Atas tujuan-tujuan yang sudah disebutkan tersebut, pemerintah memberikan fasilitas sebagai
berikut:
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 atau UU PPN, pemberian fasilitas PPN
berupa pengenaan tarif 0% ini diberikan kepada kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
Fasilitas PPN dalam bentuk tidak dikenakan pungutan PPN diberikan pada barang dan jasa
yang penggunaannya menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal ini dimungkinkan, meski
sejatinya barang dan jasa yang beredar di masyarakat merupakan BKP/JKP dan untuk itu ada
pungutan PPN.
Pasalnya, ada beberapa jenis barang dan jasa yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh
khalayak umum. Oleh karena itu, kegiatan penyerahan dan perolehan barang dan jasa yang
dimaksud tidak dikenakan pungutan PPN.
Jenis-jenis barang dan jasa yang mendapatkan fasilitas PPN dalam bentuk tidak dikenakan
pungutan PPN tertuang dalam UU PPN Pasal 4A, dengan perincian sebagai berikut:
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya.
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering.
Uang, emas batangan, dan surat berharga
2. Jasa yang tidak dikenakan pungutan PPN
Fasilitas PPN berupa pembebasan PPN merupakan pembebasan kewajiban memungut PPN
kepada orang pribadi atau badah usaha yang melakukan kegiatan penyerahan:
1. BKP bersifat strategis, yang merupakan barang masuk kategori BKP namun memiliki
nilai strategis berdasarkan pertimbangan pemerintah. Sehingga atas BKP strategis ini
diberikan fasilitas PPN dibebaskan.
2. BKP tertentu, yang meliputi yang diperlukan untuk kepentingan umum atau untuk
kepentingan nasional yang dikelola oleh unit-unit pemerintah.
3. JKP tertentu, yang terdiri atas jasa yang diserahkan kontraktor untuk pemborong
bangunan, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan serta jasa yang
diterima oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk
mendukung pertahanan nasional.
4. Penyerahan BKP/JKP kepada perwakilan negara asing dan badan internasional serta
pejabatnya dengan asas timbal balik.
5. Jasa kebandarudaraan tertentu, yang meliputi pelayanan jasa penerbangan; pelayanan
jasa pendaratan, penempatan, dan penyimpanan pesawat udara, pelayanan jasa konter,
pelayanan jasa garbarata (aviobridge), pelayanan jasa bongkar muat penumpang,
kargo, pos.
Terhadap transaksi-transaksi yang mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan ini, tetap ada
kewajiban menerbitkan faktur pajak bagi PKP yang menyerahkan. Sebab, sejatinya transaksi-
transaksi yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan ini merupakan transaksi terutang PPN.
Jadi, yang dibebaskan adalah kewajiban pemungutan PPN bukan kewajiban membuat faktur
pajak.
Faktur pajak untuk transaksi yang mendapat fasilitas PPNB dibebaskan ini adalah
menggunakan kode faktur kode 08 dan tetap mencantumkan besaran nilai PPN yang
dibebaskan. Pajak masukan yang dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang mendapatkan
fasilitas PPN dibebaskan, tidak dapat dikreditkan.
Pemberian fasilitas PPN dalam bentuk tidak dipungut PPN diberikan kepada transaksi-
transaksi sebagai berikut:
e. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu
yang terbuka untuk umum serta barang untuk konservasi alam;
g. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
i. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan
pertahanan dan keamanan negara;
k. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
l. barangpindahan;
m. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang
kiriman sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu;
p. barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama
dengan kualitas pada saat diekspor;
(2) Dihapus.
(3) Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan peraturan menteri.
(4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan bea masuk yang
ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang
dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
6. hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin;
8. barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk
kepentingan umum;
9. barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh induk organisasi olahraga
nasional;
10. barang untuk keperluan proyek pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman
dan/atau hibah dari luar negeri;
11. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan
tujuan untuk diekspor.
(2) Dihapus.
(4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan bea masuk
yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang
terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100%
(seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500%
(lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
(1) Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian bea masuk yang
telah dibayar atas:
1. kelebihan pembayaran bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5),
Pasal 17 ayat (3), atau karena kesalahan tata usaha;
3. impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di
bawah pengawasan pejabat bea dan cukai;
4. impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai kedapatan
jumlah yang sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar bea masuknya, cacat,
bukan barang yang dipesan, atau berkualitas lebih rendah; atau
(2)Ketentuan tentang pengembalian bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.
1. (1) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada waktu
importasinya benar-benar dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3 (tiga)
tahun.
2. (2) Barang impor sementara sampai saat diekspor kembali berada dalam pengawasan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
3. (3) Barang impor sementara dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk.
4. (4) Barang impor sementara yang diberikan keringanan bea masuk, setiap bulan
dikenai bea masuk paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari bea masuk yang
seharusnya dibayar.
5. (5) Orang yang terlambat mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka
waktu yang diizinkan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
6. (6) Orang yang tidak mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka
waktu yang diizinkan wajib membayar bea masuk dan dikenai sanksi administrasi
berupa denda 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
7. (7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan peraturan menteri.
2. menimbun barang guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor
untuk dipakai;
3. menimbun barang impor, dengan atau tanpa barang dari dalam daerah pabean, guna
dipamerkan;
4. menimbun, menyediakan untuk dijual dan menjual barang impor kepada orang
dan/atau orang tertentu;
5. menimbun barang impor guna dilelang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai;
6. menimbun barang asal daerah pabean guna dilelang sebelum diekspor atau
dimasukkan kembali ke dalam daerah pabean; atau
7. menimbun barang impor guna didaur ulang sebelum diekspor atau diimpor untuk
dipakai.
(1) Menteri dapat menetapkan suatu kawasan, tempat, atau bangunan untuk dilakukannya
suatu kegiatan tertentu selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai tempat
penimbunan berikat.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pendirian penyelenggaraan, pengusahaan, dan
perubahan bentuk tempat penimbunan berikat diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
peraturan pemerintah.
(3) Pegawai dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
(4) Kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
angka 1 adalah sebagaimana kode Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum
dalam:
a. SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 atau pembetulan SPT Tahunan PPh
Tahun Pajak 2019 yang telah dilaporkan, bagi Pemberi Kerja yang memiliki
kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 dalam hal kode
Klasifikasi Lapangan Usaha sama dengan data yang terdapat dalam administrasi
perpajakan (master.file); atau
a) tidak menuliskan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh
Tahun Pajak 2019; atau
b)salah mencantumkan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan
PPh Tahun Pajak 2019;
2. Wajib Pajak Berstatus Pusat yang belum atau tidak memiliki kewajiban
penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019; atau
3. Instansi Pemerintah.
(5) PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
dibayarkan secara tunai oleh Pemberi Kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada
Pe,gawai, termasuk dalam hal Pemberi Kerja' memberikan tunjangan PPh Pasal 21
atau menanggung PPh Pasal 21 kepada Pegawai.
(7) PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah yang diterima oleh Pegawai dari Pemberi
Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak diperhitungkan sebagai penghasilan
yang dikenakan pajak.
(8) Dalam hal Pegawai yang menerima insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah
menyampaikan SPT T ahunan orang pribadi Tahun Pajak 2021 dan menyatakan
kelebihan pembayaran, kelebihan pembayaran yang berasal dari PPh Pasal 21
ditanggung Pemerintah tidak dapat dikembalikan.
(1) PPh Pasal 22 Impor dipungut oleh Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai pada saat Wajib Pajak melakukan impor barang.
(2) Besarnya tarif PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan Peraturan Menteri mengenai pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan
dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain.
(3) PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari
pemungutan kepada Wajib Pajak yang:
(4) Kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
adalah sebagaimana kode Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum dalam:
a. SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 atau pembe,tulan SPT T ahunan PPh T ahun
Pajak 2019, yang telah dilaporkan, bagi Wajib Pajak yang memiliki kewajiban
penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 dalam hal kode Klasifikasi
Lapangan Usaha sama dengan data yang terdapat dalam administrasi perpajakan
(masterfile); atau
1. Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun
Pajak 2019 namun:
a) tidak menuliskan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh Tahun
Pajak 2019; atau
b) salah mencantumkan kode Klasifikasi Lapangan Usaha pada SPT Tahunan PPh
Tahun Pajak 2019;
2. Wajib Pajak yang belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan
PPh Tahun Pajak 2019.
(5) Pembebasan dari pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan
melalui Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor.
a. Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor dalam hal Wajib Pajak
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c;
atau
b. Surat Penolakan dalam hal Wajib Pajak tidak meme~.uhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c,
(8) Jangka waktu pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berlaku sejak tanggal Surat Keterangan Bebas diterbitkan.
(9) Wajib Pajak yang telah mendapatkan pembebasan PPh Pasal 22 Impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a harus menyampaikan laporan realisasi
pembebasan PPh Pasal 22 Impor setiap bulan melalui saluran tertentu pada laman
www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Formulir Laporan Realisasi Pembebasan PPh Pasal 22 Impor yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(10) Wajib Pajak menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam Tahun Pajak berjalan yang masih harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam:
a. Pasal 25 Undang-Undang PPh; dan/atau
b. Peraturan Menteri mengenai penghitungan angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan
ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala dan Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tertentu.