Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA

KELOMPOK 3 :

Michelle Dachi (19142010261)

Freisilia Luwuunaung (19142010174)

Yemima Sumolang (19142010183)

Shellyn Lempoy (19142010192)

Faldi Palatangara (19142010003)

Meisyana Manoi (19142010247)

Tewifesti fanti Pola (1714201279)


A. Definisi

Pneumonia adalah salah satu bentuk infeksi saluran nafas bawah akut
(ISNBA) merupakan peradangan yang mengenai parenkim paru dari bronkhiolus
terminalis yang mencakup bronkhiolus respiratorius, dan alveoli serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran udara (Dahlan, 2007).

Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantung-


kantung kemampuan menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen
membuat sel-sel tubuh tidak bekerja. Inilah penyebab penderita pneumonia dapat
meninggal, selain dari penyebaran infeksi ke seluruh tubuh (Misnadiarly, 2008).

Pneumonia adalah suatu infeksi atau peradangan pada organ paru-paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, ataupun parasit, dimana pulmonary alveolus
(alveoli), organ yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer, mengalami
peradangan dan terisi oleh cairan (shaleh, 2013).

B. Anatomi dan Fisiologi

1. Rongga Hidung (Cavum Nasalis)

Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung
berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan
kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda
asing yang masuk lewat saluran pernapasan. 12 Selain itu, terdapat juga rambut
pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama
udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi
menghangatkan udara yang masuk. Di sebelah belakang rongga hidung terhubung
dengan nasofaring melalui dua lubang yang disebut choanae. Pada permukaan rongga
hidung terdapat rambut-rambut halus dan selaput lendir yang berfungsi untuk
menyaring udara yang masuk ke dalam rongga hidung.
2. Faring (Tenggorokan)

Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan percabangan 2 saluran,
yaitu saluran pernapasan (nasofarings) pada bagian depan dan saluran pencernaan
(orofarings) pada bagian belakang. Pada bagian belakang faring (posterior) terdapat
laring (tekak) tempat terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui
faring akan menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara. Makan
sambil berbicara dapat mengakibatkan makanan masuk ke saluran pernapasan karena
saluran pernapasan pada saat tersebut sedang terbuka. Walaupun demikian, saraf kita
akan mengatur agar peristiwa menelan, bernapas, dan berbicara tidak terjadi
bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan. Fungsi utama faring adalah
menyediakan saluran 13 bagi udara yang keluar masuk dan juga sebagi jalan makanan
dan minuman yang ditelan, faring juga menyediakan ruang dengung(resonansi) untuk
suara percakapan.

3. Pangkal Tenggorokan (laring)

Laring merupakan suatu saluran yang dikelilingi oleh tulang rawan. Laring berada
diantara orofaring dan trakea, didepan lariofaring. Salah satu tulang rawan pada laring
disebut epiglotis. Epiglotis terletak di ujung bagian pangkal laring. Laring diselaputi
oleh membrane mukosa yang terdiri dari epitel berlapis pipih yang cukup tebal
sehingga kuat untuk menahan getaran-getaran suara pada laring. Fungsi utama laring
adalah menghasilkan suara dan juga sebagai tempat keluar masuknya udara. Pangkal
tenggorok disusun oleh beberapa tulang rawan yang membentuk jakun. Pangkal
tenggorok dapat ditutup oleh katup pangkal tenggorok (epiglotis). Pada waktu
menelan makanan, katup tersebut menutup pangkal tenggorok dan pada waktu
bernapas katup membuka. Pada pangkal tenggorok terdapat selaput suara yang akan
bergetar bila ada udara dari paru-paru, misalnya pada waktu kita bicara.14

4. Batang Tenggorokan (Trakea)


Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak sebagian di leher dan
sebagian di rongga dada (torak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh
4 cincin tulang rawan, dan pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi
menyaring benda-benda asing yang masuk ke saluran pernapasan. Batang tenggorok
(trakea) terletak di sebelah depan kerongkongan. Di dalam rongga dada, batang
tenggorok bercabang menjadi dua cabang tenggorok (bronkus). Di dalam paru-paru,
cabang tenggorok bercabang-cabang lagi menjadi saluran yang sangat kecil disebut
bronkiolus. Ujung bronkiolus berupa gelembung kecil yang disebut gelembung paru-
paru (alveolus).

5. Cabang Batang Tenggorokan (Bronkus)

Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan
bronkus kiri. Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang
rawan bronkus bentuknya tidak teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar
cincin tulang rawannya melingkari lumen dengan sempurna. Bronkus
bercabangcabang lagi menjadi bronkiolus. Batang tenggorokan bercabang menjadi
dua bronkus, yaitu bronkus sebelah kiri dan sebelah kanan. Kedua bronkus menuju
paru-paru, bronkus bercabang lagi menjadi bronkiolus. 15 Bronkus sebelah
kanan(bronkus primer) bercabang menjadi tiga bronkus lobaris (bronkus sekunder),
sedangkan bronkus sebelah kiri bercabang menjadi dua bronkiolus. Cabang-cabang
yang paling kecil masuk ke dalam gelembung paru-paru atau alveolus. Fungsi utama
bronkus adalah menyediakan jalan bagi udara yang masuk dan keluar paru-paru.

6. Bronchiolus

Tidak mengandung lempeng tulang rawan, tidak mengandung kelenjar submukosa.


Otot polos bercampur dengan jaringan ikat longgar, sel bronkiolar tanpa silia (sel
Clara). Lamina propria tidak mengandung sel goblet. Bronchiolus berfungsi sebagai
pengatur jumlah udara yang masuk dan keluar dari alveoli.

7. Alveolus

Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat terjadinya


pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara yang dihirup.
Jumlahnya 200 - 500 juta. Terdapat tiga jenis sel-sel alveolar Sel alveolar tipe I adalah
sel epitel yang membentuk diding alveolar, Tipe II sel-sel yang aktif secara metabolik,
mensekresi surfaktan, suatu fosfolifit yang melapisi permukaan dalam dan mencegah
alveolar agar tidak kolaps, dan Tipe III makrofag yang merupakan sel-sel fagositis
yang besar yang memakan 16 benda asing (mis, lendir, bakteri), dan bekerja sebagai
mekanisme pertahan yang penting

C. Etiologi

Penyebab pneumonia pada orang dewasa dan usia lanjut umumnya adalah bakteri.
Penyebab paling umum pneumonia di Amerika Serikat yaitu bakteri Streptococcus
pneumonia, atau Pneumococcus. Sedangkan pneumonia yang disebabkan karena virus
umumnya adalah Respiratory Syncytial Virus, rhinovirus, Herpes Simplex Virus,
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)(Nursalam, 2016).

Fisiologis :

1. Spasme jalan nafas


2. Hipersekresi jalan nafas
3. Disfungsi neuromuskuler
4. Benda asing dalam dalam jalan nafas
5. Adanya jalan nafas buatan
6. Sekresi yang tertahan
7. Hiperplasia dinding jalan nafas
8. Proses infeksi
9. Respon alergi
10. Efek agen farmakologis (mis.anastesi)

Situasional :

1. Merokok aktif
2. Merokok pasif
3. Terpajan polutan

a. Bakteri
Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebabnya yaitu :

1) Typical organisme Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa :

a) Streptococcus pneumonia merupakan bakteri anaerob fakultatif. Bakteri patogen ini


di temukan pneumonia komunitas rawat inap di luar ICU sebanyak 20-60%,
sedangkan pada pneumonia komunitas rawat inap di ICU sebanyak 33%.

b) Staphylococcus aureus bakteri anaerob fakultatif. Pada pasien yang diberikan obat
secara intravena (intravena drug abusers) 17 memungkan infeksi kuman ini menyebar
secara hematogen dari kontaminasi injeksi awal menuju ke paruparu. Apabila suatu
organ telah terinfeksi kuman ini akan timbul tanda khas, yaitu peradangan, nekrosis
dan pembentukan abses.

c) Enterococcus (E. faecalis, E faecium) 2) Atipikal organisme Bakteri yang termasuk


atipikal ada alah Mycoplasma sp, chlamedia sp, Legionella sp.

b. Virus

Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui droplet, biasanya menyerang
pada pasien dengan imunodefisiensi. Diduga virus penyebabnya adalah cytomegali
virus, herpes simplex virus, varicella zooster virus.

c. Fungi

Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur oportunistik, dimana
spora jamur masuk kedalam tubuh saat menghirup udara. Organisme yang menyerang adalah
Candida sp, Aspergillus sp, Cryptococcus neoformans.

d. Lingkungan

Faktor lingkungan termasuk faktor yang sangat mempengaruhi untuk terjadinya


pneumonia salah satunya yaitu pencemaran udara. Pencemaran udara dalam rumah
dipengaruhi 18 oleh berbagai factor antara lain, bahan bangunan (misal; asbes),
struktur bangunan (misal; ventilasi), bahan pelapis untuk furniture serta interior (pada
pelarut organiknya), kepadatan hunian, kualitas udara luar rumah (ambient air
quality), radiasi dari Radon (Rd), formaldehid, debu, dan kelembaban yang
berlebihan. Selainitu, kualitas udara juga dipengaruhi oleh kegiatan dalam rumah
seperti dalam hal penggunaan energy tidak ramah lingkungan, penggunaan sumber
energi yang relative murah seperti batu bara dan biomasa (kayu, kotoran kering dari
hewan ternak, residu pertanian), perilaku merokok dalam rumah, penggunaan
pestisida, penggunaan bahan kimia pembersih, dan kosmetika. Bahan-bahan kimia
tersebut dapat mengeluarkan polutan yang dapat bertahan dalam rumah untuk jangka
waktu yang cukup lama (Kemenkes RI, 2011).

D. Patofisiologi

Menurut pendapat Sujono & Sukarmin (2009), kuman masuk

kedalam jaringan paru-paru melalui saluran nafas bagian atas menuju ke

bronkhiolus dan alveolus. Setelah Bakteri masuk dapat menimbulkan

reaksi peradangan dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein.

Kuman pneumokokusus dapat meluas dari alveoli ke seluruh

segmen atau lobus. Eritrosit dan leukosit mengalami peningkatan,

sehingga Alveoli penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit, fibrin

dan leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar, paru menjadi

tidak berisi udara. Pada tingkat lebih lanjut, aliran darah menurun

sehingga alveoli penuh dengan leukosit dan eritrosit menjadi sedikit.

Setelah itu paru tampak berwarna abu-abu kekuningan. Perlahan sel

darah merah yang akan masuk ke alveoli menjadi mati dan terdapat

eksudat pada alveolus Sehingga membran dari alveolus akan mengalami

kerusakan yang dapat mengakibatkan gangguan proses difusi osmosis

oksigen dan berdampak pada penurunan jumlah oksigen yang dibawa

oleh darah.

Secara klinis penderita mengalami pucat sampai sianosis.

Terdapatnya cairan purulent pada alveolus menyebabkan peningkatan

tekanan pada paru, dan dapat menurunan kemampuan mengambil


oksigen dari luar serta mengakibatkan berkurangnya kapasitas paru.

Sehingga penderita akan menggunakan otot bantu pernafasan yang dapat

menimbulkan retraksi dada.

Secara hematogen maupun lewat penyebaran sel, mikroorganisme

yang ada di paru akan menyebar ke bronkus sehingga terjadi fase

peradangan lumen bronkus. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkan

produksi mukosa dan peningkatan gerakan silia sehingga timbul reflek

batuk.

E. Patway
.

F. Manifestasi Klinis

Gejala klinis dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non
produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak
darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien
lebih suka berbaring pada yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada

Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat
pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai
pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, dan ronki(Nursalam,
2016).

Sedangkan menurut (Nursalam, 2016)

pneumonia menunjukan gejala klinis sebagai berikut:

a. Batuk

b. Sputum produktif

c. Sesak nafas 24

d. Ronki

e. Demam tidak setabil

f. Leukositosis

g. Infiltrat

G. Pemeriksaan Penunjang

a. Radiologi

Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan


penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan diagnosis pneumonia. Gambaran
radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan air bronchogram,
penyebaran bronkogenik dan intertisial serta gambaran kavitas.

b. Laboratorium

Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul, Leukosit


polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat pula ditemukanleukopenia.

c. Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan kultur darah untuk


mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan koagulasi antigen polisakarida
pneumokokkus.

d. Analisa Gas Darah


Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus, tekanan parsial
karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium lanjut menunjukkan asidosis
respiratorik.

H. Penatalaksanaan

Karena penyebab pneumonia bervariasi membuat penanganannya pun akan disesuaikan


dengan penyebab tersebut. Selain itu, penanganan dan pengobatan pada penderita pneumonia
tergantung dari tinggkat keparahan gejala yang timbul dari infeksi pneumonia itu sendiri
(shaleh, 2013).

a. Bagi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri

Maka pemberian antibiotik adalah yang paling tepat. Pengobatan haruslah benar-benar
komplit sampai benar-benar tidak lagi adanya gejala pada penderita. Selain itu, hasil
pemeriksaan X-Ray dan sputum harus tidak lagi menampakkan adanya bakteri pneumonia.
Jika pengobatan ini tidak dilakukan secara komplit maka suatu saat pneumonia akan kembali
mendera si penderita (shaleh, 2013).

1) Untuk bakteri Streptococus

Pneumoniae Bisa diatasi dengan pemberian vaksin dan antibiotik. Ada dua vaksin tersedia,
yaitu pneumococcal conjugate vaccine dan pneumococcal polysacharide vaccine.
Pneumococcal conjugate vaccine adalah vaksin yang menjadi bagian dari imunisasi bayi dan
direkomendasikan untuk semua anak dibawah usia 2 tahun dan anak-anak yang berumur 2-4
tahun. Sementara itu pneumococcal polysacharide vaccine direkomendasikan bagi orang
dewasa. 26 Sedangkan antibiotik yang sering digunakan dalam perawatan tipe pneumonia ini
termasuk penicillin, amoxcillin, dan clavulanic acid, serta macrolide antibiotics, termasuk
erythromycin (shaleh, 2013).

2) Untuk bakteri Hemophilus Influenzae

Antibiotik yang bermanfaat dalam kasus ini adalah generasi cephalosporins kedua dan ketiga,
amoxillin dan clavulanic acid, fluoroquinolones (lefofloxacin), maxifloxacin oral, gatifloxacin
oral, serta sulfamethoxazole dan trimethoprim (shaleh, 2013).

3) Untuk bakteri Mycoplasma


Dengan cara memberikan antibiotik macrolides (erythromycin, clarithomycin, azithromicin
dan fluoroquinolones), antibiotik ini umum diresepkan untuk merawat mycoplasma
pneumonia (shaleh, 2013).

b. Bagi pneumonia yang disebabkan oleh virus

Pengobatannya hampir sama dengan pengobatan pada penderita flu. Namun, yang lebih
ditekankandalam menangani penyakit pneumonia ini adalah banyak beristirahat dan
pemberian nutrisi yang baik untuk membantu pemulihan daya tahan tubuh. Sebab bagaimana
pun juga virus akan dikalahkan jika daya tahan tubuh sangat baik (shaleh, 2013).27

c. Bagi pneumonia yang disebabkan oleh jamur

Cara pengobatannya akan sama dengan cara mengobati panyakit jamur lainnya. Hal yang
paling penting adalah pemberian obat anti jamur agar bisa mengatasi pneumonia (shaleh,
2013).
METODE PENELITIAN

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif ana-litik dengan rancangan cross-sectional Populasi
penelitian adalah balita yang dirawat di Rumah Sakit X di Jakarta. Sampel penelitian adalah balita
yang dirawat jalan dan rawat inap di RS X, tercatat dalam rekam medis rumah sakit selama 2011
sesuai dengan kriteria inklusi; (1) pasien balita usia 1 sampai 59 bulan di RS, dan (2) bersedia menjadi
responden. Kriteria eksklusi adalah responden tidak mengerti bahasa Indonesia. Jumlah responden
yang digunakan yaitu 138 balita. Teknik pengambilan sampel menggunakan non probability sampling
jenis consecutive sampling.

Penelitian dilakukan di ruang poli anak dan ruang rawat anak RS X Jakarta. Waktu penelitian
dilakukan pada April-Juni 2011. Alat pengumpulan data kuesioner yang digunakan untuk
mengumpulkan data tentang karakteristik responden dan mencatat adanya faktor risiko pneumonia.
Analisis data yang digunakan antara lain analisis univariat, analisis bivariat dengan uji statistik Chi
Square serta analisis multivariat dengan uji regresi logistik.

Hasil

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Pneumonia pada Anak Balita

Kejadian pneumonia

Jumlah balita yang mengalami pneumonia di rumah sakit 63 balita (45,7%), sedangkan balita yang
tidak mengalami pneumonia yaitu 75 balita (54,3%).

Karakteristik anak balita

Jumlah balita yang berusia < 12 bulan 52 balita (37,7%), berusia > 12 bulan sampai < 60 bulan 86
balita (62,3%). Balita yang mendapatkan ASI eksklusif 30 balita (21,7%) dan yang tidak
mendapatakan ASI eksklusif 108 balita (78,3%). Balita yang mempunyai status gizi baik 113 balita
(81,9%) dan status gizi kurang 25 balita (18,1%).

Karakteristik lingkungan balita

Ibu balita yang berpendidikan menengah 78 orang (56,5%), berpendidikan sarjana 32 orang (23,2%),

berpendidikan dasar 28 orang (20,3%). Ibu balita yang berpengetahuan rendah dan cukup 108 orang
(78,2%), dan pengetahuan tinggi 30 orang (21,7%). Orangtua yang berpenghasilan sedang 76 orang
(55,1%), penghasilan rendah 42 orang (29,7%), dan penghasilan tinggi 21 orang (15,2%). Selain itu,
balita yang tinggal di kepadatan rumah tidak padat 80 balita (58%) dan balita yang tinggal di
kepadatan rumah yang padat 58 balita (42%). Rumah balita yang berventilasi udara 88 balita (63,8%)
dan yang tidak berventilasi udara 50 balita (36,2%).

Karakteristik perilaku

Balita yang tidak mempunyai anggota keluarga dengan kebiasaan merokok didalam rumah lebih
banyak yaitu sebesar 74 (53,6%) dibanding dengan balita yang mempunyai anggota keluarga dengan
kebiasaan merokok didalam rumah.
Karakteristik pelayanan kesehatan

Orangtua yang menggunakan pelayanan kesehatan 127 orang (92%) dan orangtua yang tidak
menggunakan pelayanan kesehatan 11 orang (8%). Hubungan antara Faktor Anak dengan Kejadian
Pneumonia pada Anak Balita

Tabel 1 menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara usia, riwayat pemberian ASI eksklusif
status gizi, riwayat pemberian imunisasi campak, riwayat pemberian imunisasi DPT pada balita
dengan kejadian pneumonia (p berturut-turut= 0,002, 0,003, 0,000, 0,002, 0,049; α= 0,05).

Tabel 1

Hal ini menunjukkan usia, riwayat pemberian ASI ekslusif, status gizi, riwayat pemberian imunisasi
campak dan imunisasi DPT berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada balita. Hasil uji statistik
menunjukkan balita yang berusia <12 bulan mempunyai peluang 3,24 kali untuk mengalami
pneumonia dibanding dengan balita berusia >12 - <60 bulan (95% CI: 1,58-6,64). Pada balita yang
tidak mendapatkan ASI eksklusif mempunyai peluang mengalami pneumonia 4,47 kali dibanding
balita yang mendapatkan ASI eksklusif (95% CI: 1,68-11,80). Pada balita yang memiliki status gizi
kurang berpeluang untuk terjadi pneumonia sebesar 6,52 kali dibanding responden yang berstatus
gizi baik (95% CI: 2,28-18,63).

Hasil uji statistik juga menunjukkan balita yang tidak mendapatkan imunisasi campak berpeluang
mengalami pneumonia 3,21 kali dibanding balita yang mendapatkan imunisasi campak (95% CI: 1,58-
6,52). Pada balita yang tidak mendapat imunisasi DPT berpeluang mengalami pneumonia 2,34 kali
dibandingkan balita yang mendapat imunisasi DPT (95% CI: 1,07–5,09).

Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, berat badan

lahir, riwayat pemberian vitamin A, riwayat asma pada balita dengan kejadian pneumonia (p
berturut-turut= 0,64; 0,68; 0,298; 0,366; α= 0,05). Hal ini menunjukkan jenis kelamin, berat badan
lahir, ri- wayat pemberian vitamin A, dan riwayat asma tidak mempengaruhi kejadian pneumonia
pada balita.

Berdasarkan hasil uji statistik, bahwa balita berjenis kelamin laki-laki berpeluang 1,24 kali untuk me-
ngalami pneumonia dibanding balita berjenis kelamin perempuan (95% CI : 0,63-2,45). Pada balita
dengan berat badan lahir <2500 gram berpeluang mengalami pneumonia sebanyak 1,38 kali
dibanding balita dengan berat badan lahir > 2500 gram (95% CI: 0,52-3,65).

Hasil uji statistik menunjukkan balita yang tidak mendapatkan vitamin A berpeluang mengalami
pneumonia 1,58 kali dibanding balita yang mendapat vitamin A (95% CI: 0,76-3,29). Pada balita
dengan riwayat asma berpeluang mengalami pneumonia 1,83 kali dibanding balita yang tidak
mempunyai riwayat asma (95% CI: 0,65 - 5,14).
Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita

Tabel 2 menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu (rendah, menengah) dan
tingkat penghasilan orangtua (sedang) dengan kejadian pneumonia pada balita (p berturut-turut=
0,64, 0,64, 0,091; α= 0,05). Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan rendah dan menengah pada ibu
serta tingkat penghasilan sedang orangtua tidak mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita.
Hasil uji statistik menunjukkan ibu balita berpendidikan rendah berpeluang anak balitanya
mengalami pneumonia sebesar 0,81 kali dibanding ibu balita berpendidikan tinggi (95% CI: 0,34-
1,93). Pada ibu balita berpendidikan menengah berpeluang anak balitanya mengalami pneumonia
0,78 kali dibanding ibu balita yang berpendidikan tinggi (95% CI: 0,28-2,15). Pada orangtua balita
berpenghasilan sedang berpeluang balitanya mengalami pneumonia 0,39 kali dibanding orangtua
balita berpenghasilan tinggi (95% CI: 0,13-1,16).

Hasil analisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu (rendah, sedang), tingkat penghasilan
orangtua, kepadatan rumah, dan ventilasi udara rumah balita dengan kejadian pneumonia didapat
ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu balita rendah dengan kejadian pneumonia (p
berturut-turut= 0,024, 0,037, 0,028, 0,037, 0,018; α= 0,05). Hal ini menunjukkan tingkat
pengetahuan ibu (rendah, sedang), tingkat penghasilan orangtua, kepadatan rumah, dan ventilasi
udara rumah balita mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita.

Berdasarkan hasil uji statistik, menjelaskan ibu balita berpengetahuan rendah berpeluang balitanya
mengalami pneumonia 0,4 kali dibanding yang berpengetahuan tinggi (95% CI: 0,18-0,88). Pada
orangtua balita berpenghasilan rendah berpeluang balita mengalami pneumonia 0,42 kali dibanding
yang berpenghasilan tinggi (95% CI: 0,19-0,91). Balita yang tinggal di kepadatan hunian yang padat
berpeluang mengalami pneumonia 2,20 kali dibanding balita yang tinggal di kepadatan hunian tidak
padat (95% CI: 1,10-4,38). Pada balita yang tinggal dengan rumah tidak berventilasi udara
berpeluang mengalami pneumonia 2,5 kali dibanding balita yang tinggal dirumah yang memiliki
ventilasi udara (95% CI: 1,23 – 5,09).

Hubungan antara Faktor Perilaku dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita

Tabel 3 menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga di dalam rumah
dengan kejadian pneumonia (p= 0,013; α= 0,05). Hal ini menunjukkan kebiasaan merokok anggota
keluarga di dalam rumah berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada balita. Hasil uji statistik
menjelaskan balita yang memiliki keluarga dengan kebiasaan merokok di dalam rumah berpeluang
mengalami pneumonia 2,53 kali (95% CI: 1,27-5,04) dibanding balita yang tidak memiliki keluarga
dengan kebiasaan merokok didalam rumah.
Asuhan Keperawatan

Pengkajian
a. Identitas Anak

Nama pasien adalah By. R berusia 2 bulan 4 hari. Pasien lahir pada tanggal 13 Mei 2018 berjenis
kelamin laki-laki. Pasien beralamatkan desa wumbubangka, kabupaten bombana. Pasien tinggal
bersama kedua orang tua pasien. Nama orang tua pasien adalah Tn A dan Ny. M. Ayah pasien
bekerja sebagai karyawan tambang dan Ibu pasien bekerja sebagai Ibu rumah tangga. Pasien
didiagnosa oleh dokter dengan Pneumonia.

b. Riwayat Keperawatan

1) Riwayat kesehatan sekarang

Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan sesak napas sejak ±3 jam yang lalu. Sebelumnya
pasien telah mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Bombana, karena keterbatasan alat pasien di
rujuk ke Rumah Sakit Umum Bahteramas Prov. Sultra. Pada tanggal 17 Juli 2018 di Ruang Intalasi
Gawat Darurat pasien telah mendapatkan pertolongan pertama yaitu pemberian oksigen 8
liter/menit, inhalasi combivent 12 cc + NaCl 1cc, dan prosedur suction. Pada tanggal 18 Juli 2018
pasien dipindahkan di Ruang perawatan Lambu Barakati Anak. Pada saat dilakukan pengkajian, ibu
pasien mengatakan By. R masih sesak napas dan gelisah.

2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Ibu pasien mengatakan By. R baru pertama kali megelisah Pneumonia. By. R lahir dengan persalinan
normal, dan tidak memiliki alergi. Setelah lahir By. R mendapatkan imunisasi Hepatitis B 1 kali dan
pada usia 2 bulan By. R mendapatkan Imunisasi BCG 1 kali.

3) Riwayat Penyakit Keluarga

Ibu pasien pernah menderita penyakit gastritis. Klien tinggkal didekat daerah pertambangan. Ayah
pasien merupakan seorang perokok aktif.

4) Riwayat Nutrisi

Ibu pasien tidak memberikan By. R ASI eksklusif. Setiap hari By. R mengkonsumsi ASI dan susu
formula untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
5) Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Saat ini By. R memiliki berat badan 3 Kg, tinggi badan 56 cm, lingkar kepala 37 cm, dan lingkar lengan
atas 9 cm. Berat badan lahir 3,5 Kg dan berat badan sebelum sakit 3,6 Kg. Pasien memiliki Refleks
mengisap, mampu menoleh, mampu melihat, dan menggenggam.

c. Observasi dan Pengkajian Fisik (Body Sistem)

a. Keadaan Umum: Lemah


b. Suhu: 37,2°C Nadi: 144 kali/menit Respirasi: 64 kali/menit

1) Pernapasan

Bentuk dada normal, pola napas tidak teratur, frekuensi 64 Kali/menit, irama tidak teratur, jenis
dyspnea, bunyi napas crackels dan wheezing, ada retraksi otot bantu napas, pada dinding dada
terdapat tarikan, pernapasan cuping hidung, menggunakan alat bantu pernapasan (nasal), batuk,
dan terdapat sedikit lender pada mulut pasien.

2) Kardiovaskuler

Irama jantung regular, pulsasi kuat, tidak ada murmur, CRT <3 detik, cyanosis tidak ada, clubingfinger
tidak ada.

3) Persyarafan

Kesadaran composmentis, reflek mengisap ada, menoleh ada, menggenggam lemah, tidak ada
kejang. Kebiasaan sebelum tidur minum susu.

4) Genetourinaria

Bentuk normal, uretra normal, kebersihan alat kelamin bersih, Frekuensi kemih 5-6 kali sehari, tidak
terdapat masalah pada Eliminasi urine.

5) Pencernaan

Mukosa bibir lembab, bentuk bibir normal, kebersihan rongga mulut bersih. Buang air besar 2 kali
sehari, konsistensi cair.

6) Musculoskeletal dan Integumen


Kemampuan pergerakan sendi lengan dan tungkai bebas, akral hangat, turgor baik, kelembaban kulit
lembab, tidak ada oedema, kebersihan bersih.

7) Penginderaan

Mata: simetris, pupil isokor, diameter pupil 2 mm, reflek cahaya positif, konjungtiva anemis, skelera
tidak ikterik, tidak ada edema pada palpebra. Hidung: bentuk normal, simetris, tidak ada secret,
mukosa lembab. Telinga: simetris, tidak ada benda asing dan serumen.

8) Endokrin

Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran kelenjar parotis, tidak ada
hiperglikemia.

9) Aspek Psikososial

Ekspresi lemas, keluarga kooperatif terhadap tindakan yang diberikan pada pasien. Keluarga ingin
pasien cepat sembuh.

d. Pemeriksaan Diagnostik

Foto Thoraks AP

1) Tampak perselubungan suprahilar kanan, super posisi scapula


2) Cor: bentuk, letak, dan ukuran CTI dalam batas normal
3) Sinus costophrenicus kanan/kiri lancip
4) Diafragma kanan/kiri dalam batas normal
5) Tulang-tulang intak
6) Kesan: Pneumonia

e. Terapi

1) Oksigen (nasal): 12Liter/menit


2) IVFD D5% 12 NS (10 tetes/menit)
3) Injeksi Ceftrazidin 2 x 250 mg/ Intravena
4) Injeksi Gentamisin 2 x 16 mg/ Intravena
5) Zink 1 x 12Tablet (puyer)
6) Inhalasi combivent 12 + NaCl 1cc/ 8 jam
Klasifikasi Data

Data Subjektif:

Ibu pasien mengatakan By. R sesak napas dan gelisah.

Data Objektif:

a) Keadaan umum lemah tanda – tanda vital: Suhu: 37,2°C, Nadi: 144 kali/ menit, Respirasi: 64
kali/ menit
b) Pola napas tidak teratur
c) Irama tidak teratur
d) Dyspnea
e) Bunyi napas crackels dan wheezing
f) Ada retraksi otot bantu napas
g) Pada dinding dada terdapat tarikan
h) Pernapasan cuping hidung
i) Batuk
j) Sedikit lender pada mulut pasien
k) Menggunakan alat bantu pernapasan (nasal kanul)
l) Pemeriksaan diagnostik: kesan pneumonia

Diaknosa Keperawatan
DX 1: Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan.

1) Definisi

Ketidak mampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas untuk mempertahankan jalan
nafas tetap paten.

2) Tanda mayor dan minor


a) Tanda mayor

(1).Tanda mayor objektif:

(a) Batuk tidak efektif atau tidak mampu batuk


(b) Sputum berlebih / obstruksi dijalan nafas
(c) Mengi, wheezing dan / atau ronkhi kering.
b) Tanda minor

(1).Tanda minor subjektif:

(a) Dispnea
(b) Sulit bicara
(c) Ortopnea

(2).Tanda minor objektif:


(a) Gelisah
(b) Sianosis
(c) Bunyi nafas menurun
(d) Frekuensi nafas berubah
(e) Pola nafas berubah
3) Kondisi klinis terkait
a) Infeksi saluran nafas

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan nafas meningkat L.01001

Kriteria hasil: L.01001

1) Batuk efektif meningkat


2) Produksi sputum menurun
3) Mengi menurun
4) Wheezing menurun
5) Dispnea menurun
6) Sianosis menurun
7) Frekuensi nafas membaik
8) Pola nafas membaik

Intervensi keperawatan:

Latihan batuk efektif 1.01006

1) Observasi
a) Identifikasi kemampuan batuk
b) Monitor adanya retensi sputum
c) Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
d) Monitor input dan output cairan (mis. Jumlah dan

Karakteristik)

2) Terapeutik

a) Atur posisi semi-fowler atau fowler


b) Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
c) Buang sekret pada tempat sputum

3) Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
b) Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama 2 detik,
kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mecucu (dibulatkan) selam 8 detik
c) Anjurkan tarik nafas dalam hingga 3 kali
d) Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik nafas Dalam yang ke-3
4) Kolaborasi

a) Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu

DX 2: Intoleransi Aktivitas nd kelemahan fisik

1) Definisi :

Ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari definis

2) Tanda Mayor dan Mayor


a.Mayor

((1). Tanda Mayor Subjektif

b) Mengeluh lelah

((2). Tanda Mayor Objektif

a) Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi sehat


a.Minor

((1). Tanda Minor Subjektif

a) Dispnea saat/setelah aktivitas


b) Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
c) Merasa lemah

(2) Tanda Minor Objektif

a) Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat


b) Gambaran EKG menunjukan aritmia saat/setelah aktivitas
c) Gambaran EKG menunjukan iskemia
d) Sianosis

b.Kondisi Klinis Terkait


a) Anemia
b) Gagal jantung kongesif
c) Penyakit jantung koroner
d) Penyakit katup jantung
e) Aritmia
f) Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK)
g) Gangguan metabolik
h) Gangguan muskuloskeletal

Hasil kriteria:

a) Frekuensi nadi meningkat


b) Kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari cukup meningkat
c) Kecepatan berjalan meningkat
d) Jarak berjalan meningkat
e) Keluhan lelah menurun
f) Dispnea saat aktivitas menurun
g) Dispnea setelah aktivitas menurun
h) Perasaan lelah menurun
i) Sianosis menurun
j) Tekanan darah membaik
k) Frekuensi nafas membaik

Intervensi Keperawatan:

1) Observasi
a) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelemahan
b) Monitor kelelahan fisik emosional
c) Monitor pola dan jam tidur
d) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas

2) Terapeutik
a) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. Cahaya, suara, kunjungan)
b) Lakukan latihan renang gerak pasif dan aktif
c) Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan

3) Edukasi
a) Anjurkan Tira baring
b) Anjurkan melakukan aktivitas bertahap
c) Anjurkan menghubungi perawat jika tidak dapat berpindah atau berjalan
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan

DX 3: Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolus-kapiler


D.0003

1) Definisi

Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolus-
kapiler.

2) Tanda mayor dan minor


a) Tanda mayor
(1).Tanda mayor subjektif

(a) Dispnea

(2).Tanda mayor objektif

(a) PCO2 meningkat / menurun


(b) PO2 menurun
(c) Takikardi
(d) PH arteri meningkat / menurun
(e) Bunyi nafas tambahan
b) Tanda minor

(1).Tanda minor subjektif

(a) Pusing
(b) Penglihatan kabur

(2).Tanda minor objektif

(a) Sianosis
(b) Diaforesis
(c) Gelisah
(d) Nafas cuping hidung
(e) Pola nafas abnormal (cepat/lambat, regular/ireguler, dalam/dangkal)
(f) Warna kulit abnormal
(g) Kesadaran menurun

3) Kondisi klinis terkait


a) Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
b) Pneumonia
c) Infeksi saluran nafas

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pertukaran gas meningkat L.01003

Kriteria hasil: L.01003

a) Dispnea menurun
b) Bunyi nafas tambahan menurun
c) Pusing menurun
d) Penglihatan kabur menurun
e) Nafas cuping hidung menurun
f) PCO2 dan PO2 membaik
g) Takikardi membaik
h) Sianosis membaik
i) Pola nafas membaik

Intervensi keperawatan:

Pemantauan respirasi 1.01014


1) Observasi
a) Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
b) Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi)
c) Monitor kemampuan batuk efektif
d) Monitor adanya produksi sputum
e) Monitor adanya sumbatan jalan nafas
f) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
g) Auskultasi bunyi nafas
h) Monitor saturasi oksigen
i) Monitor AGD
j) Monitor hasil x-ray toraks

2) Terapeutik
a) Atur interval pemantuan respirasi sesuai kondisi pasien
b) Dokumentasikan hasil pemantauan

3) Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauaan
b) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Anda mungkin juga menyukai