Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH INTERAKSI OBAT

Interaksi Obat Pada Proses Absorbsi


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

DOSEN:
Dra. Refdanita M.Si.,Apt

DISUSUN OLEH:
Kunthi Sekaring Hapsari Nur Pratiwi (19334739)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2019

1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara umum suatu interaksi obat dapat digambarkan sebagai suatu interaksi antar suatu
obat dan unsur lain yang yang dapat mengubah kerja salah satu atau keduanya, atau
menyebabkan efek samping tak diduga. Pada prinsipnya interaksi obat dapat menyebabkan
dua hal penting. Yang pertama, interaksi obat dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan
khasiat obat. Yang kedua, interaksi obat dapat menyebabkan gangguan atau masalah
kesehatan yang serius, karena meningkatnya efek samping dari obat- obat tertentu. Risiko
kesehatan dari Interaksi obat ini sangat bervariasi, bisa hanya sedikit menurunkan khasiat
obat namun bisa pula fatal.
Peristiwa interaksi obat terjadi sebagai akibat penggunaan bersama-sama dua macam obat
atau lebih. Interaksi ini dapat menghasilkan efek yang menguntungkan tetapi sebaliknya juga
dapat menimbulkan efek yang merugikan atau membahayakan.
Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan efek yang tidak diinginkan adalah akibat makin
banyaknya dan makin seringnya penggunaan apa yang dinamakan polifarmasi atau “
Multiple Drug Therapy “.
Sudah kita maklumi bersama bahwa biasanya penderita menerima resep dari dokter yang
memuat lebih dari dua macam obat. Belum lagi kebiasaan penderita yang pergi berobat ke
beberapa dokter untuk penyakit yang sama dan mendapat resep obat yang baru.
Kemungkinan lain terjadinya interaksi obat adalah akibat kebiasaan beberapa penderita untuk
mengobati diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli di toko-toko obat secara bebas.
Interaksi obat yang tidak diinginkan dapat dicegah bila kita mempunyai pengetahuan
farmakologi tentang obat-obat yang dikombinasikan. Tetapi haruslah diakui bahwa
pencegahan itu tidaklah semudah yang kita sangka, mengingat jumlah interaksi yang
mungkin terjadi pada orang penderita yang menerima pengobatan polifarmasi cukup banyak.
Mekanisme interaksi obat bermacam-macam dan kompleks. Untuk itu, dalam makalah ini
akan dibahas mengenai interaksi obat pada proses absorbsi serta efek-efek yang diberikan
dari obat-obat yang berinteraksi.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Interaksi apa yang terjadi pada obat-obat yang diberikan?
2. Kenapa bias terjadi interaksi diantara obat-obatan tersebut?
3. Bagaimana dengan efek yang ditimbulkan?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui interaksi obat dalam proses absorbsi
2. Untuk mengetahui penyebab dari interaksi
3. Untuk mengetahui efek-efek yang ditimbulkan

1.4 Manfaat Penulisan


1. Mengetahui dan memahami interaksi obat di dalam darah terutama interaksi pada poses absorbsi
2. Mengetahui efek-efek yang ditimbulka dari obat-obat yang diberikan

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Interaksi Obat


Obat harus diberikan dengan dosis yang cukup untuk mengatasi atau menyembuhkan penyakit,
tanpa menimbulkan efek samping yang merugikan. Obat lain, baik resep maupun nonresep, narkoba,
jamu, atau bahkan makanan yang diberikan Bersama kadang kala mengakibatkan perubahan kadar
suatu obat dalam aliran darah. Peristiwa ini dikenal dengan istilah “interaksi obat”. Dengan kata lain,
interaksi obat adalah peristiwa aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat atau senyawa lain
yang diberikan secara bersamaan.
Berbagai factor dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap interaksi obat. Pasien yang rentan
terhadap interaksi obat antara lain:
- Pasien lanjut usia
- Pasien yang minum lebih dari satu macam obat
- Pasien yang mempunyai gangguan fungsi hati dan ginjal
- Pasien dengan penyakit akut
- Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
- Pasien yang mempunyai karakteristik genetic tertentu
- Pasien yang dirawat lebih dari satu dokter

Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena interaksi ini. Akibat yang tidak
dikehendaki dari peristiwa interaksi ini ada 2 kemungkinan yakni meningkatnya efek toksik atau efek
samping obat atau berkurangnya efek klinis yang diharapkan.

Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi:

1. Interaksi farmasetika
2. Interaksi farmakokinetik
3. Interaksi farmakodinamik

2.2 Obat yang Terlibat dalam Peristiwa Interaksi


Interaksi obat paling tidak melibatkan 2 jenis obat yaitu obat Objek dan obat
Presipitan
1) Obat Objek

4
Obat Objek adalah obat yang aksinya atau efeknya dipengaruhi atau diubah oleh obat
lain. Obat yang kemungkinan besar menjadi objek interaksi atau efeknya dipengaruhi
oleh obat lain, umumnya adalah obat-obat yang memenuhi ciri :
a. Obat-obat dimana perubahan sedikit saja terhadap dosis (kadar obat) sudah akan
menyebabkan perubahan besar pada efek klinis yang timbul. Secara farmakologi
obat-obat seperti ini sering dikatakan sebagai obat-obat dengan kurva dosis respons
yang tajam. Perubahan, misalnya dalam hal ini pengurangan kadar sedikit saja sudah
dapat mengurangi manfaat klinik dari obat.
b. Obat-obat dengan rasio terapik yang rendah artinya antara dosis toksik dan dosis
terapetik tersebut perbandingannya (perbedaannya) tidak besar. Kenaikan sedikit saja
dosis (kadar) obat sudah menyebabkan terjadinya efek toksis.
Kedua ciri obat objek di atas, yaitu merupakan obat yang manfaat kliniknya
mudah dikurangi atau efek toksisnya mudah diperbesar oleh obat presipitan, akan
saling berkaitan dan tidak sendiri-sendiri. Obat-obat seperti ini juga sering dikenal
dengan obat-obat dengan lingkungan yang sempit.
2) Obat Presipitan
Obat-obat presipitan adalah obat yang dapat mengubah aksi/efek obat lain. Untuk
dapat mempengaruhi aksi/efek obat lain, maka obat presipitan umumnya adalah obat-obat
dengan ciri sebagai berikut:
a. Obat-obat dengan ikatan protein yang kuat, dengan demikian akan menggeser ikatan-
ikatan protein obat lain yang lebih lemah. Obat-obat yang tergeser ini (displaced),
kadar obat bebasnya dalam darah akan meningkat dengan segala konsekuensinya,
terutama meningkatnya efek toksik. Obat-obat jenis ini, misalnya aspirin,
fenilbutazon, sulfa dan lain lain.
b. Obat-obat dengan kemampuan menghambat (inhibitor) atau merangsang (inducer)
enzim-enzim yang memetabolisir obat dalam hati. Obat-obat yang mempunyai sifat
sebagai perangsang enzim (enzyme inducer) akan mempercepat eliminasi
(metabolisme) obat-obat yang lain sehingga kadar dalam darah lebih cepat hilang,
misalnya rifampisin, karbamasepin, fenitoin, fenobarbital dan lain-lain. Sedangkan
obat-obat yang dapat menghambat metabolisme (enzyme inhibator) akan

5
meningkatkan kadar obat obyek sehingga terjadi efek toksik, termasuk kloramfenikol,
fenilbutason, alopurinol, simetidin dan lain-lain.
c. Obat-obat yang dapat mempengaruhi /merubah fungsi ginjal sehingga eliminasi obat-
obat lain dapat dimodifikasi. Misalnya probenesid, obat-obat golongan diuretika dan
lain-lain. Ciri-ciri obat presipitan tersebut adalah jika kita melihat dari segi interaksi
farmakokinetika, yakni terutama pada proses distribusi (ikatan protein), metabolisme
dan ekskresi renal. Masih banyak obat-obat lain diluar ketiga ciri ini tadi yang dapat
bertindak sebagai obat presipitan dengan mekanisme yang berbeda-beda.

Ikatan protein yang kuat


Obat Presipitan
Inhibitor atau inducer enzim hati
Interaksi
obat

Dose-response yang curam


Obat Objek
Rasio toksis terapi yang rendah

2.3 Mekanisme Kerja Interaksi Obat


2.3.1 Interaksi Farmasetika
Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik bersifat langsung
dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadinya presipitasi, perubahan warna,
tidak terdeteksi (invisible), yang selanjutnya menyebabkan obat menjadi tidak aktif.
Interaksi farmasetik sering terjadi, misalnya reaksi antara obat-obat yang dicampur
dalam cairan secara bersamaan, misal dalam infus atau suntikan. Contohnya interaksi
karbenisilin dengan gentamisin terjadi inaktivasi, fenitoin dengan larutan dextrose 5%
terjadi presipitasi, amfoterisin B dengan larutan NaCl fisiologik terjadi presipitasi.
2.3.2 Interaksi Farmakokinetik
Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma obat.
Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat
diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas
terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia yang menghasilkna sifat

6
interaksi yang berbeda. Contohnya, nteraksi farmakokinetik oleh simetidin tidak
dimiliki oleh H2-bloker lainnya; interaksi oleh terfenadin, astemizole tidak dimiliki
oleh antihistamin non-sedatif lainnya.

2.3.2.1 Interaksi yang terjadi pada proses Absorbsi gastrointestinal


Secara langsung sebelum obat diabsorbsi
Interaksi yang terjadi secara langsung sebelum obat diabsorbsi contohnya adalah
interaksi antibiotika (tetrasiklin, fluorokuinolon) dengan besi (Fe) dan antasida yang
mengandung Al, Ca, Mg terbetnuk senyawa chelate yang tidak larut sehingga obat
antibiotik tidak diabsorbsi. Obat-obat seperti digoksin, siklosporin, asam valproat
menjadi inaktif jika diberikan bersama adsorben (kaolin, charcoal) atau anionic
exchange resins (kolestiramin, kolestipol). Interaksi ini dapat dihindarkan dengan
memberikan selang waktu minimal 2 jam pada obat-obat yang saling bereaksi.

Efek perubahan pH gastrointestinal


Peningkatan pH karena adanya antasida, penghambat H2, ataupun penghambat
proton-proton (saluran cerna menjadi alkalis) akan menurunkan absorbsi basa lemah
(ketokonazol, itrakonazol, tetrasiklin) dan akan meningkatkan absorbsi asam lemah
(glibenklamid, glipizid, tolbutamid, aspirin). Peningkatan pH cairan gastrointestinal
akan menurunkan absorbsi antibiotik golongan sefalosporin seperti sefuroksim aksetil
dan sefpodoksim proksetil. Oleh karena itu, ketokonazol yang diminum secara oral
tidak boleh diberikan bersama antasida karena ketokonazol membutuhkan medium
asam untuk melarutkannya. Akan tetapi jika memang dibutuhkan, antasid tetap dapat
diberikan minimal 2 jam setelah pemberisn ketokonazol.

Penghambatan transport aktif gastrointestinal


Misalnya grapefruit juice yakni suatu inhibitor protein transporter uptake pump di
saluran cerna, akan menurunkan bioavaibilitas beta-bloker dan beberapa antihistamin
(misalnya, fexofenadin) jika diberikan bersama-sama. Pemberian digoksin bersama
inhibitor transporter efflux pump P-glikoprotein (a.l ketokonazol, amiodaron,
quinidin) akan meningkatkan kadar plasma digoksin sebesar 60-80% dan

7
menyebabkan intoksikasi (blokade jantung derajat-3), menurunkan sekresinya oleh
sel-sel ginjal proximal.

Perubahan motilitas gastrointestinal


Karena sebagian besar obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-
obatan yang mengubah tingkat di mana perut kosong dapat mempengaruhi
penyerapan. Propantheline, misalnya, menunda pengosongan lambung dan
mengurangi absorption penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan
metoklopramida memiliki efek sebaliknya. Namun, jumlah total obat tetap terserap
tidak berubah. Propantheline juga meningkatkan penyerapan dari hidroklorotiazid.
Contoh-contoh ini menggambarkan bahwa apa yang sebenarnya terjadi kadang-
kadang sangat tidak terduga karena hasil akhirnya mungkin hasil beberapa
mekanisme berbeda.

Perubahan flora usus


Flora normal usus mempunyai fungsi antara lain :
 Sintesa vitamin K dan merupakan sumber vitamin K
 Memecah sulfasalzin menjadi bagian-bagian yang aktif
 Tempat metabolisme sebagian obat misalnya levodopa
 Hidrolisis glukoronid yang diekskresi oleh empedu sehingga terjadi sirkulasi
enterohepatik yan akan memperpanjang kerja obat seperti pil KB.

Pemberian antibakteri berspektrum luas seperti tetrasiklin, kloramfenikol dan


ampisilin akan mengubah flora normal usus sehingga akan meningkatkan efektivitas
anti koagulan oral yang diberikan secara bersama-sama, mengurangi efektivitas
sulfasalazin, meningkatkan bioavailabilitas levodopa dan mengurangi efektifitas
kontrasepsi oral.

8
2.3.2.2 Interaksi yang terjadi pada proses distribusi
Mekanisme interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena pergeseran
ikatan protein plasma.

2.3.2.3 Interaksi yang terjadi pada proses metabolisme obat


Mekanisme interaksi dapat berupa:
- Penghambatan (inhibisi) metabolism
- Induksi metabolism
- Perubahan aliran darah hepatik

2.3.2.4 Interaksi yang terjadi pada proses ekskresi obat


Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada prioses ekskresi melalui empedu dan
pada sirkulasi enterohepatic, sekresi tubuli ginjal, dan karena terjadinya prubahan pH
urin. Gangguan dalam eksresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan
metabolit obat untuk system transport yang sama, contohnya kuinidin menurunkan
ekskresi empedu rifampisin.

2.3.3 Interaksi Farmakodinamik


Interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem
fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik
tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya.

2.4 Implikasi Klinis Interaksi Obat


Interaksi obat sering dianggap sebagai sumber terjadinya efek samping obat (adverse
drug reactions) yakni jika metabolisme suatu obat objek terganggu akibat adanya obat
presipitan dan menyebabkan peningkatan kadar plasma obat objek sehingga terjadi
toksisitas. Selain itu interaksi antar obat dapat menurunkan efikasi obat. Interaksi obat
demikian tergolong sebagai interaksi obat ”yang tidak dikehendaki” atau Adverse Drug
Interactions (ADIs). Meskipun demikian, beberapa interaksi obat tidak selalu harus
dihindari karena tidak selamanya serius untuk mencederai pasien.

9
2.4.1 Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs)
Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs) mempunyai implikasi klinis jika
obat objek memiliki batas kemanan sempit; mula kerja (onset of action) obat cepat,
terjadi dalam 24 jam; dampak ADIs bersifat serius atau berpotensi fatal dan
mengancam kehidupan; indeks dan obat presipitan lazim digunakan dalam praktek
klinik secara bersamaan dalam kombinasi.
Banyak faktor berperan dalam terjadinya ADIs yang bermakna secara klinik,
antara lain faktor usia, faktor penyakit, genetik, dan penggunaan obat-obat preskripsi
bersama-sama beberapa obat-obat OTC sekaligus. Usia lanjut lebih rentan mengalami
interaksi obat. Pada penderita diabetes melitus usia lanjut yang disertai menurunnya
fungsi ginjal, pemberian penghambat ACE ( misal spironolakton, amilorid,
triamteren) menyebabkan terjadinya hiperkalemia yang mengancam kehidupan.
Beberapa penyakit seperti penyakit hati kronik dan kongesti hati menyebabkan
penghambatan metabolisme obat-obat tertentu yang dimetabolisme di hati (misal
simetidin) sehingga toksisitasnya dapat meningkat. Pemberian relaksans otot bersama
aminoglikosida pada penderita miopati, hipokalemia, atau disfungsi ginjal dapat
menyebabkan efek relaksans oto meningkat dan kelemahan otot meningkat.

2.4.2 Interaksi obat yang dikehendaki


Adakalanya penambahan obat lain justru diperlukan untuk menningkatkan atau
mempertahankan kadar plasma obat-obat tertentu sehingga diperoleh efek terapetik
yang diharapkan. Selain itu, penambahan obat lain diharapkan dapat mengantisipasi
atau mengantagonis efek obat yang berlebihan. Penambahan obat lain dalam bentuk
kombinasi (tetap maupun tidak tetap) kadang-kadang disebut pharmacoenhancement,
juga sengaja dilakukan untuk mencegah perkembangan resistensi, meningkatkan
kepatuhan, dan menurunkan biaya terapi karena mengurangi regimen dosis obat yang
harus diberikan.
Kombinasi suatu antiaritmia yang memiliki waktu paruh singkat misalnya
prokainamid, dengan simetidin sapat mengubah parameter farmakokinetik
prokainamid. Simetidin akan memperpanjang waktu paruh prokainamid dan

10
memperlambat eliminasinya. Dengan demikian frekuensi pemberian dosis
prokainamid sebagai antiaritmia dapat dikurangi dari setiap 4-6 jam menjadi setiap 8
jam/hari, sehingga kepatuhan dapat ditingkatkan.

BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Penggolongan Obat-Obat yang Berinteraksi pada Proses Absorbsi

N Obat Obat Mekanisme Akibat yang Efek yang Penanganan


o Presipitan Objek Interaksi terjadi ditimbulkan Interaksi
1 Antasida Tetrasiklin Interaksi secara terbenuk Tetrasiklin Diberikan
langsung senyawa tidak jeda
chelate yang diabsorbsi pemberian
tidak larut antasida
setidaknya 1
jam sebelum
atau 2 jam
sesudah
penggunaan
tetrasiklin
2 Antasida, Ketokonazo perubahan pH Suasana Menurunnya Diberikan
l gastrointestina lambung absorbsi jeda

l menjadi ketokonazol pemberian


alkalis antasida
setidaknya 1
jam sebelum
atau 2 jam
sesudah
penggunaan
ketokonazol
3 Metokloprami Parasetamol Perubahan Mempercepat Meningkatkan Digunakan
laju
d motilitas pengosongan kombinasi ini
penyerapan
gastrointestinal lambung parasetamol untuk

11
mempercepat
efek analgetik
parasetamol
4 Spironolakton Azitromisin Penghambata P- Meningkatka memonitorin
n transport glikoprotein n efek g
aktif di usus azithromycin kondisi klinis
gastrointstinal dihambat pasien, jika
oleh terjadi
spironolakto penurunan
n. kondisi klinis
pasien maka
perlu
dilakukan
penyesuaian
dosis dari
azithromycin
5 Kaolin Linkomisin Interaksi secara Linkomisin Efek Berikan
langsung terabsorbsi ke linkomisin linkomisin 2
kaolin dan berkurang jam setelah
kaolin bersifar pemberian
melapisi kaolin
lapisan usus
6 Itrakonazol Digoksin Penghambatan Itrakonazol Meningkatkan Mengurangi
transport aktif menghambat kadar digoksin dosis digoksin
gastrointestinal P-glikoprotein dalam darah
7 Antasida Isoniazid Perubahan Aluminium menurunkan Diberikan
motilitas hidroksida kadar dari jeda
gastrointestinal menunda isoniazid pemberian
penggosongan antasida
lambung yang setidaknya 1
dapat jam sebelum
menyebabkan atau 2 jam
retensi dari sesudah
isoniazid di penggunaan

12
lambung isonizid
8 Colestipol, Statin Penghambatan resin pengikat Berkurangnya Penggunaan
Colestiramin (Simvastatin transport aktif asam empedu kadar statin colestipol
, gastrointstinal ini mengikat untuk diserap bersama
Atorvastatin dengan statin makanan, dan
, dll) statin saat
waktu tidur.
Jeda waktu 4
jam.
9 Antasida Aspirin perubahan pH Suasana Mempercepat Dapat
gastrointestinal lambung absorbsi digunakan
menjadi aspirin secara
alkalis bersamaan
10 Metokloprami Morfin Perubahan Mempercepat meningkatka Interaksi ini
d motilitas pengosongan bermanfaat
n laju
dalam
gastrointestinal lambung penyerapan praktik
anestesi,
morfin oral
tetapi
dan peningkatan
sedasi juga
meningkatka
dapat
n laju onset merupakan
masalah jika
dan efek
morfin
sedatif. diberikan
jangka
panjang.

1. Interaksi antara Tetrasiklin dengan Antasida


Interaksi yang terjadi adalah interaksi secara langsung sebelum obat diabsorbsi. Antasida
yang mengandung Al, Ca, Mg akan membentuk senyawa chelate yang tidak larut sehingga

13
tetrasiklin tidak diabsorbsi. Sebaiknya penggunaan antasida diberikan jeda setidaknya 1 jam
sebelum atau 2 jam sesudah penggunaan tetrasiklin.

2. Interaksi antara Antasida dengan Ketokonazol


Interaksi yang tejadi adalah efek perubahan pH gastrointestinal. Pemakaian antasida
membuat pH lambung menjadi alkalis. Sedangkan untuk ketokonazol merupakan basa lemah
yang membutuhkan suasana asam untuk absorbsi. Sehingga bila penggunaan antasida
bersama ketokonazol akan menurunkam absorbsi ketokonazol. Jadi sebaiknya penggunaan
antasida diberikan jeda setidaknya 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah penggunaan ketokonazol.

3. Interaksi antara Metoklopramid dengan Parasetamol


Interaksi yang terjadi adalah adanya perubahan motilitas gastrointestinal. Metoklopramid
meningkatkan laju penyerapan parasetamol (tingkat puncak tercapai dalam 48 menit, bukan
120 menit), tetapi jumlah totalnya diserap tetap hampir tidak berubah. Laju penyerapan
parasetamol tetap karena laju pengosongan lambung meningkat karena pemakaian
metoklopramid.

4. Interaksi antara Azitromycin dengan Spironolakton


Azithromycin merupakan salah satu jenis antibiotik yang masuk dalam golongan makrolida.
Antibiotik ini jika digunakan bersama spironolakton akan menimbulkan interaksi obat pada
fase absorbsi. Pada penelitian ini diketahui ada 3 peresepan yang berpotensi memiliki
interaksi obat ini. Spironolakton akan meningkatkan efek azithromycin. Azithromycin
sebagai substrat dari P-glikoprotein bioavailibilitasnya meningkat karena P-glikoprotein di
usus dihambat oleh spironolakton. Obat-obat yang menghambat P-glikoprotein di usus akan
meningkatkan bioavailibilitas substrat P-glikoprotein. Interaksi obat ini memiliki signifikansi
moderate sehingga perlu memonitoring kondisi klinis pasien, jika terjadi penurunan kondisi
klinis pasien maka perlu dilakukan penyesuaian dosis dari azithromycin.

5. Interaksi antara Kaolin dengan Lincomycin


Kaolin-pektin dapat secara nyata mengurangi penyerapan lincomycin. Ini dapat dihindari
dengan memberikan lincomycin dua jam setelah kaolin.. Namun, perhatikan bahwa diare

14
sering kali merupakan suatu indikasi bahwa antibakteri ini harus ditarik. Tampaknya
kemungkinan bahwa lincomycin teradsorpsi ke kaolin, sehingga mengurangi
bioavailabilitasnya. Kaolin juga melapisi lapisan usus dan bertindak sebagai penghalang fisik
untuk penyerapan.

6. Interaksi antara Itrakonazol dengan Digoksin


Itrakonazol menghambat P-glikoprotein, yang mengangkut digoxin keluar dari sel tubulus
ginjal ke dalam urin sehingga kadar serum meningkat. Pantau efek digoxin (mis. Bradikardia,
mual, muntah) jika itrakonazol dimulai. Toksisitas dapat terjadi kecuali dosis digoxin
dikurangi secara tepat (misalnya mengurangi dosis hingga setengahnya) Secara teoritis,
itrakonazol juga dapat menentang efek inotropik positif dari digoxin.

7. Interaksi antara Antasida dengan Isoniazid


Mekanisme yang terjadi antara isoniazid dengan antasida yaitu salah satu kandungan antasida
berupa aluminium hidroksida dapat menurunkan kadar dari isoniazid melalui inhibisi dari
absorpsi gastrointestinal. Aluminium hidroksida menunda penggosongan lambung yang
dapat menyebabkan retensi dari isoniazid di lambung. Penggunaan obat ini secara bersamaan
juga dapat mengakibatkan absorbsi dari isoniazid akan direduksi sebesar 25 % oleh
aluminium hidroksida.

8. Interaksi antara Statin dengan Colestipol


Tampaknya kemungkinan bahwa resin pengikat asam empedu ini mengikat dengan statin di
usus dan dengan demikian mengurangi jumlah statin yang tersedia untuk diserap. Meskipun
pengurangan ketersediaan hayati statin yang disebabkan oleh colestipol, efek penurun lipid
keseluruhan meningkat secara bersamaan. Efek dari interaksi dapat diminimalkan dengan
memisahkan mereka yaitu pemberian colestipol dengan makanan, dan statin pada waktu tidur
dan setidaknya pemberian statin beri jeda 4 jam setelah colestipol.

9. Interaksi antara Aspirin dengan Antacid


Cairan saluran cerna yang alkalis misalnya akibat antasid, akan meningkatkan kelarutan obat
yang bersifat asam yang sukar larut dalam cairan tersebut. Contohnya aspirin. Dalam suasana

15
alkalis, absorpsi per satuan luas area absorpsi akan lebih lambat. Dengan demikian
dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya. Penggunaannya
dapat digunakan secara bersamaan hanya untuk obat yang bersifat asam yang sukar larut
dalam cairan saluran cerna.

10. Interaksi antara Metoklopramid dengan Morfin


Metoclopramide meningkatkan tingkat pengosongan lambung sehingga tingkat penyerapan
morfin dari usus kecil meningkat. Efek metoclopramide pada penyerapan morfin oral adalah
interaksi mapan yang dapat dimanfaatkan secara bermanfaat dalam praktik anestesi, tetapi
peningkatan sedasi juga dapat merupakan masalah jika morfin diberikan jangka panjang

BAB 4
PENUTUP

16
4.1 Kesimpulan
1. Interaksi obat berarti saling pengaruh antar obat sehingga terjadi perubahan efek
2. Interaksi dapat memberikan keuntungan dan kerugian.
3. Interaksi obat dapat terjadi pada berbagai tahap mulai dari meracik obat sampai obat
tersebut dikeluarkan dari tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

17
1. Helmi Siti, dkk. 2017. Buku Saku Interaksi Obat dan Makanan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
2. Noviani Lusi. Buku Panduan Interaksi Obat. Untuk kalangan sendiri.
3. Baxter, K. 2010. Stockley’s Drug Interaction.Edisi VII. London: Pharmaceutical
Press.
4. Farida Yeni ,Anisa Dewi Soleqah. 2016. Identifikasi Potensi Interaksi Obat
Antibiotik pada Peresepan Pneumonia. Journal of Pharmaceutical Science and
Clinical Research.
5. Gitawati Retno. 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya Vol XVIII No 4.
Jakarta: Media Litbang Kesehatan.
6. Anggraini Shinta. 2016. Analisis Potensi Interaksi Obat Penyakit Tuberkulosis Paru
pada Pasien Dewasa di Unit Pengobatan Penyakit Paru-Paru (UP4) Pontianak.
Pontianak: Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.

18

Anda mungkin juga menyukai