Anda di halaman 1dari 11

Rekam Jejak Pertunjukan Musik Klasik di

Hindia Belanda pada Abad Ke-19


Fikri Muhammad - Rabu, 11 Maret 2020 | 13:16 W

Tropenmuseum
Schouwburg. Gedung ini bergaya neo-renaisance yang dibangun pada 1821 di Weltevreden. Warga
Batavia menjulukinya sebagai

Nationalgeographic.co.id - Musik klasik merupakan hal yang masih dekat dengan kita
sampai hari ini. Beberapa orang mungkin mendengarnya saat makan malam di restoran
bahkan nada ringtone dari telepon genggam.

Kita tak bisa tutup mata bahwa sejarah bisa membentuk persepsi kita terhadap musik
klasik. Jika tidak ada catatan sejarah maka kita tidak bisa memperdebatkan siapa yang
paling hebat antara Mozart dan Salieri. Lebih jauh lagi, bagaimana kita memaknai
musik klasik barat saat ini.

Sebuah pemahaman tentu ada “akarnya” terlebih khusus soal musik klasik. Itulah yang
disampaikan oleh Aniarani Andita, seorang kandidat PhD di bidang Musik dari Royal
Holloway, University of London.
Sebagai akademisi ia banyak terpengaruh oleh teori-teori paska kolonial. Membuatnya
ingin mengupas dampak kolonialisme dengan mempertanyakan, menantang, dan
membebaskan diri dari konstruksi politis dan filosofis yang diciptakan oleh kolonialisme
itu sendiri.

Karena kolonialisme tak selalu bebicara soal saling jajah menjajah antar negara. Tapi
juga tentang dominasi pengetahuan dan pemikiran dari satu pihak yang lebih kuat.

Atas dasar pemikiran di atas maka Aniarani sedang mengerjakan studi nya tentang
sejarah pertunjukan musik klasik Barat untuk publik di Batavia, Bandung, dan
Yogyakarta. Yakni yang terekam dalam koran-koran yang terbit di kota tersebut sejak
awal abad ke-19.

Judul-judul koran yang menjadi bahan penelitianya diantaranya adalah Javasche


Courant, Java-bode, Bataviaasch handelsblad, Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, De preanger-bode, dan De locomotief.

Baca Juga: vivo Gelar Potrait Photo Competition Bertajuk ‘Perfect Night Perfect You’
Woodbury and Page
Societeit Concordia yang berlokasi di selatan persis Daendels Paleis, Lapangan Banteng sekitar
1870-an. Bangunan ini dibongkar pada 1960-an. Pada 14 Mei 1941, Gubernur Jenderal Tjarda van
Starkenborgh menutup peringatan penyerbuan Jerman ke Belanda di gedung ini.

Aniarani mengungkapkan bahwa dalam arsip-arsip temuan informasinya yang paling


lengkap adalah tentang Batavia karena menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda.
Semua arsip koran yang ia teliti pun tersedia untuk publik dalam bentuk digital.
Tepatnya di laman binaan perpustakaan nasional (Koninklijke Bibliotheek) Belanda.

Sampai saat ini, Aniarani sudah mencatat sekitar 2600 event pertunjukan musik klasik
Barat di Batavia, Bandung, dan Yogyakarta pada awal abad ke-19 hingga awal abad
ke-20. Penelitian ini ialah work-in-progress studi S3 nya yang direncanakan selesai
pada tahun 2021.

Sebelumnya memang ada beberapa studi yang telah meneliti sejarah masuknya musik
klasik ke Hindia Belanda. Seperti disertasi Franki Raden (2001) yang mengupas
sejarah masuknya musik klasik ke Hindia Belanda sejak abad ke-16 oleh para
misionaris Katolik yang membawa musik- musik liturgi.
Sejarah Masuknya Pertunjukan Musik Klasik ke Hindia Belanda 

Melalui arsip-arsip koran yang diteliti oleh Aniarani, pertunjukan musik klasik Barat
dimulai oleh grup opera dari Perancis yang tampil Schouwburg, Batavia (Théâtre de
Batavia, sekarang Gedung Kesenian Jakarta) pada tahun 1835. Kemudian disusul oleh
penampilan grup lainya terutama dari Perancis dan Italia.

Sampai pada akhir 1840-an, pertunjukan di Théâtre de Batavia tidak hanya penampilan
opera saja namun bercampur dengan genre lain seperti vaudeville dan ballet-
pantomime. Akan tetapi sejak tahun 1850 pertunjukan-pertunjukan di sana mulai di
dominasi oleh opera saja.

Baca Juga: Raffles Meresmikannya, Kita Membongkarnya

Woodbury and Page


Ruangan dalam Societeit Concordia. Di sinilah Gubernur Jenderal Tjarda menghadiri peringatan
setahun pendudukan Jerman di Belanda. Acara penutupan itu mengumandangkan misa Requiem
gubahan Wolfgang Amadeus Mozart yang dibawakan Bataviaanse Oratorium dan orkestra NIROM.

Penampilan opera di Théâtre de Batavia ialah yang lazim dimainkan di Eropa kala itu.
Misalnya opera-opera karya Donizetti (e.g. La favorite, La fille du regiment, Verdi (Un
ballo di maschera/Le trouvere (Il trovatore), Rigoletto), dan Offenbach (La Grande-
Duchesse de Gerolstein, La Périchole, Genevieve de Brabant).

Bahkan beberapa opera ditampilkan di Batavia tak lama setelah pertunjukan perdana di
Eropa. Seperti misalnya opera karya Auber Les diamants de la couronne (dipertunjukan
perdana tahun 1841, dipertunjukkan di Batavia tahun 1842) dan karya Donizetti La
favorite (dipertunjukkan perdana tahun 1840, dipertunjukkan di Batavia tahun 1845).

Pertunjukkan di Théâtre de Batavia memang terbuka untuk publik yang mampu


membayar. Namun masih diragukan apakah hal itu termasuk penduduk lokal/pribumi
atau kalangan Eropa saja. Pasalnya, pada tahun 1868, terdapat sebuah pertunjukan di
Théâtre de Batavia yang diiklankan dalam Bahasa Melayu. Padahal umumnya, iklan
pertunjukan menggunakan Bahasa Perancis.
Bataviaasch handelsblad, 22 Februari 1868

Pertunjukan itu jelas ditujukan bagi kalangan non-Eropa dengan tajuk iklan seperti “(…)
Toewan-toewan Hadji, Arab, dan Tjina.”

Melalui hal tersebut Aniarani mengindikasikan bahwa pertunjukan-pertunjukan lain tidak


diperuntukan untuk masyarakat non-Eropa. Namun, yang menarik bahwa pertunjukan
non-Eropa pun diperuntukan untuk kalangan yang sejahtera.

Karena kalangan masyarakat Arab dan Cina di Batavia pada abad ke-19 adalah yang
paling sejahtera di antara kalangan non-Eropa (Leonard Blussé, 2017). 

Selain itu, Aniarani belum yakin apakah penduduk lokal yang tidak termasuk kalangan
sejahtera bisa menikmati musik klasik atau tidak.

“Sejauh ini, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa pertunjukkan-pertunjukkan ini
dapat dinikmati secara bebas oleh penduduk lokal. Jika ada, kemungkinan sangat
sedikit, dan kemungkinan hanya penduduk lokal yang berkedudukan bangsawan
(seperti keluarga Kraton di Yogyakarta) atau penduduk lokal yang menikahi pria
Belanda/Eropa, karena mereka otomatis mendapat status sosial yang setara dengan
orang Belanda/Eropa,” ucapnya pada wawancara eksklusif bersama National
Geographic Indonesia.

Baca Juga: Schumanniade, Gempita Sang Maestro Romantik di Jantung Jakarta


Tropenmuseum
Gedung Harmonie diresmikan oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles pada 18 Januari
1815 yang bertepatan dengan perayaan hari ulang tahun Ratu Charlotte dari Inggris. Ironisnya,
pada 1985, kita membongkarnya.

Pementasan musik klasik Barat di Batavia nampaknya tidak terjadi hanya di Théâtre de
Batavia saja. Sebagian besar lainya diadakan oleh dan untuk klab-klab social (societeit)
elit seperti Societeit Harmonie dan Militaire Societeit Concordia.

Societet seperti itu memang dikhususkan bagi keanggotaan dengan kebangsaan


Belanda dan Eropa, atau yang berstatus seperti orang Eropa.

Penampilan di Bandung pun demikian yakni di Societeit Concordia, yang berdiri pada
tahun 1879. Serta di Yogyakarta di Klab De Vereeniging yang berdiri pada 1822 dan
Musis Sacrum pada 1894.
Selain penampilan musik klasik professional, di Batavia juga ada komunitas musik
amatir bernama Maatschappij van Toonkunst dan Liedertafel Aurora yang didirikan
pada 1840an.

Komunitas itu rutin menggelar pertunjukan musik klasik kepada anggotanya yang terdiri
dari orang Belanda, Eropa, dan yang berstatus seperti orang Eropa.

Karena keaktifan pertunjukan- pertunjukan itu maka musik klasik di Batavia pun
mencapai popularitasnya. Terutama pada tahun 1850an sampai 1870an.

Namun pagelaran musik klasik tak hanya terbatas di klab, Stafmuziek misalnya sebuah


korps musik militer Belanda juga kerap menggelar pertunjukan di tempat public seperti
di Waterlooplein, yang sekarang menjadi Lapangan Banteng.

Hingga awal abad ke-20, pertunjukan musik klasik masih sangat aktif tepatnya pada
1920-an. Yakni perkumpulan musik klasik di Batavia bernama Muziekverbond yang
rutin menggelar pertunjukkan seperti “malam musik kamar” (kamermuziek-avond)
khusus untuk para anggotanya, dan juga volksconcert atau konser untuk “rakyat”.

“Lagi-lagi, patut dipertanyakan apakah yang dimaksud “volks” di sini termasuk


penduduk lokal,” kata Aniarani.

Framing dan Perdebatan Surat Kabar Hindia Belanda Soal Musik Klasik Abad 19

Surat kabat pada abad ke-19 di Hindia Belanda diterbitkan oleh orang Belanda dan
Eropa. Isi berita yang dimuat pun menggunakan sudut pandang mereka. Terlebih
khusus pada musik klasik, koran-koran seperti di Batavia kerap memuat ulasan
pertunjukan musik klasik di Batavia. Seperti mengomentari kualitas penampilan orkestra
dan para musisi. Tak terkecuali para penyanyi yang tampil di pertunjukan beberapa hari
sebelumnya.

Penelitian Aniarani juga menemuka beberapa tema diskusi musik klasik Barat di
Batavia melalui surat kabar yang ditemukanya. Misalnya, pada 1872-1874 dimana
sedang tidak adanya pertunjukan opera di Batavia.

Kala itu terdapat disuksi menarik yakni apakah di Batavia membutuhkan pertunjukan
opera? Sebuah artikel di koran Java-bode pada Juni 1872 berargumen bahwa
pertunjukkan opera bermanfaat bagi publik di Batavia.

Akan tetapi, artikel lain pada bulan yang sama justru membantah hal tersebut. Ia
mengatakan bahwa hiburan yang cocok di Batavia ialah seperti pasar malam di
Belanda yaitu kermis, isinya pertunjukan akrobat dan sulap.

Penulis artikel itu yakin bahwa hiburan seperti itu lebih cocok karena dapat menggaet
masyarakat yang tak cakap music atau memiliki pengetahuan cukup mengenai bahasa
Italia, Inggris, Prancis, atau Jerman.
Perdebatan selanjutnya juga terdapat di musik klasik yang “ringan” dengan musik klasik
yang “asli” atau “betulan”. Musik klasik “betulan” dianggap sulit untuk dinikmati.

Musik klasik yang “ringan” contohnya seperti yang ditampilkan di opera Schouwburg.
Sedangkan “betulan” seperti yang disajikan oleh Maatschappij van Toonkunst, karena
tujuan didirikanya grup ini ialah untuk mempromosikan true art yang diwujudkan dengan
pemilihan repertoar musik klasik yang dianggap “betulan”. Seperti karya simfoni.

Namun karena hal tersebutlah Maatschappij van Toonkunst malah kehilangan jumlah
anggota grupnya pada tahun 1860an.

Selera Musik Hindia Belanda & Pengaruh Pertunjukan Musik Klasik Abad 19

Sulit dipastikan bagaimana selera musik masyarakat pada abad 19 di Hindia


Belanda sebelum masuknya musik klasik.

Aniarani pun juga belum menemukan catatan penelitian yang menjelaskan hal tersebut.
Namun menurutnya praktik bermusik klasik sudah ada sebelum grup opera masuk ke
Batavia.

“Yang saya tahu, praktek bermusik klasik sudah ada sejak sebelum datangnya grup
opera ke Batavia di tahun 1830an. Beberapa tuan tanah tercatat memiliki budak-budak
yang dilatih untuk menjadi musisi, dan dibentuk menjadi sebuah orkes kecil untuk
menghibur tuan tanah dan tamu-tamunya di rumah mereka (Franki Raden, 2001),” ujar
Aniarani.

Kemudian, dia menjelaskan bahwa sulit untuk menjawab siapa saja grup atau solois
Barat yang populer di Hindia Belanda. Sebab secara umum, penyanyi-penyanyi di grup
opera yang tampil di Schouwburg sering mendapat ulasan yang baik dari publik
Batavia.

Akan tetapi, terdapat pula solois Eropa terkemuka yang pernah mampir di Hindia
Belanda, seperti soprano Inggris Catherine Hayes, yang tampil di Batavia pada tahun
1855, dan juga di Singapura dan Melbourne, Australia di tahun yang sama.

Kemudian, mengenai sejarah pertunjukan musik klasik di Hindia Belanda pada awal


abad 19-20 dan keterkaitanya pada generasi kedepan Aniarani masih berusaha
menggali data dan pendapat terkait hal tersebut. 

Ariana pernah mengadakan pameran pada 21 Februari 2020 di foyer Usmar Ismail Hall,
Jakarta saat konser Jakarta Concert Orchestra "Malam Tchaikovsky”. Materi pameran
menyampaikan work in progress hasil penelusuran arsip koran-koran yang terbit
di Hindia Belanda.
Informasi yang diberikan kaya akan pertunjukan musik klasik barat di tiga kota yakni
Batavia, Bandung, dan Yogyakarta. Informasi itu juga mencakup frekuensi, tipe,
repertoar, lokasi, audiens pertunjukan-pertunjukanya.

Pameran dilangsungkan untuk memberikan wawasan mengenai sejarah pertunjukan


musik klasik di Hindia Belanda. Juga bagaimana sejarah memengaruhi kita dalam
memahami dan mempraktikan musik klasik Barat saat ini.

Aniarani Andita
Aniarani Andita, kini kandidat doktor untuk studi musik di Royal Holloway, University of London.

Anda mungkin juga menyukai