Anda di halaman 1dari 16

PENGERTIAN PERSEDIAAN

Definisi

Persediaan merupakan salah satu aset yang sangat penting bagi suatu entitas baik bagi
perusahaan ritel, manufaktur, jasa, maupun entitas lainnya. PSAK 14 (Revisi 2008)
mendefinisikan persediaan sebagai aset yang: (i) tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha
biasa; (ii) dalam proses produksi untuk penjualan tersebut; (iii) dalam bentuk bahan atau
perlengkapan untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.

Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa suatu aset diklasifikasikan sebagai
persediaan tergantung pada nature business suatu entitas. Pada perusahaan properti misalkan,
properti yang dimiliki seperti apartemen, perumahan, dan gedung yang dijual dapat
diklasifikasikan sebagai persediaan karena properti tersebut merupakan aset yang djual untuk
kegiatan usahanya yang bergerak di bidang penjualan properti. Namun, bagi entitas lain yang
kegiatan usahanya bukan penjualan properti, kepemilikan atas properti tersebut tidak
diklasifikasikan sebagai persediaan, melainkan dapat sebagai aset tetap atau properti investasi
atau aset tidak lancar yang dipegang untuk dijual tergantung pada tujuan kepemilikannya

Terdapat beberapa poin penting terkait dengan definisi tersebut di atas:

1. Persediaan merupakan aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal. Ini
berarti aset yang dikelompokkan sebagai persediaan adalah aset yang memang selalu
dimaksudkan untuk dijual atau digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.
2. Perlengkapan yang dimasukkan sebagai persediaan adalah perlengkapan yang digunakan
dalam proses produksi, sehingga perlengkapan kantor (seperti alat tulis kantor) dengan
tujuan untuk digunakan dalam kegiatan administrasi kantor dan bukan untuk dijual,
bukanlah bagian dari persediaan.
3. Perlengkapan tersebut juga harus merupakan perlengkapan yang digunakan secara
reguler dalam proses produksi dan bukan perlengkapan yang hanya bisa digunakan
secara reguler dalam proses produksi dan bukan perlengkapan yang hanya bisa
digunakan bersamaan dengan aset tetap.

PSAK 14 tidak diterapkan untuk pengukuran persediaan yang dimiliki oleh produsen
produk agrikultur dan kehutanan, hasil agrikultur setelah panen, dan mineral dan produk
mineral (sepanjang produk tersebut diukur pada nilai realisasi bersih sesuai dengan praktik
yang berlakuk di industri tersebut) dan juga tidak berlaku untuk pialang-pedagang komoditas
yang mengukur persediaannya pada nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual.

Klasifikasi Persediaan

Klasifikasi persediaan antara satu entitas dengan entitas lain dapat berbeda-beda. Entitas
perdagangan baik perusahaan ritel maupun perusahaan grosir mencatat persediaan sebagai
persediaan barang dagang (merchandise inventory). Persediaan barang dagang ini merupakan
barang yang dibeli oleh perusahaan perdagangan untuk dijual kembali dalam usaha
normalnya.

Sedangkan bagi entitas manufaktur, klasifikasi persediaan relatif lebih beragam.


Misalnya perusahaan manufaktur yang memproduksi suku cadang (spare part) otomotif
dengan membeli material produk, melakukan proses produksi, dan menjual suku cadang
tersebut kepada diler (dealer). Bagi perusahaan seperti ini, persediaan mencakup persediaan
barang jadi (finished goods inventory) yang merupakan barang yang telah siap dijual,
persediaan barang dalam penyelesaian (work in process inventory) yang merupakan
barang setengah jadi, dan persediaan bahan baku (raw material inventory) yang merupakan
bahan ataupun perlengkapan yang akan digunakan dalam proses produksi.

Bagi entitas jasa, biaya jasa yang belum diakui pendapatannya diklasifikasikan sebagai
persediaan. Berdasarkan Paragraf 18 PSAK 14 (Revisi 2008), biaya persediaan pemberi jasa
meliputi biaya tenaga kerja dan biaya personalia lainnya yang secara langsung menangani
pemberian jasa, termasuk personalia penyelia, dan overhead yang dapat diatribusikan. Biaya
tenaga kerja dan biaya lainnya yang terkait dengan personalia penjualan dan administrasi
umum tidak termasuk sebagai biaya persediaan tetapi diakui sebagai beban pada periode
terjadinya.

Cakupan Barang dalam Persediaan

Salah satu permasalahan yang sering kali dihadapi oleh suatu entitas adalah terkait dengan
pengakuan kepemilikan atas persediaan. Secara teknis, seharusnya suatu entitas mencatat
pembelian atau penjualan atas persediaan ketika telah mendapatkan atau melepaskan hak
kepemilikan atas barang tersebut. Namun, sering kali penentuan atas perpindahan hak
kepemilikan tersebut relatif sulit untuk dilakukan. Klasifikasi dari barang dalam persediaan
mencakup: (i) barang yang ada pada suatu entitas dan merupakan miliknya, (ii) barang yang
ada pada suatu entitas tapi bukan miliknya: dan (iii) barang milik suatu entitas tapi tidak ada
di entitas tersebut. Pada klasifikasi kedua dan ketiga sering kali suatu entitas mengalami
kesulitan dalam menentukan perpindahan hak kepemilikan atas barang. Kesulitan penentuan
tersebut terjadi pada barang dalam transit dan barang konsinyasi.

Barang Dalam Transit

Dalam proses pembelian barang, dapat saja terjadi di mana barang masih berada pada posisi
transit—belum diterima oleh pembeli tetapi sudah dikirim oleh penjual—pada akhir periode
fiskal. Pada dasarnya suatu barang diakui sebagai persediaan oleh suatu entitas yang memiliki
tanggungjawab finansial terhadap biaya transportasi. Tanggung jawab finansial ini dapat
diindikasikan dari istilah pengiriman (shipping term) yang biasanya diistilahkan sebagai free
on board (FOB).

Apabila barang dikirim dengan shipping term FOB Destination, maka biaya transportasi
akan dibayar oleh penjual dan hak kepemilikan tidak beralih hingga pembeli menerima
barang tersebut, sehingga pengakuan persediaan tetap berada pada penjual selama periode
transit. Sedangkan, apabila FOB Shipping Point, maka biaya transportasi akan dibayar oleh
pembeli dan hak kepemilikan beralih ketika barang dikirimkan, sehingga pengakuan
persediaan berada pada pembeli ketika periode transit. Dalam praktiknya, istilah FOB
menggunakan lokasi spesifik di mana hak kepemilikan atas barang akan dialihkan.
Contohnya: PT Aman Sejahtera di Indonesia membeli barang dari Bing Corp. di China
dengan FOB Jakarta. Artinya biaya transaksi ditanggung oleh Bing Corp. dan Bing Corp.
masih menanggung risiko dan kepemilikan atas barang tersebut sampai dengan barang
tersebut sampai ke tangan PT Aman Sejahtera di jakarta.

Penjualan Konsinyasi

Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan penjualan, banyak perusahaan yang saat ini
menggunakan metode konsinyasi dalam penjualannya. Perusahaan ritel sering kali menerima
barang barang konsinyasi untuk dijual. Pada kerja sama penjualan konsinyasi ini pemilik
barang (consignor) mengirimkan barang kepada penjual (consignee), di mana penjual setuju
untuk menerima barang tanpa ada kewajiban apa pun, kecuali perawatan dan penjagaan
terhadap kehilangan dan kerusakan, hingga barang tersebut terjual kepada pihak lain.
Barang konsinyasi akan tetap menjadi milik pemilik barang dan pemilik barang tetap
akan mencatat barang tersebut pada persediaannya. Pihak penjual yang dititipkan barang
tersebut tidak mengakui barang itu dalam persediaannya. Pengungkapan yang memadai
dalam laporan keuangan dilakukan oleh pemilik barang dengan mengungkapkan jumlah
barang yang dikonsinyasikan.

Barang atas Penjualan dengan Perjanjian Khusus

Sering kali dalam perjanjian penjualan barang, perusahaan harus melihat substansi atas
penjualan tersebut. Ketika transaksi penjualan dilakukan dan hak kepemilikan telah beralih,
maka seharusnya risiko dan manfaat dari kepemilikan juga beralih dari penjual kepada
pembeli. Namun demikian, dapat terjadi di mana penjual masih memegang risiko dan
manfaat dari kepemilikan atas barang tersebut. Dalam kondisi tersebut maka penjual masih
harus mengakui kepemilikannya atas barang tersebut dan tidak terjadi pengurangan atas
persediaan penjual. Beberapa perjanjian khusus yang memerlukan evaluasi atas pengalihan
risiko dan manfaat dari penjual kepada pembeli di antaranya adalah penjualan dengan
perjanjian pembelian kembali, penjualan dengan tingkat pengembalian yang tinggi, dan
penjualan dengan cicilan.

Pada penjualan dengan perjanjian pembelian kembali maka pembeli tidak dapat
mengakui perjanjian tersebut sebagai penjualan dan tidak mengurangi barang tersebut dari
persediaannya. Untuk penjualan dengan tingkat pengembalian tinggi maka penjual
memiliki dua pilihan, pertama adalah mencatat penjualan pada nilai penuh dan membentuk
akun penyisihan atas estimasi pengembalian penjualan, kedua adalah tidak mencatat adanya
penjualan hingga dapat diperkirakan tingkat pengembalian oleh pembeli. Ketika tingkat
pengembalian tidak dapat diperkirakan maka penjual tidak dapat mengakui penjualan dan
tidak mengeluarkan barang tersebut dari persediaannya. Sedangkan untuk penjualan dengan
cicilan maka penjual akan mengakui adanya penjualan dan mengeluarkan penjualan dari
persediaannya apabila dapat diestimasikan secara baik nilai persentase kemungkinan
penjualannya tidak tertagih.

PENGUKURAN PERSEDIAAN

Salah satu masalah utama terkait dengan persediaan adalah mengukur nilai persediaan
tersebut. PSAK 14 (Revisi 2008) menyatakan bahwa persediaan diukur berdasarkan biaya
atau nilai realisasi neto, mana yang lebih rendah. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai
biaya yang termasuk dalam biaya persediaan, rumus biaya yang dapat digunakan oleh suatu
entitas yang mencerminkan asumsi arus biaya yang mencerminkan pengeluaran biaya
persediaan, metode nilai realisasi neto, dan metode lainnya.

Biaya Persediaan

Biaya persediaan meliputi semua biaya pembelian, biaya konversi, dan biaya lain yang timbul
sampai persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini.

Biaya Pembelian

Biaya pembelian persediaan meliputi harga beli, bea impor, pajak lainnya (kecuali yang
kemudian dapat ditagihkan kembali kepada otoritas pajak), biaya pengangkutan, biaya
penanganan, dan biaya lainnya yang secara langsung dapat diatribusikan pada perolehan
barang jadi, bahan, dan jasa. Diskon dagang, rabat, dan hal lain yang serupa dikurangkan
dalam menentukan biaya pembelian.

Biaya Konversi

Biaya konversi merupakan biaya yang timbul untuk memproduksi bahan baku menjadi
barang jadi atau barang dalam produksi. Biaya ini meliputi biaya yang secara langsung terkait
dengan unit yang diproduksi, termasuk juga alokasi sistematis biaya overhead produksi yang
bersifat tetap ataupun variabel yang timbul dalam mengonversi bahan menjadi barang jadi.
Untuk biaya overhead yang bersifat variabel, maka biaya tersebut dialokasikan pada setiap
unit produksi atas dasar penggunaan aktual fasilitas produksi. Sedangkan biaya overhead
tetap dialokasikan berdasarkan kapasitas fasilitas produksi normal. Apabila suatu entitas
mengalami produksi yang rendah, maka pengalokasian jumlah overhead tetap per unit
produksi tidak bertambah dan overhead yang tidak teralokasi diakui sebagai beban pada
periode terjadinya. Sebaliknya apabila suatu entitas mengalami produksi yang tinggi di luar
normalitas produksinya, maka jumlah overhead tetap yang dialokasikan pada tiap unit
produksi menjadi berkurang sehingga persediaan tidak diukur di atas biayanya.

Biaya Lainnya

Biaya lain yang dapat dibebankan sebagai biaya persediaan adalah biaya yang timbul agar
persediaan tersebut berada dalam kondisi dan lokasi saat ini. Yang termasuk biaya lainnya
misalnya biaya desain dan biaya praproduksi yang ditujukan untuk konsumen yang spesifik.
Sedangkan biaya-biaya seperti penelitian dan pengembangan, biaya administrasi dan
penjualan, biaya pemborosan, biaya penyimpanan tidak dapat dibebankan sebagai biaya
persediaan.

Sistem Pencatatan Persediaan dan Asumsi Arus Biaya

Dalam melakukan pencatatan persediaan, teknis pencatatan persediaan terkait juga dengan
sistem pencatatan persediaan yang digunakan oleh entitas. Entitas dapat menggunakan sistem
periodik atau sistem perpetual. Sistem periodik merupakan sistem pencatatan di mana
kuantitas persediaan ditentukan secara periodik yaitu hanya pada saat perhitungan fisik yang
biasanya dilakukan secara stock opname. Sedangkan sistem perpetual merupakan sistem
pencatatan persediaan di mana pencatatan yang up-to-date terhadap barang persediaan selalu
dilakukan setiap terjadi perubahan nilai persediaan.

Perbedaan pencatatan persediaan dengan menggunakan sistem perpetual dan Sisten


periodik dijelaskan sebagai berikut.

Sistem Persediaan Perpetual Sistem Persediaan Periodik


Persediaan awal, 100 unit pada harga Rp12.000
Akun persediaan menunjukkan saldo Akun persediaan menunjukkan saldo
persedian sebesar Rp1.200.000 persedian sebesar Rp1.200.000
Pembelian 900 unit pada harga Rp12.000
Persediaan Rp10.800.000 Pembelian Rp10.800.000
Utang Dagang Rp10.800.000 Utang Dagang Rp10.800.000
Penjualan 600 unit pada harga Rp24.000
Piutang Dagang Rp14.400.000 Piutang Dagang Rp14.400.000
Penjualan Rp14.400.000 Penjualan Rp14.400.000
Beban Pokok Penjualan Rp14.400.000 (Tidak ada penjurnalan)
Persediaan
Rp14.400.000
Penjurnalan pada akhir periode, saldo akhir persediaan 400 unit pada harga Rp12.000
(Tidak ada penjurnalan) Persediaan (akhir) Rp4.800.000
Beban Pokok Penjualan Rp7.200.000
Akun persediaan menunjukkan saldo akhir Pembelian
sebesar Rp10.800.000
Rp4.800.000 (Rp1.200.000 + Rp10.800.000 Persediaan (awal) Rp1.200.000
– Rp10.200.000)

Ketika suatu entitas menggunakan sistem perpetual, dan terdapat perbedaan antara
pencatatan persediaan dan perhitungan fisiknya (entitas akan tetap melakukan perhitungan
fisik) maka perusahaan harus melakukan pencatatan untuk menyesuaikan nilai pencatatan
dengan nilai perhitungan fisik. Misalkan berdasarkan pencatatan diketahui nilai persediaan
adalah sebesar Rp4.800.000, namun berdasarkan perhitungan fisik ternyata didapat bahwa
nilai persediaan adalah sebesar Rp4.000.000, maka dilakukan pencatatan untuk menurunkan
nilai persediaan sebagai berikut.

Kelebihan dan Kekurangan Persediaan Rp800.000

Persediaan Rp800.000

Dalam menentukan biaya persediaan, suatu entitas akan melakukan banyak transaksi
yang terkait dengan pembelian persediaan atau bahan baku dan proses produksinya. Dalam
melakukan pembelian tersebut, harga beli yang terjadi dapat berbeda-beda. Ketika suatu
entitas hendak menentukan biaya persediaan yang didasarkan pada harga beli tersebut, maka
pertanyaannya adalah harga mana yang digunakan? Secara teoretis memang seharusnya suatu
entitas menggunakan harga yang spesifik yang terkait dengan barang yang akan ditentukan
biaya persediaannya. Namun, sering kali hal ini sangat sulit dilakukan karena suatu entitas
melakukan pembelian dalam frekuensi dan jumlah yang tinggi dan barang tersebut
merupakan barang mass product yang sulit diidentifikasikan secara khusus dan dapat saling
menggantikan satu sama lain. Oleh karena itu, suatu entitas menggunakan asumsi arus biaya
dalam mengukur biaya persediaan.

Asumsi arus biaya yang digunakan oleh suatu entitas ini dapat saja berbeda dengan
asumsi arus fisik dari barang persediaannya. Standar akuntansi tidak mengatur bahwa suatu
entitas harus memilih asumsi arus biaya yang sesuai dengan arus fisik persediaan. Pada
dasarnya suatu entitas akan mempertimbangkan dampak pemilihan asumsi arus biaya tersebut
dalam laporan laba rugi. Terdapat tiga alternatif yang dapat dipertimbangkan oleh suatu
entitas terkait dengan asumsi arus biaya, yaitu: metode identifikasi khusus, masuk pertama
keluar pertama, rata-rata tertimbang. Bagan 6.1 menunjukkan asumsi arus biaya dan
sistem pencatatan persediaan.
Sebagai ilustrasi, PT Bangun Jaya yang merupakan perusahaan ritel memiliki transaksi
pembelian dan penjualan produknya pada bulan Mei sebagai berikut.

Tanggal Pembelian Penjualan Saldo Unit Persediaan


1 Mei 2015 6.000 unit @ Rp5.600
5 Mei 2015 12.000 @ Rp6.000 18.000 unit
unit
12 Mei 2015 14.000 @ Rp6.400 32.000 unit
unit
20 Mei 2015 15.000 unit 17.000 unit
30 Mei 2015 8.000 unit @ Rp6.600 25.000 unit

Berdasarkan data di atas, maka dapat dihitung jumlah persediaan akhir pada bulan Mei adalah
25.000 unit. Sedangkan nilai biaya barang yang tersedia untuk dijual adalah sebesar
Rp124.000.000 yang berasal dari penjumlahan persediaan awal dan nilai pembelian
[(6.000*5.600) + (12.000*6.000) + (14.000*6.400) + (8.000*6.600)]. Dalam penentuan nilai
dari persediaan akhir sejumlah 25.000 unit tersebut perusahaan menentukan harga mana yang
akan dipakai. Penentuan harga yang dipakai bergantung pada asumsi arus biaya yang
digunakan dan sistem pencatatan persediaannya. Pada bagian berikut akan dijelaskan
penentuan nilai persediaan akhir dan beban pokok penjualan berdasarkan metode identifikasi
khusus, masuk pertama keluar pertama, rata rata tertimbang baik berdasarkan sistem periodik
maupun perpetual. PSAK 14 (Revisi 2008) tidak lagi memperbolehkan perusahaan
menggunakan metode masuk terakhir keluar pertama (last in first out—LIFO).

Metode Identifikasi Khusus

Identifikasi khusus biaya artinya biaya-biaya tertentu yang diatribusikan ke unit persediaan
tertentu. Berdasarkan metode ini maka suatu entitas harus mengidentifikasikan barang yang
dijual dengan tiap jenis dalam persediaan secara spesifik. Metode Ini pada dasarnya
merupakan metode yang paling ideal karena terdapat kecocokan antara biaya dan pendapatan
(matching cost against revenue), tetapi karena dibutuhkan pengidentifikasian barang
persediaan secara satu persatu, maka biasanya metode ini hanya diterapkan pada suatu entitas
yang memiliki persediaan sedikit, nilainya tinggi, dan dapat dibedakan satu sama lain, seperti
galeri lukisan. Dengan menggunakan metode identifikasi khusus maka perhitungan
persediaan menggunakan sistem perpetual akan sama dengan perhitungan dengan
menggunakan sistem periodik. Hal ini karena dengan sistem identifikasi khusus nilai
persediaan dikaitkan secara spesifik terhadap unit barang tertentu. Contoh dari entitas yang
menggunakan metode ini adalah perusahaan yang menjual permata/ perhiasan, barang antik
atau barang seni, mobil mewah, dan lain sebagainya.

Berdasarkan ilustrasi PT Bangun Jaya di atas, maka pada saat penjualan harus ditentukan
harga yang digunakan untuk masing-masing unit dalam penjualan sbesar 15.000 unit tersebut.
Dengan demikian dapat diketahui harga untuk masing-masing unit dalam persediaan akhir.
Apabila diasumsikan bahwa dari persediaan akhir sejumlah 25.000 unit terdiri atas 9.000 unit
@Rp6.000, 8.000 unit @Rp6.400, dan 8.000 unit @Rp6.600, maka perhitungan nilai
persediaan akhir dan beban pokok penjualan PT Bangun Jaya dengan menggunakan metode
identifikasi khusus dengan sistem periodik maupun perpetual adalah sebagai berikut.

Tanggal Jumlah Unit dan Unit Biaya Total Biaya


5 Mei 2015 9.000 unit @ Rp6.000 Rp 54.000.000
12 Mei 2015 8.000 unit @ Rp6.400 Rp 51.200.000
30 Mei 2015 8.000 unit @ Rp6.600 Rp 52.800.000
Persediaan akhir 25.000 unit Rp 158.000.000
Biaya barang yang tersedia untuk dijual Rp 248.000.000
Dikurangi: persediaan akhir Rp(158.000.000)
Beban pokok penjualan Rp 90.000.000

Metode Biaya Masuk Pertama Keluar Pertama

Metode Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP) atau First In First Out (FIFO)
mengasumsikan unit persediaan yang pertama dibeli akan dijual atau digunakan terlebih
dahulu sehingga unit yang tertinggal dalam persediaan akhir adalah yang dibeli atau
diproduksi kemudian. Metode ini merupakan metode yang relatif konsisten dengan arus fisik
dari persediaan terutama untuk industri yang memiliki perputaran persediaan tinggi.

Salah satu kelebihan dari metode ini adalah dari sisi relevansi nilai persediaan yang
disajikan dalam Laporan Posisi Keuangan perusahaan. Hal ini dikarenakan nilai persediaan
yang disajikan merupakan nilai yang didasarkan pada harga yang paling kini. Penggunaan
metode ini menghasilkan Laporan Posisi Keuangan yang sesuai dengan nilai kini perusahaan.
Sedangkan kelemahan dari penggunaan metode ini adalah tidak merefleksikan nilai laba yang
paling akurat karena metode ini kurang cocok antara biaya dengan pendapatan. Dalam
metode ini, biaya persediaan mengacu pada harga pembelian yang lebih dulu, sehingga biaya
tersebut tidak cocok dengan pendapatan yang diperoleh perusahaan. Signifikansi dari
ketidakcocokan ini akan bergantung pada tingginya perputaran persediaan perusahaan dan
cepatnya perubahan harga barang. Semakin tinggi tingkat perputaran persediaan dan harga
barang mengalami inflasi tinggi dalam waktu yang cepat, maka laba yang dicatat perusahaan
dapat menjadi lebih besar dari yang sesungguhnya (overstated).

Berdasarkan ilustrasi PT Bangun Jaya di atas, maka perhitungan nilai persediaan akhir
dan beban pokok penjualan PT Bangun Jaya dengan menggunakan metode MPKP
berdasarkan sistem periodik adalah sebagai berikut

Tanggal Jumlah Unit dan Unit Biaya Total Biaya


5 Mei 2015 3.000 unit @ Rp6.000 Rp 18.000.000
12 Mei 2015 14.000 unit @ Rp6.400 Rp 44.800.000
30 Mei 2015 8.000 unit @ Rp6.600 Rp 52.800.000
Persediaan akhir 25.000 unit Rp 160.400.000
Biaya barang yang tersedia untuk dijual Rp 148.000.000
Dikurangi: persediaan akhir Rp(160.400.000)
Beban pokok penjualan Rp 87.600.000

Apabila PT Bangun Jaya menggunakan sistem perpetual untuk perhitungan persediaan,


maka nilai persediaan akhir dan beban pokok penjualan akan sama dengan nilai yang
dihasilkan berdasarkan sistem periodik. Hal ini dikarenakan adanya kecocokan antara biaya
dan pendapatan atas penjualan barang, di mana harga yang sama akan digunakan sebagai
biaya barang yang masuk pertama dan kemudian harga tersebut juga yang akan digunakan
untuk barang yang keluar pertama. Perhitungan nilai persediaan dan bahan pokok penjualan
PT Bangun Jaya dengan menggunakan metode MPKP berdasarkan sistem perpetual adalah
sebagai berikut.

Tanggal Pembelian Penjualan Saldo


1 Mei 2015 6.000 @Rp5.600
5 Mei 2015 12.000 @Rp6.000 Rp72.000.000 6.000 @Rp5.600 Rp105.600.000
12.000 @Rp6.000
12 Mei 2015 14.000 @Rp6.400 6.000 @Rp5.600
12.000 @Rp6.000 Rp195.200.000
14.000 @Rp6.400
20 Mei 2015 6.000 @Rp5.600 3.000 @Rp6.000
Rp87.600.000
9.000 @Rp6.000 14.000 @Rp6.400 Rp107.600.000
30 Mei 2015 8.000 @Rp6.600 Rp52.800.000 3.000 @Rp6.000
14.000 @Rp6.400 Rp160.400.000
8.000 @Rp6.600

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah beban pokok penjualan adalah
sebesar Rp87.600.000 dan nilai persediaan adalah sebesar Rp160.400.000.
Metode Rata-Rata Tertimbang
Metode rata-rata tertimbang digunakan dengan menghitung biaya setiap unit berdasarkan
biaya rata-rata tertimbang dari unit yang serupa pada awal periode dan biaya unit serupa yang
dibeli atau diproduksi selama suatu periode. Perusahaan dapat menghitung rata-rata biaya
secara berkala atau pada saat penerimaan kiriman.

Untuk menghitung biaya persediaan dengan menggunakan metode rata-rata tertimbang


ini terlebih dahulu harus dihitung biaya rata-rata per unit yaitu dengan membagi biaya barang
yang tersedia untuk dijual dengan unit yang tersedia untuk dijual. Persediaan akhir dan beban
pokok penjualan dihitung dengan dasar harga rata-rata tersebut.
Berdasarkan ilustrasi PT Bangun Jaya sebelumnya, maka perhitungan nilai persediaan
akhir dan beban pokok penjualan PT Bangun Jaya dengan menggunakan metode rata-rata
berdasarkan sistem periodik adalah sebagai berikut.
Tanggal Jumlah Unit dan Unit Biaya Total Biaya
1 Mei 2015 6.000 @ Rp5.600 Rp 33.600.000
5 Mei 2015 12.000 @ Rp6.000 Rp 72.000.000
12 Mei 2015 14.000 @ Rp6.400 Rp 89.600.000
30 Mei 2015 8.000 @ Rp6.600 Rp 52.800.000
Barang tersedia untuk dijual 40.000 Rp 248.000.000
Biaya rata-rata per unit Rp248.000.000 Rp 6.200
40.000
Jumlah persediaan akhir 25.000 unit
25.000 × Rp6.200 Rp155.000.000
Barang tersedia untuk dijual Rp248.000.000
Nilai persediaan akhir Rp155.000.000
Beban pokok penjualan Rp93.000.000

Ketika suatu entitas menggunakan metode rata-rata tertimbang dengan sistem perpetual,
maka nila rata rata dihitung setiap ada pembelian. Apabila terjadi penjualan, maka beban
pokok penjualan atau biaya persediaan yang digunakan merupakan nilai rata-rata yang paling
kini. Berikut ilustrasi dari perhitungan nilai persediaan akhir dan beban pokok penjualan PT
Bangun Jaya dengan menggunakan metode rata-rata berdasarkan sistem perpetual.
Tanggal Pembelian Penjualan Saldo
1 Mei 2015 6.000 @ Rp5.600 Rp33.600.000
5 Mei 2015 12.000 @Rp6.000 Rp72.000.000 18.000 @ Rp5.866 Rp105.600.000
12 Mei 2015 14.000 @Rp6.400 Rp89.600.000 32.000 @ Rp6.100 Rp195.200.000
20 Mei 2015 15.000 @Rp6.100 Rp91.500.000 17.000 @ Rp6.100 Rp103.700.000
30 Mei 2015 8.000 @Rp6.600 Rp52.800.000 25.000 @ Rp6.260 Rp156.500.000

Nilai Realisasi Neto dan Penurunan Nilai Persediaan


Persediaan diukur berdasarkan nilai yang lebih rendah antara nilai yang berdasarkan biaya
dan nilai realisasi neto (net realizable value—NRV). Nilai realisasi neto merupakan estimasi
harga Jual dalam kegiatan usaha biasa dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi
biaya yang diperlukan untuk membuat penjualan. Persediaan akan dinilai pada nilai realisasi
netonya apabila biaya persediaan (yang didapat dari penggunaan metode identifikasi khusus,
MPKP, atau rata-rata) lebih tinggi dari estimasi nilai yang akan diperoleh kembali. Nilai
persediaan biasanya diturunkan ke nilai realisasi neto secara terpisah untuk setiap unit dalam
persediaan. Namun demikian, dalam beberapa kondisi, penurunan nilai persediaan mungkin
lebih sesuai jika dihitung terhadap kelompok unit yang serupa atau berkaitan.
Sebagai ilustrasi, misalkan PT Merdeka memiliki persediaan barang belum jadi dengan
hilat biaya sebesar Rp19.000.000 dan harga jual sebesar Rp20.000.000. Untuk menyelesaikan
barang tersebut dibutuhkan biaya sebesar Rp1.000.000 dan biaya penjualan sebesar
Rp4.000.000. Maka perhitungan NRV adalah sebagai berikut.
Nilai jual persediaan Rp20.000.000
Dikurangi: Estimasi biaya penyelesaian Rp1.000.000
Estimasi biaya penjualan Rp4.000.000
Rp5.000.000
NRV Rp15.000.000

Nilai persediaan (NRV) Rp15.000.000


Biaya Rp19.000.000
Kerugian penurunan nilai persediaan Rp(4.000.000)

Berdasarkan ilustrasi di atas maka entitas akan melaporkan nilai persediaan di Laporan
Posisi Keuangan perusahaan sebesar Rp15.000.000 dan mencatat kerugian penurunan nilai
persediaan pada Laporan Laba Rugi sebesar Rp4.000.000.
Penurunan nilai menjadi nilai realisasi neto ini mungkin saja terjadi apabila barang
persediaan mengalami kerusakan, seluruh atau sebagian persediaan telah usang, atau harga
jualnya telah turun. Selain itu, biaya persediaan juga tidak akan diperoleh kembali
(persediaan akan mengalami penurunan nilai) ketika estimasi biaya penyelesaian atau
estimasi biaya untuk membuat penjualan telah meningkat. Praktik penurunan nilai persediaan
di bawah biaya menjadi nilai realisasi neto ini konsisten dengan penyajian nilai persediaan
yang relevan dengan nilai ekonomis yang sesungguhnya di mana aset seharusnya tidak
dinyatakan melebihi perkiraan jumlah yang dapat direalisasi dari penjualan atau
penggunaannya.
Ketika suatu entitas memiliki kelompok produk yang sejenis, penerapan penilaian
persediaan dengan menggunakan metode nilai yang lebih rendah antara nilai yang
berdasarkan biaya dan nilai realisasi neto dapat diterapkan untuk barang secara individual
maupun kelompok. Penerapan secara kelompok dapat menghasilkan nilai yang berbeda
dengan penerapan secara individual karena terdapat kemungkinan adanya saling off set
antarkelompok, seperti yang diilustrasikan pada contoh PT Fashion berikut ini.

Terendah antara Biaya dan NRV


Biaya NRV Pos Individual Kelompok Total Persediaan
Pakaian
Pakaian wanita Rp320.000.000 Rp480.000.000 Rp320.000.000
Pakaian laki-laki Rp400.000.000 Rp440.000.000 Rp400.000.000
Pakaian anak-
anak Rp200.000.000 Rp160.000.000 Rp160.000.000
Total Pakaian Rp920.000.000 Rp1.080.000.000 Rp920.000.000
Peralatan Rumah
Tangga
Peralatan Dapur Rp360.000.000 Rp288.000.000 Rp288.000.000
Peralatan Kebun Rp380.000.000 Rp368.000.000 Rp368.000.000
Hiasan Rumah
Tangga Rp200.000.000 Rp180.000.000 Rp180.000.000
Total Peralatan
Rumah Tangga Rp940.000.000 Rp836.000.000 Rp836.000.000
TOTAL Rp1.860.000.000 Rp1.916.000.000 Rp1.716.000.000 Rp1.756.000.000 Rp1.860.000.000

Apabila PT Fashion menggunakan metode nilai terendah antara biaya dan NRV untuk
pos individual maka jumlah yang tertera dalam akun persediaan adalah Rp1.716.000.000, dan
bila metode tersebut diterapkan secara kelompok maka nilai persediaan akan meningkat
menjadi Rp1.756.000.000 dan bila metode ini diterapkan secara total maka nilainya menjadi
Rp1.860.000.000.
Dengan menggunakan metode nilai terendah antara biaya dan NRV maka entitas harus
melakukan pencatatan terkait dengan dampaknya terhadap laba karena terdapat penyesuaian
dalam nilai beban pokok penjualan yang dicatat. Terdapat dua metode yang dapat dipilih,
yaitu metode beban pokok penjualan dan metode kerugian. Sebagai ilustrasi PT Indonesiaku
mencatat nilai beban pokok penjualan (sebelum penyesuaian ke NRV) sebesar
Rp190.000.000. Sedangkan nilai saldo akhir persediaan adalah sebesar Rp150.000.000
berdasarkan nilai biaya dan Rp140.000.000 berdasarkan NRV. Maka perbedaan pencatatan
penyesuaian antara kedua metode tersebut adalah sebagai berikut.

Metode Beban Pokok Penjualan Metode Kerugian


Penurunan nilai persediaan dari nilai biaya menjadi NRV
COGS Rp10.000.000 Kerugian Penurunan Nilai Persediaan Rp10.000.000
Persediaan Persediaan
Rp10.000.000 Rp10.000.000

Dengan menggunakan metode kerugian, entitas dapat pula menggunakan akun


penyisihan selain mengkredit akun persediaan, dengan nama akun “penyisihan penurunan
nilai persediaan pada NRV”. Dengan menggunakan akun penyisihan ini maka nilai
persediaan yang disajikan pada laporan posisi keuangan adalah nilai persediaan yang
berdasarkan NRV di mana nilai tersebut adalah nilai persediaan berdasarkan biaya dikurangi
dengan penyisihan.

Penilaian terhadap nilai realisasi neto suatu entitas harus dilakukan secara berkala.
Dimungkinkan terjadi kondisi di mana terdapat peningkatan nilai realisasi neto. Apabila suatu
entitas telah melakukan penurunan nilai persediaan, dan pada periode selanjutnya terdapat
peningkatan nilai realisasi neto, maka jumlah penurunan nilai harus dibalik (jumlah
pemulihan yang dapat dilakukan adalah sebatas jumlah penurunan nilai awal) sehingga
jumlah tercatat baru bagi persediaan adalah nilai yang terendah dari biaya atau nilai realisasi
neto yang telah direvisi. Pembalikan nilai penurunan tersebut dicatat dengan mendebit akun
penyisihan dan mengkredit akun pembalikan kerugian persediaan.

Melanjutkan contoh PT Indonesiaku, apabila periode berikutnya terdapat peningkatan


NRV menjadi Rp144.000.000 maka pencatatan yang dilakukan dengan menggunakan metode
kerugian adalah sebagai berikut.

Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan pada NRV Rp10.000.000


Pembalikan Kerugian Persediaan Rp10.000.000

Jika suatu entitas menjual persediaannya, maka nilai tercatat dari persediaan tersebut
harus diakui sebagai beban pada periode diakuinya pendapatan atas penjualan tersebut.
Apabila terdapat penurunan nilai persediaan dari nilai biaya menjadi nilai realisasi neto, maka
kerugian atas penurunan nilai persediaan tersebut diakui sebagai beban pada periode
terjadinya penurunan. Apabila terjadi pemulihan atas penurunan nilai, maka diakui sebagai
pengurangan terhadap jumlah beban persediaan pada periode terjadinya pemulihan.

PENGGUNAAN METODE LAIN DALAM VALUASI PERSEDIAAN

Metode Laba Bruto


Metode ini menghitung persediaan dengan mengestimasikan jumlah persediaan akhir
berdasarkan nilai barang yang tersedia untuk dijual, penjualan, dan persentase laba bruto.
Metode ini biasanya dipakai untuk mengestimasikan nilai persediaan ketika entitas
mengalami kebakaran atau bencana alam yang merusak sebagian besar persediaan
perusahaan. Sebagai ilustrasi, PT Merdeka memiliki persediaan awal sebesar Rp30.000.000
dan pembelian sebesar Rp120.000.000 yang keduanya pada nilai biaya. Penjualan pada harga
penjualan adalah sebesar Rp180.000.000. Margin perusahaan dari harga penjualan adalah
sebesar 30%.

Berikut penghitungan persediaan berdasarkan metode laba bruto.

Persediaan awal (pada nilai biaya) Rp30.000.000


Pembelian (pada nilai biaya) Rp120.000.000
Barang tersedia untuk dijual (pada nilai biaya) Rp150.000.000
Penjualan (pada harga penjualan) Rp180.000.000
Dikurangi: laba neto (30% × Rp180.000.000) Rp54.000.000
Penjualan (pada nilai biaya) Rp126.000.000
Perkiraan nilai persediaan (pada nilai biaya) Rp24.000.000

Metode Ritel

Metode ritel merupakan metode pengukuran nilai persediaan dengan menggunakan rasio
biaya untuk menurunkan nilai persediaan akhir yang dinilai berdasarkan nilai ritelnya
menjadi nilai biaya. Metode ini banyak dipakai oleh entitas perdagangan yang memiliki
banyak sekali jenis barang dengan nilai per barangnya tidak besar seperti supermarket dan
department store. Entitas perdagangan dapat menghitung persediaan fisik pada harga ritel
atau mengestimasi persediaan akhir ritel dan kemudian menggunakan rasio cost-to-retail
untuk mengestimasikan nilai persediaan pada nilai biaya. Karenanya, metode ritel ini juga
dapat digunakan untuk mengestimasi nilai persediaan untuk keperluan pelaporan keuangan
interim apabila perusahaan tidak melakukan stock opname. Metode ritel ini dapat digunakan
dalam asumsi arus biaya yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu MPKP atau biaya rata-rata.

PENGUNGKAPAN

Terkait dengan persediaan, maka dalam penyajiannya pada laporan keuangan suatu entitas
harus mengungkapkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Kebijakan akuntansi yang digunakan dalam pengukuran persediaan, termasuk rumus biaya
yang digunakan.
2. Total jumlah tercatat persediaan dan jumlah nilai tercatat menurut klasifikasi yang sesuai
bagi entitas.
3. Jumlah tercatat persediaan yang dicatat dengan nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual.
4. Jumlah persediaan yang diakui sebagai beban selama periode berjalan.
5. Jumlah setiap penurunan nilai yang diakui sebagai pengurang jumlah persediaan yang
diakui sebagai beban dalam periode berjalan.
6. Jumlah dari setiap pemulihan dari setiap penurunan nilai yang diakui sebagai pengurang
jumlah persediaan yang diakui sebagai beban dalam periode berjalan.
7. Kondisi atau peristiwa penyebab terjadinya pemulihan nilai persediaan yang diturunkan.
8. Nilai tercatat persediaan yang diperuntukkan sebagai jaminan kewajiban.

Anda mungkin juga menyukai