A. Definisi 3
B. Etiologi 3
a. Traumatis
- Trauma tumpul.
- Bullous emfisema.
- Tuberkulosis.
- Paru atriovenosa fistula.
- Patologi abdomen
C. Epidemiologi 3
Sejauh ini penyebab paling umum dari hematotoraks adalah trauma, baik trauma
yang tidak disengaja, disengaja, atau iatrogenik. Sekitar 150.000 kematian terjadi dari
trauma setiap tahun. Cedera dada terjadi pada sekitar 60% kasus multiple-trauma. Oleh
karena itu, perkiraan kasar dari terjadinya hematotoraks terkait dengan trauma di Amerika
Serikat mendekati 300.000 kasus per tahun. Sekitar 2.086 anak-anak muda Amerika
Serikat, berumur 15 tahun dirawat dengan trauma tumpul atau penetrasi, 104 (4,4%)
memiliki trauma toraks. Dari pasien dengan trauma toraks, memiliki
hemopneumothoraks(26,7%), dan 14 memiliki hematotoraks (57,1% kematian).
D. Patofisiologi 3
Trauma toraks atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar
masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil pada
paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik
(sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan suplai
O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan. Hipoksia pada tingkat jaringan
dapat menyebabkan ransangan terhadap cytokines yang dapat memacu terjadinya
Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS), Systemic Inflamation Response
Syndrome (SIRS) dan sepsis. Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan
oleh trauma toraks. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya
pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan darah),
pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma, kolaps
alveolus) dan perubahan dalam tekanan intratoraks (contoh tension pneumothoraks,
pneumothoraks terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya
ventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan tingkat kesadaran.
Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok). Apabila
penanganan pada kasus hematotoraks tidak dilakukan segera maka kondisi pasien
dapat bertambah buruk karena akan terjadi akumulasi darah di rongga thoraks yang
menyebabkan paru-paru kolaps dan mendorong mediastinum serta trakea ke sisi yang
sehat, sehingga terjadi gagal napas dan meninggal, fibrosis atau skar pada membrane
pleura, Ateletaksis, Shok, Pneumothoraks, Pneumonia, Septisemia.
E. KLASIFIKASI 2
Pada orang dewasa secara teoritis hematothoraks dibagi dalam 3 golongan, yaitu:
a. Hematothoraks ringan
Jumlah darah kurang dari 400 cc
Tampak sebagian bayangan kurang dari 15 % pada foto thoraks
Perkusi pekak sampai iga IX
b. Hematothoraks sedang
Jumlah darah 500 cc sampai 2000 cc
15% - 35% tertutup bayangan pada foto thoraks
Perkusi pekak sampai iga VI
c. Hematothoraks berat
Jumlah darah lebih dari 2000 cc
35% tertutup bayangan pada foto thoraks 9
Perkusi pekak sampai iga IV
Gambar 1. Klasifikasi Hemothorax. a.) Ringan b.) sedang c.) berat.
Anemia
Deviasi trakea ke sisi yang tidak terkena.
- Akumulasi darah yang banyak -> menekan struktur sekitar -> mendorong
trakea ke arah kontralateral.
Gerak dan pengembangan rongga dada tidak sama (paradoxical).
Penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang terkena
- Suara napas adalah suara yang terdenger akibat udara yang keluar dan masuk
paru saat bernapas. Adanya darah dalam rongga pleura pertukaran udara tidak
berjalan baik -> suara napas berkurang atau hilang.
Dullness pada perkusi (perkusi pekak)
- Akumulasi darah pada rongga pleura -> suara pekak saat diperkusi (Suara
pekak timbul akibat carian atau massa padat).
Adanya krepitasi saat palpasi.
G. Diagnosis 4
USG : USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan untuk pasien
yang tidak stabil dengan hemothoraks minimal.
Gambar 4. USG toraks pada pasien Hematotoraks
H. Tatalaksana
A. SURVEI PRIMER 1
1. Jalan Napas (Airway)
Adanya trauma mayor yang mengenai jalan napas perlu segera dikenali saat
melakukan survey primer. Patensi jalan napas sebaiknya dinilai dengan
mendengarkan pergerakan udara melalui hidung, mulut dan lapang paru pada pasien.
Melakukan inspeksi orofaring untuk menilai adanya obstruksi benda asing dan
mengamati adanya retraksi otot intercostalis dan supraklavikular.
Trauma pada toraks atas dapat dinilai dengan adanya defek yang dapat dipalpasi
pada region persendian sternoklavikula dengan dislokasi posterior caput klavikula
yang menyebabkan obstruksi saluran napas atas. Identifikasi dapat dilakukan dengan
obseervasi adanya stridor atau perubahan bermakna pada kualitas suara.
2. Pernapasan (Breathing)
Dada dan leher pasien harus dinilai secara menyeluruh untuk menilai pernapasan
dan vena leher. Pergerakan dan kualitas respirasi dinilai dengan observasi, palpasi dan
pendengaran suara napas. Tanda trauma thoraks atau hipoksia yang penting namun
sering terlewatkan adalah peningkatan kecepatan dan pola pernapasan, khususnya
pernapasan yang makin dangkal. Sianosis merupakan tanda lanjut hipoksia pada
pasien trauma. Trauma thoraks dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan harus
dikenali dan ditangai saat survey primer termasuk adanya tension pneumothoraks,
open pneumothoraks (Sucking Chest Wound) dan Hemothoraks massif.
3. Sirkulasi
Pada pemeriksaan denyut nadi pasien harus dinilai akan kualitas, kecepatan dan
regularitas. Pada pasien dengan hipovolemia, denyut nadi radialis dan dorsalis pedis
dapat tidak teraba akibat adanya deplesi volume. Pengawasan jantung dan oksimetri
nadi harus dilakukan pada pasien. Pasien yang mengalami trauma thoraks terutama
pada area sternum atau akibat trauma deselerasi cepat sangat rentan mengalami
trauma miokard yang dapat memicu terjadinya disaritmia. Hipoksia dan asidosis akan
meningkatkan kemungkinan ini. Pulseless Electric Activity (PEA) tampak pada EKG
yang menunjukan sebuah ritme saat pulsasi pasien tidak teraba. PEA dapat ditemukan
pada tamponade Jantung, Tension Pneumothoraks, Hipovolemia. Trauma thoraks
dapat mempengaruhi sirkulasi, sebaiknya dikenali dan ditatalaksana pada saat survey
primer.
Penyebab kematian pada satu jam pertama setelah trauma adalah perdarahan. Oleh
sebab itu, setelah tercapai patensi jalan napas dan pernapasan yang adekuat, prioritas
selanjutnya adalah sirkulasi. Pemasangan IV line dengan jarum besar satu atau dua
jalur harus dilakukan untuk menjaga sirkulasi.
B. SURVEI SEKUNDER 1
Prinsip penatalaksanaan hematotoraks adalah stabilisasi hemodinamik pasien,
menghentikan sumber perdarahan dan mengeluarkan darah serta udara dari rongga
pleura. Langkah pertama stabilisasi hemodinamik adalah dengan melakukan resusitasi
yaitu dengan pemberian oksigenasi, rehidrasi cairan, serta dapat dilanjutkan dengan
pemberian analgesik serta antibiotik. Setelah hemodinamik pasien stabil dapat
direncanakan untuk pengeluaran cairan (darah) dari rongga pleura dengan
pemasangan chest tube yang disambungkan dengan water shield drainage dan
didapatkan cairan (darah). Pemasangannya selama beberapa hari untuk
mengembangkan paru ke ukuran normal.
I. KOMPLIKASI 2
Komplikasi dapat berupa :
a. Kegagalan pernafasan (Paru-paru kolaps sehingga terjadi gagal napas dan
meninggal).
b. Fibrosis atau skar pada membran pleura.
c. Pneumothorax.
d. Pneumonia.
e. Septisemia.
f. Syok.
Perbedaan tekanan yang didirikan di rongga dada oleh gerakan diafragma (otot
besar di dasar toraks) memungkinkan paru-paru untuk memperluas dan kontak.
Jika tekanan dalam rongga dada berubah tiba-tiba, paru-paru bisa kolaps. Setiap
cairan yang mengumpul di rongga menempatkan pasien pada risiko infeksi dan
mengurangi fungsi paru-paru, atau bahkan kematian.
J. PROGNOSIS 2
Prognosis berdasarkan pada penyebab dari hemothoraks dan seberapa cepat
penanganan diberikan. Apabila penanganan tidak dilakukan segera maka kondisi
pasien dapat bertambah buruk karena akan terjadi akumulasi darah di rongga thoraks
yang menyebabkan paru-paru kolaps dan mendorong mediastinum serta trakea ke sisi
yang sehat.
Referensi
1. ACS Commite on Trauma. Advanced Trauma Life Support (ATLS) Student Course
Manual. 9th ed. Chicago: American College of Surgeon; 2012.
2. Diana Mayasari, Anisa Ika Pratiwi. 2017. Penatalaksanaan Hematotoraks Sedang Et
Causa Trauma Tumpul. Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung.
3. May J, Ades A. Porous diaphragm syndrome: haemothorax secondary to
haemoperitoneum following laparoscopic hysterectomy. BMJ Case Rep [internet].
2013 [diakses tanggal 8 Juni 2021];2013(5):1-5. Tersedia dari:
http://casereports.bmj.com
4. Light R. Pleural Diseases. 6th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2013.