Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SEJARAH AWAL PEMIKIRAN ISLAM NUSANTARA

Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Sejarah Islam Indonesia

Dosen Pengampu :

Abdur Rahman, M. Hum

Disusun Oleh :

Tazkia Aulia Attaromi (03020220069)

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang Maha Pemberi Ilmu, sehingga
dengan kekuasaan serta izin-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“SEJARAH AWAL PEMIKIRAN ISLAM NUSANTARA” ini tepat waktunya sebagai bahan
informasi yang dapat diimplementasikan. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas Bapak Abdur Rahman, M. Hum selaku dosen pembimbing mata kuliah
Sejarah Islam Indonesia. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang sejarah munculnya istilah Islam Nusantara.

Demikian makalah ini telah kami susun dengan harapan dapat menjadi bahan acuan dan

informasi bagi para pembaca. Apabila ada kekeliruan mohon dimaklumi karena kemampuan

kami yang terbatas. Dan kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata

sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan kami mengharapkan kritik dan saran yang

membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Dan semoga makalah ini

bermanfaat bagi pembaca.

Bojonegoro, 23 Mei 2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan agama universal, dinamis, humanis, kontekstualis dan ada selamanya.Islam
juga merupakan sebuah risalah yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk diajarkan ke
seluruh umat manusia tanpa kenal suku, ras, bangsa dan juga struktur sosial masyarakat. Islam
juga berisi tentang panduan dan juga rahmat bagi seluruh umat manusia dalam menjalankan
kehidupan.
Selama ini memang masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang multikultural,
karena mengedepankan kebudayaan. Jika terdapat penyebutan Islam Nusantara di Indonesia,
tentunya akan terkait dengan istilah pluralitas. Islam Nusantara sendiri mengakui bahwa budaya
merupakan bagian dari agama. Jadi, mengapa dulu Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat
jawa pada waktu itu, karena mereka mengedepankan budaya tanpa mengurangi sisi kemurnian
ajaran Islam sendiri. Dampaknya dari adanya akulturasi budaya dan agama ini yang nantinya
melahirkan produk Islam yang terkesan merakyat dengan masyarakat Indonesia yang di sebut
dengan Islam Nusantara. Terdapat hal menarik dari kajian Islam Nusantara yaitu platform yang
mana untuk menegaskan bahwa Islam yang ada di bumi Nusantara ini mengadaptasi nilai-nilai
lokal ciri khas masyarakat Nusantara tersebut. Nantinya akan melahirkan sebuah produk baru
yang berbeda dari segi corak kebeberagaman dengan Arab tempat lahirnya Islam. Juga dalam hal
ekspresi keberagamaan, Islam Nusantara memiliki ciri khas tersendiri. Berkat adanya dinamika
tersebut, akhirnya ciri khas dari budaya Nusantara ini semakin hari semakin berkembang, yaitu
dengan mengutamakan unsur perdamaian, belas kasih, hidup secara harmoni dan menjaga tali
silaturahmi.
Sebagai masyarakat yang cinta tanah airnya, penting sekali tetap mempertahankan corak
keislaman di Nusantara untuk tetap mengedepankan toleransi dan kasih sayang. Seperti halnya
yang sudah diajarkan oleh para sesepuh dan guru terdahulu yang sanadnya sampai kepada
Rasulullah SAW. Oleh karena itu, sangat penting untuk dipahami dan tetap menanamkan nilai-
nilai keislaman ala Nusantara yang mempunyai corak tersendiri dalam menjalankan nilai-nilai
keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, sangat perlu juga memahami tentang
Islam puritan yang selama ini kerap kali memerangi Islam ala Nusantara yang tidak sesuai
dengan Islam yang ada di Timur Tengah. Dengan begitu, penting sekali untuk memahami
mengenai peran Islam Nusantara yang begitu sentral dalam menjaga ideologi keislaman ala
Nusantara dari kelompok-kelompok puritan.1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal pembentukan pemikiran Islam Nusantara?
2. Bagaimana karakteristik Islam Nusantara?
3. Bagaimana perkembangan pemikiran tasawuf di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui awal pembentukan pemmikiran Islam Nusantara
2. Untuk mengetahui karakteristik Islam Nusantara
3. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran tasawuf di indonesia

1
Ali Mursyid Azisi, Islam Nusantara: Corak Keislaman Indonesia dan Perannya dalam Menghadapi Kelompok
Puritan, Empirisma Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam, vol. 29 No. 2 Juli 2020, hal.123-124.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Awal Pembentukan Pemikiran Islam Nusantara
. Penyebaran Islam di Indonesia adalah proses yang perlahan, bertahap, dan berlangsung
secara damai. Satu teori menyebutkan bahwa Islam datang secara langsung dari jazirah Arab
sebelum abad ke-9 M, sementara pihak lain menyebutkan peranan kaum pedagang dan
ulama Sufi yang membawa Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12 atau ke-13, baik
melalui Gujarat di India atau langsung dari Timur Tengah. Pada abad ke-16, Islam menggantikan
agama Hindu dan Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara. Islam tradisional yang pertama
kali berkembang di Indonesia adalah cabang dari Sunni Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang
diajarkan oleh kaum ulama, para kiai di pesantren. Model penyebaran Islam seperti ini terutama
ditemukan di Jawa. Beberapa aspek dari Islam tradisional telah memasukkan berbagai budaya
dan adat istiadat setempat.

Praktik Islam awal di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan


aliran spiritual Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati otoritas
kyai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga ikut ambil bagian dalam tradisi
Islam seperti ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten,
secara taat dijalankan oleh Muslim tradisional Indonesia. Akan tetapi, setelah datangnya Islam
aliran Salafi modernis yang disusul datangnya ajaran Wahhabi dari Arab, golongan Islam puritan
skripturalis ini menolak semua bentuk tradisi itu dan mencelanya sebagai
perbuatan syirik atau bidah, direndahkan sebagai bentuk sinkretisme yang merusak kesucian
Islam. Kondisi ini telah menimbulkan ketegangan beragama, kebersamaan yang kurang
mengenakkan, dan persaingan spiritual antara Nahdlatul Ulama yang tradisional
dan Muhammadiyah yang modernis dan puritan.

Sementara warga Indonesia secara seksama memperhatikan kehancuran Timur Tengah


yang tercabik-cabik konflik dan perang berkepanjangan; mulai dari Konflik Israel–
Palestina, Kebangkitan dunia Arab, perang di Irak dan Suriah, disadari bahwa ada aspek
keagamaan dalam konflik ini, yaitu munculnya masalah Islam radikal. Indonesia juga menderita
akibat serangan teroris yang dilancarkan oleh kelompok jihadi seperti Jamaah
Islamiyah yang menyerang Bali. Doktrin ultra konservatif Salafi dan Wahhabi yang disponsori
pemerintah Arab Saudi selama ini telah mendominasi diskursus global mengenai Islam.
Kekhawatiran semakin diperparah dengan munculnya ISIS pada 2013 yang melakukan tindakan
kejahatan perang nan keji atas nama Islam. Di dalam negeri, beberapa organisasi
berhaluan Islamis seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), juga Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) telah secara aktif bergerak dalam dunia politik Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir ini. Hal ini menggerogoti pengaruh institusi Islam tradisional khususnya
Nahdlatul Ulama. Elemen Islamis dalam politik Indonesia ini kerap dicurigai dapat
melemahkan Pancasila.

Akibatnya, muncullah desakan dari golongan cendekiawan Muslim moderat yang hendak
mengambil jarak dan membedakan diri mereka dari apa yang disebut Islam Arab, dengan
mendefinisikan Islam Indonesia. Dibandingkan dengan Muslim Timur Tengah, Muslim di
Indonesia menikmati perdamaian dan keselarasan selama beberapa dekade. Dipercaya hal ini
berkat pemahaman Islam di Indonesia yang bersifat moderat, inklusif, dan toleran. Ditambah lagi
telah muncul dukungan dari dunia internasional yang mendorong Indonesia sebagai negara
berpenduduk Muslim terbesar, agar berkontribusi dalam evolusi dan perkembangan dunia Islam,
dengan menawarkan aliran Islam Nusantara sebagai alternatif terhadap Wahhabisme Saudi.Maka
selanjutnya, Islam Nusantara diidentifikasi, dirumuskan, dipromosikan, dan digalakkan.2

B. Karakteristik Islam Nusantara

Corak atau perilaku keislaman di nusantara tentunya sangat berbeda dengan jenis atau corak
keislaman di Timur Tengah. Hal tersebut dikarenakan, selain letak geografis yang berbeda,
Timur Tengah dan Bumi Nusantra mempunyai peradaban dan kebudayaan masing-masing yang
tidak dapat disamaratakan satu sama lain. Dengan begitu jangan heran jika kelompok yang
bertujuan meng-Arab-kan Nusantara tidak akan menemukan keberhasilan, karena kebudayaan
yang melekat pada suatu wilayah tidak mudah untuk dihapuskan. Kehadiran Islam ini, seiring
berkembangnya zaman, secara terus-menerus berdialog dengan budaya masyarakat lokal yang

2
https://en.wikipedia.org/wiki/Islam_Nusantara
kemudian menciptakan simbol-simbol khas nusantara yang tentunya tidak sama dengan kawasan
Timur Tengah.3

Contoh produk simbol-simbol keislaman khas nusantara dapat dengan mudah ditemukan,
salah satunya kebiasaan para santri dan kiai mengenakan sarung. Selain berfungsi untuk menutup
aurat, sarung juga tidak pernah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW pada zaman dahulu.
Akan tetapi, Nabi mengadopsi pakaian tradisi bangsa Arab yaitu mengenakan jubah. Saat ini
perlu kita ketahui bahwa sarung kini menjadi simbol keislaman yang secara kultural telah
melekat sebagai identitas Muslim Nusantara. Hingga kini, tradisi mengenakan sarung oleh
kalangan santri dan juga masyarakat Nahdliyin terus di lestarikan.

Ciri khas yang lain yang mewakili Islam Nusantara yaitu adanya model khas terhadap
manuskrip-manuskrip tentang dinamika Islam dan masyarakat Islam lokal yang selain di tulis
menggunakan bahasa Arab, juga terdapat penulisan yang menggunakan bahasa lokal seperti
Batak, Bali, Aceh, Jawa Kuno, Madura, Melayu, Bugis, Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda,
Sunda kuno, Ternate, Walio, beberapa bahasa Indonesia Timur, bahasa Sumsel dan Kalimantan.
Dengan demikian, dalam memahami manuskrip Islam Nusantara nantinya sama saja dengan
menempuh jalan pintas untuk mengetahui beberapa pola hasil dari dialog atau interaksi dan
4
pertemuan budaya lokal Nusantara dan Islam.

C. Perkembangan Tasawuf di Indonesia


Wacana tasawuf khususnya tasawuf falsafi di Nusantara dimotori oleh Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatera) pada abad ke
17 M. Sekalipun pada abad ke 15 sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis berupa eksekusi mati
terhadap Syekh Siti Jenar atas fatwa dari Wali Songo, karena ajarannya dipandang menganut
doktrin sufistik yang bersifat bid’ah berupa pengakuan akan kesatuan wujud manusia dengan
wujud Tuhan, Zat Yang Maha Mutlak. Paling tidak menurut Alwi Shihab, kehadiran Syekh Siti
Jenar dengan ajaran dan syahahat-nya yang dipandang sesat, dapat dijadikan sebagai tahap
pertama perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia.

3
Abd Moqsith, “Tafsir Atas Islam Nusantara: Dari Islamisasi Nusantara Hingga Metodologi Islam Nusantara”,
Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol. 15, No. 2, Mei – Agustus 2016, hlm. 22.

4
Parhan Hidayat, “Menjadi Juru Kunci Islam Nusantara: Peran Perpustakaan dalam Melestarikan Naskah Islam
Nusantara”, Al-Turas, Vol. XXI, No. 2, Juli 2015, hlm. 272.
Hamzah Fansuri adalah keturunan Melayu yang dilahirkan di Fansur -nama lain dari
Barus. Dia diperkirakan hidup pada akhir abad ke 16 dan awal abad ke 17, yakni pada masa
sebelum dan selama pemerintahan Sultan ‘Ala al- Din Ri’ayat Syah (berkuasa 977- 1011H/1589-
1602M). Hamzah diperkirakan meninggal sebelum tahun 1016H/1607M. Hamzah memulai
pendidikannya di Barus, kota kelahirannya yang pada waktu itu menjadi pusat perdagangan,
karena saat itu Aceh berada dalam kemajuan di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan
Iskandar Tsani. Kwalitas pendidikan yang cukup baik di Aceh menjadikan Hamzah dapat
mempelajari ilmu-ilmu agama seperti ; fiqh, tauhid, akhlak, tasawuf, dan juga ilmu umum seperti
; kesustraan, sejarah dan logika. Selesai mengikuti pendidikan di tanah kelahirannya, Hamzah
kemudian melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah, khususnya Persia dan Arab. Dalam hal
tasawuf falsafi diperkirakan Hamzah mempelajari dari Iraqi, murid Sadr al-Din al-Qunawi,
murid kesayangan Ibnu Arabi.

Sekembalinya dari perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan agama di Aceh


melalui lembaga pendidikan “Dayah” (pesantren) di Oboh Simpang-Kanan, yang merupakan
cabang dari Dayah Simpang-Kiri yang diasuh oleh kakaknya Syekh Ali Fansuri, ayah dari Abdr
Rauf al-Sinkli. Hamzah ternyata tidak hanya beraktifitas sebagai guru, namun juga rajin menulis.
Tetapi sangat disayangkan karya-karya Hamzah tersebut tidak lagi ditemukan karena telah
dimusnahkan oleh ‘lawan-lawannya’ yang menentang paham wujudiyah yang dikembangkan
oleh Hamzah. Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinat al-
Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Dalam karyanya tersebut Hamzah menjelaskan bahwa
penampakan Tuhan tidak terjadi begitu saja atau secara langsung, tapi melalui tahap tertentu,
sehingga keesaan dan kemurnian Tuhan tidak tercampuri dengan makhluk.

Ajaran wujudiyah Hamzah ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Syamsuddin


Sumatrani. Kebanyakan peneliti berpendapat, hubungan mereka adalah guru- murid. Terdapat
banyak informasi tentang potret pribadi syeikh di antaranya : Hikayat Aceh, Adat Aceh, Bustan
al-Salathin dan informasi dari pengembara dan peneliti asing. Dari informasi tersebut dijelaskan
bahwa Syamsuddin lahir kira-kira 1589 dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkan informasi Deny
Lombard. Syaikh banyak melahirkan karya bermutu seperti : Jawhar al-Haqaiq, Risalah
Tubayyin Mulahazah, Nur al- Daqaiq, Thariq al-Shalikin, I’raj al Iman dan karya lainnya.
Syamsuddin menguasai beberapa bahasa, tapi karya-karyanya kebanyakan ditulis dalam bahasa
Melayu dan Arab.

Pengajaran Syamsuddin tentang Tuhan dengan corak paham wujudiyyah dikenal juga
dengan pengajaran tentang “martabat tujuh”, yaitu tentang satu wujud dengan tujuh martabatnya.
Pengajarannya tentang ini agaknya sama dengan yang diajarkan al-Burhanpuri, yang diduga kuat
sebagai orang pertama yang membagi martabat wujud itu kepada tujuh kategori. Ketujuh
martabat tersebut adalah : martabat ahadiyyah, martabat wahdah, martabat wahidiyyah, martabat
alam arwah, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam dan martabat alam insan. Paham
martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin Sumatrani dengan gurunya Hamzah
Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak ditemukan pengajaran ini. Tetapi keduanya
sangat menekankan pemahaman tauhid yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau
dicampurkan dengan unsur alam, dikenal dalam pengajaran Hamzah Fansuri la ta’ayyun.
Sedangkan dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Allah, yang merupakan
kejelasan dari ajaran al-Burhanpuri untuk tidak mencampur-adukkan martabat ketuhanan dengan
martabat kemakhlukan. Kedua tokoh dengan ajaran yang saling melengkapi ini bagaimanapun
juga telah mengajarkan dan secara sempurna tentang tasawuf falsafi yang kemudian diikuti oleh
banyak pengikutnya di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Munculnya istilah Islam Nusantara ini bertujuan untuk membedakan praktik Islam yang ada
di Indonesia dengan di Negara awal munculnya Islam itu sendiri, yaitu Arab. Karena seringkali
praktik-praktik keagamaaan yang ada di Indonesia dianggap bid’ah karena tidak sesuai dengan
yang di ajarkan rasulullah SAW, dan berbeda dengan praktik yang dilakukan di Arab. Padahal
praktik keagamaan yang terjadi di Indonesia disesuaikan dengan tradisi yang ada di masyarakat,
agar Islam diterima dengan baik tanpa menghilangkan unsur tradisi asli masyarakat setempat.
Untuk itu Islam Nusantara hadir untuk mengemas praktik-praktik keagamaan dengan tradisi
masyarakat lokal yang tentunya berbeda dengan tradisi di Arab sana.

Contoh produk simbol-simbol keislaman khas nusantara dapat dengan mudah ditemukan,
salah satunya kebiasaan para santri dan kiai mengenakan sarung. Selain berfungsi untuk menutup
aurat, sarung juga tidak pernah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW pada zaman dahulu.
Akan tetapi, Nabi mengadopsi pakaian tradisi bangsa Arab yaitu mengenakan jubah. Saat ini
perlu kita ketahui bahwa sarung kini menjadi simbol keislaman yang secara kultural telah
melekat sebagai identitas Muslim Nusantara. Hingga kini, tradisi mengenakan sarung oleh
kalangan santri dan juga masyarakat Nahdliyin terus di lestarikan.

Wacana tasawuf khususnya tasawuf falsafi di Nusantara dimotori oleh Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatera) pada
abad ke 17 M. Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinat al-
Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Dalam karyanya tersebut Hamzah menjelaskan bahwa
penampakan Tuhan tidak terjadi begitu saja atau secara langsung, tapi melalui tahap tertentu,
sehingga keesaan dan kemurnian Tuhan tidak tercampuri dengan makhluk. Pengajaran
Syamsuddin tentang Tuhan dengan corak paham wujudiyyah dikenal juga dengan pengajaran
tentang “martabat tujuh”, yaitu tentang satu wujud dengan tujuh martabatnya. Pengajarannya
tentang ini agaknya sama dengan yang diajarkan al-Burhanpuri, yang diduga kuat sebagai orang
pertama yang membagi martabat wujud itu kepada tujuh kategori. Ketujuh martabat tersebut
adalah : martabat ahadiyyah, martabat wahdah, martabat wahidiyyah, martabat alam arwah,
martabat alam mitsal, martabat alam ajsam dan martabat alam insan.5

DAFTAR PUSTAKA
5
Ali Mursyid Azisi, Islam Nusantara: Corak Keislaman Indonesia dan Perannya dalam Menghadapi Kelompok
Puritan, Empirisma Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam, vol. 29 No. 2 Juli 2020.
Ali Mursyid Azisi, Islam Nusantara: Corak Keislaman Indonesia dan Perannya dalam
Menghadapi Kelompok Puritan, Empirisma Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam, vol. 29
No. 2 Juli 2020, hal.123-124.

Abd Moqsith, “Tafsir Atas Islam Nusantara: Dari Islamisasi Nusantara Hingga Metodologi
Islam Nusantara”, Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol. 15, No. 2, Mei – Agustus 2016,
hlm. 22.

Parhan Hidayat, “Menjadi Juru Kunci Islam Nusantara: Peran Perpustakaan dalam
Melestarikan Naskah Islam Nusantara”, Al-Turas, Vol. XXI, No. 2, Juli 2015, hlm. 272.

https://en.wikipedia.org/wiki/Islam_Nusantara

Anda mungkin juga menyukai