Anda di halaman 1dari 12

PPN DAN BEA MASUK

A. Definisi Fasilitas PPN

Fasilitas PPN merupakan bentuk-bentuk perlakuan khusus terkait pungutan Pajak


Pertambangan Nilai (PPN) atas barang atau kegiatan tertentu. Pemberian fasilitas PPN
diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. Memacu beberapa sektor ekonomi potensial


2. Mendorong perkembangan usaha
3. Meningkatkan daya saing produk dalam negeri
4. Mendukung pertahanan nasional
5. Mendukung kelancaran pembangunan nasional

B. Jenis-Jenis Fasilitas PPN

Atas tujuan-tujuan yang sudah disebutkan tersebut, pemerintah memberikan fasilitas sebagai
berikut:

1. Fasilitas PPN berupa pengenaan tarif 0%


2. Fasilitas PPN dalam bentuk tidak dikenakan pungutan PPN
3. Fasilitas PPN berupa pembebasan PPN
4. Fasilitas PPN dalam bentuk tidak dipungut PPN
Empat fasilitas PPN ini diterapkan dengan mekanisme pelaksanaan yang masing-masing
berbeda dan memiliki karakteristik yang berbeda pula.

1. Fasilitas PPN Pengenaan Tarif 0%

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 atau UU PPN, pemberian fasilitas PPN
berupa pengenaan tarif 0% ini diberikan kepada kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) berwujud


2. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud
3. Ekspor Jasa Kena Pajak (JKP)
Terhadap tiga kegiatan di atas, pemerintah memberikan fasilitas berupa pengenaan tarif PPN
0%. Artinya, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memang berorientasi ekspor akan
mendapatkan fasilitas PPN tarif 0% ini. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan daya
saing ekspor dari industri dalam negeri.

2. Fasilitas PPN Dalam Bentuk Tidak Dikenakan Pungutan PPN

Fasilitas PPN dalam bentuk tidak dikenakan pungutan PPN diberikan pada barang dan jasa
yang penggunaannya menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal ini dimungkinkan, meski
sejatinya barang dan jasa yang beredar di masyarakat merupakan BKP/JKP dan untuk itu ada
pungutan PPN.

Pasalnya, ada beberapa jenis barang dan jasa yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh
khalayak umum. Oleh karena itu, kegiatan penyerahan dan perolehan barang dan jasa yang
dimaksud tidak dikenakan pungutan PPN.
Jenis-jenis barang dan jasa yang mendapatkan fasilitas PPN dalam bentuk tidak dikenakan
pungutan PPN tertuang dalam UU PPN Pasal 4A, dengan perincian sebagai berikut:

1. Jenis barang tidak dikenakan pungutan PPN

 Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya.
 Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
 Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering.
 Uang, emas batangan, dan surat berharga
2. Jasa yang tidak dikenakan pungutan PPN

 Jasa pelayanan kesehatan medis


 Jasa pelayanan sosial
 Jasa pengiriman surat dengan perangko
 Jasa keuangan
 Jasa asuransi
 Jasa keagamaan
 Jasa pendidikan
 Jasa kesenian dan hiburan
 Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
 Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri
 Jasa tenaga kerja
 Jasa perhotelan
 Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum
 Jasa penyediaan tempat parkir
 Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
 Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
 Jasa boga atau katering

3. Fasilitas PPN Berupa Pembebasan PPN

Fasilitas PPN berupa pembebasan PPN merupakan pembebasan kewajiban memungut PPN
kepada orang pribadi atau badah usaha yang melakukan kegiatan penyerahan:

1. BKP bersifat strategis, yang merupakan barang masuk kategori BKP namun memiliki
nilai strategis berdasarkan pertimbangan pemerintah. Sehingga atas BKP strategis ini
diberikan fasilitas PPN dibebaskan.
2. BKP tertentu, yang meliputi yang diperlukan untuk kepentingan umum atau untuk
kepentingan nasional yang dikelola oleh unit-unit pemerintah.
3. JKP tertentu, yang terdiri atas jasa yang diserahkan kontraktor untuk pemborong
bangunan, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan serta jasa yang
diterima oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk
mendukung pertahanan nasional.
4. Penyerahan BKP/JKP kepada perwakilan negara asing dan badan internasional serta
pejabatnya dengan asas timbal balik.
5. Jasa kebandarudaraan tertentu, yang meliputi pelayanan jasa penerbangan; pelayanan
jasa pendaratan, penempatan, dan penyimpanan pesawat udara, pelayanan jasa konter,
pelayanan jasa garbarata (aviobridge), pelayanan jasa bongkar muat penumpang,
kargo, pos.
Terhadap transaksi-transaksi yang mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan ini, tetap ada
kewajiban menerbitkan faktur pajak bagi PKP yang menyerahkan. Sebab, sejatinya transaksi-
transaksi yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan ini merupakan transaksi terutang PPN.
Jadi, yang dibebaskan adalah kewajiban pemungutan PPN bukan kewajiban membuat faktur
pajak.

Faktur pajak untuk transaksi yang mendapat fasilitas PPNB dibebaskan ini adalah
menggunakan kode faktur kode 08 dan tetap mencantumkan besaran nilai PPN yang
dibebaskan. Pajak masukan yang dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang mendapatkan
fasilitas PPN dibebaskan, tidak dapat dikreditkan.

4. Fasilitas PPN Dalam Bentuk Tidak Dipungut PPN

Pemberian fasilitas  PPN dalam bentuk tidak dipungut PPN diberikan kepada transaksi-
transaksi sebagai berikut:

1. Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam daerah pabean.


2. Penyerahan BKP tertentu atau penyerahan JKP tertentu.
3. Impor BKP tertentu.
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean.
5. Pemanfaatan JKP tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Fasilitas PPN dalam bentuk tidak dipungut PPN diberikan kepada transaksi-transaksi seperti
yang disebutkan di atas, yang dilakukan di/ke kawasan bebas dan kawasan berikat. Selain itu,
transaksi tidak dipungut PPN apabila yang melakukan kegiatan merupakan PKP yang
menjalankan pengolahan pada kawasan berikat.

C. FASILITAS BEA MASUK


1. Tidak dipungut Bea Masuk (Pasal 24)
Barang yang dimasukkan ke Daerah Pabean untuk diangkut terus atau diangkut lanjut
ke luar Daerah Pabean tidak dipungut Bea Masuk.
2. Pembebasan Bea Masuk (Pasal 25)

(1) Pembebasan bea masuk diberikan atas impor:


a. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan asas timbal balik;

b. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di


Indonesia;

c. buku ilmu pengetahuan;


d. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah untuk umum, amal, sosial,
kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam;

e. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu
yang terbuka untuk umum serta barang untuk konservasi alam;

f. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

g. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;

h. persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan kepolisian, termasuk suku


cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

i. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan
pertahanan dan keamanan negara;

j. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;

k. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;

l. barangpindahan;

m. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang
kiriman sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu;

n. obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pemerintah yang


diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat;

o. barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan


pengujian;

p. barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama
dengan kualitas pada saat diekspor;

q. bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan.

(2)  Dihapus.

(3)  Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan peraturan menteri.

(4)  Orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan bea masuk yang
ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang
dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

3. Pembebasan atau keringanan Pasal 26


(1)  Pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor:

1. barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri dalam


rangka penanaman modal;

2. mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri;

3. barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri


untuk jangka waktu tertentu;

4. peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan;

5. bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian,


peternakan, atau perikanan;

6. hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin;

7. barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau


penyusutan volume atau berat karena alamiah antara saat diangkut ke dalam
daerah pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk dipakai;

8. barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk
kepentingan umum;

9. barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh induk organisasi olahraga
nasional;

10. barang untuk keperluan proyek pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman
dan/atau hibah dari luar negeri;

11. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan
tujuan untuk diekspor.

(2)  Dihapus.

(3)  Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

(4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan bea masuk
yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang
terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100%
(seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500%
(lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

4. PENGEMBALIAN BEA MASUK PASAL 27

(1) Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian bea masuk yang
telah dibayar atas:
1. kelebihan pembayaran bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5),
Pasal 17 ayat (3), atau karena kesalahan tata usaha;

2. impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26;

3. impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di
bawah pengawasan pejabat bea dan cukai;

4. impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai kedapatan
jumlah yang sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar bea masuknya, cacat,
bukan barang yang dipesan, atau berkualitas lebih rendah; atau

5. kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan Pengadilan Pajak.

(2)Ketentuan tentang pengembalian bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

5. PEMBEBASAN ATAU KERINGANAN BEA MASUK DALAM RANGKA


IMPOR SEMENTARA (Pasal 10D )

1. (1)  Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada waktu
importasinya benar-benar dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3 (tiga)
tahun.

2. (2)  Barang impor sementara sampai saat diekspor kembali berada dalam pengawasan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

3. (3)  Barang impor sementara dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk.

4. (4)  Barang impor sementara yang diberikan keringanan bea masuk, setiap bulan
dikenai bea masuk paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari bea masuk yang
seharusnya dibayar.

5. (5)  Orang yang terlambat mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka
waktu yang diizinkan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

6. (6)  Orang yang tidak mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka
waktu yang diizinkan wajib membayar bea masuk dan dikenai sanksi administrasi
berupa denda 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

7. (7)  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

6. PENANGGUHAN BEA MASUK TERHADAP TEMPAT PENIMBUNAN


BERIKAT PASAL 44
(1) Dengan persyaratan tertentu, suatu kawasan, tempat, atau bangunan dapat ditetapkan
sebagai tempat penimbunan berikat dengan mendapatkan penangguhan bea masuk untuk:

1. menimbun barang impor guna diimpor untuk dipakai, dikeluarkan ke tempat


penimbunan berikat lainnya atau diekspor;

2. menimbun barang guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor
untuk dipakai;

3. menimbun barang impor, dengan atau tanpa barang dari dalam daerah pabean, guna
dipamerkan;

4. menimbun, menyediakan untuk dijual dan menjual barang impor kepada orang
dan/atau orang tertentu;

5. menimbun barang impor guna dilelang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai;

6. menimbun barang asal daerah pabean guna dilelang sebelum diekspor atau
dimasukkan kembali ke dalam daerah pabean; atau

7. menimbun barang impor guna didaur ulang sebelum diekspor atau diimpor untuk
dipakai.

(1) Menteri dapat menetapkan suatu kawasan, tempat, atau bangunan untuk dilakukannya
suatu kegiatan tertentu selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai tempat
penimbunan berikat.

(2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pendirian penyelenggaraan, pengusahaan, dan
perubahan bentuk tempat penimbunan berikat diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
peraturan pemerintah.

D. Fasilitas dan Ketentuan Perpajakan


1. Barang Kiriman yang nilainya kurang dari FOB USD 3.00 (Tiga United States
Dollar) per orang per kiriman, dibebaskan dari kewajiban pembayaran Bea Masuk
(BM), sedangkan jika lebih FOB USD 3.00 (Tiga United States Dollar) dipungut
Bea Masuk ;
2. Barang Kiriman yang nilainya sampai dengan FOB USD 1500 (seribu lima ratus
United States Dollar) dipungut PPN dan tidak dipungut PPh, sedangkan jika lebih
dari FOB USD 1500 (seribu lima ratus United States Dollar) dikenakan
pembebanan tarif Bea Masuk Umum atau MFN (Most Favourable Nations);
3. Barang Kiriman dengan nilai pabean lebih dari USD 1500.00 (seribu lima ratus
United States Dollar) diberitahukan dengan dokumen PIB dalam hal Penerima
Barang merupakan badan usaha atau PIBK dalam hal Penerima Barang bukan
merupakan badan usaha;
4. Barang kiriman sampel/hadiah/gift diperlakukan ketentuan kepabeanan, yakni
ditetapkan nilai pabeannya oleh Petugas Bea dan Cukai berdasarkan data harga
pembanding, jika data harga pembanding sama dengan atau lebih rendah dari FOB
USD 3.00 maka terhadap barang kiriman sampel/hadiah/gift tersebut tidak akan
dikenakan bea masuk, namun jika data harga pembanding lebih tinggi dari FOB
USD 3.00 maka terhadap barang kiriman sampel/hadiah/gift tersebut akan
dikenakan bea masuk;
5. PPh dikecualikan dari pemungutan dengan pertimbangan impor barang kiriman
pada umumnya merupakan barang konsumsi akhir;
6. Barang impor yang dikategorikan sebagai barang mewah (seperti tas branded,
berlian dll) berdasarkan peraturan di bidang perpajakan, dikenakan Pajak Penjualan
Barang Mewah (PPnBM) yang kriteria dan besaran tarifnya telah ditentukan;
7. Tarif BM barang kiriman sebesar 7.5% dikecualikan barang barang dibawah ini
yang mengikuti tarif MFN yaitu:
 Tas Kode Hs: 4204 4202
dikenakan BM 15% – 20%
 Sepatu Kode Hs: 64
dikenakan BM 25% – 30%
 Produk Tekstil Kode Hs: 61,62,63
dikenakan BM 15%-25%
 Tarif PPN Impor sebesar 10%
 Tarif PPh Pasal 22 Impor : 7.5% – 10 % (mengikuti tarif MFN)

INTENSIF PAJAK UNTUK WAJIB PAJAK TERDAMPAK PANDEMI COVID 19


(PMK 9 TAHUN 2021)

a. PPH PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH (DTP)


1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai wajib dipotong PPh sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh oleh Pemberi Kerja.
2) PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung Pemerintah atas
penghasilan yang diterima Pegawai dengan kriteria tertentu.

(3)  Pegawai dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. menerima atau memperoleh penghasilan dari Pemberi Kerja yang:


1. memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Waji11; Pajak Yang
Mendapatkan Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;

2. telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau


3. telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB;
2. memiliki NPWP; dan
3. pada Masa Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh Penghasilan
Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4)  Kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
angka 1 adalah sebagaimana kode Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum
dalam:
a. SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 atau pembetulan SPT Tahunan PPh
Tahun Pajak 2019 yang telah dilaporkan, bagi Pemberi Kerja yang memiliki
kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 dalam hal kode
Klasifikasi Lapangan Usaha sama dengan data yang terdapat dalam administrasi
perpajakan (master.file); atau

b. data yang terdapat dalam administrasi perpajakan (master.file) bagi:

1. Pemberi Kerja yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh


Tahun Pajak 2019 namun:

a) tidak menuliskan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh
Tahun Pajak 2019; atau
b)salah mencantumkan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan
PPh Tahun Pajak 2019;

2. Wajib Pajak Berstatus Pusat yang belum atau tidak memiliki kewajiban
penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019; atau

3. Instansi Pemerintah.

(5) PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
dibayarkan secara tunai oleh Pemberi Kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada
Pe,gawai, termasuk dalam hal Pemberi Kerja' memberikan tunjangan PPh Pasal 21
atau menanggung PPh Pasal 21 kepada Pegawai.

(6) Dikecualikan dari diberikan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal penghasilan yang diterima Pegawai
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah dan PPh Pasal 21 telah ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

(7)  PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah yang diterima oleh Pegawai dari Pemberi
Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak diperhitungkan sebagai penghasilan
yang dikenakan pajak.

(8)  Dalam hal Pegawai yang menerima insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah
menyampaikan SPT T ahunan orang pribadi Tahun Pajak 2021 dan menyatakan
kelebihan pembayaran, kelebihan pembayaran yang berasal dari PPh Pasal 21
ditanggung Pemerintah tidak dapat dikembalikan.

(9) Contoh penghitungan PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana


tercantum dalam Lampiran Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

b. PPH FINAL UMKM DITANGGUNG PEMERINTAH (DTP)


(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018,
dikenai PPh final sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari jumlah peredaran
bruto.
PPh final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilunasi dengan cara:
a. disetor sendiri oleh Wajib Pajak yang niemiliki peredaran bruto tertentu;
atau
b. dipotong atau dipungut oleh Pemotong atau Pemungut Pajak.
(3) PPh final sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditanggung Pemerintah.
(4) PPh final ditanggung Pemerintah yang diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang
dikenakan pajak.
(5) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
transaksi yang merupakan objek pemotongan atau pemungutan PPh dengan
Pemotong atau Pemungut Pajak, untuk menerapkan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) Wajib Pajak harus menyerahkan fotokopi Surat
Keterangan dan terkonfirmasi kebenarannya dalam sistem informasi
Direktorat Jenderal Pajak.
(6) Pemotong atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak
melakukan pemotongan atau pemungutan PPh terhadap Wajib Pajak yang
telah menyerahkan fotokopi Surat Keterangan dan telah terkonfirmasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Contoh penghitungan PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Contoh Penghitungan PPh Final Ditanggung
Pemerintah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.

C. PEMBEBASAN PEMUNGUTAN PPH PASAL 22 IMPOR

(1)  PPh Pasal 22 Impor dipungut oleh Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai pada saat Wajib Pajak melakukan impor barang.

(2)  Besarnya tarif PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan Peraturan Menteri mengenai pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan
dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain.

(3)  PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari
pemungutan kepada Wajib Pajak yang:

a. memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam


Lampiran Kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak yang
Mendapatkan Insentif Pembebasan PPh Pasal 22 Impor yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;

b. telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau

c. telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha


Kawasan Berikat, atau izin PDKB, pada saat pengeluaran barang dari
Kawasan Berikat ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean!;

(4)  Kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
adalah sebagaimana kode Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum dalam:
a. SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 atau pembe,tulan SPT T ahunan PPh T ahun
Pajak 2019, yang telah dilaporkan, bagi Wajib Pajak yang memiliki kewajiban
penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 dalam hal kode Klasifikasi
Lapangan Usaha sama dengan data yang terdapat dalam administrasi perpajakan
(masterfile); atau

b. data yang terdapat dalam administrasi perpajakan (masterfile) bagi:

1. Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun
Pajak 2019 namun:

a)  tidak menuliskan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh Tahun
Pajak 2019; atau

b)  salah mencantumkan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh
Tahun Pajak 2019;
2. Wajib Pajak yang belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan
PPh Tahun Pajak 2019.

(5)  Pembebasan dari pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan
melalui Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor.

(6)  Wajib Pajak mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas sebagaimana


dimaksud pada ayat (5) melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan
menggunakan formulir sesuai contoh sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Formulir Permohonan Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(7)  Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan:

a. Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor dalam hal Wajib Pajak
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c;
atau

b. Surat Penolakan dalam hal Wajib Pajak tidak meme~.uhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c,

dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana dimaksud dalam Lampiran


Formulir Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor atau Formulir
Penolakan Permohonan Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(8) Jangka waktu pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berlaku sejak tanggal Surat Keterangan Bebas diterbitkan.

(9) Wajib Pajak yang telah mendapatkan pembebasan PPh Pasal 22 Impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a harus menyampaikan laporan realisasi
pembebasan PPh Pasal 22 Impor setiap bulan melalui saluran tertentu pada laman
www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Formulir Laporan Realisasi Pembebasan PPh Pasal 22 Impor yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(10) Wajib Pajak menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.

D. PENGURANGAN ANGSURAN PPH PASAL 25

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam Tahun Pajak berjalan yang masih harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam:
a. Pasal 25 Undang-Undang PPh; dan/atau
b. Peraturan Menteri mengenai penghitungan angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan
ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala dan Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tertentu.

E. PENGEMBALIAN PENDAHULUAN PPH

 Strategi memanfaatkan seluruh fasilitas perpajakan yang ada


 Wajib Pajak harus mengerti peraturan perpajakan yang terkait.

 Menentukan tujuan yang ingin dicapai dengan memanfaatkan fasilitas


perpajakan dalam tax planning.
 Perusahaan harus memahami karakter usaha untuk memanfaatkan fasilitas
perpajakan.
 Memahami tingkat kewajaran atas transaksi – transaksi yang diatur dalam tax
planning.
 Untuk perusahaan baru didirikan, ada baiknya memilih jenis badan hukum dan
usaha yang mendapat insetif pajak

Anda mungkin juga menyukai