MINI PROJECT
Disusun oleh:
Pendamping:
PUSKESMAS LIMBOTO
2018-2019
i
HALAMAN PENGESAHAN
Peneliti:
Program Penugasan:
Judul Penelitian:
Penelitian ini ditujukan sebagai tugas mini project pada Program Dokter Internsip
Indonesia yang telah dipresentasikan dihadapan dokter pembimbing, kepala
puskesmas.
Mengetahui,
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan petunjuk-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan miniproject ini. Semua ini dapat
terlaksana dengan baik berkat kerjasama dari pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih sangat jauh dari kata sempurna.
Sehingga saran dan kritik sangatlah penulis harapkan. Akhir kata, penulis mohon
maaf apabila terdapat kesalahan dalam pembuatan laporan ini.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................................... 32
A. Jenis dan Rancangan Penelitian .............................................................................. 32
B. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................................. 32
C. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................................... 32
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi................................................................................... 32
E. Variabel Penelitian.................................................................................................... 33
F. Definisi Operasional.................................................................................................. 33
G. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ..................................................................... 33
H. Alat dan Bahan Penelitian.................................................................................... 33
I. Jalannya Penelitian ................................................................................................... 33
BAB IV ................................................................................................................................... 34
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................. 34
A. Karakteristik Pasien ................................................................................................. 34
1. Jenis Kelamin ........................................................................................................ 35
2. Usia ......................................................................................................................... 36
3. Tingkat Pendidikan .............................................................................................. 37
4. Pekerjaan dan Penghasilan .................................................................................. 37
B. Evaluasi Kepatuhan Pengobatan Pasien Tuberkulosis Paru ................................ 38
1. Motivasi Pasien...................................................................................................... 39
2. Pengetahuan Pasien .............................................................................................. 40
3. Kepatuhan Pasien ................................................................................................. 40
C. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien .................................................... 42
1. Faktor Sosial Ekonomi ......................................................................................... 42
2. Faktor motivasi dan pengetahuan pasien ........................................................... 48
3. Faktor regimen pengobatan yang kompleks ...................................................... 49
BAB V .................................................................................................................................... 53
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................. 53
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 53
B. Saran .......................................................................................................................... 53
REFERENSI.......................................................................................................................... 54
LAMPIRAN........................................................................................................................... 57
v
DAFTAR TABEL
vi
Tabel 4.6 Hubungan lama pengobatan dengan tingkat kepatuhan berobat pada
penderita TB
paru………….…………….…………….…………….……………….50
Tabel 4.7 Hubungan efek samping dengan tingkat kepatuhan berobat pada penderita
TB paru………….…………….…………….…………….…………….…………...51
DAFTAR GAMBAR
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang sampai saat ini
menjadi masalah kesehatan penting di dunia. Sejak tahun 19 93, World Health
Organization menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi
kemanusiaan. Menurut laporan global tuberkulosis WHO tahun 2015
diperkirakan ada 9,6 juta kasus baru TB di dunia dan 1,5 juta orang meninggal
karena TB pada tahun 2014. Asia Tenggara dan Pasifik Barat menyumbang 58%
dari kasus TB di dunia pada tahun 2014. Sedangkan Indonesia memiliki tingkat
prevalensi TB tertinggi ketiga setelah China dan India.1,2,3
Jumlah penderita TB paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus
meningkat. Menurut laporan WHO, jumlah penderita TB paru di Indonesia tahun
2009 yaitu sebanyak 294.731 orang dan meningkat pada tahun 2010 menjadi
330.000, kemudian meningkat lagi pada tahun 2012 menjadi 583.000 orang.
Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2013, prevalensi penduduk Indonesia
yang didiagnosis dengan TB paru oleh tenaga kesehatan Indonesia yaitu 0,4%
dan Gorontalo menempati urutan keempat setelah Jawa Barat, Papua, DKI
Jakarta. Dari seluruh penduduk yang didiagnosis dengan TB Paru, hanya 44,4%
diobati dengan obat program.4,5
Pada Kabupaten Gorontalo sendiri, terdapat total 1654 kasus TB Paru yang
menjalani pengobatan, dengan 935 kasus di antaranya merupakan kasus baru.
Proporsi kasus tb paru yang baru, laki-laki 408 kasus, sedangkan perempuan 329
kasus. Kasus baru terbanyak di temukan di RSU Dunda (256 kasus) dan di
Puskesmas Limboto (133 kasus), dengan kasus terkecil pada Puskesmas Buhu
dan Bat. Pantai (4 kasus). Prevalensi kasus TB paru di Kabupaten Gorontalo
sebesar 1.455 kasus/ 100.000 penduduk.
Kepatuhan terhadap pengobatan jangka panjang tuberkulosis merupakan
kunci dalam pengendalian tuberkulosis. Untuk mencapai keberhasilan
1
pengobatan, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pasien, namun harus
dilihat bagaimana faktor-faktor lain ikut memengaruhi perilaku seseorang dalam
melengkapi pengobatannya dan mematuhi pengobatan mereka. Faktor-faktor
tersebut termasuk karakteristik pasien, keadaan sosial ekonomi pasien, sikap dan
pengetahuan pasien, hubungan antara petugas pelayanan kesehatan dan pasien,
serta regimen terapi TB sendiri. Pelayanan kesehatan yang tidak menyeluruh
serta pemahaman dan kepatuhan pengobatan yang kurang, menjadi kendala besar
untuk menemukan solusi yang efektif.6,7
Berdasarkan uraian di atas dapat diasumsikan bahwa mengetahui tingkat
kepatuhan pasien penderita tuberkulosis dalam menjalani pengobatan merupakan
salah satu faktor dominan yang dapat menjadi parameter keberhasilan
pengobatan tuberkulosis. Jika penderita tuberkulosis tidak patuh terhadap terapi
yang dijalankan, akibatnya adalah resistensi kuman Mycobacterium tuberkulosis
terhadap obat yang diberikan. Mengevaluasi tingkat kepatuhan penggunaan obat
tuberkulosis di puskesmas Limboto merupakan salah satu upaya untuk
mengetahui sejauh mana pasien patuh terhadap pengobatan yang sedang
dijalankan serta mengetahui faktor-faktor yang dapat memengaruhi kepatuhan
pasien tuberkulosis.6,7
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat kepatuhan pasien TB dalam menjalani pengobatan di
Puskesmas Limboto Gorontalo?
2. Apakah terdapat hubungan antara faktor sosial ekonomi (biaya pengobatan,
biaya transport, jarak rumah dan dukungan keluarga) dengan tingkat
kepatuhan berobat pasien TB Paru di Puskesmas Limboto Gorontalo?
3. Apakah terdapat hubungan antara faktor motivasi dan pengetahuan pasien
dengan tingkat kepatuhan berobat pasien TB Paru di Puskesmas Limboto
Gorontalo?
2
4. Apakah terdapat hubungan antara faktor kompleksitas regimen (lama
berobat dan efek samping pengobatan) dengan tingkat kepatuhan berobat
pasien TB Paru di Puskesmas Limboto Gorontalo?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui tingkat kepatuhan pasien TB dalam menjalani pengobatan di
Puskesmas Limboto Gorontalo.
2. Mengetahui hubungan antara faktor sosial ekonomi (biaya pengobatan, biaya
transport, jarak rumah dan dukungan keluarga) dengan tingkat kepatuhan
berobat pasien TB Paru di Puskesmas Limboto Gorontalo.
3. Mengetahui hubungan antara motivasi dan pengetahuan pasien dengan
tingkat kepatuhan berobat pasien TB Paru di Puskesmas Limboto Gorontalo.
4. Mengetahui hubungan antara faktor kompleksitas regimen (lama berobat dan
efek samping pengobatan) dengan tingkat kepatuhan berobat pasien TB Paru
di Puskesmas Limboto Gorontalo.
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi instansi
terkait untuk dapat meningkatkan kepatuhan berobat pasien setelah
mengetahui hasil dari evaluasi kepatuhan dan faktor apa saja yang
berpengaruh pada kepatuhan pasien dalam pengobatan TB.
2. Penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi pasien & masyarakat
mengenai pentingnya kepatuhan pasien dalam menjalani regimen
pengobatan.
3
E. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini yaitu:
Ho : Tidak terdapat hubungan antara faktor sosial ekonomi, motivasi dan
pengetahuan pasien serta kompleksitas regimen pengobatan dengan tingkat
kepatuhan berobat pasien TB Paru di Puskesmas Limboto Gorontalo.
Ha : Terdapat hubungan antara faktor sosial ekonomi, motivasi dan pengetahuan
pasien serta kompleksitas regimen pengobatan dengan tingkat kepatuhan berobat
pasien TB Paru di Puskesmas Limboto Gorontalo.
Jika p<0.05 Ho ditolak, Ha diterima.
p>0.05 Ho diterima.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Keadaan Geografis
Kecamatan Limboto merupakan salah satu dari 21 kecamatan yang ada
di Kabupaten Gorontalo, kecamatan ini merupakan ibukota Kabupaten
Gorontalo. Kecamatan ini terletak 0,30 Lintang Utara, 1,00 Lintang Selatan,
1210 Bujur Timur, 1230 Bujur Barat. Kecamatan dengan luas wilayah 127,92
km2 ini berbatasan dengan Kabupaten Gorontalo Utara di sebelah utara,
Kecamatan Telaga Biru di sebelah timur, Batudaa di sebelah selatan serta
Kecamatan Limboto Barat di sebelah barat.
2. Kependudukan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016, jumlah
penduduk di Kecamatan Limboto adalah sebanyak 48.477 jiwa, dimana laki-
laki berjumlah 23.949 jiwa, dan perempuan 24.258 jiwa. Kelurahan yang
paling banyak penduduknya adalah Hunggaluwa 7.525 jiwa sedangkan yang
terendah adalah Malahu 867 jiwa.
Selain suku asli terdapat suku lain yang telah lama menetap
diantaranya suku Jawa, Bugis, Bali, Minahasa dan suku keturunan diantaranya
Cina dan Arab. Mata pencaharian adalah PNS, guru, pegawai swasta, petani,
nelayan, peternak di bidang jasa, pedagang, industri dan lain-lain.
5
Total jumlah penduduk = 48.477 jiwa
Jumlah penduduk laki-laki = 23.949 jiwa
Jumlah penduduk perempuan = 24.258 jiwa
Jumlah kepala keluarga = 14.338 jiwa
Jumlah penduduk miskin = 12.512 jiwa
1. Januari 6 7. Juli 12
2. Februari 6 8. Agustus 5
3. Maret 9 9. September 15
B. TUBERKULOSIS PARU
1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi kompleks
Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit tuberkulosis ini biasanya menyerang
paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk
meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10
minggu setelah pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami penyakit
6
aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun. Dalam jaringan
tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.1,8
Mycobacterium tuberkulosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup
terutama di paru/berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi.
Kuman tuberkulosis berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil
Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab.8
2. Epidemiologi
Menurut laporan WHO di tahun 2017:9
Sekitar 10 juta orang di seluruh dunia menderita tuberkulosis (TB), 5.8
juta pria, 3.2 juta wanita dan 1 juta anak-anak.
Total 1.6 juta orang meninggal karena TB (termasuk 0,3 juta orang
dengan HIV). Di seluruh dunia, TB adalah salah satu dari 10 penyebab
kematian utama.
1 juta anak menderita TB di seluruh dunia dan 230.000 anak meninggal
karena TB (termasuk anak dengan TB-HIV).
30 negara dengan beban TB tinggi menyumbang 87% kasus TB baru di
tahun 2017. Delapan negara merupakan dua pertiga dari total dengan
India memimpin, diikuti oleh Cina, Indonesia, Filipina, Pakistan, Nigeria,
Bangladesh, dan Afrika Selatan.
Diperkirakan terdapat 558.000 kasus baru TB-MDR dengan resistensi
terhadap rifampicin (terapi lini pertama yang paling efektif).
Pengobatan TB menyelamatkan sekitar 54 juta jiwa secara global antara
tahun 2000 – 2017. Tingkat keberhasilan pengobatan TB adalah 83%
pada 2016.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat
pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia
7
meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun.
Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk
lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Pada tahun
1990-an, situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat
dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang
dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden
countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan
TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).10
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:10
Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara
negara berkembang.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi disparitas terlalu lebar, sehingga
masyarakat masih mengalami masalah dengan kondisi sanitasi, papan,
sandang dan pangan yang buruk.
Beban determinan sosial yang masih berat seperti angka pengangguran,
tingkat pendidikan yang rendah, pendapatan per kapita yang masih
rendah yang berakibat pada kerentanan masyarakat terhadap TB.
Kegagalan program TB selama ini.
Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa memengaruhi tetap tingginya
beban TB seperti gizi buruk, merokok, diabetes.
Dampak pandemik HIV.
Kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug
resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil
disembuhkan. Keadaan tersebut akhirnya akan menyebabkan terjadinya
epidemi TB yang sulit ditangani.
8
3. Faktor risiko10
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 1.000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan
menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB
BTA positif.
Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk).
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity) dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi
yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB Aktif). Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat,
dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
9
4. Patogenesis
Kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei
dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas
1 – 2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultaviolet, ventilasi yang buruk
dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan
berhari – hari sampai berbulan – bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh
orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel
dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan
dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.11
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Disini dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang atau afek
primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap
bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi
pleura. Kuman dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe,
orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke
dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang.
Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian
paru menjadi TB milier.11
Tuberkulosis Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga
sampai di alveolus dan menetap disana. Kuman akan menghadapi pertama
kali oleh neutrofil, kemudian baru makrofag. Kebanyakan partikel ini akan
mati atau di bersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial
bersama gerakan silia dengan sekretnya.10,11
10
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Di sini ia akan terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang di jaringan paru berbentuk sarang tuberkulosa
pneumonia kecil dan di sebut sarang primer atau afek primer atau sarang
(fokus) Ghon.10,11
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah
bening hilus (limfadenitis regional). Semua proses ini memakan waktu 3-8
minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:10,11
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, ini banyak terjadi.
Sembuh dengan sedikit meninggalkan bekas berupa garis-garis fibrosis,
kalsifikasi di hilus.
Berkomplikasi dan menyebar secara: a). Per kontinuitatum, yakni
menyebar ke sekitarnya, b). Secara bronkogen pada paru yang
bersangkutan maupun sebelahnya, c). Secara limfogen, d). Secara
hematogen
11
5. Klasifikasi
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA):11
12
Kasus kronik: Pasien dengan hasil BTA masih + setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan
yang baik.
Kasus bekas TB: Hasil BTA – dan gambaran radiologi paru
menunjukkan lesi TB tidak aktif, atau foto serial menunjukkan
gambaran menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih
mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan
telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto thorax
ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.
6. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan
pemeriksaan penunjang lainnya.8,10
a. Gejala klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka
gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang
terlibat).8
Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi
kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41°C. Serangan
demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat
timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam
influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari
serangan demam influenza. Keadaan ini dipengaruhi oleh daya tahan
tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang
masuk.
Batuk/Batuk Darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi
karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar.
13
Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum
dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit
yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian
paru-paru.
Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila
infiltrasi sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/mengeluarkan
napasnya.
Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun.
Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia/tidak ada nafsu
makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala,
meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin
lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.8
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung
dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak,
pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada
sisi yang terdapat cairan.8
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah
bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis
14
tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut
dapat menjadi “cold abscess”.8
c. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan
jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).8
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau
dengan cara:8
Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Dahak Pagi (keesokan harinya)
Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6
cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor.
Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada
gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain
(cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk
BJH) dapat dilakukan dengan cara: mikroskopik atau biakan.
Pemeriksaan mikroskopik:
o Mikroskopik biasa: pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan
Kinyoun Gabbett
o Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening)
15
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah
bila:
16
4) Destroyed lung
Merupakan gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan
jaringan paru yang berat. Gambaran radiologi destroyed lung terdiri
dari:
Atelektasis
Multicaviti
Fibrosis parenkim paru
Gambar 2.2 Alur diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa
17
7. Penatalaksanaan
a. Tujuan pengobatan:8,10
Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas
hidup
Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya
Mencegah terjadinya kekambuhan TB
Menurunkan penularan TB
Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat
b. Prinsip pengobatan8,10
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya
paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
Pengobatan diberikan dalam bentuk OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
Diberikan dalam dosis yang tepat
Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan
Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan
c. Tahapan pengobatan
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan dengan maksud:
Tahap awal: pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan
pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan
jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir
pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten
sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap
awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada
18
umumnya dengan pengobatan teratur dan tanpa adanya penyulit,
daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan 2 minggu.
Tahap lanjutan: pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang
penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam
tubuh khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
19
Tabel 2.3 Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa
20
e. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:10
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,
Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS,
serta OAT lini-1, yaitu Pirazinamid dan Etambutol.
Paket Kombipak, adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk
blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
21
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket
untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai
beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
o Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
o Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep.
o Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
22
2) Kategori 2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan ulang):
Pasien kambuh
Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow-up)
23
Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan
pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.8,10,11
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua
contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan
negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh
uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut
dinyatakan positif.8,10,11
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai
pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA
positif merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan
pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil
pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah
menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan
(tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada
semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya
dilakukan pada bulan ke 5.8,10,11
Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh
dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak
kembali pada akhir pengobatan. Ringkasan tindak lanjut berdasarkan
hasil pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan hasil
pengobatan:10
1) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif:
Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan
dosis pengobatan tahap lanjutan
Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal
(pada bulan ke 5 dan akhir pengobatan)
2) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif:
Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT
kategori 1):
24
Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur? Apabila
tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya
berobat teratur.
Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT
sisipan). Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah
pemberian OAT tahap lanjutan satu bulan. Apabila hasil
pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan pemeriksaan uji
kepekaan obat.
Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat,
lanjutkan pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada
akhir bulan ke 5.
Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur? Apabila
tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya
berobat teratur.
Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR.
Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR.
Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau
dirujuk ke RS Pusat
25
Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif,
pengobatan dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan sebagai
terduga pasien TB MDR.
Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR.
Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT
kategori 1), pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena
suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau
dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan pengobatan
paduan OAT kategori 2 dari awal.
Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan
dengan paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal.
Harus diupayakan semaksimal mungkin agar bisa dilakukan
pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan
pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR, berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau
kepatuhannya terhadap upaya PPI (Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi).
26
bakteriologis pada akhir pengobatan.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau
kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil
laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT.
Meninggal
Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau
sedang dalam pengobatan.
Putus berobat (loss to follow-up)
Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.
Tidak dievaluasi
Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.
Termasuk dalam kriteria ini adalah “pasien pindah (transfer out)” ke
kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak
diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.
27
keberhasilan pengobatan seseorang. Banyak faktor yang berkaitan dengan
kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat termasuk karakteristik pasien,
keadaan sosial ekonomi pasien, sikap dan pengetahuan pasien, hubungan antara
petugas pelayanan kesehatan dan pasien, serta regimen terapi. Kepatuhan juga
berkaitan dengan pengetahuan seseorang dan kepercayaan terhadap penyakitnya,
motivasi dalam manajemen penyakit, kepercayaan seseorang terhadap
kemampuan untuk berperilaku dalam manajemen penyakit dan harapan seseorang
terhadap luaran terapi serta konsekuensi dari ketidakpatuhan.12
Tenaga kesehatan turut berperan penting dalam memberikan informasi
mengenai pengobatan dengan memberikan informasi sesuai kebutuhan penderita,
sehingga penderita memahami risiko dan kondisi kesehatannya, memahami
bahwa ketidakpatuhan dapat menyebabkan beberapa risiko bagi kesehatannya.
Pendekatan mengenai kepatuhan pasien dapat dilihat dari dua aspek yaitu
pengetahuan dan motivasi pasien dalam menjalani pengobatan. Untuk
menginterpretasikan pengetahuan dan motivasi pasien dapat diukur menggunakan
metode Modified Morisky Scale.12
Skala Morisky awalnya dibuat oleh Morisky dan rekan kerjanya pada
pertengahan tahun 1980. Pada tahun 1983, skala tersebut dikembangkan berupa
daftar pertanyaan singkat untuk membantu praktisi saat memprediksi kepatuhan
pengobatan hipertensi. Selanjutnya instrumen divalidasi pada sejumlah praktik
dan penelitian supaya bisa menjadi alat ukur yang baik. Penelitian instrumen
berlanjut untuk diaplikasikan pada jenis terapi penyakit lain termasuk diabetes
dan paru-paru.13
28
Pada MMS pertanyaan nomor 1, 2 dan 6 membahas mengenai motivasi.
Pertanyaan nomor 3, 4 dan 5 mengenai pengetahuan. Untuk pertanyaan motivasi,
setiap jawaban “tidak” mendapat nilai 1 dan setiap jawaban “ya” mendapat nilai
0. Jika jumlah nilai pasien adalah 0-1, maka motivasi pasien rendah. Jika nilai
pasien >1, maka motivasi pasien tinggi. Untuk pertanyaan pengetahuan, jawaban
“tidak” pada pertanyaan 3 dan 4 mendapat nilai 1 dan jawaban “ya” mendapat
nilai 0. Pada pertanyaan 5, jawaban “tidak” mendapat nilai 0 dan jawaban “ya”
mendapat nilai 1. Jika total nilai pasien adalah 0-1, maka pengetahuan pasien
rendah. Jika total nilai pasien >1, maka pengetahuan pasien tinggi.13
Hasil dari perhitungan nilai pada MMS akan dikaji dengan Case
Management Adherence Guideline (CMAG) yang dikembangkan dari konsep
yang dibuat WHO untuk membantu dalam mengukur, merencanakan,
memudahkan dan mendukung tercapainya kepatuhan pasien. CMAG dibuat untuk
mengidentifikasi kurangnya motivasi dan pengetahuan pasien yang menjadi
penghalang kepatuhan dalam pengobatan. Kepatuhan penggunaan obat terdiri dari
empat kuadran sebagai berikut:13
29
Motivasi
Kuadran II Kuadran IV
Kepatuhan Kepatuhan
Sedang Tinggi
Pengetahuan
Kuadran I Kuadran III
Kepatuhan Kepatuhan
Rendah Sedang
30
2. Faktor yang berkaitan dengan pasien
Suku atau ras, gender, dan usia dapat dikaitkan dengan kepatuhan dalam
berbagai pengaturan. Pengetahuan tentang tuberkulosis dan keyakinan dalam
kemanjuran obat juga akan memengaruhi sikap pasien selama pengobatan.
3. Kompleksitas regimen
Regimen pengobatan yang kompleks, dalam hal ini lama pengobatan dan
jumlah obat yang diminum dapat menjadi faktor negatif untuk kepatuhan
pasien dalam menjalani pengobatan. Selain itu, efek samping yang timbul
karena penggunaan obat juga dapat memengaruhi proses pengobatan.
D. KERANGKA KONSEP
Faktor Sosial-Ekonomi
Biaya Pengobatan
Biaya Transport
Jarak Rumah
Dukungan Keluarga Kepatuhan
Tinggi
Motivasi dan
Pengetahuan pasien Kepatuhan Kepatuhan
Minum Obat TB Sedang
Paru
Faktor Kompleksitas
Regimen Kepatuhan
Rendah
Lama Berobat
Efek Samping
Pengobatan
Faktor-faktor lainnya
31
Gambar 2.4 Kerangka Konsep
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu pasien yang tidak bersedia untuk
diambil datanya.
32
E. Variabel Penelitian
a. Variabel bebas yaitu faktor sosial ekonomi (biaya pengobatan, biaya
transportasi, jarak rumah dan dukungan keluarga), motivasi dan pengetahuan
pasien, dan kompleksitas regimen terapi TB (lama pengobatan dan efek
samping pengobatan).
b. Variabel terikat yaitu tingkat kepatuhan pasien tuberkulosis paru.
F. Definisi Operasional
TB Paru adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi kompleks
Mycobacterium tuberkulosis yang menyerang di daerah paru. Penegakan
diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan dahak (BTA) dan
radiologi.
1. Kuesioner penelitian
2. Lembar informed consent
3. Alat tulis menulis
4. Komputer
I. Jalannya Penelitian
1. Berkoordinasi dengan pembimbing dan pihak Puskesmas guna mengetahui
informasi terkait masalah kesehatan setempat
2. Mengajukan judul ke pembimbing Puskesmas Limboto
3. Mempresentasikan proposal di depan pembimbing Puskesmas Limboto
4. Mengambil data dari kuesioner penelitian
33
BAB IV
A. Karakteristik Pasien
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Limboto
selama periode bulan Februari 2019 terhadap 40 pasien TB Paru, diperoleh data
tentang karateristik pasien yang terdiri dari jenis kelamin, usia, jenis TB yang
diderita, fase pengobatan serta jumlah tablet OAT yang dikonsumsi. Karateristik
tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1.
Jenis Kelamin
Laki-laki 20 50
Perempuan 20 50
Usia
17-25 tahun 2 5
>65 tahun 6 15
Tingkat Pendidikan
SD 16 40
SMP 12 30
34
SMA 8 20
Lainnya 4 10
Pekerjaan
Pegawai Negeri 4 10
Petani 6 15
Wiraswasta 3 7.5
Lainnya 7 17.5
Penghasilan
≤Rp.1.000.000 26 65
>Rp.1.000.000 14 35
Total 40 100%
1. Jenis Kelamin
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dari 40 pasien, jumlah pasien laki-
laki dan perempuan sama yaitu masing-masing sebanyak 20 pasien.
Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2015, laki-laki memiliki risiko lebih
besar untuk terkena penyakit TB paru dibandingkan dengan perempuan.
Penelitian di India menunjukkan bahwa risiko laki-laki untuk terinfeksi TB
paru sebesar 2,5 kali dibandingkan dengan perempuan. Sedangkan di
Indonesia laki-laki mempunyai risiko menderita TB 1,6 kali dibandingkan
dengan perempuan.14 Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa kelompok
laki-laki 10% lebih banyak ditemukan kasus TB dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan laki-laki untuk merokok, yang
35
diketahui dapat mengganggu sistem imunitas saluran pernafasan sehingga
menjadi lebih rentan untuk terinfeksi.4,12
Hasil penelitian ini berbeda dari laporan WHO dan Riskesdas 2013
dikarenakan pengambilan data hanya berlangsung di satu tempat dan dalam
periode yang relatif singkat sehingga tidak terdapat perbedaan yang
siginifikan antara jumlah pasien laki-laki dan perempuan.4,12
2. Usia
Pada penelitian ini usia pasien TB paru didominasi dengan usia 26-45
tahun sebanyak 17 pasien (46.5%), kemudian diikuti usia 46-65 tahun
sebanyak 15 pasien (37.5%). Sementara pasien dengan usia 17-25 tahun
sebanyak 2 orang (5%) dan pasien lebih dari 65 tahun sebanyak 6 orang
(15%), seperti yang ditunjukan pada tabel 4.1. Berdasarkan hasil penelitian
ini, peneliti menemukan bahwa kasus terbanyak berada pada usia produktif.
Usia produktif merupakan usia yang aktif beraktivitas di luar lingkungan
rumah sehingga lebih berisiko mudah tertular penyakit TB paru terutama di
lingkungan yang padat. Sebagian pasien TB yang berusia produktif ini,
bekerja dari pagi sampai tengah malam yang dipengaruhi oleh faktor cuaca,
kurang beristirahat, dan kurangnya memakan makanan yang bergizi. Karena
aktivitas pasien TB paru yang sibuk, sehingga sebagian pasien TB paru tidak
memperhatikan kesehatannya yang minimal dengan gejala batuk >2 minggu.15
Hasil penelitian ini juga didukung dengan data dimana di negara
berkembang didapatkan 75% penderita TB adalah kelompok usia produktif
(15–50 tahun). Demikian juga dengan laporan subdit TB Depkes RI dari tahun
2000 sampai tahun 2010 triwulan 1, menunjukkan bahwa jumlah kasus baru
TB BTA positif yang terbesar adalah pada kelompok usia 15–50 tahun,
sedangkan yang tertinggi adalah kelompok umur 25–34 tahun.16
Berdasarkan jumlah usia terbanyak pasien TB paru yang didapatkan
sesuai dengan isi Buku Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
menunjukkan bahwa usia tebanyak pasien TB paru yang mengalami penyakit
TB paru adalah kelompok usia yang paling produktif. Hasil penelitian ini
36
sesuai dengan penelitian yang di lakukan Sakanthi CG didapatkan usia 46-55
tahun yang terinfeksi TB paru sebanyak 31,7%. Sedangkan hasil penelitian
Pambudi U menunjukkan usia 17-50 tahun yang terinfeksi TB sebanyak
92,68%.17
3. Tingkat Pendidikan
Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 16 pasien (40%) TB Paru
memiliki pendidikan terakhir yaitu tamat SD, 12 pasien (30%) TB Paru tamat
SMP, 8 pasien (20%) tamat SMA, dan terdapat 4 pasien (10%) TB Paru
dengan tingkat pendidikan lainnya. Temuan penelitian ini sesuai dengan hasil
Riskesdas 2013, yang menemukan prevalensi TB paru empat kali lebih tinggi
pada pendidikan rendah dibandingkan pendidikan tinggi.4
Semakin rendah pendidikan seseorang maka semakin besar risiko
untuk menderita TB paru. Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan yang
nantinya berhubungan dengan upaya pencarian pengobatan. Pengetahuan
yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor
pencetus (predisposing) yang berperan dalam mempengaruhi keputusan
seseorang untuk berperilaku sehat. Semakin tinggi pendidikan seseorang
maka pengetahuan tentang TB semakin baik sehingga pengendalian agar
tidak tertular dan upaya pengobatan bila terinfeksi juga maksimal. Oleh
karena rendahnya tingkat pendidikan pada sebagian besar pasien, maka perlu
adanya pengawasan yang intensif pada beberapa pasien tersebut. Hal ini
dapat dilakukan oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) terutama anggota
keluarga pasien.15,18
37
14 pasien lainnya (35%) memiliki penghasilan >Rp.1.000.000. Pekerjaan
pasien dapat mempengaruhi pendapatan yang akan diperoleh untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.
Pekerjaan dengan nilai penghasilan yang minim menyebabkan
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan termasuk didalamnya
menciptakan lingkungan yang sehat serta kemampuan untuk menyediakan
makanan bergizi dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah
terserang penyakit Tuberkulosis. Seseorang yang mempunyai pendapatan
dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak
sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai
status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi
diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai
pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi
syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit
TB Paru.12,18
38
untuk mengetahui kepatuhan pasien. Berikut adalah gambaran motivasi,
pengetahuan dan kepatuhan pasien di Puskesmas Limboto Gorontalo.
1. Motivasi Pasien
Motivasi merupakan suatu dorongan yang menyebabkan seseorang
berperilaku dengan cara tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Motivasi dapat berasal dari dalam (internal) maupun berasal dari luar
(eksternal). Pada MMS untuk melihat motivasi pasien maka diajukan 3
pertanyaan tertutup. Pertanyaan pada poin nomor satu mengenai ingatan
pasien dalam mengkonsumsi obat yang berhubungan dengan kesadaran pasien
untuk mengkonsumsi obat secara rutin setiap harinya pada fase intensif dan
tiga kali seminggu pada fase lanjutan. Pertanyaan pada poin nomor dua yaitu
ketepatan waktu pasien dalam mengkonsumsi obat, pertanyaan tersebut
menggambarkan ingatan pasien untuk selalu mengkonsumsi obat sesuai
dengan instruksi dokter yaitu seluruh obat TB harus dikonsumsi pada keadaan
perut kosong pada pagi hari ataupun malam hari. Pertanyaan poin terakhir
dilihat dari waktu pengambilan obat sesuai ketentuannya.12
Berdasarkan analisis data diperoleh hasil motivasi 40 pasien (100%) TB
Paru adalah tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti,
didapatkan bahwa motivasi pasien yang baik dipengaruhi oleh orang terdekat
pasien yaitu peran keluarga pasien TB paru. Peran keluarga merupakan
motivasi terbesar terhadap diri pasien TB paru sehingga menjadi lebih rajin
mengambil dan meminum obat TB paru berdasarkan jadwal tertulis yang
sudah ditentukan petugas TB paru pada kartu kuning pasien/kartu jadwal
kunjungan berobat. Jika di hari yang ditentukan petugas TB paru tidak ada
bertugas karena ada pelatihan atau posyandu, maka pasien tetap berobat dihari
esok dan tetap menunggu didepan ruangan petugas TB.12,19
39
2. Pengetahuan Pasien
Pada penelitian ini pengetahuan pasien dilihat dari sub poin kuesioner
pertanyaan nomor 3, 4, dan 5 pada MMS. Hasil dari perhitungan skor pada
sub poin soal tersebut akan memberikan gambaran tingkat pengetahuan pasien
(tinggi/rendah). Berdasarkan analisis data diperoleh hasil sebanyak 37 pasien
(92.5%) TB Paru memiliki pengetahuan yang tinggi berkaitan dengan
penyakitnya, sedangkan 3 pasien lainnya (7.5%) memiliki tingkat
pengetahuan yang rendah.
Sebagian besar pasien memiliki pengetahuan tinggi dikarenakan pasien
telah memahami tentang penyakitnya dan pengobatan yang sedang dijalani
dari keterangan yang diberikan oleh dokter dan tenaga medis lainnya.
Pengetahuan tinggi menunjukan pemahaman pasien mengenai pengobatan
serta bagaimana sikap pasien dalam memberikan respon terhadap
pengembangan pengobatannya.12
3. Kepatuhan Pasien
Tingkat kepatuhan pasien diidentifikasi ke dalam kuadran tingkat
kepatuhan yang dilihat dari domain pengetahuan dan motivasi yang dibedakan
menjadi 4 kelompok, yaitu kuadran I, kuadran II, kuadran III, dan kuadran IV.
Kuadran I menggambarkan pasien dengan motivasi rendah dan pengetahuan
rendah sehingga memiliki tingkat kepatuhan yang rendah. Kuadran II dan III
dengan salah satu domain (motivasi/pengetahuan) yang rendah menunjukan
bahwa pasien memiliki kepatuhan sedang. Kuadran IV dengan motivasi tinggi
dan pengetahuan tinggi menunjukan bahwa pasien patuh dalam pengobatan.
Hasil analisis data menunjukan bahwa sebesar 92.5 % (37 pasien) berada
di kuadran IV yang memiliki kepatuhan tinggi. Pasien dengan kepatuhan
tinggi memiliki motivasi dan pengetahuan yang tinggi dalam pengobatannya.
Kuadran III memperoleh hasil sejumlah 7.5% (3 pasien) dengan kepatuhan
sedang. Kuadran III adalah gambaran dari pengetahuan tinggi namun motivasi
40
rendah. Pada penelitian ini, tidak ditemukan pasien dengan tingkat kepatuhan
rendah.
Motivasi
Kuadran IV
Kuadran II
37 pasien
0 pasien (92.5%)
Pengetahuan
Kuadran III
Kuadran I
3 pasien
0 pasien
(7.5%)
Menurut Meichen Baum dan Turk tahun 1987 dalam Adherence to Long
Term Therapy, motivasi merupakan sikap pribadi terhadap perilaku patuh.
Perilaku patuh tersebut didasari dari dukungan sosial, perspektif mengenai
bagaimana orang lain dengan kondisi medis yang sama berperilaku. Dalam
pengembangan information-motivation-behavioral skills model (IMB model),
dijelaskan bahwa informasi untuk meningkatkan pengetahuan pasien
merupakan salah satu syarat untuk mengubah perilaku, tetapi informasi harus
didukung dengan motivasi yang merupakan titik kritis dari perubahan
perilaku.12,18
Pada penelitian ini, alasan positif yang berhubungan dengan kepatuhan
pasien yang tinggi tersebut antara lain keinginan yang kuat dari pasien sendiri
untuk sembuh, biaya pengobatan yang gratis dan petugas kesehatan di
puskesmas masing-masing memberikan perhatian serta informasi yang jelas
mengenai pengobatan yang dijalani oleh pasien. Oleh karena kepatuhan
pasien tersebut sudah tinggi dan berada pada kuadran IV, maka rekomendasi
interaksi yang dapat dilakukan untuk mempertahankan atau memperkuat
41
motivasi dan pengetahuan pasien adalah senantiasa diadakan diskusi untuk
mengantisipasi kemungkinan perubahan situasi sosial yang dapat
mempengaruhi kemampuan pasien dalam mengikuti pengobatan. Sedangkan
untuk pasien pada kuadran III dengan motivasi tinggi dan pengetahuan rendah
sehingga memiliki tingkat kepatuhan sedang, dapat dibantu dengan
memberikan informasi tentang pengobatan yang dijalani, mengajarkan
kembali pada pasien untuk mengulang instruksi yang diberikan petugas
kesehatan, dan petugas kesehatan memberikan penjelasan tentang penyakit
dan pengobatan Tuberkulosis pada keluarga.
Tabel 4.2. Hubungan biaya pengobatan dengan tingkat kepatuhan berobat pada
penderita TB paru
Rendah- Tinggi
Sedang
Biaya Tidak ada 3 37 40 p<0.05,
Pengobatan Ada 0 0 0 rg = -
Total 3 37 40 1.00
42
pemberian obat anti tuberkulosis tersebut diberikan secara cuma-cuma. Hal ini
merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam menanggulangi TB di
Indonesia. Dari 40 pasien yang berobat TB paru dan tidak mengeluarkan
biaya pengobatan, terdapat 37 pasien (92.5%) yang memiliki kepatuhan tinggi
sedangkan 3 pasien lainnya (7.5%) memiliki tingkat kepatuhan rendah-
sedang. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p<0.05 dan rg = 1.00 yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara biaya
pengobatan dengan tingkat kepatuhan pasien yang berobat TB Paru. Hal ini
dapat dilihat dari data dimana mayoritas pasien memiliki tingkat kepatuhan
tinggi dalam menjalankan pengobatan karena tidak adanya pengeluaran
khusus untuk membayar biaya pengobatan.
Tabel 4.3. Hubungan biaya transport dengan tingkat kepatuhan berobat pada
penderita TB paru
Rendah- Tinggi
Sedang
Biaya Tidak ada 1 2 3 p>0.05,
Transport Ada 2 35 37 rg =
Total 3 37 40 0.795
43
sedang dan 35 (87.5%) lainnya memiliki tingkat kepatuhan tinggi. Sementara
dari 3 pasien yang tidak mengeluarkan biaya transport, terdapat 1 (2.5%)
pasien yang memiliki tingkat kepatuhan rendah-sedang dan 2 (5%) pasien
yang memiliki tingkat kepatuhan tinggi. Berdasarkan hasil uji statistik data
hasil penelitian ini, didapatkan nilai p>0.05 yang menyatakan tidak terdapat
hubungan antara biaya transport dengan kepatuhan pasien TB paru dalam
menjalankan pengobatannya. Hal ini dapat dilihat dari data, dimana meskipun
mayoritas pasien mengeluarkan biaya transport untuk menuju ke puskesmas
tetapi didapatkan tingkat kepatuhannya tetap tinggi.
Tabel 4.4. Hubungan jarak rumah menuju puskesmas dengan tingkat kepatuhan
berobat pada penderita TB paru
Jarak ≤3 km 2 28 30 p>0.05,
Rumah >3 km 1 9 10 rg = -
0.217
Total 3 37 40
44
kepatuhan pasien dalam berobat baik pada kelompok pasien dengan jarak ≤3
km maupun jarak >3 km menuju puskesmas.
Dalam sebuah teori menjelaskan bahwa biaya pengobatan yang mahal
dapat berpengaruh negatif terhadap kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatannya.20 Hal ini sesuai dengan data pada penelitian ini, dimana
didapatkan bahwa biaya pengobatan yang gratis berdampak positif terhadap
psikologis pasien, karena tuberkulosis biasanya menyerang sejumlah
masyarakat menengah ke bawah dimana penghasilan rata-rata tiap bulannya
juga sedikit. Dengan biaya pengobatan yang gratis, para penderita TB merasa
tidak terbebani dan semakin meningkatkan keinginan mereka untuk sembuh.
Tidak hanya biaya pengobatan, biaya transport yang mahal juga
dikatakan berpengaruh negatif terhadap kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatannya. Selain itu, letak tempat pelayanan yang tidak strategis dapat
menyebabkan penderita tidak patuh dalam menjalankan pengobatan.20 Akan
tetapi, dalam penelitian ini, tidak didapatkan hubungan antara biaya transport
serta jarak rumah pasien ke puskesmas dengan kepatuhan pasien. Data hasil
penelitian menunjukkan biaya transport serta jarak rumah pasien ke
puskesmas bukan menjadi suatu faktor negatif untuk pasien patuh dalam
menjalani pengobatan, karena mayoritas jarak rumah pasien dengan
puskesmas daerah masing-masing adalah ≤3 km atau dapat dikatakan cukup
dekat dan letak puskesmas yang tergolong strategis karena dapat dijangkau
dengan kendaraan umum ataupun pribadi dengan biaya yang masih tergolong
murah.
Beberapa penelitian lain mengkonfirmasikan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara jangkauan pelayanan kesehatan dengan kepatuhan
berobat disebabkan lokasi Puskesmas yang merata di seluruh kelurahan dan
untuk menjangkau lokasi tersebut relatif mudah.20
Selain biaya pengobatan dan biaya transport, faktor sosial ekonomi lain
yang juga dapat mempengaruhi kepatuhan berobat pasien yaitu dukungan
keluarga.
45
Tabel 4.5. Hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan berobat pada
penderita TB paru
Tingkat
Kepatuhan Nilai p
Total
Rendah- Tinggi dan rg
Sedang
Kurang 0 3 3
Dukungan P<0.05,
Cukup 2 2 4
Keluarga rg =
Baik 1 32 33
0.707
Total 3 37 40
46
dengan dukungan keluarga kurang seluruhnya memiliki tingkat kepatuhan
tinggi. Berdasarkan uji statistik data hasil penelitian ini, didapatkan nilai
p<0.05 dan rg = 0.707 yang menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara
dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan pasien, dimana dukungan
keluarga yang tinggi berperan dalam meningkatkan kepatuhan pasien dalam
menjalankan pengobatan.
Data penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga dikategorikan
baik karena mayoritas keluarga pasien ikut berperan aktif dalam membantu
program pengobatan yang dijalankan pasien sehingga berdampak pada
kondisi pasien yang jauh lebih baik daripada mereka yang tidak memiliki
dukungan positif dari keluarga pasien. Hasil penelitian ini didukung dengan
hasil penelitian oleh Muna dkk yang menunjukkan bahwa responden yang
mendapat dukungan sosial keluarga tinggi memiliki kemungkinan patuh 20
kali lebih patuh daripada responden yang mendapatkan dukungan sosial
keluarga rendah.21,22
Salah satu faktor yang mendukung kepatuhan adalah modifikasi faktor
lingkungan dan sosial yang berarti membangun dukungan sosial dari keluarga
dan teman. Dalam hal ini semua anggota keluarga berperan dalam
memberikan dukungan sosial kepada pasien, seperti mengingatkan agar
kontrol, minum obat tepat waktu, dan memperhatikan keluhan pasien. Bentuk
dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin,
diperdulikan dan dicintai oleh keluarga sehingga individu dapat menghadapi
masalah dengan baik. Dukungan instrumen juga memberikan dampak pada
kesehatan fisik dan mental yang lebih. Dukungan instrumental merupakan
dukungan yang diberikan kepada pasien dalam bentuk dana, pengawasan
ketat, pemberian pertolongan, dan lain-lain. Jadi pasien tidak akan khawatir
untuk berangkat ke rumah sakit tidak ada kendaraan ataupun uang di
perjalanan. Karena ada keluarga yang selalu siap mengantar dan membantu
keuangan pasien.21
47
Kurangnya dukungan keluarga dan tidak stabilnya kondisi lingkungan
memiliki pengaruh negatif terhadap kepatuhan pasien. Dalam penelitian ini
diharapkan untuk keluarga pasien yang masih kurang dalam memperhatikan
anggota keluarganya yang sedang menjalani pengobatan TB, untuk dapat
lebih memperhatikan. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan pemberi
motivasi terdekat dengan pasien. Selain itu, keluarga dapat mengoptimalkan
perannya sebagai seorang PMO.21
48
kesehatan. Secara umum, obat tuberkulosis diminum pada pagi hari 1x sehari
untuk tahap intensif dan 3x seminggu untuk tahap lanjutan. Akan tetapi,
praktiknya ada sedikit perbedaan, pasien dianjurkan untuk minum obat pada
malam hari. Hal ini pasien lakukan sesuai dengan anjuran dari petugas
kesehatan agar pasien dapat langsung beristirahat.
Tingkat Nilai p
Total
Kepatuhan dan rg
Rendah- Tinggi
Sedang
49
tidak terdapat hubungan antara lama pengobatan dengan tingkat
kepatuhan pasien.
Regimen pengobatan yang kompleks, dalam hal ini lama pengobatan
dapat menjadi faktor negatif untuk kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan. Dalam sebuah penelitian menjelaskan bahwa penderita TB
paru yang masa pengobatannya tergolong singkat atau masih dalam fase
intensif memiliki tingkat kepatuhan yang lebih tinggi daripada penderita
yang telah menjalani pengobatan fase lanjutan. Hal ini dikarenakan
kejenuhan pasien terhadap lamanya pengobatan yang dijalani. Demikian
juga dengan hasil penelitian oleh Yuni, yang menyatakan terdapat
hubungan antara fase pengobatan dengan kepatuhan pengobatan pasien
TB, dimana pasien pada fase lanjutan memiliki risiko sebesar 1,593 kali
untuk tidak patuh dibandingkan dengan pasien fase intensif.20,23
Akan tetapi, dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa pada pasien
yang masih dalam tahap intensif maupun lanjutan memiliki kepatuhan
yang tinggi walaupun beberapa pasien pada tahap lanjutan memiliki
kendala rasa bosan untuk minum obat. Hal ini dapat dikaitkan dengan
tingginya motivasi pasien untuk sembuh, dukungan keluarga yang baik,
biaya pengobatan yang gratis dan peranan petugas kesehatan di
puskesmas dalam memberikan perhatian serta informasi yang jelas
mengenai pengobatan yang dijalani oleh pasien.
50
b. Efek samping
Tingkat Kepatuhan
Nilai p
Rendah- Tinggi Total
dan rg
Sedang
Samping Ada 1 14 15 rg =
0.098
Total 3 37 40
Untuk efek samping yang muncul setelah minum obat tuberkulosis,
tidak semua pasien mengeluhkan adanya efek samping. Berdasarkan hasil
penelitian, sebanyak 25 (62.5%) pasien tidak mengalami efek samping
selama masa pengobatan yang dijalankan dan sebanyak 15 (37.5%)
pasien mengalami efek samping pengobatan. Dari 25 pasien yang
mengaku tidak mengalami efek samping, didapatkan 2 pasien dengan
tingkat kepatuhan rendah-sedang, sedangkan 23 pasien lainnya memiliki
tingkat kepatuhan tinggi. Sementara dari 15 pasien yang mengalami efek
samping pengobatan, didapatkan 1 pasien dengan tingkat kepatuhan
rendah-sedang dan 14 pasien lainnya dengan tingkat kepatuhan tinggi.
Hasil uji statistik data ini didapatkan nilai p>0.05 sehingga menunjukkan
tidak terdapat hubungan antara efek samping pengobatan dengan tingkat
kepatuhan pasien.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Erawatyningsih dkk yang menyatakan adanya hubungan negatif
bermakna dimana semakin penderita memiliki banyak keluhan maka
semakin tidak patuh penderita untuk berobat.20 Hal ini kembali dapat
dikaitkan dengan tingginya motivasi pasien untuk sembuh, dukungan
keluarga yang baik, dan peranan petugas kesehatan di puskesmas dalam
51
memberikan perhatian serta informasi yang jelas mengenai pengobatan
serta efek samping yang dapat dialami oleh pasien, serta cara untuk
mengatasinya. Selain itu, pasien juga mengaku mendapatkan penjelasan
mengenai bahaya apabila pasien menghentikan pengobatan sendiri
sehingga memilih untuk berkonsultasi dengan petugas kesehatan saat
mengalami efek samping tertentu.
52
BAB V
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka
dapat diambil kesimpulan yaitu:
1. Tingkat kepatuhan penggunaan Obat Anti Tuberkulosis di Puskesmas Limboto
adalah tinggi.
2. Terdapat hubungan antara biaya pengobatan dan dukungan keluarga dengan
tingkat kepatuhan berobat pasien TB Paru di Puskesmas Limboto Gorontalo.
3. Terdapat hubungan antara motivasi dan pengetahuan pasien dengan tingkat
kepatuhan berobat pasien TB Paru di Puskesmas Limboto Gorontalo.
4. Tidak terdapat hubungan antara lama pengobatan dan efek samping
pengobatan dengan tingkat kepatuhan berobat pasien TB Paru di Puskesmas
Limboto Gorontalo.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, ada beberapa saran yang
dapat disampaikan antara lain:
1. Untuk mempertahankan kepatuhan pasien yang telah tinggi tersebut, maka
dapat diadakan diskusi atau konseling lanjut antara pasien penderita
tuberkulosis dengan petugas kesehatan dan juga melibatkan keluarga pasien
agar dapat senantiasa memberikan dukungan yang baik kepada pasien dalam
menjalani pengobatan hingga tuntas.
2. Petugas kesehatan senantiasa memberikan informasi tentang TB, motivasi dan
mempunyai cukup waktu untuk konsultasi sehingga pasien merasa nyaman
dan yakin terhadap pengobatan yang sedang dijalani.
3. Petugas kesehatan senantiasa memberikan informasi meliputi cara dan waktu
yang tepat untuk minum obat, cara menyimpan obat, manfaat pengobatan,
serta efek samping yang muncul setelah minum obat.
53
REFERENSI
54
11. Alsagaff, Hood dan Abdul Mukty. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press. 2006.
12. Dinnya A. Evaluasi kepatuhan penggunaan obat tuberkulosis serta factor-faktor
yang berpengaruh pada kepatuhan pasien tuberkulosis di rumah sakit PKU
Muhammadiyah Bantul Periode Desember 2016-Februari 2017 [skripsi].
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta; 2017.
13. Prayogo AH. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis pada pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Pamulang Kota
Tangerang Selatan Provinsi Banten periode Januari 2013 [skripsi]. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah; 2013.
14. Kolappan C, Gopi PG, Subramani R, Narayanan PR. Selected biological and
behavioural risk factors associated with pulmonary tuberculosis. 2007;11:999-
1003.
15. Rukmini, U.W Chatarina. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB
paru dewasa di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2011;14: 320-
331.
16. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pelatihan
tatalaksana TB bagi pengelola program TB di Fasilitas Pelayanan Kesehatan :
materi inti komunikasi, informasi dan edukasi tuberkulosis. Jakarta : Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia; 2012. h. 24.
17. Sakanthi CG. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat penderita TB
paru di Rumah Sakit Paru Surabaya[Skripsi]. Surabaya: Program studi pendidikan
dokter Universitas Katolik Widya Mandala;2015.
18. Nurjana MA. Faktor risiko terjadinya tuberculosis paru usia produktif (15-49
tahun) di Indonesia. Media Litbangkes. 2015;25: 165-170.
19. Gunawan ARS, Simbolon RL, Fauzia D. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan tuberkulosis paru di lima
puskesmas Se-kota Pekanbaru. JOM FK. 2017;4: 1-20.
55
20. Erawatynigsih E, Purwanta, Subekti H. Faktor-faktor yang mempengaruhi
ketidakpatuhan berobat pada penderita tuberculosis paru. Berita Kedokteran
Masyarakat. 2009;25:117-124.
21. Muna L, Soleha U. Motivasi dan dukungan sosial keluarga mempengaruhi
kepatuhan berobat pada pasien tb paru di poli paru BP4 Pamekasan. Jurnal Ilmiah
Kesehatan. 2014;7: 172-179.
22. Ulfa M. Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada
pasien tuberkulosis (TBC) diwilayah kerja Puskesmas Pamulang Kota Tangerang
Selatan tahun 2011. Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah:p.58-74;2013.
23. Yuni IDA. Hubungan fase pengobatan TB dan pengetahuan tentang MDR TB
dengan kepatuhan pengobatan pasien TB Puskesmas Perak Timur. Jurnal Berkala
Epidemiologi. 2016;4: 301-312.
56
LAMPIRAN
LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN
Bapak & Ibu Yth,
Kami dr. Christin Tatukude, dr. Naufal Arkan Arij, dan dr. Ria Christin
Lumpiach selaku dokter internship di Puskemas Limboto periode November 2018 –
Maret 2019 akan melakukan sebuah mini project yang berjudul “EVALUASI
TINGKAT KEPATUHAN PASIEN TERHADAP PENGGUNAAN OBAT
TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS LIMBOTO”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat kepatuhan
penggunaan obat pasien TB dan mengetahui apa saja faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kepatuhan minum obat tersebut.
Manfaat yang dapat bapak/ibu peroleh dari penelitian ini adalah dengan
adanya hasil penelitian ini, maka akan diketahui kemungkinan faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan minum obat pada pasien TB sehingga dapat
membantu dalam program penanggulangan TB lebih lanjut.
Untuk itu, kami akan mencatat identitas Bapak/Ibu (Nama, umur, jenis
kelamin, tempat & tanggal lahir, pekerjaan, penghasilan dan pendidikan terakhir),
serta ada beberapa pertanyaan yang tersedia di kuesioner berikut.
Bapak/Ibu Yth, partisipasi dari Bapak/Ibu bersifat sukarela, semua biaya
penelitian ini tidak dibebankan kepada Bapak/Ibu. Tidak akan terjadi perubahan mutu
pelayanan dari kami, apabila Bapak/Ibu tidak bersedia mengikuti penelitian ini.
Bapak/Ibu akan tetap mendapatkan pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan
standar prosedur pelayanan. BIla Bapak/Ibu masih belum jelas menyangkut penelitian
ini, maka setiap saat dapat ditanyakan langsung kepada kami.
Bapak/Ibu Yth, pada penelitian ini identitas Bapak/Ibu akan dirahasiakan,
hanya dokter peneliti yang bisa melihat data Bapak/Ibu. Bila penelitian ini
dipublikasikan, kerahasiaan Bapak/Ibu akan tetap dijaga.
Setelah Bapak/Ibu memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini,
diharapkan Bapak/Ibu yang telah terpilih pada penelitian ini dapat mengisi dan
menandatangani lembar persetujuan penelitian.
Gorontalo,
Peneliti
57
LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
(INFORMED CONSENT)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Alamat :
Setelah mendapat penjelasan tentang penelitian ini, saya memahaminya dan
menyatakan bersedia dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak
manapun, maka dengan ini saya menyatakan bersedia untuk ikut serta. Apabila di
kemudian hari saya mengundurkan diri dari penelitian ini, maka saya tidak akan
dituntut apapun.
Demikiran surat pernyataan ini saya buat, agar dapat dipergunakan bila diperlukan.
Gorontalo,………………….2019
Peserta penelitian
(……………………………..)
58
IDENTITAS
Nama :
Jenis Kelamin :
Tempat / tanggal lahir :
Umur :
Alamat :
Pekerjaan :
o Tidak Bekerja
o Pegawai Negeri
o Pegawai Swasta
o Petani
o Wiraswasta
o Pelajar
o Lainnya,………
Penghasilan :
o ≤ Rp 1.000.000
o > Rp 1.000.000
Pendidikan Terakhir :
o Tidak Bersekolah
o SD
o SMP
o SMA
o Lainnya,……….
59
Modified Morisky Scale (MMS)
Petunjuk: Di bawah ini akan ada beberapa pertanyaan. Tandai jawaban yang
diberikan dengan cara melingkari “ya” atau “tidak” pada masing-masing pertanyaan.
Pertanyaan Motivasi Pengetahuan
1. Apakah anda pernah Ya (0) Tidak (1)
lupa minum obat?
2. Apakah anda kurang
memperhatikan jam
Ya (0) Tidak (1)
pada saat anda
meminum obat?
3. Ketika anda merasa
lebih baik, apakah
Ya (0) Tidak (1)
anda menghentikan
pengobatan?
4. Apabila anda merasa
kondisi tubuh anda
memburuk setelah
minum obat, apakah Ya (0) Tidak (1)
anda menghentikan
pengobatan tersebut?
5. Apakah anda tahu
keuntungan jangka
panjang jika anda
minum obat seperti Ya (1) Tidak (0)
yang telah dijelaskan
oleh dokter anda?
6. Apakah anda pernah
terlambat mengambil
Ya (0) Tidak (1)
ulang obat TB anda?
Skor Total
60
Petunjuk: Pada bagian ini, terdapat beberapa pertanyaan beserta dengan
jawabannya, diharapkan anda untuk mengisi dengan cara mencoret lingkaran
pada jawaban yang sesuai.
61
o Dahak
o Keturunan
12. Kapan anda mengambil obat kembali?
o Bila obat habis
o Satu hari sebelum obat habis
o Tidak jelas acuan waktunya
13. Kapan waktu anda meminum obat?
o Pagi hari
o Siang hari
o Malam hari
14. Apakah waktu anda minum obat sudah sesuai dengan yang disarankan
oleh petugas kesehatan?
o Ya
o Tidak
Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Tingkat Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
62
SMP 12 30.0 30.0 70.0
Pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Penghasilan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Motivasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Pengetahuan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
63
Kepatuhan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Biaya Pengobatan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Biaya Transport
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Jarak Rumah
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
64
Dukungan Sosial
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Lama Pengobatan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Efek Samping
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Crosstab
Count
Kepatuhan
65
Ada 0 0 0
Total 3 37 40
Chi-Square Tests
a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .08.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Asymp. Std.
Value Errora Approx. Tb Approx. Sig.
2. Biaya Transport
Crosstab
Count
Kepatuhan
Ada 2 35 37
Total 3 37 40
Chi-Square Tests
66
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .23.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Asymp. Std.
Value Errora Approx. Tb Approx. Sig.
3. Jarak Rumah
Crosstab
Count
Kepatuhan
Jarak Rumah ≤3 km 2 28 30
>3 km 1 9 10
Total 3 37 40
Chi-Square Tests
67
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .75.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Asymp. Std.
Value Errora Approx. Tb Approx. Sig.
4. Dukungan Keluarga
Crosstab
Count
Kepatuhan
Cukup 2 2 4
Baik 1 32 33
Total 3 37 40
Chi-Square Tests
Symmetric Measures
Asymp. Std.
Value Errora Approx. Tb Approx. Sig.
68
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
5. Lama pengobatan
Crosstab
Count
Kepatuhan
Fase Lanjutan 2 19 21
Total 3 37 40
Chi-Square Tests
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.43.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Asymp. Std.
Value Errora Approx. Tb Approx. Sig.
6. Efek Samping
Crosstab
Count
Kepatuhan
69
Ada 1 14 15
Total 3 37 40
Chi-Square Tests
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.13.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Asymp. Std.
Value Errora Approx. Tb Approx. Sig.
70