(Disusun dalam rangka memenuhi tugas fina mata kuliah BK Komunitas Khusus
yang diampuh oleh dosen Dr. Abdul Saman, M.Si Kons & Muh Ilham Bakhtiar,
S.Pd., M.Pd.)
AS SYIFA HIDAYATULLAH
(1844040028)
BK A
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 11
B. Saran ....................................................................................................................... 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus merupakan masalah yang rumit dan
jumlahnya terus menigkat. Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di
Indonesia pada tahun 2014, diperkirakan mencapai 4,2 juta jiwa. Menurut
Badan Koordinasi dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
menyatakan bahwa jumlah anak usia sekolah sebesar 42.870.041 jiwa, dan
10 persen anak usia sekolah (5-14 tahun) menyandang kebutuhan khusus
(Suwarno, 2013).
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mempunyai kelainan
tubuh dan mental. Dalam pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus
anak berkelainan, ditunjukan kepada anak-anak yang di anggap memiliki
kelaian penyimpangan, dari kondisi rata-rata anak normal umumnya,
dalam hal fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya, atau anak
yang berbeda dari rata- rata umumnya, dikarenakan ada permasalahan
dalam kemampuan berfikir, penglihatan, pendengaran, sosialisasi, dan
bergerak (Prawitasari, 2011).
Berdasarkan pengertian tersebut, anak yang dikategorikan memiliki
kelainan dalam aspek fisik meliputi kelainan indra penglihatan (tunanetra),
kelainan indra pendengaran (tunarungu), kelainan kemampuan bicara
(tunawicara), dan kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa). Anak yang
memiliki kemampuan mental lebih (supernormal) yang dikenal sebagai
anak berbakat, dan anak memiliki kemampuan mental yang sangat rendah
(subnormal) yang dikenal sebagai tuna grahita, anak yang memiliki
kelainan dalam aspek sosial adalah anak memiliki dalam menyesuaikan
perilakunya terhadap lingkungan sekitarnya. Anak yang termasuk dalam
kelompok ini dikenal sebagai tuna laras (Smith, 2013).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional memberikan warna lain dalam penyediaan
1
pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang
pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan
pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang
memiliki khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. dan
dijelaskan pada pasal 32 ayat 1 tentang pendidikan khusus merupakan
pedidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, dana tau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (RI,
2003).
Peraturan menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang
memiliki kelainan dan peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan
inklusif adalah system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik secara umumnya (Permendiknas,
2015).
Pendidikan khusus sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan
berbeda dari anak didik adalah wajib untuk diupayakan oleh pendidik.
Hallahan dan Kauffman (2000), menjelaskan bahwa perbedaan potensi
antara anak berkebutuhan khusus dengan anak lainnya perlu difasilitasi
dalam pembelajaran yang tepat. Fasilitasi dilakukan pada semua
karakteristik potensi anak. Perbedaan inilah dasar dari ‘layanan pendidikan
khusus’. Potensi unik ini perlu distimulai lebih lanjut, agar anak dengan
kebutuhan khusus mampu menjadi pribadi yang utuh. Pendidikan khusus
akan berdampak pada prestasi anak dalam penguasaan-penguasaan suatu
keterampilan tertentu. Sebaliknya, ketika pendidikan hanya difokuskan
pada standar umum, maka berdampak pada kegagalan anak berkebutuhan
khusus dalam pencapian target belajar.
2
Oleh karena itu ABK perlu diberi kesempatan dan peluang yang
sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di
sekolah. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu
persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak ABK selama ini.
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan
ABK belajar di sekolah-sekolah terdekat, di kelas bisa bersama teman-
teman seusianya (Abay, 2014).
Dengan adanya masalah yang ada di sekolah maka sangat
diperlukannya keberadaan bimbingan dan konseling di sekolah yang
berperan untuk membantu peserta didik yang mengalami kesulitan dalam
berbagai hal teurtama dalam menangani anak inklusif, disinilah peran guru
bimbingan dan konseling di sekolah mulai diperlukan dan bukan saja
hanya mengatasi berbagai macam kesulitan peserta didik, akan tetapi juga
membantu guru dalam mengenal peserta didiknya secara lebih mendalam
sehingga bimbingan dan konseling lebih sisrtematis dan bermutu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan anak bekebutuhan khusus?
2. Bagaimana peran guru BK dalam pendidikan inklusif?
3. Bagaimana pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling bagi anak
berkebutuhan khusus?
4. Bagaimana bentuk-bentuk layanan bimbingan konseling anak
berkebutuhan khusus?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi anak berkebutuhan khusus
2. Untuk mengetahui peran guru BK dalam pendidikan inklusif.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling bagi
anak berkebutuhan khusus.
4. Untuk mengetahui bentuk-bentuk layanan bimbingan konseling anak
berkebutuhan khusus.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
yang berbeda dari rata-rata umumnya, dikarenakan ada permasalahan
dalam kemampuan berpikir, penglihatan, pendengaran, sosialisasi dan
bergerak.
5
Guru Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat memberikan
pelayanan yang telah disesuaikan agar ABK dapat mengenal dirinya
sendiri dengan baik, menemukan kebutuhannya yang spesifik sesuai
dengan hambatannya. Kebutuhan ini muncul menyertai hambatan-
hambatan yang mereka hadapi terhadap kondisi yang mereka miliki.
Layanan bimbingan dan konseling diperlukan berkenaan dengan
bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karirnya. Layanan bimbingan dan
konseling yang sesuai akan membangkitkan motivasi peserta didik
berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi dan bergaul. Untuk mencapai
perkembangan yang optimal, diperlukan guru BK dalam membantu
pengentasan hambatan terhadap tugas perkembangan sosial yang harus
dicapai ABK.
Peran guru BK dalam membantu pencapaian tugas perkembangan
ABK dalam bersosialisasi adalah:
1. Memberikan layanan bimbingan dan konseling yang disesuaikan
dengan kemampuan, bakat dan minat, serta jenis ketunaan atau
kekhususan yang di miliki oleh ABK, serta mengelompokkan ABK
dalam kegiatan kelompok dan pengembangan diri yang telah
disesuaikan dengan ketunaan dan kekhususan melalui layanan
penempatan dan penyaluran. Guru BK juga memotivasi ABK untuk
terus aktif dalam kegiatan kelompok dan pengembangan diri, agar
mereka memiliki kepercayaan diri yang baik dan tidak merasa minder
jika bergabung dengan teman-teman sebayanya yang normal.
2. Memberikan layanan informasi terkait dengan peran gender
disesuaikan dengan kebutuhan ABK. Mengajak ABK untuk mau
mengamati peran sosial pria dan wanita yang ada dalam masyarakat
dan mendiskusikannya melalui layanan bimbingan kelompok dengan
topik tugas. Guru BK juga melakukan kegiatan pendukung BK dengan
memberikan literatur yang bermanfaat menyangkut peran sosial pria
dan wanita dalam masyarakat.
6
3. Membimbing peserta didik termasuk ABK untuk memilih karir di
sekolah, yaitu membantu siswa dalam memahmi diri dan
lingkungannya dalam mengambil keputusan, merencanakan dan
pengarahan kegiatan-kegiatan yang menuju kepada karir dan cara
hidup yang akan memberikan rasa kepuasan karena sesuai, serasi, dan
seimbang dengan dirinya dan lingkungnnya.
7
a. Bimbingan selaku Konstelasi Layanan
Bimbingan ini mengakui bahwa layanan yang diperlukan
siswa bukan hanya bimbingan saja, tapi pula layanan-layanan lain.
Misalnya layanan dari guru, dari psikologi , dari ketatausahaan dan
sebagainya; layanan bimbingan hanyalah salah satu dari layanan-
layanan tersebut. Model ini sejak tahun 1962 telah dideskripsikan
oleh Kenneth Hoyt dan dalam praktek sampai sekarang tetap
berlaku.
Bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus, model ini
cocok sekali. Dalam bidang ini, istilah layanan tidak selalu berarti
layanan bimbingan dan konseling. Sesuai dengan jenis kelainannya,
anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pengentasan
kekuatan otot, sudut penglihatan, sisa pendengaran, skala
penyesuaian, pencegahan kontraksi, intervensi dini, pemasangan
protesi, penyesuaian ortotik, pengembangan bahasa total
communication dan lainlain. Layanan-layanan tersebut sangat
teknik, memerlukan latihan yang mendalam.
b. Bimbingan Yang Bersifat Developmental
Semua model bimbingan pada dasarnya mengindahkan
perkembangan siswa, tapi tidak disebut bimbingan
perkembangan.Menurut Shertzer dan Stone (1984: 71-
71).Bimbingan perkembangan lebih bersifat komulatif dari model-
model lain, lebih bnayak bersifat long term, lebih komprehensif
dan lebih interpretif. Dengan bimbingan perkembangan, siswa
memperoleh informasi tentang situasi diri dan relasi keduanya,
dibantu untuk berfikir secara developmental dan mengerahkan
kapasitas dan disposisis-disposisinya. Dalam model ini siswa
disertakan melihat ke dalam diri sendiri, belajar mengatur motivasi
sendiri.
Model ini diperlukan oleh anak berkebutuhan khusus. Anak
berkebutuhan khusus, lebih dari anak normal.Sering mengarahkan
8
perhatian kepada dirinya sendiri, terutama terhadap kekurangan-
kekurangannya. Tetapi mereka tidak menemukan jalan keluar
untuk mengimbangi kekurangannya. Mereka perlu orang yang
mendampingi sebagaimana yang dilaukkan konselor yang
menggunakan model bimbingan perkembangan. Anak tunagrahita
sedang dan berat tak banyak memikirkan kekurangan
diri.Walaupun demikian, mereka juga memerlukan pendamping
tempat menyampaikan kesulitan-lesulitannya.
c. Bimbingan selaku Ilmu Tindakan Bertujuan
Kedudukan guru dalam pendidikan menurut Tiedeman dan
Field adalah superior di atas konselor. Tempat bimbingan bukan di
samping pendidikan, melainkan didalam pendidikan.Gurulah yang
harus jadi konselor, sedangkan konselor harus jadi teknisi yang
disebut tutor.Ilmu tentang tindakan yang bertujuan bukan harus
diterapkan pada pendidikan, meainkan pada belajar.
Dengan menerapkan model ini bimbingan akan menjadi
bagian pendidikan yang bersifat operasional dan akan menjadi
sama dengan pengajaran dan administrasi pendidikan. Sampai
batas tertentu, bimbingan di sekolah luar biasa sampai saat ini
dilakukan oleh guru kelas. Alasannya karena guru pendidikan anak
berkebutuhan khusus satu-satunya kelompok yang pernah
mendapat pendidikan tentang anak luar biasa dan permasalahannya.
d. Bimbingan selaku Pengembangan Pribadi
Menurut Kehas seklah terlalu banyak didominasi oleh guru,
kurang banyak menampilkan tenaga yang lain seperti konselor,
psikometris dan psikolog. Menurut pandangan Kehas, pendidikan
bukan sekedar mengajar sebagaimana yang terjadi selama ini,
melainkan keterlibatan dengan belajar, termasuk didalamnya
bimbingan.
e. Bimbingan selaku Pendidikan Psikologis
9
Mosher dan Sprinthall (Shertzer dan Stone; 1984: 80)
memberikan definisi mengenai pendidikan psikologis sebagai
berikut: pendidikan psikologis adalah pengalaman pendidikan yang
dirancang untuk memberikan pengaruh pada perkembangan pribadi,
etik, estetik, dan pandangan hidup. Isi pendidikan psikologis,
menurut Weinstein, meliputi program-program latihan
keterampilan, konsep, dan sikap guna memperluas pemahaman
tentang keunikan diri dalam hidup.
Gagasan ini sangat baik untuk pendidikan luar biasa.Anak
luar biasa atau anak berkebutuhan khusus memerlukan pemahaman
yang tepat mengenai diri dan lingkugan. Adapun keberhasilannya
bergantung pada bnayak faktor; jenis kelainan, pemahaman
konselor tentang kebutuhan dan kemampuan anak, materi yang
disampaikan dan cara menyampaikannya.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki kelainan
penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya, dalam fisik,
mental maupun karakteristik perilaku sosialnya atau anak yang berbeda
dari rata-rata umumnya, dikarenakan ada permasalahan dalam kemampuan
berpikir, penglihatan, pendengaran, sosialisasi dan bergerak.
Peran guru BK tentu tidak hanya sebatas membantu siswa dalam
memecahkan permasalahan yang sedang dihadapinya, tetapi juga
membantu mengembangkan kualitas pribadi siswa agar mampu
berkembang secara optimal seperti yang telah dijelaskan diatas. Karena
siswa merupakan individu yang sedang berkembang menuju dewasa, maka
guru bimbingan konseling hendaknya mampu memberikan layanan
bimbingan yang mengarah kepada keberhasilan perkembangan siswa baik
dari aspek intelektual, emosi, spiritual, dan sosial.
Guru Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat memberikan
pelayanan yang telah disesuaikan agar ABK dapat mengenal dirinya
sendiri dengan baik, menemukan kebutuhannya yang spesifik sesuai
dengan hambatannya. Kebutuhan ini muncul menyertai hambatan-
hambatan yang mereka hadapi terhadap kondisi yang mereka miliki.
B. Saran
Demikianlah makalah yang telah penyusun susun, penyusun
menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam pembuatan
makalah ini. Oleh sebab itu, penyusun memohon kritik dan saran yang
dapat membangun sebagai acuan untuk lebih baik di masa yang akan
datang.
11
DAFTAR PUSTAKA
Yahya, A. D., & Kristika, S. (2015). Pengalaman Guru Bimbingan dan Konseling
dalam Menangani Anak Berkebutuhan Khusus. KONSELI: Jurnal
Bimbingan dan Konseling (E-Journal), 2(2), 77-82.
12
Haryono, H., Syaifudin, A., & Widiastuti, S. (2015). Evaluasi pendidikan inklusif
bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal
Penelitian Pendidikan, 32(2).
Pramanasari, A., & Arifin, Z. (2015). Peran Guru Bimbingan Konseling dalam
Membina Kecerdasan Emosional dan Spiritual Siswa Berkebutuhan
Khusus. Nadwa, 9(1), 1-22.
13