ENDAPAN EPITERMAL
III-1
a. Epitermal sulfidasi tinggi
Tipe sulfidasi tinggi disebabkan oleh larutan hidrotermal yang bersifat asam dan
dicirikan oleh terjadinya alterasi argilik lanjut dengan kandungan sulfur yang tinggi.
Kelompok argilik lanjut dicirikan oleh hadirnya mineral alunit, kaolinit, pirofilit,
belereng murni, diaspor, kuarsa, zunyit, dan barit. Endapan epitermal sulfidasi tinggi
secara genesa berasosiasi dengan volkanisme andesitik hingga riodasitik dan dikontrol
oleh struktur kaldera atau kubah silika (Sillitoe dan Bonham, 1990).
Menurut Evans (1993) karakter endapan epitermal sulfidasi tinggi yaitu:
a. Posisi tektonik dalam lingkungan penunjaman pada batas lempeng, terutama pada
cekungan belakang busur,
b. Dimensi endapan < 500 m,
c. Mineraloginya berupa enargit, luzonit, pirit, kovelit, emas murni, elektrum logam
dasar sulfida, garam sulfat, dan telurid,
d. Mineralisasi logam berupa emas, perak dan tembaga,
e. Temperatur 200°-300°C,
f. Salinitas 1-6 wt. % NaCl eg.,
g. Didominasi oleh air magmatik.
III-2
c. Batuan induk terdiri dari andesit kalk-alkali, dasit, riodasit atau riolit,
d. Mineralogi berupa pirit, emas, hematit, tennantit, molibdenum, dan tungsten,
e. Alterasi yang terjadi yaitu kuarsa-adularia, karbonat, dan serisit,
f. Salinitas rendah (0-5 % NaCl),
g. Asal larutan dari air meteorik dan air magmatik.
c. Epitermal sulfidasi menengah (intermediate sulfidation)
Pada awalnya klasifikasi endapan epitermal dibagi menjadi 2 tipe yaitu epitermal low
sulphidation dan epitermal high sulphidation. Pembagian ini di dasarkan pada tingkat
oksidasi dari sulfur dalam mineral sulfida (Hedenquist, 1987). Istilah high sulphidation
dan low sulphidation juga merujuk kepada tingkat sulfidasi dari himpunan mineral
yang muncul (mineral assemblages). Berdasarkan asal mula dan tingkat interaksi antara
fluida dan batuan, endapan epitermal disebut high sulphidation jika fluida dominan dan
disebut low sulphidation jika batuan yang dominan. Mineral sulfida penciri anggota low
sulphidation yaitu pirit, arsenopirit, pirotit dan sphalerit kaya Fe, sedangkan pada high
sulphidation yaitu enargit, luzonit, kovelit dan pirit assemblages. Dulu, istilah low
sulphidation diaplikasikan untuk endapan dengan mineral sulfida penciri diantara low
sulphidation dan high sulphidation (seperti tennantit~tetrahedrit-kalkopirit, galena dan
sphalerit miskin Fe), namun sekarang dikelompokkan sendiri ke dsalam epitermal
sulfidasi menengah (intermediate sulphidation). Berdasarkan hal tersebut, dulunya
intermediate sulphidation termasuk ke dalam akhir dari sistem low sulphidation.
III-3
Hubungan antara endapan epitermal sulfidasi tinggi dan endapan epitermal sulfidasi
rendah dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Hubungan endapan epitermal sulfidasi tinggi dan sulfidasi rendah (Hedenquist
dkk., 1996).
III-4
Kontrol utama terhadap pH cairan adalah konsentrasi CO 2 dalam larutan dan
salinitas. Proses boiling dan terlepasnya CO2 ke fase uap mengakibatkan kenaikan pH,
sehingga terjadi perubahan stabilitas mineral contohnya dari illit ke adularia. Terlepasnya
CO2 menyebabkan terbentuknya kalsit, sehingga umumnya dijumpai adularia dan bladed
calcite sebagai mineral pengotor (gangue minerals) pada urat bijih sistem sulfidasi rendah
(Hedenquist dkk.,1996). Endapan epitermal sulfidasi rendah akan berasosiasi dengan
alterasi kuarsa-adularia, karbonat dan serisit pada lingkungan sulfur rendah. Larutan bijih
dari sistem sulfidasi rendah variasinya bersifat alkali hingga netral (pH 7) dengan kadar
garam rendah (0-6 wt)% NaCl, mengandung CO2 dan CH4 yang bervariasi. Mineral-mineral
sulfur biasanya dalam bentuk H2S dan sulfida kompleks (H2S > S04-2) dengan temperatur
sedang (150-300° C) dan didominasi oleh air permukaan (meteoric water) (White, 1996).
Batuan samping (wallrock) pada endapan epitermal sulfidasi rendah adalah andesit
alkali, riodasit, dasit, riolit ataupun batuan-batuan kalk alkali. Riolit sering hadir pada
sistem sulfidasi rendah dengan variasi jenis silika rendah sampai tinggi. Bentuk endapan
didominasi oleh urat-urat kuarsa yang mengisi ruang terbuka (open space), tersebar
(disseminated), dan umumnya terdiri dari urat-urat breksi (Hedenquist dkk., 1996).
Struktur yang berkembang pada sistem sulfidasi rendah berupa urat, cavity filling, urat
breksi, tekstur colloform, dan sedikit vuggy (Corbett dan Leach, 1996), lihat Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Karakteristik endapan epitermal sulfidasi rendah (Corbett dan Leach, 1996).
Tipe endapan Sinter breccia, stockwork
Posisi tektonik Subduction, collision, dan rift
Tekstur Colloform atau crusstiform
Asosiasi mineral Stibnit, sinnabar, adularia, metal sulfida
Mineral bijih Pirit, elektrum, emas, sfalerit, arsenopirit
Contoh endapan Pongkor, Hishikari dan Golden Cross
III-5
Endapan ini berkembang pada lingkungan dekat permukaan yang berasal dari
sistem urat pada fluida hidrotermal tipe riolitik. Fluida hidrotermal ini umumnya berupa
breksi. Di Waimangu, Taupo volcanic zone New Zealand, terraces sinter terbentuk akibat
proses erupsi breksi yang dihasilkan dari kontak magma panas dengan air tanah. Sistem
zona geokimia dari merkuri, arsenik, antimoni, banyak dijumpai di permukaan sehingga
dapat menambah anomali kandungan emas. Pada kedalaman tertentu berkembang tipe
kelompok alterasi yang bersifat asam, dicirikan oleh adanya alterasi kaolinit.
III-6
brecciation, di dekat permukaan dapat menjadi stockwork-stockwork, dan tersebar
(disseminated) (Hedenquist dan White, 1996).
a b
Gambar 3.2 Tekstur urat kuarsa pada batuan: (a) Tekstur kalsedonik pada urat kuarsa
dengan adularia berwarna merah jambu (pink adularia), conto berasal dari Cracow
(Corbett, 2002) dan (b) Tekstur comb pada urat kuarsa, conto berasal dari Victoria
Lepanto (Anonim b, 2004).
III-7
Gambar 3.3 Tekstur sakaroidal pada
kuarsa (Anonim b, 2004).
1 cm Ccp 1 cm
Adl
a b
Gambar 3.4 Tekstur urat kuarsa pada batuan: (a) Tekstur crustiform pada urat kuarsa (Qtz)
berasosiasi dengan kalkopirit (Ccp) pada conto yang berasal dari Karanggahake-Jepang
yang berupa bijih bonanza dan (b) Tekstur colloform pada urat kuarsa (Qtz)-adularia
(Adl)-sulfida (Anonim b, 2004).
Tekstur colloform merupakan bagian dari tekstur kalsedoni, bentuk seperti batu
ginjal atau permukaan bundar, berasal dari gel silika dan dekat dengan tubuh bijih
(ore). Apabila tekstur tersebut tidak mengandung mineral bijih maka kecil
kemungkinannya daerah tersebut terdapat potensi mineral bijih. Tektur ini memiliki
ukuran kristal yang relatif lebih besar dari tekstur kalsedoni.
III-8
b. Tekstur recrystallization
Contoh dari tekstur ini adalah tekstur moss. Tekstur moss merupakan pengkristalan
kembali suatu mineral membentuk globular (Gambar 3.5).
1 cm
a b
Gambar 3.6 Tekstur penggantian pada urat kuarsa: (a) Cetakan adularia menjarum yang
telah digantikan oleh silika.
III-9
2. Endapan Epitermal Intermediate Sulphidation
Mineral hasil alterasi yang ditemukan pada endapan epitermal intermediate
sulphidation umumnya adalah sericit, akan tetapi tidak jarang juga ditemukan adularia.
Endapan epitermal intermediate sulphidation dicirikan oleh mineral sulfida berupa
sphalerit miskin akan Fe, galena, kalkopirit dan tertahedrit-tenantit. Tetrahedrite-tenantit
ini terbentuk pada saat evolusi dari fluida high sulphidation ke low sulphidation (Corbett,
2005). Tekstur umum yang dijumpai pada endapan ini adalah coarse band.
Endapan epitermal intermediate sulphidation dapat terbentuk secara luas pada
lingkungan andesitik-dasitik, akan tetapi endapan ini tidak sama seperti sistem epitermal
high sulphidation yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sistem porfiri
(Sillitoe dan Hedenquist, 2003). Batuan felsik seperti riolit kadang dapat berasosiasi juga
dengan endapan ini.
Endapan epitermal intermediate sulphidation umumnya terbentuk pada kedalaman
300-800m (jarang >1000m). Endapan ini terbentuk pada host rock berupa dome, diatreme
(andesit-ryodasit), batuan piroklastik dan batuan volkanik klastik. Endapan yang terbentuk
oleh sistem epitermal intermediate sulphidation biasanya memiliki bentuk endapan berupa
urat, breksi hidrotermal dan disseminasi. Tekstur bijih yang khas dari endapan ini adalah
coarse band (Hedenquist, 2000).
III-10
Fluida pada endapan intermediate sulphidation
Hubungan spasial dan temporal umum dijumpai pada endapan intemediet
sulphidation dan endapan high sulphidation pada satu tubuh gunungapi (Margolis dkk,
1991; Sillitoe 1989,1999a). Hal tersebut bertolak belakang dari inklusi fluida dan fakta lain
yang menunjukan bahwa sitem intermediate sulphidation tidak berhubungan dengan
sistem high sulphidation (e.g.,Simons, 1995; Albinson dkk, 2001). Endapan high
sulphidation yang memiliki hubungan magmatik dengan endapan intermediate sulphidation
tidak termasuk dalam kategori high sulphidation. Kehadiran beberapa endapan
intermediate sulphidation yang bersamaan dengan endapan high sulphidation dapat
dijelaskan menggunakan dua cara. Pertama, fluida dalam melewati lithocap untuk
membentuk urat intermediate sulphidation pada beberapa posisi distal. Kedua, fluida
intermediate sulphidation dalam, berevolusi menjadi kondisi fluida high sulphidationpada
saat memasuki lithocap yang tidak terbufer dan kemudian diikuti oleh netralisasi sufisien
dan reduksi pada saat fluida keluar dan terjadi interaksi antara fluida dan batuan sehingga
fluida akan kembali menjadi fluida intermediate sulphidation lagi (Margolis dkk, 1991;
Sillitoe, 1999a; Einaudi dkk, 2003).
Gambar 3.7. Diagram F(S2) vs T yang menunjukan tingkat sulfidasi dari sangat rendah dan
rendah sampai menengah sampai tinggi dan sangat tinggi. Pada diagram tersebut juga
ditunjukan mineral sulfida penciri masing-masing tingkat sulfidasi(Einaudi dkk, 2003)
III-11
Fluida hidrotermal yang membentuk endapan epitermal intermediate sulphidation
memiliki salinitas 5-20+ wt% NaCl. Fluida ini memiliki temperatur sekitar 220oC-
280oC(Hedenquist, 2000). Fluida terbeut berperan dalam pembentukan endapan logam
dasar yang kaya akan Ag. Menurut Sillitoe (1997), berdasarkan penelitiannya di Sierra
Madre Occidental dan Altipano di Meksiko, pada daerah tersebut endapan Ag/Au hanya di
temukan pada kedalaman <200 m dan >500m diatas basement, dengan banyak sulfida
logam dasar yang lebih dalam. Hal ini merepresentasikan pada umumnya kedalaman yang
sangat dalam dari fluida yang memiliki salinitas tinggi. Asal mula dari brines dalam
memiliki hubungan dengan intrusi. Bagaimanapun, alasan mengenai mengapa salinitas
pada fluida intermediate sulphidation membentuk endapan yang didominasi oleh Zn-Pb
daripada membentuk endapan yang didominasi oleh Cu seperti pada endapan high
sulphidation masih belum jelas. Kemungkinan bijih epitermal Zn-Pb dizonasi oleh
mineralisasi Cu yang lebih dalam akibat gradien panas yang dapat dilihat seperti pada
lingkungan porfiri (Einaudi dkk, 2003) atau alternatif lain yaitu kandungan logam pada
sumber magmatiknya memang sangat berbeda.
Tabel 3.2 Karakteristik dari masing-masing jenis endapan epitermal berdasarkan
kenampakan dilapangan (Sillitoe dan Hedenquist, 2003)
High Sulphidation Intermediate Low sulphidation
Sulphidation
Contoh Endapan El Indio, Chile Fresnillo, Mexico Midas, Nevada
Yanacocha, Peru Baguio, Philippines Emperor, Fiji
Gangue silika Silisifikasi dan vuggy Kuarsa crustiform dan Kalsedon dan Kuarsa
residual quartz comb crustiform dan comb,
karbonat replacement
III-12
Penciri Akhantit, Stibnit, Galena, Tetrahedrite- Spalerit kaya Fe,
Famanit, dan Kovelit Tenanit, Kalkopirit Galena
Logam Minor Zn, Pb, Bi, W, Mo, Sn, Mo,As,Sb Zn, Pb, Cu, Mo, As, Sb,
Hg Hg
Gambar 3.8 Model endapan epitermal high sulphidation dan intermediate sulphidation
(Sillitoe, 2010)
III-13
3. Endapan epitermal sulfidasi tinggi
Endapan epitermal sulfidasi tinggi terbentuk pada sistem volkanik – hidrotermal yang
terletak di zona proksimal hingga pipa – pipa volkanik (volcanic vents) yang merupakan
jalan keluar bagi uap magmatik menuju permukaan. Di permukaan, sistem ini ditandai
dengan banyaknya manifestasi berupa fumarol dengan temperatur yang tinggi dan
berkaitan dengan kondensat yang sangat asam. Intrusi induk dapat mencapai
kedalaman yang dangkal, bahkan dapat mencapai permukaan.
Meskipun sistem ini berbeda dengan sistem geotermal, namun keduanya dapat
berada berdekatan secara berdampingan, salah satu contohnya adalah adanya transisi
semakin ke bawah, dari sistem geotermal menuju sistem volkanik – hidrotermal pada
kedalaman 1 km hingga 2 km, dimana fluida asam hipogen bergerak ke atas melalui
retakan – retakan atau melalui dike yang dangkal menuju sistem geotermal (Reyes et al.,
1993, dalam Hedenquist et al., 2000). Transisi tersebut ditunjukkan dengan adanya
zona hidrolisis (Meyer & Hemley, 1967, dalam Hedenquist et al., 2000), dan dapat pula
disebut sebagai netralisasi primer (Giggenbach, 1981, dalam Hedenquist et al., 2000),
yang terletak di bawah lingkungan epitermal (Hedenquist et al., 2000).
Fluida pembentuk endapan ini bersifat asam dan berasal dari magma yang
mengalami oksidasi. Fluida tersebut didominasi oleh gas (SO 2, HF, CO2, dan HCl) yang
bergerak naik langsung dari magma melalui saluran atau pipa volkanik (tidak terjadi
equilibrasi dengan batuan). Kemudian, fluida tersebut bergerak naik menuju
lingkungan epitermal, bercampur dengan air meteorik dalam jumlah yang sedikit, dan
menghasilkan fluida yang sangat asam dengan suhu sekitar 200ºC 300ºC dan pH 0 – 2
(akibat absorpsi HCl dan SO2 oleh air meteorik) (gambar 3.9). Fluida asam tersebut
bereaksi dengan batuan sekitar yang dilaluinya, menyebabkan pelindihan (leaching)
pada batuan tersebut dan hanya meninggalkan silika, sehingga terbentuk struktur
vuggy silica (terjadi pada batuan induk berupa batuan beku porfiritik, pumis, ataupun
fragmen litik) . Mineral bijih yang dibawa oleh fluida magmatik selanjutnya, dapat
terpresipitasi pada rongga-rongga di batuan yang mengalami pelindihan tersebut
(rongga pada vuggy silica) (White & Hedenquist, 1995). Endapan ini dapat dibagi
III-14
menjadi tiga berdasarkan lokasi pengendapannya (table 3.2) (Sillitoe, 1999, dalam
Hedenquist et al., 2000).
Gambar 3.9. Hubungan antara jenis fluida dan zona alterasi pada tipe endapan
epitermal sulfidasi rendah dan endapan epitermal sulfidasi tinggi (Hedenquist et
al.,1994, dalam White & Hedenquist, 1995)
Tekstur vuggy silica karena proses leaching yang ada terbentuk akibat pelindihan
terhadap kandungan feldspar dan fragmen – fragmen batuan. Tekstur tersebut
berperan sangat penting dalam menyediakan permeabilitas sekunder untuk
mineralisasi selanjutnya. Selain itu, tekstur tersebut juga berfungsi sebagai akuifer bagi
fluida bijih (ore fluid) (White, 1991), dimana komposisi fluida tersebut berbeda dengan
fluida yang menyebabkan terjadinya pelindihan. Fluida bijih memiliki tingkat keasaman
dan oksidasi yang lebih rendah, serta bersifat relatif asin (saline) (Hedenquist et al.,
1998, dalam Hedenquist, et al., 2000).
III-15
kesetimbangan kimia. Berdasarkan contoh endapan epitermal sulfidasi tinggi di
Summitville Deposit, Colorado, terdapat empat macam alterasi yang membentuk zonasi,
dimana zonasi tersebut menunjukkan tingkatan alterasi yang semakin rendah menjauhi
pusatnya (silisic core, yaitu vuggy silica). Hal tersebut disebabkan oleh semakin
berkurangnya tingkat keasaman fluida hidrotermal akibat interaksinya dengan batuan dan
air tanah, sehingga mengalami netralisasi dan pendinginan (Corbet & Leach, 1998, dalam
Corbett, 2002) (gambar 3.10).
Gambar 3.10 Zonasi alterasi pada endapan epitermal sulfidasi tinggi yang ditunjukkan
dari sayatan melintang orebody endapan tersebut (Stoffregen, 1987; Steven and Ratte,
1960, dalam Hedenquist et al., 2000)
Dari bagian pusat hingga zona terluar, alterasi yang pertama adalah berupa alterasi
silisik (silisifikasi), yang ditandai dengan keterdapatan silika (kuarsa) dengan tekstur
vuggy, silika masif, ataupun keduanya hadir secara bersamaan. Tekstur vuggy terbentuk
dari silika sisa (residual silica) saat proses pelindihan pada batuan yang dilalui oleh fluida
hidrotermal. Pada beberapa contoh endapan epitermal sulfidasi tinggi di dunia, zona ini
absen, sehingga endapan emas berada pada zona alterasi argilik lanjut. Ke arah lebih jauh
lagi, terdapat zona alterasi argilik lanjut yang tersusun atas kuarsa – alunit dan mineral
grup kandit, yang meliputi kaolinit, nakrit atau dikit, diaspor, pirofilit, dan zunit. Mineral –
mineral hasil alterasi argilik lanjut (kuarsa – alunit) tersebut dapat pula terbentuk pada
zona alterasi silisik, jika berada pada zona dengan permeabilitas lebih rendah (dalam
batuan terdapat variasi permeabilitas), sehingga terhindar dari pelindihan.
III-16
Berdasarkan data bor yang dilakukan pada beberapa tubuh bijih (ore bodies), dapat
diketahui bahwa kedua zona alterasi tersebut, semakin ke bawah (ke arah semakin dalam)
akan mengerucut dan menyempit. Di bagian bawah (akar) tersebut, terdapat halo yang
sempit atau luas dari alterasi serisitik, dan terkadang dengan keterdapatan pirofilit
(Hedenquist et al., 1998). Selain itu, pada zona tersebut (root zone), terkadang terdapat
urat – urat D yang tersusun oleh kuarsa, enargit, pirit, barit, dan alunit (Corbett & Leach,
1998). Alterasi serisitik tersebut terkadang hadir sebagai transisi pada alterasi silisik
menuju argilik lanjut.
Selanjutnya, terdapat zona alterasi argilik yang dicirikan dengan kehadiraan ilit atau
adanya lapisan lempung yang menyisip di antara hasil alterasi lainnya (interstratified
clays), kuarsa, dan smektit. Zona alterasi terluar ditandai dengan hasil dari alterasi
propilitik yang tersusun atas klorit. Berikut merupakan contoh model persebaran zona
alterasi pada penampang melintang endapan sulfidasi tinggi di Lepanto, Filipina (Garcia,
1991, dalam Arribas, 1995).
III-17
Mineralisasi Bijih pada Endapan Epitermal Sulfidasi Tinggi
Tabel 3.3. Mineral bijih dan mineral gangue pada endapan epitermal (warna merah:
mineral bijih, warna biru: mineral gangue) (Hedenquist et al., 1996)
III-18
Tetrahedrit Kalkopirit
Arsenopirit Sfalerit
Telurida Galena
Pirargirit Barit
Kalsedon Alunit
Adularia Kaolinit
Ilit Pirofilit
Kalsit Diaspor
Smektit Ilit
Jarang ditemukan (rare)
Selenida Elektrum
Stibnit Selenida
Sinabar Pirargirit
Enargit – luzonit Arsenopirit
Tenantit Sinabar
Kovelit Stibnit
Barit Kalsedon
Kaolinit Smektit
Absen, kecuali overprinting
Pirofilit Kalsit
Diaspor Adularia
Alunit
Mineral bijih pada endapan epitermal sulfidasi tinggi umumnya menempati bagian
pusat dari sistem alterasinya, yaitu zona alterasi silisifikasi dan argilik lanjut (White &
Hedenquist, 1995). Jumlah dan urutan mineralisasi pada endapan epitermal tersebut akan
memberikan informasi penting terhadap rekonstruksi sistem hidrotermal yang membuat
terjadinya mineralisasi yang ada. Minimal terdapat dua proses mineralisasi pada endapan
epitermal sulfidasi tinggi, yaitu dimulai dari pembentukan mineral bijih pada tahap awal
leaching dan alterasi (tahap alterasi awal oleh fluida asam), yang berupa pembentukan
vuggy silica dan zona alterasi argilik lanjut beserta mineral pencirinya, dan pembentukan
disseminated pirit. Lalu, dilanjutkan dengan pembentukan mineral logam Cu ± Au ± Ag,
yang terdiri dari dua tahapan, yaitu tahap awal yang berupa pembentukan Cu dalam
jumlah melimpah (didominasi oleh enargit – luzonit) dengan Au dalam jumlah yang sedikit,
dan tahap akhir berupa pembentukan Au yang melimpah dengan Cu dalam jumlah yang
sedikit, dan berasosiasi dengan sulfida berupa tenantit – tetrahedrit dan kalkopirit, dan
grup telurida (Arribas, 1995). Emas yang dihasilkan pada endapan ini kemungkinan
III-19
terbawa oleh fluida sebagai bisulfide dan chloride complex (Giggenbach, 1992; Hedenquist
et al., 1994, dalam White & Hedenquist, 1995).
Transisi dari alterasi quartz – alunit – pirit menuju enargit – pirit, hingga akhirnya
menuju tenantit – tetrahedrit, dengan mineral gangue berupa quartz – serisit dan alterasi
batuan dinding, mengindikasikan bahwa fluida hidrotermal yang semakin berkurang,
begitu pula dengan tingkat keasamannya.
Tekstur yang terbentuk dari presipitasi mineral bijih tersebut dapat berupa
pengisian ruang – ruang kosong pada vuggy silica, pengisian celah – celah retakan, pada
breksi diatrema yang terbentuk akibat letusan freatik ataupun freatomagmatik, breksi
akibat alterasi pada batuan volkanik, ataupun pada breksi synhidrothermal, sehingga
mineral bijih mengisi ruang – ruang kosong pada fragmen (sebagai intrusi) yang
mengalami silisifikasi, atau berupa sulfida pengisi matriks yang umumnya dijumpai
bersama dengan mineral gangue seperti barit dan alunit (Corbett, 2002).
Berdasarkan penelitian inklusi fluida (fluid inclusion) pada fenokris kuarsa yang
terdapat pada batuan beku yang telah teralterasi, temperatur dan salinitas fluida
hidrotermal pada endapan epitermal sulfidasi tinggi adalah berkisar dari 90ºC hingga
480ºC dan <1 hingga 45 equiv. wt.% NaCl (Hedenquist & Henley, 1985, dalam Arribas,
1995).
Letak endapan epitermal sulfidasi tinggi di zona volkanik proksimal membuat
terjadinya penurunan kelimpahan fluida asam hipogen (termasuk di dalamnya berupa CO2,
HCl, SO2, dan HF) (Hedenquist, 1995). Disosiasi dari spesies asam sebagai penyusun
dominan fluida hidrotermal pada endapan ini, seperti HCl dan H 2SO4, terjadi pada
temperatur <300ºC - 350ºC, dengan reaksi sebagai berikut.
HCl = H+ + Cl-
H2SO4 = H+ + HSO
III-20
Kemudian diikuti oleh absorpsi air tanah terhadap uap magmatik dengan temperatur tinggi
(high temperature magmatic vapor), dan ketidakseimbangan SO2, dengan reaksi sebagai
berikut.
III-21
ligan sulfida menuju uap (Buchanan, 1981; Brown, 1986; Coke & Simmons, 2000, dalam
Hedenquist et al. 2000). Proses tersebut (pada molekul kompleks S) dapat ditunjukkan
pada reaksi berikut.
Au(HS)2- + 0,5 H2 Au + H2S + HS-
Gambar 3.12. Ilustrasi proses pembentukan fluida asam hipogen pada endapan epitermal
sulfidasi tinggi (Schoen et al.1974; Giggenbach, 1992a; Sillitoe, 1993a, dalam Hedenquist et
al. 2000)
III-22