Anda di halaman 1dari 15

BAHAYA DUNIA MODERN

Dunia kontemporer telah merubah cara pandang masyarakat Indonesia. Westernisasi mulai
merebak di segala penjuru nusantara yang tidak bisa dibendung laju perkembangannya.
Ketika hal ini sudah mulai kronis menjangkiti kehidupan masyarakat, tinggal menunggu
kehancurannya saja. Masyarakat sudah tidak ingat jati dirinya sendiri, mereka merasa
bangga mengikuti produk kebudayaan dari dunia barat dan menganggap buruk kebudayaan
sendiri. Mereka terhegemoni oleh produk-produk dunia barat yang dianggap lebih sesuai
dengan dunia kontemporer. Akan tetapi, mereka tidak sadar bahwa bangsa Indonesia lebih
memiliki produk budaya yang jauh lebih berkualitas. Hal ini bisa kita lihat pada bangsa
indonesia sekarang, seperti : masyarakat lebih percaya diri memakai pakaian-pakaian dari
luar  negeri daripada produk negeri sendiri. Padahal, produk indonesia sendiri tidak kalah
bagusnya. Contoh ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa masyarakat indonesia
sudah teracuni oleh ideologi barat, bahwasanya dunia barat adalah pusat peradaban dan
apapun yang berasal dari barat adalah baik. Ideologi inilah yang dipaksakan oleh dunia
barat kepada masyarakat indonesia yang membuat mereka tidak sadar bahwasanya otak
mereka telah diracuni dengan ideologi tersebut. Keadaan yang seperti ini akan
menghancurkan bangsa indonesia yang sebenarnya lebih beradab daripada bunia barat.
Stigmatisasi yang dilakukan oleh orang-orang barat kepada peradaban dunia timur
membuat masyarakat dunia timur terbuai oleh hegemoni barat yang ingin menghancurkan
dunia timur. Seperti yang sudah dilakukan oleh orang-orang barat yang mengkaji dunia
timur dan mencari celah untuk memberikan citra buruk kepada budaya-budaya timur, yang
disebut orientalisme. Mereka mengkaji dunia timur bukan menjunjung bendera
objektivitas, akan tetapi, mengkaji untuk mencari celah keburukannya. Stigmatisasi yang
keji inilah yang menghegemoni orang-orang timur, sehingga banyak orang timur
mengadopsi produk budaya barat, karena dirasa lebih modern dan lebih baik. Solusi yang
mungkin bisa dilakukan adalah teori oksidentalisme yang dicetuskan oleh hasan hanafi.
Teori ini merupakan tandingan dari orientalisme, yang melakukan pengkajian atas seluk
beluk dunia barat. Oksidentalisme Hasan Hanafi inilah yang akan menjadi pisau tajam
untuk menguliti jati diri dunia barat, sehingga diharapkan peradaban dunia timur ini jauh
dari stigma buruk yang dilemparkan dunia barat.
Di indonesia ini pengaruh dunia barat sudah terlampau sulit untuk dibendung.
Kepercayaan akan kekuatan dunia barat sudah mengakar tunjang dalam diri
masyarakatnya. Hasan hanafi sangat anti akan kemapanan dunia barat.   
Tantangan Teknologi Modern Bagi Seorang Muslim
Muqaddimah
Pada era modern ini, kemajuan teknologi adalah sebuah fenomena alam nyata yang tak
terhindarkan dari lini kehidupan umat manusia. Bahkan seakan-akan alat-alat modern
tersebut telah merasuk ke jantung setiap orang; lintas buda

ya, suku, bangsa, dan agama.

Perkembangan dunia teknologi pada zaman sekarang sangat menggeliat bak jamur di
musim hujan. Berbagai alat modern bermunculan menawarkan kemudahan yang sangat
mencengangkan berupa internet, handphone/smartphone, TV, transportasi modern, dan
sebagainya yang sekarang menghiasi perkantoran, sekolah, rumah, dan lingkungan kita.

Bagaimana Islam memandang kemajuan teknologi ini? Apakah Islam mampu menjawab
perkembangan modern ini? Bagaimana sikap seorang muslim di tengah kemajuan
teknologi sekarang ini?! Inilah yang akan menjadi tema pembahasan kita kali ini. Semoga
Allah menjadikannya bermanfaat bagi kita semua.

Kesempurnaan Islam
Di antara nikmat terbesar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada umat ini
adalah disempurnakannya agama ini sebagaimana di dalam firman-Nya (yang artinya):
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan
kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi kalian. (QS al-
Ma‘idah [5]: 3)
Tidaklah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam meninggalkan dunia ini melainkan telah
meninggalkan kaum Muslimin di jalan yang terang-benderang, malamnya seperti siangnya.
Semua permasalahan yang dibutuhkan oleh hamba telah dijelaskan di dalam syari’at Islam,
sampai-sampai permasalahan yang dipandang remeh oleh kebanyakan manusia seperti
adab buang hajat dan semisalnya.
Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan kenikmatan Allah yang terbesar kepada umat
ini, di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak
membutuhkan agama selainnya dan (tidak membutuhkan) nabi selain nabi mereka—oleh
karena itu, Allah menjadikannya sebagai penutup para nabi dan mengutusnya kepada jin
dan manusia—maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau halalkan, tidak
ada yang haram kecuali yang dia haramkan, tidak ada agama selain apa yang dia
syari’atkan, dan setiap apa yang dia beritakan adalah benar dan jujur, tiada kedustaan di
dalamnya.”1

Demikian juga al-Imam asy-Syafi’i, beliau sangat meyakini kesempurnaan agama Islam.
Alangkah bagusnya ucapan al-Imam asy-Syafi’i tatkala mengatakan:
‫هللا‬
ِ ‫ب‬ ِ ‫از َل ٌة إِاَّل َو ِفيْ ِك َتا‬
ِ ‫هللا َن‬
ِ ‫ْن‬ ِ ‫ت َت ْن ِز ُل ِفيْ أَ َح ٍد ِمنْ أَهْ ِل ِدي‬ْ ‫ْس‬َ ‫َف َلي‬
.‫ال َّدلِ ْي ُل َع َلى َس ِبي ِْل ْال ُه َدى ِف ْي َها‬
“Tidak ada satu pun masalah baru yang menimpa seorang yang memiliki pengetahuan
agama, kecuali di dalam al-Qur‘an telah ada jawaban dan petunjuknya.” 2

Kemudian al-Imam asy-Syafi’i membawakan beberapa dalil untuk menguatkan ucapannya


di atas, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur‘an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS an-
Nahl [16]: 89)
Alangkah menariknya apa yang diceritakan oleh asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-
Utsaimin bahwa pada suatu kali ada seorang Nasrani datang kepada seorang ulama untuk
mencela al-Qur‘an. Di waktu itu, mereka berdua berada di ruang makan. Orang Nasrani
berkata, “Katanya al-Qur‘an itu menjelaskan segala sesuatu, sekarang adakah keterangan
dalam al-Qur‘an tentang cara membuat makanan ini?” Orang alim tersebut akhirnya
memanggil pemilik ruang makan seraya mengatakan, “Tolong jelaskan kepada kami,
bagaimana cara membuat makanan ini.” Lantas, sang pemilik ruang makan pun
menjelaskan secara terperinci. Setelah selesai, sang alim tersebut berkata (kepada orang
Nasrani), “Demikianlah al-Qur‘an juga menjelaskan.” Orang Nasrani itu kaget dan heran
seraya mengatakan, “Kok bisa begitu?” Alim tadi mengatakan, “Ya, karena Allah berfirman
(yang artinya):

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan[828] jika kamu tidak
mengetahui”. (QS an-Nahl [16]: 43)
Di dalam ayat ini, Allah menjelaskan kunci ilmu segala sesuatu adalah dengan menanyakan
kepada ahlinya.” 3

Asy-Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi memiliki sebuah risalah yang sangat berharga
berjudul al-Islam Dinun Kamil (Islam Adalah Agama yang Sempurna). Di dalam kitab
tersebut, beliau menyebutkan sepuluh contoh permasalahan sebagai bukti kesempurnaan
agama Islam. Kita cukupkan di sini dua contoh saja yang marak dibicarakan akhir-akhir ini:
1. Masalah ekonomi
Al-Qur‘an telah menjelaskan kaidah-kaidah dalam masalah ekonomi, sebab perekonomian
itu kembali kepada dua permasalahan:

a) Pintar di dalam mencari harta


Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuka lebar-lebar segala pintu untuk mencari harta
selagi tidak melanggar agama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS al-Jumu’ah
[62]: 10)
b) Pintar di dalam membelanjakan harta
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk hemat dan tidak boros dalam
membelanjakan harta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyifatkan hamba-hamba-
Nya yang beriman (yang artinya):
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak
(pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS al-
Furqan [25]: 67)
2. Masalah politik
Al-Qur‘an telah menjelaskan masalah-masalah politik secara gamblang. Hal itu karena
politik yang bermakna pengaturan negara terbagi menjadi dua macam:

a) Politik luar negeri


Politik ini kembali kepada dua sumber utama:

Pertama: Mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi serangan musuh/penjajah. Tentang


hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya):
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”. (QS
al-Anfal [8]: 60)
Kedua: Persatuan yang kuat dalam kekuatan tersebut. Tentang hal ini, Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya):
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai”. (QS Ali Imran [3]: 103)
b) Politik dalam negeri
Politik ini kembali kepada penyebaran keamanan dalam negeri, membasmi kezhaliman,
dan memberikan hak kepada pemiliknya. Dan sumber politik dalam negeri ada dalam enam
perkara yang semuanya telah dijelaskan di dalam Islam secara terperinci:

(1) Agama. Oleh karenanya, Islam memerintahkan tauhid dan melarang syirik serta
menghukum orang yang murtad karena agama bukan permainan.
(2) Jiwa. Oleh karenanya, Islam melarang pembunuhan dan bunuh diri serta memberikan
hukuman dan ancaman yang keras bagi pelakunya.
(3) Akal. Oleh karenanya, Islam melarang minum khamar (setiap yang memabukkan) karena
hal itu merusak akal.
(4) Nasab. Oleh karenanya, Islam menganjurkan pernikahan dan melarang perzinaan.
(5) Harta. Oleh karenanya, Islam melarang pencurian, perampokan, dan mengambil harta
orang lain.
(6) Kehormatan. Oleh karenanya, Islam melarang untuk menuduh orang lain tanpa bukti. 4

Islam dan perkembangan teknologi


Sebagai agama yang sempurna dan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat,
Islam sangat mendukung perkembangan teknologi dan tidak menolaknya. Maka, sungguh
dusta ucapan sebagian kalangan tatkala berceloteh, “Kita sekarang, hidup di zaman
teknologi modern, manusia sudah sampai ke bulan(!), akankah kita harus kembali kepada
manhaj salaf dan zaman unta lagi?!”
Wahai miskin, siapakah yang mengatakan bahwa kembali ke manhaj salaf itu berarti
mengharamkan alat-alat teknologi modern?! Tidakkah kalian membedakan antara
keduanya?! Ketahuilah bahwa kembali kepada Islam yang murni bukan berarti
mengharamkan teknologi modern yang tidak bertentangan dengan syari’at, bahkan bila hal
tersebut digunakan di dalam kebaikan maka membuahkan pahala. 5

Di antara contohnya adalah alat transportasi modern. Pada zaman sekarang, kita
mendapati beberapa kendaraan modern yang tidak ada pada zaman Nabi Shallallahu’alaihi
wa sallam dahulu seperti mobil, kereta, pesawat, dan sebagainya. Apakah hal ini
disebutkan di dalam al-Qur‘an? Di dalam surat an-Nahl yang disebut juga dengan surat an-
Ni’am (nikmat-nikmat) , Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
6

“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal/bagal (peranakan kuda dengan keledai), dan
keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah
menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS an-Nahl [16]: 8)
Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan nikmat-Nya berupa
kendaraan/alat transpor, yang terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Jenis kendaraan yang disaksikan ketika turunnya ayat berupa kuda, keledai, dan
bighal.
Kedua: Jenis kendaraan yang tidak mereka saksikan saat itu, tetapi Allah mengabarkan
bahwa Dia akan menciptakannya setelah mereka. Hal ini telah terbukti sekarang dengan
adanya alat-alat transpor yang ajaib seperti pesawat, kereta, mobil, dan sebagainya.7

Asy-Syaikh Muhammad asy-Syinqithi berkata, “Pembagian yang benar mengenai sikap di


dalam menghadapi penemuan modern Barat terbagi menjadi empat macam:

(1) Meninggalkan penemuan modern, baik yang bermanfaat dan berbahaya.

(2) Menerima penemuan modern, baik yang bermanfaat dan berbahaya.

(3) Menerima yang berbahaya dan meninggalkan yang bermanfaat.

(4) Mengambil yang bermanfaat dan meninggalkan yang berbahaya.

Dengan pembagian penemuan modern menjadi empat ini, ternyata kita dapati bahwa
pertama, kedua, dan ketiga adalah batil tanpa diragukan lagi, berarti yang benar hanya satu
yaitu keempat.”8

Dan penemuan modern seringkali mengalami perkembangan dengan tiga fase:

(1) Tahsiniyyat yaitu bersifat kebutuhan tersier (mewah) seperti mobil.


(2) Hajiyyat yaitu bersifat sekunder seperti rekreasi.
(3) Dharuriyyat yaitu bersifat primer (pokok, harus dipenuhi) seperti sandang dan pangan.
Contohnya lampu listrik dan handphone/smartphone, awal munculnya adalah kebutuhan
mewah, hanya orang-orang tertentu saja yang memilikinya. Namun, seiring dengan
berjalannya waktu, pada saat ini mungkin keduanya merupakan kebutuhan primer bagi
sebagian orang, tak bisa aktivitas tanpa listrik dan handphone/smartphone.

Argumentasi hukum asal alat teknologi


Hukum asal alat teknologi modern dan memanfaatkannya dalam kebutuhan dan kebaikan
adalah boleh karena ini termasuk urusan dunia, sampai ada dalil yang melarangnya seperti
mengandung kerusakan yang lebih besar. Berikut beberapa argumennya:

1. Asal segala urusan dunia hukumnya boleh


Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat agung, yaitu bahwa asal semua urusan dunia
adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya dan asal semua ibadah adalah terlarang
sampai ada dalil yang mensyari’atkannya.

Banyak sekali dalil-dalil al-Qur‘an dan hadits yang menunjukkan kaidah berharga ini,
bahkan sebagian ulama menukil ijma’ (kesepakatan) tentang kaidah ini.  Cukuplah dalil 9

yang sangat jelas tentang masalah ini adalah sabda Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa
sallam:

َ ‫ َوإِ َذا َك‬،‫ان َشيْ ٌء ِمنْ أَم ِْر ُد ْن َيا ُك ْم َف َشأْ ُن ُك ْم‬
‫ان َشيْ ٌء ِمنْ أَم ِْر‬ َ ‫«إِ َذا َك‬
.» َّ‫ِد ْي ِن ُك ْم َفإِ َلي‬
“Apabila itu urusan dunia kalian maka itu terserah kalian, dan apabila urusan agama maka
kepada saya.” 10

Bila ada yang mengatakan: Bagaimana apabila alat dunia tersebut ditemukan oleh orang
nonmuslim? Jawabnya: Sekalipun begitu, bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
sallam dahulu menerima strategi membuat parit sebagaimana usulan Salman al-Farisi
ketika Perang Khandaq?! Jadi, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menerima strategi tersebut
walaupun asalnya adalah orang-orang kafir dan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tidak
mengatakan bahwa strategi ini najis dan kotor karena berasal dari otak orang kafir.
Demikian juga tatkala Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, beliau
meminta bantuan seorang penunjuk jalan yang kafir bernama Abdullah al-Uraiqith. Semua
itu menunjukkan bolehnya mengambil manfaat dari orang-orang kafir di dalam masalah
dunia dengan tetap mewaspadai virus agama mereka. Dalam kata hikmah Arab dikatakan:

‫ار‬
ِ ‫ار َوأَ ْل ِق ْال َخ َش َب َة ِفي ال َّن‬ ِّ ‫اجْ َت ِن‬
َ ‫الث َم‬
“Ambilah buahnya dan buanglah kayunya ke api.” 11

Maka dari itu, tidak selayaknya seorang hamba untuk menolak nikmat Allah tanpa alasan
syar’i dan tidak halal baginya untuk mengharamkan sesuatu tanpa dalil.

2. Agama itu dibangun di atas kemaslahatan


Perlu diketahui bahwa syari’at yang suci dan mudah ini dibangun di atas kemaslahatan dan
menolak kemudharatan. Barang siapa meneliti sikap para nabi dan kisah-kisah mereka
yang diceritakan di dalam al-Qur‘an, niscaya dia akan mengetahui dengan yakin tanpa
sedikit pun keraguan. 12

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Berdasarkan kaidah ini, semua ilmu dan
penemuan modern yang bermanfaat bagi kehidupan manusia baik untuk urusan agama
maupun dunia, maka hal itu termasuk yang diperintahkan dan dicintai oleh Allah dan Rasul-
Nya.” 13
Sebagai contoh, mikrofon sangat membawa kemaslahatan yang sangat besar dan banyak
sekali dalam penyebaran syi’ar-syi’ar Islam. Ada kisah yang menarik. Pada suatu ketika,
ada seorang berkacamata mengatakan kepada asy-Syaikh as-Sa’di dengan nada
mengingkari, “Mikrofon adalah perkara baru, buatan nonmuslim, kita tidak perlu
menggunakannya.” Mendengarnya, asy-Syaikh as-Sa’di mendekati orang tersebut lalu
melepas kacamatanya, kemudian beliau bertanya, “Apakah kamu bisa melihat dengan
jelas?” Jawabnya, “Tidak.” Syaikh pun lalu mengembalikan kacamatanya, kemudian
bertanya, “Kalau sekarang bagaimana?” Jawabnya, “Kalau sekarang, saya bisa melihat
dengan jelas.” Ketika itu, beliau berkata, “Wahai saudaraku, bukankah kamu tahu bahwa
kacamata dapat membuat sesuatu yang jauh menjadi dekat dan memperjelas pandangan,
demikian juga halnya mikrofon, ia memperjelas suara, sehingga seorang yang jauh dapat
mendengar, para wanita di rumah juga bisa mendengar dzikrullah dan majelis-majelis ilmu.
Jadi, mikrofon merupakan kenikmatan Allah kepada kita, maka hendaknya kita
menggunakannya untuk menyebarkan kebenaran.”  Bahkan beliau pernah berkhutbah
14

tentang nikmat mikrofon yang semestinya disyukuri.


3. Sarana tergantung pada tujuannya
Ini juga merupakan kaidah yang sangat penting dan berharga sekali.  Seperti hukum 15

menaiki pesawat terbang untuk berangkat haji, menggunakan bom, tank, dan alat-alat
canggih/modern untuk jihad, dan sebagainya. Alat-alat tersebut tidak diragukan tentang
bolehnya karena alat-alat tersebut merupakan sarana menuju ibadah yang mulia.
4. Kesulitan membawa kemudahan
Sesungguhnya syari’at Islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang
mendasari hal ini, bahkan al-Imam asy-Syathibi berkata, “Dalil-dalil tentang kemudahan
bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti.” 16

Syari’at seluruhnya mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan
kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan al-Imam Syafi’i tatkala berkata:

ْ ‫ت ا َّت َس َع‬
‫ت‬ َ ‫ت األُص ُْو ُل َع َلى أَنَّ األَ ْش َيا َء إِ َذا‬
ْ ‫ضا َق‬ ِ ‫ُب ِن َي‬
“Kaidah syari’at itu dibangun bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas.” 17

Tidak diragukan bahwa alat teknologi modern pada zaman kita sekarang merupakan
kebutuhan yang penting dalam kebutuhan manusia, sehingga terasa sulit bagi manusia
untuk melakukan aktivitas mereka tanpa adanya mikrofon disebabkan luasnya masjid dan
banyaknya jama’ah.

5. Tidak diingkari perubahan hukum dengan


perubahan zaman

‫ان‬
ِ ‫ان َو ْال َم َك‬
ِ َّ ‫اَل ُي ْن َك ُر َت َغ ُّي ُر اأْل َحْ َك ِام ِب َت َغي ُِّر‬
‫الز َم‬
“Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan tempat dan waktu.”
Kaidah ini telah disepakati oleh para ulama sebagaimana dikatakan al-Qarrafi di dalam al-
Ihkam fi Tamyiz Fatawa ’anil Ahkam hlm. 232. Namun, kaidah ini tidak berlaku secara umum
begitu saja, karena hukum itu terbagi menjadi dua:
Pertama: Hukum syari’at yang sandarannya adalah dalil-dalil yang jelas dari al-Qur‘an,
hadits, dan ijma’. Maka hal ini tidak mengalami perubahan menurut zaman dan tempat.
Kedua: Hukum syari’at yang sandarannya adalah ijtihad berupa kemaslahatan, qiyas, dan
adat. Inilah yang mengikuti perubahan sesuai dengan perubahan sarana yang ada. Al-
Qarrafi berkata, “Jumud terhadap dalil semata merupakan kesesatan dalam agama dan
kejahilan dengan tujuan pokok syari’at yang dipahami oleh para ulama salaf.”   Di antara
18

contohnya:
(a) Hukum jual beli salam dalam bejana. Para ulama dahulu melarangnya, sedangkan para
ulama sekarang membolehkannya karena kemajuan alat cetak barang sekarang sesuai
pesanan pembeli.

(b) Hukum bedah perut ibu hamil yang meninggal dunia untuk menyelamatkan bayinya.
Para ulama dahulu banyak yang melarangnya, sedangkan ulama sekarang yang
membolehkannya dengan prediksi kuat berhasil karena kemajuan alat kedokteran
sekarang.

(c) Hukum dan undang-undang pemerintah demi kemaslahatan manusia yang tidak
bertentangan dengan agama, seperti rambu-rambu lalu lintas, pencatatan nikah di KUA,
dan lain-lain.

Bolehkah memanfaatkan teknologi penemuan orang kafir?


Bila ada yang mengatakan: Bagaimana apabila alat dunia tersebut ditemukan oleh orang
nonmuslim. Apakah tetap boleh ataukah tidak boleh karena termasuk larangan tasyabbuh
dengan orang kafir?

Jawabnya: Hukum asalnya adalah boleh sekalipun hasil penemuan kaum kafir. Bukankah
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dahulu menerima strategi membuat parit
sebagaimana usulan Salman al-Farisi Radhiallahu’anhu ketika Perang Khandaq?! Jadi,
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menerima strategi tersebut walaupun asalnya adalah dari
orang-orang kafir dan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengatakan bahwa strategi ini
najis dan kotor karena berasal dari otak orang kafir. Demikian juga, tatkala
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, beliau meminta bantuan seorang
penunjuk jalan yang kafir bernama Abdullah al-Uraiqith. Semua itu menunjukkan bolehnya
mengambil manfaat dari orang-orang kafir dalam masalah duniawi dengan tetap
mewaspadai virus agama mereka. Dalam kata hikmah Arab dikatakan:

‫ار‬
ِ ‫ار َوأَ ْل ِق ْال َخ َش َب َة ِفي ال َّن‬ ِّ ‫اجْ َت ِن‬
َ ‫الث َم‬
“Ambillah buahnya dan buanglah kayunya ke api.” 19

Maka dari itu, tidak selayaknya seorang hamba menolak nikmat Allah tanpa alasan syar’i
dan tidak halal baginya untuk mengharamkan sesuatu tanpa dalil.
Memanfaatkan dan meniru (pembuatan) mobil, pesawat terbang, alat-alat sains, dan
teknologi lainnya bukanlah termasuk tasyabbuh. Sebab, apa yang mereka buat dan
kembangkan tersebut hakikatnya bukanlah ciri khas (kekhususan) yang mereka miliki.
Siapa saja baik muslim maupun kafir yang bersungguh-sungguh mempelajari dan
mengembangkannya akan mampu untuk membuatnya. Demikian pula mengimpor barang-
barang tersebut dari negeri-negeri kafir dan menggunakannya bukanlah bagian dari
tasyabbuh karena Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sendiri pernah menggunakan
produk orang-orang kafir baik pakaian, bejana, dan sebagainya, sebagaimana pula beliau
pernah menerima hadiah dari Muqauqis, seorang raja Mesir yang beragama Nasrani.
Namun, bila penggunaan produk mereka diiringi dengan penerapan kebiasaan, tata cara,
dan aturan yang merupakan ciri khas dari mereka (orang-orang kafir) maka yang demikian
dilarang dan termasuk tasyabbuh.
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin Rahimahullahuta’ala berkata, “Yang
dilakukan oleh musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kita yaitu orang-orang kafir terbagi
menjadi tiga bagian: (1) ibadah-ibadah, (2) adat-adat kebiasaan, dan (3) keahlian-keahlian
dan pekerjaan-pekerjaan.
Adapun ibadah-ibadah maka termasuk yang dimaklumi bahwa tidak boleh bagi seorang
muslim pun untuk menyerupai mereka di dalam ibadah-ibadah orang-orang kafir. Barang
siapa menyerupai mereka di dalam ibadah-ibadah mereka, maka sungguh dia berada di
atas bahaya yang besar, maka kadang-kadang hal itu membawa kepada kekufurannya dan
keluarnya dia dari Islam.

Adapun adat-adat kebiasaan seperti pakaian dan yang lainnya, maka sesungguhnya
diharamkan menyerupai mereka di dalamnya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa
sallam, ‘Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka.’
Adapun teknologi-teknologi dan keahlian-keahlian yang di dalamnya ada maslahat untuk
umum, maka tidak apa-apa kita mempelajari dari apa-apa yang mereka buat dan
mengambil faedah darinya, dan ini bukanlah termasuk bab tasyabbuh, melainkan termasuk
bab keikutsertaan di dalam pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat yang pelakunya tidak
dianggap bertasyabbuh dengan mereka.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa‘il Ibn Utsaimin 3/40)
Etika seorang muslim
Di tengah gegap gempita kemajuan teknologi modern, terkadang iman seorang menjadi
goyah dan hati menjadi terombang-ambing. Bagaimana sikap seorang muslim di tengah
kemajuan teknologi?

1. Mempelajari ilmu dan hukumnya


Al-Imam al-Bukhari pernah menuturkan “Bab Ilmu sebelum berucap dan berbuat”. Sebab
itu, seorang mukmin sebelum menggunakan alat-alat teknologi, hendaknya mempelajari
terlebih dahulu apakah alat tersebut boleh digunakan ataukah tidak. Contoh bisnis MLM,
bisnis online, penggunaan Facebook, dll. Maka dari itu, pelajarilah terlebih dahulu gambaran
masalahnya dan status hukumnya. Dahulu, dikatakan:

َ ‫ْال ُح ْك ُم َع َلى ال َّشيْ ِء َفرْ ٌع َعنْ َت‬


‫صوُّ ِر ِه‬
“Menghukumi sesuatu adalah cabang dari gambaran permasalahannya.”
Dan setiap orang yang hendak mempelajari hukum suatu masalah, hendaknya dia
menempuh beberapa langkah berikut:

1. Mengetahui gambaran masalah secara jelas

2. Mencari dalil atau kaidah yang sesuai dengan hukum masalah

3. Mempraktikkan hukum syar’i tersebut pada permasalahan

Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Semua permasalahan yang muncul pada setiap waktu harus
diketahui gambarannya secara jelas terlebih dahulu. Apabila telah diketahui hakikatnya,
sifatnya, dan gambarannya secara gamblang, maka setelah itu dikembalikan kepada nash-
nash syar’i dan kaidah-kaidahnya, karena syari’at mampu memberikan solusi bagi setiap
problematik yang menimpa masyarakat atau pribadi, sebuah solusi yang akan diterima oleh
akal yang sehat dan fitrah yang bersih. Dan seorang yang cerdas hendaknya mempelajari
permasalahan dari setiap sudutnya, baik dari tinjauan kenyataan di lapangan dan hukum
syara’-nya.”
20

Dan apabila seseorang tidak mampu untuk sampai kepada hukumnya, baik karena belum
memahami gambaran permasalahan secara jelas atau belum menemukan dalilnya, maka
hendaknya dia berhenti terlebih dahulu. Ibnu Abdil Barr berkata, “Barang siapa (mendapat)
kesulitan tentang sesuatu maka hendaknya berhenti, tidak boleh baginya untuk
menisbahkan kepada Allah suatu ucapan dalam agama-Nya padahal tidak ada dalilnya. Hal
ini tiada perselisihan di kalangan ulama umat semenjak dahulu hingga sekarang.
Perhatikanlah.” 21

Bila kita perhatikan sejarah, niscaya kita akan menemukan beberapa pendapat tentang
masalah kontemporer yang hilang ditelan oleh sejarah dikarenakan pendapat tersebut tidak
dibangun di atas ilmu tentang agama dan gambaran permasalahan secara jelas. Berikut
beberapa contoh tentangnya:

(1) Qahwah (kopi). Awal munculnya kopi, ia banyak diperdebatkan oleh ulama, bahkan


banyak tulisan tentangnya. Ada yang mengharamkannya karena menganggapnya
memabukkan dan ada yang menghalalkan karena asal minuman adalah halal.  Kemudian
22

dengan berjalannya waktu, pendapat yang mengharamkan itu hilang dan para ulama pun
bersepakat tentang halalnya kopi. 23

(2) Rokok. Awal munculnya rokok, sebagian ulama ada yang membolehkannya karena ada
manfaatnya dan belum jelas bahayanya seperti asy-Syaukani di dalam Irsyad Sa‘il ila
Dala‘il Masa‘il. Adapun pada zaman kita sekarang, bisa dikatakan bahwa ulama telah
bersepakat tentang haramnya rokok karena bahayanya sangat nyata, bahkan pada
bungkusnya sendiri tertulis “Rokok Membunuhmu”.
(3) Radio. Awal munculnya radio, ada sebagian orang yang mengharamkannya seperti
Khiyar ibn Muhammad Fadhil di dalam kitabnya ar-Raddu ’ala Man Yahkumu bi Radiyu fil
Masa‘il Syar‘iyyah. Namun, pendapat tersebut hilang ditelan sejarah , tiada berguna kecuali
24

sejarah perbedaan pendapat di dalam masalah ini.


(4) Telepon. Awal munculnya telepon, ada sebagian yang mengharamkan seperti Ibrahim
ibn Musa di dalam kitabnya ad-Dalil al-Wadhih fir Raddi ’ala Man Ajaza al-A’mal bi Tilfun fi
Shaum wal Ifthar. Namun, pendapat tersebut juga hilang ditelan zaman. 25
2. Menguatkan iman dan tidak terjebak dalam godaan
setan
Tidak dimungkiri lagi bahwa alat-alat modern tersebut ibarat sebuah pisau, ada sisi positif
dan sisi negatifnya tergantung pada penggunaannya. Islam, pada dasarnya, tidak melarang
perkembangan dan kemajuan teknologi karena memang hukum asalnya boleh. Namun,
harus disadari bahwa para setan dari jenis jin dan manusia tidak akan tinggal diam. Mereka
(para setan itu) berusaha menjadikan alat-alat teknologi tersebut tersebut guna memangsa
korban-korban untuk dirusak iman dan akhlak mereka. Sungguh betapa banyak kerusakan
dan kemaksiatan yang sumbernya adalah internet dan Facebook.
Oleh karenanya, sebagai seorang muslim yang sejati, hendaknya kita menempatkan alat-
alat teknologi ini untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai
lahan pahala bagi kita berupa dakwah, silaturrahmi, dan sebagainya, bukan malah
menjadikannya sebagai alat ghibah, fitnah, provokasi, gosip, pelampiasan nafsu berahi, dan
sebagainya.
Hendaknya kita ingat bahwa kemudahan seorang di dalam maksiat bukanlah pertanda
bahwa Allah meridhainya. Namun, kita harus menyadari bahwa semua adalah ujian dan
cobaan akan keimanan kita kepada Allah, apakah kita benar-benar jujur hanya takut
kepada-Nya ataukah hanya sekadar pengakuan belaka tanpa bukti yang nyata. Faedah ini
tersirat di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu
dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah
mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barang
siapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya adzab yang pedih. (QS al-Ma‘idah
[5]: 94)
Selayaknya bagi seorang muslim yang mau menggunakan alat teknologi untuk mengetahui
rambu-rambu syari’at dalam hal ini agar tidak terjerumus dalam bujuk rayu setan yang
mengajak pengikutnya untuk ramai-ramai bersama masuk neraka.

3. Mensyukurinya dan menjadikannya sebagai ladang


pahala
Hendaknya seorang yang menggunakan alat-alat teknologi modern meluruskan niatnya
terlebih dahulu, dia benar-benar ingin menjadikannya untuk sesuatu yang bermanfaat.
Jangan sampai dia terjerat dalam rayuan dan jerat-jerat setan. Ingatlah ucapan seorang
ulama, “Setiap nikmat yang tidak semakin menjadikan dirimu dekat dengan Allah, maka itu
adalah sebuah bencana.” Dan ucapan sebagian mereka juga, “Jika engkau dalam
kenikmatan maka jagalah baik-baik, karena dosa bisa melenyapkannya.”

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membagi potensi dan kelebihan kepada


manusia berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Ada sebagian hamba yang diberi
kelebihan ilmu agama, ada yang diberi kelebihan harta, ada yang diberi kelebihan ahli
dalam bidang elektronik, ada yang diberi kelebihan ahli di bidang kedokteran. Semua itu
sangatlah indah jika disinergikan untuk menolong agama Allah. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah, “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Rabb-
mu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS al-Isra‘ [17]: 84)
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

.»‫«اعْ َملُ ْوا َف ُك ُّل ٌم َي َّس ٌر لِ َما ُخلِ َق َل ُه‬


“Beramal-lah kalian, semua orang akan dimudahkan menuju arah penciptaannya.” (HR al-
Bukhari dan Muslim)

Kalau kita telusuri di dalam sejarah kehidupan para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi wa


sallam, niscaya akan kita dapati aplikasi nyata dari kaidah berharga ini. Ada sebagian
mereka yang menolong agama Allah dengan ilmu seperti Ibnu
Abbas Radhiallahu’anhuma dan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu. Ada yang menolong
agama Allah dengan harta bendanya seperti Abdurrahman ibn Auf Radhiallahu’anhu dan
Abu Bakar Radhiallahu’anhu atau Utsman Radhiallahu’anhu. Ada pula yang menolong
agamanya dengan keahliannya dalam bidang strategi perang seperti Khalid ibn
Walid Radhiallahu’anhu. Ada juga yang menolong agama Allah dengan sastra bahasa dan
syair seperti Hassan Radhiallahu’anhu. Ada yang menolong agama Allah dengan
keahliannya di dalam pertukangan kayu seperti seorang sahabat yang menawarkan diri
untuk membuatkan mimbar bagi Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Bahkan ada seorang
sahabat wanita yang menolong agama Allah dengan keahlian yang dia miliki sekalipun
rendah di sisi manusia yaitu membersihkan masjid sehingga Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa sallam menanyakan perihalnya lalu datang dan mendo’akan kebaikan untuknya.
Termasuk kisah indah dalam masalah ini adalah kisah yang dibawakan oleh al-Imam Ibnu
Abdil Barr dalam at-Tamhid 7/185 bahwa Abdullah ibn Abdul Aziz al-’Umari—seorang ahli
ibadah—pernah menulis sepucuk surat untuk al-Imam Malik yang berisi anjuran untuk
menyendiri agar fokus di dalam ibadah serta menganjurkannya untuk meninggalkan
mengajarkan ilmu. Al-Imam Malik menjawab surat tersebut, “Sesungguhnya Allah telah
membagi amal perbuatan sebagaimana Allah membagi rezeki. Ada sebagian orang yang
dilebihkan di dalam shalat tetapi tidak di dalam puasa. Sebagian yang lain dilebihkan di
dalam sedekah tetapi tidak di dalam puasa. Sebagian dilebihkan di dalam jihad namun tidak
di dalam shalat. Dan menyebarkan ilmu termasuk pintu kebaikan yang amat mulia. Aku
telah ridha dengan apa yang telah Allah lebihkan dan buka untuk saya. Saya sama sekali
tidak merasa bahwa pintu kebaikan ini lebih rendah daripada pintu kebaikan yang Allah
buka untukmu. Dan kita semua berharap agar kita berdua di dalam kebaikan. Dan
hendaknya masing-masing kita semua ridha dengan apa yang telah Allah bagi untuk kita.
Wassalam.” Ini merupakan wujud kecerdasan al-Imam Malik.
Oleh karenanya, wahai kaum Muslimin, marilah kita semua telusuri potensi dan kelebihan
yang Allah berikan kepada kita. Wahai para guru, para pebisnis dan orang kaya, para
dokter, arsitek, ahli komputer dan internet, bahkan kalian wahai para buruh dan pekerja
biasa. Marilah kita semua gunakan potensi dan keterampilan kita masing-masing untuk
menolong agama Allah sehingga cahaya Islam semakin berkilau. Marilah kita tanya di
dalam hati kita masing-masing dengan penuh penghayatan, “Apa yang sudah kita
persembahkan untuk kemajuan Islam?! Amalan apa yang telah kita perbuat untuk dakwah
Islam?!”

4. Mengatur waktu
Hendaknya pengguna alat teknologi modern memahami akan mahalnya waktu. Janganlah
dia terjebak dalam kesia-siaan atau terlena keenakan chatting, whatsapp, BBM, dan
sebagainya hingga lalai dari shalatnya, kewajiban, dan tugasnya di rumah atau tempat
kerja.
Oleh karenanya, Rasul kita yang mulia Shallallahu’alaihi wa sallam memberikan arahan
untuk memanfaatkan waktu dengan baik di dalam sabdanya:

‫ك َق ْب َل‬
َ ‫صحَّ َت‬
ِ ‫ َو‬،‫ك‬ َ ‫ك َق ْب َل َه َر ِم‬ َ ‫ َشبا َ َب‬ :‫مْس‬ٍ ‫ِا ْغ َت ِن ْم َخمْ سًا َق ْب َل َخ‬
‫ك َق ْب َل‬ َ ‫ َو َفراَ َغ‬،‫ك‬ َ ‫ك َق ْب َل َم ْو ِت‬
َ ‫ َو َحيا َ َت‬،‫ك‬ َ ‫ك َق ْب َل َف ْق ِر‬ َ ‫َس َق ِم‬
َ َ ‫ َو ِغنا‬،‫ك‬
‫ك‬ ُ
َ ِ‫ش ْغل‬
“Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: mudamu sebelum tuamu,
sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum fakirmu, hidupmu sebelum matimu, dan
kelapanganmu sebelum sibukmu.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi dan dihasankan al-Iraqi
dan al-Albani)

Pergunakanlah alat-alat tersebut untuk ketaatan. Janganlah engkau gunakan untuk dosa
dan kesia-siaan. Ingat ucapan al-Imam asy-Syafi’i, “Jika engkau tidak menyibukkan dirimu
dengan ketaatan maka dirimu akan tersibukkan dengan selain ketaatan.”

5. Tatsabbut (teliti dan hati-hati)


Di antara hal yang harus selalu diingat bagi mereka yang menggunakan alat teknologi
modern adalah hendaknya tatsabbut (memeriksa dengan teliti) dari semua yang dia
ucapkan, yang dia dengarkan, yang dia baca, dan yang dia nukil, karena tidak semua yang
ada pasti benar adanya. Bahkan betapa banyak gosip dan berita miring di dalamnya!!
Maka wajib atas seorang yang berakal agar memperhatikan perkara ini. Jika dia
mengetahui suatu berita atau suatu perkara maka hendaknya tatsabbut tentangnya. Kalau
sudah diketahui tentang kebenarannya maka hendaknya melihat perlu tidaknya dia
sebarkan. Jika hal itu akan membawa kepada kebaikan maka hendaknya dikumpulkan dan
disebarkan, dan jika tidak membawa kebaikan maka hendaknya dia lipat dan berpaling
darinya.

Berapa banyak terjadi kejelekan dan fitnah dengan sebab kesembronoan di dalam hal ini.
Berapa banyak dari manusia yang mengabaikan akalnya, dan memperlakukan segala
sesuatu yang disebarkan di internet sebagaimana sebuah wahyu yang tidak ada kebatilan
di depan dan di belakangnya.

Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk selektif ketika


menyikapi gosip , sebagaimana di dalam firman-Nya (yang artinya):
26

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.” (QS al-Hujurat [49]: 6)
Sungguh telah datang larangan yang jelas dari menyampaikan segala sesuatu yang
didengar. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
َ ‫« َك َفى ِب ْال َمرْ ِء َك ِذبًا أَنْ ي َُح ِّد‬
.»‫ث ِب ُك ِّل َما َس ِم َع‬
“Cukuplah seseorang berdusta jika menyampaikan semua yang dia dengar.” (Shahih
Muslim 1/8)
Ibnu Baadis berkata, “Tidak semua yang kita dengar dan kita lihat harus diyakini oleh hati
hati kita, namun hendaknya kita mengeceknya dan memikirnya secara matang. Jika
memang terbukti dengan bukti nyata maka kita mempercayainya, namun jika tidak maka
kita meninggalkannya.” 27

Oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

1 Tafsir al-Qur‘anil Azhim 3/23


2 Ar-Risalah hlm. 20
3 Syarh Kasyfi Syubuhat hlm. 72
4 Lihat al-Islam Dinun Kamil hlm. 18–20 (secara ringkas).
5 Lihat Hadza Huwal Islam oleh Dr. Humud ibn Abdul Aziz al-Badr hlm. 142–144 dan Ta’liq Dr.
Abdullah ath-Thayyar di dalam al-Ijabah ash-Shadirah fi Shihhatish Shalah fi Thairah hlm. 18.
6 Dinamakan dengan surat an-Ni’am karena Allah menyebutkan banyak kenikmatan kepada hamba-
Nya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ’Athiyyah di dalam al-Muharrar al-Wajiz 3/377. Lihat
pula Asma‘us Suwaril Qur‘an hlm. 242–243 karya Dr. Munirah binti Muhammad ad-Dusari, cet. Dar
Ibnul Jauzi.
7 Al-Ijabah ash-Shadirah fi Shihhatish Shalah fi Thairah hlm. 14–15 karya asy-Syinqithi, Min Kulli
Suratin Fa‘idah hlm. 131 karya asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani.
8 Adhwa‘ul Bayan 4/382
9 Jami’ul Ulum wal Hikam 2/166 oleh al-Imam Ibnu Rajab
10 HR Ibnu Hibban 1/201 dan sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim
11 Lihat pula al-Adzbu an-Namir min Majalis Syinqithi fi Tafsir 2/602 oleh Khalid ibn Utsman as-
Sabt dan risalah Raf’u Dzull wa Shaghar hlm. 42–45 oleh asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani.
12 Adab Thalab wa Muntaha Arab hlm.159 asy-Syaukani
13 Al-Qawa’id wal Ushul al-Jami’ah hlm. 12
14 Mawaqif Ijtima’iyyah min Hayatisy Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, Muhammad as-Sa’di dan
Musa’id as-Sa’di, hlm. 100-101.
15 Lihat al-Qawa’id wal Ushul al-Jami’ah hlm. 13–19 oleh asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di.
16 Al-Muwafaqat, asy-Syathibi, 1/231.
17 Qawa’idul Ahkam hlm. 60
18 Al-Furuq 1/177
19 Lihat pula al-Adzbu an-Namir min Majalis Syinqithi fi Tafsir 2/602 oleh Khalid ibn Utsman as-
Sabt dan risalah Raf’u Dzull wa Shaghar hlm. 42–45 oleh asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani.
20 Al-Fatawa as-Sa’diyyah hlm. 190–191
21 Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 2/848
22 Asy-Syaikh Abdul Qadir ibn Muhammad al-Jazuri menulis sebuah kitab berjudul Umdah
Shafwah fi Hilli Qahwah. Di dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan secara detail tentang halalnya
kopi.
23 Sebagaimana dikatakan oleh Mar’i al-Karmi di dalam Tahqiq Burhan fi Sya‘ni Dukhan hlm. 154.
24 Lihat ad-Durar Saniyyah 15/125, 134, 141.
25 Diringkas dari as-Sa’yul Hamid fi Masyru’iyyatil Mas’a al-Jadid hlm. 17–23 oleh Syaikhuna
Masyhur ibn Hasan alu Salman.
26 Lihat tentang masalah gosip dan bahayanya di dalam risalah asy-Syaa’iat Haqiqatuha Asbabuha
wa Khathruha oleh Dr. Sulaiman Abu Khail.
27Ushul Hidayah hlm. 97

Anda mungkin juga menyukai