarakat sebagai mata pencaharian seperti kerbau
dan sapi diolah sebagai daging dan pupuk organik (Waluyo et al., 2008).
Lahan rawa lebak yang terdapat di Kabupaten Ogan Ilir memiliki potensi sebagai
habitat hewan ternak. Salah satu hewan ternak yang memiliki kemampuan adaptasi di
lahan rawa lebak yaitu kerbau rawa. Kerbau rawa memiliki dua jenis berdasarkan warna
tubuhnya yaitu, kerbau hitam dan kerbau albino. Warna tubuh kerbau yang dominan
ditemukan adalah abu-abu dengan warna kulit hitam. Bentuk tubuh pendek dan gemuk,
kaki sedikit pendek dan lurus, serta lingkar dada sedikit lebar. Namun pada beberapa
tempat tertentu di Kabupaten Lombok Tengah yang bukan merupakan wilayah
pengamatan, dapat ditemukan kerbau albino, yaitu pada sebagian tubuh kerbau
tersebut berwarna putih (Sukri et al., 2016).
Pertumbuhan penduduk, pendapatan dan kesadaran mengenai pentingnya pangan
berkualitas merupakan penyebab dilakukannya impor sapi beserta daging sapi dan
komponen lainnya dalam rangka pemenuhan konsumsi daging. Kerbau diketahui
memiliki kelebihan. kerbau dapat hidup di kawasan yang relatif sulit dalam keadaan
pakan yang kurang baik. Kerbau juga dapat berkembangbiak dalam rentang
agroekosistem yang luas dari daerah yang basah sampai daerah yang relatif kering.
Kerbau selain sebagai penghasil daging dan membantu kerja manusia dalam kegiatan
pertanian (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006).

Universitas Sriwijaya
Masalah yang dihadapi oleh peternak kerbau adalah rendahnya reproduktivitas
yaitu mengurangi bobot berat tubuh, dan berpengaruh terhadap penurunan populasi
kerbau. Populasi kerbau di Indonesia pada tahun 2004 sekitar 2,4 juta ekor, dan
menurun menjadi 1,93 juta ekor pada tahun 2008, sedangkan data populasi kerbau di
Sumatera Selatan tahun 2013 sebanyak 26.215 ekor atau sekitar 2,23% dari total ternak
kerbau nasional. Penurunan populasi kerbau ini diduga ada kaitannya dengan sistem
usaha peternakan yang masih dilakukan secara tradisional sehingga penampilan
produksi kurang tinggi (Komariah et al., 2014).
Penurunan populasi dan kualitas hewan ternak juga dapat disebabkan oleh penyakit
akibat infeksi parasit. Infeksi parasit merupakan penyakit yang umum ditemukan pada
hewan termasuk satwa liar. Penyakit parasit terjadi kurangnya sanitasi ternak atau
kandang pemeliharaan. Kerbau rawa umumnya tidak dipelihara secara khusus, sehingga
terjadinya infeksi parasit menjadi lebih tinggi. Populasi kerbau dunia diperkirakan
185,29 juta, yang tersebar di 42 negara, di mana 179,75 juta (97%) berada di Asia. India
memiliki 105,1 juta dan terdiri dari sekitar 56,7 persen dari total populasi kerbau dunia.
Karena habitatnya, mereka menderita berbagai macam penyakit parasit. Frekuensi
wabah meningkat antara Oktober dan Mei, tetapi wabah sporadis berlanjut sepanjang
tahun
(Patel et al., 2015).
Parasit yang ditemukan di saluran pencernaan hewan ternak khususnya kerbau rawa
dapat menimbulkan menurunnya produktivitas kerbau demikian juga parasit pada
hewan liar dapat menimbulkan penyakit bagi manusia seperti Zoonis Balantidium coli
parasit yang ada di hewan babi. Zoonis penyakit hewan yang dapat ditularkan oleh
manusia, sebagai contoh balantidiosis yaitu penyakit parasitik yang disebabkan oleh
Balantidium coli, suatu parasit babi yang kadang-kadang ditularkan oleh manusia.
Gejala umum dari hewan yang terinfeksi cacing parasit antara lain badan lemah,
bulu kusam, dan gangguan pertumbuhan yang berlangsung lama seperti anemia,
diare, dan badannya menjadi kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian
(Kurniawan, 2019).
Taksiran kerugian ekonomi akibat cacing hati tidak kurang dari Rp513,6 M, yaitu
berupa kematian, penurunan bobot hidup, kehilangan tenaga kerja, organ hati ternak

Universitas Sriwijaya
yang terpaksa harus dibuang, penurunan produksi susu, serta biaya pengobatan. Namun
demikian usaha penanggulangan penyakit fasciolosis belum maksimal karena jarang
sekali dilakukan pencegahan oleh peternak terhadap penyakit cacing Fasciola saginata
(Direktorat Jenderal Peternakan, 2011).
Salah satu serangan parasit yang banyak dijumpai di ternak adalah fasciolosis.
Serangan cacing (helmintiasis) dapat menyebabkan kondisikronis yang menahun,
kekurangan darah dan gizi, pertumbuhan menjadi lambat serta menimbulkan
peradangan hati dan empedu pada ternak. Infeksi ringan yang berkepanjangan juga
mengakibatkan ternak tidak dapat gemuk, kondisi tubuh melemah, nafsu makan
menurun, pembengkakan di bawah rahang, perut busung dan dapat menyebabkan
kematian. Sebanyak 75% peternak menerapkan sistem pemeliharaan semi intensif
dengan cara ternak digembalakan saat siang hingga sore dan dikandangkan saat malam
hari. Selain itu, terdapat 25% peternak yang mengandangkan ternaknya sepanjang
tahun atau intensif (Khan et al., 2010).
Sumber pakan utama bagi ternak adalah rumput dan hijauan dari kawasan hutan,
ladang penggembalaan serta limbah pertanian jerami padi atau batang jagung,
sedangkan sumber air minum terdiri atas air dari air kolam atau telaga, sumur bor dan
kombinasi keduanya. Dari aspek kesehatan ternak, sebanyak 9,40% peternak mengaku
tidak pernah memberikan obat cacing anthelmintika pada ternaknya, sedangkan sisanya
memberikan anthelmintika secara berkala dengan selang pemberian enam bulan
(38,46%) dan satu tahun sekali 52,14% (Nurhidayah et al., 2019).
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan pakan juga
berhubungan erat dengan serangan parasit pada ternak. Kekurangan gizi dalam pakan
dan disertai adanya penyakit parasit terutama cacingan sebagai akibat pola pemeliharaan
yang belum menerapkan teknologi budidaya ternak yang sesuai diduga menjadi faktor
penghambat tidak optimalnya usaha ternak (Bhermana et al., 2017).
Prevalensi menunjukkan jumlah penderita atau kasus dalam lingkup populasi
tertentu dalam satuan waktu tertentu misalnya setahun. Pengertian prevalensi adalah
insidensi artinya kasus baru dalam lingkup populasi tertentu dalam satuan waktu
tertentu. Kedua konsep tersebut selalu dipakai bersama-sama, konsep prevalensi dipakai

Universitas Sriwijaya
sebagai dasar terapi kuratif, sedang insidensi lebih penting sebagai dasar upaya
pencegahan (Hardjodisastro, 2006).
Sehubungan untuk mengantisipasi terinfeksinya kerbau rawa yang ada di Tanjung
Senai, maka penulis ingin mengetahui kaitan antara faktor pakan dengan tumbuh
suburnya penyakit parasit gastrointestinal pada jenis kerbau, usia, dan jenis kelamin
dalam penelitian dengan judul Prevalensi Parasit Cacing Saluran Pencernaan Kerbau
Rawa (Bubalus bubalis carabauesis Lin.) Di Peternakan Kerbau Desa Sejaro Sakti,
Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan penjelasan dari latar belakang diatas tersebut dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkatan prevalensi parasit cacing saluran pencernaan kerbau rawa
berdasarkan jenis kerbau, usia, dan jenis kelamin ?
2. Bagaimana kondisi kandang kerbau terhadap tingkat prevalensi parasit cacing pada
kerbau rawa ?

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pravalensi cacing parasit yaitu tingkat
terinfeksi kerbau terhadap parasit cacing berdasarkan :
1. Usia
Usia anakan berusia 0 sampai dengan 6 bulan lebih mudah terinfeksi cacing parasit
dibandingkan dengan usia muda ataupun dewasa.
2. Jenis Kelamin
Kerbau jantan lebih mudah terinfeksi parasit cacing dibandingkan kerbau betina.
3. Jenis Cacing
Parasit cacing yang ditemukan yaitu cacing Fasciola hepatica dan parasit cacing
Strongyloides stercoralis.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran dan masukan kepada pihak
pengelola kerbau rawa agar kesehatan kerbau rawa lebih ditingkatkan.

Universitas Sriwijaya
II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerbau Rawa (Bubalus bubalis)


Kerbau merupakan hewan asli Afrika dan Asia, termasuk salah satu hewan primitif
dari famili Bovidae. Ciri-ciri kerbau rawa adalah memiliki kebiasaan berendam dalam
rawa atau kubangan. Kerbau ini mempunyai kulit yang berwarna abu-abu dengan warna
yang lebih cerah pada bagian kaki, bagian bawah dagu dan leher kerbau mempunyai
warna yang lebih cerah. 95% dari populasi kerbau terdapat di Asia yang bergantung
pada spesies ini, baik untuk daging, susu, atau tenaga kerjanya. Populasi kerbau di
Indonesia terdiri dari kerbau perah dan kerbau potong. Populasi kerbau perah (river
buffalo) sangat sedikit, hanya sekitar 5% dari populasi yang ada, sedangkan populasi
kerbau potong dan kerja (berupa kerbau lumpur atau swamp buffalo) mencapai 95%
(Susilorini et al., 2008).

Klasifikasi:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Genus : Bubalus bubalis
Spesies : Bubalus bubalis
(Kerr, 1972 dalam Hartatik,
2019)

Gambar 1. Kerbau Rawa (Bubalus bubalis carabauesis)


(Sumber : Fransiska, 2020).

Universitas Sriwijaya
Gambar 2. Kerbau Rawa (Bubalus bubalis) Albino
(Sumber : Fransiska, 2020)

Kerbau albino termasuk ke dalam jenis kerbau rawa (swamp buffalo). Kerbau
albino memiliki kulit berwarna putih (albino), dengan ukuran tubuh lebih kecil dari
jenis kerbau rawa lainnya, dan tidak memiliki garis kalung atau chevron. Kerbau albino
merupakan satu diantara ternak penghasil susu, daging dan sebagai hewan pekerja.
Selain itu, kerbau albino di percaya memiliki peran penting dalam masyarakat antara
lain sebagai ternak pembawa keberuntungan, urinnya dapat dijadikan obat penyakit
tertentu serta sebagai pengukur status sosial masyarakat di daerah Banten dan harga
kerbau albino lebih murah karena warnanya tidak menarik (Fadillah, 2010).

Gambar 3. Kerbau Rawa (Bubalus bubalis) Hitam


(Sumber : Fransiska, 2020)
Adapun karakteristik morfologis kerbau pampangan di Sumatera Selatan adalah
warna bulu hitam atau hitam keabu-abuan, bentuk tubuh besar, temperamen tenang,
kepala besar dan telinga panjang, tanduk ada yang tegak panjang dan melingkar ke arah
belakang dan ada juga yang arah ke bawah. Kerbau-kerbau di pedesaan telah terjadi

Universitas Sriwijaya
inbreeding, karena kelangkaan pejantan unggul sehingga perkawinan kerbau di
pedesaan sulit ditata (Muhakka et al., 2013).
2.2. Kerbau Di Tanjung Senai
Kerbau di Indonesia, terutama di Sumatra Selatan masih dipelihara secara
tradisional dan biasanya diwarisi dari keluarga yang turun temurun. Budidaya ternak
kerbau masih membutuhkan pengembangan. Kerbau rawa diperlihara di daerah Tanjung
Senai dengan teknik pengembalaan secara tradisional dikenal sebagai area atau pusat
produksi kerbau. Kerbau di tanjung senai dimanfaatkan warga sebagai mengelola
daging dan feses kerbau sebagai pupuk organik bagi petani di kebun. Di Tanjung Senai
jarang masyarakatnya mengelola produk susu kerbau (Windusari et al., 2019).

2.3. Endoparasit
Endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang meliputi cacing atau
helminth (trematoda, nematoda dan cestoda). Karena strategi yang berbeda dari
endoparasit mereka membutuhkan adaptasi yang berbeda dalam rangka untuk
memperoleh nutrisi dari inang. Endoparasit dalam tubuh suatu organism terdapat pada
berbagai sistem di dalam tubuh inang seperti sistem pencernaan dan lain sebagainya.
Penyakit yang dapat mengganggu ternak kerbau tersebut dapat berupa infeksi bakteri,
virus maupun infeksi parasitik seperti cacing dan protozoa (Mursyid et al., 2020).

2.4. Endoparasit Pada Hewan Ternak


Endoparasit dalam tubuh inang mungkin terdapat dalam macam-macam sistem
organ tubuh yaitu sistem pencernaan, sirkulasi dan respirasi. Berdasarkan habitat parasit
dalam tubuh inang satwa liar dan ternak domestik maka analisis endoparasit dapat
dilakukan melalui pemeriksaan feses. Feses dapat digunakan untuk mengetahui parasit
yang hidup disaluran pencernaan dan sangat penting dalam proses identifiksi
keberadaan endoparasit (Marquard, 2007).

2.5. Jenis-Jenis Endoparasit


2.5.1. Jenis Cacing Yang Ada Di Saluran Pencernaan Ternak
Infeksi cacing pada ternak ruminansia sebagian besar disebabkan oleh nematoda
seperti Ostertagia ostertagi, cacing Capillaria sp, cacing Trichuris sp, dan
Strongyloides sp, Cestoda seperti Moniezia sp, dan Taenia saginata, dan Trematoda

Universitas Sriwijaya
Dicrocoelium sp, Fasciola gigantica, dan Amphistomes. Ruminansia terinfeksi oleh
cacing parasit gastro intestinal dapat merugikan peternakan (Regassa et al., 2006).

2.5.2. Klasifikasi Cacing Strongiloides stercoralis

Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernenta
Ordo : Rhabditia
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Spesies : Strongyloides stercoralis

Gambar 4
(Sumber : Surja dan Wijaya, 2019)
Cacing Strongyloides stercoralis pada cacing dewasa memiliki bentuk bebas,
panjang cacing jantan ± 1 mm, esofagus pendek dengan dua bulbi, ekor cacing jantan
melingkar dengan spikula. Morfologi cacing betina panjangnya ± 7 sampai dengan 14
mm, terdapat uterus berisi telur, dan ekor lurus berujung runcing. Larva rhabditiform
Strongyloides stercoralis memiliki panjang ± 250 µm, ruang mulut pendek dan lebar,
dan esofagus dengan dua bulbi. Larva filaform Strongyloides stercoralis panjang ± 700
µm, ruang mulut tertutup, dan esofagus ½ anterior (Surja dan Wijaya, 2019).

2.5.3. Klasifikasi Cacing Fasciola hepatica

Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Ordo : Echinostomida
Gambar 5. Fasciola hepatica Famili : Fasciolidea
(Sumber : Surja dan Wijaya, 2019) Genus : Fasciola

Universitas Sriwijaya
Spesies : Fasciola hepatica

Besar badan ± 2 ½ sampai dengan 5 cm. Fasciola hepatica mempunyai


cephalic cone, caeca bercabang-cabang. Testis dua buah tersusun atas bawah, dan
bercabang-cabang. Granula vitellaria hampir mengisi seluruh bagian tubuhnya. Bentuk
telur besarnya 140 x 80 µm, bentuk ovoid operkulum kecil, dan berisi germ cell
(Surja dan Wijaya, 2019).

2.6. Akibat Serangan Parasit


Kerusakan jaringan oleh parasit dapat bersifat langsung maupun tidak langsung
berupa, kerusakan sel dan jaringan, perubahan fungsi fisiologis dari inang, penurunan
daya tahan terhadap agen penyakit lain, masuknya agen penyakit sekunder setelah
terjadinya kerusakan mekanik lain dan parasit mampu menyebarkan mikroorganisme
patogen. Infestasi parasit cacing dapat menyebabkan penurunan bobot badan dan
gangguan lambung (gastritis). Gejala-gejala yang timbul pada ternak yang terinfestasi
cacing gastro intestinal antara lain badan lemah, nafsu makan kurang, bulu rontok, dan
kulit pucat (Purwanta et al.,2006).

2.7. Faktor-Faktor Serangan Parasit


2.7.1. Lingkungan
Lingkungan yang tidak sesuai dan tidak tertata sangat mungkin akan mengalami
perkembangan penyakit, termasuk penyakit yang dikaibatkan oleh parasit. Hal ini di
dorong juga oleh vektor atau agen penyakit dalam penyebarannya sangat di dukung
keadaan lingkungan tersebut, sangat mudah mewabah. Peningkatan penyebaran
penyakit, terutama parasit cacing yang menyerang ternak dalam beberapa tahun terakhir
bisa dihubungkan dengan perubahan iklim (Mithell dan Somerville, 2005).
Musim kemarau sangat berhubungan dengan tingkat kejadian kecacingan yang
cukup rendah karena pada musim kemarau dapat mengganggu perjalanan siklus hidup
cacing, kondisi tanah yang kering dan atmosfer yang cukup panas menyebabkan feses
cepat mengering sehingga telur cacing menjadi rusak dan mati. Berbeda pada saat
musim hujan atau kondisi lingkungan yang lembab (Padondan, 2016).

Universitas Sriwijaya
2.7.2. Kualitas Kandang
Kerbau dapat dikatakan hanya dikandangkan pada musim penghujan di kandang
yang disebut kalang. Kalang merupakan kandang seperti rakit yang terdiri dari
tumpukan kayu gelondongan yang disusun bersilangan dengan lantai papan setebal
sekitar 10 cm yang ditata rapat. Tinggi kalang mencapai 5 meter tergantung dari
kedalaman air di daerah itu, dan tinggi lantai kalang sekitar 1,5 meter dari permukaan
air pada saat rawa pasang naik. Karena kerbau ini dikandangkan di kalang maka kerbau
ini dikenal dengan nama setempat (Suhardono, 2000).
Faktor lain yang mempengaruhi penyebaran cacing nematoda adalah sanitasi
dan kebersihan kandang. Kotoran yang dibiarkan menumpuk didalam kandang akan
mengundang lalat dan juga memungkinkan larva nematoda berkembang didalamnya.
Apabila kulit ternak bersentuhan dengan kotoran tersebut, maka beberapa larva cacing
dapat masuk ke dalam tubuh ternak. Larva Bunostomum dan Strongyloides memiliki
kemampuan untuk menembus kulit inang (Purwaningsih et al., 2017).

2.7.3. Kualitas Pakan


Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam peternakan karena
produktivitas ternak sebagian besar ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pakan yang
dikonsumsi. Munculnya berbagai kasus penyakit pada hewan ternak yang dipelihara di
lahan gambut seperti gangguan pertumbuhan, pedet lahir lemah, kesulitan melahirkan,
kelumpuhan, patah tulang, dan gangguan reproduksi diduga sebagai akibat dari
rendahnya kualitas pakan yang diberikan. Rendahnya kesuburan tanah gambut akan
memengaruhi kualitas hijauan yang tumbuh diatasnya, sehingga hewan ternak yang
kebutuhan nutriennya hanya bergantung pada hijauan yang tumbuh di lahan gambut
berpotensi mengalami kekurangan gizi dan defisiensi mineral (Adrial et al., 2020).
Rerumputan didapat dari sekitar ladang, pinggiran jalan atau dengan
menggembala. Makanan yang diperoleh dengan cara tersebut tentunya kurang diketahui
tingkat kebersihanya. Cacing dapat dengan mudah menjangkiti hewan ternak terutama
hewan kerbau pada saat penggembalaan. Rerumputan hijau yang melimpah tentunya
menjadi penunjang pertumbuhan dan perkembangan ternak yang sangat baik, karena
sebagai sumber makanan utama bagi ternak, tetapi pada kenyataanya tidak menjamin
kesehatan pada sapi karena masih sering terjadi permasalahan kesehatan ternak. Bila

Universitas Sriwijaya
pakan tidak baik maka parasit akan mulai tumbuh di saluran pencernaan. Ternak kerbau
memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan dengan pola digembalakan,
dan dapat pula diintegrasi dengan tanaman pangan dan perkebunan (Rahmi et al., 2014).
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menggunakan sampel feses kerbau
rawa dari peternakan kerbau rawa berdasarkan varian warna dan usia di Desa Sejaro
Sakti, Indralaya, tercantum pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Pravalensi Parasit Cacing Berdasarkan Varian Warna Dan Usia.

Lokasi Varian Usia Jenis Parasit Jumlah Prevalensi


Warna Cacing
M1 M2 M1 M2
K1 0-6 bln Fasciola hepatica 25 1 78,12 3,12

KH 1-3 thn Fasciola hepatica 10 - 31,25 -

4 thn Fasciola hepatica 5 5 15,62 15,62


0-6 bln Fasciola hepatica 20 2 62,5 46,87
Strongyloides sp 15 13 46.87 40,62
KA
1-3 thn Fasciola hepatica 7 10 21,87 31,25
Strongyloides sp 18 2 56,25 62,5

4 thn Fasciola hepatica 18 - 56,25 -

Universitas Sriwijaya
Lokas Varian Usia Jenis Parasit Jumlah Prevalensi
i Warna Cacing (%)
M1 M2 M1 M2
K2 0-6 bln Fasciola hepatica 35 10 93,75 31,25
KH
1-3 thn Fasciola hepatica - 16 - 5
Strongyloides sp 2 8 62,5 2,5

4 thn Fasciola hepatica 7 - 21,87 -


0-6 bln Fasciola hepatica 182 10 5,68 31,25

KA 1-3 thn Strongyloides sp 12 100 37,5 3,12

4 thn Fasciola hepatica 105 85 3,28 2,65


Strongyloides sp 60 52 1,87 1,62

Berdasarkan hasil 4.1. didapatkan hasil tingkatan pravalensi tertinggi pada


kandang 1 jenis kerbau rawa hitam usia 0 sampai dengan 6 bulan pravalensi 78,2 %
diminggu ke 2 mengalami penurunan 3,12 % dikarenakan oleh frekuensi pakan rumput
pada usia anakan lebih rendah dibandingkan usia dewasa sehingga kemungkinan
terinfeksi metaserkaria akan lebih kecil. Ruminansia yang sudah dewasa pernah
mengalami infeksi sebelumnya maka rumennya akan kebal terhadap infeksi parasit
baru.
Menurut Darmin (2014), menjelaskan bahwa prevalensi paramphistomiasis lebih rendah
pada ternak anakan karena disebabkan oleh frekuensi pemberian pakan rumput pada
ternak anakan lebih rendah dibandingkan ternak dewasa sehingga kemungkinan
terinfeksi metaserkaria akan lebih kecil. Ternak ruminansia yang sudah dewasa atau
pernah mengalami infeksi sebelumnya, maka rumennya akan kebal terhadap infeksi
baru. Ruminansia tersebut belajar mengobati diri sendiri terhadap gastrointestinal
dengan meningkatkan konsumsi senyawa sekunder dari tanaman sekitarnya.

Universitas Sriwijaya
Kerbau rawa usia dewasa didapatkan pravalensi sama dengan perolehan nilai
15,62% dikarenakan usia dewasa minggu pertama dan minggu kedua teknik
pengembalaan masih tradisional dan kondisi kandang 1 pada saat dilapangan berlumpur,
terdapat banyaknya feses dan terdapat genangan air. Bentuk kandang di desa Sejaro ini
masih dikategorikan kandang tradisional karena memiliki pagar kandang yang berduri,
memiliki kawat sebagai pengunci agar pintu pagar kandang tidak terbuka, dan bangunan
terbuka atau tidak memiliki dinding. Menurut Sari dan Abdullah (2020), perkandangan
merupakan suatu fasilitas yang sangat berperan penting dalam pemeliharaan ternak
kerbau. Umumnya peternak di Kabupaten Gayo Lues, Aceh sebagai salah satu
contohnya membangun kandang kerbau secara sederhana yaitu areal kandang hanya
dipagari kawat berduri dan bambu serta didalam areal dipagari tersebut kandang terbuka
tanpa dinding, atapnya sebagian berbahan dari daun rumbia dan seng.
Prevalensi keempat jenis cacing tersebut masih dipengaruhi juga oleh beberapa
faktor lain,seperti kebersihan dan sistem kandang. Fasciola hepatica termasuk jenis
cacing parasit yang banyak dijumpai dan terinfeksi oleh kerbau rawa dan hewan ternak
lainnya. Menurut Saputra. et al (2020), prevalensi yang rendah pada jenis cacing parasit
tersebut berkaitan dengan siklus hidupnya. Jenis cacing parasit tersebut membutuhkan
hospes intermediet untuk menyempurnakan siklus hidupnya. Fasciola hepatica
membutuhkan hospes intermediet dari jenis siput famili Lymnaeidae dan Planorbidae.
Sistem peternakan secara tradisional menunjukkan tingkat prevalensi yang lebih besar.
Pravalensi parasit cacing kerbau albino tertinggi minggu 1 kandang 1 anakan dengan
perolehan angka 61,5%. Ditemukan jenis parasit cacing Fasciola hepatica yang paling
banyak ditemukan pada usia anakan, sedangkan pada usia 1 sampai 3 tahun dan usia
dewasa 4 tahun perolehan nilai pravalensi terendah 56,5% ditemukan parasit cacing
Strongyloides stercoralis, pada minggu ke dua tertinggi usia 1 sampai dengan 3 tahun
62,5% parasit cacing Strongyloides stercoralis. penyebab tingginya prevalensi
Strongyloides stercoralis dikarenakan kandang kerbau yang berada di daerah Desa
Sejaro Sakti, Tanjung Senai masih tradisional. Larva infektif Strongyloides stercoralis
menginfeksi ruminansia dengan cara menembus kulit dan memiliki periode prepaten
yang sangat singkat.

Universitas Sriwijaya
Menurut Baihaqi. et al (2015), dinding kandang di kecamatan Sambelia hanya
terbuat dari susunan kayu yang disusun vertikal dan tidak diberi atap. Lantai kandang
masih berupa tanah tanpa lapisan apapun yang bercampur dengan feses sehingga kerbau
dibiarkan begitu saja tidur bersama feses. Hal tersebut memperkuat faktor tingginya
prevalensi infeksi Strongyloides stercoralis pada kerbau di kecamatan Sambelia.
Kerbau hitam kandang kedua minggu pertama memiliki tingkat pravalensi tertinggi
pada usia anakan 0 sampai dengan 6 bulan 97,75% dan mengalami penurunan di
minggu kedua 31,35% dikarenakan pada minggu kedua kondisi kandang di lapangan
bersih, kering, dan tidak adanya genangan air dan kondisi anakan sehat. Jenis cacing
yang didapatkan jenis cacing Fasciola hepatica. Menurut Sudono (2003), kandang
hewan ternak yang baik adalah kandang yang sesuai dan memenuhi persyaratan
kebutuhan dan kesehatan hewan ternak. Persyaratan umum kandang untuk hewan
ternak yaitu sirkulasi udara cukup dan mendapat sinar matahari sehingga kandang
tidak lembab kelembaban ideal 60% sampai dengan 70%. Lantai kandang selalu
kering, tempat pakan yang lebar dan tempat air dibuat agar air selalu tersedia sepanjang
hari.

4.2. Pravalensi Parasit Cacing Berdasarkan Jenis Kelamin Kerbau Rawa

Lokasi Jenis Kelamin Jenis Parasit Jumlah Prevalensi


Cacing
M1 M2 M1 M2
K1 Jantan Fasciola hepatica 40 20 1,25 62,5

Betina Fasciola hepatica 100 82 3,12 26,24


Strongyloides sp 20 15 62,5 46,87

K2 Jantan Fasciola hepatica 30 50 93,75 1,56


Strongyloides sp 80 60 2,5 1,87

Betina Strongyloides sp 20 25 62,5 78,1

Universitas Sriwijaya
Keterangan :
K1 = Kandang 1
K2 = Kandang 2
M1 = Minggu 1
M2 = Minggu 2

Berdasarkan hasil data tabel 4.2. yang didapatkan bahwa tingkat prevalensi
tertinggi pada kerbau betina kandang 1 dengan perolehan prevalensi 62,5%, sedangkan
minggu kedua mengalami penurunan 46,87% paling banyak ditemukan jenis parasit
Strongyloides stercoralis dikarenakan pada minggu kedua kondisi kandang dilapangan
kering, bersih, dan tidak adanya genangan air, tingkatan pravalensi terendah pada
kerbau kelamin jantan pada minggu pertama 1,25% mengalami kenaikan tingkatan
pravalensi 62,5% hal ini dikarenakan kerbau jantan minggu kedua lebih sering
dimanfaatkan pengembala untuk keluar mencari makanan rumput rawa yang terdapat
adanya metaserkaria di dalam rumput. Parasit cacing yang ditemukan paling banyak
adalah jenis cacing Strongyloides stercoralis dengan peroleh 78,1 %.
Menurut Nurhidayah. et al (2019), sebagian besar kerbau lumpur di lokasi studi
dipelihara secara semi intensif oleh peternak yang juga berprofesi sebagai petani sawah
tadah hujan. Peternak bekerja sekaligus mencari pakan hijauan di sawah saat pagi hari,
lalu menggembalakan ternaknya pada pagi menjelang siang hingga sore hari ke dalam
kawasan hutan. Kerbau betina kandang 2 pada minggu pertama nilai pravalensi tertinggi
dengan perolehan 93,75% lebih mudah terinfeksi parasit cacing berdasarkan fisiologi
haemaglobin pada kerbau betina kadar eritrosit atau sel darah merah keerbau betina
lebih rendah mengakibatkan Hb atau Haemoglobin menurun dan apabila Hb rendah
akan lebih mudah terinfeksi parasit. Menurut Adam et al (2015), perbedaan jenis
kelamin pada hewan mamalia memengaruhi jumlah eritrosit. Hewan jantan memiliki
jumlah eritrosit yang lebih tinggi dibandingkan hewan betina.
Kerbau betina yang terinfeksi parasit akan mengakibatkan meningkatnya jumlah
leukosit atau sel darah putih dibandingkan kerbau jantan. Semakin meningkat jumlah
leukosit pada kerbau betina maka kerbau betina mudah terinfeksi parasit cacing dan
sistem kekebalan tubuh kerbau betina mudah sakit. Menurut Anaeto et al (2013), rataan
kadar leukosit darah kerbau Lumpur hasil penelitian ini adalah 7.95 (106/µl) dan hasil

Universitas Sriwijaya
ini masih dalam batas standar darah yang normal yaitu 7.60-13.10 (106/µl). Leukosit
merupakan unit yang aktif dari sistim pertahanan tubuh, fungsinya kebanyakan
ditransport ke darah yang terinfeksi mengalami peradangan serius, sehingga sel-sel
tersebut dapat menyediakan pertahanan terhadap semua hal yang terinfeksi.
Tingginya prevalensi pada kerbau rawa diakibatkan karena kerbau di kawasan Desa
Sejaro Sakti tidak pernah diberikan obat cacing yang berguna untuk mencegah
terjadinya parasit cacing yang ada di dalam tubuh kerbau rawa. Menurut Handayani et
al (2015), tingginya infestasi di Desa Panggung Rejo Utara kemungkinan karena hewan
ternak di desa tersebut tidak pernah diberikan obat cacing. Pemberiaan obat cacing
berguna sebagai pemberantasan cacing tidak dilakukan, ditunjang dengan tidak adanya
tindakan pencegahan.
Tingginya tingkatan pravalensi pada kerbau rawa diakibatkan karena kurangnya
sanitasi pada kandang kerbau dan kurangnya kualitas kebersihan kandang di Desa
Sejaro Sakti tidak diperhatikan. Menurut Baihaqi et al (2015), prevalensi cacing
nematoda tipe strongil pada kerbau di Pakistan sebesar 46,6%. Perbedaan angka
prevalensi di kedua daerah ini mungkin disebabkan oleh pola pemeliharaan,
jenis kerbau, umur, dan lingkungan yang berbeda. Pola pemeliharaan kerbau di
kecamatan Sambelia masih sangat tradisional. Sanitasi tidak mendapat perhatian
sehingga tingkat prevalensi infeksi cacing menjadi sangat tinggi.
Risiko kejadian penyakit parasit dipengaruhi oleh tiga faktor yang saling terkait
yakni agen penyebab, inang (host), dan faktor lingkungan yaitu kondisi di luar tubuh
inang yang mendukung terhadap munculnya kasus cacingan. Faktor pertama munculnya
kasus kecacingan pada hewan ternak dengan agen penyakit yaitu cacing. Menurut
Kusumamihardja (1992), cacing parasit gastrointestinal yang umum ditemukan di usus
halus dan usus besar. Cacing ini hanya dapat menginfestasi inang dalam bentuk larva
infektif (L3). Oleh karena itu, peluang banyaknya kasus kecacingan yang muncul
berbanding lurus dengan banyaknya jumlah larva infektif di lingkungan tempat inang
berada. Artinya semakin banyak jumlah larva infektif maka peluang munculnya kasus
kecacingan juga akan semakin besar dan begitu sebaliknya.
Faktor kedua penyebab munculnya kasus kecacingan terkait dengan host yaitu
Kerbau rawa. Teknik pengembalaan di Desa Sejaro Sakti masih dalam bentuk pola semi

Universitas Sriwijaya
intensif di pagi hari kerbau dikerluarkan dan di sore hari kerbau rawa di masukkan
kembali ke dalam kandang. Menurut Love dan Hutchinson (2007), pada umumnya
hewan yang mempunyai daya resistensi tubuh lebih rendah memiliki peluang yang
lebih besar terinfestasi oleh penyakit. Sebaliknya, pada hewan yang resistensi tubuhnya
tinggi memiliki peluang yang lebih kecil terinfestasi oleh penyakit. Jenis hewan ternak
diduga dapat mempengaruhi ketahanan terhadap infeksi. Variasi genetik dalam suatu
jenis hewan akan dapat mempengaruhi ketahanannya terhadap infeksi parasit. Pola
beternak atau sistem pemeliharaan (ekstensif dan intensif) dapat mempengaruhi
terinfeksinya ternak oleh cacing.
Faktor ketiga penyebab munculnya kasus kecacingan terkait dengan lingkungan
tempat inang berada, bila kerbau rawa ditempatkan di lingkungan yang tidak sehat dan
tidak terawat akan menyebabkan parasit cacing akan semakin banyak timbul. Menurut
Reinecke (1983), kondisi lingkungan di luar tubuh inang sangat mempengaruhi
munculnya kasus kecacingan antara lain mencakup kesesuaian suhu dan kelembaban
serta ketersediaan oksigen. Lingkungan yang sesuai memungkinkan telur-telur cacing
yang keluar bersama feses menetas dan berkembang menjadi larva infektif yang akan
menginfestasi inang baru. Hal ini berarti bahwa semakin ideal kondisi lingkungan,
peluang munculnya kasus kecacingan akan semakin besar. Untuk itu perlu diperhatikan
juga tentang sanitasi.
Cara mengatasi kerbau rawa tidak terinfeksi parasit cacing dengan menjaga
kebersihan makanan dan minuman yang kerbau konsumsi, salinitas makanan dan
minuman tetap diawasi dengan benar. Menurut Fahrur et al (2015), pencegahan
terhadap manifestasi parasit cacing dilakukan dengan menggunakan molluscida untuk
membasmi siput, pengaturan air minum yang baik agar hewan tidak minum
sembarangan atau secara alami yang kemungkinan airnya tercemar oleh siput dan
dengan menggembalakan ternak di dataran yang lebih tinggi atau menggunakan padang
pengembalaan yang berrotasi. Kerbau rawa di Desa Sejaro Sakti peternak kerbau
membiarkan kerbau rawa makan rumput rawa yang terkontaminasi oleh cacing
Fasciola hepatica. Infeksi pada hewan ruminansia memiliki peluang yang sangat
tinggi dikarenakan faktor makanan.

Universitas Sriwijaya
Kondisi kandang yang berada di peternakan kerbau Desa Sejaro Sakti, Indralaya
masih dikategorikan sebagai kandang tradisional yang kualitas kerbersihannya masih
belum bersih ditemukan adanya lumpur dan adanya feses kerbau dan kandang di Desa
Sejaro Sakti tidak terdapat adanya tempat penampungan makanan dan minum. Menurut
Isnaini dan Fajrien (2020), kebersihan kandang harus diperhatikan untuk selalu menjaga
kondisi kerbau rawa tetap baik selama pemeliharaan dan kerbau rawa tetap sehat dan
terbebas dari parasit cacing. Kandang harus dilengkapi dengan tempat makan dan
tempat minum yang mudah diakses bagi ternak maupun petugas pemeliharaan. Tempat
makan dan minum harus selalu dibersihkan dari sisa pakan dan sisa air minum, sisa
pakan yang menumpuk dan dibiarkan akan menimbulkan jamur yang berbahaya apabila
termakan oleh ternak.
Jenis pakan yang dimakan kerbau rawa di Tanjung Senai berupa rumput gajah
berukuran kecil, rumput rawa, dan rumput lapangan yang terkontaminasi oleh
metaserkaria parasit cacing. Menurut Widnyana (2013), usaha peternakan, pemberian
pakan termasuk didalamnya adalah penyediaan air minum yang bersih merupakan
sumber energi utama untuk pertumbuhan dan pembangkit tenaga. Untuk itu setiap sapi
membutuhkan makanan berupa hijauan segar seperti rumput lapangan, rumput gajah,
rumput benggala, daun turi dan daun lamtoro. Perlu diketahui mutu pakan seperti ini
harus selalu diperhatikan dengan baik. Kesalahan pemberian pakan mengakibatkan
ternak tidak napsu makan sehingga dengan mudah dapat terserang penyakit.
Kondisi kandang kerbau rawa minggu pertama mengalami musim hujan observasi
lapangan langsung bahwa kebersihan kandang menjadi berlumpur, dan menjadi tempat
tinggal parasit cacing di kerbau rawa karena tempat kandang lembab dan kandang
terdapat lumpur dan genangan air. Menurut Handayani. et al (2015), musim hujan juga
diduga menjadi penyebab infestasi cacing saluran pencernaan pada hewan ternak
dikarenakan keadaan lingkungan yang semakin lembab sehingga penunjang
perkembangan cacing di saluran pencernaan. Musim hujan, kelembaban udara yang
tinggi, dan temperatur yang rendah adalah kondisi yang disukai oleh cacing parasit
untuk berkembang biak.
Kerbau rawa di Tanjung Senai terdapat adanya parasit cacing dikarenakan
kurangnya pemberian obat cacing sebagai tindakan pencegahan untuk kerbau rawa

Universitas Sriwijaya
secara rutin dan belum dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut Ginting.
et al (2019), pengendalian penyakit yang disebabkan oleh parasit sebagian dari peternak
mencegahnya dengan memberikan obat cacing dan vitamin. Pemberian obat cacing
yang diberikan belum tepat sasaran dan belum dilakukan sesuai aturan yang berlaku.
Bimbingan yang dilakukan oleh pengurus kelompok belum optimal. Sehingga masih
banyak ternak yang dimiliki anggota kelompok menderita penyakit cacing.
V
KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan, maka dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Tingkatan pravalensi tertinggi berdasarkan varian warna dan usia didapatkan kandang
1 kerbau hitam dan kerbau albino usia anakan 0 sampai dengan 6 bulan di minggu
pertama 78,12 % dan di minggu kedua mengalami penurunan 3,12% dikarenakan
pemberian pakan pada usia anakan di peternakan Desa Sejaro Sakti lebih teratur di
minggu kedua.
2. Tingkatan pravalensi kerbau rawa berdasarkan jenis kelamin tertinggi di minggu
pertama jenis kelamin jantan 93,75% dikandang 2 tertinggi kerbau betina 62,5 %
dikarenakan kerbau betina di kandang 2 mudah terinfeksi parasit cacing karena kerbau
betina memiliki jumlah leukosit lebih tinggi dibandingkan kerbau jantan, Jenis cacing
yang didapatkan ada 2 parasit cacing yaitu Fasciola hepatica dan parasit cacing
Strongyloides stercoralis.

5.2. Saran
Setelah melakukan penelitian ini, maka didapatkan saran sebagai berikut :
1. Penelitian ini memiliki kelemahan dalam data jumlah parasit cacing perlu adanya
identifikasi lanjutan agar dapatkan lebih banyak jenis parasit cacing di dalam feses
kerbau rawa.

Universitas Sriwijaya
2. Penelitian ini diperlukan penelitian lanjutan agar kesehatan kerbau rawa semakin baik
dan tidak terjadi penurunan populasi kerbau rawa di Lahan Rawa Tanjung Senai Desa
Sejaro Sakti agar kerbau rawa tetap lestari keberadaannya di alam.

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai