Anda di halaman 1dari 22

3.

ENDAPAN EPITERMAL

Berdasarkan temperatur dan kondisi geologi yang ditunjukkan oleh kandungan


mineralnya, Lindgren (1933) membagi endapan hidrotermal menjadi tiga, yaitu:
1. Endapan epitermal adalah endapan yang terbentuk pada kedalaman dangkal di
bawah permukaan bumi sekitar < 1 km dengan temperatur berkisar antara 50-
200°C dengan tekanan tidak lebih dari 100 atm dicirikan oleh melimpahnya mineral
klorit.
2. Endapan mesotermal adalah endapan yang terbentuk pada kedalaman menengah
yaitu berkisar antara 1-2 km dari permukaan dan temperatur 200-300°C, dicirikan
oleh melimpahnya mineral serisit. Mineral lain yang sering dijumpai antara lain
kuarsa, dolomit, ortoklas, klorit, mineral lempung, pirit dan arsenopirit.
3. Endapan hipotermal adalah endapan yang terbentuk pada kedalaman di bawah 2-4
km dari permukaan bumi dengan temperatur sekitar 400°C yang dicirikan dengan
terbentuknya mineral muskovit, kuarsa dan topaz.

Sifat-sifat Endapan Epitermal


Pada dasarnya endapan emas epitermal berasosiasi dengan aktifitas magmatisme baik
bersifat vulkanik maupun intrusi batuan beku yang aliran panasnya bergerak melalui
rekahan sehingga penyebarannya tidak merata (Morrison, 1987). Struktur umum endapan
emas epitermal adalah pengisian celah (open space filling) sedangkan tekstur yang umum
dijumpai adalah tekstur sisir (comb), krustifikasi (crustiform), penjajaran simetri dan
kristal berrongga (vuggy) (Lindgren, 1933).

Tipe Endapan Epitermal


Endapan epitermal terbagi dalam 2 tipe yaitu tipe sulfidasi tinggi dan tipe sulfidasi
rendah. Pembagian ini terutama berdasarkan tipe larutan epitermal dengan acuan
kandungan sulfur.

III-1
a. Epitermal sulfidasi tinggi
Tipe sulfidasi tinggi disebabkan oleh larutan hidrotermal yang bersifat asam dan
dicirikan oleh terjadinya alterasi argilik lanjut dengan kandungan sulfur yang tinggi.
Kelompok argilik lanjut dicirikan oleh hadirnya mineral alunit, kaolinit, pirofilit,
belereng murni, diaspor, kuarsa, zunyit, dan barit. Endapan epitermal sulfidasi tinggi
secara genesa berasosiasi dengan volkanisme andesitik hingga riodasitik dan dikontrol
oleh struktur kaldera atau kubah silika (Sillitoe dan Bonham, 1990).
Menurut Evans (1993) karakter endapan epitermal sulfidasi tinggi yaitu:
a. Posisi tektonik dalam lingkungan penunjaman pada batas lempeng, terutama pada
cekungan belakang busur,
b. Dimensi endapan < 500 m,
c. Mineraloginya berupa enargit, luzonit, pirit, kovelit, emas murni, elektrum logam
dasar sulfida, garam sulfat, dan telurid,
d. Mineralisasi logam berupa emas, perak dan tembaga,
e. Temperatur 200°-300°C,
f. Salinitas 1-6 wt. % NaCl eg.,
g. Didominasi oleh air magmatik.

b. Epitermal sulfidasi rendah


Epitermal sulfidasi rendah dicirikan oleh larutan hidrotermal yang bersifat netral,
dan mengisi celah-celah batuan. Tipe ini berasosiasi dengan alterasi kuarsa-adularia,
karbonat, serisit pada lingkungan sulfur rendah dan biasanya perbandingan perak dan
emas relatif tinggi. Mineral bijih dicirikan oleh terbentuknya elektrum, perak sulfida,
garam sulfat, dan logam dasar sulfida. Batuan induk pada deposit logam mulia sulfidasi
rendah adalah andesit kalk-alkali, dasit, riodasit atau riolit. Secara genesa system
epitermal sulfidasi rendah berasosiasi dengan vulkanisme riolitik. Tipe ini dikontrol
oleh struktur-struktur pergeseran (dilatational jog).
Endapan epitermal sulfidasi rendah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
endapan epitermal sulfidasi tinggi. Karakteristik tersebut yaitu:
a. Struktur regional berupa sesar, kaldera,
b. Dimensi endapan berukuran kecil (< 500 m),

III-2
c. Batuan induk terdiri dari andesit kalk-alkali, dasit, riodasit atau riolit,
d. Mineralogi berupa pirit, emas, hematit, tennantit, molibdenum, dan tungsten,
e. Alterasi yang terjadi yaitu kuarsa-adularia, karbonat, dan serisit,
f. Salinitas rendah (0-5 % NaCl),
g. Asal larutan dari air meteorik dan air magmatik.
c. Epitermal sulfidasi menengah (intermediate sulfidation)
Pada awalnya klasifikasi endapan epitermal dibagi menjadi 2 tipe yaitu epitermal low
sulphidation dan epitermal high sulphidation. Pembagian ini di dasarkan pada tingkat
oksidasi dari sulfur dalam mineral sulfida (Hedenquist, 1987). Istilah high sulphidation
dan low sulphidation juga merujuk kepada tingkat sulfidasi dari himpunan mineral
yang muncul (mineral assemblages). Berdasarkan asal mula dan tingkat interaksi antara
fluida dan batuan, endapan epitermal disebut high sulphidation jika fluida dominan dan
disebut low sulphidation jika batuan yang dominan. Mineral sulfida penciri anggota low
sulphidation yaitu pirit, arsenopirit, pirotit dan sphalerit kaya Fe, sedangkan pada high
sulphidation yaitu enargit, luzonit, kovelit dan pirit assemblages. Dulu, istilah low
sulphidation diaplikasikan untuk endapan dengan mineral sulfida penciri diantara low
sulphidation dan high sulphidation (seperti tennantit~tetrahedrit-kalkopirit, galena dan
sphalerit miskin Fe), namun sekarang dikelompokkan sendiri ke dsalam epitermal
sulfidasi menengah (intermediate sulphidation). Berdasarkan hal tersebut, dulunya
intermediate sulphidation termasuk ke dalam akhir dari sistem low sulphidation.

III-3
Hubungan antara endapan epitermal sulfidasi tinggi dan endapan epitermal sulfidasi
rendah dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Hubungan endapan epitermal sulfidasi tinggi dan sulfidasi rendah (Hedenquist
dkk., 1996).

1. Endapan epitermal sulfidasi rendah

Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah


Genesa dan karakteristik
Endapan ini terbentuk jauh dari tubuh intrusi dan terbentuk melalui larutan sisa
magma yang berpindah jauh dari sumbernya kemudian bercampur dengan air meteorik di
dekat permukaan dan membentuk jebakan tipe sulfidasi rendah, dipengaruhuhi oleh
sistem boiling sebagai mekanisme pengendapan mineral-mineral bijih. Proses boiling
disertai pelepasan unsur gas, merupakan proses utama untuk pengendapan emas sebagai
respon atas turunnya tekanan. Perulangan proses boiling akan tercermin dari tekstur
“crusstiform banding” dari silika dalam urat kuarsa. Pembentukan jebakan urat kuarsa
berkadar tinggi mensyaratkan pelepasan tekanan secara tiba-tiba dari cairan hidrotermal
untuk memungkinkan proses boiling. Sistem ini terbentuk pada tektonik lempeng
subduksi, kolisi dan pemekaran (Hedenquist dkk., 1996).

III-4
Kontrol utama terhadap pH cairan adalah konsentrasi CO 2 dalam larutan dan
salinitas. Proses boiling dan terlepasnya CO2 ke fase uap mengakibatkan kenaikan pH,
sehingga terjadi perubahan stabilitas mineral contohnya dari illit ke adularia. Terlepasnya
CO2 menyebabkan terbentuknya kalsit, sehingga umumnya dijumpai adularia dan bladed
calcite sebagai mineral pengotor (gangue minerals) pada urat bijih sistem sulfidasi rendah
(Hedenquist dkk.,1996). Endapan epitermal sulfidasi rendah akan berasosiasi dengan
alterasi kuarsa-adularia, karbonat dan serisit pada lingkungan sulfur rendah. Larutan bijih
dari sistem sulfidasi rendah variasinya bersifat alkali hingga netral (pH 7) dengan kadar
garam rendah (0-6 wt)% NaCl, mengandung CO2 dan CH4 yang bervariasi. Mineral-mineral
sulfur biasanya dalam bentuk H2S dan sulfida kompleks (H2S > S04-2) dengan temperatur
sedang (150-300° C) dan didominasi oleh air permukaan (meteoric water) (White, 1996).
Batuan samping (wallrock) pada endapan epitermal sulfidasi rendah adalah andesit
alkali, riodasit, dasit, riolit ataupun batuan-batuan kalk alkali. Riolit sering hadir pada
sistem sulfidasi rendah dengan variasi jenis silika rendah sampai tinggi. Bentuk endapan
didominasi oleh urat-urat kuarsa yang mengisi ruang terbuka (open space), tersebar
(disseminated), dan umumnya terdiri dari urat-urat breksi (Hedenquist dkk., 1996).
Struktur yang berkembang pada sistem sulfidasi rendah berupa urat, cavity filling, urat
breksi, tekstur colloform, dan sedikit vuggy (Corbett dan Leach, 1996), lihat Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Karakteristik endapan epitermal sulfidasi rendah (Corbett dan Leach, 1996).
Tipe endapan Sinter breccia, stockwork
Posisi tektonik Subduction, collision, dan rift
Tekstur Colloform atau crusstiform
Asosiasi mineral Stibnit, sinnabar, adularia, metal sulfida
Mineral bijih Pirit, elektrum, emas, sfalerit, arsenopirit
Contoh endapan Pongkor, Hishikari dan Golden Cross

Tipe endapan LS epithermal


Secara umum tipe endapan epitermal sulfidasi rendah dapat dibagi menjadi 3, yaitu
(Corbett dan Leach, 1996):
1. Sinter & hydrothermal breccia (hot spring) deposits

III-5
Endapan ini berkembang pada lingkungan dekat permukaan yang berasal dari
sistem urat pada fluida hidrotermal tipe riolitik. Fluida hidrotermal ini umumnya berupa
breksi. Di Waimangu, Taupo volcanic zone New Zealand, terraces sinter terbentuk akibat
proses erupsi breksi yang dihasilkan dari kontak magma panas dengan air tanah. Sistem
zona geokimia dari merkuri, arsenik, antimoni, banyak dijumpai di permukaan sehingga
dapat menambah anomali kandungan emas. Pada kedalaman tertentu berkembang tipe
kelompok alterasi yang bersifat asam, dicirikan oleh adanya alterasi kaolinit.

2. Stockworks quartz vein Au deposits


Urat stockwork sangat dominan pada kedalaman 100-400 m di bawah paleosurface
dan merupakan transisi deposisi breccia sinter yang terbentuk pada bagian atas. Pada
kedalaman yang lebih besar akan terbentuk fissure vein.

3. Fissure vein Au deposits


Endapan fissure vein berada pada kedalaman 300-400 m, tetapi dapat juga
berkembang sampai sekitar 800 m. Endapan Fissure vein dikontrol oleh struktur-struktur
kerak yang cukup besar. Kecepatan pendidihan air meteorik didominasi oleh fluida dengan
huruf berbentuk fissure (celah atau retakan) dikarakteristikkan oleh kelompok mineral
gangue pada crustiform banded quartz, dan adularia. Fissure vein dapat berkembang pada
zona alterasi yang lebih dalam dengan jarak lateral yang relatif dekat.

Alterasi dan Mineralisasi Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah


Tipe alterasi hidrotermal pada endapan epitermal sulfidasi rendah didominasi oleh
alterasi serisit/illit atau argilik lanjut (advanced argillic), dan kelimpahan adularia disertai
dengan supergen alunit (Evans, 1993). Pada daerah dengan kandungan air meteorik yang
rendah cenderung memiliki alterasi propilitik, sedangkan pada daerah dengan kandungan
air meteorik yang tinggi didominasi oleh hadirnya mika putih. Alterasi lempung dapat
menjadi dominan dengan adanya penurunan temperatur dan proses boiled of gasses yang
menghasilkan alterasi argilik (Hedenquist dan White, 1996).
Mineralisasi pada endapan epitermal sulfidasi rendah dikarakteristikkan oleh open
space dan cavity filling, lapisan urat terisi oleh tipe tertentu, umumnya dengan multi stage

III-6
brecciation, di dekat permukaan dapat menjadi stockwork-stockwork, dan tersebar
(disseminated) (Hedenquist dan White, 1996).

Tekstur Urat Kuarsa Sistem Sulfidasi Rendah


Tekstur urat kuarsa dapat menjadi indikasi kondisi pembentukan endapan
epitermal sulfidasi rendah. Urat kuarsa mewakili material yang secara kimia terdeposisi
oleh cairan pada rekahan batuan. Urat kuarsa juga dapat mengandung sejumlah (< 10 %)
inklusi batuan asal dan klastika urat. Jika kandungan klastika batuan lebih dari 10 %, maka
dideskripsi sebagai breksi urat (Lawless dkk., 1996). Tekstur urat kuarsa pada sistem
sulfidasi rendah dapat dibagi 3 (Anonim b, 2004), yaitu:
a. Tekstur pertumbuhan primer.
Tektur primer ini meliputi tekstur kalsedoni, tekstur sakaroidal, tekstur comb,
tekstur colloform, dan tekstur crustiform. Tekstur-tekstur tersebut dapat dilihat pada
Gambar 3.2 sampai 3.4.
Kalsedoni merupakan tekstur dengan temperatur rendah (120-200°C) dan biasanya
ditemukan pada kedalaman dangkal dan menutupi zona mineralisasi.

a b

Gambar 3.2 Tekstur urat kuarsa pada batuan: (a) Tekstur kalsedonik pada urat kuarsa
dengan adularia berwarna merah jambu (pink adularia), conto berasal dari Cracow
(Corbett, 2002) dan (b) Tekstur comb pada urat kuarsa, conto berasal dari Victoria
Lepanto (Anonim b, 2004).

III-7
Gambar 3.3 Tekstur sakaroidal pada
kuarsa (Anonim b, 2004).

1 cm Ccp 1 cm

Qtz Qtz Sulfida

Adl

a b

Gambar 3.4 Tekstur urat kuarsa pada batuan: (a) Tekstur crustiform pada urat kuarsa (Qtz)
berasosiasi dengan kalkopirit (Ccp) pada conto yang berasal dari Karanggahake-Jepang
yang berupa bijih bonanza dan (b) Tekstur colloform pada urat kuarsa (Qtz)-adularia
(Adl)-sulfida (Anonim b, 2004).

Tekstur colloform merupakan bagian dari tekstur kalsedoni, bentuk seperti batu
ginjal atau permukaan bundar, berasal dari gel silika dan dekat dengan tubuh bijih
(ore). Apabila tekstur tersebut tidak mengandung mineral bijih maka kecil
kemungkinannya daerah tersebut terdapat potensi mineral bijih. Tektur ini memiliki
ukuran kristal yang relatif lebih besar dari tekstur kalsedoni.

III-8
b. Tekstur recrystallization
Contoh dari tekstur ini adalah tekstur moss. Tekstur moss merupakan pengkristalan
kembali suatu mineral membentuk globular (Gambar 3.5).

Gambar 3.5 Tekstur moss dari gel


silika yang globular, conto
berasal dari Pujinggo Scott Lode
(Anonim b, 2004).
0,25 cm

c. Tekstur penggantian (replacement)


Tekstur penggantian adalah tekstur sisa dari suatu mineral awal yang digantikan
oleh mineral baru yang relatif lebih stabil pada kondisi hidrotermal. Contohnya tekstur
cetakan dari adularia dan bladed kalsit (Gambar 3.6).

1 cm

Cetakan adularia menjarum

a b

Gambar 3.6 Tekstur penggantian pada urat kuarsa: (a) Cetakan adularia menjarum yang
telah digantikan oleh silika.

III-9
2. Endapan Epitermal Intermediate Sulphidation
Mineral hasil alterasi yang ditemukan pada endapan epitermal intermediate
sulphidation umumnya adalah sericit, akan tetapi tidak jarang juga ditemukan adularia.
Endapan epitermal intermediate sulphidation dicirikan oleh mineral sulfida berupa
sphalerit miskin akan Fe, galena, kalkopirit dan tertahedrit-tenantit. Tetrahedrite-tenantit
ini terbentuk pada saat evolusi dari fluida high sulphidation ke low sulphidation (Corbett,
2005). Tekstur umum yang dijumpai pada endapan ini adalah coarse band.
Endapan epitermal intermediate sulphidation dapat terbentuk secara luas pada
lingkungan andesitik-dasitik, akan tetapi endapan ini tidak sama seperti sistem epitermal
high sulphidation yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sistem porfiri
(Sillitoe dan Hedenquist, 2003). Batuan felsik seperti riolit kadang dapat berasosiasi juga
dengan endapan ini.
Endapan epitermal intermediate sulphidation umumnya terbentuk pada kedalaman
300-800m (jarang >1000m). Endapan ini terbentuk pada host rock berupa dome, diatreme
(andesit-ryodasit), batuan piroklastik dan batuan volkanik klastik. Endapan yang terbentuk
oleh sistem epitermal intermediate sulphidation biasanya memiliki bentuk endapan berupa
urat, breksi hidrotermal dan disseminasi. Tekstur bijih yang khas dari endapan ini adalah
coarse band (Hedenquist, 2000).

Mineralogi pada endapan intermediate sulphidation


Mineral hasil alterasi yang terbentuk pada sistem epitermalintermediate sulphidation
adalah clays, serisit, karbonat, roskoelit, dan florit. Mineral gangue yang umumnya
dijumpai pada endapan ini adalah kuarsa-karbonat-rodonit-serisit-
adularia±barit±anhidrit±hematit±klorit(Hedenquist, 2000).
Mineral sulfida yang umum dijumpai pada endapan intermediate sulphidation adalah
pirit te-Au-Ag, sphalerit, galena, kalkopit, dan tetrahedrit-tenantit. Logam yang terkandung
dalam endapan ini dibagi menjadi 2 jenis yakni logam berharga dan juga logam dasar.
Logam berharga yang terdapat pada endapan ini yakni emas (Au) dan perak (Ag).
Sedangkan logam dasar yang terdapat pada endapan ini yaitu timbal (Pb), seng (Zn),
tembaga (Cu) dan Mangan (Mn). Kandungan emas dan perak dalam endapan ini sekitar 2-
10, sedangkan kandungan logam dasarnya (20t) % base metals(Hedenquist, 2000).

III-10
Fluida pada endapan intermediate sulphidation
Hubungan spasial dan temporal umum dijumpai pada endapan intemediet
sulphidation dan endapan high sulphidation pada satu tubuh gunungapi (Margolis dkk,
1991; Sillitoe 1989,1999a). Hal tersebut bertolak belakang dari inklusi fluida dan fakta lain
yang menunjukan bahwa sitem intermediate sulphidation tidak berhubungan dengan
sistem high sulphidation (e.g.,Simons, 1995; Albinson dkk, 2001). Endapan high
sulphidation yang memiliki hubungan magmatik dengan endapan intermediate sulphidation
tidak termasuk dalam kategori high sulphidation. Kehadiran beberapa endapan
intermediate sulphidation yang bersamaan dengan endapan high sulphidation dapat
dijelaskan menggunakan dua cara. Pertama, fluida dalam melewati lithocap untuk
membentuk urat intermediate sulphidation pada beberapa posisi distal. Kedua, fluida
intermediate sulphidation dalam, berevolusi menjadi kondisi fluida high sulphidationpada
saat memasuki lithocap yang tidak terbufer dan kemudian diikuti oleh netralisasi sufisien
dan reduksi pada saat fluida keluar dan terjadi interaksi antara fluida dan batuan sehingga
fluida akan kembali menjadi fluida intermediate sulphidation lagi (Margolis dkk, 1991;
Sillitoe, 1999a; Einaudi dkk, 2003).

Gambar 3.7. Diagram F(S2) vs T yang menunjukan tingkat sulfidasi dari sangat rendah dan
rendah sampai menengah sampai tinggi dan sangat tinggi. Pada diagram tersebut juga
ditunjukan mineral sulfida penciri masing-masing tingkat sulfidasi(Einaudi dkk, 2003)

III-11
Fluida hidrotermal yang membentuk endapan epitermal intermediate sulphidation
memiliki salinitas 5-20+ wt% NaCl. Fluida ini memiliki temperatur sekitar 220oC-
280oC(Hedenquist, 2000). Fluida terbeut berperan dalam pembentukan endapan logam
dasar yang kaya akan Ag. Menurut Sillitoe (1997), berdasarkan penelitiannya di Sierra
Madre Occidental dan Altipano di Meksiko, pada daerah tersebut endapan Ag/Au hanya di
temukan pada kedalaman <200 m dan >500m diatas basement, dengan banyak sulfida
logam dasar yang lebih dalam. Hal ini merepresentasikan pada umumnya kedalaman yang
sangat dalam dari fluida yang memiliki salinitas tinggi. Asal mula dari brines dalam
memiliki hubungan dengan intrusi. Bagaimanapun, alasan mengenai mengapa salinitas
pada fluida intermediate sulphidation membentuk endapan yang didominasi oleh Zn-Pb
daripada membentuk endapan yang didominasi oleh Cu seperti pada endapan high
sulphidation masih belum jelas. Kemungkinan bijih epitermal Zn-Pb dizonasi oleh
mineralisasi Cu yang lebih dalam akibat gradien panas yang dapat dilihat seperti pada
lingkungan porfiri (Einaudi dkk, 2003) atau alternatif lain yaitu kandungan logam pada
sumber magmatiknya memang sangat berbeda.
Tabel 3.2 Karakteristik dari masing-masing jenis endapan epitermal berdasarkan
kenampakan dilapangan (Sillitoe dan Hedenquist, 2003)
High Sulphidation Intermediate Low sulphidation
Sulphidation
Contoh Endapan El Indio, Chile Fresnillo, Mexico Midas, Nevada
Yanacocha, Peru Baguio, Philippines Emperor, Fiji

Asosiasi dengan Andesit-riodasit Andesit-riodasit dan Basalt-riolit


batuan volkanik terkadang riolit
Mineral Alterasi Kuarsa-alunit; Serisit, adularia Ilit/smektit-adularia,
penciri kuarsa-pirofilit roskoelit-ilit-adularia

Gangue silika Silisifikasi dan vuggy Kuarsa crustiform dan Kalsedon dan Kuarsa
residual quartz comb crustiform dan comb,
karbonat replacement

Gangue karbonat Tidak ada Umum dijumpai, Ada, tapi hanya


termasuk jenis sedikit dan tidak
manganiferus termasuk jenis
manganiferus

Gangue Lainnya Barit Barit dan Manganiferus Barit, dan kadang


dijumpai florit

Kandungan 10-90 vol % 5-20 vol % <1-10%


Sulfida
Mineral Sulfida Enargit, Luzonit, Spalerit miskin Fe, Arsenopirit-Pirotit,

III-12
Penciri Akhantit, Stibnit, Galena, Tetrahedrite- Spalerit kaya Fe,
Famanit, dan Kovelit Tenanit, Kalkopirit Galena

Logam Utama Au-Ag, Cu, As-Sb Ag-Au, Zn,Pb,Cu Au±Ag

Logam Minor Zn, Pb, Bi, W, Mo, Sn, Mo,As,Sb Zn, Pb, Cu, Mo, As, Sb,
Hg Hg

Gambar 3.8 Model endapan epitermal high sulphidation dan intermediate sulphidation
(Sillitoe, 2010)

III-13
3. Endapan epitermal sulfidasi tinggi

Endapan epitermal sulfidasi tinggi terbentuk pada sistem volkanik – hidrotermal yang
terletak di zona proksimal hingga pipa – pipa volkanik (volcanic vents) yang merupakan
jalan keluar bagi uap magmatik menuju permukaan. Di permukaan, sistem ini ditandai
dengan banyaknya manifestasi berupa fumarol dengan temperatur yang tinggi dan
berkaitan dengan kondensat yang sangat asam. Intrusi induk dapat mencapai
kedalaman yang dangkal, bahkan dapat mencapai permukaan.
Meskipun sistem ini berbeda dengan sistem geotermal, namun keduanya dapat
berada berdekatan secara berdampingan, salah satu contohnya adalah adanya transisi
semakin ke bawah, dari sistem geotermal menuju sistem volkanik – hidrotermal pada
kedalaman 1 km hingga 2 km, dimana fluida asam hipogen bergerak ke atas melalui
retakan – retakan atau melalui dike yang dangkal menuju sistem geotermal (Reyes et al.,
1993, dalam Hedenquist et al., 2000). Transisi tersebut ditunjukkan dengan adanya
zona hidrolisis (Meyer & Hemley, 1967, dalam Hedenquist et al., 2000), dan dapat pula
disebut sebagai netralisasi primer (Giggenbach, 1981, dalam Hedenquist et al., 2000),
yang terletak di bawah lingkungan epitermal (Hedenquist et al., 2000).
Fluida pembentuk endapan ini bersifat asam dan berasal dari magma yang
mengalami oksidasi. Fluida tersebut didominasi oleh gas (SO 2, HF, CO2, dan HCl) yang
bergerak naik langsung dari magma melalui saluran atau pipa volkanik (tidak terjadi
equilibrasi dengan batuan). Kemudian, fluida tersebut bergerak naik menuju
lingkungan epitermal, bercampur dengan air meteorik dalam jumlah yang sedikit, dan
menghasilkan fluida yang sangat asam dengan suhu sekitar 200ºC 300ºC dan pH 0 – 2
(akibat absorpsi HCl dan SO2 oleh air meteorik) (gambar 3.9). Fluida asam tersebut
bereaksi dengan batuan sekitar yang dilaluinya, menyebabkan pelindihan (leaching)
pada batuan tersebut dan hanya meninggalkan silika, sehingga terbentuk struktur
vuggy silica (terjadi pada batuan induk berupa batuan beku porfiritik, pumis, ataupun
fragmen litik) . Mineral bijih yang dibawa oleh fluida magmatik selanjutnya, dapat
terpresipitasi pada rongga-rongga di batuan yang mengalami pelindihan tersebut
(rongga pada vuggy silica) (White & Hedenquist, 1995). Endapan ini dapat dibagi

III-14
menjadi tiga berdasarkan lokasi pengendapannya (table 3.2) (Sillitoe, 1999, dalam
Hedenquist et al., 2000).

Gambar 3.9. Hubungan antara jenis fluida dan zona alterasi pada tipe endapan
epitermal sulfidasi rendah dan endapan epitermal sulfidasi tinggi (Hedenquist et
al.,1994, dalam White & Hedenquist, 1995)

Tekstur vuggy silica karena proses leaching yang ada terbentuk akibat pelindihan
terhadap kandungan feldspar dan fragmen – fragmen batuan. Tekstur tersebut
berperan sangat penting dalam menyediakan permeabilitas sekunder untuk
mineralisasi selanjutnya. Selain itu, tekstur tersebut juga berfungsi sebagai akuifer bagi
fluida bijih (ore fluid) (White, 1991), dimana komposisi fluida tersebut berbeda dengan
fluida yang menyebabkan terjadinya pelindihan. Fluida bijih memiliki tingkat keasaman
dan oksidasi yang lebih rendah, serta bersifat relatif asin (saline) (Hedenquist et al.,
1998, dalam Hedenquist, et al., 2000).

Alterasi pada Endapan Epitermal Sulfidasi Tinggi


Alterasi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan atau penggantian
mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia pada batuan yang terjadi akibat interaksi batuan
tersebut dengan fluida hidrotermal. Selain pada batuan, perubahan komposisi kimia juga
terjadi pada fluida hidrotermal akibat bereaksi dengan batuan yang dilewatinya.
Perubahan atau penggantian tersebut merupakan suatu upaya untuk mencapai suatu

III-15
kesetimbangan kimia. Berdasarkan contoh endapan epitermal sulfidasi tinggi di
Summitville Deposit, Colorado, terdapat empat macam alterasi yang membentuk zonasi,
dimana zonasi tersebut menunjukkan tingkatan alterasi yang semakin rendah menjauhi
pusatnya (silisic core, yaitu vuggy silica). Hal tersebut disebabkan oleh semakin
berkurangnya tingkat keasaman fluida hidrotermal akibat interaksinya dengan batuan dan
air tanah, sehingga mengalami netralisasi dan pendinginan (Corbet & Leach, 1998, dalam
Corbett, 2002) (gambar 3.10).

Gambar 3.10 Zonasi alterasi pada endapan epitermal sulfidasi tinggi yang ditunjukkan
dari sayatan melintang orebody endapan tersebut (Stoffregen, 1987; Steven and Ratte,
1960, dalam Hedenquist et al., 2000)

Dari bagian pusat hingga zona terluar, alterasi yang pertama adalah berupa alterasi
silisik (silisifikasi), yang ditandai dengan keterdapatan silika (kuarsa) dengan tekstur
vuggy, silika masif, ataupun keduanya hadir secara bersamaan. Tekstur vuggy terbentuk
dari silika sisa (residual silica) saat proses pelindihan pada batuan yang dilalui oleh fluida
hidrotermal. Pada beberapa contoh endapan epitermal sulfidasi tinggi di dunia, zona ini
absen, sehingga endapan emas berada pada zona alterasi argilik lanjut. Ke arah lebih jauh
lagi, terdapat zona alterasi argilik lanjut yang tersusun atas kuarsa – alunit dan mineral
grup kandit, yang meliputi kaolinit, nakrit atau dikit, diaspor, pirofilit, dan zunit. Mineral –
mineral hasil alterasi argilik lanjut (kuarsa – alunit) tersebut dapat pula terbentuk pada
zona alterasi silisik, jika berada pada zona dengan permeabilitas lebih rendah (dalam
batuan terdapat variasi permeabilitas), sehingga terhindar dari pelindihan.

III-16
Berdasarkan data bor yang dilakukan pada beberapa tubuh bijih (ore bodies), dapat
diketahui bahwa kedua zona alterasi tersebut, semakin ke bawah (ke arah semakin dalam)
akan mengerucut dan menyempit. Di bagian bawah (akar) tersebut, terdapat halo yang
sempit atau luas dari alterasi serisitik, dan terkadang dengan keterdapatan pirofilit
(Hedenquist et al., 1998). Selain itu, pada zona tersebut (root zone), terkadang terdapat
urat – urat D yang tersusun oleh kuarsa, enargit, pirit, barit, dan alunit (Corbett & Leach,
1998). Alterasi serisitik tersebut terkadang hadir sebagai transisi pada alterasi silisik
menuju argilik lanjut.
Selanjutnya, terdapat zona alterasi argilik yang dicirikan dengan kehadiraan ilit atau
adanya lapisan lempung yang menyisip di antara hasil alterasi lainnya (interstratified
clays), kuarsa, dan smektit. Zona alterasi terluar ditandai dengan hasil dari alterasi
propilitik yang tersusun atas klorit. Berikut merupakan contoh model persebaran zona
alterasi pada penampang melintang endapan sulfidasi tinggi di Lepanto, Filipina (Garcia,
1991, dalam Arribas, 1995).

Gambar 3.11. Penampang melintang endapan Cu-Au-Ag epitermal sulfidasi tinggi di


Lepanto, Filipina (Garcia, 1991, dalam Arribas, 1995)

III-17
Mineralisasi Bijih pada Endapan Epitermal Sulfidasi Tinggi

Mineralisasi sulfida pada endapan epitermal sulfidasi tinggi dimulai setelah


terjadinya alterasi pada feeder structure dan pipa breksi (breccia pipe) sebagai jalan yang
dilalui oleh fluida hidrotermal. Mineralisasi tersebut ditandai dengan terbentuknya
kelompok mineral sulfida yang didominasi oleh pirit, enargit, dan luzonit, sedikit kovelit
(pada kedalaman yang lebih tinggi) dan tenantit (White & Hedenquist, 1995; Corbett &
Leach, 1998; Sillitoe, 1999, dalam Corbett, 2002).
Secara umum, mineral bijih (ore minerals) pada endapan tersebut, dari jumlah
paling banyak (bervariasi) hingga paling sedikit adalah terdiri dari pirit, enargit – luzonit,
Au (native), grup telurida, kovelit, tenantit – tetrahedrit, markasit, kalkopirit, sfalerit, dan
galena. Selain itu, mineral – mineral bijih yang memiliki jumlah sedikit (jarang ditemukan
pada endapan epitermal sulfidasi tinggi) adalah Au (elektrum), grup selenida, pirargirit,
arsenopirit, sinabar, stibnit, bornit, kasiterit, molibdenit, orpimen, realgar, dan wolframit.
Pada beberapa endapan di dunia, dapat pula terdapat mineral – mineral bijih dalam jumlah
yang sedikit, seperti Pb, Ag– Pb, sulfosalt pembawa Bi dan Sn (White et al., 1995; White &
Hedenquist, 1995, dalam Arribas, 1995). Untuk lebih lengkapnya, berbagai macam mineral
bijih dan mineral gangue yang terdapat pada endapan epitermal sulfidasi tinggi, dapat
dilihat pada tabel 3.3 di bawah ini.

Tabel 3.3. Mineral bijih dan mineral gangue pada endapan epitermal (warna merah:
mineral bijih, warna biru: mineral gangue) (Hedenquist et al., 1996)

Low Sulfidation High Sulfidation


Melimpah (obiquitous)
Pirit Pirit
Quartz Enargit – luzonit
Quartz
Umum ditemukan (common)
Elektrum Au (native)
Au (native) Telurida
Kalkopirit Kovelit
Low Sulfidation High Sulfidation
Sfalerit Tenantit
Galena Tetrahedrit

III-18
Tetrahedrit Kalkopirit
Arsenopirit Sfalerit
Telurida Galena
Pirargirit Barit
Kalsedon Alunit
Adularia Kaolinit
Ilit Pirofilit
Kalsit Diaspor
Smektit Ilit
Jarang ditemukan (rare)
Selenida Elektrum
Stibnit Selenida
Sinabar Pirargirit
Enargit – luzonit Arsenopirit
Tenantit Sinabar
Kovelit Stibnit
Barit Kalsedon
Kaolinit Smektit
Absen, kecuali overprinting
Pirofilit Kalsit
Diaspor Adularia
Alunit

Mineral bijih pada endapan epitermal sulfidasi tinggi umumnya menempati bagian
pusat dari sistem alterasinya, yaitu zona alterasi silisifikasi dan argilik lanjut (White &
Hedenquist, 1995). Jumlah dan urutan mineralisasi pada endapan epitermal tersebut akan
memberikan informasi penting terhadap rekonstruksi sistem hidrotermal yang membuat
terjadinya mineralisasi yang ada. Minimal terdapat dua proses mineralisasi pada endapan
epitermal sulfidasi tinggi, yaitu dimulai dari pembentukan mineral bijih pada tahap awal
leaching dan alterasi (tahap alterasi awal oleh fluida asam), yang berupa pembentukan
vuggy silica dan zona alterasi argilik lanjut beserta mineral pencirinya, dan pembentukan
disseminated pirit. Lalu, dilanjutkan dengan pembentukan mineral logam Cu ± Au ± Ag,
yang terdiri dari dua tahapan, yaitu tahap awal yang berupa pembentukan Cu dalam
jumlah melimpah (didominasi oleh enargit – luzonit) dengan Au dalam jumlah yang sedikit,
dan tahap akhir berupa pembentukan Au yang melimpah dengan Cu dalam jumlah yang
sedikit, dan berasosiasi dengan sulfida berupa tenantit – tetrahedrit dan kalkopirit, dan
grup telurida (Arribas, 1995). Emas yang dihasilkan pada endapan ini kemungkinan

III-19
terbawa oleh fluida sebagai bisulfide dan chloride complex (Giggenbach, 1992; Hedenquist
et al., 1994, dalam White & Hedenquist, 1995).
Transisi dari alterasi quartz – alunit – pirit menuju enargit – pirit, hingga akhirnya
menuju tenantit – tetrahedrit, dengan mineral gangue berupa quartz – serisit dan alterasi
batuan dinding, mengindikasikan bahwa fluida hidrotermal yang semakin berkurang,
begitu pula dengan tingkat keasamannya.
Tekstur yang terbentuk dari presipitasi mineral bijih tersebut dapat berupa
pengisian ruang – ruang kosong pada vuggy silica, pengisian celah – celah retakan, pada
breksi diatrema yang terbentuk akibat letusan freatik ataupun freatomagmatik, breksi
akibat alterasi pada batuan volkanik, ataupun pada breksi synhidrothermal, sehingga
mineral bijih mengisi ruang – ruang kosong pada fragmen (sebagai intrusi) yang
mengalami silisifikasi, atau berupa sulfida pengisi matriks yang umumnya dijumpai
bersama dengan mineral gangue seperti barit dan alunit (Corbett, 2002).

Karakteristik fluida hidrotermal pada endapan epitermal sulfidasi tinggi

Berdasarkan penelitian inklusi fluida (fluid inclusion) pada fenokris kuarsa yang
terdapat pada batuan beku yang telah teralterasi, temperatur dan salinitas fluida
hidrotermal pada endapan epitermal sulfidasi tinggi adalah berkisar dari 90ºC hingga
480ºC dan <1 hingga 45 equiv. wt.% NaCl (Hedenquist & Henley, 1985, dalam Arribas,
1995).
Letak endapan epitermal sulfidasi tinggi di zona volkanik proksimal membuat
terjadinya penurunan kelimpahan fluida asam hipogen (termasuk di dalamnya berupa CO2,
HCl, SO2, dan HF) (Hedenquist, 1995). Disosiasi dari spesies asam sebagai penyusun
dominan fluida hidrotermal pada endapan ini, seperti HCl dan H 2SO4, terjadi pada
temperatur <300ºC - 350ºC, dengan reaksi sebagai berikut.

HCl = H+ + Cl-
H2SO4 = H+ + HSO

III-20
Kemudian diikuti oleh absorpsi air tanah terhadap uap magmatik dengan temperatur tinggi
(high temperature magmatic vapor), dan ketidakseimbangan SO2, dengan reaksi sebagai
berikut.

4SO2 + 4H2O = 3H2SO4 +H2S

Proses tersebut membuat terbentuknya hypogen hydrochloric-sulfuric acid water


dengan pH sebesar 1. Kontak antara fluida tersebut dengan batuan, mengakibatkan batuan
mengalami pelindihan (leaching) dan meninggalkan silika residu yang segera mengkristal
menjadi kuarsa, dan umumnya membentuk tekstur vuggy. Selain itu, reaksi antara fluida
tersebut dengan batuan, membuat terbentuknya zona alterasi asam sebagai halo dari vuggy
quartz yang terbentuk, yaitu zona alterasi argilik lanjut. Kedua zona alterasi tersebut
merupakan lithocap yang terbentuk pada endapan epitermal sulfidasi tinggi. Pada gambar
6 tersebut bentuk lithocap memanjang sesuai dengan orientasi lapisan permeabel.
Keasaman fluida yang ada bergantung pada absorpsi air tanah terhadap uap
magmatik, sehingga dapat dikatakan bahwa zona alterasi silisik dan argilik lanjut tersebut
merupakan batas bawah dari akuifer (base of phreatic zone) (Stoffregen, 1987; White,
1991; Giggenbach, 1992a, dalam Hedenquist et al., 2000). Pendinginan menyebabkan fluida
yang bereaksi semakin reaktif (pH semakin kecil) dan membuat alterasi semakin melebar
ke arah atas. Semakin ke arah distal, pH akan semakin bertambah, dan pada daerah distal,
penurunan rasio terhadap w/r (fluida asam/batuan) dan pengenceran oleh air tanah yang
semakin tinggi, membuat reaktivitas fluida hidrotermal menurun, dan alunit menjadi stabil
kembali (perubahan dari w/r ~10:1 menjadi ~2:1) (Hedenquist & Taran, 2013).
Cu, Au, dan As dibawa oleh uap magmatik dengan tekanan dan temperatur tinggi
dalam bentuk molekul kompleks S (bisulfide) dan Cl (chloride) (Heinrich et al. 1995, dalam
Hedenquist et al. 2000), namun untuk emas, umumnya dibawa dalam bentuk molekul
kompleks S. Selain itu, logam dapat pula dibawa oleh aerosol menuju zona epitermal
selama pembentukan zona alterasi argilik lanjut (Muntean & Einaudi, 2000, dalam
Hedenquist et al. 2000). Pendidihan (boiling) disertai dengan pelepasan gas pada zona
upflow menyebabkan adanya peresipitasi emas dari molekul kompleks S atau Cl tersebut,
sehingga terjadi penjenuhan emas. Keadaan jenuh emas tersebut terjadi akibat lepasnya

III-21
ligan sulfida menuju uap (Buchanan, 1981; Brown, 1986; Coke & Simmons, 2000, dalam
Hedenquist et al. 2000). Proses tersebut (pada molekul kompleks S) dapat ditunjukkan
pada reaksi berikut.
Au(HS)2- + 0,5 H2 Au + H2S + HS-

Gambar 3.12. Ilustrasi proses pembentukan fluida asam hipogen pada endapan epitermal
sulfidasi tinggi (Schoen et al.1974; Giggenbach, 1992a; Sillitoe, 1993a, dalam Hedenquist et
al. 2000)

Gambar 3.13. Zona alterasi


argilik lanjut (sayatan
melintang) yang terbentuk
akibat naiknya uap magmatik
melalui struktur yang
berkembang (Hedenquist &
Taran, 2013)

III-22

Anda mungkin juga menyukai