Anda di halaman 1dari 11

Volume 3, No 1, Juni 2020 (49-59)

ISSN: 2621-6220
DOI: https://doi.org/10.32490/didaktik.v3i1.8 https://journal.stipakdh.ac.id/index.php/didaktikos

Teori Belajar Behavioristik dalam Meningkatkan Kemampuan Merespon


Materi Perkuliahan

Arozatulo Telaumbanua
Sekolah Tinggi Teologi Anugerah Misi Nias Barat
artel741989@gmail.com

Abstract: The influence of behavioristic learning theory on the ability of students to respond to
lecture material at the West Nias Theology Mission. There are many problems faced by lecturers in
presenting learning materials for Christian Religious Education today, it is a principle that
requires a variety of learning concepts. One effective way is to apply behavioristic learning theory
that aims to stimulate or provide stimulants to students in terms of learning. This research uses a
descriptive method. Based on the results of the research recapitulation, it was shown that the very
agree and agree categories were worth 74,7%, the doubtful categories was worth 16%, and the
disagreement categories was worth 9,3. Trust, it can be seen that the majority of respondents
strongly agree and agree that behavioristic learning theory can influence the ability of students to
respond to lecture material.
Keywords: behavioristic; learning theory; learning response; STT Anugerah Misi

Abstrak: Artikel ini membahas tentang bagaiamn teori belajar behavioristik mempengaruhi
kemampuan mahasiswa merespon materi perkuliahan di Sekolah Tinggi Teologi Anugerah Misi
Nias Barat. Banyak persoalan yang dihadapi oleh para dosen dalam menyampaikan materi
pembelajaran Pendidikan Agama Kristen saat ini, maka merupakan hal prinsip yang memerlukan
satu konsep pembelajaran yang bervariasi. Salah satu cara yang efektif adalah menerapkan teori
belajar behavioristik yang bertujuan merangsang atau memberi stimulan kepada mahasiswa dalam
hal belajarnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Berdasarkan hasil rekapan
penelitian, menunjukkan bahwa kategori sangat setuju dan setuju bernilai 74,7%, kategori ragu-
ragu bernilai 16% dan kategori tidak setuju bernilai 9,3%. Dengan demikian, terlihat bahwa
sebagian besar responden sangat setuju dan setuju bahwa teori belajar behavioristik dapat
mempengaruhi kemampuan mahasiswa merespon materi perkuliahan.
Kata kunci: behavioristik; merespon materi kuliah; STT Anugerah Misi; teori belajar

PENDAHULUAN
Proses belajar mengajar merupakan kegiatan yang diharapkan mampu memberikan
dampak terhadap perubahan kognitif, afektif dan psikomotorik kepada mahasiswa. Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka dosen harus menyajikan materi pelajaran dengan baik yang
disebut juga PAKEM, yaitu Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Arti-
nya, pembelajaran yang dilakukan harus berdampak kepada mahasiswa melalui teori pem-
belajaran yang diterapkan yakni teori belajar behavioristik. Penerapan teori belajar beha-
vioristik ini harus dilakukan dengan sistem PAKEM agar mendapatkan hasil yang baik dan
menyenangkan pula sesuai dengan target dan tujuan pembelajaran itu sendiri. Adapun
tujuan penerapan teori belajar ini adalah untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa
merespon materi perkuliahan yang telah disampaikan oleh para dosen kepada mereka.
Selain itu, untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang membuat mahasiswa kurang me-

Copyright © 2020, DIDAKTIKOS, e-ISSN 2621-2110 | 49


Arozatulo Telaumbanua: Teori Belajar Behavioristik dalam Meningkatkan…

respon materi perkuliahan, dan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang
dialami oleh mahasiswa dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
Kemudian, dengan adanya penerapan teori belajar ini maka ada beberapa tujuan yang
hendak dievaluasi, yaitu: pertama, agar dapat meningkatkan kualitas pengajaran para dosen
dan sistem belajar mahasiswa; kedua, sebagai sumbangan penulis kepada para dosen dan
mahasiswa yang kurang memperhatikan keseriusan mahasiswa menyimak materi pembe-
lajaran; ketiga, untuk dapat menerapkan setiap teori belajar sesuai dengan kebutuhan kelas;
keempat, agar mampu mengelola kelas dan pembelajarannya dengan baik dan efektif.
Landasan Teori
Menurut aliran behavioristik, belajar merupakan perubahan perilaku berdasarkan
stimulus ~ respons. Tokoh-tokoh yang berperan dalam aliran ini antara lain Thorndike,
Warton, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Menurut penganut teori ini, belajar
adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dinilai secara konkret. Artinya,
teori behavioristik ini hanya menganalisis atau mengamati perilaku yang tampak saja, yang
dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan. Jami Suprihatiningrum, menjelaskan sebagai
berikut: “Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulus) yang menimbulkan hubungan
perilaku reaktif (respons) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain
adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi
penyebab belajar. Sementara, respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik
terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat, dan kecenderungan
perilaku S~R (Stimulus~Respons), seperti gambar berikut1:

Hubungan Langsung

S R
Gambar 1
(Koneksi)

Skema Hubungan Langsung Stimulus (S) dan Respons (R)


Agar terjadi proses belajar dalam pola hubungan S~R, maka harus memiliki unsur
berikut: “dorongan (drive)”, “rangsangan (stimulus)”, “respons (reaction-aktif)”, dan
“penguatan (reinforcement)”. Dengan demikian, akibat dengan adanya interaksi antara
stimulus dengan respons, siswa mempunyai pengalaman baru, yang menyebabkan mereka
mengadakan tingkah laku dengan cara yang baru. Menurut Sumadi Suryabrata (1983),
mengatakan ciri-ciri teori belajar behavioristik, sebagai berikut: (a) mementingkan penga-
ruh lingkungan (environmentalistik); (b) mementingkan bagian-bagian (elemntalistik); (c)
mementingkan peranan reaksi; (d) mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar;
(e) mementingkan sebab-sebab diwaktu yang lalu; (f) mementingkan pembentukan kebia-
saan; dan (g) mementingkan pemecahan problem, ciri khasnya trial and error.”
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori belajar behavioristik memen-
tingkan perubahan pada diri mahasiswa melalui stimulus dan respons yang terjadi dalam
proses pembelajaran. Untuk lebih mengerti teori belajar behavioristik dan juga memper-
kaya pengetahuan kita tentang teori-teori belajar dan mampu mengimplementasikan dalam
kegiatan belajar kita, berikut ini beberapa teori belajar yang termasuk behavioristik, yaitu:

1
Jamil Suprihatiningrum, Strategi Pembelajaran (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014), 16-17.

Copyright © 2020, DIDAKTIKOS, e-ISSN 2621-2110 | 50


DIDAKTIKOS: Jurnal Pendidikan Agama Kristen, Volume 3, No 1 (Juni 2020)

Teori Koneksionisme Oleh Edward Lee Thorndike


Menurut teori Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi
antara peristiwa-peristiwa yang disebut dengan stimulus (S) dengan respons (R). Stimulus
adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan
organisme guna beraksi atau berbuat, sedangkan respons adalah sembarang dari tingkah
laku yang dimunculkan karena adanya perangsan. Dari eksperimen kucing lapar yang
dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara
stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta
melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error)
terlebih dahulu.
Teori asosiasi mulai dipopulerkan oleh Edward Lee Thorndike berdasarkan
penelitian yang dilakukannya pada tahun 1913. Hasil penelitian Thorndike terutama sekali
menekankan pentingnya faktor kesiapan (readness), latihan (exercise) dan pada hasil yang
menyenangkan (good effect) dalam belajar. Berdasarkan kepada hasil penelitian yang
dilakukan, ia merumuskan sejumlah hukum (law) dalam belajar, sebagai berikut:
Pertama, Hukum Kesiapan (Law of Readiness). Semakin siap suatu organisme mem-
peroleh suatu perubahan tingkah laku maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan me-
nimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Misalnya: jika anak
merasa senang dan tertarik pada pelajaran matematika, ia akan cenderung belajar lebih giat
pada mata pelajaran ini dan mengerjakan tugas-tugas dengan baik. Apabila hal ini dilak-
sanakan, ia merasa puas dan belajar matematika akan menghasilkan prestasi yang me-
muaskan.
Kedua, Hukum Latihan (Law of Exercise). Semakin sering tingkah laku diulang/ di-
latih/digunakan, asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah ko-
neksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih
kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak
dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip ini menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar
adalah ulangan. Semakin sering diulang, materi pelajaran akan semakin dikuasai. Misal-
nya: belajar bahasa Inggris. Pada awalnya lancar karena latihan secara berulang-ulang.
Berhenti selama 1 tahun (tidak latihan, tidak ulang), maka akan menjadi kaku bahkan lupa
apa yang pernah dipelajari.
Ketiga, Hukum Akibat (Law of Effect). Hubungan stimulus respons cenderung diper-
kuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak me-
muaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai
hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai dengan akibat yang menyenangkan cen-
derung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti
akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi. Misalnya:
mahasiswa mengikuti pelajaran, jika pesan yang disampaikan dosen koneksi dengan
pikiran mahasiswa dan membuat dia puas akan diterima dan ingin mengikuti lagi.
Sebaliknya, jika pesan yang disampaikan dosen tidak koneksi dengan pikiran mahasiswa
akibatnya tidak senang dan kurang puas.
Dari hukum di atas Thorndike juga mengemukakan revisi hukum belajar, yaitu seba-
gai berikut:

Copyright © 2020, DIDAKTIKOS, e-ISSN 2621-2110 | 51


Arozatulo Telaumbanua: Teori Belajar Behavioristik dalam Meningkatkan…

− Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk
memperkuat hubungan stimulus respons, sebaliknya tanpa pengulangan pun
hubungan stimulus respons belum tentu diperlemah.
− Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif
untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat
apa-apa.
− Syarat utama terjadinya stimulus respons bukan kedekatan, melainkan adanya
saling sesuai antara stimulus dan respons.
− Akibat suatu perbuatan dapat menular, baik pada bidang lain maupun pada individu
lain.
Teori Pembiasaan Klasik Oleh Ivan P. Pavlov
Classical Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang
ditemukan Pavlov (1927) melalui percobaannya terhadap anjing, yang mana perangsang
asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan. Dari hasil percobaan tersebut, ditemukan bahwa
perilaku tertentu dapat terbentuk sebagai respons terhadap stimulus yang lain. Seperti
anjing mengeluarkan air liur ketika mendengar suara bel. Hal ini terbentuk karena latihan
atau pengulangan dalam percobaan.
Percobaan Pavlov terhadap seekor anjing dilakukan dengan cara membiarkan anjing
tersebut dalam keadaan lapar. Kemudian disodorkan makanan, bersamaan dengan itu
dibunyikan bel. Pada saat mencium bau makanan anjing mengeluarkan liur. (Makanan = S,
dan Liur = R, sedangkan bunyi bel = conditioned S). Setelah dilakukan berulang-ulang,
akhirnya anjing mengeluarkan liur (R), meskipun hanya mendengar bunyi bel (hal ini
dikatakan sebagai conditioned respons atau CR – Respons bersyarat). Dari percobaan ini
dapat kita asumsikan bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perila-
ku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diinginkan. Pavlov menyatakan ternyata
individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang
tepat untuk mendapatkan pengulangan respons yang dinginkan, sementara individu tidak
menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Teori Operant Conditioning Oleh Baron Frederic Skinner
Skinner (1938) seorang tokoh teori Operan Conditioning yang berkebangsaan
Amerika. Skinner dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi
langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol dan atau perubahan kelakuan atau
kemungkinan kelakuan dapat dicapai melalui proses operant conditioning. S. Nasution
mengatakan “Operant Conditioning” adalah proses belajar yang mengusahakan
mempertinggi kemungkinan timbulnya kelakuan tertentu. Dalam operant conditioning,
organisme termasuk manusia harus melakukan sesuatu”.2 Penulis memahami bahwa teori
operant conditioning ini memberikan pengertian, belajar itu dibiasakan atau dilatih untuk
menjadi biasa. Contoh sederhana, si A menaruh kunci motornya disatu tempat yang dia
tentukan. Pada awalnya mungkin dua atau tiga kali dia lupa menaruh kunci motor itu pada
tempat yang sama. Namun, dengan kebiasaan melatih (mengingat) lama ke lamaan tidak
lupa dan tetap menaruh kunci motor tersebut pada tempat yang sama. Demikian juga di

2
S. Nasution, Dasar-Dasar Kurikulum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 66.

Copyright © 2020, DIDAKTIKOS, e-ISSN 2621-2110 | 52


DIDAKTIKOS: Jurnal Pendidikan Agama Kristen, Volume 3, No 1 (Juni 2020)

dalam hal belajar sangat perlu kebiasaan melatih, tentu membutuhkan proses. Jamil
Suprihatiningrum menjelaskan “operant conditioning adalah suatu perilaku operant
(penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang
kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan”.3
Skinner sebagai tokoh operant conditioning membagi penguatan menjadi dua yaitu:
pertama; “penguatan positif”, yaitu seperti memberi hadiah, memberi penghargaan, dan
kedua; “penguatan negatif”, yaitu seperti menunda, memberi pengarahan membangun
(misalnya: ini sudah bagus, tetapi perlu dibaguskan lagi). Berdasarkan penjelasan di atas,
maka Skinner mengemukakan beberapa prinsip teori belajar sebagaimana dikutip oleh
Jamil Suprihatiningrum, yaitu: “(1) Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa,
jika salah dibetulkan dan jika benar diberi penguatan; (2) Proses belajar harus mengikuti
irama dari yang belajar; (3) Materi pelajaran digunakan sistem modul; (4) Dalam proses
pembelajaran tidak digunakan hukuman, maka lingkungan perlu diubah untuk menghindari
adanya hukuman; (5) Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri; (6)
Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan
dengan digunakannya jadwal variabel rasio rein forcer; dan (7) Dalam pembelajaran
digunakan shaping (membentuk)”.4 Pembelajaran yang disertai dengan prinsip teori belajar
yang baik dan kreatif akan menghasilkan tingkah laku belajar dari siswa yang baik. Sebab
di dalamnya mengharapkan perubahan cara berpikir dan berwawasan secara komprehensif
terutama dalam perilaku dan karakter mahasiswa.
Teori Belajar Gagne
Teori belajar Gagne ini juga disebut sebagai modern neobehaviouris, yaitu
mendorong seorang dosen untuk merencanakan pembelajaran agar suasana dan daya bela-
jar dapat dimodifikasi. Maksudnya, teori ini mendorong para pengajar untuk melaksanakan
pembelajaran berdasarkan perencanaan pembelajaran yang telah dibuat dengan efektif.
Seperti yang dijelaskan Trianto bahwa “Gagne menekankan pentingnya kondisi internal
dan kondisi eksternal dalam suatu pembelajaran, agar mahasiswa memperoleh hasil belajar
yang diharapkan. Dengan demikian, sebaiknya memperhatikan atau menata pembelajaran
yang memungkinkan mengaktifkan memori mahasiswa yang sesuai agar informasi yang
baru dapat dipahaminya.”5
Hasil belajar dari teori Gagne ini terdiri atas lima kelompok, yaitu: “intelektual skill”
(kemampuan intelektual); “cognitive strategy” (strategi pengetahuan); “verbal infor-
mation” (informasi verbal); “motor skill” (kemampuan bergerak); dan “attitude” (sikap).
Untuk mencapai hasil belajar ini, maka diperlukan strategi belajar yang efektif, kreatif dan
stimulus yang kreatif pula.
Prinsip-Prinsip Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behaviorisme adalah teori yang menekankan pada stimulus-stimulus
yang harus diberikan kepada organisme demi memperoleh respon. Artinya, belajar perlu
rangsangan dari dosen sehingga timbul respon dari mahasiswa sebagai subyek pembela-
jaran. Pada teori behavioristik seorang dianggap belajar jika terjadi perubahan tingkah laku
3
Suprihatiningrum, Strategi Pembelajaran, 20.
4
Ibid., 21.
5
Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik (Yogyakarta: Algensindo,
2012), 12-13.

Copyright © 2020, DIDAKTIKOS, e-ISSN 2621-2110 | 53


Arozatulo Telaumbanua: Teori Belajar Behavioristik dalam Meningkatkan…

dari tidak bisa menjadi bisa. Faktor teori ini adalah penguatan, di mana semakin kuat dosen
memberikan stimulus (rangsangan) maka respon yang diberikan semakin baik.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik dapat diuraikan satu per satu
sebagai berikut: (1) Reinforcement and punishment (penguatan dan hukuman); (2) Primary
and secondary reinforcement (penguatan primer dan sekunder); (3) Schedules of reinforce-
ment (rancangan penguatan); (4) Contingency management (manajemen kontingensi); (5)
Stimulus control in operant learning; (6) The elimination of respons.” Selain itu, menurut
Ratna Wilis Dahar mengatakan bahwa prinsip-prinsip belajar perilaku terdiri atas tiga yaitu
konsekuensi-konsekuensi, kesegaran konsekuensi dan pembentukan.6 Untuk lebih jelas
penulis jelaskan satu per satu sebagai berikut:
Konsekuensi-konsekuensi
Prinsip yang paling penting pada teori-teori perilaku ialah perilaku berubah menurut
konsekuensi langsung. Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan “memperkuat”
perilaku, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan “melemahkan”
perilaku. Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan pada umumnya disebut reinforser
atau penguat, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut
hukuman.
Kesegaran (Immediacy) Konsekuensi
Prinsip kesegaran konsekuensi ini artinya di dalam kelas. Khususnya bagi
mahasiswa, pujian yang diberikan segera setelah anak itu melakukan suatu pekerjaan
dengan baik, dapat menjadi suatu reinforser yang lebih kuat dari pada angka yang
diberikan kemudian.
Pembentukan (Shaping)
Istilah pembentukan atau shaping digunakan dalam teori belajar perilaku saat
mengajarkan keterampilan baru atau perilaku dengan memberikan reinforcement pada pada
mahasiswa dalam mendekati perilaku akhir yang diinginkan.
Aplikasi Teori Belajar Behavioristik Dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan
teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila dibe-
rikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa
hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pelajar, media Dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang
yang belajar atau mahasiswa.

6
Ratna Wilis Dahar, Teori-teori Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Erlangga, 2001), 20-22.

Copyright © 2020, DIDAKTIKOS, e-ISSN 2621-2110 | 54


DIDAKTIKOS: Jurnal Pendidikan Agama Kristen, Volume 3, No 1 (Juni 2020)

Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada
melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan
dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang dia-
jarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau dosen itulah yang harus dipahami
oleh mahasiswa.
Demikian halnya dalam pembelajaran, Mahasiswa dianggap sebagai objek pasif yang
selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh mahasiswa. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar mengajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga
hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang mem-
berikan ruang gerak yang bebas bagi mahasiswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti
kinerja mesin atau robot. Akibatnya mahasiswa kurang mampu untuk berkembang sesuai
dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka mahasiswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan
yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi
sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan pene-
gakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dika-
tegorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan
pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Mahasiswa adalah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang
berada di luar diri mahasiswa.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut mahasiswa
untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan,
kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang
terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengung-
kapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan
pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila mahasiswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan dosen, hal
ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar
dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan
setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan
pebelajar secara individual.

Copyright © 2020, DIDAKTIKOS, e-ISSN 2621-2110 | 55


Arozatulo Telaumbanua: Teori Belajar Behavioristik dalam Meningkatkan…

Langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik yang dike-


mukakan oleh Siciati dan Prasetia Irawan (2001) dapat digunakan dalam merancang
pembelajaran. Langkah-langkah tersebut meliputi: Menentukan tujuan-tujaun pembelaja-
ran; Menganalisis lingkungan kelas yang ada; Menentukan materi pembelajaran; Memecah
materi pelajaran menjadi kecil-kecil; Menyajikan materi pelajran; Memberikan stimulus;
Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan mahasiswa; Memberikan penguatan (pe-
nguatan positif ataupun penguatan negatif), ataupun hukuman; Memberikan stimulus baru;
Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan mahasiswa; Memberikan penguatan lan-
jutan atau hukuman; Demikian seterusnya; Evaluasi hasil belajar.7
Dalam penerapan teori belajar ini, diharapkan dosen mampu menerapkannya dengan
baik sesuai dengan kemampuan, situasi dan kondisi lingkungan dan sarana belajar. Sebab
jika tidak demikian, maka proses pembelajaran akan menjadi masalah bagi mahasiswa itu
sendiri sehingga hasil belajar dalam kaitannya dengan memahami materi perkuliahan tidak
menjadi maksimal.
Dampak Teori Behavioristik Terhadap Pembelajaran
Kalau teori belajar behavioristik ini diterapkan dalam proses pembelajaran, maka
dapat dikatakan memberikan dampak yang cukup memuaskan terhadap hasil belajar para
mahasiswa. Mengapa? Mahasiswa membutuhkan semangat, motivasi dan dorongan dari
sang dosen sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam semboyannya
bahwa Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, yang
artinya di depan dosen memberikan contoh, di tengah dosen memberi semangat (dorongan)
dan di belakang dosen memberi pengaruh. Dengan menerapkan teori belajar behavioristik
membutuhkan kemampuan dari sang dosen. Suyono dan Hariyanto mengatakan, “dalam
proses belajar mengajar siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan
motivasi dan penguatan dari pengajar.”8
Lalu, apa yang menjadi dampak dari penerapan teori behavioristik ini? Menurut
analisis penulis, maka dihasilkan beberapa hal. Pertama, mahasiswa selalu semangat dan
antusias dalam menerima materi pembelajaran atau perkuliahan. Kedua, mahasiswa selalu
bersaing dalam memahami dan menyimak materi pembelajaran. Ketiga, memberikan dam-
pak pada nilai akademik mereka seperti prestasi dan perubahan tingkah laku. H. Abin
Syamsuddin Makmun mengatakan “deksripsi fungsi-fungsi kognitif secara kuantitatif
dapat dikembangkan berdasarkan hasil laporan berbagai studi pengukuran dengan meng-
gunakan tes inteligensi sebagai alat ukurnya yang dilakukan secara longitudinal.”9 Namun
harus diakui bahwa teori behavioristik ini relatif sederhana dan mudah dipahami karena
hanya berkisar sekitar perilaku yang diamati dan dapat menggambarkan beberapa macam
hukum perilaku seperti yang telah dijelaskan di atas. Jadi, teori belajar behavioristik ini
sering diterapkan oleh dosen di kelas agar para pelajar memiliki semangat dan motivasi
dalam menerima materi perkuliahan yang disampaikan oleh para dosen atau dosen.

7
Prasetya, Irawan, and Wardani Suciati. "Teori Belajar Motivasi dan Keterampilan mengajar." Pusat
antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktifitas Instruksional Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (2000).
8
Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), 70.
9
H. Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), 101.

Copyright © 2020, DIDAKTIKOS, e-ISSN 2621-2110 | 56


DIDAKTIKOS: Jurnal Pendidikan Agama Kristen, Volume 3, No 1 (Juni 2020)

METODE
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan penulis adalah metode deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang di dalamnya menyangkut pengumpulan data.
Hasil dari pengumpulan data dari penelitian tersebut akan memberikan suatu kesimpulan,
sesuai dengan hipotesa atau anggapan teori dalam penulisan ini. Masri Singarimbun
berkata “penelitian deskriptif termasuk penelitian survei, yang artinya mengambil sampel
dari suatu populasi dam menggunakan koesioner sebagai pengumpulan data pokok.”10
Metode deskriptif inilah yang digunakan penulis untuk mendeskripsikan fenomena-
fenomena yang berhubungan dengan Pengaruh teori belajar behavioristik terhadap
kemampuan mahasiswa merespon materi perkuliahan di Sekolah Tinggi Teologi Anugerah
Misi Nias Barat. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa semester VI Program Studi
Pendidikan Agama Kristen, Sekolah Tinggi Teologi Anugerah Misi Nias Barat yang
berjumlah 15.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari penyebaran angket yang telah dilakukan oleh peneliti kepada 15 orang
responden yang terpilih sebagai sampel dalam penelitian, maka diperoleh hasil sebagai-
mana disajikan dalam tabel-tabel di bawah ini.

Tabel 1: Teori Belajar Behavioristik Mampu Mempengaruhi Minat Belajar Mahasiswa

Item Pilihan Jawaban Jumlah Persentase


3 Setuju 12 80%
2 Ragu-Ragu 2 13,3%
1 Tidak Setuju 1 6,7%
Jumlah 15 100
Berdasarkan hasil tabel di atas dapat dilihat bahwa ada 80% responden yang menjawab
setuju, 13,3% yang menjawab ragu-ragu dan 6,7% yang menjawab tidak setuju. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa teori belajar behavioristik mampu mempengaruhi minat
belajar mahasiswa.

Tabel 2: Teori Belajar Behavioristik Dapat Meningkatkan Semangat Belajar Mahasiswa


Item Pilihan Jawaban Jumlah Presentase
3 Sangat Setuju 10 66,6%
2 Ragu-ragu 4 26,7%
1 Tidak Setuju 1 6,7%
Jumlah 15 100

Berdasarkan hasil tabel di atas dapat dilihat bahwa ada 66,6% responden yang
menjawab sangat setuju, 26,7% yang menjawab ragu-ragu dan 6,7% yang menjawab tidak
setuju. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori belajar behavioristik dapat
meningkatkan semangat belajar mahasiswa.

10
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey (Jakarta: PT Pustaka Indonesia, 1984), 4.

Copyright © 2020, DIDAKTIKOS, e-ISSN 2621-2110 | 57


Arozatulo Telaumbanua: Teori Belajar Behavioristik dalam Meningkatkan…

Tabel 3: Teori Belajar Behavioristik Mempengaruhi Prestasi Mahasiswa Secara Maksimal


Item Pilihan Jawaban Jumlah Presentase
3 Setuju 11 73,4%
2 Ragu-ragu 2 13,3%
1 Tidak Setuju 2 13,3%
Jumlah 15 100

Berdasarkan hasil tabel di atas dapat dilihat bahwa ada 73,4% responden yang
menjawab setuju, 13,3% yang menjawab ragu-ragu dan 13,3% yang menjawab tidak
setuju. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan menerapkan teori belajar
behavioristik, maka prestasi mahasiswa dapat maksimal.
Tabel 4: Mahasiswa Sangat Senang dengan Teori Belajar Behavioristik
Item Pilihan Jawaban Jumlah Presentase
3 Setuju 10 66,7%
2 Ragu-ragu 3 20%
1 Tidak Setuju 2 13,3%
Jumlah 15 100

Berdasarkan hasil tabel di atas dapat dilihat bahwa ada 66,7% responden yang men-
jawab setuju, 20% yang menjawab ragu-ragu dan 13,3% yang menjawab tidak setuju.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mahasiswa sangat senang dengan teori belajar
behavioristik.
Tabel 5: Kegiatan Pembelajaran Harus Ada Stimulus (Rangsangan)
Item Pilihan Jawaban Jumlah Presentase

3 Sangat Setuju 13 86,7%


2 Ragu-ragu 1 6,6%
1 Tidak Setuju 1 6,6%
Jumlah 15 100

Berdasarkan hasil tabel di atas dapat dilihat bahwa ada 86,7% responden yang men-
jawab sangat setuju, 6,6% yang menjawab ragu-ragu dan 6,6% yang menjawab tidak setu-
ju. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kegiatan pembelajaran harus ada stimulus
(rangsangan).
Tabel 6: Presentase Hasil Data Angket
Daftar Jawaban A Jawaban B Jawaban B Jumlah
Pertanyaan (3) (2) (1)
R % R % R % R %
1 12 80 2 13,3 1 6,7 15 100
2 10 66,6 4 26,7 1 6,7 15 100
3 11 73,4 2 13,3 2 13,3 15 100
4 10 66,7 3 20 2 13,3 15 100
5 13 86,7 1 6,6 1 6,6 15 100
Jumlah 56 373,4 12 79,9 7 46,6 75 500

Setelah melihat hasil data di atas, maka penulis akan mencatumkan hasil rekapan
untuk seluruh pertanyaan, yaitu:
Pertama, pada jawaban kategori sangat setuju dan setuju (3) ada 56 jumlah kese-
luruhan jawaban responden. Dan hal tersebut sebanding dengan (56:75x100%) = 74,7%.

Copyright © 2020, DIDAKTIKOS, e-ISSN 2621-2110 | 58


DIDAKTIKOS: Jurnal Pendidikan Agama Kristen, Volume 3, No 1 (Juni 2020)

Kedua, pada jawaban kategori ragu-ragu (2) ada 12 jumlah keseluruhan jawaban res-
ponden. Dan hal ini sebanding dengan (12:75x100%) = 16%.
Ketiga, pada jawaban kategori tidak setuju ada 7 jumlah keseluruhan jawaban res-
ponden. Dan hal ini sebanding dengan (7:75x100%) = 9,3%.
Pada hasil rekapan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kategori sangat setuju dan setuju
bernilai 74,7%, kategori ragu-ragu bernilai 16% dan kategori tidak setuju bernilai 9,3%.
Dengan demikian, terlihat bahwa sebagian besar responden sangat setuju dan setuju bahwa
teori belajar behavioristik dapat mempengaruhi kemampuan mahasiswa merespon materi
perkuliahan.

KESIMPULAN
Dalam kegiatan pembelajaran diharapkan pembelajaran yang efektif, kreatif dan
menyenangkan. Sebab dengan adanya pembelajaran yang demikian, maka semangat dan
motivasi mahasiswa merespon materi perkuliahan dapat terjadi. Oleh karena itu, dosen
Pendidikan Agama Kristen harus mampu menerapkan teori dan metode yang dapat me-
rangsang para mahasiswa dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa
kategori sangat setuju dan setuju bernilai 74,7%, kategori ragu-ragu bernilai 16% dan
kategori tidak setuju bernilai 9,3%. Dengan demikian, terlihat bahwa sebagian besar
responden sangat setuju dan setuju bahwa teori belajar behavioristik dapat mempengaruhi
kemampuan mahasiswa merespon materi perkuliahan. Sesuai hasil tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa teori belajar behavioristik mampu mempengaruhi responsif mahasiswa
terhadap materi perkuliahan yang disampaikan oleh dosen.

REFERENSI
Dahar, Ratna Wilis, Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga, 2001.
Nasution, S., Dasar-Dasar Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta, 2012.
Prasetya, Irawan, and Wardani Suciati. "Teori Belajar Motivasi dan Keterampilan
mengajar." Pusat antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktifitas
Instruksional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (2000).Singarimbun, Masri, Metode Penelitian Survey. Jakarta: PT
Pustaka 4 Desember Indonesia, 1984.
Suprihatiningrum, Jamil, Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014.
Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017.
Susanti, Lidia. "Strategi Pembelajaran Berbasis Motivasi." Jakarta: Alex Media
Komputindo (2020).
Syamsuddin Makmun, H. Abin, Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2017.
Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Yogyakarta:
Algensindo, 2012.

Copyright © 2020, DIDAKTIKOS, e-ISSN 2621-2110 | 59

Anda mungkin juga menyukai