Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PERPAJAKAN INTERNASIONAL

PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (TAX


TREATY) ORANG PRIBADI DAN BADAN DI INDONESIA

Oleh :
Maya Arieska
NPM 18755019

PROGRAM STUDI AKUNTANSI PERPAJAKAN


JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS
POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah berjudul
“Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) Orang Pribadi dan Badan
Di Indonesia” dengan baik dan tepat pada waktunya.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan


Internasional di Jurusan Ekonomi dan Bisnis Program Studi Akuntansi Perpajakan
Politeknik Negeri Lampung.

Penyusun mengucapkan terimakasih kepada Ibu Depita Anggraini selaku


dosen mata kuliah perpajakan internasional yang telah memberikan tugas membuat
makalah, dengan pembuatan makalah ini penyusun menjadi memperoleh banyak
ilmu pengetahuan mengenai perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty)
orang pribadi dan badan di Indonesia.

Penyusun berharap semoga makalah ini dapat menambah ilmu dan


pengetahuan bagi pembaca. Penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini
masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, oleh sebab itu penyusun berharap
kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 12 April 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii


DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN .......................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................2
1.3. Tujuan Penyusunan ..........................................................................................2
II. PEMBAHASAN .........................................................................................................3
2.1. Pengertian Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ........................................3
2.2 Sumber Hukum Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ................................4
2.3. Penerapan Tax Treaty Di Indonesia ..................................................................4
2.4. Cara Menghindari Pajak Berganda Internasional ..............................................9
2.5. Contoh Pembahasan Kasus Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ............. 10
III. PENUTUP .............................................................................................................. 21
3.1. Kesimpulan.................................................................................................... 21
3.2. Saran ............................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 22

iii
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani
perjanjian penghindaran pajak berganda (Tax Treaty) sejak tahun 1970. Indonesia
menandatangani perjanjian dengan empat negara lainnya diantaranya Kanada,
Inggris, Belgia, dan Belanda. Perbedaan kebijakan antar negara tentang penerapan
pengambilan pajak mengharuskan adanya perjanjian antar negara, sehingga
pengambilan pajak dapat dilakukan dengan lebih efisien. Selain mengingat adanya
efisiensi yang ditimbulkan dari perjanjian antar negara perjanjian juga membuat
pungutan pajak menjadi lebih adil dan menghindari adanya pemungutan pajak
secara berganda. Perjanjian tersebut disebut Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda atau lebih dikenal dengan sebutan Tax Treaty.

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda muncul karena adanya benturan


jurisdiksi perpajakan antara negara-negara yang punya modal (capital exporting
countries) dan negara-negara yang mem-butuhkan modal (capital importing
countries). Kedua negara tersebut melakukan hubungan ekonomi yang tidak
terlepas dari aspek perpajakan. Akibat dari benturan ini, pengenaan pajak tidak
dilakukan sama sekali di dua negara (tax evasion), atau bahkan dikenakan dua kali
di masing-masing negara tersebut (double taxation). Untuk menghindari kedua efek
tersebut, diperlukan adanya pengaturan-pengaturan antara kedua negara yang
melakukan hubungan ekonomi. Pengaturan-pengaturan tersebut selanjutnya
tertuang di dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Dengan adanya
perjanjian ini diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian hukum yang adil
mengingat pengambilan pajak hanya dilakukan satu kali yaitu dinegara domisili.
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda mengatur adanya pemajakan yang setara
antar kedua negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan
penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang
mengadakan Tax Treaty tidak boleh sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.
Perjanjian penghindaran pajak berganda ini menjadi salah satu sumber hukum yang
digunakan dalam setiap transaksi. Aspek perpajakannya ditetapkan berdasarkan

1
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian penghindaran pajak berganda
yang bersangkutan sesuai jenis transaksinya. Setiap negara yang terlibat dapat
menyusun tax treaty-nya sendiri berdasarkan model perjanjian yang diakui secara
internasional.

Penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan


subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda. Artinya, hanya negara yang memiliki perjanjian
dapat memanfaatkan tarif khusus ini. Negara lain di luar perjanjian penghindaran
pajak dengan Indonesia tidak dapat memanfaatkannya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ?
2. Bagaimana Penerapan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda di Indonesia
?
3. Apasaja metode penyelesaian yang digunakan dalam kasus Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda orang pribadi maupun badan di Indonesia?
4. Apasaja contoh kasus yang terjadi terkait Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda di Indonesia baik orang pribadi maupun badan ?
1.3. Tujuan Penyusunan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda.
2. Mengetahui bagaimana penerapan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
di Indonesia.
3. Mengetahui apasaja metode penyelesaian yang dilakukan Indonesia dalam
menangani kasus Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda orang pribadi
maupun badan.
4. Mengetahui beberapa contoh kasus terkait dengan Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda orang pribadi maupun badan yang ada di Indonesia.

2
II. PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda


Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) adalah perjanjian
internasional di bidang perpajakan antar kedua negara yang mengatur persetujuan
pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penduduk
salah satu negara atau penduduk kedua negara. Pembagian hak tersebut diatur
dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak
berganda. Adanya perjanjian penghindaran pajak berganda ini menjadikan
pengenaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat, yaitu
negara sumber atau negara domisili. Jadi, laba usaha dikenakan pajak di tempat
mereka berkedudukan. Harapannya, dunia usaha bisa mendapatkan kepastian
hukum karena membayar pajak hanya dikenakan pada satu kali, yaitu di negara
domisili.
Perjanian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) merupakan
kesepakatan antara dua negara untuk memodifikasi peraturan perundang-undangan
perpajakannya masing-masing. Berdasarkan Vienna Convention on the Law of
Treaties. Bahwa pengertian tax treaty adalah sebuah kesepakatan internasional yang
diberlakukan antar negara secara tertulis dan diatur sesuai hukum internasional baik
berupa instrumen tunggal maupun berupa desain spesifik. Biasanya yang
dimodifikasi adalah ketentuan mengenai pajak atas penghasilan saja. Jadi, pajak-
pajak lainnya, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang
Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan, dan bea materai, tidak diatur dalam
Tax Treaty.
Tax Treaty mempunyai dua tujuan utama, yaitu memfasilitasi perdagangan
internasional dan arus investasi antar negara, antara lain dengan cara
menghindarkan adanya pengenaan pajak berganda dan memberikan pengurangan
tarif pajak di negara sumber atas beberapa bentuk penghasilan tertentu. Kedua,
merupakan alat bagi kedua Contracting States (negara yang menandatangani Tax
Treaty) untuk lebih dapat menerapkan aturan-aturan domestiknya sehingga dapat
mengurangi adanya praktik pengelakan pajak, misalnya dengan memungkinkan

3
masing-masing Contracting States untuk saling bertukar informasi, konsultasi
bersama, atau mengadakan Mutual Agreement.

2.2 Sumber Hukum Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda


Sumber hukum Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) diatur
dalam Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 (UU PPh). Kedudukan Tax Treaty berdasarkan ketentuan ini adalah
lex specialist terhadap undang-undang domestik. Dengan demikian, jika ada
ketentuan dalam undang-undang domestik bertentangan dengan ketentuan dalam
Tax Treaty maka yang dimenangkan adalah ketentuan Tax Treaty. Sementara itu,
proses pembentukan Tax Treaty seperti proses pendekatan, perundingan, ratifikasi
serta pemberlakuannya tunduk kepada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional.
Beberapa ketentuan pelaksanaan terkait pelaksanaan atau penerapan P3B ini antara
lain sebagai berikut :
1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 tanggal 30 April
2010 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2010 tanggal 30 April
2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda
3. Surat Edraan Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-51/PJ/2009 tanggal 25 Mei
2009 tentang Pelaksanaan Permintaan Informasi ke Luar Negeri dalam rangka
Pencegahan Penghindaran dan Pengelakan Pajak

2.3. Penerapan Tax Treaty Di Indonesia


Tax Treaty sebagai perjanjian pajak antar dua negara digagas pertama kali
oleh pihak kolonial Belanda. Tepatnya sekitar tahun 1934 saat perekonomian
Indonesia dikuasai oleh perusahaan dagang, Hindia Belanda. Selanjutnya, pada
sekitar tahun 1970, pemerintah Indonesia menyetujui kesepakatan Tax Treaty antar

4
beberapa negara, selain Belanda. Yaitu Belgia, Inggris, dan Kanada. Seiring waktu,
saat ini Indonesia telah memiliki Tax Treaty dengan 65 negara berbeda.

Menurut Pasal 4 ayat ke-1 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda


Indonesia, subjek pajak yang dikenakan tax treaty bisa orang atau badan.
Berdasarkan perundang-undangan suatu negara, setiap orang maupun badan bisa
dikenakan pajak sesuai aturan negara itu. Dasarnya antara lain :

 Di mana tempat tinggal atau domisilinya


 Di mana tempat asal atau negara sumbernya
 Di mana tempat posisi perusahaan / pekerjaannya
Sedangkan, pengertian subjek pajak dalam negeri di Indonesia, sesuai Pasal
2 ayat 3 UU Pajak Penghasilan, yaitu orang pribadi yang :

 Berdomisili di Indonesia
 Tinggal di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan
 Selama suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk berdomisili di Indonesia;
 Badan yang didirikan ada di Indonesia;
 Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan
yang berhak.
 Permasalahan tentang Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
1. Transfer Pricing
Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan
dengan hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal
ini dapat dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari
harga pasar, membiayakan biaya lebih besar dari harga yang wajar, kapitalisasi
tipis (memperbesar utang dengan beban bunga untuk mengurangi laba).
2. Treaty Shopping
Perjanjian Fasilitas pajak justru bukannya menghindarkan pajak
berganda namun memberi kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan
pajak dimana-mana. Misalnya: Investasi SBI di bursa singapura dibebaskan
pajak. Perjanjian Belanja diredam dengan ketentuan pemilik manfaat

5
(penerima manfaat) dalam perjanjian pajak (P3B) baik yang memakai model
OECD maupun PBB sehingga perjanjian pajak berlaku bila penerima manfaat
yang sebenarnya adalah residen di negara yang hanya perjanjian pajak.
3. Tax Heaven Countries
Negara-negara yang memberikan keringanan pajak secara agresif
seperti tarif pajak rendah, pengawasan pajak longgar telah membuat
penerimaan pajak dari negara-negara berkembang merosot tajam. Negara tax
heaven yang termasuk dalam KMK No.650/KMK04/1994 antara lain
Argentina, Bahrain, Saudi Arabia, Mauritius, Hongkong, Caymand Island, dll.
Saat ini negara tax heaven sedang dimusuhi dunia internasional, pengawasan
tax avoidance (penghindaran pajak) di negara-negara tersebut sedang gencar-
gencarnya. Berinvestasi di negara tax heaven beresiko besar terkena koreksi
UU PPh Pasal 18. Lebih baik berinvestasi pada negara dengan tax treaty.

2.4. Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda


Setiap negara yang terlibat dapat menyusun Tax Treaty nya sendiri
berdasarkan model perjanjian yang diakui secara internasional. Ada dua model
utama perjanjian penghindaran pajak berganda yang digunakan sebagai acuan.
1. Model OECD
OECD merupakan singkatan dari Organization for Economic Cooperation
and Development, dengan anggota yang terdiri dari 26 negara. Perjanjian model
OECD ini disusun dan dikembangkan oleh komite yang dibentuk oleh negara-
negara OECD khusus untuk memecahkan masalah-masalah perpajakan yang
dihadapi kumpulan negara tersebut. Model OECD dalam tax treaty ini bertujuan
untuk meningkatkan perdagangan antara negara-negara yang menandatangani P3B
dengan cara menghilangan pajak berganda secara Internasional. Pada model ini,
hak pemajakan diusahakan lebih banyak pada negara domisili. Karena itu,
perumusan definisi dalam model ini umumnya lebih sempit ketimbang model tax
treaty lainnya.
2. Model UN
Model UN memiliki tujuan tax treaty yang lebih luas, yaitu meningkatkan
investasi asing, serta sebagai alat untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial dari

6
negara-negara berkembang. Berdasarkan tujuan ini, Model UN menginginkan hak
pemajakan lebih banyak di negara berpenghasilan sehingga pada perumusan pasal-
pasal, definisinya lebih luas ketimbang model OECD.
 Syarat Pemanfaatan Tax Treaty
Berdasarkan PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda, pemungut / pemotong pajak dapat memungut /
memotong pajak sesuai dengan ketentuan dalam P3B dengan syarat sebagai
berikut:
1. Terdapat perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam UU PPh dan
ketentuan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda.
Pada umumnya, tarif Tax Treaty dibuat lebih kecil daripada tarif aturan
domestik. Untuk memanfaatkan tarif ini, subjek pajak luar negeri (SPLN) harus
menunjukkan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence.
2. Penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia.
Jika penerima penghasilan merupakan subjek pajak dalam negeri, akan
dikenakan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23, atau Pasal 4 ayat 2. Sedangkan
menurut undang-undang yang berlaku, pemotongan PPh untuk subjek pajak luar
negeri adalah PPh 26 sebesar 20%. Namun, pemberi penghasilan di Indonesia
boleh tidak menggunakan pasal tersebut, tetapi menggunakan perjanjian
penghindaran pajak berganda ini. Penerima penghasilan merupakan orang
pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra
atau yurisdiksi mitra perjanjian penghindaran pajak berganda. Artinya, hanya
negara yang memiliki perjanjian dapat memanfaatkan tarif khusus ini. Negara
lain di luar perjanjian penghindaran pajak dengan Indonesia tidak dapat
memanfaatkannya.
3. Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) menyampaikan Surat Keterangan
Domisili WPLN yang memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan
tertentu.
Untuk memanfaatkan tarif perjanjian penghindaran pajak berganda ini, SPLN
perlu memperlihatkan SKD yang telah memenuhi persyaratan lainnya, seperti
menggunakan Form DGT. Ini adalah formulir yang diisi oleh SPLN yang telah
menyelesaikan double taxation convention (DTC) dengan Indonesia. Formulir

7
ini wajib dilengkapi dengan benar dan ditandatangani, serta disertifikasi oleh
pihak berwenang yang sah atau kantor pajak resmi di negara penerimaan
penghasilan sebelum diserahkan ke kustodian Indonesia. Selengkapnya tentang
Formulir DGT dapat Anda baca di artikel berikut, “Form DGT 1: Fungsi,
Ketetapan Pengisian, dan Dasar Hukumnya”.
4. Tidak terjadi penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda
Ada batasan agar pemanfaatan perjanjian penghindaran pajak berganda tidak
disalahgunakan oleh WPLN, di antaranya :
 Substansi ekonomi dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi.
 Bentuk hukum yang sama dengan substansi ekonomi dalam pendirian entitas
atau pelaksanaan transaksi.
 Kegiatan usaha yang dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen
tersebur mempunyai kewenangan yang cukup untuk melakukan transaksi.
 Pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian serta
keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan
perusahaan.
 Kegiatan atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen,
bunga, dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia.
5. Penerima penghasilan merupakan beneficial owner dalam hal
dipersyaratkan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda
Masih menurut peraturan yang sama, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
agar WPLN dianggap sebagai beneficial owner. Bagi WPLN orang pribadi, tidak
bertindak sebagai Agen atau Nominee. Sedangkan Bagi WPLN badan, tidak
bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit. Persyaratan WPLN badan ini
agar dianggap sebagai beneficial owner adalah :
 Mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak
yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia
 Penghasilan badan yang digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak
lain tidak lebih dari 50%. Penghasilan badan yang dimaksud di sini adalah
seluruh penghasilan WPLN dengan nama dan dalam bentuk apapun serta dari
sumber manapun, sesuai dengan laporan keuangan non-konsolidasi WPLN.

8
 Menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki dan tidak
mempunyai kewajiban (tertulis maupun tidak tertulis) untuk meneruskan
sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak
lain.

2.4. Cara Menghindari Pajak Berganda Internasional


Ada dua cara untuk menghindari pajak berganda internasional, yaitu dengan
cara sebagai berikut :

1. Cara Unilateral
Cara ini dilakukan dengan memasukkan ketentuan untuk menghindari pajak
berganda dalam UU suatu negara dengan prosedur yang jelas. Penggunaan cara ini
merupakan wujud kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri masalah
pemungutan pajak dalam suatu UU. Secara unilateral melalui UU pajak dan aturan
pelaksanaannya caranya :
a. Mengecualikan seseorang/badan sebagai subjek pajak.
b. Mengecualikan suatu penghasilan sbg objek pajak.
c. Menerapkan metode penhilangan pajak berganda (deduksi, pembebasan,
kredit).
d. Membetulkan ketetapan pajak yang menimbulkan pajak berganda.
e. Mengembalikan pajak yang seharusnya tidak terutang.
Kelemahan Cara Unilateral adalah Hanya melindungi SPDN, apabila terjadi dual
residence ketentuan domestiklah yang menimbulkan DT.
2. Cara Bilateral atau Multilateral.
Cara Bilateral atau Multilateral dilakukan melalui suatu perundingan antar
negara yang berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda.
Perjanjian yang dilakukan secara bilateral oleh dua negara, sedangkan multelateral
dilakukan oleh lebih dari dua negara, yang lebih dikenal dengan sebutan traktat atau
tax treaty.
Proses terjadinya perjanjian secara bilateral maupun multilateral tentu akan
membutuhkan waktu yang cukup lama karena masing-masing negara mempunyai
prinsip pemajakannya masing-masing sesuai dengan kedaulatan negaranya sendiri.
Secara Bilateral / Multilateral melalui Tax Treaty caranya :

9
1. Menyelesaikan dual residence dengan menyediakan Tie Break Rule.
2. Membagi hak pemajakan atas penghasilan.
3. Koresponding adjustment dalam kasus transfer pricing.

2.5. Contoh Pembahasan Kasus Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda


 ORANG PRIBADI
Kasus
David Beckham Beramal Untuk Mengucapkan Pajak
Oleh : Irvan Ali Fauzi Bola - Selasa, 5 Februari 2013 | 14:04 WIB
Isu tak sedap menyeruak bersamaan dengan langkah David
Beckham ke Paris Saint - Germain. Beckham dituduh menghindari pajak
yang membebaninya sebagai pekerja di Prancis. Beckham resmi bergabung
dengan PSG Jumat (12/2013) akhir pekan lalu dengan kontrak berdurasi
lima bulan. Mantan bintang Manchester United dan Real Madrid itu
kemudian menghibahkan semua gaji yang diterimanya dan PSG sebesar 800
ribu Euro (sekitar 10 miliar Rupiah) per bulan untuk sebuah panti asuhan.
Niat baik ini justru menimbulkan prasangka. Presiden Prancis. Francois
Hollande, menetapkan pajak sebesar 75 persen bagi seseorang yang tinggal
di negaranya dengan tahap lebih dari 1 juta Euro atau sekitar 3 miliar Rupiah
per tahun, baik yang didapat dengan bekerja di Prancis maupun yang berasal
dari luar Prancis.
Definisi menetap sendiri menurut hukum Prancis adalah orang yang
tinggal di negeri asal Napoloon itu selama minimal enam bulan.
Sepak bola saat ini bukan sekedar olahraga. Tetapi sudah menjadi industri
hiburan dan bisnis dengan perputaran uang yang menggiurkan. Jumlah
pertandingan yang lebih banyak, siaran televisi yang lebih sering dan
sponsor yang melimpah, membuat sepak bola menjadi industri yang
bergelimang uang.
Untuk menghindari ini. Beckham hanya mengikat kontrak selama
lima bulan bersana PSG. Tak hanya itu sang istri Victoria serta anak-
anaknya tetap tinggal di London sehingga Becks bisa memegang KIP
London. Selain itu, gajinya di PSG dapat mengalirkan ke badan amal Paris

10
tanpa lebih dulu mampir ke rekeningnya. Dengan demikian, Beckham bisa
membuktikan bahwa ia benar-benar tidak 'cari untung' di Prancis. Beckham
lebih baik memilih mengorbankan 4 juta Euro selama lima bulan di PSG
daripada penghasilan totalnya, yang tahun lalu mencapai 30 juta Euro
(390,5 miliar Rupiah) per tahun dibebani pajak hingga 22,5 juta Euro (292
miliar). Kebijakan sang presiden ini dikecam perdana menteri Prancis,
Gerald Darmanin. Menurutnya niat pemerintah untuk meraup pemasukan
justru akan membuat sumber-sumber pemasukan dari sektor pajak mereka
menjauh. "Saya lebih suka menarik 50 persen dari banyak wajib pajak,
daripada 75 persen dari tak satupun orang," keluhnya. Total kekayaan
pemain berusia 37 tahun itu mencapai 234,6 juta euro atau sekitar 3 triliun
rupiah.

 BADAN
Kasus 1
KASUS PADA PT. TOYOTA
Direktorat Jenderal Pajak mencurigai adanya praktik transfer pricing
yang dilakukan oleh PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN)
setelah secara simultan melakukan pemeriksaan terhadapsurat
pemberitahuan pajak tahunan (SPT) PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia pada tahun 2005. Selain itu, perhitungan dan penyampaian pajak
pada tahun 2007 dan 2008 juga tidak luput dari pemeriksaan oleh Direktorat
Jenderal Pajak. Permeriksaan ini dilakukan karena Toyota merasa bahwa
pada tahun tersebut mereka kelebihan dalam membayar pajak, sehingga
meminta negara untuk mengembalikan kelebihan pembayaran pajaknya
tersebut (restitusi). Berdasarkan pemeriksaan pada SPT tahun 2005,
ditemukan sejumlah kejanggalan, yakni turunnya laba bruto lebih dari 30
persen, dari sebelumnya Rp.1,5 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp.950
miliar pada tahun 2004. Selain itu, rasio gross margin atau perimbangan
antara laba kotor dengan tingkat penjualan juga menurun dari 14,59 persen
pada tahun 2003 menjadi hanya 6,58 persen di tahun 2004.

11
Pada pertengahan tahun 2003, Astra menjual sebagian besar
sahamnya di Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang.
Alasan penjualan saham tersebut adalah, Astra mempunyai utang jatuh
tempo yang tidak bisa ditangguhkan lagi. Sehingga saat ini, Toyota Motor
Corporation Jepang menguasai 95 persen saham Toyota Astra Motor. Nama
perusahaan berubah menjadi Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN). Untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra
dan Toyota Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan
agen tunggal pemegang merek (ATPM) dengan nama lama,Toyota Astra
Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi pemegang saham
mayoritas dengan menguasai 51 persen saham. Sisanya milik Toyota Motor
Corporation Jepang. Setelah restrukturisasi pada tahun 2003 itulah, laba
gabungan kedua perusahaan Toyota anjlok. Melorotnya keuntungan Toyota
membuat setoran pajaknya pada pemerintah juga berkurang. Sebelumnya,
perusahaan ini bisa membayar pajak sampai setengah triliun rupiah. Pada
2004, pasca-restrukturisasi, dua perusahaan Toyota (TMMIN dan TAM)
hanya membayar pajak Rp 168 miliar.Anehnya meski laba turun, omzet
produksi dan penjualan singapura.
Adapun rincian beberapa penjualan kepada PT. Toyota Asia Pasific
yang berlokasi di singapura adalah sebagai berikut :
 Penjualan mobil fortuner dari PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia (TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di
Singapura dengan harga penjualan 3,49 persen dibawah COGS.
 Penjualan mobil inova diesel dari PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia (TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di
Singapura dengan harga penjualan 1,73 persen dibawah COGS.
 Penjualan mobil inova bensin dari PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia (TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di
Singapura dengan harga penjualan 5,14 persen dibawah COGS.
 Penjualan mobil rush dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura
denganharga penjualan 1,15 persen diatas COGS.

12
 Penjualan mobil terios dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura
dengan harga penjualan 2,69 persen diatas COGS.
Sudah merupakan hal yang lazim dilakukan oleh perusahaan multinasional
seperti Toyota, bahwa praktik transfer pricing digunakan untuk
meminimalkan pembayaran pajak mereka. Dengan memanfaatkan celah-
celah peraturan yang ada, yakni dengan cara memindahkan keuntungan ke
perusahaan terafiliasi yang berada di luar negeri, tentunya dengan tarif pajak
yang lebih rendah. Skema penjualan PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia (TMMIN) ke luar negeri adalah sebagai berikut :
Penjualan PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN)
kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura dengan harga
di bawah COGS adalah sengaja dilakukan dengan tujuan untuk menghindari
pengenaan tarif pajak yang tinggi di Indonesia, yakni sebesar 25 persen dan
mengalihkan laba tersebut kepada perusahaan terafiliasi di negara lain,
yakni PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura, karena
sebagaimana kita ketahui bahwa tarif pajak penghasilan di Singapura
merupakan yang terendah di ASEAN yakni sebesar 17 persen. Sedangkan
untuk penjualan di dalam negeri, yakni dari PT. Toyota Motor
Manufacturing Indonesia (TMMIN) kepada PT. Toyota Astra Motor
(TAM) untuk tipe mobil yang persis dijual dengan nilai keuntungan bruto
sebesar 3,43 –7,67 persen. Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki
peraturan tentang tranfer pricing,yang secara umum diatur dalam pasal18
UU Nomor 36 Tahun2008 tentang Pajak Penghasilan, yang menyebutkan
bahwa Direktorat Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran
dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa
(arm’s length principle) dengan menggunakan metode perbandingan harga
antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode
biaya-plus, atau metode lainnya.
Hubungan istimewa dikatakan terjadi jika :

13
(i) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung maupun tidak
langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain.
(ii) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung.
(iii) terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing termuat
dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 43 Tahun 2010 yang diubah dengan
Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011. Di dalam aturan ini
disebutkan pengertian arm’s length principle yaitu harga atau laba atas
transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi
tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar dalam hal ini otoritas pajak
berhak menentukan kewajaran harga penjualan suatu perusahaan dengan
cara membandingkan harga tersebut dengan transaksi perusahaan sejenis di
luar negeri. Peraturan ini merujuk pada Transfer Pricing Guideline yang
disusun Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD). Petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif
yang dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding untuk
Toyota. Kelima perusahaan itu adalah Hindustan Motors (India), Yulon
Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan
Dongan Heibao (Cina).
Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan itu,
pemeriksa menetapkan bahwa kisaran keuntungan bruto yang dapat dinilai
wajar (arm’s length range) untuk perusahaan otomotif yang melakukan
ekspor adalah 3,22 -13,58 persen. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut,
pemeriksa pajak mengkoreksi harga pada transaksi PT. Toyota Motor
Manufacturing Indonesia (TMMIN) kepada Toyota Motor Asia Pacific di
Singapura, yang menyebabkan omzet penjualan mereka pada tahun 2007
meningkat sekitar Rp 500 miliar menjadi Rp.27,5 triliun.

14
Kasus 2
PT COCA COLA INDONESIA
Perseteruan antara perusahaan minuman bersoda the Coca-Cola Co.
dengan otoritas pajak Amerika Serikat (AS) Internal Revenue Service (IRS)
belum menemui titik temu hingga saat ini. Sudah hampir setahun berlalu
sejak dilakukan sidang pengadilan oleh Pengadilan Pajak AS di Washington
D.C sepanjang Maret hingga Mei 2018, validitas metode kesebandingan
laba untuk menguji kewajaran harga yang digunakan oleh IRS masih terus
menjadi perdebatan.
Kasus ini bermula dari adanya surat pemberitahuan kurang bayar pada
September 2015 sebesar US$3,3 miliar untuk periode 2007 hingga 2009,
sebelum akhirnya berujung ke Pengadilan Pajak AS. Dalam sidang terakhir
kasus bernomor Coca-Cola Co. v. Commissioner, T.C., No. 31183-15, IRS
berpendapat pajak terutang Coca Cola seharusnya senilai US$9,4 miliar
dalam kurun waktu tiga tahun tersebut. Pada 10 April 2019 lalu, IRS
akhirnya menyampaikan balasan singkat berupa ikhtisar kepada Pengadilan
Pajak. Berdasarkan dokumen tersebut, anak perusahaan yang berlokasi di
luar negeri dan mendapatkan lisensi merek dagang, formula, dan barang tak
berwujud lainnya dari perusahaan induk - yang kemudian disebut sebagai
supply point - dinilai hanya berhak mendapatkan tingkat laba senilai
aktivitas bisnis yang bersifat rutin. Analisis IRS didasarkan pada
penggunaan metode Critical Path Method (CPM) berdasarkan ketentuan
yang tertera di Section 482 (T.D. 8552) dalam US Code. Balasan tersebut
merupakan jawaban atas ikhtisar yang dikirimkan perusahaan per 15 Maret
2019.
Menurut Coca-Cola, metode tersebut tidak secara tepat
mengalokasikan semua tingkat pengembalian dari aset tidak berwujud
supply point tersebut ke perusahaan induk yang merupakan Wajib Pajak AS.
Sebaliknya, IRS menolak interpretasi Coca Cola dan menyatakan bahwa
CPM memberikan tingkat pengembalian yang konsisten dengan fungsi,
aset, dan risiko untuk supply point yang hanya menjalankan aktivitas bisnis
rutin perusahaan. Hal ini disebabkan oleh atribusi Coca-Cola Co. sebagai

15
pemilik sah dari sebagian besar merek dagang yang lisensinya digunakan
oleh supply point yang menganggap bahwa pengalokasian laba dilakukan
dasarkan tingkat pengembalian aset tidak berwujud yang dilisensikan,”
demikian informasi yang dikutip dari laporan IRS tersebut.
Dengan demikian, IRS menganggap supply point tersebut hanya
menjalankan aktivitas pembotolan dan bukan pemilik aset tak berwujud.
Dengan demikian, mereka tidak berhak untuk memperoleh keuntungan
signifikan dari aset tersebut. IRS pun menyalahkan metode yang digunakan
oleh saksi ahli Coca-Cola yang tidak mampu menjelaskan nilai produk
perusahaan tersebut berdasarkan aspek pemasaran perusahaan, terutama
menyangkut peran perusahaan dalam melakukan kampanye dan aktivitas
sponsor secara global dan formula bisnis lainnya. Di sisi lain, ada satu
dugaan kekurangan dalam analisis IRS yang menggunakan pendekatan
tingkat harga kewajaran atas laba dari perusahaan pembotolan independen
lainnya. Hal ini dikarenakan rasio yang terlalu tinggi dan tidak wajar antara
aset tidak berwujud dengan aset operasional berwujud dari supply point
Coca-Cola tersebut dibandingkan pembanding independennya .

Kasus 3
Asian Agri Dan Ulasan Atas Putusan Mahkamah Agung Pajak
Internasional
Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa Asian Agri
terbukti yang menarik perhatian banyak orang di akhir tahun 2012 dan
sampai sekarang, permasalahannya belum terbukti karena masalah
penggelapan pajak belum selesai. Bahkan di bulan Januari 2013 ini
Kejaksaan Agung dan juga Direktorat Jenderal Pajak berusaha menagih
pembayaran denda. Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K / PID.SUS /
2012 yang selama ini belum banyak diperhatikan untuk melihat
pertimbangan yang dipakai hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan
putusan tersebut.
1. Putusan lepas atas terdakwa Suwir Laut dalam jabatannya sebagai
Manajer Pajak dari Asian Agri Group dan terdaftar sebagai pegawai di PT.

16
Inti Indosawit Subur yang sudah menjalani penahanan sejak Desember
2010.
2. Terdakwa bertanggung jawab bertanggung jawab atas pelaporan pajak di
beberapa Kantor Pajak dari WP Besar hingga Kisaran. Disebutkan adanya
rapat perencanaan pajak yang membahas perencanaan untuk mengecilkan
pajak. Hal ini tidak tepat karena perencanaan pajak tidak sama dengan
penggelapan pajak. Berikut adalah hal yang dilakukan, berdasarkan
dakwaan halaman 4 - 6:
a. Rekayasa Keuangan Internasional
Rekayasa penjualan tersebut dilakukan melalui penjualan yang
pengiriman barangnya langsung ke negara pembeli (End Buyer) tetapi
dokumen keuangan yang berkaitan dengan transaksi ekspor tersebut
(Letter of Credit / LC, Invoice) seolah-olah dijual kepada perusahaan di
Hong Kong (Twin Bonus Edible Oils Ltd., Goods Fortune Oils & Fats
Ltd., United Oils & Fats Ltd., atau Ever Resources Oils & Fats
Industries Ltd), kemudian dijual lagi ke perusahaan di Macau (Global
Advance Oils and Fats) atau British Virgin Island / BVI (Asian Agri
Abadi Oils and Fats Ltd.), baru selanjutnya dijuai ke End Buyer.
Sementara perusahaan di Hong Kong, Macau manapun di BVI adalah
perusahaan kertas atau Special Purpose Vehide (SPV) yang digunakan
sebagai fasilitator untuk secara dokumentasi mendukung transaksi
tersebut dan sebagai tempat untuk mengisi selisih harga jual. Rekayasa
penjualan produk AAG ke luar negeri dengan maksud mengubah harga
jual yang seharusnya ke End Buyer diganti dengan harga yang lebih
rendah (under invoicing) ke Perusahaan - perusahaan tersebut di Hong
Kong sehingga keuntungan (profit) menjadi lebih rendah untuk
perusahaan di Indonesia. Pembuatan faktur penjualan baik untuk
perusahaan- perusahaan yang tergabung dalam AAG maupun
perusahaan di Hongkong, Makau dan BVI dilakukan di Medan oleh
karyawan AAG. Akibat transaksi penjualan ekspor dengan cara di
bawah faktur tersebut adalah laba yang dilaporkan oleh perusahaan di

17
Indonesia menjadi lebih rendah dari yang seharusnya sehingga pajak
terutang yang dilaporkan menjadi lebih kecil dari yang seharusnya.
b. Rekayasa Keuangan Dalam Negeri
Penggelembungan biaya lewat biaya Jakarta, biaya hedging dan biaya
managemen fee.
Biaya Jakarta, yaitu penggelembungan Biaya yang dibuat dengan Memo
Voucher di Kantor AAG di Jakarta oleh Terdakwa. Biaya Jakarta ini
tidak ada transaksi ekoNomi yang sebenarnya dan hanya untuk
pengeluaran uang dari rekening perusahaan yang tergabung dalam AAG
secara tunai ke rekening perantara HAREL (Haryanto Wisastra - Eddy
Lukas) di Bank Permata Jakarta dan ELDO (Eddy Lukas - Djoko
Soetanto Oetomo) di Bank Bumi Putra Jakarta.
Biaya Hedging, adalah Biaya fiktif yang dilakukan dengan menciptakan
rugi (loss creation) berupa pembebanan Biaya "washout / hedging loss".
Mekanismenya dilakukan dengan cara perusahaan-perusahaan yang
tergabung dalam AAG seolah-olah membuat kontrak penjualan ekspor
minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm OH / CPO) ke perusahaan di
Hongkong yang penyerahan barangnya dilakukan beberapa waktu
kemudian, namun sebelum jatuh tempo penyerahan barang dilakukan
pembelian kembali (washout) oleh perusahaan-perusahaan yang
tergabung dalam AAG dengan harga yang lebih tinggi. Selisih harga
beli kembali dengan harga jual dibebankan sebagai kerugian lindung
nilai.
Biaya Manajemen Fee, adalah Biaya fiktif yang dibebankan pada Biaya
Umum dan Adminstrasi yang pembebanannya didasarkan pada kontrak
sendiri-sendiri yang dibuat antar perusahaan dalam satu grup baik yang
di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak ada pelaksanaan atau
kemajuan dari jasa manajemen yang diberikan atau tidak ada bentuk
penyerahan jasa manajemen dimaksud.
c. Pelaporan keuangan Rugi Laba dan Neraca
Diserahkan untuk pelaporan SPT Tahunan bukan laporan yang telah
diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Hal ini menimbulkan kerugian

18
yang mempertimbangkan kerugian dalam tabel yang berisi perhitungan
kerugian negara. Perbuatan Terdakwa tersebut diatur diatur dan
diancam berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf c jo. Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1983 tentang KUP yang telah diubah
dengan UU No. 16 Tahun 2000 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Pasal 39
ayat (1) UU KUP memberikan sanksi atas kerugian pada pendapatan
negara berupa sanksi pidana penjara singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar Pasal 43 UU
KUP menjelaskan bahwa ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 39 dan
Pasal 39A, berlaku juga bagi bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib
Pajak, atau pihak lain yang memerintahkan, yang turut serta melakukan,
yang melakukan tindak pidana, atau yang membantu melakukan pidana
di bidang perpajakan. Demikian juga putusan ini pertimbangan
pertimbangan yang menarik tentang sanksi hukum yang diterapkan
dalam kasus ini dan bukan sanksi administrasi, juga dalam hal
pembuktian dimana bukti, tepatnya lebih dari 8000 dokumen, dijadikan
dasar pembuktian dalam kasus ini. Ada beberapa hal yang menarik
hubungan dengan transaksi internasional yang berhubungan dengan
pajak internasional dan sebagai antarmuka pendukung penggelapan
pajak seperti berikut :
• Dalam putusan tidak rinci rinci apakah perusahaan di luar negeri
seperti perusahaan di Hong Kong, yakni Twin BonusEdible Oils Ltd
atau Goods Fortune Oils & Fats Ltd merupakan perusahaan yang
memiliki hubungan istimewa. Begitu juga dengan perusahaan di Makau
yakni Global Advance Oils and Fatsserta perusahaan di British Virgin
Island yakni Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd tidak menunjukkan
apakah mereka merupakan perusahaan yang memiliki hubungan
istimewa sesuai Pasal 18 (2) Undang-Undang No 36 tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan meskipun dari perusahaan yang disebut terakhir
dapat diperkirakan merupakan perusahaan yang terkait karena nama

19
Asian Agri. Dalam dakwaan marah bahwa perusahaan tersebut
merupakan SPV dan melakukan under invoicing. -Jika perusahaan
tersebut merupakan perusahaan yang berpikir apakah sebaiknya
peraturan yang diterapkan seharusnya peraturan transfer harga diatur
oleh Per DJP No. PER - 32 / PJ / 2011 tentang penerapan Prinsip Arm's
Length dalam transaksi pihak terkait? Perlu ada pembedaan antara
transfer pricing dan penghindaran pajak yang sepertinya perlu peraturan
lebih lanjut melihat putusan seperti ini.
Tidak ada penjelasan tentang kerugian hedging apakah hal ini
sudah sesuai dengan standar akuntansi atau nerupakan satu financial
engineering yang merupakan satu penggelapan pajak. Penentuan harga
lindung nilai juga perlu disoroti karena acuan apa yang dipakai dalam
ekspor komoditas. ebagai contoh, Surat Edaran DJP No. 50 / PJ / 2013
tentang Pedoman Pemeriksaan Transfer Pricing nenjelaskan
penggunaan pembanding eksternal dalam hal harga pasar komoditas
oleh pihak ndependen.
Dalam fakta hukum yang diungkap, halaman 468, bahwa yang
telah erjadi adalah hedging fiktif. - Biaya manajemen merupakan biaya
yang dapat dikurangkan dan menurut Surat Edaran DJP ahun 1984
adalah mempersembahkan jasa dengan ikut serta secara langsung dalam
melaksanakan manajemen dengan mendapatkan balas jasa berupa
ketidakseimbangan manajemen ("biaya manajemen"). Biasanya hal ini
menjadi bagian dari pemeriksaan transfer pricing karena biasanya
merupakan transaksi pihak berelasi. Dalam dokumen yang menjadi
bukti, didapati adanya bukti biaya manajemen termasuk bukti
pembayarannya (contoh, dokumen nomor 6962 halaman 198).
Tidak secara rinci apakah ini merupakan bagian transaksi dengan
hubungan istimewa. Mungkin diperlukan peraturan yang lebih jelas
mana yang dapat digolongkan penghindaran pajak dan mana
penghindaran pajak dimana transfer pricing seharusnya merupakan
bagian dari penghindaran pajak dan bukan penghindaran pajak.

20
III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) adalah perjanjian
internasional di bidang perpajakan antar kedua negara yang mengatur persetujuan
pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penduduk
salah satu negara atau penduduk kedua negara. Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda muncul karena adanya benturan jurisdiksi perpajakan antara negara-
negara yang punya modal dan negara-negara yang mem-butuhkan modal. Kedua
negara tersebut melakukan hubungan ekonomi yang tidak terlepas dari aspek
perpajakan. Akibat dari benturan ini, pengenaan pajak tidak dilakukan sama sekali
di dua negara (tax evasion), atau bahkan dikenakan dua kali di masing-masing
negara tersebut (double taxation). Untuk menghindari kedua efek tersebut,
diperlukan adanya pengaturan antara kedua negara yang melakukan hubungan
ekonomi. Pengaturan tersebut selanjutnya tertuang di dalam Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda. Menurut Pasal 4 ayat ke-1 Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda Indonesia, subjek pajak yang dikenakan tax treaty bisa orang atau
badan. Berdasarkan perundang-undangan suatu negara, setiap orang maupun badan
bisa dikenakan pajak sesuai aturan negara itu. Dengan adanya perjanjian ini
diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian hukum yang adil.

3.2. Saran
Pajak Berganda merupakan permasalahan Perpajakan Internasional yang
terjadi antar negara untuk menghindari pemungutan pajak yang dilakukan lebih dari
satu kali. Dari celah celah peraturan perundang undangan setiap negara yang
banyak digunakan untuk menghilangkan pemungutan pajak seperti menimbun aset,
melakukan transaksi OffShore, melakukan rekayasa transaksi, pemalsuan nama
untuk suatu transaksi fiktif, dan modus lainnya oleh sebab itu diperlukan hubungan
timbal balik antar negara, sehingga dalam pemungutan pajak dapat dilakukan sesuai
dengan keadaan yang terjadi pada Wajib Pajak serta tidak akan ada lagi pemungutan
pajak berganda dibeberapa negara terutama Indonesia

21
DAFTAR PUSTAKA

Aeny, Suci Noer. 2017. Pengertian Tax Treaty. https://news.ddtc.co.id/apa-itu-tax-


treaty-9578?page_y=1621 Diakses pada tanggal 09 April 2021.

Susman, Yenny. 2017. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.


https://docplayer.info/21752913-Bab-3-perjanjian-penghindaran-pajak-berganda-
p3b.html Diakses pada tanggal 09 April 2021.

Latifa, Dina. 2019. P3B Pengertian Prosedur dan Cara Pemanfaatannya.


https://www.online-pajak.com/tentang-efiling/p3b Diakses pada tanggal 10 April
2021.

Pratama Indomitra. 2019. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty).


https://lab.pratamaindomitra.co.id/penghindaran-pajak-berganda/ Diakses pada
tanggal 10 April 2021.

Tax Treaty DiIndonesia. 2016. www.kabarpajak.com Diakses pada tanggal 10 April 2021.

DJP. Pemanfaatan Tarif Tax Treaty.


https://www.pajak.go.id/id/artikel/pemanfaatan-tarif-tax-treaty-bagi-perusahaan-
jasa-reservasi-line-asing Diakses pada tanggal 10 April 2021.

Edwar, Erwin. 2018. Pajak Berganda Internasional : Pengertian, Unsur, Tipe,


Dampak, Penghindaran Dan Terjadinya Pajak Berganda Internasional.
http://www.erwinedwar.com/2018/05/pajak-berganda-internasional-
pengertian.html Diakses pada 11 April 2021.

Contoh Kasus Prakek Transfer Pricing Pada PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia.https://blogoblokgoblok.blogspot.com/2018/06/contoh-kasus-prakek-
transfer pricing.html Diakses pada tanggal 12 April 2021

DDTC. 2019. Begini Update Kasus Transfer Pricing Coca-Cola.


https://news.ddtc.co.id/begini-update-kasus-transfer-pricing-coca-cola--15821
Diakses pada tanggal 12 April 2021.

22

Anda mungkin juga menyukai